Hal Kecil yang Berarti Besar

Sienna membuka jendela di sampingnya begitu mobilnya berhenti di sebuah pos yang dijaga oleh seorang satpam. Ketika seorang petugas yang berjaga di sana mendapati bahwa orang itu adalah Sienna, ia pun langsung berujar, “Ohh, Mbak Sienna. Saya kira dijemput pak Amar atau biasanya bareng sama bapak.”

“Engga Pak, Alvaro kan masih shooting. Saya bawa mobil aja sendiri ke sini,” ujar Sienna.

Petugas itu lantas mengangguk dan mengulaskan senyum ramahnya pada Sienna, sebelum akhirnya membukakan pagar rumah agar mobil Sienna bisa masuk.

“Mari, Pak,” ucap Sienna sebelum kembali memanuver mobilnya. Petugas itu mengangguk sambil sedikit membungkukkan badannya ketika mobil Sienna berlalu dari hadapannya.

***

“Makasih ya Pak,” ujar Sienna pada seseorang yang ia kenal yang telah membantu memarkirkan mobilnya.

“Sama-sama Mbak.”

Setelah berpamitan pada pak Hasyim, Sienna melangkah menuju area rumah. Saat Sienna pertama kali memasuki rumah ini, ia pun mengenal satu persatu para penghuni di dalamnya. Ada 2 asisten rumah tangga, tukang kebun, dan bodyguard. Mereka semua memperlakukan Sienna dengan sangat baik. Sampai terkadang, Sienna merasa bersalah ketika para pekerja di rumah Alvaro memperlakukannya layaknya ia adalah pengganti nyonya mereka di rumah ini. Sienna menghargai itu, tapi ada perasaan bersalah juga, karena ini terasa tidak sesuai. Mereka jelas tahu bahwa majikan mereka masih terikat pernikahan dengan nyonya pemilik rumah ini yang sebenarnya.

“Bundaaa!” seruan itu menyambut Sienna. Sienna baru melangkahkah kakinya sampai di ruang tamu ketika ia mendapati Gio di sana. Gio sedikit berlari ke arahnya. Wajah Gio tampak senang saat mendapati Sienna, selalu seperti itu.

“Bunda,” ujar Gio setelah ia menyalami tangan Sienna.

“Iya?”

“Bunda, Gio kangen banget Bunda. Makasih yaa Bunda udah dateng,” ujar Gio.

Sienna tersenyum lembut, “Gio udah tau kalau Bunda mau ke sini?”

“Gio udah tau, makanya Gio bangun pagi, terus Gio udah mandi.” Gio dan Sienna lantas melangkah bersama menuju area rumah lebih dalam.

“Oma ... Oma ... Bunda Sienna udah dateng lho,” celetukan Gio tersebut lantas membuat tatapan Sienna mengarah pada area dapur di sisi kanan rumah setelah mereka berjalan beberapa langkah.

Sienna lantas mendapati sosok Inggit yang menghampirinya dari arah dapur. Sebuah senyum terulas di wajah cantik yang tidak lagi muda itu. Ini pertama kalinya Sienna bertemu Inggit setelah Inggit mengetahui sosok ‘Bunda Sienna’ yang sering diceritakan cucunya. Inggit memang tidak tinggal di rumah ini, karean wanita memiliki rumahnay sendiri.

Sienna memberikan salam sopannya pada Inggit yang disambut ramah oleh wanita itu. “Sienna, Gio udah cerita banyak tentang kamu. Terima kasih ya, karena kamu, cucu saya pelan-pelan bisa dengan baik melewati fase adrenarche-nya,” ujar Inggit.

“Sama-sama, Tante. Saya senang bisa membantu,” ucap Sienna.

“Hari ini Tante masak lumayan banyak lho. Kita makan bareng, yuk. Gimana?” ajak Inggit pada Sienna.

Gio yang menarik tangan Sienna agar mereka makan bersama, membuat Sienna menurut saja untuk berjalan mengikutinya. Ketika mereka sampai di ruang makan, Sienna menatap hidangan di meja makan itu. Tampak di sana berbagai makanan yang Sienna tahu adalah jenis makanan khas Sumatera.

Tatapan Sienna bersinggungan dengan Inggit, dan Inggit akhirnya berujar, “Sienna, ini semua makanan kesukaan Alvaro. Sayangnya anak itu harus shooting dari tadi malem sampai siang ini, belum juga balik. Tante udah masakin padahal.”

“Iya, papa kerja terus. Harusnya kita makan bareng-bareng kan Oma?” celetuk Gio.

“Iya, nanti kita makan bareng-bareng kalau papamu udah pulang. Lauknya masih bisa diangetin, papamu pasti lahap banget makannya kalau menunya apa yang dia suka.”

“Sienna, ayo silakan diambil makanannya. Anggap aja kayak di rumah sendiri ya. Alvaro juga udah cerita lumayan banyak tentang kamu, teryata kalian satu sekolah waktu SD ya?”

“Iya, Tante.” Sienna mengangguk sebelum akhirnya mengambil piring untuknya dan mengisinya dengan nasi.

***

Sienna dan Gio berpindah ke kamar setelah tadinya mereka berada di ruang belajar. Waktu menunjukkan pukul 2 siang, dan Sienna mengarahkan Gio untuk tidur siang. Gio belum dapat memejamkan matanya, jadi anak itu menceritakan sesuatu pada Sienna. Mereka duduk di kasur, menyandarkan punggung ke header kasur, dan menyembunyikan kaki di bawah bed cover tebal.

Setelah cukup lama mengenal Gio, Sienna jadi tahu bahwa Gio adalah anak yang pintar. Daya tangkap anak itu cukup cepat, dibanding anak seusianya. Pikirannya kritis, dan ingatannya cukup tajam. Jadi ketika Sienna mengobrol dengan Gio setelah mengerjakan PR sekolah, Gio dapat dengan lancar menceritakan silsilah keluarganya.

“Opanya Gio yang dari papa udah meninggal. Gio tau nama panjang opa sama oma.”

“Ohya Gio tau?” tanya Sienna.

“Gio tau dong. Kalau opa namanya Harris Zachary, kalau Oma … tunggu! Gio lupa deh.”

Sienna tertawa kecil mendapati ekspresi Gio ketika sedang berusaha mengingat. Setiap melihat Gio, Sienna selalu dapat menemukan sosok lembut dan penyayang yang ada pada diri Alvaro, yang terefleksi kepada Gio.

“Gio udah inget, Bunda. Namanya oma itu Inggit Siregar. Oma jago masak lho, Bunda. Tapi makanan pedes-pedes gitu, kesukaannya papa.”

Gio mengakhiri ceritanya, lalu ia memutuskan untuk membarigkan tubuhnya.

Sienna di samping Gio, mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Gio seraya berujar, “Gio, makasih ya Nak udah jadi anak pintar. Gio udah nurut sama papa, nurut sama oma, Gio udah jadi anak yang hebat sekali.”

“Sama Bunda juga,” ucap Gio sambil sedikit mendongak dan menatap tepat ke manik mata Sienna.

Sienna mengangguk sambil berusaha menahan air matanya. Perilaku Gio pada Sienna, yang tidak pernah lupa menyebut namanya, membuat seolah-olah Sienna memang memiliki tempat di rumah ini.

“Bunda,” ujar Gio pelan.

“Iya, Gio? Ada apa?”

“Papa nggak pernah lupa sama Bunda lho.”

“Ohiya? Maksud Gio gimana?”

Gio nampak berpikir sejenak, sepertinya anak itu bingung harus mengatakannya. Setiap perilaku Alvaro yang didapati oleh Gio, membuat Gio akhirnya membuat sebuah kesimpulan. Namun dasarnya pemikiran anak usia 6 tahun masih sederhana, jadi Gio agak bingung ketika menyampaikannya.

“Papa itu selalu inget sama Bunda, sama kayak papa inget Gio. Setiap lagi ngomong sama Gio atau sama oma, pasti papa sebut nama Bunda. Oh iya, papa selalu ingetin mbak Gina buat jemput Gio, kirim makanan ke sekolah Gio, gitu Papa bilang. Papa begitu karena papa sayang sama Gio kan, Bunda?”

“Iya dong, papanya Gio pasti sayang sekali sama Gio,” Sienna lantas memperjelas argumen tersebut.

“Tapi berarti papa sayang sama Bunda juga, dong?” celetuk Gio. Gio masih menatap Sienna di sana, wajah bocah itu tampak bingung dan terlihat sedang berusaha menyatukan benang-benang merah di kepalanya.

Sienna kemudian hanya mengulaskan senyumnya, tanpa bisa menanggapi argumen Gio yang satu itu. Menit-menit yang akhirnya berlalu begitu saja, mengantarkan Gio untuk tertidur. Gio mulai memejamkan matanya dan akan menuju alam mimpi setelah sudah merasa mengantuk. Sienna masih berada di sana, pikirannya dipenuhi oleh ucapan Gio. Gio yang sekecil ini begitu pintar menyimpulkan sesuatu. Sebuah hati yang begitu suci dan sebelumnya telah dipenuhi oleh kasih sayang, pastilah dapat dengan mudah merasakan rasa sayang orang-orang di sekitarnya. Itu juga termasuk bagaimana sikap Alvaro terhadap Sienna, yang akhirnya Gio simpulkan bahwa itu merupakan bentuk kasih sayang.

Sienna menatap wajah tertidur Gio selama beberapa detik. Kemudian sebelum Sienna beranjak pergi dari kamar itu, ia berujar lembut di dekat Gio. “Gio, Bunda sayang sekali sama Gio.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭