Lunch Together

Lilie POV

Siang ini di kantor nampak seperti hari-hari sebelumnya pada umumnya. Beberapa karyawan di divisiku pergi makan siang di luar kantor bersama. Semua pergi, kecuali Edgar, seorang lelaki yang sedang menjalani intership dan aku yang bertugas sebagai mentor untuknya. Edgar masih berkutat pada pekerjaannya, padahal biasanya ia pergi makan keluar bersama yang lainnya. Kalau aku, memang jarang ikut bersama teman-teman lainnya. Itu dikarenakan pekerjaanku yang cukup menumpuk. Jadi untuk menghemat waktu, aku lebih memilih makan siang di kantor dengan memesan makanan atau memakan bekal yang kubawa dari rumah.

Sudah 1 minggu lebih Edgar magang di divisiku. Aku menyadari beberapa hal yang rasanya berbeda. Edgar ... dia bersikap baik sekali kepadaku. Aku sadar akan hal itu, perlakuannya tampak berbeda untukku. Namun aku tidak ingin berpikir terlalu jauh. Mungkin Edgar begitu karena aku adalah mentornya di kantor, dan menurutku sikapnya itu masih wajar. Sama dengan karyawan magang yang sebelum-sebelumnya bekerja denganku, mereka juga bersikap sangat baik.

“Tumben nggak ikut yang lain makan siang di luar?” aku bertanya dan detik berikutnya Edgar langsung menoleh menatapku. Edgar mengalihkan atensinya dari layar laptop kepadaku.

“Masih ada kerjaan, Kak. Tanggung sih ini, dikit lagi,” ujar Edgar.

“Makan siangnya gimana? Kamu pesen makanan?” Aku bertanya lagi. Aku mengambil ponselku, lalu mulai menselancarkan jariku di layar untuk memesan makanan.

“Kakak mau pesen makanan?” Edgar bertanya padaku sambil menatapku yang tengah asik dengan ponsel di tangan.

Aku lantas mengangguk. “Mau sekalian?” Aku pun berinisiatif menawarkan pada Edgar.

“Yang Kakak mau pesan itu restoran jepang yang deket sini bukan? Yang biasa kakak order. Mau ke sana aja nggak?”

Mendengar pertanyaan Edgar itu, aku tidak langsung meresponnya. Bukankah itu sebuah ajakan? Aku berpikir, tapi kenapa? Harusnya aku tidak bertanya, mungkin juga Edgar kebetulan ingin ke restoran itu juga.

Edgar masih menunggu jawabanku, yang akhirnya aku mengangguk mengiyakan sebagai jawaban atas ajakannya.

“Oke. Ayo Kak kita makan di sana,” ucap Edgar sebelum lelaki itu mengambil dompetnya. Aku juga hanya membawa dompetku, lantas segera berjalan mengikuti langkahnya keluar dari ruangan.

***

Pada jam makan siang seperti ini, tempat-tempat makan sudah semestinya dipenuhi oleh para pengunjung ; terutama oleh para karyawan kantoran yang akan makan siang. Rasanya pemandangan dan suasana mengantre seperti ini sudah lama tidak aku dapati. Ada perasaan senang bisa keluar kantor untuk makan siang. Sepertinya aku memang harus lebih memperhatikan apa yang membuat aku senang, bukannya hanya berfokus terus menerus pada pekerjaan yang jujur saja membuatku bosan dan stres.

“Kakak mau pesen apa? Biar aku yang ngantri, Kakak duduk aja,” ujar Edgar padaku. Aku menoleh ke samping, mendapati sosok yang hari ini mengajakku keluar untuk makan siang.

“Beneran? Ngantri bareng aja nggak papa Gar,” ujarku.

Pada akhirnya karena antriannya masih cukup panjang, jadilah aku menunggu Edgar memesan makanan dengan duduk di salah satu meja. Ketika aku sedang menunggu, aku mengecek ponsel dan menemukan chat masuk yang berasal dari grup divisiku. Ardi, Jesslyn, dan Valdo telah kembali ke kantor dan menanyakan ke mana perginya diriku, karena tidak biasanya aku meninggalkan ruangan pada saat jam makan siang.

Karena di grup tersebut yang belum muncul hanya aku dan Edgar, akhirnya Jesslyn menduga bahwa aku pergi berdua dengan Edgar.

Ketika aku masih fokus dengan ponselku, Edgar datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan milik kami berdua.

“Di grup pada nanyain,” ujarku.

“Ohya? Nanyain apa Kak?”

“Nanyain aku ke mana. Soalnya emang nggak biasanya aku keluar di jam makan siang,” terangku.

Edgar pun langsung mengecek ponselnya untuk membaca rentetan pesan yang ada di grup. Aku memperhatikannya dan tidak mungkin salah melihat ketika Edgar sekilas mengulaskan senyum kecilnya.

Aku kemudian mengambil makananku di nampan, yang lantas Edgar juga melakukan hal yang sama denganku ; setelah lelaki itu meletakkan ponselnya.

“Kamu udah muncul di grup?” tanyaku.

“Udah. Mereka pada heran Kakak mau keluar kantor buat makan siang,” terang Edgar.

Aku sebenarnya penasaran bagaimana akhir percakapan di grup. Namun aku memutuskan untuk lebih dulu menikmati makanananku.

“Kak,” ujaran Edgar itu membuatku lantas mengalihkan fokus dari makananku.

“Iya?” aku menyahut, mengalihkan atensiku dari makanan kepada sosok yang ada di depanku.

“Tadi pagi belum ngopi kan? Mau beli kopi nggak sebelum balik ke kantor?”

“Hmm … boleh deh. Kopinya nanti gantian aku ya. Kamu mau kopi juga kan?” ujarku.

“Oke-oke. Aku boleh milih kopinya atau Kakak yang nentuin?”

Aku berpikir beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Edgar. “Kamu mau kopi apa?” tanyaku.

“Tapi store kopinya cuma ada di Grand Indonesia, Kak. Agak jauh sih, telat balik ke kantor nggak ya nanti,” Edgar nampak sedang mempertimbangkannya.

“Nggak terlalu jauh sih. Masih ada dua puluh menit lagi jam istirahat kantor. Boleh aja kalau kamu mau ke sana,” putusku akhirnya.

***

Edgar POV

Siang ini ketika jam istirahat kantor, aku berhasil pergi makan siang berdua dengan Lilie. Rasanya masih sulit meyakinkan diriku bahwa ini benar-benar nyata. Sebelum makan siang kami berakhir, aku mencoba mengajak Lilie untuk membeli kopi. Alasannya jelas, aku ingin memperlama waktu untuk bisa berdua saja dengannya.

Aku dan Lilie harus menempuh jarak sekitar 700 meter untuk sampai di mall Grand Indonesia. Kami berjalan santai untuk sampai ke tempat tujuan yang sebelumnya telah ditetapkan. Selama di perjalanan, kami pun berbincang ringan.

“Emang udah lama ya Kakak nggak keluar kantor buat makan siang?” Aku bertanya membuka pembicaraan.

“Iya sih, udah lumayan lama deh kayaknya. Sampe orang kantor juga pada heran. Kadang nggak enak nolak ajakan mereka, tapi aku bukannya nggak mau gabung atau gimana,” ungkap Lilie.

“Sesekali kalau kerjaan lagi nggak numpuk banget, luangin waktu untuk keluar makan siang ya, Kak. Rencananya Bang Valdo mau ngajak ke restoran seafood minggu depan,” ujarku.

“Oke. Nanti kalau ada luang, pasti aku ikut kok,” ujar Lilie diiringi tawa kecilnya.

“Oh iya, hari ini Kakak bawa payung?” aku kemudian bertanya lagi.

“Bawa, kok. Kamu tenang aja. Eh maksud aku, kamu nggak perlu repot-repot lagi anterin aku ke halte kalau misalnya nanti sore hujan. Kemarin pasti kamu nggak enak nolak idenya Valdo yah,” ucap Lilie.

“Nggak masalah sih Kak, cuma nganter sampe halte doang,” ujarku.

Entah bagaimana tiba-tiba Lilie menoleh padaku. Mendapati kedua netra cantiknya yang menatapku, jantungku seketika berdegup tidak karuan. Jadi sepeti ini rasanya jatuh cinta. Eksistensinya secara nyata dan dengan mudahnya, mampu membuat dunia milikku seperti berhenti selama beberapa detik.

“Aku nggak enak lho, Edgar. Jadi ngerepotin kamu,” ujar Lilie, masih sambil menatapku. Langkah kami telah sampai di tempat tujuan, yakni sebuah mal ternama yang cukup besar.

“Nggak repot kok Kak. Yang penting Kakak nggak kehujanan,” ujarku kemudian. Pembicaraan kami pun terhenti sampai di sana karena kami harus segera memesan kopi. Aku terus memikirkan kalimatku barusan. Rasanya kalimat tersebut terus berputar di dalam kepalaku. Apakah itu wajar aku ucapkan pada Lilie? Namun mau gimana lagi, aku sudah terlanjur mengatakannya. Sial, kenapa aku tidak bisa mengontrol diriku ketika sedang bersama dengannya? Kalau begini terus, bisa-bisa Lilie akan segera mengetahui perasaanku terhadapnya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕