He Knew That She is The Best
Setelah jam makan siang di kantor, Marcel memutuskan untuk menemui Papanya di ruangan Presiden Direktur.
Enrico Moeis menjabat sebagai Presiden Direktur, di mana posisi tersebut merupakan posisi kedua tertinggi setelah CEO. Chief Executive Officer merupakan jabatan tertinggi pada sebuah perusahaan dan sebagai pembuat keputusan utama. Marcel menjabat sebagai CEO PT. Permata Tambangraya TBK, karena ia merupakan pewaris satu-satunya dari Papanya.
Sesampainya Marcel di lantai 5, ia langsung diperbolehkan untuk masuk ke ruangan Enrico. Marcel pun membuka knop pintu jati di hadapannya.
Ketika sudah masuk, Marcel segera menemukan sosok Enrico di kursi kebesarannya.
“Tumben kamu sampai harus ke ruangan Papa. Ada apa? Apa ini soal pekerjaan?” Enrico langsung bertanya kepada Marcel.
Sekretaris Enrico yang sebelumnya berada di ruangan itu, tiba-tiba pamit berlalu dari sana.
Enrico tampak bingung, tapi kemudian dengan cepat dapat membaca situasi. Biasanya kalau ada urusan pekerjaan antara Presdir dengan CEO, maka sekretaris Enrico juga akan dilibatkan.
Akhirnya Enrico berujar, “Kalau bukan soal pekerjaan, dan apalagi itu tentang hubungan kamu sama perempuan itu, Papa nggak ingin dengar.”
“Nggak papa kalau Papa nggak ingin dengar atau peduli. Marcel ingin tetap akan menyampaikan ini, karena Marcel masih menghormati Papa sebagai orang tua. Marcel sama Olivia akan menikah, minggu depan kita akan mendaftarkan pernikahan,” ujar Marcel.
“Oke, kalau itu keputusan kamu. Kamu tau kan, setiap keputusan yang diambil, pasti ada konsekuensinya,” ujar Enrico. “Kamu membuat perusahaan kacau, harga saham kita turun drastis sejak 3 hari yang lalu. Kamu jelas tau dampaknya.”
“Iya, Pah. Marcel tau. Hal kayak gini nggak sekali dua kali kita alamin. Secepatnya Marcel akan berusaha buat balikin keadaan dan bikin harga saham kita balik stabil lagi,” ujar Marcel.
“Di luar urusan perusahaan, Papa tetap akan memberi kamu konsekuensi dari keputusan yang kamu ambil. Kamu menikah tanpa restu dari Papa dan Mama, artinya kamu bersedia untuk nggak lagi dianggap anak sama Papa dan Mama.”
Marcel terdiam di tempatnya mendapati kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Enrico. Marcel pikir ia akan terluka setelah mendengarnya, tapi rupanya tidak. Entah mengapa, rasanya sulti bagi Marcel merasakan rasa sakit itu.
Marcel sudah kebal dengan luka yang diberikan oleh orang tuanya, hingga rasanya ia tidak bisa lagi merasa terluka.
“Kalau itu udah jadi keputusan Papa, Marcel akan terima apa yang Papa putuskan,” ucap Marcel akhirnya.
Satu kalimat yang Marcel lontarkan itu seketika membuat Enrico membeliak. Enrico menatap Marcel dengan tatapan matanya yang nyalang dan dipenuhi emosi.
Marcel pun kembali mengatakan, bahwa ia bersedia jika harus hengkang dari keluarga Moeis dan melepas identitasnya, demi untuk memperjuangkan Olivia dan membuat keluarga bahagia bersama orang dicintainya. Marcel telah mencoba untuk menghormati orang tuanya setelah semua yang terjadi, tapi orang tuanya tetap tidak mau memahaminya.
“Cinta udah bikin kamu buta,” ujar Enrico.
“Mungkin yang Papa bilang bener. Tapi lebih baik cinta bikin Marcel buta Pah, ketimbang harus terus ngerasa sakit, karena Papa dan Mama yang selalu nyakitin Marcel.” Marcel mengucapkannya tanpa emosi, tapi raut wajahnya justru menggambarkan kesedihan yang mendalam. Marcel berharap Enrico akan mengerti perasaan sedihnya, tapi justru selalu bersikap sebaliknya.
Enrico semakin tampak marah, rahangnya mengeras dan kulit wajahnya memerah.
“Kurang ajar ya kamu. Papa dan Mama yang membesarkan kamu dari kecil, tapi cuma karena perempuan itu, kamu bilang Papa dan Mama nyakitin kamu selama ini?”
“Marcel cuma berharap Papa dan Mama bisa sadar, selama ini yang Papa dan Mama lakuin udah nyakitin Marcel. Marcel nggak pernah mau menikah sama Adelia, Marcel nggak bahagia dengan pernikahan Marcel, Pah. Apa Papa pernah memikirkan itu?” ujar Marcel.
Setelah mengatakannya, Marcel rasa urusannya telah telah selesai di ruangan itu. Marcel sudah akan pergi dari sana, tapi ucapan Enrico tiba-tiba menahan langkahnya.
Marcel sudah membalikkan tubuhnya dan memunggungi Enrico. Namun langkah kakinya terhenti begitu saja.
“Kamu sudah membuang berlian seperti Ghea, demi perempuan yang nggak punya orang tua dan nggak jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” ujar Enrico.
Tanpa sadar kedua tangan Marcel mengepal kuat di sisi tubuhnya setelah mendengar kalimat itu. Marcel menahan gejolak amarah yang perlahan mulai menguasainya. Namun Marcel memutuskan untuk tidak menggunakan emosinya kali ini. Marcel akan mencobanya, seperti yang Olivia katakan padanya.
Marcel kemudian berbalik. Marcel kembali menatap Enrico, tatapannya jelas menyiratkan rasa kecewa dan tidak terima. “Pah, tolong jaga bicara Papa. Emangnya apa yang salah dari nggak punya orang tua?” ujar Marcel.
“Nggak ada yang ngajarin dia caranya untuk tau posisi dan sadar diri,” ucap Enrico.
“Papa nggak tau apa pun tentang Olivia, jadi Papa nggak berhak bicara tentang dia. Nggak ada yang salah dari nggak punya orang tua, Pah. Di mata Marcel, Olivia yang terbaik buat Marcel. Dia perempuan yang hebat dan luar biasa, padahal orang tuanya meninggal sejak dia kecil. Marcel pikir, lebih baik nggak punya orang tua, dari pada punya, tapi rasanya kayak nggak punya.” Semua yang Marcel ucapkan merupakan curahan hatinya yang selama ini terpendam begitu dalam di dasar hatinya.
“Apa maksud kamu ngomong begitu?” ujar Enrico dengan suaranya yang terdengar sedikit meninggi.
Marcel menghela napasnya, ia tengah berusaha mengontrol dirinya. Marcel yang semula mengalihkan tatapannya ke arah lain, kini kembali menatap Enrico lekat-lekat. “Mungkin sebagian anak di dunia ini emang nggak beruntung, Pah. Mereka punya orang tua, tapi nggak pernah merasa dimengerti perasaannya, nggak pernah ngerasa punya rumah dan ngerasa nyaman, kayak yang harusnya mereka rasain di saat mereka punya orang tua.”
***
Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹
Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒