Love to Make You Survive
Marsha hari ini kembali datang rumah Alvaro. Marsha berniat mengambil beberapa barangnya yang masih tersisa di sana. Sebagian ada di kamar tidur, kamar yang dulu ditempati olehnya dan Alvaro. Marsha menyapukan matanya ke penjuru ruangan. Dahulu Marsha dan Alvaro mencurahkan kasih di sini. Namun kini semuanya telah 180 derajat berubah.
Marsha selesai dengan kegiatannya memasukkan barang-barang ke satu koper berukuran sedang. Setelah dirasa tidak ada lagi keperluan, Marsha memutuskan melangkah keluar kamar.
Marsha tidak berniat langsung pergi seorang diri. Marsha mencari keberadaan Gio di kamar anaknya.
“Gio? Nak?” panggil Marsha yang belum juga mendapat sahutan.
Marsha kembali mencari ke ruangan lain dan akhirnya menemukan Gio berada di ruang belajar. Gio tidak sendiri di sana, anaknya sedang bermain komputer bersama Alvaro.
Marsha masuk ke ruangan itu dan kehadirannya langsung di sadari oleh Alvaro dan Gio. Kedua lelaki beda generasi itu lantas mengalihkan atensi mereka kepada Marsha.
“Gio, ikut Mama nginep di rumah eyang uti dan eyang kakung, yuk?” ujar Marsha begitu langkahnya sampai di depan Gio dan Alvaro.
Gio tampak bingung memandang Marsha, lalu bergantian ia memandang Alvaro.
Alvaro masih diam di tempatnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya.
“Eyang-eyang pada kangen sama Gio, pengen banget ketemu sama Gio.” Marsha berucap lagi.
“Mama … kenapa eyang baru sekarang kangennya? Mama juga baru pulang ke rumah. Mama kemarin ke mana? Padahal Gio kangen Mama, tapi Mama nggak kangen Gio yaa?” pertanyaan polos itu lolos begitu saja dari bibir kecil Gio.
Marsha nampak gelagapan dan bingung bagaimana harus menjelaskan pada putranya.
“Mama sama Papa berantem ya? Kenapa Mama nggak tinggal di rumah ini lagi?” Gio berujar lagi.
“Engga, Sayang. Mama sama Papa nggak berantem kok,” ujar Marsha dengan suara pelannya.
Begitu Marsha meraih tangan Gio dan akan membawa bocah itu ikut bersamanya, Alvaro dengan cepat menahan satu tangan Gio yang lain.
“Kamu perlu izin aku untuk bawa Gio sama kamu.” Alvaro berucap dengan nada tegasnya.
“Aku nggak perlu izin kamu. Gio anak aku.” Marsha nampak keras kepala.
“Gio juga anak aku,” Alvaro berucap sengit.
“Mama, Papa. Gio nggak mau ikut siapa-siapa. Gio mau Mama di sini aja, biar Gio bisa sama Papa dan sama Mama juga,” ucap Gio dengan polosnya. Bocah itu jelas tidak mengerti tentang kondisi kedua orang tuanya.
“Gio, nggak mau ikut sama Mama? Gio sayang Mama kan, Nak?” tanya Marsha.
“Tapi Gio juga sayang Papa, Mah. Gio nggak mau ninggalin Papa di rumah sendiri,” ucap Gio.
Atmosfer di ruangan itu menjadi begitu dingin serta menakutkan, terutama bagi Alvaro dan Marsha. Tidak ada lagi kehangatan yang seperti dulu menyelimuti mereka. Tidak ada lagi kebahagiaan untuk Gio yang harusnya anak itu dapatkan dari kedua orang tuanya.
“Al, kamu harusnya ngerti. Aku yang melahirkan Gio dan aku ibu kandungnya. Aku kangen anakku dan tolong sekali ini aja, tolong kamu ngertiin aku,” ucap Marsha dengan suaranya yang terdengar bergetar.
Kalimat Marsha terasa seperti tamparan bagi Alvaro. Kenyataan itu memang benar, apa yang diucapkan Marsha memang benar adanya. Alvaro sudah membuktikannya melalui test DNA, dan faktanya Gio memang bukan darah dagingnya. Namun Alvaro juga tidak bisa jauh dari Gio. Katakan saja Alvaro egois, ia tidak peduli. Alvaro terlalu takut Marsha membawa Gio pergi selamanya darinya.
Tatapan Alvaro lantas turun pada tangannya yang menggenggam tangan Gio. Perlahan-lahan, Alvaro akhirnya melepaskan genggaman itu. Alvaro telah membuat keputusan yang menurutnya paling bijak dan seharusnya ia bisa bersikap lebih dewasa. Di satu sisi, Marsha memang salah sempat meninggalkan kewajibannya sebagai ibu bagi Gio. Namun bagaimana pun, Marsha tetaplah ibu kandung yang telah melahirkan Gio. Gio bisa lahir ke dunia ini berkat perjuangan Marsha, dan Marsha telah rela mempertaruhkan nyawanya untuk Gio.
“Gio, dengerin Papa ya, Nak. Gio ikut Mama untuk nginep di rumah eyang, cuma untuk beberapa hari.” Alvaro berujar, meski hatinya terasa berat kala mengatakannya.
“Gio nggak mau, Papa. Gio maunya sama Papa dan Mama,” ucap Gio.
Alvaro lantas mengambil satu tangan Gio dan kembali menggenggam tangan kecil itu. “Suatu hari Gio akan paham. Papa pasti jelasin ke Gio, tapi Papa nggak bisa jelasin sekarang. Gio akan paham kalau ada beberapa hal yang membuat Papa dan Mama nggak bisa bersama lagi. Gio akan tetap tinggal sama Papa, tapi sesekali Gio ikut sama Mama, oke?”
Gio masih di tempatnya, bocah itu belum beranjak dari sana. Perkataan Alvaro pada Gio hari itu, terasa sangat sulit untuk Gio mengerti. Gio menyayangi kedua orang tuanya. Anak kecil memiliki indera perasa yang kuat dan hati yang murni, jadi cenderung dapat merasakan ketika orang-orang di sekitarnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Gio merasa sedih mengetahui hal itu terjadi pada orang tuanya. Namun Gio tidak bisa memaksa papa dan mamanya untuk bersama, seperti apa yang ia inginkan.
***
Alvaro tidak berpikir kalau rasa sakit di hatinya akan sampai membuat tubuhnya ikut sakit juga. Tepatnya kemarin malam setelah Marsha membawa Gio pergi, rasanya dunia Alvaro runtuh. Seolah-olah, hatinya memberi tahu tubuhnya untuk kemudian membagi rasa sakitnya. Alvaro merindukan Gio, padahal baru satu malam ia tidak melihat anaknya. Rindu ini seperti menghabisi energinya, hingga membuat Alvaro akhirnya jatuh sakit.
Pagi ini Alvaro hanya dapat terbaring di ranjang di kamarnya. Alvaro sudah mengabari Ila bahwa dirinya sakit. Untungnya hari ini Alvaro tidak memiliki jadwal apa pun, jadi waktunya dapat ia gunakan untuk beristirahat. Semalam baru saja Alvaro merasakan tenggorokannya sakit, kini pagi hari terasa semakin parah. Flu mulai menyerangnya dan kepalanya terasa amat pusing. Ditambah lagi, suhu tubuh Alvaro di atas suhu normal manusia sehat, jadi dapat dipastikan Alvaro juga mengalami demam.
Alvaro berniat mengabari Sienna mengenai kondisinya. Namun Alvaro ingat bahwa hari ini Sienna harus menghadiri event penting. Jadi Alvaro memutuskan tidak sekarang menghubungi Sienna, meskipun ia sangat membutuhkan perempuan itu untuk berada di sisinya.
Alvaro mencoba memejamkan matanya. Tidak ada yang dapat ia lakukan saat ini, bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja rasanya otot-ototnya enggan. Sekujur tubuh Alvaro terasa nyeri, jadi Alvaro akan membiarkannya sampai tubuhnya pulih. Alvaro harus pulih dan kembali bangkit. Alvaro tidak ingin karena kelemahannya, ia jadi lengah dengan proses persidangan perceraiannya. Alvaro harus bisa fokus untuk memenangkan hak asuh atas Gio.
***
Sienna mendapat kabar dari Ila bahwa Alvaro tengah sakit. Sienna langsung coba menghubungi Alvaro untuk mengetahui keadaan lelaki itu. Namun Alvaro tidak menjawab telfonnya, membuat Sienna semakin khawatir. Akhirnya Sienna coba menghubungi nomor telfon rumah dan diangkat oleh Gina. Gina pun memberitahu Sienna tentang kondisi Alvaro. Selain itu Gina juga mengabarkan soal Gio yang sedang menginap di rumah orang tua Marsha. Sempat terjadi cekcok sebelum Alvaro mengizinkan Marsha membawa Gio, jadi kemungkinan itulah yang sampai membuat kondisi Alvaro menjadi drop.
Sienna menghampiri manager-nya untuk mengatakan sesuatu. Event yang dihadirinya baru saja selesai dan Sienna berniat berpisah dengan timnya, karena ia harus pergi ke rumah Alvaro. “Mbak, aku nggak pulang bareng tim, ya. Alvaro sakit, aku mau rumahnya,” terang Sienna pada Zahra. Sienna memberi tahu juga bahwa baru kali ini Alvaro jauh dari Gio, jadi kondisi ini pasti berat untuk Alvaro. Setelah diangguki oleh Zahra, Sienna pun pamit. Sienna tidak sempat mengatakan pada timnya yang lain kalau ia harus lebih dulu pergi.
***
Hari ini Sienna seperti mengalami sebuah de javu. Dejavu merupakan suatu kondisi di mana seseorang mengalami situasi yang familiar dengan kondisi sekitarnya. Situasi tersebut seolah-olah sudah pernah dialami di waktu lampau dengan keadaan yang persis sama, padahal apa yang sedang dialami tersebu merupakan pengalaman pertama.
Namun apa yang Sienna alami sedikit berbeda dari definisi dejavu pada umumnya. Sienna mengalami hal yang sama yang pernah ia alami di mimpinya, dan itu terefleksi ke dunia nyata. Hanya saja, Sienna tidak tahu kapan tepatnya mimpinya akan menjadi kenyataan, itulah yang membuat Sienna seringkali hidup dalam kekhawatiran.
Sienna menempuh waktu perjalanan cukup cepat untuk sampai di kediaman Alvaro. Ketika menginjakkan kakinya di rumah megah itu, tempat tersebut terasa amat kosong dan hampa. Kalau biasanya Sienna akan disambut oleh senyum semringah dari Gio atau pelukan hangat dari Alvaro, kini Sienna tidak mendapatkannya.
Sienna hanya bertemu Gina yang baru saja mengantar makanan ke kamar Alvaro. Ini jadwalnya Alvaro makan sore. Alvaro harus tetap makan meski hanya beberapa suap, karena lelaki itu harus meminum obatnya.
“Tadi makan siangnya bapak nggak habis, Bu. Tapi untung udah minum obat,” terang Gina.
Setelah mengatakan hal tersebut pada Sienna, Gina pun berlalu. Sienna lantas melangkah menuju kamar Alvaro.
Sesampainya Sienna di kamar itu, Sienna mendapati situasi yang sama seperti yang ia dapatkan di dalam mimpinya.
Sienna melangkahkan kakinya ke dalam kamar setelah ia menutup pintunya.
Sienna langsung berjalan menuju sebuah ranjang. Begitu langkah Sienna sampai di samping ranjang berukuran king size tersebut, Sienna langsung duduk di tepi ranjang sebelah kiri.
Sienna sejenak mengamati wajah Alvaro. Detik berikutnya, Sienna mengarahkan tangannya untuk menggenggam tangan itu. Sienna seketika merasakan sebuah perasaan sedih di dalam hatinya. Masih sambil menatap wajah tertidur itu, Sienna lantas berujar, “Everything that will happen, I will always beside you, Al. I’ll never let you through this alone.”
Beberapa saat kemudian, Alvaro terlihat mengerjapkan kelopak matanya dan perlahan-lahan netranya mulai terbuka. Alvaro lantas menatap Sienna, sebuah senyum tipis pun tersungging di wajahnya.
Pandangan Alvaro turun mengarah pada tangannya yang digenggam oleh Sienna.
“Kenapa nggak ngabarin gue kalau lo sakit?” tanya Sienna.
“Nanti lo khawatir lagi sama gue.” Alvaro menjawab dengan nada sedikit menggoda, seperti ciri khasnya ketika sedang bersama Sienna.
Sienna langsung mencibir kecil, ia ingin melepaskan genggaman tangannya, tapi Alvaro dengan cepat menahannya.
“Tau dari mana kalau gue sakit?” tanya Alvaro.
“Dari mbak Ila.”
Alvaro seketika menampakkan cengirannya. “Mbak Ila emang paling mengerti gue ya. Tau banget kalau gue cuma butuh lo.”
“Lo juga butuh Gio, Al,” ucap Sienna. Alvaro tidak menjawab, tapi dari tatapan matanya, Sienna tahu bahwa lelaki itu tengah membenarkan ucapannya.
“Al, gue yakin lo bisa memenangkan hak asuh Gio. Lo nggak boleh terlalu lama terpuruk karena ini, lo harus berjuang untuk Gio. Oke?” ujar Sienna.
Alvaro lantas mengangguk sekali, lalu lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya di tangan Sienna.
“Sienna,” ujar Alvaro sembari menatap Sienna dengan tatapan penuh makna. “Gue nggak tau, gue akan sehancur apa kalau lo nggak ada di samping gue. Maafin gue, gue masih sering ngasih rasa sakit buat lo. Maaf kalau gue belum bisa membahagiakan lo.”
Sienna terdiam di tempatnya tanpa dapat mengucapkan apa pun setelah mendengar penuturan itu.
Perkataan Alvaro telah berhasil membuat Sienna begitu tersentuh sisi emosionalnya. Hati Sienna begitu sakit, bukan terhadap permintaan maaf yang diucapkan oleh Alvaro, tapi karena Sienna melihat Alvaro terluka tepat di depan matanya. Sienna merasa bahwa dirinya tidak sanggup mendapati hal tersebut.
“Sienna, please stay with me,” Alvaro menjeda ucapannya sesaat, tampak lelaki itu berusaha menahan diri untuk tidak menangis di hadapan Sienna.
Setelah berhasil mengontrol dirinya, Alvaro akhirnya kembali berujar, “Gue pengen bikin lo bahagia, gue pengen menjadikan lo istri gue dan bunda untuk Gio.”
Sienna lantas mengulaskan senyumnya sembari tidak melepaskan tatapannya dari Alvaro. Sienna pun menatap Alvaro dengan tatapan yang memancarkan sebuah kasih sayang.
Beberapa detik kemudian, Alvaro memberi kecupan kecil di punggung tangan Sienna. “Setelah proses perceraian gue selesai dan orang tua lo ngerestuin kita, gue akan ngelamar lo.” Masih sambil menggenggam tangan Sienna, Alvaro mengulaskan senyum lembutnya dan kembali melanjutkan perkataannya, “Sienna, would you like to marry me?”
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭