Betrayal Revealed
Keesokan harinya.
Sekitar pukul 10 malam, terlihat Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah tampak sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya.
Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati keberadaan Marsha di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.
Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu.
Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.
“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.
“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.
Namun Marsha tidak kunjung bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.
“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.
Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Sesaat Marsha menyapukan pandangannya ke penjuru kamar ini, kamar yang dibuat Alvaro untuk ditempatinya khusus dengan Sienna.
“Spesial banget ya Sienna di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia? Berapa lama dia ada di hidup kamu, sampai kamu memperlakukan dia sebegininya, hmm?” ujar Marsha bertubi-tubi.
“Bukan urusan kamu sama sekali, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.
Marsha masih di sana dan kembali berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, tidur di kamar berdua, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”
Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka. Alvaro menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.
Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskannya.
“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya?” Marsha berujar dengan suaranya yang lantang. “Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”
“Tutup mulut kamu Sha.” Alvaro berujar sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, mereka berhadapan dan saling menatap lurus satu sama lain.
“Aku berhak untuk bicara, ini menyangkut anak aku juga. Bukannya kenyataannya emang kayak gitu? Kamu dan Sienna menampilkan hal yang seolah-olah terasa benar di depan Gio,” papar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.
Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah begitu saja, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.
“Aku akan menangin hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kalau kamu udah jadi ayah yang gagal, dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”
Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.
“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.
Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakinnya Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”
Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja.
Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang harus kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”
Marsha tersenyum menang karena kalimatnya telah berhasil membuat Alvaro menghentikan langkahnya. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap.
Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.
“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur amarah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.
“Jawab aku, Sha! Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.
“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”
DEGH.
Ucapan Marsha membuat jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak, dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk mata.
Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.
“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.
“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.
Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri.
Alvaro belum bergerak sedikit pun. Di ruangan besar itu, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak-ngoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.
Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu, mengetahui bahwa Gio bukanlah anak kandung. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.
Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.
Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberi cobaan seberat ini untuknya? Dan berbagai pertanyaan 'mengapa' lainnya yang terus berputar di kepala Alvaro.
Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya.
Ini seperti tamparan kuat bagi Alvaro. Mengetahui seorang yang ia cintai bukan bagian dari dirinya, merupakan perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭