Pahitnya Jerat Hukum
Di ruang makan di kediaman Abbas Pasha Tarigan, kegiatan menyantap makan malam di sana seketika berubah menjadi sebuah malapetaka. Seorang ajudan Abbas memberi tahu sebuah berita yang baru saja ditayangkan di hampir seluruh media massa. Headline berita tersebut berbunyi “Leonel Nathan Tarigan, anak sulung Ketua Mahkamah Angung Abbas Pasha Tarigan, Terbukti telah melakukan Pembunuhan terhadap Redanzio Nawasena Gumilar”.
Sebuah sendok yang dipegang Abbas seketika meluncur dari tangannya. Abbas segera beranjak dari posisinya dan berjalan ke arah ruang tamu. Di sana asistennya yang lain memberitahu kelanjutan berita tersebut, bahwa ternyata Leonel telah berada bersama tim polisi dan akan ditahan.
Abbas masih tampak tidak percaya terhadap fakta yang baru ia ketahui di depan mukanya itu. Raut wajahnya yang menyiratkan amarah membuat Maya menghampiri suaminya untuk segera menenangkannya.
“Pah, kamu tenang dulu. Kita bisa cari cara untuk membebaskan Leonel,” ucap Maya sembari mengusap lengan suaminya.
“Gimana saya bisa tenang, Maya? Saya mendidiknya selama bertahun-tahun, tapi apa yang dia lakukan sekarang? Dia telah mencoreng nama keluarga dan jabatanku sebagai penegak hukum,” ujar Abbas dengan ekspresi kalutnya.
Levin sang putra bungsu keluarga Tarigan yang melihat kejadian buruk menimpa keluarganya itu, seketika merasakan perasaan amarah yang memuhi rongga dadanya. Satu kenyataan yang ia ketahui, ditambah kejadian malam ini, semakin membuat Levin membenci sosok kakak lelakinya.
Salah seorang ketua ajudan Abbas kemudian menghampirinya dan memberitahu sesuatu. “Pak, sampai sekarang kita belum bisa menemukan keberadaan Hendri. Saya sudah cek maskapai keberangkatan Hendri ke Taiwan, tapi ternyata Hendri tidak berangkat hari itu, Pak.”
Mendengar pernyataan itu Abbas semakin terlihat murka. Kemudian Abbas mengatakan sesuatu kepada ajudannya. Ada hal yang harus segera ia urus atas semua yang terjadi. Saat Maya bertanya pada suaminya dengan tatapan khawatir, Abbas tidak dapat menjawabnya. Begitu juga dengan Levin yang mengkhawatirkan keluarga dan masa depannya, Abbas masih belum bisa memberikan jawaban pasti.
Abbas menatap istri dan putra bungsunya bergantian. “Papa akan pastiin keluarga kita akan tetap aman. Kalian tenang aja, malam ini Papa akan ngurus sesuatu untuk membereskan semuanya.”
Sepeninggalan Abbas dari hadapan Maya dan Levin, Levin mengatakan sesuatu pada mamanya. “Mah, kalau sampai keluarga kita kenapa-napa, Levin nggak akan pernah bisa maafin Leonel.”
“Levin, kamu nggak boleh bersikap kayak gitu. Leonel itu kakak kamu, Sayang,” ujar Maya mencoba memberi putranya pemahaman.
Levin menatap Maya, lalu ia menggelengkan kepalanya, “Nggak, Mah. Sejak saat itu, Levin nggak pernah anggap Leonel lagi sebagai kakak.”
***
2 hari kemudian.
Suasana kantor Mahkamah Agung pagi itu menjadi gempar berkat kedatangan pihak kejaksaan dan kepolisian yang membawa surat penangkapan Abbas Pasha Tarigan. Abbas berada di ruangannya ketika seorang dari kejaksaan menyatakan tindak penahanannya.
Beberapa anggota dari kepolisian yang turut hadir di sana mengatakan bahwa Abbas harus segera ikut dengan mereka. Namun sebelum itu, Abbas ingin mendengarkan berita acara di surat penangkapan tersebut.
“Baik, Pak Abbas, saya akan membacakan tuduhan yang dilayangkan kepada Anda,” ujar orang kejaksaan itu. “Berdasarkan kesaksian dari seorang pria bernama Hendri, Anda mendapat tuduhan atas pembunuhan berencana kepada ketua Mahkamah Konstitusi, Satrio Malik Gumilar. Selain itu terdapat tuduhan bahwa Anda telah merencanakan sabotase dokumen administrasi negara, penyalahgunaan kekuasaan yang terkait dengan keputusan final hakim MA yang mana hal tersebut termasuk ke dalam pelanggaran kode etik MA.”
Setelah mendengar semua itu, Abbas nampak tidak percaya, tapi ia juga tidak bisa berkutik lagi. Di bawah meja, kedua tangan Abbas tampak mengepal dengan kuat.
Orang kejaksaan itu lantas maju selangkah, lalu kembali berujar di hadapan Abbas. “Kami akan membawa kasus ini ke pengadilan dan mengadilinya sampai tuntas.”
Abbas sempat menolak waktu akan dibawa oleh polisi. Pria itu mengatakan suatu hal yang membuat semua orang di sana menghentikan aksi mereka.
“Ini semua tidak benar, nama baik saya telah dicemari. Kalian tahu, saya akan membuktikan kalau saya tidak bersalah,” ucap Abbas.
“Bapak Abbas, Anda bisa mengatakannya lebih lanjut di kantor kejaksaan. Silakan mengikuti prosedur penahanan kami, Anda wajib untuk mematuhi perintah di surat penangkapan ini,” ujar seorang kepala polisi di sana.
Pada akhirnya Abbas tidak lagi bisa mengelak lagi ketika dirinya dibekuk oleh polisi. Rencana yang telah Abbas susun untuk menyingkirkan Satrio selama betahun-tahun kini telah gugur sampai hari ini. Hukum yang selama ini berada di tangannya, justru kini bekerja menghancurkan rencananya.
Ketika Abbas dibawa sampai di luar gedung Mahkamah Agung, di sana sudah banyak media yang meliput penangkapannya. Tidak hanya itu, beberapa masyarakat terlihat memenuhi jalanan di depan gedung MA, membuat para apparat keamanan berusaha menyingkirkan mereka. Mobil polisi yang membawa Abbas sempat kesulitan untuk melewati kerumunan orang-orang yang ricuh di sana. Para massa itu tidak ingin menyingkir, mereka berusaha mendapatkan detail berita soal penangkapan ketua MA yang dilakukan hari ini.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang bertugas membina dan menjaga semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara agar diterapkan secara adil, tepat, dan bena, nyatanya telah melakukan pelanggaran hukum itu sendiri.
Sebuah pelajaran yang berharga adalah bahwa segala sesuatu tidak dapat dipercayai sepenuhnya, sekalipun dari luar terlihat nampak baik-baik saja. Sebagaimana mestinya, hukum akan tetap berjalan tidak memandang siapa yang berurusan dengannya.
***
Seorang pria dengan tubuh semampai mengetuk pintu berpelitur coklat jati di hadapannya. Segera setelah pintu dibukakan, pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Di kursi yang menghadap jendela kaca besar di ruangan itu, seorang pria telah menunggu kedatangannya.
“Bagaimana bisa semuanya bisa terungkap?” tanya pria yang duduk di kursinya itu. Dari nada bicaranya, terdengar ada sebuah amarah yang sedang berusaha ditahannya.
“Ada yang menemukan bukti atas kejahatan Abbas dan Leonel, Pak,” ujar pria muda itu.
Pria yang masih duduk di kursinya itu nampak sedang berpikir. Tidak lama berselang, ia menyampaikan sesuatu pada lelaki di hadapannya. “Cari tau secara rinci siapa yang menemukan bukti itu. Mereka berani mengibarkan bendera perang kepada saya, maka sampai saya mati sekali pun, saya tidak akan membiarkan mereka.”
“Baik, Pak,” ucap lelaki itu menuruti perintah atasannya.
“Lakukan ini secara perlahan, kita tidak perlu terburu-buru.”
“Tapi, apa alasannya Pak?” tanya pria itu nampak tidak mengerti.
“Biarkan mereka merasa menang untuk saat ini. Saya ingin menyaksikannya, sebelum kekalahan yang sesungguhnya datang pada mereka,” tukas pria itu.
***
Levin masih berada di kampusnya ketika berita penangkapan papanya meluas di berbagai media. Teman-temannya sontak bertanya padanya, yang di mana Levin tidak bisa menjelaskan apa pun pada mereka. Bukan hanya papanya saja yang ditangkap oleh polisi, tapi sebelumnya kakaknya juga telah ditangkap.
Berkat keributan itu, Levin akhirnya memutuskan meninggalkan kelasnya. Hari ini sepertinya akan menjadi hari terburuk bagi Levin. Saat Levin sampai di parkiran mobil di kampusnya, ia bertemu dengan 3 orang teman laki-lakinya. Di sana mereka menahan langkah Levin, lalu seorang dari mereka maju selangkah dan berujar tepat di depan wajahnya. “Habis denger berita, gue jadi nggak bisa bedain yang mana penegak hukum yang mana kriminal.”
“Jangan bicara sembarangan,” ucap Levin dengan tatapan dinginnya.
“Sembarangan gimana? Beritanya aja udah jelas. Bokap lo katanya penegak hukum, tapi malah menodai hukum itu sendiri. Bahkan kakak lo juga seorang kriminal,” ucap temannya yang lain.
“Lebih baik lo pindah jurusan kuliah deh Vin, lo nggak pantes lulus sebagai sarjana hukum.” Setelah ucapan itu, ketiga lelaki itu beranjak meninggalkan Levin.
Padahal mereka adalah teman-temannya yang Levin pikir akan berada di sisinya saat ia terpuruk. Namun nyatanya Levin ikut merasakan pahitnya hukum itu sendiri secara tidak langsung. Hukum rupanya tidak hanya berdampak pada orang yang berurusan langsung dengannya, tapi nasib orang-orang di sekitarnya juga ikut terkena dampaknya.
***
Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮
Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂