Like Father Like Daughter
5 tahun kemudian.
Lilie pernah memiliki mimpi ketika ia berusia 20 tahun. Lilie membayangkan suatu hari ia memiliki rumah sederhana miliknya sendiri. Rumah tersebut tidak harus besar, tapi nyaman untuk ditingali dan yang paling penting, ditempati olehnya dan juga orang-orang yang ia sayang.
Sejak mendapat pekerjaan tetap setelah lulus kuliah, Lilie telah rutin menyisihkan pendapatannya dari bekerja untuk ditabung. Lilie ingin memiliki simpanan untuk masa depannya, yang pada akhirnya, uang tersebut akan dipakai. Setelah menikah dengan Edgar, tidak lama mereka dikaruniai seorang anak yang dititipkan di rahim Lilie.
Beberapa bulan sebelum bayi cantik itu lahir, Lilie dan Edgar telah berhasil membeli sebuah rumah dari hasil kerja keras mereka. Lilie menggunakan sebagian uang tabungannya untuk membeli rumah itu, ditambah dengan punya Edgar. Lilie mengatakan pada Edgar bahwa Lilie memang menyisihkan uang itu untuk dipakai di masa depan.
Lilie bahagia karena kini ia telah mewujudkan satu persatu yang menjadi mimpinya. Terlebih Lilie bisa kembali bekerja setelah memutuskan resign begitu melahirkan anak pertamanya. 5 tahun lalu, Lilie meninggalkan pekerjaannya karena ingin mengurus dan merawat putrinya. Lilie ingin menikmati waktunya sebagai seorang ibu, serta menyaksikan setiap tumbuh kembang putri cantiknya.
Sabtu sore ini, sekitar pukul 3, Lilie baru saja sampai di rumah. Hari Sabtu Lilie masih bekerja setengah hari. Edgar libur bekerja di hari Sabtu, jadi biasanya suaminya itu akan menghabiskan waktunya bersama anak mereka di rumah.
“Hai hai, Bunda pulang nih,” ucap Lilie begitu ia membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam.
Lilie menunggu Lea yang biasanya dengan riang dan bersemangat menyambutnya ketika pulang bekerja. Benar saja, dua detik berikutnya, Lilie mendapati sosok putrinya menghampirinya. Sebuah senyum lebar mengembang di wajah cantik Lea begitu gadis kecil itu menghambur pada Lilie dan memeluknya.
“Yeay, Bunda udah pulang kerja,” ucap Lea.
Lilie mengusap puncak kepala anaknya, lalu juga mencium kedua pipi gembilnya.
Sesaat kemudian pelukan mereka terurai dan Lilie mendapati Edgar menghampirinya dan Lea di ruang tamu.
“Hari ini Lea sama Ayah nggak berantakin rumah, kan? Mbak nggak masuk lho hari ini. Kalau kalian main, mainannya harus dibereskan, oke?”
Seketika Lea menatap ke arah Edgar dan kedua manusia itu tersenyum bersamaan.
“Aman dong, Bunda,” ujar Edgar cepat.
“Aman sih, Bunda. Tapi Lea belum makan siang,” ujar Lea.
“Lho, ini udah sore. Kenapa Lea belum makan siang?”
“Tadi aku gorengin telor sama nugget buat Lea, tapi gosong semua, Yang. Terus nuggetnya udah habis di kulkas, aku bingung mau masakin Lea apa lagi,” ujar Edgar, lebih kepada pengakuan atas perbuatannya. Edgar lantas nyengir kecil, begitupun Lea yang malah mengikuti tingkah Ayahnya.
Lilie akhirnya hanya menghela napas panjangnya.
“Tapi Lea udah kenyang kok, Bunda,” ucap Lea.
Lilie seketika menatap Lea dan anaknya itu langsung menjelaskan.
“Kan di lemari ada chiki sama permen coklat, jadi tadi Lea sama Ayah makan itu deh. Jadi Bunda tenang aja, ya.”
Bukannya Lilie tenang, justru ia semakin mengelus dada karena harus bersabar. “Kalian ini kompak sama mirip banget ya kelakukannya. Nak, sini dengerin Bunda. Besok kalau dikasih permen sama Ayah, jangan mau. Lea harus makan nasi dulu, baru boleh makan permen. Ya Nak?” tutur Lilie menasehati anaknya.
“Iya, Bunda,” malah Edgar yang menyahut.
“Yang, jangan dikasih permen lagi anaknya kalau belum makan nasi,” ujar Lilie kepada Edgar.
“Iya, Sayang. Besok enggak lagi deh,” ucap Edgar sambil menampakkan senyum lebarnya. “Maafin aku ya?” tambah Edgar yang lantas menyusul langkah Lilie ke dapur.
Baru saja Lilie memaafkan Edgar, ia sudah dibuat pusing lagi. Pasalnya ruang keluarga dan dapur rumah mereka tampak tidak baik-baik saja. Beberapa barang berserakan di lantai, dan nugget gosong di dapur terlihat mengenaskan bersama telur dadar di piring yang warna dan bentuknya pun tidak jelas.
“Sekarang, Lea sama Ayah rapihin rumah dulu. Bunda mau order makanan, habis masak juga bingung. Dapurnya kacau balau begini.”
“Oke, Bunda,” ujar Lea disertai anggukannya.
“Oke, Yang,” ucap Edgar sambil mengacungkan ibu jarinya.
Lilie memperhatikan kedua manusia beda genarasi itu yang lagsung siaga membersihkan rumah, sesuai apa yang ia perintahkan. Mau tidak mau, akhirnya Lilie tidak dapat menahan senyumnya. Lucu juga, pikirnya.
Meskipun terkadang ayah dan anak itu membuatnya pusing tujuh keliling, tapi mereka juga alasan bagi Lilie untuk tersenyum dan merasa bahagia hanya dengan kehadiran keduanya. Lilie sungguh bersyukur dengan kenyataan bahwa ia memiliki Edgar dan Lea di dalam hidupnya.
“Yang, mending tau Lea makan permen dari pada dia makan telor dadar buatan aku,” celetuk Edgar yang kini telah selesai berberes. Edgar menghampiri Lilie yang tengah duduk di sofa ruang tamu.
“Emang kenapa telor dadar buatan Ayah?” Lilie bertanya pada Lea yang kini ikut bergabung dengan orang tuanya di sofa.
“Asin banget telornya, Bunda. Lea keasinan tau, terus gosong juga,” jawab Lea dengan lugu dan tampang polosnya.
“Nak, kamu jangan terlalu jujur dong,” celetuk Edgar.
“Habis Ayah masaknya sambil ditinggal main game, Bunda. Kan jadi gosong makanannya,” Lea malah mengadukan kelakuan Ayahnya pada Bundanya.
“Oh gitu yaa Yang? Kamu masak sambil main game. Besok-besok gini aja, Bunda nggak tingalin kalian di rumah berdua lagi.”
“Lho kenapa emangnya?” Edgar berceletuk dengan tampak bingungnya.
Lilie pun dengan cepat menjawab, “Nggak aman kalau kalian ditinggal berdua. Rumah bentukannya jadi nggak karuan, tau nggak.”
***
Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸
Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕