It's Oke to Tell

Mengenai kejadian dua hari lalu, pada akhirnya Marcel yang mengantar Lilie pulang. Benar saja, hujan turun cukup deras beberapa saat setelah Lilie dan Marcel meninggalkan Edgar di kafe itu.

Langit yang menurunkan hujan malam itu, seolah melengkapi suasana hati melankolis yang tengah dirasakan oleh Edgar. Lelaki itu sedikit terluka, tapi tidak lantas membuatnya menyerah untuk memperjuangkan Lilie. Bagi Edgar, ia belum berjuang untuk membuat Lilie mencintainya. Jadi, sebenarnya perjuangan baru akan dimulai. Kalau pun nantinya ada persaingan, Edgar tidak akan masalah dengan hal itu. Ia siap untuk bersaing, meskipun saingannya adalah masa lalu Lilie ; seorang yang terlihat sempurna dari segala aspek jika dibandingkan dengannya.

Hari ini Edgar dan Lilie memang telah berencana untuk pulang lebih telat dibandingkan karyawan di divisi sosial media yang lain. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan dan deadline-nya adalah besok pagi, jadi pulang telat merupakan solusi agar target pekerjaan dapat tercapai.

Waktu kini telah menunjukkan pukul 8 malam. Akhirnya pekerjaan yang dikerjakan Lilie dan Edgar telah selesai. Lilie bergerak mengemasi barang-barangnya, begitu juga dengan Edgar. Tadi siang, mereka telah membicarakan kalau akan lembur dan Edgar menawarkan untuk mengantar Lilie pulang. Edgar bilang, arah rumahnya dan Lilie searah, jadi tidak masalah baginya untuk mengantar Lilie.

“Rumah kamu di daerah mana sih Gar?” Lilie bertanya ketika mereka berjalan bersisian menuju parkiran motor.

“Searah deh Kak sama rumah Kakak,” jawab Edgar.

“Yaa rumah kamu di daerah mana?” Lilie masih bertanya.

Edgar menyerahkan helm kepada Lilie. Lilie segera menerimanya dan memakai benda itu di kepalanya.

“Rumah aku di daerah Pondok Indah. Sekitar delapan kilo meter jaraknya dari rumah Kakak. Deket, kan?”

“Itu jauh, Edgar. Arahnya beneran searah? Taunya nanti enggak.”

“Searah, Kak,” ucap Edgar sambil memakai helmnya. Lilie akhirnya hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Edgar kemudian mulai naik ke motornya lebih dulu dan menunggu Lilie untuk naik ke boncengan.

Motor Edgar yang cukup tinggi membuat Lilie agak susah ketika ia akan naik ke boncengan. Jadi otomatis Lilie menjadikan pundak Edgar sebagai pegangan untuk menjaga tubuhnya tetap seimbang ketika naik ke atas motor.

Selama beberapa detik itu terjadi, Edgar merutuki jantungnya yang berdetak tidak normal. Lagi, itu terjadi ketika Lilie berada di dekatnya, terlebih ketika Lilie melakukan sesuatu yang entah bagaimana bisa berhasil membuat hatinya membuncah bahagia.

“Udah Kak?” Edgar bertanya untuk memastikan Lilie telah duduk dengan nyaman di jok motornya.

“Udah,” ujar Lilie.

Setelah ujaran tersebut, Edgar segera menjalankan motornya meningglkan parkiran.

Jarak duduk antara Edgar dan Lilie memang sangat dekat, dikarenakan jok motor Edgar yang berukuran minim. Namun posisi keduanya masih dibatasi oleh tas ransel hitam milik Edgar. Karena alasan kesopanan dan saling menghormati satu sama lain, Edgar sebelumnya telah mengatakan bahwa Lilie bisa berpegangan pada tasnya jika perempuan itu ingin berpegangan.

***

Lilie POV

Malam ini aku kembali lembur di kantor, tapi ada yang berbeda dari biasanya, yakni Edgar bersedia menemaniku menyelesaikan pekerjaan di luar jam normal. Sebenarnya tidak ada ketentuan bagi anak magang untuk lembur, tapi Edgar mengatakan ia tidak keberatan untuk melakukannya.

Selain itu, Edgar menawarkanku untuk mengantar pulang sampai rumah. Aku sebenarnya tidak enak untuk lagi-lagi menerima kebaikannya, karena sebelumnya Edgar juga telah banyak berbuat baik kepadaku. Edgar beberapa kali membelikan makanan untukku dan malam ini, bahkan ia bersedia kerja lembur di kantor bersamaku.

Namun pada akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Mungkin ini akan jadi pertama dan terakhir Edgar mengantarku ke rumah dan sampai repot seperti ini. Bukannya aku sombong karena ingin menolak tawaran baik seseorang, tapi gosip yang semakin santer terdengar di kantor tentang aku dan Edgar ; membuatku akhirnya merasa sungkan juga terhadapnya. Pastilah juga rasanya tidak nyaman bagi Edgar, apalagi dia juga terlihat dekat dengan Riana. Aku tidak ingin timbul kesalahpahaman yang mungkin bisa menciptakan gosip yang lebih besar lagi.

Setelah sekitar 30 menit lebih berkendara, motor Edgar kini telah sampai di depan pagar putih rumahku. Tadi jalanan sebenarnya cukup padat, tapi karena kami berkendara dengan motor, jadi bisa lebih cepat sampai karena terhindar dari macetnya lalu lintas.

“Hati-hati Kak turunnya,” ujar Edgar begitu aku hendak turun dari motor.

Aku pun berhasil turun dari motor yang cukup tinggi itu dengan cukup berhati-hati tentunya.

“Untung malem ini nggak hujan ya,” ujarku dengan nada bergurau.

“Bagus dong kalau gitu,” ujar Edgar.

“Edgar,” ujarku sebelum lelaki itu akan kembali memakai helmnya.

“Kenapa Kak?”

“Kamu udah jauh-jauh nganterin aku. Mau mampir dulu nggak?”

Beberapa detik kemudian, Edgar pun akhirnya menjawab. “Boleh deh Kak,” ujarnya diiringi sebuah anggukan.

“Oke. Yuk masuk dulu. Aku buatin minuman,” ujarku kemudian.

***

Edgar POV

Aku bertemu dengan papanya Lilie begitu memutuskan untuk mampir sebentar. Lilie menjelaskan situasinya dan mengenalkanku pada Papanya sebagai teman kerjanya di kantor.

“Makasih ya Edgar udah repot-repot nganterin Lilie pulang,” ujar lelaki paruh baya di hadapanku sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dan Lilie hanya berdua di teras.

Lilie's House

Aku dan Lilie duduk bersebelahan di kursi teras, yang dibatasi oleh sebuah meja kecil. Aku menikmati teh manis yang Lilie buatkan untukku, kemudian meletakkan cangkir teh tersebut di atas meja.

Aku memang penasaran dan timbul berbagai pertanyaan di benakku, mengapa hanya ada ayahnya Lilie? Lantas ke mana ibunya? Namun tidak mungkin aku bertanya pada Lilie untuk sekedar menjawab rasa penasaranku.

Aku menoleh ke samping. Tatapanku dan Lilie bertemu, lalu entah bagaimana tanpa aku duga, Lilie tiba-tiba berujar, “Papaku udah jadi single parent sejak Mamaku meninggal. Waktu Mama pergi, adek aku yang paling kecil masih umur 10 tahun.”

Aku cukup terkejut mendengarnya. Aku hanya mampu terdiam. Aku bingung bagaimana harus bereaksi dan memberi respon ; yang sebenarnya aku sudah tahu bahwa pasti berat kehilangan sosok yang sangat kita cintai.

“Kak, I'm sorry for your lost,” ucapku setelah beberapa detik hanya keheningan yang menyelimuti kami.

“Kak, waktu itu aku nggak sengaja liat foto di meja kerja. Jadi ... aku pikir Mama Kakak masih ada. Aku minta maaf kalau aku lancang ngomong gini,” ujarku apa adanya.

Aku memperhatikan Lilie, perempuan itu justru nampak mengulaskan senyumnya sekilas. “Nggak papa, Edgar. Pasti tadi kamu heran ya karena cuma ada Papaku aja.”

Aku tidak ingin menduga terlalu jauh, tapi sepertinya aku tahu alasan Lilie sangat berambisi dan giat terhadap pekerjaannya. Lilie adalah tulang punggung bagi keluarganya. Setelah tadi sempat berbincang berdua dengan Papanya Lilie, aku jadi tahu bahwa beliau sudah pensiun bekerja. Selain itu, dari informasi yang aku dapat dari Kak Fina, Lilie bisa berkuliah karena bantuan beasiswa.

Untuk kesekian kalinya, aku berhasil dibuat kagum pada sosok Lilie. Sosok yang tidak disangka, yang malam ini duduk di sampingku dan kami dapat mengobrol ringan, layaknya dua orang yang sudah saling mengenal. Aku dan Lilie mengobrol beberapa hal, Lilie menceritakan tentang bagaimana ia lulus dari kuliahnya. Lilie mengutarakan bahwa ia ingin mendapat pendidikan terbaik karena ingin mendapat pekerjaan terbaik. Terlebih, Papanya telah pensiun, maka Lilielah yang menajdi tulang punggung keluarga.

Sorry aku tiba-tiba jadi cerita kayak gini ke kamu,” ucap Lilie.

“Nggak papa Kak,” ujarku kemudian.

Beberapa menit berselang, aku akhirnya memutuskan untuk berpamitan pulang. Teh manis di gelas sudah habis, juga hari sudah semakin malam. Lilie pasti butuh istirahat, bukannya malah semakin lama menghabiskan waktu mengobrol denganku.

Lilie mengantarku sampai ke depan pagar. Perempuan itu masih di sana, sepertinya baru akan masuk ketika aku sudah berlalu.

Aku membuka kaca helm full face-ku, mesin motorku sudah menyala, tapi aku belum berniat pergi dari sana.

“Kak Lilie,” ujarku.

“Iya Gar?” Lilie lantas menatap lurus ke arahku dan menunggu kalimatku.

“Aku nggak tau gimana rasanya yang Kakak alamin, karena belum pernah ngalamin. Tapi pasti berat banget kehilangan orang yang kita sayang. Kakak hebat udah bisa sampai sejauh ini, ada di titik karir dan posisi Kakak yang sekarang. Nggak papa Kakak pengen cerita, berbagi bukan berarti kita lemah. Kadang kita butuh seseorang buat transfer apa yang kita rasain, biar habis itu bisa ngerasa lebih lega,” ujarku.

Usai mengatakan rentetan kalimat tersebut, aku benar-benar pamit dari hadapan Lilie. Mungkin aku akan merutuki perkataanku nantinya. Namun yang jelas aku ingin Lilie tahu bahwa, tidak masalah menceritakan dan berbagi hal kepada orang lain. Mendapati Lilie yang terlihat menutup diri dan sering memikul bebannya sendirian, membuat aku aku merasa khawatir kepadanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕