Buah dari Kesabaran
Ini merupakan hari Sabtu. Kalau biasanya Sienna akan menghabiskan waktu paginya di akhir pekan untuk tidur ; sampai paling tidak jam 12 siang, kali ini ia tidak melakukannya. Pukul 10 pagi, Sienna telah ikut bersama Renata untuk berbelanja bahan makanan ke supermarket.
Seperti yang telah direncanakan, malam ini Alvaro dan Gio akan datang ke rumah untuk makan malam atas undangan dari Fabio. Sienna nampak berseri-seri sekali wajahnya, sampai Renata yang memperhatikan putrinya itu ikut senang juga.
“Mah, Alvaro nervous banget tau karena papa undang makan malem. Semalem kita video call-an, terus Sienna temenin dia sampai bisa ngantuk, soalnya dia gak bisa tidur saking gugupnya,” cerita Sienna sembari mendorong troli belanjaan, mengikuti langkah Renata dari belakang.
Renata sedang meminta petugas supermarket untuk memotong beberapa slice daging steak sirloin. Nampaknya acara makan malam ini sungguh spesial, Renata sampai belanja sebanyak ini dan akan memasak hidangan yang fancy.
Renata lantas menoleh ke belakang dan bertanya pada Sienna, “Emang kamu belum kasih tau Al kalau papa udah restuin hubungan kalian?”
“Belum,” Sienna menggeleng.
“Kamu nih. Kasian kan, Al jadi khawatir gitu. Kenapa nggak dikasih tau aja?” Renata memasukkan kantong plastic berisi daging sirloin yang telah di slice ke dalam troli belanjaan.
“Biar surprise dong, Mah. Sienna pengennya Al langsung tau dari papa,” ujar Sienna, senyum di bibirnya otomatis terukir.
“Yaudah kalau gitu. Papa kamu juga baru kasih tau Mama kemarin, karena katanya itu hukuman buat Mama. Soalnya Mama kan sempet ikutan bantuin kamu bohong ke papa, pas kamu pergi ketemu sama Al, padahal papa udah larang.”
Sienna kemudian terkekeh. “I’m sorry, Mam. Tapi makasih ya udah bantuin Sienna.”
“Gimana coba kalau papamu nggak restuin kamu sama Al? Bener emang katanya kamu nggak mau nikah sama laki-laki selain Al?” Renata bertanya yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Renata hanya penasaran bagaimana pandangan dan keseriusan putrinya dalam menjalani hubungannya dengan Alvaro.
Sienna kemudian mengangguk yakin untuk menjawab pertanyaan Renata. “Mungkin Sienna bakal tetep nikah kalau nggak sama Al, tapi pasti perasaannya beda, Mah.” Sienna membayangkan hal itu. Rasanya jika ia bersama orang lain, ia tidak akan bisa melupakan perasaannya yang ia miliki terhadap Alvaro. Alvaro akan tetap memiliki tempat spesial di hatinya, maka harapan Sienna adalah bisa hidup bersama orang yang telah sepenuhnya memiliki hatinya.
“Mah, Sienna nggak mau cari laki-laki lain yang menurut papa pantes buat Sienna. Sienna milih Al bukan karena dia yang paling pantes buat Sienna, tapi karena Sienna mau hidup selamanya sama Al, bukan orang lain.”
***
Pukul 7 malam, Alvaro dan Gio telah datang ke rumah, dan karena sudah jamnya makan malam, jadi mereka akan langsung menikmati hidangan yang telah tersaji cantik di meja makan.
Terdapat banyak makanan, mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga hidangan penutup. Renata menyiapkan camilan kesukaan Gio, yakni es krim dan coklat. Khusus malam ini, Alvaro memperbolehkan anaknya untuk menikmati makanan manis kesukaannya.
Di meja makan itu, kini terdapat orang tua Sienna, kakaknya, adiknya, Sienna, Alvaro, dan juga Gio. Fabio sebelumnya telah membuat briefing, bahwa ada yang penting yang perlu disampaikan setelah makan malam selesai. Jadi yang ada di sana nantinya hanyalah yang berkepentingan saja.
Setelah sekitar 30 menit mereka menyantap makanan, Renata meminta Valiant dan Christo untuk mengajak Gio bermain di kamar. Orang dewasa mempunyai urusan yang harus diselesaikan, jadi ada waktunya bagi anak kecil untuk tidak terlibat dulu.
Di meja makan itu, kini tersisa Fabio, Renata, Sienna, dan Alvaro. Fabio baru saja meneguk teh manis di gelasnya. Setelah meletakkan gelasnya di meja, Fabio berdeham sekali lalu ia berujar, “Alvaro, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu.”
Alvaro yang duduk di hadapan Fabio lantas mengarahkan tatapannya pada Fabio. Satu kali Alvaro menoleh pada Sienna yang berada di sampingnya. Tatapan Alvaro terlihat khawatir ketika netranya bertemu dengan netra Sienna. Sienna lantas hanya mengulaskan senyum teduhnya, lalu satu tangannya di bawah meja bergerak menggenggam tangan Alvaro yang ada di atas pahanya.
“Saya sudah memikirkannya selama seminggu belakangan ini. Ada banyak hal yang saya pikirkan. Sebagian tentang hubungan kamu dan Sienna, sebagian lagi tentang Gio. Saya ketemu Gio waktu dia nunggu Sienna di studio. Tanpa saya duga, kata-kata Gio berhasil meluluhkan hati saya.”
Alvaro mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Fabio ucapkan. Terdapat perbedaan dari cara Fabio menatapnya. Kalau dulu tatapan itu begitu dingin dan tidak bersahabat, kini ada secercah keteduhan dan kelembutan yang terpancar dari sana.
“Saya sadar akhirnya kalau selama ini saya terlalu menutup hati, hingga saya nggak bisa melihat kebaikan seseorang. Saya terlalu egois dengan cuma mikirin kebahagiaan Sienna, tanpa tau kalau saya memisahkan kamu, Sienna, dan Gio, ada kebahagiaan lain yang saya hancurkan. Saya minta maaf atas perlakuan saya sebelumnya kepada kamu.” Fabio menjeda ucapannya. Lelaki berusia 50 tahunan di hadapan Alvaro itu nampak menghembuskan napasnya dan terlebih, kedua mata itu terlihat berkaca-kaca ; hal yang jelas belum pernah Alvaro dapati di depan matanya.
Tanpa Alvaro sadari, kedua matanya juga terasa memanas. Alvaro berusaha kuat menahan air matanya agar tidak tumpah.
Kembali lagi Alvaro menatap Fabio ketika lelaki itu berujar, “Saya merestui hubungan kamu dengan Sienna. Saya mengizinkan kamu untuk bersama anak saya, karena saya percaya kamu dapat membahagiakannya.”
Lantas setelah mengatakannya, Fabio beranjak dari duduknya. Fabio menghampiri Alvaro dan mengajaknya berjabat tangan, seperti tanda bahwa kedua orang itu telah berdamai. Tidak ada lagi perseteruan di antara mereka, dan Fabio telah sepenuhnya merelakan putrinya untuk bersama lelaki pilihannya.
Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Alvaro menyambut uluran tangan Fabio. Sienna dan Renata menatap kejadian itu dengan senyuman haru dan mata yang juga sudah berkilat karena air mata yang tertahan.
Begitu tangan Fabio menjabat tangannya, Alvaro merasakan genggaman itu sedikit menguat.
“Dua puluh lima tahun saya menjaga Sienna dan berusaha selalu memastikan agar dia bahagia. Sekarang saya menyerahkan tanggung jawab itu kepada kamu, dan saya harap kamu mampu memegang tanggung jawab itu dengan baik.”
Atas permintaan Fabio tersebut, Alvaro menganggukinya dengan sebuah anggukan yakin. Begitu Fabio meraih Alvaro ke pelukannya, Alvaro nampak sedikti terkejut.
Fabio menepuk sekali punggung Alvaro dengan pelan, lalu Fabio berujar di dekatnya, “Terima kasih, kamu sudah hadir di hidup Sienna dan jadi alasan dia untuk bahagia.”
Alvaro nampak mengulaskan senyum harunya. Setelah pelukan itu terurai, Alvaro berujar kepada Fabio. “Terima kasih Om. Terima kasih sudah memberi restu untuk hubungan saya dan Sienna.” Alvaro mati-matian berusaha mengucapkan kalimat itu, ketika lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata. Namun detik setelahnya, pertahanan Alvaro akhirnya runtuh juga. Alvaro tidak lagi sanggup menahan air matanya untuk tidak tumpah.
***
Fabio telah mendengar kabar bahwa Sienna dan Alvaro sempat membicarakan soal pernikahan. Renata sudah tau itu terlebih dulu. Jadi setelah Alvaro menyelesaikan urusan perceraiannya dengan Marsha, Alvaro tidak ingin menunggu lama untuk meresmikan hubungannya dengan Sienna.
Kabar itu sungguh membahagiakan. Meski rasanya begitu cepat dan tentu sebagai orang tua, tetap terasa berat ketika harus melepas anak mereka untuk memulai hidup baru dengn seseorang yang dicintai. Namun begitulah kehidupan, akan ada perubahan-perubahan yang di awal terasa tidak mudah diterima.
Sekitar pukul 9 malam, Alvaro memutuskan pamit dari rumah itu. Ada yang berbeda kali ini, Alvaro tidak pulang bersama Gio. Alvaro sebelumnya telah berjanji pada Gio agar anak itu diperbolehkan menginap di rumah Sienna. Tadi sebelum berangkat, Gio telah membawa pakaian di alam ransel miliknya, bocah itu telah sangat siap untuk menginap.
Alvaro pulang sendiri akhirnya. Setelah berpamitan pada Fabio dan Renata, kini Alvaro berpamitan pada anaknya.
“Bener nih kamu nggak mau ikut Papa pulang?” Alvaro mencoba triknya sekali lagi, mana tahu Gio ingin ikut pulang dengannya.
“Nggak mau, Papa. Gio mau tidur sama Bunda malam ini. Papa pulang sendiri ya.” Dengan lugasnya Gio menjawab pertanyaan papanya.
Lantas Sienna, Fabio, dan Renata yang menyaksikan interaksi anak dan ayah di hadapan mereka itu hanya dapat mengulaskan tersenyum.
“Kamu nggak kasian sama Papa? Papa sendiri lho di rumah kalau nggak ada kamu,” ujar Alvaro lagi.
Gio nampak berpikir, lalu dua detik setelahnya anak itu kembali menjawab. “Kan di rumah ada banyak orang. Ada om Aufar, mbak Gina, mbak Ida, pak Amar, tuh banyak kan Papa.” Jawaban Gio sukses mengundang tawa orang-orang dewasa yang ada di sana.
“Gio mau bobo sama Bunda Sienna di kamar bunda,” ucap Gio lagi.
“Gio tidur di kamar Nenek sama Kakek aja, gimana? Kan Nenek juga mau tidur sama Gio, nanti Nenek beliin Gio mainan deh. Mau ngga?” celetuk Renata yang segera membuat Gio menoleh ke arahnya.
“Hmm ... nanti dulu ya Nenek. Lain kali deh beneran. Gio malam ini mau tidur sama bunda dulu,” jawab Gio dengan nada sok dewasanya. Seolah anak itu yang mengatur semuanya, dan semua orang harus menurutinya.
“Oke, bener ya. Besok kalau nginep lagi, Gio tidurnya sama Nenek ya?”
“Iya, Nenek,” sahut Gio diiringi senyum lebarnya, tidak lupa anak itu mengacungkan satu ibu jarinya kepada Renata.
Akhirnya setelah percakapan itu, Alvaro sungguhan pamit dan berlalu dari sana. Sienna dan Gio mengantar Alvaro sampai ke mobil, sementara Fabio dan Renata memilih masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Say good bye dulu sama Papa,” ujar Sienna meminta Gio untuk berpamitan pada Alvaro.
“Good bye, Papa. It’s oke to be alone, Papa. Kemarin Papa terus yang bobo sama Bunda, sekarang gantian Gio dulu ya.” Gio malah meledek Alvaro, tahu saja kalau papanya itu posesif terhadap bunda Siennanya dan mereka juga sering cemburu satu sama lain. Tidak Alvaro, tidak Gio, mereka menjadikan Sienna bahan rebutan.
Alvaro belum masuk ke mobilnya, lelaki itu lantas mengarahkan tangannya untuk kemudian mengusap puncak kepala Gio. “Jadi anak baik ya, nurut sama Bunda selama kamu di sini,” ujar Alvaro pada anaknya.
Setelah dari Gio, Alvaro beralih pada Sienna. “Gue pulang dulu. Titip Gio ya,” ujar Alvaro sembari mengusap puncak kepala Sienna dengan lembut.
Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Sudah biasa Alvaro melakukannya, tapi kali ini terasa ada yang berbeda. Sienna merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dan ia hanya dapat membeku di tempatnya. Sienna merasa tingkahnya jadi aneh, dan ia hanya berharap semoga Alvaro tidak menyadari itu.
Begitu Alvaro sudah memasuki mobilnya dan berada di balik kemudi, lelaki itu menatap Sienna leka-lekat dan senyum lebarnya terulas. “You look so happy today,” celetuk Alvaro.
Gio meminta Sienna agar mereka masuk, anak itu sudah meraih tangan Sienna dan merengek minta masuk ke rumah. Namun Gio hanya mendapat angin lalu saja, ia diabaikan karena kedua orang dewasa di hadapannya sedang asik menikmati belenggu cinta, tidak sadar bahwa ada manusia lain selain mereka.
“I’m so happy tonight,” Alvaro kembali berucap, masih mempertahankan senyumnya dan menatap Sienna dengan tatapan penuh afeksi.
“Good night, Sky. Have a sweet dream, ya.” Dua kalimat itu Alvaro ucapkan sebelum ia menutup kaca mobilnya. Setelah itu, range rover putih milik Alvaro benar-benar berlalu dari hadapan Sienna dan Gio.
Beberapa meter setelah mobil itu berlalu, senyum Sienna masih setia terulas di wajahnya ; nampaknya senyum itu belum ingin luntur sedikitpun.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭