Not a Good Feeling
Sosok pria idaman memiliki makna yang berbeda di mata setiap perempuan. Begitu juga dengan Olivia, ia memiliki kriteria idaman untuk pasangannya, tentang bagaimana pria yang ingin nikahi kelak dan menghabiskan sisa waktunya di dunia untuk bersama.
Sejak kedua orang tuanya berpisah, Olivia berpikir bahwa menjalani pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah. Papanya adalah gambaran pria idaman di matanya, tapi seiring waktu, semuanya tampak berubah. Ego lebih besar dan menguasai, mengalahkan rasa cinta. Papanya yang katanya begitu mencintai Olivia, memilih tidak bertemu dengannya, karena lebih mengedepankan ego. Papa dan Mamanya memang telah bercerai, tapi Olivia tahu bahwa ada yang tidak pernah selesai di antara mereka. Masih ada rasa marah, kecewa, dan bahkan dendam yang berakhir membuat keduanya dikuasi oleh ego.
Olivia tidak mempunyai contoh figur pria idaman sejak ia kehilangan sosok Papanya. Olivia kehilangan peran seorang Ayah dalam hidupnya, yang kemudian membuatnya tidak tidak tahu bagaimana gambaran pria idaman yang ia inginkan untuk kelak hidup bersama selamanya.
Maka banyak pertimbangan bagi Olivia, dan ia selalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia siap untuk menikah? Apakah ia siap memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk orang itu, untuk selamanya? Namun sejak Olivia bertemu dengan Marcel dan menjalin hubungan, Olivia merasa perlahan ia memiliki gambaran pria idaman tersebut. Marcel tampak sempurna dari segala aspek, tampan, mapan, romantis, dan begitu baik memperlakukannya, tapi sebenarnya semata bukan tentang itu. Sesempurna apa pun seorang lelaki, jika kamu tidak nyaman menghabiskan waktu dan mengobrol bersamanya, bagi Olivia itu akan percuma saja untuk hubungan jangka panjang.
Olivia menyudahi pikiran monolognya. Ia memutuskan kembali membaur dan mengobrol dengan para orang yang ada di meja makan bundar yang besar itu.
Malam ini Olivia kembali menemani Marcel untuk business trip. Mereka terbang mendadak dengan private jet kemarin malam.
Para kolega bisnis yang hadir di jamuan makan malam itu, juga membawa istri mereka, karena usia mereka rata-rata berada cukup jauh di atas Marcel. Jadi bisa dibilang bahwa Marcel salah satu pengusaha termuda yang hadir ke acara itu.
Olivia menyesap pelan minuman di gelas beningnya. Kemudian Olivia meletakkan gelasnya kembali ke meja, begitu seseorang baru saja datang dan tengah menyapa Marcel.
“Senang berbisnis dengan Anda, Pak Marcel,” ujar seorang pria yang kira-kira berusia 50 tahunan sambil berjabat tangan dengan Marcel.
“Senang juga bisa berbisnis dengan Anda, Pak Rio,” balas Marcel. Setelah jabatan tangan itu, pria paruh baya itu memperkenalkan istrinya. Begitu juga setelahnya Marcel mengenalkan Olivia. Marcel menghela pinggang ramping Olivia begitu mengenalkan sosok kekasihnya itu, bahkan menyebut Olivia sebagai calon istrinya.
“Segera ditunggu undangan pernikahannya, Pak Marcel,” ujar Rio sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Marcel dan Olivia.
Setelah perkenalan singkat itu, Marcel kembali duduk di kursinya, begitu juga Olivia yang duduk di samping Marcel.
Tidak lama berselang, Olivia tiba-tiba berujar pelan di dekat Marcel. “Babe, aku ke toilet dulu sebentar ya.”
Marcel tadinya berniat menemani Olivia ke toilet, tapi Olivia mengatakan bahwa ia bisa pergi sendiri. Lagipula Marcel harus bertemu dengan kolega-kolega bisnisnya.
“Nggak papa Babe, aku sendiri aja,” ujar Olivia.
“Oke. Kamu hati-hati, ya.”
Olivia mengangguk sekali, lalu ia segera beranjak dari kursinya dan meninggalkan meja.
Olivia melewati beberapa meja dan orang-orang yang memenuhi ballroom hotel itu. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Olivia sampai di toilet. Olivia menemukan salah satu bilik toilet yang kosong dan segera membawa dirinya masuk ke sana.
Olivia berada di bilik toilet itu selama beberapa detik. Selang beberapa saat kemudian, ketika Olivia hampir selesai dan ingin membuka kunci pintunya, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti begitu saja.
Olivia mendengar obrolan yang berasal dari 3 orang perempuan yang ada di toilet itu juga.
Terdapat sebuah kaca besar di toilet itu, dan sepertinya keadaannya sedang cukup sepi. Jadi mereka terdengar santai dan bebas mengobrol.
“Mbak, menurut kamu ceweknya Pak Marcel yang sekarang nasibnya bakal gimana nanti?”
“Maksud kamu gimana? Nasib apanya?” sahut seseorang perempuan yang lain.
“Masa Mbak nggak tau rumornya sih. Pak Marcel kan suka main cewek,” ujar yang satunya lagi.
Olivia mengenal suara itu, terang saja. Mereka adalah 2 orang manager serta 1 orang direktur yang bekerja di perusahaan Marcel, yang kali ini ikut dalam perjalanan bisnis.
“Bakal kayak yang udah-udah deh kayaknya,” celetuk salah satu dari mereka lagi.
“Iya, bakal putus gitu aja. Terus paling nanti Pak Marcel dapet gantinya yang baru. Biasanya cepet lagi dapet gantinya,” sahut suara si perempuan yang pertama tadi membuka pembicaraan.
Mereka mengatakan lebih lanjut bahwa Olivia akan sama dengan wanita-wanita yang sebelumnya ada di hidup Marcel. Hubungan Marcel dan Olivia akan berakhir begitu saja nantinya, dan hanya menjadi sarana bagi Marcel untuk menyenangkan dirinya.
Kemudian mereka kembali membicarakan beberapa hal yang Olivia tidak terlalu mempedulikannya.
Olivia bingung dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa berkata demikian. Padahal saat di depannya, mereka bersikap begitu baik dan seolah menghormatinya. Namun begitulah hakikatnya manusia, mereka sangat mampu untuk bertindak palsu. Seharusnya Olivia tidak perlu merasa heran dan mempertanyakan sikap mereka.
***
“Babe,” ujaran itu terdengar untuk yang kedua kalinya. Marcel berada di depan pintu kamar mandi dan tengah menunggu Olivia selesai dengan urusannya di dalam sana.
Beberapa detik kemudian, akhirnya pintu kamar mandi itu terbuka. Nampak Olivia yang tengah mengulaskan senyumnya.
“You’re okay?” Marcel bertanya dengan nadanya yang terdengar sedikit khawatir. Pasalnya tadi Olivia cukup lama berada di kamar mandi.
“I’m okay. Ngantuk aja, aku mau tidur.” Olivia tampak telah siap dengan piyama tidurnya. Tanpa Marcel tau, Olivia tengah berusaha mentralisir perasaan kalutnya agar tidak kentara ketika dirinya berhadapan dengan Marcel.
“Piyama kamu udah aku ambilin dari koper, aku taro di walk in closet ya,” ucap Olivia.
“Oke. Aku ganti baju tidur dulu. Kamu duluan ke kasur aja,” tutur Marcel.
“Babe, jangan lama ya di kamar mandinya,” ujar Olivia.
“Iya.”
Begitu Marcel akan berlalu dari hadapan Olivia, justru Olivia menahan lengannya. Olivia menatap Marcel dengan pandangan yang sedikit sulit Marcel artikan.
Olivia tidak ingin membuktikan atau berusaha mencari kebenaran omongan yang tadi ia dengar tentang Marcel yang begini, begitu, dan sebagainya. Olivia mempercayai Marcel, dan mengira itu hanyalah rumor, bahwa Marcel suka bermain dengan perempuan yang ia kencani. Bagi Marcel, kekasihnya hanyalah penyenangnya, tidak akan dijadikan seorang istri untuk pria itu.
Olivia mengakhiri pikirannya, ia menepis semua pemikiran negatif itu dari benaknya. Rasanya tidak mungkin rumor itu benar. Semua yang telah Marcel lakukan untuknya, bagaimana pria itu memperlakukannya, serta memperjuangkannya. Rumor itu memang hanyalah rumor yang tidak sengaja didengar oleh Olivia.
Olivia maju selangkah dan kemudian mendekat pada Marcel. Olivia perlahan melingkarkan lengannya di pinggang Marcel, lalu ia menjatuhkan dirinya ke pelukan pria itu.
“Babe, do you love me?” Olivia bertanya masih dengan posisi mereka yang berpelukan.
“You already knew the answer, Babe. Why you asked that question to me? I love you, it's really clear,” ujar Marcel.
Marcel tidak tahu apa yang tengah dirasakan oleh Olivia, ia hanya membalas pelukan itu sambil mengatakan bahwa dirinya mencintai Olivia. Marcel mendekap Olivia, secara sempurna membuat torso Olivia merasa hangat.
Selang beberapa detik kemudian, Olivia lebih dulu mengurai pelukannya. Olivia menatap pada iris legam Marcel, salah satu bagian dari Marcel yang ia sukai dan selalu membuatnya berkali-kali jatuh cinta. Kedua mata itu yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh afeksi, yang membuat Olivia merasa nyaman hanya dengan mendapati Marcel bersamanya.
Secara perlahan tapi pasti, kemudian Olivia berjinjit untuk kemudian menggapai bibir Marcel dengan bibirnya.
Marcel segera membalas ciuman Olivia, berusaha mengikuti tempo Olivia yang kali ini terasa agak berbeda dari biasanya. Seperti ada hasrat dan sedikit emosi dari lumatan itu.
Marcel terbawa suasana yang awalnya diciptakan oleh Olivia. Hingga dirinya lama-lama pun menjadi brutal. Satu tangan Marcel bergerak melepaskan tali gaun tidur Olivia hingga sampai turun ke lengannya. Sama dengan yang Marcel lakukan, jemari Olivia tampak lihai melepaskan satu persatu kancing kemeja Marcel.
Mereka berciuman sambil berjalan mundur. Nafas keduanya terdengar berhembus kasar dan beradu satu sama lain. Hingga langkah mereka sampai di kamar, punggung Olivia bertemu dengan salah satu dinding kamar. Marcel menjaga Olivia di sana, tapi masih tetap melumat bibir kekasihnya. Mereka saling memagut bibir dan tangan keduanya menjamah dengan gerakan sensual pada tubuh satu sama lain.
“Arghh,” Marcel mengerang tertahan begitu dirinya merasa kenikmatan berkat aksi Olivia kepadanya.
“You are so hot tonight, Babe,” ujar Marcel pelan ketika akhirnya Olivia memberi waktu istirahat padanya.
“I want you,” Olivia berucap di dekat Marcel.
“Tadi katanya kamu ngantuk,” ujar Marcel.
Olivia menggeleng satu kali. Kemudian Olivia melingkarkan kedua lengannya di seputaran leher Marcel. Olivia menatap pada kedua mata itu. Sayangnya Olivia tidak menemukan jawaban itu, jawaban bahwa Marcel adalah pria yang seperti orang-orang katakan.
“I love you,” ucap Olivia, nadanya ketika berucap terdengar sedikit parau, tapi tetap terasa penuh afeksi. Seperti ada makna yang begitu dalam dari ucapan itu.
“Babe, anything what you tought, if you want to tell me, tell me then.” Marcel menjeda ucapannya sesaat, ia lalu menjalarkan jemarinya pada helai halus rambut panjang Olivia. Marcel menyilakan rambut Olivia ke belakang telinga, sembari tetap menatap Olivia dengan tatapan penuh afeksi. “If you won’t tell, that’s oke. I’ll be here for you, I will hug you. Don’t ever think that you’re alone. You have me, alright?”
Olivia mengangguk sekali. “Alright.”
Marcel lantas mengulaskan senyumnya, masih menatap Olivia tanpa jengah, ia berujar di dekat Olivia, “I love you, Babe. I will always do.”
***
Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹
Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒