Kebahagiaan Kecil untuk Gio

Restoran

Kemarin Sienna telah membuat sebuah keputusan. Sienna bersedia membantu Alvaro, ia akan bertemu dengan Gio beberapa kali. Ketika waktunya dirasa tepat, Sienna akan memberi pengertian kepada Gio kalau ia bukanlah bundanya dan tidak bisa selalu berada di sisi Gio. Sienna tidak tahu keputusannya akan berakhir baik atau justru sebaliknya, tapi ia lebih tidak bisa melihat Gio bersedih dan kecewa. Sienna yakin suatu hari ia dapat meyakinkan Gio dan memberinya pemahaman.

Hari ini menjadi hari perdana Sienna berada di tengah-tengah Gio dan Alvaro. Mereka pergi bertiga untuk menikmati makan sore di sebuah restoran. Setelah beberapa menu makanan disajikan di meja, mereka mulai makan.

Alvaro yang duduk di hadapan Gio dan Sienna memperhatikan aksi Sienna yang mengambilkan makanan untuk Gio. Alvaro baru saja akan melakukannya, tapi Sienna lebih dulu mengambil alih aksi itu. Kemudian Alvaro hanya mengambil makanan untuknya sendiri, dan ketika matanya bersinggungan dengan Sienna, Sienna sigap mengambilkan piring berisi tumisan sayur yang letaknya agak jauh dari Alvaro.

“Terima kasih,” ucap Alvaro.

Sienna hanya mengangguk sekilas. Kemudian fokus Sienna kembali pada Gio, karena bocah itu meminta Sienna menyuapinya.

“Gio, kamu kan udah bisa makan sendiri,” ujar Alvaro kepada anaknya.

“Sekali aja, Gio mau disuapin sama Bunda Sienna, Papa,” ucap Gio.

“Sienna, tapi lo juga harus makan,” ucap Alvaro lagi.

Sienna yang sudah akan mengambil piring milik Gio, menatap ke arah Alvaro. “Nggak papa, habis suapin Gio, gue baru makan,” tuturnya.

Seperti itulah yang akhirnya terjadi. Gio tersenyum senang dan melemparkan tatapan kemenangannya ke arah Alvaro. Sampai beberapa menit berlalu, ketika Alvaro sudah selesai dengan makanannya dan menawarkan agar ia yang menyuapi Gio, tapi yang terjadi tetap saja anaknya memilih disuapi oleh Sienna.

“Gio, Papa punya foto kamu waktu kamu nangis kemarin lho,” celetuk Alvaro. Kemudian Alvaro mengeluarkan ponselnya dan hendak menunjukkan foto itu kepada Sienna.

“Papa, jangan tunjukin fotonya ke Bunda. Gio malu, Papa,” protes Gio sambil menatap Alvaro dengan tatapan memohonnya.

“Kalau gitu, kamu masih mau nangis lagi nggak besok?” tanya Alvaro. Gio tidak menjawab pertanyaan Alvaro, anak itu justru mengadu pada Sienna dan meminta pertolongan padanya.

Dari apa yang terjadi di depan Sienna itu, mengalirlah cerita tentang perubahan Gio semenjak Marsha pergi. Alvaro menceritakannya pada Sienna, karena ia merasa khawatir dan tidak mengerti terhadap apa yang terjadi dengan anaknya. Berdasarkan apa yang diceritakan Alvaro, Sienna yang pernah belajar tentang parenting anak, akhirnya mencoba memberi penjelasan kepada Alvaro.

“Gio lagi ngalamin fase adrenarche. Lo nggak perlu terlalu khawatir, ini fase yang wajar yang dilalui sama semua anak seusia Gio. Cuma emang beda-beda di tiap anak, ada anak yang lebih ekspresif dan ada yang nggak terlalu ekspresif. Sebenarnya kalau lagi ngalamin fase ini, anak butuh perhatian lebih dan didengarkan apa yang dia rasain. Anak butuh dimengerti dan support dari orang-orang sekitarnya.”

Setelah penjelasan yang diutarakan oleh Sienna, Alvaro akhirnya mengerti. Alvaro lega mendengarnya, artinya anaknya hanya sedang menghadapi suatu fase yang normal. Sesuai penjelasan Sienna, terdapat hormon-hormon yang mulai terlihat pada Gio yang suatu hari akan menghantarkan anak itu ke masa pubertasnya. Sienna juga memberi tahu Alvaro apa saja yang sekiranya bisa lelaki itu lakukan saat menghadapi Gio yang tantrum.

“Sienna,” ujar Alvaro.

Sienna yang sedang fokus dengan makanannya, langsung beralih pada Alvaro.

“Ya?”

Alvaro terlihat menimbang apa yang akan dikatakannya. Lelaki itu tampak menahannya, tapi akhirnya tetap mengutarakannya. “Uhm … sebenarnya gue udah tau sesuatu.”

“Soal apa?”

Masih sambil menatap Sienna lurus-lurus, Alvaro mengatakan bahwa ia sudah tahu Sienna yang saat ini ada di hadapannya adalah Sienna yang ia kenal 14 tahun lalu. Selain itu, Alvaro yang ada di hadapan Sienna ini, adalah Alvaro yang dulu pernah menyatakan perasaannya kepada Sienna saat di Sekolah Dasar.

Sienna lantas terlihat sedikit terkejut mendengar semuanya.

“Lo lanjut makan aja dulu,” ujar Alvaro sembari terkekeh pelan karena mendapati reaksi Sienna yang menurutnya sangat lucu. Berkat ucapan Alvaro, Sienna jadi terbengong dan menghentikan aksi menyantap makanannya. Sienna akhirnya kembali menikmati makanannya, perempuan itu nampak gugup dan menahan senyumannya.

“Gio mau pesan es krim?” celetuk Alvaro.

“Mau dong, Papa. Gio kan suka es krim. Gio mu yang rasa coklat ya.”

“Oke, Papa pesenin es krim dulu,” Alvaro bergerak dari kursinya, tapi sebelum berlalu, lelaki itu kembali. “Sienna, lo mau es krim rasa apa?” tanya Alvaro pada Sienna.

“Vanilla aja,” jawab Sienna.

“Oke.”

Sepeninggalan Alvaro dari sana, Sienna tampak menghembuskan napasnya. Dalam hatinya, Sienna meurutuki dirinya yang mungkin terlihat aneh di hadapan Alvaro. Habis bagaimana lagi, Sienna tidak menduga kalau Alvaro sudah tau dan mengatakannya padanya hari ini juga.

Tidak lama kemudian, Alvaro pun kembali ke meja. Alvaro kembali dengan dua buah cup es krim di tangannya yang lantas ia letakkan di depan Gio dan satu lagi di depan Sienna.

Usai Sienna menghabiskan makanannya dan meneguk air minumnya, Sienna langsung menyantap es krimnya.

“Sebenarnya gue udah tau sejak pemotretan untuk brand parfum waktu itu,” ujar Sienna mencoba untuk mencairkan suasana.

“Ohya?” Lagi, Alvaro tertawa pelan berkat ucapan Sienna.

“Tapi gue nggak langsung ngenalin lo waktu itu,” ujar Sienna lagi. “You knew, everything has changed, right?

Alvaro mengangguk setuju. “Sebenernya gue masih inget nama panjang lo. Tapi lo tau, yang namanya Sienna banyak banget.”

Sejak obrolan yang mengalir begitu saja diiringi juga tawa dan senyuman, keduanya jadi tidak terlalu secanggung sebelumnya. Alvaro dan Sienna saling mengenal di masa lalu, dan kini mereka dipertemukan dengan cara yang terbilang cukup tidak terduga.

“Gio,” ujar Sienna.

“Iya Bunda?” Gio menoleh pada Sienna dan kini fokus menatap ke arahnya.

“Hmm … boleh Gio dengerin Bunda sebentar dulu?”

“Boleh, Bunda. Ada apa?”

Sienna sejenak menatap Alvaro, dan setelah anggukan kecil dari lelaki itu, Sienna akhirnya berujar, “Nanti malam, Gio tidurnya jam sembilan, ya? Karena Gio besok harus bangun pagi dan berangkat ke sekolah.”

“Kenapa nggak boleh jam sepuluh Bunda? Gio kan mau main game dulu sebelum tidur.”

“Hmm … boleh kok main game, tapi di hari Sabtu dan Minggu aja. Kalau Gio tidurnya jam terlalu malam, kasihan tubuh Gio istirahatnya jadi kurang deh. Kalau istirahatnya kurang, kayak mesin yang nyala terus, lama-lama bisa rusak dan nggak berfungsi.”

Sebelumnya Alvaro telah mengatakan pada Sienna kalau Gio sering mengalami sulit tidur di malam hari. Berakhir Gio baru terlelap di jam 10 atau bahkan bisa di atas jam tersebut. Alvaro seringkali tidak sabar menghadapi anaknya, pasalnya ia juga sudah mengantuk, jadi kadang ketiduran lebih dulu dibanding Gio.

“Gitu yaa Bunda?” tanya Gio dengan wajah polosnya.

“Iya. Gio sayang sama tubuh Gio, kan?” ujar Sienna dengan suara lembutnya dan tatapannya yang teduh menatap Gio.

Gio akhirnya mengangguk setuju. Bahkan Gio sangat antusias ketika Sienna mengajaknya pinky promise. Gio telah berjanji pada Sienna kalau ia akan tidur di jam 9 malam, karena Gio menyayangi tubuhnya.

Alvaro memperhatikan interaksi yang terjadi di hadapannya itu. Ia terkagum dengan cara Sienna memberi pemahaman kepada Gio. Tidak terkesan menggurui dan mudah diterima. Padahal kalau Alvaro, mungkin ia akan dengan mudah tersulut emosi dan berakhir Gio tidak dapat menerima penjelasannya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭