Kesempatan dan Pelampiasan
“Halo, Sayang. Iya ... hari ini ini aku nggak bisa jemput kamu. Lagi lumayan padat di kantor,” ujar Aryo di telfonnya.
“It's oke. Aku bisa minta tolong jemput Egha,” balas Tiara.
Aryo mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu ruangannya untuk masuk. Kemudian matanya mendapati Rama memasuki ruangannya.
“Oke. Oh iya, kamu udah makan siang?” ujar Aryo lagi. Rama memberikan isyarat pada Aryo bahwa tujuan kedatangannya adalah ingin menyerahkan berkas pekerjaan. Aryo lantas memintanya untuk menunggu ia selesai menelfon.
“Udah kok barusan,” jawab Tiara.
“Kira-kira kamu selesai bimbingan jam berapa?” tanya Aryo.
“Jam 5-an deh kayaknya. Ini lagi nunggu giliran bimbingan.”
“Yaudah, Sayang, aku tutup dulu ya telfonnya. Kamu hati-hati, semangat bimbingannya.”
“Aryo,” ujar Tiara yang membuat Aryo urung mematikan telfonnya.
“Iya?”
“I love you.” ucap Tiara. Aryo pun yang mendengar itu seketika terdiam. Rama lantas memerhatikan ekspresi atasannya yang mendadak berubah menjadi secerah matahari di musim panas.
“Suddenly?” tanya Aryo beberapa detik setelah ia membeku layaknya sebuah patung.
“Yaa, aku mau bilang aja. Biar kamu inget terus.”
“Hmm ... ya ... ” Aryo bergumam tidak jelas, tapi telfonnya belum juga dimatikan. “I love you more, Sayang. Bye. Aku tutup yaa telfonnya,” ujar Aryo akhirnya.
“Okey, bye.”
Sambungan telfon pun diakhiri. Aryo meletakkan ponselnya di atas meja dan beralih pada Rama yang kini menatapnya dengan tatapan heran.
“Di depan istri aja, lo waras. Di kantor kerja udah kayak nggak ada hari esok,” ujar Rama. Setelah mengatakannya, pria itu meletakkan beberapa berkas yang dibawanya di atas meja Aryo.
Aryo lantas mengambil berkas itu. Tatapan matanya begitu serius membaca laporan tentang penjualan sektor pembangunan perumahan. Selain itu terdapat laporan mengenai investasi yang berperan sebagai indikator utama proyek baru yang akan perusahaannya jalankan.
“Sesuai laporan yang lo baca, investasi properti di bulan lalu menyusut sampai 14 persen. Pasar saham dan obligasi menurun minggu lalu, karena investor melihat berita perlambatan properti yang lebih dalam. Lalu untuk proyek baru pengembang kita, anjlok sebanyak 33% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya,” jelas Rama.
“Gimana dari segi pembelian tanah?” tanya Aryo. Ia menutup satu file di tangannya dan membuka file lainnya. Matanya memindai lapora tersebut tapi bersamaan mencerna penjelasan Rama.
“Pembelian tanah kita menyusut dari bulan September. Proyek yang diselesaikan oleh pengembang kita menyusut sebesar 21%. Ini disebabkan karena penurunan harga yang menghalangi pembeli rumah yang khawatir soal nilai aset mereka. Jadi, posisi kita sebagai pengembang, sulit untuk menjual properti dan mendapatkan uang tunai yang sangat kita butuhkan untuk membiayai utang,” terang Rama panjang lebar.
Aryo menutup berkas-berkas itu dan bergerak dari kursinya.
“Lo mau kemana?” tanya Rama yang matanya tidak lepas mengekori pergerakan atasannya itu.
“Gue mau mencoba cara lain. Masih ada cara yang bisa kita lakukan untuk menaikkan penjualan dan membayar utang yang kita punya,” ujar Aryo.
“Gimana caranya?” tanya Rama yang belum dapat membaca isi pikiran Aryo.
Aryo sempat terdiam selama beberapa detik. Kemudian ia mengambil berkas dari dalam lemari. “Kita akan coba untuk memprioritaskan pekerja kita dan mengoptimalkan kesempatan yang ada. Selain sektor perumahan, masih ada sektor lainnya yang bisa kita perjuangkan. Ram, saat ini gue bertanggung jawab untuk perusahaan dan juga keluarga kecil gue. Gue akan mencoba cara apa pun, selama kesempatannya masih ada,” ujar Aryo.
Rama mengangguk dan mengulaskan senyumnya. “Istri lo dan perusahaan ini beruntung banget punya lo, Bro,” ujar Rama sebelum akhirnya mengikuti langkah Aryo keluar dari ruangan.
***
Selesai mengikuti bimbingan untuk skripsinya sekitar pukul 5 sore, Tiara memutuskan untuk tidak langsung pulang. Tiara menguatkan hatinya untuk datang ke kantor suaminya. Di tempat ini, Harapan Jaya Group membangun bisnisnya dari nol sampai sebesar sekarang. Terkadang bayang-bayang masa lalu itu masih kerap menghampirinya dan membuatnya teringat akan orang tua kandungnya.
Sesampainya Tiara lobi, orang-orang yang berpapasan dengannya sontak melihat ke arahnya sekitar 3 detik, lalu mereka berbisik-bisik dan langsung membuang muka.
Tiara mengabaikan hal tersebut dan terus melangkahkan kakinya. Ia menaiki lift menuju lantai 20, dimana tujuan utamanya berada.
“Tiara,” panggil seseorang ketika ia sampai di lantai 20. Tiara mendapati orang yang memanggilnya adalah pria jangkung berstelan jas abu-abu yang merupakan sekretaris suaminya.
“Mau ketemu pak Bos, ya? Ayo gue anterin ke ruangannya,” ujar Rama sambil mengulaskan senyum sopannya.
Tiara mengiyakan dan langsung mengikuti langkah Rama. Sesampainya mereka di depan ruangan dengan pintu berpelitur coklat keemasan itu, Rama mengatakan supaya Tiara menunggu lebih dulu, karena di ruangan Aryo sedang ada tamu. Akhirnya keduanya duduk di sofa yang tidak jauh dari sana.
“Pak Bos mah warasnya di depan lo doang. Di belakang lo nih ya, dia kerja udah kayak orang gila,” ujar Rama.
Tiara yang penasaran pun meminta Rama menceritakan soal Aryo selama suaminya berada di kantor. Apa yang ia dengar dari sekretaris suaminya, membuat Tiara sedikit terkejut. Rama mengatakan kalau Aryo tidak pernah menunjukkan kelemahannya di hadapan siapa pun, bahkan di depan papa dan mamanya. Padahal Rama tahu Aryo sedang sangat kalut karena masalah perusahaan.
Tidak lama kemudian, terlihat dua wanita keluar dari ruangan Aryo dan melewati mereka. Tiara mau tidak mau mendengar pembicaraan keduanya.
“Kayaknya itu istrinya pak Presdir,” ujar seorang perempuan pada temannya.
“Udah baca beritanya? Kasus itu yang buat perusahaan anjlok,” ujar perempuan satunya.
Setelah dua orang itu berlalu, Rama berujar pada Tiara, “Nggak usah di pikirin omongan orang-orang. Pikirin aja, Bos pasti seneng banget tau lo datang ke sini, ayo kita ke ruangannya,” ucap Rama sambil beranjak dari duduknya. Tiara beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti langkah Rama menuju ruang kerja suaminya.
***
Tiara mendapati ekspresi cerah di wajah Aryo ketika ia sampai di ruangannya. Aryo nampak sedikit terkejut dengan kedatangan Tiara yang tiba-tiba ke kantornya tanpa sepengetahuannya.
“Ram, tolong tutup pintunya,” ujar Aryo pada Rama yang hendak berbalik pergi dari sana.
Rama mengacungkan jempolnya sebelum menutup pintu dan berlalu. Sepeninggalan Rama, Tiara meletakkan totebag Gucci-nya di sofa, lalu ia menghampiri Aryo di balik meja kerjanya.
“Kok kamu nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Aryo sambil meraih satu tangan Tiara dan menggenggamnya.
Tiara mengusapkan ibu jarinya di tangan Aryo, “Aku mau ngajak kamu pulang. Liat tuh, mata kamu udah kayak panda. Ada kantung matanya,” tutur Tiara.
“Masa sih? Emang keliatan banget ya?” Aryo mengarahkan satu tangannya yang bebas untuk mengambil kaca dari laci meja. Namun Tiara lebih dulu menahan aksinya. Tiara mengusapkan ibu jarinya di area bawah mata Aryo. Secara otomatis, Aryo memejamkan matanya dan menikmati usapan lembut Tiara yang selalu berhasil membuatnya merasa nyaman.
Detik berikutnya, Aryo membuka matanya perlahan dan sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap Tiara. Tatapannya seolah mengadu pada Tiara, bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
“Ra, aku belum bisa membuat keadaan perusahaan membaik. Kayaknya semua cara udah aku coba, tapi nggak ada yang berhasil,” ucap Aryo, nada suaranya terdengar putus asa.
Selama beberapa detik, Tiara hanya menatap Aryo. Pandangannya begitu teduh. Tiara tidak menatapnya dengan tatapan kasihan yang membuat Aryo semakin merasa kecil. Justru Aryo merasa kalau Tiara begitu menyayanginya, dari cara perempuan itu menatap dan memperlakukannya.
“Aryo, kamu udah ngelakuin yang terbaik. Setiap manusia punya batas kemampuannya, kamu tau itu. Kalau kamu belum berhasil, bukan berarti masalahnya ada di kamu,” tutur Tiara.
Mereka saling bertatapan dan Aryo menghela Tiara untuk duduk di pangkuannya. Aryo memeluk pinggangnya dan meletakkan dagunya di bahu wanitanya.
“Sekarang kamu lagi dikasih kesempatan untuk mencoba cara lain. Ada banyak cara yang masih nunggu kamu buat kamu temukan,” Tiara mengarahkan tangannya untuk mengusap sisi wajah Aryo, “Tuhan tau, seberapa kemampuan umatnya dan nggak akan memberi cobaan di luar kemampuan yang kamu punya. Kamu harus yakini itu, yaa ... ?” ucap Tiara sambil mengusap lengan Aryo yang melingkar di perutnya.
“Ra, kita kayak gini 5 menit aja,” ucap Aryo dan langsung dibalas anggukan oleh Tiara.
“Kamu pegal nggak? Aku berat lho,” ujar Tiara.
“Mau kamu seberat apapun, aku akan jadi kuat buat kamu,” ucap Aryo sambil melesakkan kepalanya di ceruk leher Tiara dan memberikan sebuah kecupan manis di sana. Sentuhan Aryo di permukaan kulitnya selalu terasa sama, lembut dan sehalus kapas. Setiap Aryo melakukannya, jantung Tiara rasanya seperti dihujam oleh ribuan bintang.
“Kamu wangi banget sih, aku suka,” celetuk Aryo.
Sekitar berapa menit setelah posisi mereka tidak berubah, Tiara berujar, “Aryo.”
“Iya, Ra?” Aryo membuka matanya yang tadinya terpejam.
“Kamu boleh ngelakuin sesuatu yang kamu mau,” ungkap Tiara
Aryo tidak terlalu mengerti maksud perkataan Tiara. Bahkan ia tidak kepikiran tentang apa yang sedang ingin ia lakukan. “Maksud kamu ngelakuin apa?” tanya Aryo.
“Mungkin kamu kangen sama benda-benda masa lalu kamu. Kamu boleh, kalau mau melampiaskan perasaan itu lewat apa yang kamu suka. Gimana?” Tiara bergerak dari posisinya, ia memiringkan tubuhnya sedikit agar bisa menghadap Aryo. “Ruang penyimpanan minuman di basement rumah kita, kamu mau ke sana?”
***
Terima kasih telah membaca Emergency Married 💍
Berikan feedback berupa like, reply, hit me on cc, atau boleh juga dm aku ya. Aku menerima kritik dan saran yang membangun. Kalau ingin curhat apapun dan tanya-tanya juga boleh kok~
Semoga kamu enjoy sama ceritanya yaa, see you at next part!! 🌷