His Fearness

Kafka, Barra, Romeo, dan Calvin datang menjenguk Raegan keesokan harinya. Raegan dan Kaldera pun bertanya bagaimana kondisi Aksa saat ini. Rupanya Aksa dirawat karena mengalami luka-luka yang cukup serius, jadi lelaki itu tidak bisa ikut datang menjenguk. Aksa melawan dua orang anggota Leonel untuk membiarkan Kafka selamat, dengan tujuan Kafka dapat memberitahu Raegan tentang Kaldera yang diculik. Semua kejadian menciptakan begitu banyak pengorbanan juga termasuk dari Aksa dan Kafka.

Setelah sekitar 20 menit membesuk, mereka berpamitan untuk pulang. Selain jam besuk yang singkat, mereka memang harus membiarkan Raegan memiliki waktu istirahat yang lebih banyak.

“Kaf, makasih ya untuk semuanya,” ucap Kaldera kepada Kafka. Kaldera mengantar Kafka sampai ke pintu ruang rawat, sementara Romeo, Barra, dan Calvin memberi kedua orang itu ruang untuk untuk bicara empat mata.

“Sama-sama, Kal. Oh iya, gue mau menyampaikan sesuatu ke lo,” ujar Kafka.

“Soal apa Kaf?” tanya Kaldera.

“Ini soal Aksa. Aksa ngelakuin itu karena dia nggak mau sampai menyesal untuk yang kedua kalinya, Kal. Dia udah kehilangan sahabat terbaiknya, Zio udah berkorban besar banget untuk Aksa. Jadi, Aksa janji kalau dia akan membalas budi dengan menjaga harta yang paling berharga bagi Zio, yaitu lo.”

Mendengar penurutan Kafka, Kaldera seketika merasa terenyuh. Kaldera mengalihkan pandangannya guna menahan air matanya.

“Yaudah Kal, gue balik dulu ya,” ujar Kafka. Kaldera mengangguk sekali dan menunggu sampai Kafka menjauh. Kaldera masih di tempatnya dan memikirkan semuanya. Begitu besar Kaldera telah kehilangan, tapi ia juga mendapat begitu banyak kasih sayang setelah kehilangannya itu.

***

“Mereka udah pulang?” pertanyaan itu yang pertama kali Raegan tanyakan begitu Kaldera kembali ke ruang rawatnya dan duduk di samping ranjangnya. Raegan dengan posisi duduknya, ia menyadarkan punggungnya ke sandaran kasur yang telah dibuat dalam posisi setengah tegak.

“Kafka udah pulang. Kalau mas Romeo, mas Calvin sama mas Barra lagi ke kafetaria di lantai satu, katanya mereka nanti mau balik ke sini lagi,” ujar Kaldera.

“Balik ke sini lagi? Jam besuknya kan udah mau habis. Mereka mau ngapain?” tanya Raegan.

“Mungkin masih ada yang mau dibicarain sama kamu. Emangnya kenapa kalau mereka ke sini?” Kaldera justru balik bertanya, kedua alisnya bertaut di tengah.

Raegan dan Kaldera pun saling bertatapan, cara Kaldera menatapnya tiba-tiba membuat Raegan menjadi sedikit gugup. Namun Raegan tidak akan lagi membiarkan dirinya terlalu kaku di hadapan Kaldera. Raegan ingin menunjukkan perasaannya yang seutuhnya kepada Kaldera.

“Aku pengen berdua aja sama kamu,” ucap Raegan kemudian.

Kaldera yang mendapat tatapan Raegan yang begitu dalam ketika menatapnya, membuatnya gugup dan canggung. Mereka masih saling menatap dengan intens satu sama lain, sampai pada akhirnya …

Cklek!

Pintu ruang rawat itu terbuka bersamaan dengan munculnya Romeo, Barra, dan Calvin. Ketiga pria itu lekas menatap ke arah Raegan dan Kaldera dengan tatapan memicing dan senyum yang tertahan.

“Hayoo kalian lagi ngapain berduaan?” seru Romeo.

“Nggak ngapa-ngapain,” ucap Kaldera cepat.

“Kalau nggak ngapa-ngapain kenapa kayak panik gitu deh pas kita dateng,” celetuk Calvin.

Raegan berdeham dua kali, lalu ia berujar, “Ada yang mau kalian omongin sama gue?” tanya Raegan pada teman-temannya.

“Nggak ada sih. Mau ganggu kalian aja,” ujar Barra dengan begitu entengnya.

“Ada yang mau kita omongin, ini soal Leonel,” ucap Romeo akhirnya. Romeo, Calvin, dan Barra lantas saling melempar pandangan. Raegan menatap teman-temannya itu satu persatu.

“Kemarin malam kita nggak berhasil mendapatkan Leonel. Tiba-tiba ada kompolotan yang datang dan bantuin Leonel untuk kabur. Tapi kita nemuin sesuatu yang mungkin bisa bawa kita untuk nemuin keberadaan Leonel,” ungkap Calvin. Kemudian Calvin menunjukkan sebuah foto yang berhasil didapatkan oleh anggotanya, yakni foto dari sebuah plat mobil yang menolong Leonel malam itu.

“Kita udah lacak plat nomor itu dan nemuin titik di mana mobil itu sekarang. Kita akan berusaha ke sana untuk menemukan Leonel,” ujar Barra.

Raegan mengangguk sekilas. Raegan lantas mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya. Tanpa mereka sesungguhnya Raegan bukanlah siapa-siapa dan rasanya mustahil ia bisa sampai di titik ini.

“Lo sembuh total dulu, biar persoalan ini kita yang urus,” ujar Barra. Kemudian Barra melirik Kaldera dan Raegan, pria itu menatap keduanya dengan tatapan penuh arti seraya berujar, “Oh iya, jangan lupa. Selain urusan kesehatan, urusan percintaan juga harus dikelarin.”

***

Romeo, Barra, dan Calvin telah pamit. Kini di ruang rawat itu hanya ada Kaldera dan Raegan. Setelah apa yang terjadi kemarin, keduanya belum sempat berbicara mengenai hal itu secara empat mata. Ada sesuatu yang ingin Kaldera utarakan, tapi Raegan malah bertanya apakah Kaldera akan menginap malam ini atau pulang ke rumah.

“Iya, aku nginep malam ini. Aku tidur di sofa bed,” ujar Kaldera akhirnya.

Raegan pun mengangguk sekilas, sebuah senyum lantas tidak bisa dicegah untuk terbit di wajahnya.

“Mas, mama sama papa kemarin khawatir banget lho sama kamu. Dokter juga sempat ragu waktu operasi, karena katanya kamu pernah punya luka di tempat yang dekat sama posisi pelurunya,” ujar Kaldera.

“Kamu nggak mikirin diri kamu sendiri, kemarin kamu hampir nggak selamat, Mas,” Kaldera menjeda ucapannya sesaat, gadis itu menghela napasnya sesaat, lalu menghembuskannya dengan helaan yang panjang.

“Aku udah nggak papa sekarang, Kal,” ucap Raegan. Raegan lalu meraih satu tangan Kaldera dan menggenggamnya dengan tangan besarnya.

“Mas, kamu nggak punya rasa takut yaa emangnya?” Kaldera berucap dengan matanya yang tidak lepas menatap Raegan. Dari tatapan Kaldera, Raegan dapat melihat pancaran kasih sayang yang perempuan itu berikan untuknya.

“Aku cuma mikirin kamu waktu itu, Kal,” ujar Raegan. Satu tangan Raegan yang tidak memegang tangan Kaldera lantas mengarah ke dadanya, di mana luka jahitannya berada.

“Arghh,” Raegan merintih kesakitan dan seketika Kaldera langsung menatapnya dengan tatapan khawatir.

“Mas, kamu kenapa? Aku panggilin dokter dulu sebentar,” ujar Kaldera yang segera bergerak dari posisinya, tapi Raegan dengan cepat menahan pergelangan tangannya, membuat Kaldera kembali ke posisi duduknya.

“Aku nggak papa. Mau ngetes aja,” ujar Raegan seraya mengulaskan senyum segaris di wajahnya.

Kaldera seketika membelalakkan matanya, dan kedua alisnya bertaut tanda bahwa ia bingung. “Ngetes apa?”

“Aku penasaran kamu khawatir apa engga sama aku,” ujar Raegan.

Kaldera seketika memutus kontak matanya dengan Raegan. Tanpa bisa Kaldera cegah, pipinya kini terasa menghangat. Raegan justru nampak senang memandangi wajah Kaldera yang saat ini terlihat bersemu kemerahan.

Soal pertanyaan Kaldera apakah Raegan tidak memiliki ketakutan, jawabannya adalah Raegan memilikinya. Ketakutan terbesar Raegan bukanlah tentang dirinya, melainkan ketakutan tersebut adalah tentang Kaldera. Raegan takut bahwa ia selamanya tidak bisa memberikan kehidupan yang aman dan nyaman sebagaimana yang Kaldera impikan. Raegan takut ia tidak dapat mewujudkan itu untuk orang yang ia cintai.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂