Mama dan Papa yang Hebat

Satu minggu yang lalu, Aryo dan Tiara sudah kembali ke tempat tinggal awal mereka. Aryo telah meminta seluruh bodyguard-nya untuk memastikan bahwa keadaan rumahnya aman. Semua yang telah terjadi belakangan, kini membuat Aryo lebih waspada. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang dapat membahayakan Tiara maupun calon anak di kandungannya.

Aryo menghampiri Tiara di ruang belajarnya. Ia membawakan segelas susu hangat rasa vanilla yang sudah menjadi kesukaan Tiara.

“Makasih, Sayang,” ujar Tiara pada Aryo. Ia menggeser sedikit laptopnya dan mulai meneguk susu di gelas.

“Manisnya pas nih, kamu udah jago bikinin susu buat aku sama dedek bayi,” cetus Tiara seusai ia meminum dua tegukan dan meletakkan gelasnya di nakas samping meja belajar.

“Masih mau lanjut ngerjain skripsi?” tanya Aryo.

“Iya ini tanggung bab 4-nya, dikit lagi selesai,” jawab Tiara.

“Aku temenin kamu begadang ya malam ini?” Aryo mengarahkan tangannya lalu mengusap dan menepuk pelan puncak kepala Tiara.

Beberapa kali Aryo memang ingin melakukannya, tapi Tiara melarang hal tersebut. Ia tidak ingin suaminya dua kali lipat merasa lelah. Sudah capai di kantor dan di tambah lagi capai di rumah.

Aryo mengambil kursi dan meletakkannya di samping Tiara. Ia ikut melihat ke layar laptop dan membaca isi skripsi yang ditulis oleh istrinya.

“Kayaknya skripsi aku malah nggak kelar deh kalau ada kamu di sini,” celetuk Tiara.

“Emangnya aku ngapain?” tanya Aryo terlihat bingung. Tiara begitu suka ketika suaminya itu sedang terlihat polos seperti ini.

“Kamu bikin aku nggak fokus,” aku Tiara.

“Yaudah aku nggak liat nih,” Aryo memejamkan kedua matanya. Tiara yang memerhatikan itu justru semakin merasa pertahanannya telah hancur. Kacau. Suaminya itu justru semakin terlihat menggemaskan dengan kedua mata tertutup dan bibir yang menahan senyum.

“Nggak bisa. Kamu balik ke kamar aja deh, nanti aku nyusul,” ujar Tiara pasrah.

Aryo lantas membuka matanya. “Yaudah aku balik ke kamar deh. Biar kamu fokus ngerjain skripsinya. Susunya jangan lupa kamu habisin ya,” tutur Aryo.

Sebelum beranjak dari kursinya, Aryo mendekatkan wajahnya dan menunjuk pipi kirinya.

“Apa?” tanya Tiara yang bingung akan tingkah Aryo itu.

“Ini dulu,” ucap Aryo.

Tiara yang baru paham akhirnya langsung mendekatkan dirinya dan memberi kecupan manis di pipi Aryo.

“Aku tungguin kamu di sofa aja, gimana? Jadi kamu bisa tetap fokus dan aku bisa temenin kamu,” saran Aryo sambil menunjuk sofa di sudut ruang belajar.

“Yaudah, oke. Sekali ini aja tapi ya.”

“Iya, Sayang. Kalau kamu butuh bantuan aku, kamu bilang aja. Mungkin aja aku bisa sedikit bantu skripsi kamu.”

Tiara lantas mengacungkan ibu jarinya dan Aryo pun beranjak ke sofa. Tiara memerhatikan Aryo merebahkan tubuhnya di sana dan pria itu mulai memejamkan matanya.

Tiara lantas kembali pada layar laptopnya dan jemarinya mulai fokus menari di atas keyboard. Hampir dua jam berselang, Tiara memutuskan menyudahi kegiatannya. Ia menyimpan file skripsinya dan mematikan laptopnya.

Tiara berjalan menghampiri Aryo dan duduk bersila di tepi sofa. Dengan sehalus mungkin, Tiara menyisir rambut Aryo menggunakan jemarinya. Tidak lama kemudian, Aryo bergerak dalam tidurnya dan perlahan membuka matanya.

“Udah selesai Ra?” tanya Aryo.

“Udah. Tadi aku mau minta tolong sama kamu, tapi kamu tidur. Kalau aku ke kirim ke email kamu aja, gimana? Aku udah catet poin yang aku kurang paham dan kebetulan topiknya soal marketing komunikasi,” ujar Tiara.

“Oke. Kamu kirim ke email aku aja. Nanti aku coba bantu,” ujar Aryo. Pria itu seketika mengambil tangan Tiara dan menggenggamnya. “Ra, bukan cuma aku yang bangga sama kamu. Ayah dan bunda, mama dan papa, mereka bangga banget sama kamu. Kamu berusaha lulus kuliah dengan predikat cumlaude, bahkan disaat kamu lagi hamil. Aku tau itu nggak mudah.”

Mendengar penuturan Aryo membuat hati Tiara menghangat. Rasanya tidak ada yang lebih berarti dari pada bisa membuat orang yang ia sayangi menatapnya dengan tatapan bangga.

“Kenapa kamu milih buat lulus lebih cepat? Padahal nggak papa juga kalau kamu mau nyusun skripsinya semester depan,” ujar Aryo.

“Iya, sebenernya bisa aja. Tapi aku mikirin sesuatu. Kamu, ayah dan bunda, mama dan papa. Kalian udah ngelakuin banyak hal untuk aku. Jadi izinin aku buat ngasih sesuatu ke kalian yang bisa bikin bangga.”

“Kok kamu ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Tiara ketika Aryo hanya memandangnya. Ia tidak dapt mengartikan tatapan Aryo padanya. Seperti ada rasa sedih, haru, dan bahagia secara bersamaan.

Aryo lantas bangun dari posisinya dan duduk bersandar di sofa. Ia meminta Tiara untuk mendekat dan satu lengannya memeluk pinggang perempuan itu dari samping.

“Aku bangga banget sama kamu. Makasih karena kamu udah berniat melakukan yang terbaik. Oh iya Ra, dedek bayi kapan lahirnya sih?” tanya Aryo.

“Masih lumayan lama, 5 bulan lagi. Kamu nggak sabar banget kayaknya.”

“Lama banget ya anak bayi lahirnya.”

“Iya dong, kan 9 bulan. Kamu pikir kayak bikin kue yang 1 jam juga jadi.” Tiara mau tidak mau tertawa keheranan.

“Habis rasanya lama banget sih Ra.”

“Kamunya yang nggak sabar, Aryo. Emang kalau bayinya lahir mau kamu apain sih?”

“Mau aku ajak main sama unyel-unyel. Pasti gemes.”

Tiara merasakan usapan lembut di perutnya yang sudah tidak rata lagi. Tatapannya pun turun dan mendapati tangan Aryo berada di sana. Suaminya itu tersenyum selayaknya anak kecil yang takjub akan sesuatu.

“Bayi, kamu cepet lahir dong. Biar kita bisa main bareng,” ucap Aryo sambil mensejajarkan kepalanya dengan perut Tiara, seolah berbicara langsung dengan anak mereka.

“Mau kamu ajak main apa emangnya?” tanya Tiara.

“Main motor sama bola. Oh iya, sama skateboard juga,” seru Aryo antusias. Keduanya sudah mengetahui bahwa anak mereka laki-laki dan Aryo begitu senang mengetahui fakta tersebut.

“Ra, kalau besok kita belanja perlengkapan buat si bayi, gimana?” usul Aryo.

Tiara nampak berpikir sejenak dan tidak lama ia menyetujuinya. “Boleh. Aku juga udah bikin buying list untuk keperluan si bayi.”

“Yang happy malah kamu ya,” sambung Tiara yang memerhatikan ekspresi gembira di wajah Aryo.

“Kamu mau tau alasan lain aku mau lulus kuliah lebih cepat?” tanya Tiara.

“Apa alasannya?”

“Aku mau waktu anak kita lahir, aku udah lulus. Biar aku bisa fokus buat ngasih dia kasih sayang yang utuh.”

“Kamu akan jadi Mama yang hebat buat si bayi, Ra,” ujar Aryo sembari menyematkan kecupan di pipi Tiara.

“Kamu juga akan jadi Papa yang luar biasa buat dia. Ngajak dia main, nemenin dia ngelakuin hobinya, dan dukung buat eksplor apapun yang dia suka. Dia akan dapat kasih sayang yang penuh dari orang tuanya.” Tiara mengusap perutnya, merasakan kehadiran buah hatinya di sana. Sekecil apa pun tentang anaknya, selalu berhasil membuat hati Tiara menghangat.

***

Terima kasih telah membaca Emergency Married 💍

Berikan feedback berupa like, reply, hit me on cc, atau boleh juga dm aku ya. Aku menerima kritik dan saran yang membangun. Kalau ingin curhat apapun dan tanya-tanya juga boleh kok~

Semoga kamu enjoy sama ceritanya yaa, see you at next part!! 🌷