Perjuangan untuk Mengungkap Kasus
Begitu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak yang telah diperjuangkan untuk dapat mengungkap kasus, mulai dari waktu, tenaga, hingga luka. Saat ini waktu menunjukkan pukul 10 malam. Raegan masih berada di markas The Ninety Seven karena harus mengurus beberapa hal terkait misi mereka dalam menemukan buktinya. Dari waktu 60 hari yang merupakan keputusan presiden, kini tersisa 3 hari lagi. Raegan harus segera menemukan bukti untuk membebaskan papanya dari tuduhan itu.
Romeo dan Calvin baru saja tertidur di sofa ruang kerja yang ada di pojok ruangan, sementara Barra sedang mengambil minuman di dapur. Raegan bergerak sedikit dari posisi duduknya, ia mengambil sekotak rokok dari laci meja kerja. Tidak lama berselang, Barra kembali sambil membawa dua buah gelas yang telah diisi oleh bir dengan kadar alkohol rendah.
Barra lantas menyodorkan satu gelas di tangannya kepada Raegan. Raegan baru akan menerima gelas tersebut, tapi tangannya terhenti kala ponsel miliknya di atas meja berdering. Otomatis Barra juga melihat ke layar ponsel itu dan begitu ia membaca ID call yang tertera di sana, Barra seketika menatap Raegan dengan tatapan memicing dan sebuah senyum yang tertahan.
“Angkat aja dulu,” ucap Barra menyuruh Raegan mengangkat telfonnya. Raegan berdecak karena Barra tidak berniat pergi untuk memberinya ruang privasi.
Raegan akhirnya menjawab panggilan tersebut. Satu tangannya memegang ponsel, satunya lagi memegang sebatang rokok yang sebelumnya telah sempat dihisapnya. “Halo … Kal?” ucap Raegan.
“Halo, Mas. Kamu masih di markas?” ujar sebuah suara fameliar yang terdengar begitu lembut dari ujung sana.
“Masih,” ucap Raegan. Barra yang mendengar jawaban singkat sahabatnya itu, langsung menghembuskan napas panjang dan ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa ia telah kehabisan kesabaran.
Dengan gerakan tangannya sebagai isyarat, Barra mengatakan pada Raegan kalau lelaki itu tidak boleh menjawab dengan terlalu singkat. Raegan yang tidak terlalu mengerti dengan yang dimaksudkan oleh Barra, maka Raegan hanya melakukannya sesuai dengan apa kata hatinya.
“Mas kamu pulang atau nginep di sana?” tanya Kaldera lagi.
“Kayaknya malam ini nggak pulang,” jawab Raegan.
“Ohh oke kalau gitu. Berarti aku minta tolong pak Ardi buat kunci gerbang ya.”
“Hmm.”
Baiklah, Bara sudah sangat pasrah dengan kedua orang itu. Barra memutuskan berlalu dari hadapan Raegan setelah meletakkan gelas berisi bir di atas meja.
“Ada siapa di situ Mas?” tanya Kaldera lagi.
“Oh, tadi itu Barra, dia cuma lewat. Calvin sama Romeo udah tidur.”
“Okee. Yaudah Mas, aku tutup ya telfonnya?”
“Kal, tunggu,” ucap Raegan menahan Kaldera mengakhiri telfonnya.
“Iya?”
“Aku mau bilang makasih sama kamu,” ujar Raegan.
“Makasih untuk?”
“I’m hearing your voice, and I’m feel so much better. Thank you,” ucap Raegan. Setelah Raegan mengucapkannya, keduanya pun hanya terdiam. Lebih tepatnya Kaldera sendiri sedang berusaha menetralkan jantungnya yang berdebar cukup kencang melebihi debaran normal. Sementara Raegan justru memikirkan ucapannya dan tentang bagaimana tanggapan Kaldera. Apakah ucapannya terlalu cheesy? Argh, Raegan bisa gila kalau terus berpikir dan kepalanya serasa ingin pecah.
“Halo … Mas?” ujar Kaldera akhirnya. Raegan pun tersadar dari keterdiamannya dan segera menjawab.
“Hmm … ini udah malem dan besok kamu harus sekolah, kan?” Raegan sedikit merutuki ucapannya yang mana itu terdengar seperti ingin menghindari situasi canggung yang terjadi. Padahal situasi tersebut juga tercipta berkat ulahnya sendiri.
“Oh iya bener, besok aku harus sekolah. Yaudah Mas aku tutup dulu ya telfonnya.”
Raegan pun mengiyakan dan menunggu Kaldera untuk menutup sambungannya lebih dulu. Namun sebelum sambungan tersebut ditutup, Kaldera kembali mengatakan sesuatu pada Raegan. “Mas, sejauh ini kamu udah ngelakuin yang terbaik. Waktu penentuannya tiga hari lagi, aku tau kamu akan berusaha keras untuk bawa bukti itu ke pengadilan. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, mama dan papa kamu jauh lebih khawatir sama kamu dibandingkan apa pun.”
“I knew,” ujar Raegan pelan. Usai mengucapkannya, mereka sempat terdiam selama beberapa detik.
“Oke, aku tutup ya telfonnya. Jangan terlalu keras sama diri kamu, Mas. Kamu boleh istirahat saat kamu udah ngerasa capek. It’s totally oke.”
***
3 hari kemudian.
Keputusan pengadilan mengenai tuntutan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua MK akan keluar hari ini. Tepat di 60 hari setelah pemberhentian jabatan sementara dan masa tunggu tersebut selesai, Satrio Malik Gumilar akan menerima keputusan tentang jabatannya.
Sidang putusan tersebut bersifat tertutup, artinya persidangan tidak boleh dihadiri oleh masyarakat umum dan hanya dapat dihadiri oleh pihak yang berperkara atau dalam kapasitas sebagai kuasa hukum.
“Sesuai dengan peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 4 tahun 2012 tentang tata cara pemberhentian hakim konstitusi, sesuai pasal 8 tentang pelanggaran kode etik dan pedoman hakim konstitusi, hakim memutuskan pemberhentian dengan tidak hormat resmi dibatalkan,” ujar hakim itu.
“Atas keputusan pengadilan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi tidak bersalah, tuntutan akan dibatalkan dan terdakwa berhak mendapatkan pemulihan nama baik,” terang hakim sebelum mengakhiri sidangnya.
Sidang yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam tersebut akhirnya telah selesai. Sebelum masa 60 hari tersebut, berhasil dibawa bukti kepada kejaksaan bahwa dokumen penting milik Mahkamah Konstitusi telah disabotase oleh seorang oknum, jadi kekacauan administrasi tersebut bukan disebabkan oleh Sekretaris Jenderal dan Panitera MK.
Usai sidang berakhir, Satrio di damping oleh sekretarisnya menemui seorang jaksa yang tadi ikut menghadiri persidangan.
“Sidangnya telah selesai, selamat atas pengembalian jabatan Anda, Pak Satrio,” ujar jaksa itu sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Satrio.
“Terima kasih,” balas Satrio.
“Pak Ferdi, saya ingin berdiskusi dengan Anda tentang suatu hal yang cukup penting. Apakah besok siang kita bisa membicarakannya?” tanya Satrio.
Ferdi yang mendengar pertanyaan itu seketika mengernyitkan alisnya. “Kalau boleh saya tahu lebih dulu, hal penting apa yang akan kita bicarakan ya, Pak?” tanya Ferdi.
“Ini tentang dokumen administrasi negara yang telah disabotase. Saya ingin mengusut kasus ini melalui hukum,” ujar Satrio.
“Saya rasa Anda bisa membicarakan hal tersebut pada Mahkamah Konstitusi karena ini termasuk masalah internal lembaga Anda, Pak,” ucap Ferdi yang sepertinya enggan menerima permintaan yang diajukan Satrio.
Satrio mengulaskan senyum lugasnya, lalu Satrio meminta sekretarisnya untuk menjelaskan mengapa ia memerlukan bantuan Ferdi terkait hal ini.
“Pak Satrio telah memilih Anda untuk coba lebih dulu melihat kasus ini, Pak. Ketua jarang sekali memutuskan hal seperti ini. Jadi tolong pertimbangkan permintaan ini. Kami tunggu kabar baiknya ya Pak.”
***
“Saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung pada Raegan,” ujar Satrio yang kini tengah menatap Indri lurus-lurus.
“Indri, mungkin saya telah gagal menjadi papa yang baik untuk anak-anak kita. Tapi kamu tau, Raegan telah berhasil menjadi anak yang begitu berbakti pada orang tuanya.” Satrio mengungkapkannya. Kini ia baru menyadari kalau keluarga yang dulu ia miliki sangatlah berarti, tapi sekarang apa boleh buat semuanya sudah berbeda.
“Kamu tetap papanya anak-anak, perpisahan kita nggak akan mengubah fakta tersebut. Jadi sudah seharusnya Raegan berbakti sama kamu,” ujar Indri diiringi senyum hangat yang terulas di wajahnya.
Beberapa saat kemudian, kedatangan dua orang di ruang tamu rumah itu langsung memecah suasana hening antara Indri dan Satrio. Di dekat pintu, Raegan dan Kaldera tengah menatap ke arah Indri dan Satrio. Saat kontak mata tersebut terputus, Raegan segera melangkah masuk ke dalam dan menyalami tangan Satrio. Aksi Raegan itu juga diikuti oleh Kaldera yang meski nampak canggung karena baru pertama kali gadis itu menyapa Satrio.
Lantas Indri dan Kaldera membiarkan Raegan dan Satrio berbicara empat mata. Mereka beralasan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang baru saja dibeli oleh Kaldera dan Raegan.
“Kalau Papa berkenan, kita bisa sekalian makan malam bersama. Ini sudah waktunya malam malam, kan? Gimana?” ujar Raegan membuka pembicarannya.
“Boleh, kita bisa makan malam bersama,” balas Satrio. Melalui tatapan pria paruh baya itu, ada pancaran kebahagiaan yang mungkin bagi sebagian orang makan bersama adalah hal yang sederhana. Namun konsep kebahagiaan seseorang tentunya berbeda-beda, bukan?
“Raegan, Papa ingin mengucapkan terima kasih sama kamu. Berkat bantuan kamu dan teman-teman kamu, Papa bisa bebas dari tuntutan pengadilan,” ujar Satrio.
Raegan terdiam setelah mendengarnya. Rasanya ia begitu rindu terhadap momen kebersamaan keluarga mereka. Melihat papanya hari ini datang ke rumah, tembok kokoh yang telah Raegan bangun selama ini rasanya seperti akan runtuh sedikit lagi.
“Sama-sama, Pah. Selamat juga atas kembalinya jabatan Papa. Soal kasus sabotase itu, apa Papa akan menuntut balik pelaku itu?” tanya Raegan.
“Tentu, Papa akan melakukan itu. Papa akan meminta kejaksaan untuk menyelidikinya. Jika memang benar perbuatan tersebut dilakukan oleh Leonel dan dia memiliki orang yang memerintahnya, maka tujuan kita bukan hanya Leonel. Di ranah hukum, seseorang sulit sekali jika bekerja sendiri, jadi hanya ada satu kemungkinan besar.”
“Apa kemungkinan itu Pah?” tanya Raegan.
“Leonel adalah antek mafia yang bekerja untuk pejabat tinggi. Mereka pasti saling menguntungkan satu sama lain dan memiliki suatu tujuan di balik semua ini.”
***
Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮
Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂