Permohonan untuk Tetap Tinggal

house

Ketika BMW milik Marcel berhenti di pekarangan sebuah rumah, Marcel langsung menatap pada bangunan bertingkat di hadapannya.

Selama beberapa detik, Marcel tidak bergeming di sana. Marcel berpikir kapan terakhir dirinya mengunjungi rumah orang tuanya, rasanya sudah begitu lama. Marcel merasa rindu dengan rumah ini. Masa kecil sampai, remaja, hingga memasuki awal dewasa, Marcel menghabiskan hidupnya di sini. Namun sayangnya, lebih banyak rasa sakit, yang kemudian membuat hatinya enggan untuk datang atau sekedar mengingat memori indah yang ada tempat ini.

Ketika pintu mobil di sampingnya dibuka, Marcel pun segera tersadar dari lamunannya. Tampak Arsen di sana, membukakan pintu untuknya.

“Udah gue tanyain sama orang rumah, orang tua lo ada di dalem. Baru aja balik katanya,” ujar Arsen memberitahu.

Marcel mengangguk sekali, kemudian dirinya segera beranjak turun dari mobil.

Hari ini Marcel telah memutuskan. Marcel datang ke kediaman orang tuanya karena ingin menyampaikan suatu hal, dan mungkin ini adalah kali terakhir Marcel menginjakkan kakinya di rumah ini.

***

Marcel menemui Enrico dan Valerie di ruang keluarga. Kedua orang tuanya itu masih tampak biasa saja ketika Marcel datang. Ekspresi Valerie terlihat datar, begitu juga dengan Enrico. Padahal Marcel berharap, setidaknya Valerie menyinggung sesuatu tentang kejadian tempo hari lalu di mana Mamanya itu menyakiti Olivia.

Namun sepertinya harapan Marcel hanya akan menjadi harapan.

“Pah, Mah, ada hal penting yang ingin Marcel sampaikan,” ujar Marcel membuka suaranya.

“Silakan. Ada apa?” Enrico pun berujar sambil menatap Marcel.

“Marcel udah memutuskan sesuatu beberapa hari yang lalu. Marcel akan pindah ke Swiss dan tinggal menetap di sana. Tentunya Marcel bawa Mikayla dan Olivia juga,” ujar Marcel dalam satu tarikan napas.

Rasanya berat mengutarakannya, tapi ini sudah menjadi keputusannya. Marcel ingin mengakhiri rasa sakitnya dan berharap dapat membangun kehidupan yang bahagia bersama Olivia dan Mikayla, di sebuah negara dan tempat yang baru untuk mereka.

Beberapa detik berlalu usai Marcel mengatakannya, kini Marcel mendapati tatapan Valerie yang tampak berbeda. Ekspresi Valerie ang sebelumnya tampak datar, kini terlihat sedikit syok dan nanar.

“Marcel .. maksud kamu apa dengan pindah ke luar negeri?” uajr Valeri.

“Marcel akan meninggalkan perusahaan dan menyerahkan jabatan ke Papa. Marcel akan tinggal menatap di Swiss Mah,” ujar Marcel lagi.

Marcel beralih menatap Enrico, Papanya itu masih diam dan belum menanggapi perkataannya. Tatapan Enrico pun masih sama ketika menatap Marcel, tanpa ekspresi, seolah Papanya itu acuh.

“Kamu mau ninggalin orang tua kamu dan bawa Mikayla pergi jauh? Mikayla itu cucu Mama, Marcel. Mama tau kamu orang tuanya Mikayla, tapi kamu nggak mikirin perasaan Mama dan Papa?” ujar Valerie lagi.

Marcel masih terdiam di tempatnya mendengar semua itu.

“Marcel, maafin Mama Nak,” lirih Valerie masih menatap Marcel, kali ini tatapannya tampak begitu sendu.

Kata maaf yang bertahun-tahun tidak pernah Marcel dengar dari orang tuanya, hari ini akhirnya ia mendengarnya.

“Mama minta maaf untuk apa?” Marcel bertanya sembari menatap Valerie lurus-lurus.

“Mama minta maaf, Nak. Mama sadar apa yang Mama lakuin udah kelewatan. Tolong ya .. jangan pindah. Tolong jangan pergi,” ujar Valerie dengan tapan memohonnya.

Marcel pun kembali berujar, “Mama sadar sama kesalahan Mama cuma sama Marcel, kalau sama Olivia gimana?”

Valerie seketika mengatupkan bibirnya. Valerie tampak tidak akan berujar lagi, bersikap abai.

Akhirnya Marcel kembali mengutrakan. “Keputusan Marcel untuk pindah udah bulat, Mah, Pah. Bulan depan Marcel akan pindah. Maaf, Marcel harus mengambil keputusan ini. Marcel tau Papa dan Mama kecewa dan nggak setuju. Tapi Marcel minta tolong, tolong hargai keputusan Marcel.”

Marcel masih di sana selama beberapa detik setelah mengutarakan maksudnya. Marcel menunggu dan sedikit berharap orang tuanya akan mengatakan sesuatu. Marcel tidak meminta orang tuanya menahannya untuk pergi, tapi mungkin jika orang tuanya meminta maaf dan menyadari kesalahan, Marcel bisa mempertimbangkan kembali keputusannya untuk pindah.

Marcel hanya ingin orang tuanya menyadari kesalahan, agar hubungan mereka bisa membaik. Kalau terus seperti ini dan tidak mau menyadari kesalahan, yang lalu-lalu akan kembali terulang, selayaknya sebuah roda yang berputar dan akan kembali di tempat yang sama.

Selang beberapa menit Marcel menunggu, tidak ada yang terucap ataupun terjadi. Marcel akhirnya memutuskan untuk beranjak dari sana dan berpamitan pada orang tuanya.

“Pah, Mah, Marcel pamit dulu ya,” ucap Marcel.

Ketika Marcel berdiri, Valerie segera ikut berdiri, lalu Mamanya itu menahan lengannya. Marcel menatap Mamanya yang kini tengah memegang lengannya.

“Mama nggak mau kehilangan kamu dan Mikayla. Kamu tau kan, Mama sayang sekali sama kamu,” ujar Valerie.

Marcel menghela napasnya sekali, lalu ia berujar pada Valerie, “Mama nggak akan kehilangan Marcel atau pun Mikayla. Sesekali Mama masih bisa ketemu sama Mikayla. Mama tenang aja ya,” ujar Marcel.

Secara perlahan lalu Marcel melepaskan pegangan Valerie di lengannya.

“Marcel tetap akan jadi anak Mama dan selalu sayang sama Mama, nggak ada yang berubah. Tapi tolong Mah, Marcel juga ingin membahagiakan orang yang Marcel cintai,” terang Marcel.

Keputusan ini rasanya memang sulit bagi Marcel. Namun di kehidupan ini, memang beberapa hal harus diputuskan dan terlihat seperti dikorbankan.

Apa pun yang terjadi, seperti yang Marcel katakan, ia tetap akan menjadi seorang anak bagi orang tuanya. Namun Marcel juga memiliki keinginan yang besar, yakni ia ingin membahagiakan orang yang dicintainya. Jika tempatnya bukan di sini, maka Marcel akan menemukan tempat lain dan membuat tempat itu menjadi kediaman yang aman, nyaman, dan diselimuti oleh kebahagiaan.

Marcel mengenggam tangan Valerie di sana dan mengusap punggung tangan itu lembut. “Mah, Marcel pamit dulu ya,” ucap Marcel sebelum sungguhan melangkah pergi dari sana.

Genggaman tangan Valerie di lengan Marcel perlahan dilepaskan oleh Marcel. Valerie terpaku di tempatnya, ia menatap menatap hampa pada kepergian putranya. Hatinya terasa tergores dan hancur berkeping-keping, tanpa dapat ia jelaskan melalui frasa.

Valerie lantas mengalihkan tatapannya pada Enrico, ia meminta Enrico untuk menahan putra mereka, tapi nyatanya suaminya hanya terdiam di tempatnya.

“Biarkan aja dia dengan keputusannya Mah,” ucap Enrico yang akhirnya angkat suara.

“Pah, tapi Marcel itu anak kita,” ucap Valerie, netranya menatap nanar kepada Enrico.

“Papa tau itu, Mah. Tapi dia sudah besar, jadi harusnya tau keputusan yang diambilnya dan siap sama resikonya,” ucap Enrico begitu saja.

***

Siang ini Valerie datang sendiri ke ruang kerja Marcel di kantor. Marcel tampak sedikit terkejut mendapati kedatangan Mamanya yang terbilang mendadak. Asistennya maupun sekretarisnya pun tidak memberitahunya sama sekali mengenai hal ini.

“Ada yang mau Mama omongin sama kamu,” ujar Valerie.

Marcel pun mengangguk sekilas. Kemudian ia segera menggeser ipadnya dan kini fokusnya hanya diberikan pada Valerie yang tengah duduk di hadapannya.

Marcel pun membiarkan Valerie untuk memulai pembicaraannya.

“Marcel, Mama udah sadar sekarang. Retaknya keluarga kita terjadi karena keegoisan Mama dan Papa terhadap kamu. Mama bener-bener nyesel sama semua perbuatan Mama, Nak. Tolong maafin Mama dan pertimbangin lagi untuk nggak pergi. Mama nggak ingin kamu pindah ke luar negeri dan tinggal jauh dari Mama.”

“Marcel udah maafin Mama kok,” ucap Marcel setelah beebrapa detik terdiam. Marcel segera mendapati Valerie mengulaskan senyumnya.

“Tapi belum sepenuhnya Mah,” lanjut Marcel.

Seketika Valerie menatap kecewa pada Marcel. “Maksud kamu apa Nak? Kamu juga nggak bisa ya mempertimbangkan keputusan kamu?”

“Marcel akan pertimbangkan lagi, tapi rasanya belum cukup Mah. Marcel akan maafin Mama sepenuhnya, kalau Mama juga dapet maaf dari Olivia,” terang Marcel akhirnya.

Valerie segera mendapati Marcel yang menatapnya dengan tatapan kecewa. Seolah Marcel mengatakan secara tidak langsung bahwa Olivia memang sangat berati baginya, dan sikap Valerie kepada Olivia-lah yang menjadi alasan dari semua kekecewaan Marcel.

Seumur hidup, Valerie belum pernah mendapatkan tatapan itu dari putra semata wayangnya.

“Mah,” ucap Marcel sambil menatap Valerie.

Valerie tahu Marcel menyayanginya dan menghormatinya sebagai seorang ibu, tapi sebuah rasa kecewa tidak bisa dibohongi.

“Marcel menghormati Olivia sebagai calon ibu dari anak-anak Marcel, sama kayak Marcel menghormati Mama sebagai orang tua Marcel,” ujar Marcel lagi.

Dari ucapan Marcel itu, Valerie begitu bisa melihat putranya ini sangat mencintai Olivia. Level mencintai seseorang tertinggi menurut Valerie adalah rasa hormat dan menghargai yang besar, dan Marcel memperlakukan Olivia seperti itu.

Masih sambil menatap Valerie, Marcel berujar lagi, “Mah, Olivia ingin diterima sama Mama sebagai anak Mama. Marcel akan menikah sama Olivia, jadi udah seharusnya Mama nganggep Olivia adalah anak Mama juga. Marcel berharapnya seperti itu, Mah.”

Marcel mengakhiri pembicaraannya hari itu dengan Valerie.

Setelah ini Marcel ada meeting. Jadi Marcel meminta Valerie untuk meninggalkan ruangannya.

Marcel kemudian mengantar Valerie sampai ke lobi kantor, serta menunggu Mamanya sampai benar-benar masuk ke mobil yang telah menunggu di main entrance gedung.

Ketika mobil itu akhirnya berlalu dari hadapannya, Marcel segera melangkah kembali memasuki gedung kantor.

Perasan Marcel sedikit kalut, tapi sepertinya Mamanya sudah sadar dan mulai luluh. Mungkin ini akan jadi awal baik bagi Marcel dan Olivia, tentunya untuk mendapat restu dari orang tuanya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒