Edgar Archie Zachary and His Life
Jika berbicara tentang keistimewaan, bagi seorang Edgar Archie Zachary, rasanya tidak ada definisi kata istimewa di dalam hidupnya. Istimewa atau spesial adalah sesuatu yang tidak biasa, berarti, dan berharga. Edgar pun merasa, tidak ada yang spesial pada hidupnya. Di usianya yang tahun ini menginjak angka 21, Edgar merasa hidupnya biasa-biasa saja. Layaknya seperti laki-laki seusianya, Edgar menjalani rutinitasnya dengan berkuliah, bersosialisasi, mengikuti kepanitian kampus, dan lain-lain. Terlihat normal dan semuanya tertata sesuai bagaimana mestinya.
Rasanya hidupnya lempeng-lempeng saja. Edgar hampir selalu terlihat santai dan cenderung tidak suka ambil pusing terhadap hal-hal yang menurutnya kurang penting. Moto hidup Edgar adalah, kalau ada yang mudah, maka jangan sampai dibuat menjadi sulit.
Di sebuah kamar dengan nuansa monokrom hitam dan putih, seorang Edgar pagi ini baru saja membuka kelopak matanya. Yang dilakukan lelaki itu pertama kali adalah mengecek ponsel untuk melihat pukul berapa saat ini. Oke, ia tidak akan terlambat kuliah hari ini. Edgar masih memiliki waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk bersantai dan mengumpulkan nyawanya.
Kedua mata Edgar yang masih terasa mengantuk itu akhirnya kembali terpejam. Namun belum sempat dirinya pergi, sebuah ketukan di pintu kamar sukses memecah perjalanannya menuju alam mimpi.
“Edgar, ini Bunda,” ujar sebuah suara yang terdengar dari balik pintu.
“Iyaaa Bundaaa. Edgar udah bangun kok,” sahut Edgar dari dalam kamarnya.
“Buka dulu pintunya,” ujar suara itu lagi, terdengar untuk kedua kalinya memasuki indera pendengaran Edgar.
Edgar akhirnya beranjak dari ranjang empuknya, ia tidak akan enggan jika itu menyangkut Bundanya.
Edgar berjalan dengan sedikit gontai dan agak oleng menuju pintu. Lalu setelah membuka kunci pintu kamarnya, ia menemukan sosok Bundanya di sana.
“Abang, jangan mepet mulu kalau berangkat kuliah, dong. Jangan dibiasain kayak gitu yaa, Bang. Yang lain udah di meja makan mau sarapan, kamu baru melek. Ayo cuci muka dulu, terus sarapan bareng ya. Jangan sampe Papamu yang bangunin lho,” tutur Bundanya.
“Iya, Bunda. Edgar mandi dulu deh lima belas menit, terus langsung turun buat sarapan,” ucap Edgar dengan mata yang terpejam.
“Buka dulu matanya, Abang Edgar. Ya tuhan,” lagi, Bundanya berucap dengan nada keheranan melihat tingkah putra keduanya itu.
“Iya, Bundaku, Cintaku,” Edgar berucap dengan nada sok manis diiringi senyum lebar khasnya. Sebelum Bundanya berlalu dari hadapannya, dengan cepat Edgar memberi ciuman di pipi wanita yang dicintainya itu. Kemudian Bundanya hanya menggeleng heran terhadap tingkah putranya. Meski putranya itu tampak lempeng dan cenderung santai menanggapi hampir segala hal, tapi yang tidak pernah terlupakan dari Edgar adalah caranya menunjukkan kasih sayang kepada keluarganya. Itu berarti besar bagi Sienna, tentu saja.
“I love you, Bunda,” ucap Edgar sebelum benar-benar menutup pintu dan meninggalkan Sienna di sana.
***
Di meja panjang di kediaman keluarga Zachary, pagi ini terlihat para anggota keluarga telah berkumpul. Ada sang Papa yang duduk di kursi paling ujung meja, di sampingnya ada Bundanya. Kemudian ada si sulung yang merupakan Abangnya Edgar, dan perempuan yang merupakan si bungsu.
Edgar merupakan anak kedua dari tiga bersaudara di keluarganya. Edgar memiliki seorang Abang dan Adik. Mereka bertiga dibesarkan di dalam keluarga yang penuh dengan kasing sayang dan sangat harmonis. Papa dan Bundanya adalah figur yang selalu menjadi inspirasi bagi Edgar. Papa dan Bundanya merupakan sosok yang pekerja keras, penyayang, dan memiliki rasa simpati tinggi kepada orang sekitar. Abangnya adalah sosok yang berwibawa dan sangat mengayomi. Adiknya merupakan sosok yang sangat lembut dan perhatian terhadapnya, meski kadang suka menjahilinya. Jadi rasanya, tidak ada beban berarti di hidup Edgar.
Edgar jadi yang paling terakhir bergabung, ia menarik kursi di samping adik perempuannya dan segera mendaratkan pantatnya di sana.
“Kamu kuliah jam berapa Bang?” tanya sang Papa sambil menatap heran kepada Edgar.
“Jam 8 nih Pah,” jawab Edgar, lalu ia mengambil piring dan mengisinya dengan menu sarapan.
“Beneran? Kok jam segini udah siap aja? Tumben banget,” ujar Papanyalagi sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya dan menemukan bahwa sekarang waktu baru menunjukkan pukul 7 kurang.
“Bagus dong, Pah. Pelan-pelan ada perubahan baik. Abang Edgar berusaha nggak mepet lagi kalau berangkat kuliah,” ucap Bundanya yang mengarahkan tatapannya pada Edgar sambil mengulaskan senyum lembut.
Edgar lantas ikut menorehkan senyumnya. Edgar tampak senang pagi ini, ternyata bangun lebih pagi dan bersiap lebih cepat membuat mood-nya terasa lebih baik juga.
“Tumben Abang bisa bangun. Bunda pasti bangunin Abang. Kalau enggak, mana bisa tuh Abang bangun pagi,” celetuk Amanda si bungsu.
Edgar seketika menoleh pada adiknya, “Bocil diem aja deh,” ucap Edgar sembari mengacak rambut Amanda yang telah tampak rapi. Amanda terlihat kesal dengan aksi kakaknya, tapi setelah itu Edgar langsung meminta maaf dan merapikan kembali tatanan rambut adiknya.
“Bang Edgar sih belum punya cewek, jadi dibanguninnya masih sama Bunda,” kini giliran Papanya yang justru meledeki Edgar. Amanda yang mendengar celetukan itu sukses tertawa dan memang kompak sekali dengan Papanya kalau sudah urusan menjahili Edgar.
“Dari pada Abang Gio ceweknya banyak, Edgar mah mau setia sama satu cewek aja nanti,” ucap Edgar dengan nada santai dan wajah lempeng khasnya. Edgar memang bukan tipe yang akan mudah tersinggung. Beberapa kali orang-orang di sekitarnya kerap menyindirnya soal statusnya yang belum memiliki kekasih, tapi Edgar tetaplah Edgar yang teguh pada pendiriannya. Jika ia belum menjalin hubungan, maka artinya ia belum ingin dan belum ada sosok yang begitu diinginkannya.
“Mana ada cewe Abang banyak, itu mah cuma gosip, Gar,” sahut Gio menanggapi ucapan Edgar.
“Resiko jadi artis Bang, terima lah. Bukannya gosip malah bikin nama artis jadi makin naik ya?” balas Edgar.
“Ya nggak gitu juga. Tetep aja, jadi bahan gosip itu nggak enak lho,” tutur Gio.
Edgar akhirnya hanya mengangguk-angguk paham. “Terus enaknya jadi artis tuh apaan sih Bang?” tanya Edgar yang nampak penasaran. Pasalnya, Gio sudah menjadi artis sejak usianya menginjak 12 tahun dan menurut Edgar itu adalah usia yang sangat muda. Hingga kini usia Gio menginjak 29 tahun, namanya telah cukup besar dan dikenal di dunia entertain.
“Enaknya bisa punya duit sendiri, gajinya lumayan gede juga,” ujar Gio sambil sedikit tertawa.
“Abang Edgar, semua pekerjaan itu ada enak dan ada enggaknya, lho,” ujar Sienna menjelaskan pada putranya.
“Bener tuh kata Bunda. Selama kamu tekun, rajin, dan cinta sama pekerjaan kamu, kamu bakal bisa nikmatin dan nggak kerasa itu jadi beban. Kalau kamu capek tapi kamu bahagia jalaninnya, berarti kamu ada di jalan yang tepat,” tambah Papanya.
“Kalau Abang kenapa nggak mau jadi artis juga kaya Papa sama Bang Gio?” celetuk Amanda sambil menoleh kepada Edgar.
Ucapan Amanda itu lekas membuat semua pasang mata di sana menatap ke arah Edgar. Edgar terdiam sebentar, ia sebenarnya tidak punya alasan pasti, hanya saja ia tidak menginginkannya. Sederhananya, Edgar hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh hatinya.
“Nggak mau aja, nggak punya alasan tertentu sih buat nolak. Edgar uma ikutin kata hati,” ucap Edgar diiringi senyuman khasnya. Seperti yang sudah-sudah, jawaban Edgar tetap sama jika ditanya soal hal tersebut.
Edgar memiliki wajah tampan yang menarik untuk dipandang. Jadi wajar saja banyak film maker maupun produser yang menawarinya untuk menjadi publik figur. Parasnya itu mirip sekali dengan Bundanya, sedikit mirip Papanya juga dan ia mendapatkan ketampanan juga dari sang Papa. Papanya merupakan aktor senior dan Abangnya merupakan aktor serta model yang namanya sudah cukup dikenal di kancah dunia hiburan.
Sejak usia remaja, Edgar banyak mendapat tawaran untuk mengikuti jejak karir Papa dan Abangnya, tapi kembali lagi, lelaki itu konsisten menolak. Edgar rupanya lebih memilih hidup menjadi orang biasa, katanya, ia tidak ingin terkenal dan disoroti kamera. Menurut Edgar, hidup menjadi selebriti itu sulit dan cukup merepotkan. Edgar ingin hidup yang lempeng-lempeng saja, mulus, dan tanpa rintangan berarti. Soal kuliah, Edgar juga tidak terlalu berambisi. Asalkan ia bisa lulus tepat waktu, ia sudah bersyukur. Baginya hidup ini hanya sekali, jadi ia perlu menikmatinya dengan baik.
***
Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸
Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕