Harapan yang Menjadi Kenyataan
Satu minggu telah berlalu sejak Marcel kembali dari rumah sakit. Marcel telah pulih dan dapat menjalani rutinitasnya seperti sediakala. Namun Marcel belum menemui Enrico untuk berbicara, lebih tepatnya karena Enrico sedang melakukan bisnis trip ke luar negeri. Marcel sudah berniat untuk menemui Papanya untuk membahas pembatalan penyerahan jabatannya, tapi niat tersebut belum sempat terlaksana.
Marcel masih menjabat sebagai CEO di perusahaan, karena keputusan rapat waktu itu menyatakan bahwa Marcel batal mengundurkan diri sebagai pemimpin perusahan. Pembuat keputusan itu adalah Papanya sendiri, tapi Marcel belum tau apa alasan dibalik Papanya melakukan itu.
Kediaman Marcel siang ini terlihat sepi. Di sana dua orang petugas keamanan seperti biasa tengah berjaga di pos depan.
Begitu terlihat mobil sedan hitam yang familiar berhenti di depan pagar rumah, salah satu petugas pun segera beranjak untuk membuka pagar.
Mobil tersebut rupanya adalah milik Enrico. Petugas itu tampak bingung, pasalnya tidak ada pemberitahuan atas kedatangan Enrico, jadi mungkin memang kedatangan Enrico tidak diketahui oleh siapa pun.
Tidak lama kemudian setelah mobil Enrico terparkir di halaman depan rumah, seorang supir membukakan pintu dan Enrico turun dari kursi penumpang.
Kalau sebelumnya penjaga keamanan di rumah itu memerlukan izin Marcel sebelum tamu memasuki rumahnya, maka kali ini tidak lagi.
Marcel telah memerintahkan bahwa asalkan orang yang datang dikenal dan memilik identitas yang jelas maka Marcel memperbolehkan tamunya untuk masuk tanpa lebih dulu mendapat izinnya.
***
Enrico melangkahkah kakinya memasuki kediaman Marcel. Sebelumnya salah satu asisten rumah telah memberitahunya bahwa Marcel dan Olivia sedang tidak ada di rumah. Majikan mereka sedang pergi ke rumah sakit dan katanya Marcel mengantar Olivia untuk jadwal rutin memeriksa kandungan.
Begitu sudah memasuki rumah, Enrico segera enghampiri Mikayla yang sedang berada di ruang keluarga.
Kedua mata Mikayla seketika tampak berbinar dan tampak senyum antusiasnya begitu ia mendapati Enrico di sana.
Sebuah TV layar datar yang menyala dengan volume cukup keras sebelumnya di ruangan itu, dengan cepat diturunkan volumenya oleh Mikayla.
“Opa?” panggil Mikayla sambil menatap ke arah Enrico.
Kemudian Mikayla segera beranjak dan berjalan menghampiri Enrico terlebih dulu.
Ketika Mikayla sampai di hadapan Enrico, gadis kecil itu segera mengambil tangan Enrico dan menyalaminya.
Enrico lantas tersenyum hangat, kemudian satu tangannya yang lain terangkat dan bergerak mengusap lembut puncak kepala Mikayla.
“Opa kok tiba-tiba dateng ke sini? Daddy udah tau belum kalau Opa mau dateng?” Mikayla bertanya pada Enrico.
Mikayla kemudian mengajak Enrico untuk duduk di sofa dan gadis kecil itu menempatkan dirinya di samping Enrico.
Tidak lama berselang, seorang asisten rumah tangga membawakan secangkir minuman untuk Enrico yang kemudian diletakkan di atas meja.
“Opa baru aja habis flight dari luar negeri. Opa mau ketemu Daddy kamu, kirain Daddy kamu ada di rumah. Padahal kan ini hari Sabtu,” ujar Enrico.
“Iya, ini hari Sabtu, Opa. Daddy nggak ke kantor, tapi Daddy lagi temenin Mommy ke rumah sakit. Mikayla tadi mau ikut, tapi bangunnya kesiangan, jadi nggak bisa ikut deh,” terang Mikayla.
“Ohya? Ngapain ke rumah sakit?” Enrico bertanya.
“Katanya mau cek adeknya Mikayla yang ada perut Mommy. Mau dicek, sehat apa engga adeknya, tapi belum bisa tau kalau adek cewe apa cowo. Padahal Mikayla penasaran banget lho Opa,” celoteh Mikayla.
“Mikayla,” ujar Enrico kemudian.
“Iya, Opa?”
“Are you happy that you’re gonna be a sister soon?” Enrico menanyakan pertanyaan tersebut. Entah, tapi ia ingin mendapati jawaban itu dari cucunya.
“Of course, Opa. I’m so happy. I’m gonna be a sister. Rumah ini nanti jadi rame, ada Daddy, ada Mikayla, ada Mommy, sama ada adek deh,” ujar Mikayla dengan kedua mata yang tampak berbinar dan raut bahagia gadis itu tidak dapat disembunyikan dari parasnya.
Interaksi antara Enrico dan Mikayla tiba-tiba terinterupsi berkat kehadiran dua orang yang baru memasuki ruang keluarga itu. Di sana tampak Marcel dan Olivia yang melangkah memasuki rumah.
Seketika Marcel langsung menatap ke arah Enrico saat pria itu tengah berjalan masuk.
Beberapa detik kemudian, akhirnya Marcel dan Olivia telah sampai di hadapan Enrico dan Mikayla.
“Papa,” ujar Marcel pelan. Tatapan Marcel tampak heran, pasalnya ia mendapati Enrico di rumahnya, padahal setahunya Papanya masih berada di luar negeri.
“Papa tadi dari bandara langsung ke sini,” ujar Enrico akhirnya seolah menjawab pertanyaan di benak Marcel.
“Marcel, ada yang ingin Papa bicarakan dengan kamu,” ucap Enrico lagi.
Marcel pun mengangguk sekali, kemudian ia meminta Olivia dan Mikayla meninggalkannya bersama Enrico.
Olivia pun mengiyakan, lalu ia segera ngajak Mikayla untuk melenggang dari ruang keluarga.
***
Enrico merasa lupa kapan terakhir kali dirinya bicara dari hati ke hati dengan putra semata wayangnya. Rasanya sudah terlalu jauh jarak yang terbentang di antara mereka. Baru sekarang juga, Enrico menyadari bahwa jarak itu tercipta berkat keegoisan dirinya. Enrico selalu menginginkan anaknya sesuai dengan apa yang ia kehendaki, tanpa memikirkan perasaan anaknya.
Enrico tengah menatap Marcel lurus-lurus, lalu tidak lama kemudian ia berujar, “Papa sebelumnya ingin tanya dulu satu hal sama kamu.”
“Papa mau nanya apa?” ujar Marcel.
“Tentang kamu sama Adelia. Apa benar .. kalau kamu nggak pernah mencintai Adelia?” Itulah pertanyaan Enrico. Enrico menanyakannya karena ia ingin mendengar jawabannya langsung dari Marcel.
Marcel terdiam selama beberapa detik, ia tidak langsung menjawab pertanyaan Enrico. Marcel menautkan jemarinya dan menundukkan kepala, padahal sebelumnya ia menatap lurus pada Enrico.
“Papa ingin dengar jawabannya langsung dari kamu, Marcel. Karena Papa dengar sebelumnya dari orang lain. Sebagai orang tua, Papa ngerasa gagal dengan fakta kalau orang lain lebih tau tentang anak Papa ketimbang Papa sendiri,” ucap Enrico.
Tidak lama setelah ucapan Enrico itu, Marcel akhirnya buka suara. “Marcel udah coba Pah, tapi Marcel nggak pernah bisa mencintai Adelia sepenuhnya.”
Enrico akhirnya mendengar sendiri dari mulut putranya, bahwa Marcel memang tidak pernah bisa mencintai Adelia. Enrico pun bisa terbayang bagaimana perasaan Marcel selama ini. Pastilah tidak mudah menjalani sebuah pernikahan tanpa adanya rasa cinta.
“Marcel, Papa ingin minta maaf sama kamu. Tolong maafin Papa atas keegoisan Papa selama ini kepada kamu. Papa sadar, Papa nggak pernah ngertiin perasaan kamu,” ucap Enrico beberapa detik setelahnya.
Marcel pun menatap Enrico dengan matanya yang tampak membeliak. Kedua belah bibir Marcel sedikit terbuka, menandakan bahwa ia masih sulit percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Papanya yang selama ini bersikap begitu keras, tiba-tiba meminta maaf padanya dan berakhir luluh.
Masih begitu banyak rasanya yang ingin Enrico sampaikan kepada Marcel. Maka hari ini ia bersumpah akan mengutarakannya. “Marcel, udah terlalu banyak yang selama ini kamu laluin. Tapi Papa baru sadar sekarang atas kesalahan Papa. Papa belum bisa jadi orang tua yang baik untuk kamu. Papa nyesal sekali, dan tolong maafin Papa. Papa mau mulai semuanya dari awal dan akan berusaha jadi orang tua yang baik buat kamu.”
Sebagai orang tua, Enrico ingin anaknya bahagia dengan apa yang menjadi pilihannya. Enrico tau bahwa ia terlambat karena sudah terlalu lama Marcel menderita, tapi Enrico tetap ingin berusaha.
“Pah, nggak ada kata terlambat untuk memperbaiki sesuatu,” ucap Marcel.
Marcel pun menatap Enrico, lalu ia mengulaskan senyumnya. “Berkali-kali Marcel hampir nyerah, tapi Olivia yang selalu berusaha yakinin Marcel dan ngeyakinan Marcel kalau rasa sayang orang tua sama anaknya nggak akan pernah hilang. Rasa sayang orang tua ke anaknya itu besar banget. Jadi apa pun yang terjadi sebelumnya, biar akan jadi masa lalu aja. Kita cuma perlu memperbaiki, biar bisa punya masa depan yang lebih baik, karena kita semua belajar dari kesalahan,” tutur Marcel.
“Marcel udah maafin Papa,” lanjut Marcel lagi sembari mengulaskan sebuah senyum simpul.
Marcel pun akhirnya juga meminta maaf atas apa yang terjadi akhir-akhir ini antara dirinya dan orang tuanya. Tentang perbuatannya dan sikapnya yang kurang baik terhadap orang tuanya. Marcel merasa dirinya telah menjadi anak yang keras kepala dan pembangkang.
“Iya, Nak. Makasih ya udah maafin Papa. Papa yakin, kamu akan menjadi seorang Papa yang baik untuk anak-anak kamu nantinya,” ujar Enrico yang lantas membuat sebuah senyum terbit di wajah Marcel.
Di siang hari menuju sore itu, sebuah momen berharga telah terjadi di hidup Marcel. Momen yang selama ini dinantikan oleh Marcel, akhirnya telah terwujud.
Kini tidak ada lagi perseteruan maupun sikap saling egois dan pembicaraan yang melibatkan emosi.
Enrico tampak menitikkan air matanya, tapi segera mengusapnya karena tidak ingin memperlihatkan itu di hadapan Marcel.
Rupanya Marcel juga demikian. Air matanya hampir saja merembas, tapi Marcel dengan cekatan menyekanya dengan lengan. Namun kalau pun itu terjadi, air mata tersebut bukanlah air mata kesedihan, melainkan sebuah tanda dari sebuah kebahagiaan.
Marcel merasa bahagia, dan rasanya kebahagiannya saat ini sudah komplit. Kebahagiaan yang sebelumnya terasa semu dan hanya menjadi angan untuknya, kini Marcel sungguhan telah memilikinya.
***
Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹
Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒