Hal-Hal Biasa yang Ada di Hidup Lilie
Suasana malam hari kota Jakarta Selatan nampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Lilie. Ciri khas jalannya yang lebar tapi lalu lintasnya selalu padat, para pedagang kaki lima yang berjejer di bagian alun-alun kota, lampu-lampu dari gedung pencakar langit yang membuat kota tersebut sungguh tampak seperti kota metropolitan yang padat dan sibuk. Pemandangan ini, yang selalu Lilie dapati ketika ia pulang bekerja. Saat berangkat kerja masih terang, maka ketika pulang, hari sudah gelap.
Lilie berjalan kaki sekitar 500 meter dari gedung kantornya untuk sampai di halte Transjakarta. Karena jarak dari rumahnya ke kantor cukup jauh, Lilie memilih angkutan umum sebagai mobilitasnya. Jika membawa kendaraan pribadi atau menggunakan jasa ojek online, selain lelah, biayanya pun juga akan lebih besar.
Jutaan orang berangkat maupun datang ke kota ini untuk mengadu nasib, berharap dapat mengubah hidup menjadi lebih baik, atau ingin membuktikan apakah Jakarta memang benar semengagumkan yang kebanyakan orang katakan?
Lilie termasuk dari sekian juta orang itu. Lilie datang setiap pagi ke kota ini untuk mendapatkan pundi-pundi uang, setidaknya baginya cukup untuk dirinya sendiri dan juga keluarganya. Rupanya benar, Jakarta itu kota yang mengagumkan. Memang tidak selalu mengagumkan dan menyenangkan, tapi Jakarta telah menyimpan begitu banyak cerita untuk Lilie. Mulai dari perjalanannya berkuliah dan hingga sekarang bekerja. Jadi, Lilie mencintai kota ini dan menghargai semua kenangannya di sini.
Delapan tahun yang lalu, Lilie memiliki mimpi untuk bisa lulus kuliah dan mendapat gelar Sarjana. Mimpinya mungkin terdengar sederhana bagi beberapa orang, tapi baginya itu mimpi besar. Lilie tidak memiliki biaya untuk berkuliah, jadi ia harus giat belajar untuk mempertahankan nilai semesternya agar beasiswanya terus mengalir. Setelah akhirnya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, Lilie bermimpi lagi untuk bisa bekerja di kota Jakarta. Lilie ingin mengenakan setelan kantoran, flat shoes hitam dengan logo brand terkenal, dan totebag layaknya wanita-wanita karir yang figurnya ia kagumi. Menurut Lilie, wanita yang bekerja itu keren.
Lilie sempat pesimis ia bisa menggapai cita-citanya, tapi akhirnya, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu.
Lilie memiliki prinsip bahwa apa yang ia jalani dan dapatkan sampai dengan hari ini, merupakan pemberian Tuhan yang patut ia syukuri. Lilie bisa menikmati hidupnya, karena ia merasa selalu cukup dengan apa yang ia miliki saat ini. Memang ada cita-cita besar yang Lilie impikan, itu adalah tentang kehidupannya beberapa tahun lagi. Lilie ingin memiliki rumahnya sendiri dan tinggal dengan orang yang ia cintai, juga mempunyai 2 orang anak. Lilie berusaha mewujudkan impian itu, dan ia percaya bahwa apa yang akan jadi miliknya, akan datang padanya.
Tanpa sadar, langkah Lilie telah sampai di halte Transjakarta. Ia hanya tinggal menunggu bus datang, si biru yang selalu mengantarnya pulang setelah seharian lelah bekerja. Di jam seperti ini, angkutan umum Transjakarta terbilang cukup padat. Para pekerja kantoran, sama seperti Lilie, bersamaan ingin menuju kediaman mereka untuk segera melepas lelah dan penat.
Lilie bersyukur ia dapat tempat duduk di bus malam ini. Namun saat bus kedatangan penumpang lagi dan terlihat seorang wanita membawa anaknya yang masih balita, hingga beberapa menit berlalu, tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tempat duduk mereka.
“Ibu, silakan duduk. Biar saya berdiri aja,” ucap Lilie kepada ibu tersebut sambil memberikan tempat duduknya. Lilie membawa dirinya beranjak dari tempat duduk, dan mempersilakan sang ibu untuk duduk.
“Makasih banyak ya Mbak,” ucap Ibu tersebut sambil tersenyum kepada Lilie.
“Iya, sama-sama Bu,” balas Lilie.
Terlihatnya itu adalah hal yang sederhana, tapi Lilie senang karena telah melakukannya. Bagi Lilie, tidak ada perasaan yang lebih baik daripada saat dirinya merasa bahagia karena orang lain juga bahagia. Sekecil apa pun yang kita lakukan, jika itu berarti bagi orang lain, maka kita telah melakukan hal yang tepat.
***
Lilie tiba di rumahnya hampir pukul 8 malam. Lilie melepas flat shoes-nya dan meletakkannya di rak sepatu di teras rumahnya, lalu ia bergegas masuk ke dalam.
Lilie sampai di ruang tamu dan menemukan kedua adiknya yang sedang berkutat pada tugas sekolah mereka. Kemudian dari arah dapur, terlihat Papanya menghampirinya dan seperti biasa, menyambut kepulangannya dengan sebuah senyuman.
“Tumben Lie, malem banget pulangnya,” ujar Papanya.
“Iya Pah, tadi kerjaan Lilie di kantor lagi lumayan banyak. Biasanya Lilie kan pulang jam 7, ini jam 8. Beda dikit lah, nggak papa,” ucap Lilie sembari menampakkan senyumannya.
“Yaudah, kamu makan dulu ya. Di meja makan udah ada makanan. Jangan begadang lagi Nak malam ini, kamu perlu istirahat yang cukup,” tutur Papanya.
Lilie hanya mengangguk sekali, lalu ia bergegas menuju kamarnya yang terletak tidak jauh dari ruang tamu. Lilie langsung menaruh totebag-nya di kursi meja kerjanya dan ia melepas blazer outer dari tubuhnya. Kini tersisa sebuah blouse berlengan pendek yang lebih teras nyaman untuk dikenakan. Lilie menghembuskan napasnya panjang lalu ia merebahkan dirinya di kasur single-nya.
Rasanya hari ini cukup melelahkan. Lilie baru beberapa detik memejamkan kelopak matanya, ketika ponsel di totebag-nya berdering. Lilie langsung bangun lagi dan segera menjawab panggilan yang ternyata dari manager divisi lain di kantornya.
“Halo. Iya, Mbak Devina. Ada apa Mbak?” ujar Lilie di telfon.
“…”
“Ohh gitu. Baik Mbak, coba saya cek dulu ya. Saya usahain selesai malam ini deh. Tapi mungkin kalau nggak bisa, besok pagi jam 8 baru kelar ya Mbak.”
“…”
“Oke, Mbak. Iya, sama-sama.”
Sambungan telfon pun ditutup. Baiklah, Lilie tidak punya waktu bersantai sedikit saja. Lilie harus kembali membuka laptop dan menatap layarnya dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.
Ketika Lilie sudah sibuk dengan laptop di hadapannya, pintu kamarnya di ketuk. Lilie mempersilakan seseorang di balik pintu untuk masuk. Detik berikutnya nampak sosok adik lelakinya di ambang pintu.
“Kak Lilie, makan dulu,” ujar adiknya.
“Iya Dek, nanti dulu ya. Kakak masih ada kerjaan nih, sebentar aja,” ujar Lilie yang hanya sekilas menoleh pad adiknya.
“Nanti Kakak lupa makan lagi.”
“Enggak kok. Janji deh, kakak bakal makan sepuluh menit lagi, ya,” tutur Lilie sambil menampakkan senyum meyakinkannya.
Setelah mengangguk, adiknya itu berlalu dari kamar Lilie dan menutup pintunya. Lilie sempat tertegun sejenak dan gerakan jemarinya di keyboard laptop terhenti begitu saja. Pasalnya adiknya seperti sudah hapal betul akan kebiasaan Lilie yang suka telat makan bahkan kadang sampai melupakannya.
Lilie mendesahkan napasnya panjang, dari helaan itu tersirat rasa lelah dan frustasi. Lilie memejamkan matanya sejenak, lalu ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Terkadang Lilie memang ingin menyerah karena merasa lelah dengan rutinitas yang harus dijalaninya. Namun Lilie tidak bisa menutup mata dan bersikap acuh begitu saja. Lilie merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya telah pensiun bekerja dan ibunya sudah tiada sejak adiknya yang paling kecil berusia 10 tahun. Kedua adiknya masih bersekolah, dan Lilie adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan juga bertanggung jawab pada pendidikan kedua adiknya. Bagi Lilie, hampir tidak ada waktu selain untuk bekerja.
Lilie telah menyingkirkan tangannya dari depan wajahnya, lalu ia kembali menatap layar laptopnya. Namun rasanya Lilie tidak bergairah mengerjakan pekerjaan dadakan itu. Ia tidak bisa berbohong bahwa tubuh dan jiwanya merasa lelah dan jenuh.
Lilie memutuskan sejenak melihat ponselnya untuk mencari hiburan atau pun melihat notif yang memang jarang sekali ia lakukan. Hidupnya kebanyakan hanya seputar pekerjaan, bahkan banyak sekali pesan maupun notif lain yang ia abaikan karena itu di luar urusan pekerjaannya.
Setelah Lilie membalas beberapa pesan yang masuk ke WhatsAppnya, Lilie beralih pada sosial medianya. Lilie jarang mengunggah tentang kehidupannya di media, karena baginya hal tersebut tidak terlalu penting. Membagikan sesuatu ke sosial media, ada batasannya, dan Lilie memiliki batasan itu sendiri untuk dirinya.
Ketika asik berselancar di Instagram, Lilie mendapati beberapa notifikasi untuknya. Ada beberapa orang yang baru saja mengikuti akunnya dan ketika ia mengeceknya, Lilie sama sekali tidak mengenal orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka yang datang ke akun pribadinya adalah laki-laki. Mungkin kalau Lilie mengenalnya, ia akan mengikuti balik orang tersebut. Namun kenyataannya, ia tidak mengenal mereka, jadi berakhir diabaikan begitu saja olehnya.
Selain notif follow, ada beberapa juga yang menyukai postingannya dan mengajaknya kenalan lewat DM. Lilie sempat membeliak ketika menemukan username akun yang sama yang menyukai postingan terbarunya bahkan sampai yang terlama. Orang ini aktif sekali di sosial medianya, membuat Lilie terheran.
Selain itu, akun tersebut juga memberi reaction pada Instagram Story miliknya yang telah 1 x 24 jam di upload oleh Lilie. Bahkan Instagram story tersebut sudah tidak tayang dan Lilie baru melihat notif reaction dari orang itu.
Lilie berdecak dan menggeleng, lalu ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Lilie memutuskan tidak melihat lagi ponselnya karena terlalu banyak orang seperti lelaki itu di sosial medianya yang kemudian membuatnya jengah. Lilie sering mendapati pesan dari orang tak dikenal dan menganggap hal tersebut bukanlah hal yang terlalu penting.
***
Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸
Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕