Feel Loved
Hari ini Sienna kedatangan Nayfa dan Aghi. Kedua sahabatnya itu baru sempat menjenguknya karena harus bekerja dan pada saat weekend tentunya baru bisa berkunjung. Di sana ada Fia juga, karena rencananya malam ini asistennya itu akan menemani Sienna tidur di rumah sakit.
“Kayaknya lebih berat pekerjaan freelancer MUA dari pada budak corporate ya, sampe lo sakit tipes gini,” celetuk Nayfa dengan nada bergurau.
Sienna tertawa saja mendengar celetukan sahabatnya itu.
“Selain jadi MUA, Sienna kan juga merangkap jadi bunda Sienna,” ujar Aghi kemudian.
Sienna seketika berubah ekspresinya, suasanya hatinya juga berubah. Suasanya yang jadi hening itu tentu membuat Aghi bingung, tapi Fia dengan cepat mencairkan suasana. Fia menawarkan camilan kepada Aghi dan Nayfa. Di ruang rawat Sienna, ada banyak makanan dan camilan, yang merupakan buah tangan yang dibawa oleh tamu yang menjenguk.
Setelah mengambil sebuah camilan coklat, Aghi berbisik di dekat Nayfa, “Nay, gue ada salah ngomong emang ya?”
“Kayaknya iya deh. Lo tau lah Sienna gampang sedih, apalagi lo nyerempet nyerempet tentang Gio,” ujar Nayfa ikut memelankan nada bicaranya.
‘Tok! Tok! Tok!'
Suara ketukan pintu yang tiba-tiba terdengar membuat Sienna mengarahkan tatapannya ke arah pintu. Aghi memperhatikan air muka Sienna yang tiba-tiba berubah, dari yang tadinya agak muram, kini menjadi secerah matahari di musim panas.
“Fia, tolong bukain pintunya ya,” ujar Sienna kepada Fia.
Fia yang sedang mengupas apel, membuat Aghi berinisiatif membuka pintu dan meminta Fia untuk melanjutkan kegiatannya.
Begitu Aghi membuka pintu, Aghi seketika mendapati sosok yang berkunjung di sana. Alvaro dan Gio, rupanya mereka adalah alasan mengapa ekspresi cerah bisa tercetak di wajah Sienna. Sepertinya Sienna sudah tahu siapa tamu yang akan datang menjenguknya.
“Silakan,” ucap Aghi mempersilakan Alvaro dan Gio masuk.
Gio melangkah cepat untuk menemui Sienna di ranjangnya. “Bundaaa,” seru Gio dengan wajah cerianya.
Gio lalu menunjukkan sesuatu yang dibawanya untuk Sienna. Kemudiananpa di suruh, anak itu langsung menyalami satu persatu orang di sana. Dari mulai Nayfa, Aghi, dan terakhir Fia.
Sienna mengalihkan tatapannya kepada Alvaro. “Ini apa?” tanyanya masih sambil memperhatikan bungkusan paper bag yang tadi dibwa Gio.
“Bunda, itu Papa yang bawain buat Bunda. Kata Papa, Bunda suka kue strawberry,” Gio yang lebih dulu menjawabnya mewakilkan Alvaro. Seketika perkataan Gio sontak mengundang tatapan dari teman-teman Sienna, dan kini mereka menatap ke arah Sienna dan Alvaro.
Lagi-lagi Fia berdeham dan berusaha mencairkan suasana. Perempuan itu lantas sibuk menyalakan TV dan merapikan barang-barang di nakas.
“Tante Fia,” ujar Gio kepada Fia. Gio memang sudah mengenal Fia karena beberapa kali telah bertemu.
“Iya, Gio? Gio mau apel?” Fia menawari Gio potongan apel di piring kecil.
“Gio mau coklat itu,” Gio menunjuk sebuah kotak coklat dengan kotak berwarna pink yang ada di meja di samping ranjang.
“Oh, Gio mau ini. Oke, Tante Fia bantu bukain ya buat Gio,” ujar Fia.
“Tante, ini kan coklat yang kemarin Papa beli buat Bunda juga. Setiap mau jenguk Bunda, pasti Papa inget Bunda terus, beliin ini lah, itu lah,” cerocos Gio lagi dengan wajah tanpa dosanya ketika anak itu mulai mencomot sepotong coklat dari kotak.
Setelah beberapa detik suasana canggung itu, Aghi akhirnya berusuara lebih dulu, “Hmm.. Sienna, jadi gini, gue sama Nayfa harus izin pamit nih. Sorry banget nggak bisa lama-lama. Gue baru inget, ada kondangan temen di daerah Sudirman, lumayan jauh terus macet. Acaranya 3 jam lagi. Ya kan, Nay?” Aghi menyenggol lengan Nayfa yang ada di sampingnya.
“Kondangan siapa sih Ghi?” Nayfa bertanya dengan wajah bingungnya.
“Itu temen kantor kita dari divisi marketing. Ayo Nay, kita harus on the way sekarang lho,” ucap Aghi lagi. Nayfa meskipun tampak bingung, akhirnya hanya mengambikl tasnya dan mengikuti langkah Aghi.
“Sienna, gue balik dulu ya. Lo cepet sembuh, biar kita bisa liburan lagi,” ucap Nayfa sebelum melangkah pergi. Setelah Nayfa dan Aghi berlalu, tidak lama kemudian, Fia mengatakan kalau ia ingin membeli kopi di caftetaria milik rumah sakit.
Sienna mengangguk saja dan membiarkan Fia berlalu dari ruang rawatnya. Hingga tersisa Sienna, Alvaro, dan Gio di sana.
Alvaro menatap ke arah Gio dengan tatapan kekesala yang tertahan. Anaknya itu seperti tidak berdosa setelah membongkar semuanya. Gio dengan santainya melahap coklat di kotak berukuran pink yang lengkap dengan pita cantik yang menghiasinya.
“Gio, itu kan coklatnya buat Bunda Sienna. Kenapa kamu habisin?” ujar Alvaro.
Mendengar perkataan Alvaro, Sienna seketika menoleh pada lelaki itu. “Nggak papa. Udah banyak makanan kok di sini.”
Sienna lantas sedikit bergerak dari tempat tidurnya untuk meraih bungkusan paper bag yang berisi strawberry cheesecake. Sienna tampak antusias membuka kemasan itu dan matanya tampak berbinar ketika mendapati penampakan kue tersebut.
“Al, lo tau dari mana kalau gue suka strawberry?” celetuk Sienna setelah melahap satu suapan kecil kue di tangannya.
“Waktu SD lo suka banget strawberry dan sering bawa bekel kue strawberry. So ... I just guess you still like it,” jelas Alvaro.
Kemudian Sienna mengangguk. Benar juga, pasti Alvaro memiliki ingatan itu. Namun menurut Sienna itu hal kecil tentang dirinya yang jarang orang menyadarinya. Sienna tidak menduga bahwa Alvaro masih mengingatnya.
“Makasih ya Al, gue suka banget kuenya,” ujar Sienna lagi. Kue itu telah habis, dan kini hanya tersisa bungkusannya. Tanpa Alvaro sadari, senyum di wajahnya terulas begitu saja.
“Gio,” Sienna memanggil Gio dan anak itu langsung menoleh. Tangan Gio yang belepotan oleh coklat, membuat Sienna memintanya untuk mencuci tangan di kamar mandi.
Sienna kemudian turun dari ranjangnya dan berjalan menuju sofa sambil membawa infusnya. Saat Alvaro bertanya kenapa Sienna meninggalkan ranjangnya, Sienna menjawabnya. “Gue mau ngobrol sama Gio di sofa.”
Alvaro hanya mengangguk. Sienna memang biasa melakukannya di hampir setiap pertemuan gadis itu dengan anaknya. Sienna akan menanyakan pada Gio bagaimana hari yang dilalui Gio, bagaimana perasaannya, apa yang membuat Gio bahagia hari ini, dan apa yang kira-kira membuatnya sedih. Dengan begitu, Gio dapat menyalurkan perasaannya, lalu Sienna akan memberi afirmasi untuknya. Sienna berperan sebagai tempat berbagi untuk Gio, yang memang sangat dibutuhkan oleh anak seusianya.
Sekembalinya Gio dari kamar mandi dan tangannya telah bersih, Sienna meminta Gio untuk duduk di sampingnya di sofa. Kemudian Alvaro mengambil tempat di samping Gio.
“Hari ini Gio udah ngapain aja? Boleh ceritain ngga ke Bunda?” ujar Sienna membuka obrolan.
“Hmm … tadi pagi Gio sarapan nasi goreng buatan mbak Gina yang enak banget. Terus Gio main game sebentar sebelum mandi. Habis itu siangnya Papa ajak Gio jenguk Bunda deh.”
“Oke. Terus perasaaan Gio hari ini gimana?”
“Gio seneng. Karena Gio ketemu Bunda, terus beliin Bunda kue.”
“Ada nggak kira-kira yang buat Gio sedih?”
Pertanyaan Sienna yang satu itu tidak langsung dijawab oleh Gio. Baik Sienna maupun Alvaro, mereka menunggu Gio menjawabnya.
“Ada Bunda,” ucap Gio kemudian. Gio bergantian dari menatap Sienna, kini ia menatap Alvaro.
Sienna dan Alvaro seketika dibuat bingung saat Gio tidak kunjung menjawab.
“Gio mau cerita atau engga? Kalau engga, juga nggak papa. Nanti kalau Gio udah mau cerita, boleh cerita ke papanya Gio atau ke Bunda, okey?” tutur Sienna kemudian.
“Bunda, Gio sedih karena Bunda Sienna nggak bisa jadi Bunda benerannya Gio,” ungkap Gio tiba-tiba.
Perkataan spontan Gio tersebut sukses membuat kedua mata Sienna membola. Pandangan Sienna bersinggungan dengan Alvaro. Akhirnya Alvaro pun menceritakan pada Sienna soal Gio yang menginginkan Sienna sungguhan menjadi bundanya. Gio tidak mengerti bagaimana caranya, lalu Alvaro menjelaskannya bahwa Sienna tidak bisa menjadi bunda sungguhan bagi Gio.
“Bunda,” ucap Gio.
“Iya, Gio?” Sienan kembali memfokuskan perhatiannya pada Gio.
“Bunda nanti bakal pergi tinggalin Gio? Sama kayak mama?”
Sienna tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hatinya terasa sakit dan seperti diremas oleh sesuatu.
Setelah coba menyusun kalimat yang mudah dipahami, Sienna akhirnya berujar, “Gio, suatu hari Gio pasti akan ngerti. Kalau Gio udah dewasa dan belajar banyak hal, Gio akan paham. Papanya Gio dan mama Marsha sudah menikah, Gio punya mama Marsha yang sayang sekali sama Gio.”
“Gio nggak punya mama. Mama udah pergi, Bunda.
Sienna tidak dapat lagi melanjutkan perkataannya. Sienna termangu di tempatnya dan matanya nampak berkaca-kaca. Melihat Gio di hadapannya saat ini, tatapan terluka bocah itu, rasanya hati Sienna seperti hancur berkeping-keping.
Karena keadaannya yang jadi tidak kondusif, Sienna memutuskan meminta Alvaro untuk menenangkan Gio dengan membawanya pulang. Sienna beberapa kali berusaha menyeka cepat area pelupuk matanya, agar Gio tidak melihat airmatanya yang merembas.
“Sienna, makasih untuk semuanya,” ucap Alvaro.
Sienna terlihat tidak mengerti mengapa tiba-tiba Alvaro mengucapkan kata terima kasih padanya.
“Maksudnya?” Sienna bertanya tentang pertanyaan yang ia juga tidak tahu pasti ke mana arah jawabannya.
Alvaro berdeham sekali dan lelaki itu tersenyum getir. “Makasih karena lo udah ada untuk Gio selama dua bulan terakhir ini. Gue bener-bener terima kasih untuk itu, dan mungkin sekarang saatnya Gio harus ngerti. Kayak yang lo bilang, harus ada saatnya Gio tau kalau lo nggak bisa selalu ada buat dia.”
Kenyataan memang pahit, tapi begitulah adanya.
“Gio, kita pulang yuk. Bunda Sienna mau istirahat,” ujar Alvaro kepada Gio.
“Nggak mau, Papa.”
Gio menahan dirinya di sofa itu. Gio mendekat pada Sienna, menghela tangan Sienna untuk mendekap tubuh mungilnya, seolah tidak ada yang bisa memisahkannya dengan bundaa Siennnanya.
“Al, tolong kasih waktu dulu buat gue dan Gio,” ujar Sienna dengan nada memelasnya.
“Oke, tapi sampai kapan, Sienna?”
“Sebentar aja,” ucap Sienna dengan nada pelannya. Sienna memang tidak tahu kapan ‘sebentar’ tersebut, yang jelas, tidak bisa sekarang dirinya dan Gio harus berpisah.
Gio di sana masih memeluk tubuh Sienna, sampai akhirnya beberapa menit berlalu, anak itu memejamkan matanya dan tertidur di pelukan Sienna. Sienna memperhatikan paras Gio yang tertidur, satu tangan Sienna yang tidak mendekap tubuh Gio, bergerak mengusap pelan puncak kepalanya.
“Sienna, gue boleh tanya sesuatu?” ujar Alvaro. Sienna pun menoleh dan memberi atensinya pada Alvaro.
“Mau tanya apa?”
“Gue penasaran, kenapa lo bisa dengan mudah bikin Gio sayang sama lo?” pertanyaan itu lah yang Alvaro tidak tahu jawabannya sampai sekarang. Meskipun mungkin ia tahu, alasannya hanya satu. Sienna memang mudah membuat orang di sekitarnya menyayanginya. Gadis itu punya daya tarik tersendiri, hingga setelah belasan tahun lalu, Sienna berhasil membuat Alvaro kembali menyukainya.
“Gue nggak tau pasti jawabannya, tapi mungkin karena gue suka menghabiskan waktu sama anak kecil,” aku Sienna kemudian. Sienna lantas berpikir mungkin karena rasa simpatinya terhadap Gio, jadi Sienna rela melakukannya untuk Gio. Sienna bersedia menjadi tempat berbagi kebahagiaan dan juga kesedihan untuk Gio. Selain itu, lelaki di hadapan Sienna saat ini, yang ia ketahui masa depannya, Sienna merasa bahwa ia tidak tega membiarkan Alvaro melalui semuanya sendiri.
Sienna akhirnya sedikit menjelaskan pada Alvaro bahwa Sienna sempat jadi guru TK, jadi ia bisa mudah akrab dengan anak kecil. Alvaro berpikir bahwa itu hal itu cukup masuk akal. Sienna berniat baik membantu di saat anaknya kehilangan sosok peran seorang ibu di hidupnya.
Selang sekitar 20 menit waktu berlalu, Alvaro memutuskan perlahan meraih Gio dari Sienna dan menggendong anaknya yang masih tertidur. Alvaro sedikit menimang anaknya di gendongannya karena takut Gio jadi terbangun dan malah menolak diajak pulang.
Sienna berdiri dari duduknya, ia hendak mengantar Alvaro dan Gio sampai pintu, tapi Alvaro mengatakan agar Sienna lebih baik beristirahat.
“Al,” ucap Sienna sebelum Alvaro melangkah menjauh.
Alvaro kembali berbalik dan menahan langkahnya.
“Tolong pertimbangin ya, kasih gue dan Gio waktu. Kasih waktu paling engga sampai Gio bisa laluin fase adrenarche-nya,” ujar Sienna.
Alvaro pun mengangguk. “Gue sama Gio pulang dulu. Besok juga pasti Gio pengen ketemu sama lo lagi. Dia nggak pernah lupa minta sama gue untuk ketemu sama Bunda Siennanya.”
Seketika mendengar kalimat itu, kedua mata Sienna terlihat berkaca-kaca. Memang benar adanya, perasaan paling indah yang diberkati Tuhan kepada manusia adalah ketika manusia merasa dicintai dan disayangi oleh seseorang. Sienna dan Gio memang tidak memiliki ikatan darah, tapi takdir yang membuat ikatan tidak kasat mata itu, ikatan yang akhirnya dengan lekat menghubungan Sienna dengan Gio.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭