He Knew The Way to Make Her Back
Bibir itu kembali mengecup belah bibirnya. Entah sudah berapa kali, dan sudah berapa banyak tanda kemerahan yang lelaki itu buat di sekitar leher Marsha, ada juga beberapa yang tersemat di bagian puncak dada sintalnya.
Kecupan itu pun dengan cepat berubah menjadi lumatan yang kuat. Terlihat Marsha tidak sanggup mengimbangi tempo si lelaki berbadan kekar dan besar yang tengah mencumbunya itu.
Setelah beebrapa menit pergulatan bibir brutal itu, kini lelaki itu lagi-lagi memperkuat ciumannya. Kemudian kedau lengan kekarnya mengangkat tubuh Marsha untuk digendong. Seperti karung beras, begitulah lelaki itu membawa Marsha menuju kamar mandi.
“Raf, sakit … ahhh …” rintih Marsha bercampur dengan lenguhan yang lolos mulus dari bibir penuhnya. Lelaki itu baru saja meremas kedua buah dadanya, bahkan sempat memberikan gigitan kecil di sana.
“Ini belum seberapa, Marsha,” bisik lelaki itu di dekat telinga kiri Marsha.
Sesampainya mereka di kamar mandi, lelaki yang dipanggil ‘Raf’ oleh Marsha itu segera mengunci pintunya. Kemudian lelaki itu menyalakan air shower dan menarik lengan Marsha agar bersama dengannya berada di bawah kucuran air dingin itu.
“Kamu mau ngapain?” tanya Marsha dengan suara lemahnya.
Lelaki itu menatap wajah Marsha lekat, tatapannya pun bergerak pelan-pelan, seakan ia sedang menjelajahi setiap inci paras Marsha.
“Lakuin di sini,” ujar lelaki itu.
“Lakuin apa?” Marsha bertanya.
“Lakuin itu pakai mulut kamu, Marsha,” lanjutnya.
Marsha yang lantas mengerti maksud lelaki di hadapannya ini, seketika terdiam dan tercekat. Pandangan Marsha turun ke bawah, dan ia mendapati bahwa milik lelaki itu sudah mengeras.
“Aku nggak mau, Raf,” Marsha berujar tegas.
“Marsha, kamu tau kan resikonya kalau kamu nolak permintaan aku, hmm?” sinis lelaki itu.
Helaan nafas panjang seketika lolos dari bibir Marsha. Tidak menunggu lama, lelaki itu meraih rahang Marsha dengan sastu tangannya. Mau tidak mau, Marsha menatap wajah lelaki itu. Hati Marsha tiba-tiba terasa sakit, karena tiba-tiba ia teringat anaknya begitu melihat paras lelaki di hadapannya ini.
Akhirnya Marsha mengangguk. Marsha menuruti lelaki itu. Marsha melakukannya, sesuai dengan yang diperintah oleh lelaki itu. Marsha lantas merendahkan posisinya, ia menumpu tubuhnya dengan kedua lutut, lalu perlahan ia mulai melakukannya dengan mulutnya. Seperti menikmati es krim, Marsha mengulum milik lelaki itu.
Setelah selama 5 menit kegiatan itu berlangsung, Marsha pun menyudahinya. Lelaki itu tampak mengulaskan senyum puasnya mendapati apa yang ia inginkan.
“Kita lanjut lagi di kamar,” ucap lelaki itu.
“Lanjut apa?” Marsha bertanya dengan nada yang terdengar sedikit khawatir.
Kedua mata bulat lelaki itu menatap Marsha dengan tatapan menyeringai, lalu ia berujar di dekat Marsha, “I want to be in you, Marsha. He could do the same thing with you, but I knew you will always comeback to me.”
***
Terdengar suara bel pintu yang menginterupsi kegiatan kedua sejoli yang sedang berada di atas ranjang itu. Kira-kira sudah sebanyak 3 kali, bunyi mereka mendengar bunyi tersebut.
“Buka pintunya,” ujar lelaki yang lantas membiarkan Marsha pergi dari kungkungannya.
Marsha cepat-cepat mengambil pakaiannya yang berceceran di lantai. Setelah dengan rapi memakai stelan bajunya, Marsha berjalan meninggalkan kamar untuk membuka pintu.
Saat Marsha melihat dari layar pemantau yang mengarah ke luar, Marsha seketika nampak tercekat. Namun ia tidak bisa terus menghindar. Akhirnya Marsha membuka pintunya. Marsha kemudian langsung berhadapan dengan seorang pria berusia 40 tahunan yang merupakan pemilik unit apartemen yang jadi kediamannya.
“Langsung saja saya katakan ya, Mbak Marsha. Saya ke sini ingin menagih uang sewa apartemen, karena waktu gadai perhiasan yang Mbak gadaikan ke saya sudah habis. Jadi sesuai kesepakatan, barangnya jadi milik saya. Untuk tagihan bulan ini, Mbak perlu membayar karena juga sudah lewat batas waktunya,” jelas lelaki di hadapan Marsha.
“Pak Herdian, tolong kasih keringanan. Tolong kasih waktu, saya pasti bayar,” ucap Marsha dengan nada memohon.
“Saya kasih waktu kalau begitu, tapi cuma dua hari. Kalau lusa masih belum bisa melunasi, Mbak harus keluar dari apartemen saya.” Setelah mengatakan itu, Herdian pun berlalu dari hadapan Marsha. Marsha terdiam di tempatnya selama beberapa detik. Pikiran Marsha kini terasa penuh, otaknya tidak dapat berpikir dan menemukan cara untuk mendapat uang.
Marsha memutuskan kembali masuk ke dalam setelah menutup pintunya. Begitu Marsha sampai di ruang tamu, ia mendapati Rafandra berada di sofa. Lelaki itu tengah menatap Marsha, tatapannya seperti biasa. Selalu netra itu menatapnya seperti ingin menelanjanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Raf, kita bakal diusir dari sini kalau dalam dua hari nggak lunasin biaya sewa,” ujar Marsha.
Rafandra masih diam, lelaki itu malah hendak berlalu dari Marsha. Namun dengan cepat Marsha menahan lengannya.
“Selama ini aku yang udah bayar uang sewa dan biayain hidup kita. Tapi kamu, ngapain? Kerjaan kamu tiap hari cuma habisin uang untuk hiburan kamu di luar sana,” ucap Marsha.
Rafa lantas menyentak pegangan Marsha di lengannya. “Emang itu tugas kamu, Sha. Kalau kamu nggak mau, kamu udah tau konsekuensinya.”
“Raf …” Marsha berucap lirih. Matanya nampak berkaca-kaca. Rasanya percuma bicara dengan lelaki di hadapannya ini.
“Sha, denger ya. Aku nggak peduli sekalipun kamu memohon dan nangis di depan aku. Dari awal, kamu yang memilih untuk memulai hubungan ini. You left him for me, remember that?”
Marsha seketika dubuat terdiam seribu bahasa. Kedua irisnya menatap Rafa dengan tatapan nyalang, yang hanya dibalas Rafa dengan decakan kecil yang lolos dari bibirnya.
Rafa lantas mendekat pada Marsha dan berujar di dekatnya, “Oh iya, kamu harusnya tau di mana kamu bisa dapet uang. Kamu kan masih punya orang tua dan juga suami. Terutama suami kamu, dia punya banyak uang dan kamu punya hak karena kamu adalah istrinya. Silakan aja kamu balik ke dia, tapi inget, aku selalu tau cara untuk bikin kamu balik lagi ke aku.”
Setelah mengatakannya, Rafa berlalu begitu saja dari hadapan Marsha.
Marsha masih berdiri di tempatnya selama beberapa detik. Kemudian tanpa Marsha sadari, air mata telah mengalir begitu saja membasahi pipinya. Isakan kecil juga lolos dari bibirnya, dan itu terus berlangsung bersamaan dengan kedua bahunya yang tampak bergetar.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭