Extra Part : Heal, Learn, and Grow Together with Love
Di sebuah Minggu siang di kediaman yang megah, tampak orang-orang berlalu lalang tengah sibuk mempersiapkan sesuatu.
Di teras depan rumah yang cukup luas, telah tersaji berbagai jenis makanan yang tampak lezat dan menggoda di meja putih panjang.
Ketika memasuki rumah dan mengintip ke dalamnya, ditemukan lagi sajian prasmanan yang telah ditata rapi. Terdapat menu makanan pembuka, ada makanan utama, serta makanan penutup. Berbagai jenis minuman juga tersaji dan para tamu apa mengambilnya sendiri. Bisa diperkirakan bahwa memang ada acara penting yang diadakan oleh sang tuan rumah.
Kemunculan sosok lelaki bertubuh jangkung, dengan rambut berpotongan mullet yang tampak stylish untuknya, serta sebuah senyum tampan yang mengembang di wajahnya—seketika mampu menarik perhatian semua pasang mata di sana.
Mereka rupanya juga telah menunggu hadirnya sosok tersebut. Kehadiran lelaki itu tidak sendiri, muncul sosok laki-laki yang terlihat lebih muda dan seorang anak perempuan yang lebih kecil lagi. Giorgino Gavi Zachary merupakan si anak yang paling besar itu, ia memiliki adik laki-laki dan adik perempuan yang sangat ia sayangi. Edgar Archie Zachary merupakan adik pertamanya dan adik keduanya, Amanda Belvania Zachary.
Meskipun ketiganya lahir dari rahim perempuan yang berbeda, tapi mereka mempunyai cinta yang sama dan saling menyayangi satu sama lain.
Setelah bertahun-tahun berlalu, Alvaro dan Sienna memutuskan menjaga rahasia itu dari Gio. Jadi Gio hanya sebatas tahu bahwa orang tua kandungnya adalah Alvaro dan Marsha. Kedua orang tuanya bercerai, dan Alvaro menikah untuk kedua kalinya dengan Sienna. Gio memiliki ibu smbung dan adik satu bapak beda ibu. Ada alasan mereka memutuskan menjaga kebenaran itu. Semata-mata mereka hanya ingin menjaga nama baik Marsha di mata Gio. Karena bagaimana pun yang terjadi di masa lalu, Marsha tetaplah ibu kandung Gio, dan pasti berat bagi seorang anak mengetahui bahwa ibunya telah mengkhianati pernikahan dengan ayahnya. Sampai sekarang, sosok yang merupakan ayah biologis Gio tidak pernah muncul, jadi lebih baik Gio tidak mengetahui sosok itu dan hanya tahu bahwa ayahnya adalah Alvaro.
Gio sangat menyayangi adik-adiknya. Kenyataan adanya DNA yang berbeda yang mengalir di tubuh mereka, tidak menjadi penghalang dan adanya batasan dalam hal saling mengasihi. Gio, Edgar, dan Amanda memiliki kedua orang tua yang sangat mencintai mereka, seorang papa dan bunda yang telah merawat dan membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang.
“Ini dia aktor kita yang ditunggu-tunggu,” cetus seorang wanita yang lantas segera dihampiri oleh Gio.
“Halo, Ibu Produser,” sapa Gio sembari menjabat tangan Natalie.
“Bener-bener udah tua ya gue dipanggil Ibu sama lo. Lo udah kayak anak gue sendiri tau gak. Dari gue liat lo sekecil piyik, sampe sekarang udah gede, udah jadi aktor di production house gue.”
Sejak menginjak usia 12 tahun, Gio telah memulai karirnya sebagai seorang aktor cilik pada masa itu. Hingga kini saat lelaki itu beranjak remaja dan berusia 19 tahun, telah banyak judul yang dibintangi olehnya dan membuat namanya sebagai aktor semakin besar hingga saat ini.
Sang tuan rumah di sana, Alvaro dan Sienna, mereka tampak serasi menggunakan pakaian berwarna senada. Keduanya menyambut para tamu yang diundang ke kediaman mereka dengan penuh suka cita.
Hari ini memang kebanyakan para tamu yang diundang ke sana adalah dari kalangan film maker maupun petinggi perusahaan rumah produksi film. Karena sejatinya acara tersebut diadakan sebagai bentuk perayaan atas pencapaian besar dari film layar lebar yang dibintangi oleh Gio.
Para anggota keluarga juga hadir, ada teman artis sejawat, dan sosok produser yang sudah kenal dekat dengan Alvaro, Parvez dan Natalie. Semua begitu bangga dengan kesuksesan yang diraih oleh Gio di usianya yang masih terbilang sanagt muda.
Gio berada di bawah naungan agensi milik Natalie, berbeda dengan agensi yang menaungi Alvaro yakni milik Pavez. Natalie membujuk Gio untuk bergabung dengan agensinya dan berniat membesarkan namanya, itu terbukti hingga saa ini, Natalie telah berhasil membuat nama Gio jadi besar di dunia seni peran.
“Al, gimana kalau kita bikin judul baru untuk mempertemukan dua aktor hebat kita ini? Untuk lo sama Gio, kayaknya bakal pecah banget,” ujar salah seorang sutradara dari Vicinema yang juga ada di sana.
“Boleh tuh, Mas. Nanti kita omongin aja, gampang lah itu,” ucap Alvaro.
“Kalau kira-kira temanya tentang keluarga gitu, apa nggak sekalian aja ajak istri lu baut main film?” Ghani kembali menyuarakan pendapatnya.
“Kalau itu harus ditanya dulu sama istri saya, Mas.”
Setelah mengatakannya, Alvaro lantas beralih pada Sienna. Ia memanggil istrinya setelah sebelumnya sedang berbincang dengan para tamu perempuan di sana.
“Gimana, Sayang? Mas Ghani nawarin kamu main film nih, bareng aku sama Gio,” ungkap Alvaro.
“Saya nggak bisa akting lho, Mas Ghani,” ujar Sienna kepada Ghani.
Lantas kehadiran Gio ditengah-tengah Alvaro, Sienna, dan Ghani menginterupsi percakapan mereka. “Bunda, kita nggak ada yang tau lho kalau belum dicoba. Siapa tau Bunda bisa akting, kan seru nanti kalau kita shooting sekeluarga barengan,” ujar Gio.
Di situasi tersebut, sebagai seorang CEO dan telah berkecimpung lama di dunia entertain, Parvez justru memberi tawaran utuk kedua adik Gio agar mengikuti jejak kakak mereka menjadi artis.
Alvaro lantas memanggil kedua anaknya, Edgar dan Amanda yang sebenarnya ketika ditanya soal berakting di depan kamera, mereka belum terlalu paham.
“Itu lho Dek, yang kayak Abang sama Papa. Shooting gitu, nanti adek jadi artis,” ujar Edgar yang tampaknya lebih paham dari si kecil Amanda.
“Kalau Abang mau, Adek juga mau. Tapi sama Bang Edgar, sama Bang Gio, sama Papa juga ya shooting-nya,: celoteh Amanda yang sukses mengundang orang-orang di sana. Sosok Amanda kecil yang fasih berceloteh, cantik, dan juga pintar, jelas menarik perhatian para produser film untuk menawari anak itu menjadi artis cilik. Sebenarnya sudah sejak lama ada omongan itu, tapi Alvaro mengira bahwa itu hanya sekedar wacana, ternyata Parvez cukup gencar membujuknyam memberi izin anak-anaknya terjun ke dunia entertain.
“Adek masih terlalu kecil. Abang Edgar aja dulu ya, Dek,” tiba-tiba Alvaro nampak tidak setuju dengan ide itu. Baginya putrinya masih terlalu kecil untuk terjun ke dunia entertainment.
“Papa, Adek kan mau juga,” Amanda cemberut, ia merasa bahwa dirinya sudah cukup besar untuk bisa ikut shooting. Padahal kenyataannya ia tidak tahu bahwa dunia hiburan begitu kompleks dan memiliki jalan yang terjal.
Di saat Alvaro memberikan pengertian pada putrinya, Sienna beralih menghampiri Gio untuk menanyakan sesuatu.
“Bang, kamu udah hubungin Mama? Mama jadi dateng ke sini, kan? Udah jam segini lho, coba kamu telfon deh Bang,” ujar Sienna pada Gio.
“Mama jadi dateng kok, Bun. Tadi Gio udah chat Mama. Mungkin masih di jalan, in ikan weekend, kayaknya lumayan macet deh,” terang Gio.
Tidak lama setelah Sienna berlalu dari Gio, Gio mendapati sosok yang tadi jadi perbincanganya dengan Sienna. Sosok itu terlihat kemunculannya di antara kerumunan orang yang lain. Gio yang mendapati sosok Marsha di sana segera menghampirinya.
Gio berjalan beberapa langkah, menembus orang-orang yang cukup padat memenuhi tempat itu. Ketika sampai di hadapan Marsha, Gio mengulaskan senyumnya.
“Nak, selamat ya buat film barunya,” ujar Marsha begitu mendapati sosok Gio di hadapannya. Tatapan wanita itu pada Gio nampak bangga dan berbinar-binar bahagia.
“Mama bangga bange sama kamu,” ujar Marsha lagi, suaranya terdengar sedikit tertahan. Ada kesedihan yang coba wanita itu sembunyikan, tapi ia tidak ingin memperlihatkannya di hadapan Gio. Anaknya hari ini tengah berbahagia, jadi Marsha akan menunjukkan bahwa ia juga ikut bahagia.
“Iya, Mah. Makasih ya udah dateng,” balas Gio.
Terkadang Gio masih merasakan rasa perih itu di dalam hatinya saat mengingat apa yang terjadi pada kedua orang tuanya di masa lalu. Namun sejatinya tidak seorang pun bisa mengubah takdir yang telah ditetapkan. Perceraian Papa dan Mamanya adalah hal yang tidak mudah dilupakan olehnya. Meskipun saat itu masih kecil dan belum terlalu mengerti, Gio masih dengan jelas mengingat memori menyakitkan itu di dalam benaknya.
“Mah, ayo masuk. Papa sama Bunda ada di dalam, ada Oma juga,” ujar Gio yang lantas mengajak Marsha untuk masuk ke dalam rumah.
Marsha mengagguk sekilas, lalu ia mengikuti langkah Gio untuk masuk ke dalam.
Ketika Marsha menatap putranya yan gtelah beranjak akan dewasa, berbagai perasaan terasa campur aduk pun dirasakannya. Di satu sisi penyesalan itu masih ada. Marsha menyesal mendapati kenyataan bahwa bukan dirinyalah yang sepenuhnya membesarkan Gio sampai bisa jadi anak yang hebat dan membanggakan seperti ini.
Marsha memang belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Gio, tapi Gio telah berhasil tumbuh menjadi anak yang begitu hebat. Marsha menyadari bahwa Gio bisa jadi seperti sekarang, itu karena peran seorang ayah dan ibu sambung yang juga begitu hebat. Marsha akan mengucapkan terima kasih kepada Alvaro dan Sienna hari ini, keduanya teah begitu berhasil mendidik dan membesarkan sosok Giorgino Gavi Zachary.
***
Beberapa tamu masih belum pamit pulang dari kediaman itu. Sebagian masih ada yang menikmati hidangan, berfoto, atau bahkan bernyanyi bersama di ruangan karaoke di lantai atas.
Acara meriah tersebut diramaikan terlebih oleh para teman sesama artis yang merupakan rekan kerja Gio. Mereka masih begitu muda dengan jiwa yang sangat membara untuk mengeksplor berbagai hal baru.
Namun tetap pada batasan mereka, Gio selalu meneapkan pada teman-temannya mengenai hal-hal yang menjadi batasannya dalam bergaul. Terlebih mereka juga mengenal dengan baik kedua orang tua Gio dan rumah ini seringkali dijadikan basecamp untuk mereka berkumpul.
“Sebentar ya, tadi Bunda sama Papa manggil gue,” ucap Gio kepada teman-temannya.
Gio lekas melenggang keluar dari ruangan karaoke dan berjalan mencari keberadaan keluarganya.
Ketika Gio sampai di ruang tamu, Sienna memberitahunya jika beberapa tamu mereka ingin pamit pulang. Jadi Gio harus menemui mereka dan mengantar sampai ke halaman depan.
“Makasih ya Ibu Nat, Mas Ghani, Pak Parvez,” ucap Gio sembari menyalami satu persatu dari tamu-tamunya.
“Sukses terus, semangat shooting pagi pulang pagi pokoknya,” ujar Natalie sebagai salam sebelum pamit untuk pulang.
“Siap, Bu,” ujar Gio sembari megulaskan senyumnya.
Sepeninggalan Natalie, Ghani, dan Parvez, kini di halaman rumah itu tersisa Gio, Alvaro, Sienna dan juga kedua bocah kecil yang sedari tadi aktif mengintili orang tuanya.
“Pah, tadi Gio sempet ngobrol sama Mas Ghani. Beliau ada ide mau bikin film yang temanya masih lumayan jarang di pasaran. Genre semi fantasi gitu Pah katanya,” cerita Gio pada Alvaro.
“Ohiya? Terus gimana? Naskahnya udah ada?”
“Nah, itu dia, belum ada. Lagi eksplor ide sih. Udah nemu penulis naskahnya, tapi lagi agak stuck sama idenya gitu. Gio ada ide buat ngasih inspirasi dari kemampuan Bunda yang bisa baca masa depan.”
“Kok Bunda? Maksudnya gimana Bang?” Sienna yang mendengar itu lantas menanyakannya pada Gio.
“Bunda mau main film ya Bang?” sahut Edgar yang ikutan nimbrung.
“Ihh Bunda keren, nanti aku liat Bunda sama Papa ada di bioskop,” Amanda pun ikut menimpali tanpa tahu apa kelanjutan pembicaraan tersebut.
“Bunda kan bisa baca masa depan dari mimpi. Nah itu kalau di dunia fiksi, kemampuan yang Bunda punya bisa masuk ke dalam cerita yang genrenya semi fantasi. Kalau Bunda setuju, nanti Gio bilang ke Mas Ghani dan mungkin penulisnya bakal observasi langsung ke Bunda, kayak wawancara gitu Bun. Kalau Bunda berkenan aja,” terang Gio panjang lebar.
Gio juga menjelaskan maksudnya kepada keluarganya. Dalam membuat sebuah naskah film, diperlukan sebuah observasi untuk riset dari ide utama yang sudah dipikirkan sebelumnya. Maka akan lebih matang dan bagus lagi jika ada narasumber langsung yang bisa jadi sumber informasi untuk mengembangkan ide cerita tersebut.
“Keren sih itu, Sayang. Idenya bagus kayaknya ya. Coba kamu pikirin aja dulu, baru nanti buat keputusan boleh atau enggaknya,” ujar Alvaro pada Sienna.
“Oke, nanti Bunda pikirin dulu ya. Tapi sebenernya udah lama lho Bunda nggak dapet mimpi itu lagi. Udah nggak sesering dulu, kadang-kadang aja,” terang Sienna akhirnya.
Anak-anak mereka memang telah tahu bahwa Sienna bisa membaca masa depan melalui mimpi. Namun akhir-akhir ini memang Sienna cukup jarang mendapatkan mimpi pembaca masa depan itu.
“Emang mimpi terakhir yang Bunda dapet tentang apa Bun?” Gio yang penasaran pun akhirnya bertanya.
Pertanyaan Gio tersebut lekas mengundang tatapan Alvaro, Edgar, dan Amanda untuk nenatap penasaran kepada Sienna.
“Kemarin malem Bunda sempet mimpi sih,” Sienna menahan senyumya sambil menatap satu persatu anggota keluarganya. Mereka tampak tidak sabar menunggu Sienna melanjutkan ucapannya.
“Jadi ... Bunda tuh mimpi kalau kalian bakal punya adek lagi. Tapi itu kan cuma mimpi ya, Bunda nggak tau bisa jadi kenyataan atau engga,” jelas Sienna.
“Sayang, bener kamu dapet mimpi kayak gitu? Kok nggak cerita sama aku?” seketika Alvaro berceletuk, pasalnya ia tidak tahu menahu soal hal tersebut. Biasanya Sienna menceritakan apa pun padanya, dan mereka sering terbuka dalam berbagai hal.
Bukan hanya Alvaro yang terkejut, tapi Gio dan kedua adiknya juga terkejut sekaligus antusias akan hal itu.
Pada akhirnya Sienna mengatakan bahwa barusan ia hanya bergurau. Seiring usianya yang menua, Seinna tidak bermimpi lagi tentang masa depan. Sienna juga tidak tahu mengapa demikian, tapi yaa memang begitulah kenyataannya.
“Bunda nggak dapet mimpi itu lagi. Maaf yaa, tadi Bunda cuma becanda,” Sienna berujar sambil menampakkan cengiran kecilnya.
Seketika para penonton kecewa dan mereka merasa sungguh telah tertipu oleh ucapan Sienna. Namun memang itulah kenyataannya, Sienna tidak mendapat mimpi apa pun soal dirinya yang akan kembali mengandung dan akan menghadirkan anggota keluarga baru di rumah mereka.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭