First Day Work

Pagi ini Edgar tampak bersemangat untuk memulai hari pertamanya magang. Bahkan Edgar datang lebih cepat ke kantor. Di ruangan divisi social media marketing, belum ada satu pun orang ketika Edgar sampai di sana. Selagi mengisi waktu luangnya dan tengah sendiri berada di ruangan, Edgar memutuskan mengabari Bundanya melalui chat. Edgar mengatakan bahwa hari ini merupakan hari pertamanya magang di kantor Lilie.

Seperti biasa, Bundanya lantas menyemangatinya dan menanyakan beberapa hal. Seperti apakah Edgar sudah sarapan, membawa jas hujan, dan hal-hal lain yang menyangkut tentangnya.

Edgar meletakkan ponselnya kembali di saku celana jeansnya setelah mengakhiri chat bersama Bundanya. Edgar kemudian berniat turun ke bawah untuk mencari sarapan. Ini masih pukul 8 dan jam kerja baru akan dimulai pada pukul 9.

Edgar turun menggunakan lift dan langkahnya pun akhirnya membawanya ke luar gedung. Gedung besar yang ditempati oleh beberapa brand ternama tersebut terdapat di tengah-tengah kota metropolitan. Lokasinya tentu cukup strategis, terdapat banyak pusat untuk menggerakkan perekonomian negara.

Tidak jauh dari sana, sebenarnya ada sebuah pusat perbelanjaan yang terbilang besar. Berjejer juga kafe-kafe dengan merek ternama yang menyediakan menu sarapan untuk para karyawan maupun orang-orang mengeluarkan uang untuk sekedar menikmati sarapan fancy di kota. Namun Edgar tidak termasuk ke dalam golongan tersebut. Meski sebenarnya Edgar sanggup saja membeli makanan di kafe itu, tapi Edgar memilih melipir ke alun-alun kota. Di sana terdapat para pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai jenis makanan. Yang utama bagi Edgar, selama makanan tersebut enak dan tempat jualannya bersih, mengapa ia harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sekedar mengisi perut?

Edgar berjalan santai menuju salah satu penjual kaki lima setibanya ia di area alun-alun. Untuk sarapan kali ini, Edgar harus mengisi amunisinya dengan karbohidrat dan protein yang cukup, tentunya dengan tujuan agar ia semakin semangat menjalani hari ini untuk bekerja bersama Lilie.

Sebuah gerobak pedagang nasi rames pun menjadi tujuan lelaki itu.

“Bu, nasi ramesnya satu ya,” ucap Edgar pada sang ibu penjual nasi rames. Edgar pun menunggu pesanannya selesai dibuatkan. Selagi lelaki itu menunggu, matanya berpendar ke sekelilingnya. Beberapa orang dengan setelan formal nampak berjalan berlalu lalang di sekitar alun-alun. Sama sepertinya, mereka adalah para pekerja yang tengah mencari sarapan di tempat tersebut, atau hanya sekedar berjalan kaki di trotoar maupun menyebrangi zebra cross untuk sampai ke tempat tujuan mereka. Pemandangan seperti ini mungkin yang tiga bulan ke depan akan didapati oleh Edgar.

Dari banyaknya orang-orang di sana, netra Edgar lantas tertuju pada sosok yang terasa fameliar baginya. Segera setelah membayar nasi ramesnya, Edgar lekas menghampiri orang tersebut karena yakin bahwa yang dilihatnya adalah orang yang ia kenal. Namun karena tidak ingin kentara jelas, Edgar memutuskan untuk membeli jajanan pasar yang berjualan tepat di samping gerobak penjual nasi bebek tersebut.

Sampai akhirnya kehadiran Edgar disadari lebih dulu oleh perempuan yang tidak lain adalah Lilie, perempuan itu lekas menyapa Edgar lebih dulu.

“Hai, Kak,” ucap Edgar membalas sapaan itu. Sebisa mungkin Edgar mencoba bersikap natural meskipun jantungnya langsung berdebar berlebihan saat berada di dekat Lilie.

Kemudian setelah Lilie membayar makanan miliknya, Lilie menghampiri Edgar. Edgar masih menunggu jajanan pasar miliknya selesai dibuat. Di dalam hatinya, Edgar berharap kue tersebut cepat matang, agar ia bisa berjalan bersama Lilie untuk kembali ke kantor.

Rupanya Lilie bersedia menunggu Edgar selesai dengan pesanannya.

“Kirain Kakak mau duluan,” celetuk Edgar.

“Bareng aja sekalian, nggak papa. Dikit lagi selesai tuh,” ucap Lilie tanpa menatap Edgar. Benar saja, kue pukis pesanannya telah selesai dibuat. Setelah Edgar membayar, mereka memutuskan berlalu dari sana. Keduanya bersisian berjalan menuju gedung kantor yang berjarak sekitar dua ratus meter dari alun-alun kota.

Tidak ada percakapan selama perjalanan tersebut. Sampai tiba-tiba Lilie membuka percakapan lebih dulu ketika mereka telah memasuki lobi kantor. “Kamu kepagian ya datengnya?” tanya Lilie tepat sasaran.

“Iya, Kak,” jawab Edgar.

Lilie lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. “Masih setengah sembilan lho. Kemarin saya udah bilang ke kamu atau belum ya datengnya jam 9?”

“Udah kok, Kak. Cuma emang kepagian. Kebetulan jalanan juga nggak terlalu macet,” ujar Edgar. Kini mereka tengah menaiki liftuntuk sampai di lantai 22.

“Oh gitu. Takutnya saya lupa kasih tau kamu,” ujar Lilie lagi.

Percakapan mereka terhenti begitu lift berhenti dan pintunya terbuka. Lilie melangkah keluar lebih dulu dari lift, baru setelah itu Edgar berjalan menyusulnya. Sesampainya di ruang kerja, Lilie terlebih dulu menyalakan laptopnya dan juga mengatur suhu pendingin di ruangan tersebut.

“Jam sembilan nanti kita mulai ya. Kalau mau sarapan dulu, boleh. Di pantry ada cemilan, ada teh sama kopi juga, jadi kalau mau buat bisa ke sana aja langsung,” tutur Lilie kepada Edgar.

Edgar pun menganggukinya. Kemudian Lilie meninggalkan Edgar sejenak di ruangan itu. Hingga hanya ada Edgar di sana, dan lelaki itu akhirnya mampu mendengar sendiri degup jantungnya yang terasa tidak senormal biasanya.

Edgar pun lekas memutuskan menyantap makananannya. Di ruangan itu, Edgar menempati meja kerjanya yang sebelumnya telah Lilie beritahu padanya. Meja milik Edgar berada di samping meja milik Lilie dan dekat sekali jaraknya. Sehingga otomatis dari tempatnya, Edgar dapat melihat sebagian apa yang ada di meja Lilie. Edgar pun mendapati sebuah bingkai kecil berisi potret sebuah keluarga. Ada seorang lelaki yang nampaknya adalah seorang ayah, lalu perempuan paruh baya yang merupakan seorang ibu, serta 3 orang anak. Terlihat bahwa anak perempuan yang paling bersar itu adalah Lilie.

Usai beberapa detik menatap foto itu, Edgar kembali fokus pada makanannya. Edgar memang penasaran, tapi tidak mungkin membiarkan tingkahnya itu terlihat secara jelas.

Begitu Lilie kembali ke ruangan sekitar 5 menit berlalu, perempuan itu membawa sebuah tumbler berisi kopi di tangannya. Lilie menarik kursi kerjanya dan mendaratkan pantatnya di sana. Edgar sudah hampir selesai makan, sementara Lilie baru mulai menyantap makanannya.

Edgar lantas mengatakan pada Lilie bahwa ia akan ke pantry untuk membuat minuman di sana.

Ketika langkah sampai di pantry, Edgar berpapasan dengan beberapa karyawan yang kemudian menyapanya. Ternyata mereka adalah anak magang di perusahaan ini juga, tapi berada di divisi yang berbeda dengannya.

“Gue Riana, dari divisi kreatif,” ucap seorang gadis yang tadi menyapa Edgar.

“Gue Edgar, dari marketing,” balas Edgar pada Riana.

Tadi ada dua orang laki-laki yang merupakan anak magang juga, tapi mereka telah berlalu dari pantry, hingga hanya menyisakan Edgar dan Riana di sana.

“Lo dari kampus mana Gar?” Rianya bertanya setelah menyeseap kopi hangat di gelasnya.

“Ohh, gue dari Pelita Bhakti,” jawab Edgar.

“Lho, sama dong kayak Kak Fina? Kenal juga sama Kak Fina yang sebelumnya jadi anak magangnya Kak Lilie?” tanya Riana lagi.

“Iya, gue kena sama Kak Fina.”

“Ohh gitu. Berarti lo baru magang kan nih, masih 3 bulan ya? Sampe bulan September?”

“Iya. Kalau lo?” Edgar balas bertanya.

“Gue udah hampir sebulan sih magang di sini. Eh, gue harus duluan nih, Gar. Kalau lo butuh bantuan atau apa gitu, tanya aja ke gue. Siapa tau gue bisa bantu, soalnya divisi kita kerjanya sering bersinggungan.”

“Oke, thank you sebelumnya,” ucap Edgar.

Setelah itu Riana berlalu dari hadapan Edgar. Kemudian tidak lama ketika mesin kopi selesai menyeduh kopi milik Edgar, lelaki itu pun juga berlalu dari sana.

***

It's Cleine

IT'S CLEINE merupakan brand parfum lokal yang telah berdiri sejak 9 tahun yang lalu. Di pasaran Indonesia, nama IT'S CLEINE telah cukup terkenal sebagai brand parfum yang sangat mengedepankan kualitas produknya.

Meskipun merek lokal, IT'S CLEINE rupanya mampu bersaing dengan merek parfum internasional dan ternama lainnya. IT'S CLEINE pernah memenangkan penghargaan The Best Seller Parfume Brand mewakilkan Indonesia ; pada ajang pameran parfume brand internasional se-Asia Tenggara yang diadakan di Singapore pada tahun 2018.

Telah ada 20 lebih jenis parfum dengan berbagai nama yang diberikan sesuai dengan aroma dan bahan baku pembuatannya ; selama IT'S CLEINE berdiri. Semua pengetahuan tentang IT'S CLEINE, hari ini didapatkan oleh Edgar.

Selain mengenai product knowledge yang sebelumnya telah diberitahu Lilie kepadanya, Edgar juga diminta untuk mengetahui, sekaligus mengenal lebih dalam sedikit sejarah tentang berdirinya IT'S CLEINE. Beberapa hal tersebut adalah tentang bagaimana cara promosi yang IT'S CLEINE lakukan, siapa target pasar mereka, dan masih banyak lagi yang perlu Edgar ketahui.

Hari pertama Edgar magang di perusahaan tersebut, Lilie mengajarinya beberapa hal, itu tentang budaya kerja di It’s Cleine, terutama pada divisi social media marketing, yang di mana kini Edgar teah menjadi bagian dari divisi tersebut. Kedepannya, Edgar akan bertugas membantu Lilie dalam urusan membuat perencanaan marketing IT'S CLEINE di sosial media, melakukan riset pada target market, dan berbagai hal lainnya yang berhubungan dengan pemasaran untuk IT'S CLEINE.

“Edgar,” panggil Lilie.

“Iya Kak?” Edgar menoleh pada Lilie berada di sampingnya.

“Untuk excel dan lain-lainnya, kayak power point sama PDF juga, udah aku kirim ke kamu lewat Microsoft team ya. Untuk hari ini kamu pelajari aja dulu tentang brand kita, nggak perlu terlalu buru-buru kok,” terang Lilie.

“Oke Kak,” Edgar pun mengiyakannya.

Tidak terasa oleh Edgar kalau sekarang sudah menginjak waktu makan siang. Jam sudah menunjukkan puul 12. Beberapa karyawan di divisi tersebut sudah meninggalkan ruangan untuk mencari makan siang. Tersisa hanya Edgar, Lilie, dan satu orang laki-laki yang lantas menawari Edgar untuk keluar mencari makan bareng.

Edgar lantas menyetujui ajakan Valdo tersebut. Namun sebelum beranjak dari duduknya, Edgar menanyakan sesuatu pada Lilie. Edgar bertanya soal makan siang Lilie, karena nampaknya perempuan itu belum ingin beranjak dari duduknya karena masih berkutat pada pekerjaan.

“Gampang kok. Nanti aku order aja. Kerjaanku masih ada yang belum selesai, tanggung,” ujar Lilie.

Mendengar penuturan tersebut, Edgar akhirnya menganggukinya dan ia memutuskan melenggang keluar dari ruangan. Edgar langsung bertemu dengan Valdo yang tengah menunggu di luar.

“Lilie emang gitu,” ujar Valdo ketika dirinya dan Edgar berjalan menuju lift.

“Gitu gimana?” Edgar bertanya sambil menoleh kepada Valdo.

“Lilie tuh lumayan ambis kalau soal kerjaan. Bagus sih, tapi kadang kita-kita juga jadi khawatir sama kesehatannya. Dia lumayan perfeksionis orangnya, makanya anak-anak sosmed sebisa mungkin nggak buat kesalahan soal kerjaan,” jelas Valdo kemudian.

“Lo tadi nawarin nitip makanan ke Lilie?” Valdo bertanya ketika dirinya dan Edgar sudah sampai di lantai 1.

“Iya,” Edgar menjawab pertanyaan yang Valdo lontarkan itu.

“Udah biasa kauak gitu mah. Misal nih makan bareng kita gitu ya, diajak ke restoran di mal, jarang ikut dia,” tutur Valdo.

“Alasannya kira-kira kenapa Bang, kalau gue boleh tau,” Edgar bertanya lagi, karena jujur saja ia sukses penasaran berkat penuturan Valdo sebelumnya.

“Gar, mentor lu tuh ambis banget kerja, dibilang. Dia sering telat makan. Biasanya dia makan siang mepet pas sepuluh menit sebelum jam istirahat selesai. Yaa ... begitulah. Wajar sih, dia kan udah jadi manager. Pasti tanggung jawab Lilie untuk tim lebih besar, dan dia dapet tekanan langsung dari atasan-atasan.”

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕