Believed

Seperti yang telah Raegan katakan pada Kaldera, untuk seterusnya akan ada yang mengantar jemput Kaldera ke sekolah. Ini sudah satu minggu sejak kehidupan Kaldera sedikit berbeda dari yang sebelumnya.

Kaldera juga mulai mengenal anggota The Ninety Seven, begitu nama yang dibuat untuk mereka. Awalnya Kaldera belum terbiasa dengan semuanya, kemana-mana ada yang mengawasi, dan itu rasanya sedikit aneh baginya. Namun seiring berjalannya waktu, kehadirannya yang diterima dengan baik oleh The Ninety Seven, membuat Kaldera mulai terbiasa. Hanya saja, karena perbedaan umur yang cukup jauh, membuat Kaldera menganggap Raegan, Romeo, Barra, dan Calvin sebagai kakak baginya.

“Kal, hari ini kita jadi kerja kelompok ya. Alamat tempatnya udah gue share di grup, jam empat kita ketemuan di sana,” ujar Riva, salah satu teman satu kelompoknya. Hari ini Kaldera dan teman-temannya memang berencana untuk mengerjakan tugas kelompok mata pelajaran seni budaya.

“Oke,” balas Kaldera dan setelah itu Riva berlalu dari hadapannya.

“Kal, hari ini lo dijemput sama om ganteng yang mana lagi?” tanya Icha yang berjalan di sisi Kaldera dan mereka baru akan menuruni tangga. Ini sudah jam pulang sekolah, Kaldera berencana ke markas The Ninety Seven sebelum harus pergi untuk kerja kelompok. Calvin bersedia mengajarinya bermain bowling dan Kaldera tertarik untuk mencoba permainan tersebut.

“Hari ini gue dijemput sama om Romeo,” ujar Kaldera menjawab pertanyaan Icha.

“Kirain lo dijemput sama mas Raegan. Eh, tapi om Romeo ganteng juga. Kal, boleh nggak gue ikut lo sampe ke parkiran? Gue mau liat om Romeo sebentar, aja. Please,” pinta Icha.

“Yaudah, iya. Liat aja ya, nggak pake acara kenalan,” ujar Kaldera.

“Iya-iya, lo tenang aja,” ujar Icha dengan wajah semringahnya dan sahabatnya itu nampak sangat bersemangat.

***

Kaldera awalnya menyebut tempat ini sebagai rumah. Namun Romeo mengatakan kalau tempat ini lebih tepat disebut sebagai markas bagi The Ninety Seven. Satu hal yang pasti, lokasi dan keberadaan markas The Ninety Seven tidak boleh diketahui oleh siapa pun, sekali pun sahabat Kaldera yang notabenenya termasuk ke dalam kategori orang asing. Jadi ketika Icha meminta mengenalkan Romeo padanya, Kaldera dengan tegas menolak. Biasanya orang yang berada di sekitar Kaldera, otomatis akan kenal juga dengan sahabatnya. Namun situasinya kini berbeda. The Ninety Seven bukanlah sembarang orang yang dapat Kaldera kenalkan pada sahabatnya. Itu lah kenyataan yang ada.

“Kal, boleh nggak gue nanya sesuatu ke lo?” tanya Romeo begitu mereka sampai. Dengan lihai Romeo telah memarkirkan mobilnya di parkiran basement.

“Boleh. Mau nanya apa?”

“Gimana caranya lo bisa percaya sama gue, Barra, dan Calvin? Kenapa akhirnya lo setuju buat nerima syarat itu dari Raegan?”

Kaldera seketika nampak berpikir, alisnya menyatu mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Romeo. Mereka masih di sana, mesin mobil masih menyala, dan Romeo tengah menatap Kaldera tepat di irisnya.

“Bahkan lo nggak tau identitas kita. Tapi emang lo seharusnya nggak tau Kal, ada alasan kenapa kita merahasiakannya dari lo,” ucap Romeo lagi, ekspresi wajahnya nampak begitu serius.

Kaldera lantas mengangguk paham. Kaldera mencoba untuk mengerti bahwa ia memang tidak boleh mengetahui identitas The Ninety Seven. Kaldera menghela napasnya, lalu menghembuskannya dengan pelan.

“Gue percaya sama kalian karena gue percaya sama mas Raegan. Mas Raegan nggak mungkin milih orang yang salah. Mas Raegan juga percaya sama kalian, jadi gue nggak ada alasan buat ragu,” jelas Kaldera akhirnya.

Detik berikutnya, Romeo pun mengulaskan senyumnya. “Okey, good girl,” ucap Romeo. Lelaki tampan itu lantas tertawa sampai menampakkan deretan gigi depannya yang rapi.

***

Kaldera telah melakukan beberapa kali percobaan untuk melempar bola bowling-nya. Calvin mengajarinya dengan begitu telaten. Mulai dari posisi tubuh yang benar ketika melempar, hingga cara melempar agar mendapat poin yang cukup tinggi.

Kaldera cukup bagus melakukannya dan Calvin kagum akan kemampuan cepat menangkapnya. Kaldera tipe yang tidak mudah menyerah akan suatu hal, ia pun mempunyai tekad yang kuat untuk dapat bisa melakukannya.

“Lo keren banget. Besok kita coba lagi, biar lo makin jago,” ujar Calvin seraya mengajak Kaldera ber-high five. Kaldera segera menyambut tangan Calvin dengan bersemangat.

“Habis ini lo ada kerja kelompok, kan? Barra sama Romeo lagi ada urusan. Kalau Raegan masih di kantor. Gue yang anter lo ke sana, gimana?” tanya Calvin. Lelaki itu kemudian berjalan mengambil air mineral dingin di kulkas dapur.

“Boleh,” ucap Kaldera. Sebenarnya tidak masalah bagi Kaldera siapa yang akan mengantar dan menjemputnya. Dengan diperlakukan baik seperti ini, Kaldera sudah merasa cukup dan begitu bersyukur.

***

Ketika Kaldera sampai di meja di mana beberapa para temannya sudah datang lebih dulu, Kaldera langsung diserbu oleh berbagai pertanyaan mengenai Calvin yang tadi mengantarnya. Pasalnya Calvin mengantar Kaldera sampai ke dalam kafe. Saat Kaldera sudah menemukan meja teman-temannya, Calvin baru meninggalkannya dari sana. Jadi mau tidak mau memang sebagian temannya telah tau bahwa setiap saat ada yang mengantar jemput Kaldera, tidak hanya ke sekolah, tapi kemana pun gadis itu pergi.

Mereka adalah 4 orang lelaki dewasa yang berusia 30 tahunan. Kaldera menjelaskan seadanya pada teman-temannya. Bahwa ketiga lelaki yang mengantar jemputnya adalah teman-temannya Raegan yang notebenenya adalah kakak dari mendiang pacarnya.

Sisanya Kaldera tidak mengatakan lebih jauh tentang mereka. Teman-temannya pun akhirnya mencoba untuk mengerti. Hakikatnya setiap orang berhak memiliki privasi dan ada batasan dalam mengetahui urusan orang lain.

“Kal, gue mau nanya deh. Tapi ini no offense ya,” celetuk Delisa, salah satu temannya yang sekelompok dengannya.

“Nanya apa Del?” Kaldera lantas menoleh ke arah Delisa.

Seketika tatapan semua orang yang ada di meja itu juga tertuju kepada Delisa. Perempuan berambut coklat sepunggung tersebut mengarahkan tatapannya lurus ke arah Kaldera.

“Mhmm… lo jangan tersinggung ya. Lo nggak curiga gitu Kal, mereka ada apa-apanya sama lo? Soalnya ... kayak nggak mungkin aja mereka baik ke lo tanpa alasan, kan? Nganter jemput lo ke sekolah, bahkan ke mana pun lo pergi deh kayaknya. Lo nggak takut gitu Kal, secara kan lo cewek dan mereka cowok-cowok dewasa.”

Selesai ucapan Delisa, Icha yang duduk di depan Delisa pun langsung melayangkan tatapan tidak sukanya kepada gadis itu. “Del, lo ngomong apa sih? Jelas-jelas Kaldera udah bilang kalau yang nganter jemput dia itu temen-temennya mas Raegan. Nggak mungkin lah mereka ada niat jahat ke Kaldera,” serbu Icha. Icha seperti tersulut emosi, gadis itu heran dengan Kaldera yang tampak tenang dan diam saja, padahal harga dirinya sedang berusaha dilukai oleh Delisa.

“Udah, Cha. Nggak usah dibahas lagi ya,” ujar Kaldera pada Icha. Kemudian tatapan Kaldera beralih menatap Delisa. “Del, apa yang udah jadi keputusan gue, itu adalah pilihan gue. Gue tau yang terbaik untuk gue dan lo nggak berhak untuk berspekulasi tentang itu,” pungkas Kaldera.

Usai ucapan tegas Kaldera, Delisa pun tidak lagi berbicara. Selama kerja kelompok berlangsung, Delisa menjadi lebih diam dari pada biasanya.

***

Kaldera sama sekali tidak tahu menahu bahwa Raegan yang akan menjemputnya di kafe. Raegan rupanya berada di salah satu meja yang tidak jauh dari meja yang Kaldera tempati bersama teman-temannya. Entah sudah berapa jam pria itu berada di sana. Namun atu hal yang dapat dipastikan, Regan sudah cukup lama duduk di tempat itu. Terbukti dari gelas minuman yang sudah habis dan piring yang hanya meninggalkan remahan croissant di meja pria itu.

“Mas Raegan sejak kapan di sini? Kok nggak bilang apa-apa sama aku?” tanya Kaldera yang kini tengah menghampiri Raegan ke mejanya. Beberapa temannya melihat ke arah Kaldera dan Raegan. Sebenarnya mereka sudah selesai mengerjakan tugas kelompok, tapi temannya memang ada beberapa yang belum dijemput atau masih ada yang ingin menikmati waktu dengan berbincang-bincang di kafe tersebut.

“Mas Raegan denger apa yang tadi dibilang sama temenku?” tanya Kaldera lagi. Kaldera merasa tidak enak jika benar Raegan mendengarnya. Tidak ada seorang pun yang pantas berbicara sesuatu mengenai orang lain, terlebih orang itu tidak tahu fakta yang sebenarnya terjadi.

“Kamu udah selesai kerja kelompoknya?” tanya Raegan. Kaldera segera mengangguk menjawab pertanyaan itu. Kaldera lantas meminta Raegan untuk menunggunya, sementara Kaldera akan berpamitan lebih dulu dengan teman-temannya yang tersisa.

Sesampainya Kaldera di meja teman-temannya, gadis itu mengambil tasnya di salah satu kursi. “Guys, gue duluan ya. Nanti kalau ada yang masih kurang, kabarin aja,” ucap Kaldera yang langsung diangguki oleh teman-temannya. Kaldera pun berlalu dari meja itu dan menyusul Raegan yang sudah lebih dulu melangkah keluar dari kafe.

Di perjalanan pulang, tidak ada percakapan yang terjadi di antara Raegan dan Kaldera. Setelah lampu merah pertama, Raegan membelokkan setir mobilnya ke arah sebuah toko buku yang besar dan terkenal cukup lengkap.

“Ada yang mau dibeli di sini Mas?” tanya Kaldera begitu Raegan telah sempurna memarkirkan mobilnya.

Raegan menoleh ke arah Kaldera yang berada di sampingnya, “Kemarin kamu bilang ada buku yang mau kamu beli. Kita beli sekalian, toko buku ini yang paling lengkap,” jelas Raegan.

Kaldera pun memasang tampang bingungnya. Kaldera bahkan lupa kapan ia pernah mengatakannya pada Raegan. Namun tidak ingin memikirkan itu lebih jeauh, Kaldera segera turun dari mobil. Sebuah senyum kecil tampak terulas di wajah Kaldera. Entah untuk alasan apa, Kaldera juga tidak terlalu paham. Satu yang jelas, Kaldera merasa bahagia karena ia bisa pergi ke salah satu tempat favoritnya.

***

Raegan dan Kaldera sedang dalam perjalanan pulang dari toko buku, jalanan Jakarta malam ini nampak cukup padat. Ketika mobil di depan mereka berhenti, Raegan otomatis menarik rem tangan dan menoleh ke arah Kaldera yang berada di sampingnya.

“Mas, soal omongan temanku di kafe tadi,” Kaldera memulai perkataannya, ia menjeda kalimatnya. Selama beberapa detik keduanya pun hanya saling menatap. Kaldera menunduk sejenak, ia berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk diutarakan kepada Raegan.

“Kata-kata itu nggak penting buat aku. Aku percaya sama kamu, Mas,” Kaldera menjeda ucapannya sesaat. Raegan mendapati kedua mata bulat Kaldera menatapnya dengan tatapan penuh arti. Entah apa makna tatapan itu untuk Raegan, tapi ketika melihatnya Raegan merasa begitu damai. Raegan tadi memang mendengar ucapan teman Kaldera. Ia pun sempat memikirkan kalimat apa yang harus Kaldera dapati yang mungkin dapat membuat orang berpersepsi buruk terhadap gadis itu.

“Makasih ya Mas, selama ini kamu udah ngelakuin yang terbaik. You tried to cheer me up when I’m feel sad. Walaupun itu bukan kewajiban kamu, tapi aku akan selalu berterimakasih dan bersyukur untuk itu,” ungkap Kaldera.

Raegan baru akan mengatakan sesuatu, tapi mobil di depan sudah bergerak maju. Jadi Raegan segera menjalankan mobilnya, kalau tidak ingin mobil di belakangnya membunyikan klakson.

Kurang lebih setelah menghabiskan waktu 20 menit di jalan, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Kali ini Raegan mengantar Kaldera sampai ke depan rumahnya. Raegan yang kadang memang bersikap suka semaunya, jadilah pria itu cenderung melakukan sesuatu sesuai apa yang ia yakini benar.

Kaldera pun tidak bisa mencegah itu. Mungkin kekhawatirannya selama ini yang terlalu berlebihan dan tidak beralasan. Toh hubungannya dengan Raegan hanya akan berjalan sampai kasus Zio selesai dan Aksa bisa bebas dari hukumannya. Jadi tidak ada yang perlu Kaldera khawatirkan. Setelah pelakunya terungkap, Raegan tidak perlu lagi melakukan semuanya untuk menjaga Kaldera, yang kemungkinan dapat berpotensi bagi pria itu untuk terlibat dengan tantenya.

“Mas, aku turun dulu ya. Sekali lagi makasih buat hari ini. Buat bukunya juga,” ucap Kaldera seraya mengulaskan senyumnya.

Raegan lantas mengangguk sekali. “Kamu hati-hati,” ucap Raegan sesaat sebelum Kaldera membuka pintu dan turun dari mobil.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂