Make Time for The Persons You Love
Marcel tidak mengada-ngada ketika ia mengatakan pada Olivia bahwa Mikayla menanyakan soal ‘Mommy Oliv’.
Mikayla bertanya apakah bisa ia bertemu lagi dengan Olivia. Tentu saja, Marcel mengatakan bahwa putrinya bisa bertemu dengan Olivia, kapan pun, di saat ‘Mommy Oliv’-nya memiliki waktu senggang untuk bertemu.
Beberapa kali Mikayla meminta Marcel untuk menelfon Olivia. Kemudian kedua perempuan itu mengobrol banyak hal di telfon. Sampai-sampai, Mikayla tidak mau menyerahkan ponsel milik Marcel ketika Papanya itu meminta gantian bicara, karena juga ingin berbicara dengan Olivia.
Sudah empat hari belakangan ini, Marcel dan Olivia tidak bertemu, itu dikarenakan kesibukan masing-masing terkait pekerjaan keduanya. Jadi malam ini bukan hanya Mikayla yang akan melepas rindunya pada Olivia, tapi Marcel juga.
Marcel menjemput Olivia di butik lalu mengajaknya ke rumah untuk bertemu dengan Mikayla. Kemudian setelah itu mereka mempunya rencana khusus berdua.
Begitu Olivia dan Marcel tiba di kamar Mikayla, gadis kecil itu langsung menyambut keduanya dengan sebuah senyuman semringah. Ini hampir pukul 8 malam, Mikayla baru saja selesai mengerjakan PR-nya. Gadis itu tampak mandiri, ia merapikan buku-buku miliknya untuk besok dibawa ke sekolah, serta beberapa alat tulis yang diminta gurunya untuk dibawa.
“Hai Mommy,” panggil Mikayla begitu melihat Olivia di sana.
Serta merta Olivia tampak terkejut mendengar panggilan itu. Kedengarannya masih asing baginya, tapi Olivia merasa hatinya menghangat mendapati itu.
“Hai, Sayang,” balas Olivia sembari melangkah mendekat pada Mikayla.
Marcel menutup pintu kamar anaknya dan menyusul kedua perempuan yang disayanginya itu.
“Mana nih yang katanya kangen sama Mommy Oliv?” celetuk Marcel.
Mikayla seketika menoleh pada Marcel. “Tapi datengnya kenapa malem? Kan besok Mikayla harus sekolah, Daddy. Jadi nggak bisa tidur malem-malem. Kita nggak bisa main yang lama sama Mommy.”
“Emangnya Mikayla mau main apa?” Olivia lantas bertanya.
“Kemarin Daddy beliin mainan makeup untuk anak-anak. Mikayla mau main itu sama Mommy, karena nggak bisa sama Daddy mainnya, Daddy kan laki-laki.”
Olivia seketika tertawa mendengar penurutan itu. “Oke. Kita mainnya besok aja ya, Sayang. Nanti Mommy ke sini lagi deh. Sekarang Mommy bacain cerita sebelum Mikayla bobo, mau nggak?”
“Mau dong!!” seru Mikayla yang tampak antusias dengan ide yang diajukan Olivia.
“Oke, tapi kita sikat gigi dulu, karena habis baca cerita, Mikayla harus langsung bobo,” tutur Olivia.
“Oke, Mommy.”
Akhirnya Olivia mengantar Mikayla untuk bersiap-siap sebelum tidur, yakni gadis itu harus menyikat giginya. Selagi Olivia dan Mikayla pergi ke kamar mandi, Marcel berniat mengambil buku cerita dongeng Princess Disney yang terdapat di deretan rak buku di kamar anaknya.
Buku-buka cerita tersebut tampak masih seperti baru. Marcel kemudian mengambil salah satu buku dari sekian banyak. Karena jarang dibaca—terlebih Marcel tidak membacakan buku itu untuk anaknya—jadi buku-buku masih tampak apik dan seperti memang jarang disentuh.
Marcel menatap buku itu, lalu membuka satu halaman pertamanya. Marcel kemudian sadar bahwa ia belum menjadi seorang Ayah yang baik untuk putrinya. Namun Marcel ingin mencoba dan akan terus mencoba.
***
Di kamar di penthouse yang tampak megah itu, Marcel membawa torso Olivia ke dalam pelukannya. Lantas didekap hangat kekasih hatinya itu. Kedua mata Marcel terpejam kala menikmati usapan lembut Olivia di punggungnya.
Malam ini mereka kembali menghabiskan waktu bersama di penthouse. Marcel sebelumnya mengatakan ingin mengajak Olivia menginap di rumah, tapi Olivia tidak setuju dengan ide itu. Karena Marcel adalah contoh bagi anaknya. Marcel merupakan figur seorang Ayah yang dijadikan Mikayla sebagai panutan. Meskipun sekarang masih kecil, Mikayla akan tetap ingat dan mungkin bisa saja bertanya suatu hari nanti, mengapa Daddy dan Mommy-nya tidur bersama padahal keduanya belum menikah?
“Babe, nanti anter aku pulang ya. Habis itu kamu pulang juga,” ujar Olivia.
“Bener kamu nggak mau kita nginep aja di sini? Ini udah malem lho,” cetus Marcel.
“Nanti Mikayla nyariin kamu. Pagi-pagi kan dia berangkat sekolah, kalau liat Daddy-nya nggak ada di rumah, gimana?”
“Hmm.”
“Hmm itu artinya iya, kan?” Olivia bertanya untuk memastikan.
“Iya, Babe. Satu jam lagi ya. Aku anter kamu pulang, habis itu aku pulang ke rumah,” ujar Marcel.
“Oke.”
Olivia kemudian memperhatikan Marcel yang kini tengah memejamkan matanya, tapi tahu bahwa pria itu tidak tidur. Olivia juga tidak merasa mengantuk, ada hal yang menempel di pikirannya sejak tadi.
“Babe,” ujar Olivia pelan.
“Kenapa Sayang?” Marcel menyahut pelan sembari membuka matanya. Marcel menatap Olivia dan menduga bahwa ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran kekasihnya itu.
“Aku mau ngomongin ini sama kamu, tentang Mikayla.”
“What happen?”
“Waktu Mikayla lahir, gimana perasaan kamu? Maksud aku, pasti kamu seneng kan pas waktu itu?”
Marcel lantas mengangguk satu kali. “I’m happy when the first time I saw her crying. I’m the first man who hold her little hands. Tapi perasaanku lama-lama kayak berubah.”
“Maksudnya .. berubah gimana?”
“Aku ngerasa kalau rasa sayangku ke Mikayla didasari cuma karena kewajiban aja, karena aku Papanya. Aku selalu nanya ke diriku pertanyaan yang sama, sebenernya aku sayang nggak sama anak aku. Padahal harusnya nggak kaya gitu, harusnya aku sayang sama dia, karena dia adalah darah daging aku. Aku bingung dan ngerasa belum siap untuk jadi seorang Ayah pada saat itu, tapi Mikayla hadir. Makin lama aku ngerasa makin jauh dari anakku. Setiap kali liat dia, aku nyalahin diri sendiri, karena aku belum bisa jadi Ayah yang baik untuk dia, bahkan rasanya sampai sekarang.”
“But your eyes can’t lie. You’re truly loves her,” ujar Olivia.
Olivia lantas mendapati kedua mata Marcel yang tampak berkaca-kaca. Kemudian Marcel mengulaskan seulas senyum getir.
“Aku masih punya kesempatan nggak ya untuk jadi Ayah yang baik buat dia?”
“Kamu akan selalu punya kesempatan itu,” ucap Olivia. Olivia menjeda ucapannya, ia tengah berusaha menahan tangisnya. Mendapati fakta bahwa adanya jarak di antara Mikayla dan Marcel, Olivia merasa tergerak untuk membuat Marcel menjadi lebih dekat dengan anaknya.
“Kamu itu Papanya Mikayla. Dia sayang banget sama kamu, dia pengen selalu habisin waktunya bareng kamu. Kayak yang kamu bilang, tangan laki-laki pertama yang Mikayla genggam itu tangan kamu. Jadi, posisi kamu di hidup Mikayla nggak akan bisa digantiin sama siapa pun. Kamu bakal selalu ada di hatinya dan jadi laki-laki pertama yang dia cintai. Oke?”
“Oke. Aku mau berusaha jadi Papa yang baik buat dia.”
“Nope. She’s already have the best Dad ever.”
Marcel lantas tersenyum.
“Coba kamu sama Mikayla lebih banyak spend waktu bareng. Kalau kamu bisa pulang kantor lebih cepet, kamu harus langsung pulang. Kamu temenin dia belajar dan bacain buku cerita sebelum dia tidur,” ujar Olivia panjang lebar.
“Iya. Tapi spend time-nya sama kamu juga. Kita bertiga, ya?”
Olivia seketika tertawa. “Alright, Daddy.”
“Babe, be careful with that word.”
“Why should I be careful?” Olivia bertanya.
“Because when you called me like that, I really want make you scream it under me.”
“Oh my goodness.”
Kemudian mereka tertawa bersama. Air mata Olivia yang sebelumnya hampir jatuh, akhirnya tidak tertahankan lagi untuk terjun dari pelupuk matanya. Namun bukan itu air mata kesedihan, melainkan air mata bahagia. Marcel sedari tadi telah mendapati Olivia berkaca-kaca ketika mereka membahas soal Mikayla.
Olivia bukanlah wanita yang melahirkan Mikayla, tapi bisa dengan mudah tersentuh hatinya hanya dengan memikirkan hubungan antara Mikayla dengan Marcel yang merenggang. Marcel mendapati itu, Olivia tampak tidak bisa berbohong kalau perempuan itu sungguh-sungguh telah menyayangi Mikayla, menyayangi putrinya.
“Babe, kamu bener-bener udah cocok jadi Mommy-nya Mikayla lho,” ujar Marcel.
“Masa?”
“Exactly. She will have the best future Mother, and it’s you. She alredy love you, Babe. Selama ini dia nggak punya sosok ibu yang bisa dia ajak buat main mainan perempuan. Tadi Mikayla keliatan seneng banget dibacain cerita sama kamu. Tapi Babe, nggak cuma Mikayla aja yang butuh kamu, aku juga butuh kamu. Remember that.”
Sepertinya Olivia akan menangis setelah ini. Namun bukan air mata kesedihan, melainkan air mata terharu karena bahagia.
***
Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹
Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒