Mimpi Buruk yang Menjadi Kenyataan

Alvaro baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya. Alvaro mengeringkan rambutnya sampai jadi setengah kering, lalu ia lekas mengenakan pakaiannya dengan lengkap dan mengoleskan body lotion di tubuhnya. Setelah dirasa semuanya beres, Alvaro melenggang dari ruang walk in closet dan langkahnya pun sampai di kamarnya.

Alvaro langsung mendapati Sienna di sana, ia lekas berjalan menghampiri perempuan itu.

“Gue lama nggak mandinya?” Alvaro bertanya.

“Lumayan lama,” jawab Sienna.

“Udah ngantuk banget emangnya?” Alvaro terkekeh, lalu ia berjalan menjauhi Sienna untuk mengambil botol parfum di laci nakas. Alvaro menyemprotkan parfum pada beberapa area di tubuhnya, setelah itu kembali pada Sienna. Alvaro langsung mendekap torso Sienna begitu ia sampai di hadapan gadis itu.

“Ngantuk banget,” ujar Sienna, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Alvaro, tampak nyaman berada di posisinya sekarang.

“Sabar dong. Gue kan tadi habis shooting, mandi dulu biar bersih sama wangi,” ujar Alvaro sembari menjalarkan tangannya membelai surai Sienna.

“Oke,” ucap Sienna diiringi tawa kecilnya. Sienna masih betah berada di posisinya, tidak ingin mereka berubah dulu. Sienna menghirup aroma tubuh Alvaro yang segar, perpaduan citrus dan sedikit mint, yang wanginya selalu mampu membuatnya merasa nyaman. Selain itu, kulit halus Alvaro juga selalu membuat Sienna candu. Penampilan Alvaro yang selalu prima ketika bersamanya, sukses menyenangkan hati Sienna.

Selang beberapa detik kemudian, Sienna dan Alvaro memutuskan untuk membaringkan tubuh di kasur. Mereka posisinya berhadapan, Sienna meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan, lalu ia menanyakan sesuatu pada Alvaro. “Gimana? Pak Herdian udah ada ngasih kabar lagi tentang Marsha?”

“Belum. Terakhir cuma beliau ngabarin kalau sempat ketemu sama Marsha buat minta uang tagihan sewa. Oh iya, kuasa hukum gue udah nemuin bukti yang bisa bikin gue menangin hak asuh Gio di pengadilan nanti.”

Alvaro telah mengatakan pada Sienna sebelumnya, bahwa keputusannya sudah bulat untuk menggugat cerai Marsha.

Sienna sudah tau bukti yang dimaksud oleh Alvaro, ia tanpa harus bertanya lebih jauh. Bukti yang Alvaro dapatkan itu, memang sangat berpotensi besar membuat Alvaro memenangkan hak asuh atas Gio di pengadilan nanti. Semua yang perlahan-lahan terungkap, terlihat sama persis dengan yang didapati oleh Sienna di dalam mimpinya.

“Al, sidang mediasi pertamanya kapan?” Sienna bertanya.

“Kuasa hukum gue udah ngajuin pembuatan surat gugatan cerai ke pengadilan, tinggal nunggu dikirim berkasnya ke pihak tergugat jadi sidang mediasi pertamanya kira-kira minggu ini atau minggu depan,” terang Alvaro.

Sienna lantas mengangguk. Setelah percakapan tersebut, mereka tidak lagi membahas persoalan itu.

“Sky,” ujar Alvaro.

“Hmm?”

I have lost my respected for her,” ujar Alvaro. Dari raut wajah Alvaro, tergambar jelas kekecewaan yang dalam.

Tanpa Alvaro mengatakan siapa yang lelaki itu maksud dalam kalimatnya barusan, Sienna sudah mengetahui siapa sosok tersebut.

“Kalau dia mau pisah sama gue, bisa pisah secara baik-baik. Bukan dengan pergi kayak gini tanpa kejelasan. Harusnya dia mikirin perasaan anaknya. Dia ibu kandungnya Gio, tapi sikapnya nggak mencerminkan itu.”

Sienna tidak berniat untuk berkomentar, ia membiarkan Alvaro mencurahkan perasaannya sampai selesai.

“Anaknya butuh dia, harusnya dia tau itu, kan?” ucap Alvaro lagi. Dari nada bicaranya, terdengar kekecewaan yang besar. Ada harapan yang dihancurkan, ada ekspektasi yang telah dipatahkan.

“Sky, gue nggak mau jadi orang tua yang gagal buat Gio. Gue juga nggak mau Gio membenci Marsha dan menganggap kalau Marsha ibu yang gagal buat dia.”

“Al, lo nggak gagal dan nggak akan. Lo adalah papa yang hebat buat Gio. Gimana pun nanti, Marsha tetep ibu kandungnya Gio, ikatan darah itu kuat banget dan nggak bisa dipisahin. Gue yakin, Marsha sayang banget sama Gio. Sebaliknya, Gio juga akan tetap sayang sama Marsha, karena emang seharusnya kaya gitu.”

Alvaro mengangguk sekali. Lelaki itu nampak memejamkan matanya sejenak, kedua alisnya bertaut, dan jemarinya bergerak memijat pangkal hidungnya.

Tidak lama kemudian, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk mulai memejamkan mata setelah saling mendekap. Namun tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu kamar sebanyak dua kali.

“Gue aja yang buka pintunya,” ujar Sienna mendahului Alvaro. Sienna pun beranjak dari posisinya dan lekas membuka pintu.

“Bunda,” ujar sebuah saura begitu pintu dibuka.

“Gio boleh masuk? Gio mau nunjukin Papa sama Bunda sesuatu,” ucap Gio di sana.

“Boleh dong, Sayang. Ayo, sini. Gio mau nunjukin apa emangnya?” Sienna lantas menutup pintunya setelah Gio melangkah masuk. Gio sudah berlari menuju kasur, disusul Sienna yang mengikuti langkahnya.

“Papa, liat nih hasil gambar Gio,” seru Gio yang nampak antusias. Sienna pun menyusul ke kasur dan mengambil tempat di samping Alvaro, sementara Gio berada di samping Sienna. Alvaro dari samping mendekap bahu Sienna, mereka tengah bersama memperhatikan buku gambar yang ditunjukkan oleh Gio.

Gio membuka buku gambarnya, lalu ia memperlihatkan salah satu halaman di sana. Di kertas itu menampakkan gambar 3 orang yang dibuat dengan crayon warna-warni.

“Nih, ini Papa,” ujar Gio sembari menunjuk gambar seorang pria berambut hitam pendek dan bertubuh tinggi. “Ini Gio, terus ini Bunda,” lanjut Gio sembari menunjuk dua orang lagi yang berada di samping Alvaro. Gio digambarkan sebagai sosok anak lelaki kecil dengan senyum lebar dan Sienna digambarkan sebagai perempuan dengan bibir pink dan rambut panjang.

“Gio dapet tugas pelajaran seni untuk gambar keluarga. Bagus nggak gambarnya?” tanya Gio, anak itu bergantian menatap Alvaro dan Sienna.

“Coba Papa mau liat lebih deket,” Alvaro mengambil alih buku gambar itu dari Gio.

Alvaro lantas memperhatikan gambar itu, sebuah senyum seketika juga mengembang di wajahnya. “Bagus gambarnya,” ujar Alvaro.

Kemudian secara bergantian, Sienna juga ingin melihat gambar itu dari dekat. Di bawah gambar miliknya, Sienna mendapat tulisan ‘Bunda Sienna’ yang kemudian terdapat bentuk hati di samping namanya.

“Gambar Gio bagus banget,” komentar Sienna, senyumnya pun mengembang secara otomatis.

“Terima kasih Bunda,” ucap Gio dengan ekspresi senangnya. Di tengah-tengah suasana itu, tiba-tiba saja terdengar suara keributan dari luar kamar. Alvaro dan Sienna lantas saling bertukar pandang. Alvaro pun mengatakan ia yang akan mengeceknya ke luar. Mungkin saja terjadi sesuatu, dan apa pun itu sebaiknya cepat ditangani.

Saat Alvaro baru saja akan bangun dari posisi duduknya, pintu kamar tiba-tiba dibuka. Tepat di ambang pintu, Alvaro jelas mendapati sosok Marsha berada di sana. Detik berikutnya, kehadiran Marsha disusul oleh Gina dan Aufar.

Gina dan Aufar, dua orang yang bekerja di rumahnya itu nampak bingung dengan situasi yang kini tengah terjadi. Alvaro lantas menduga bahwa keributan kecil tadi disebabkan oleh kedatangan Marsha yang tiba-tiba.

Alvaro memang memerintahkan orang-orangnya untuk selalu menjaga keamanan di rumahnya, dan ada beberapa nama yang memang perlu mendapat izinnya sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Alvaro masih menatap lurus ke arah Marsha ketika Marsha melangkahkan kakinya memasuki kamar itu. Marsha menatap tepat pada Alvaro, lalu ia berujar, “Kenapa semua orang yang kerja di rumah ini ngehalangin aku buat masuk? Kenapa, Al?”

Tatapan Marsha tentu saja langsung tertuju pada sosok di samping Alvaro. Seorang perempuan yang ia kenal, kini berada di sisi Alvaro dan terlebih, anaknya juga berada di sana.

“Al … ini apa maksudnya?” Marsha berucap dengan nada pelannya, tatapannya masih setia menatap pada Sienna dan Gio yang berada di samping Alvaro.

Alvaro lantas beranjak dari posisinya dan menghampiri Marsha. Marsha dapat merasakan bahwa tatapan Alvaro padanya terasa dingin dan tidak bersahabat.

“Kita ngomong di luar,” ujar Alvaro dengan nada suaranya yang terdengar tegas.

“Kita ngomong di sini aja. Apa maksudnya semua ini?” Marsha bersikap keras kepala dan berusaha mempertahankan egonya.

“Marsha, kita ngomong di luar. Kamu mau anak kamu denger?” Alvaro berujar pelan di dekat Marsha. Alvaro lantas berlalu begitu saja dari hadapan Marsha. Alvaro berjalan melewati Gina dan Aufar yang masih berdiri di ambang pintu.

Beberapa detik kemudian, Marsha pada akhirnya menurut dan mengikuti langkah Alvaro keluar dari kamar.

Sementara di kamar itu, Sienna mencoba berpikir jernih di tengah suasana kacau dan tidak terprediksi ini. Namun sebenarnya Sienna sudah tau bahwa suatu hari Marsha memang akan kembali, seperti yang Sienna lihat di dalam mimpinya.

Detik berikutnya terdengar suara keributan terdengar dari arah luar yang mana itu merupakan suara Alvaro dan Marsha. Ini situasi yang tidak baik, terlebih untuk didapatkan oleh Gio. Sienna lantas berbicara dengan Gio. “Gio, ikut sama Bunda dulu yaa, Nak?”

“Emangnya kita mau ke mana Bunda?” Gio bertanya pada Sienna,

Sienna tidak memiliki ide di kepalanya untuk menjawab Gio, tapi ia tidak mungkin membiarkan Gio berada di sini dan mendengar keributan yang terjadi antara kedua orang tuanya.

“Papa sama mamanya Gio lagi ada urusan penting, jadi kita harus kasih waktu untuk mereka. Gio ikut sama Bunda yuk, nanti kita beli mainan. Gimana?”

Gio tampak tidak mengrti, tapi akhirnya anak itu menurut saja pada Sienna. Sulit dipahami oleh Gio atas apa yang terjadi di depan matanya, meskipun ia dapat merasakan bahwa orang tuanya sedang tidak baik-baik saja.

Akhirnya Sienna dan Gio keluar dari kamar. Sienna meminta tolong pada Gina untuk ikut bersamanya dengan Gio dan mereka akan melewati pintu belakang rumah. Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, suara Marsha yang cukup terdengar keras lantas membuat Gio menghentikan langkahnya. Gio langsung melepaskan genggaman Sienna di tangannya lalu anak itu berlari dari Sienna.

“Gio,” Sienna memanggil Gio, tapi hasilnya percuma.

“Gina, kamu tunggu di sini dulu sebentar. Saya susul Gio,” ucap Sienna pada Gina sebelum melangkahkan kakinya untuk menyusul Gio.

Sienna tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika sampai di ruang tamu. Dari jarak beberapa meter, Sienna memperhatikan yang terjadi di depan matanya. Di sana Alvaro dan Marsha masih berdebat, dan Gio berada di tengah -tengah mereka, anak itu tengah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.

“Kamu bawa perempuan lain ke rumah, bahkan kamu buat kamar baru dan ninggalin kamar lama kita. Harusnya posisi itu adalah posisi aku, Al. Sienna nggak punya hak untuk ngerebut posisi aku. Aku istri kamu dan aku ibu kandungnya Gio, itu nggak akan berubah,” ujar Marsha.

“Marsha, kamu yang nggak berhak untuk ngomong kayak gitu!” ucap Alvaro disertai tatapannya yang memancarkan amarah. Kulit wajah Alvaro nampak memerah, rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam kepada Marsha.

Alvaro lantas menoleh ketika menyadari kehadiran Gio di sana. Anaknya itu tengah menyaksikan keributan antara kedua orang tuanya.

“Gio, Papa sama Mama lagi bicara. Gio ke kamar dulu ya,” tutur Alvaro kepada Gio dengan suaranya yang dipelankan. Namun Gio hanya membalas Alvaro dengan gelengan. Anak itu tampak keras kepala.

“Mama nggak boleh ngomong kayak gitu!” Gio berteriak sambil menatap Marsha.

DEG.

Alvaro dan Marsha seketika tertegun dengan kalimat yang meluncur dari bibir kecil Gio. Begitu Marsha berlutut di hadapan Gio dan ingin meraih Gio ke pelukannya, anaknya itu justru mundur beberapa langkah dan tidak mau menerimanya.

“Mama ngomongnya gak sopan. Mama nggak boleh kayak gitu ke Bunda Sienna. Gio gak suka sama Mama!!”

Rentetan kalimat yang Marsha dengar dari Gio, seketika membuatnya mematung. Terlebih Gio membentaknya, hal yang sama sekali tidak pernah Marsha bayangkan akan terjadi di hidupnya.

“Gio, nggak boleh teriak sama Mama.” Alvaro dengan cepat mengingatkan Gio.

Mendengar ucapan tersebut keluar dari bibir Alvaro, Gio pun dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. Gio menatap Alvaro dengan tatapan terluka. Menurutnya Alvaro baru saja memarahinya, jadi anak itu langsung berbalik dan berlari dari sana.

Gio kembali menghampiri Sienna yang berada tidak jauh dari tempat kejadian. “Bunda, Papa marahin Gio, padahal Mama yang nakal,” ucap Gio mengadu pada Sienna. Sienna lantas mensejajarkan posisinya dnegan Gio, ia berlutut di depan Gio. Gio dengan cepat memeluk Sienna, dan Sienna berusaha menenangkannya dengan kalimat-kalimatnya dan usapan lembutnya di punggung kecil Gio.

Marsha yang mendapati kejadian itu di depannya pun tidak kuasa menahan dadanya yang terasa sesak. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar yang tengah menghimpit jantungnya. Marsha melihat sendiri dengan kedua matanya bahwa anaknya lebih memilih perempuan lain dibandingkan dirinya.

Gio berada bersama Sienna dan setelah cukup tenang, anak itu akhirnya mau diajak pergi oleh Gina. Sienna mengatakan bahwa ia akan menyusul Gio, tapi ia perlu bicara dulu dengan Alvaro.

Alvaro lantas menghampiri Sienna. “Sienna, lo sama Gio mau ke mana?” Alvaro bertanya.

Sienna dengan ada tenangnya lantas mengatakan pada Alvaro. “Al, lo selesaiin dulu ini sama Marsha. Keadaannya cukup nggak kondusif, jadi gue pikir sebaiknya Gio nggak di sini dulu.”

Alvaro pun setuju dengan ide tersebut. Nyatanya memang tidak baik jika anaknya harus menyaksikan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

“Sienna, hati-hati. Nanti tolong kabarin gue,” ucap Alvaro yang lantas diangguki oleh Sienna. Sienna paham Alvaro pasti khawatir dengan kondisi Gio yang kembali tantrum. Sienna mengatakan ia akan memastikan Gio aman bersamanya, dan sebisa mungkin Gio dapat kembali baik lagi.

Setelah Sienna berlalu dari hadapan Alvaro, Alvaro pun kembali menghampiri Marsha.

“Aku akan menggugat cerai kamu,” ucap Alvaro dengan gamblang. Alvaro mengatakannya seraya menatap Marsha tepat di manik matanya. Perkataan Alvaro terdengar pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun dari nada bicaranya.

Marsha masih diam, berusaha mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari lelaki di hadapannya.

“Marsha, aku tegasin sesuatu sama kamu. Kamu udah ninggalin kewajiban kamu sebagai istri dan ibu untuk Gio, jadi aku pikir kamu nggak berhak meminta hak kamu di rumah ini. Satu hal lagi, kamu nggak ada hak untuk bilang kalau Sienna adalah perebut. Sienna datang setelah kamu pergi, seharusnya kamu jaga bicara kamu, apalagi di depan Gio. Kayak yang kamu liat barusan, Gio berubah sejak kamu pergi, dia nggak baik-baik aja. Gio bisa lebih baik dan itu karena Sienna, jadi harusnya kamu berterima kasih sama Sienna.”

Alvaro menjeda ucapannya beberapa detik. Alvaro mengjembuskan nafasnya kasar, dan sebelum berlalu dari hadapan Marsha, Alvaro pun berujar, “Ada yang mau kamu sampaikan? Kalau nggak ada, pembicaran kita udah selesai sampai di sini.”

Marsha tidak kunjung menjawab, dan artinya Alvaro menilai bahwa tidak ada yang ingin Marsha bicarakan lagi dengannya. Alvaro pun berlalu dari sana, tapi tiba-tiba Marsha menahan lengannya.

“Kamu nggak bisa gugat cerai aku, Al,” ujar Marsha.

Alvaro berbalik dan melihat ke arah tangan Marsha yang menggenggam lengannya. Lantas dengan pelan, Alvaro melepaskan genggaman itu. Marsha nampak terkejut dengan sikap Alvaro yang seolah begitu enggan terhadapnya.

“Aku bisa dan aku berhak untuk menggugat cerai kamu. Jangan kamu pikir aku diem aja selama kamu pergi. Aku udah tau semuanya, dan aku nggak akan ngubah keputusan aku,” ujar Alvaro.

“Maksud kamu?”

“Kamu bisa liat sendiri nanti, aku akan bawa bukti biar aku bisa memenangkan hak asuh atas Gio. Surat gugatan cerai secepatnya akan dikirim ke kuasa hukum kamu.”

Mendengar rentetan pernyataan tersebut, Marsha jelas tampak terkejut. Alvaro tidak mengatakan pada Marsha soal bukti itu, yang mana jelas semakin membuat Marsha kalut. Marsha bertekad memenangkan hak asuh Gio, karena seharusnya menurut aturan hukum—ketika orang tua bercerai—hak asuh anak yang masih di bawah umur jatuh ke tangan ibunya.

Marsha pun dibuat penasaran tentang bukti apa yang dimiliki oleh Alvaro, hingga pria itu begitu yakin bisa memenangkan hak asuh Gio di pengadilan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭