The Apology
Di ujung koridor sekolah di lantai 2, Kaldera tengah membuka loker buku miliknya. Hari ini Kaldera berencana mengambil beberapa barang miliknya dari loker dan membersihkannya, karena sebentar lagi loker ini akan berpindah kepemilikan. Ketika matanya menangkap sebuah foto berukuran sedang di sana, Kaldera segera mengambilnya. Kaldera menatap foto yang merupakan potret pertamanya dengan Zio itu, senyumnya pun otomatis terulas.
Sambil masih menatap foto itu, Kaldera berujar di dalam hatinya. Zio, kita pernah punya rencana dan mimpi yang indah untuk masa depan kita. Hanya aja manusia cuma bisa berencana, tapi Tuhan yang berkehendak. Di mana pun kamu berada sekarang, kamu pasti tau kalau ada seorang laki-laki udah berhasil membuat aku mencintainya. He’s so kind like you, but like he said, he have his own way to loving me.
Kaldera mengakhiri ucapan di dalam hatinya. Kaldera pun bergegas memasukkan foto itu ke dalam paper bag yang dibawanya. Kaldera segera merapikan barang-barang yang tersisa di lokernya, rupanya cukup banyak kenangan yang ia miliki dengan Zio yang masih disimpannya. Kaldera tersenyum sekilas, ketika tiba-tiba teringat sikap Raegan yang masih suka cemburu ketika mengetahui Kldera dan Zio memiliki masa lalu yang begitu indah.
Ketika Kaldera selesai dengan kegiatannya, ia mendapati sosok Icha tengah menghampirinya. Icha berjalan bersama Adel, tapi setelah mengatakan sesuatu pada Adel, kini Icha berjalan menuju Kaldera seorang diri.
“Kal,” ucap Icha.
Kaldera hanya menatap Icha dengan ekspresi datarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Kaldera berbalik meninggalkan Icha begitu saja. Namun Icha segera menyusul langkah Kaldera dan kini menghalangi jalannya.
“Kenapa Cha?” tanya Kaldera akhirnya.
“Kal, pulang sekolah kita hang out yuk. Kan kita udah selesai ujian, kita pergi sama Adel sama Sandra juga,” ujar Icha.
“Lo aja sama mereka, gue nggak ikut,” ujar Kaldera.
“Kenapa Kal? Lo mau ke mana deh emangnya?”
“Gue mau pulang,” ucap Kaldera yang lantas ingin berlalu dari hadapan Icha, tapi lagi-lagi Icha menahan pergelangan tangannya.
“Kal, lo kenapa ngehindarin gue gini sih?” tanya Icha.
Kaldera terlihat tidak berniat untuk menjawab, tapi akhirnya ia memutuskan untuk mengatakannya. Pertama-tama Kaldera melepaskan tangannya dari genggaman Icha, lalu ia berujar. “Gue nggak mau berteman lagi sama lo,” ucap Kaldera dengan gamblang.
Icha tampak kebingungan, kedua alis gadis itu bertaut dan matanya membola. “Gue salah apa Kal? Selama ini kan kita berteman baik. Gue selalu support lo dan ada untuk lo di saat lo butuh. Tapi lo kayak gini—”
“Lo yakin itu? Sebaiknya lo tanya sama diri lo sendiri, Cha. Lo tau, pengkhianatan lebih menyakitkan dari pada pembunuhan. Gue harap lo hargain keputusan gue, gue nggak mau berteman lagi sama lo.” Setelah mengatakannya, Kaldera segera berbalik dari hadapan Icha dan terus melangkah menjauh.
Pengkhianatan memang lebih menyakitkan dari pada pembunuhan. Sekarang Kaldera paham akan hal itu. Beberapa hari yang lalu, Raegan mengatakan pada Kaldera soal Icha. Kaldera sebaiknya membuat keputusan untuk tidak berteman lagi dengan Icha, karena Icha ikut andil dalam rencana penculikan Kaldera waktu itu. Icha menjadi antek yang berhasil dihasut Leonel untuk membantunya merencanakan penculikan itu dan Icha mendapat uang sebagai imbalannya.
Apa pun yang berhubungan dengan Kaldera, Raegan mengatakan kalau ia akan mengusut hal itu sampai tuntas ke akar-akarnya, termasuk tentang sahabatnya yang berusaha menusuknya dari belakang. Kaldera awalnya tidak bisa mempercayai fakta tersebut, tapi begitulah adanya. Siapa pun bahkan bisa berkhianat dan pengkhianatan itu selamanya akan terasa menyakitkan serta tidak terlupakan.
***
Di sore hari yang cerah ini, Raegan mengajak Kaldera untuk pergi ke suatu tempat. Tempat tersebut rupanya adalah sebuah rumah hunian yang cukup besar, dengan halaman yang luas di bagian depan maupun di bagian belakangnya.
“Mas, ini rumahnya siapa?” tanya Kaldera begitu mereka masuk dan berjalan sampai ke ruang tamu. Ruang tamu tersebut tampak sudah full furnish, terdapat beberapa barang di sana seperti sofa, televisi, dan sebuah rak buru besar di sudut kiri ruangan.
Kaldera lantas mengambil tempat duduk di samping Raegan di sofa. Mereka saling menatap, lalu Raegan mengarahkan lengannya untuk memeluk bahu Kaldera dari samping. “Ini rumah aku. Kamu suka nggak sama rumah ini?” tanya Raegan.
“Hmm … suka aja sih. Rumahnya bagus, sejuk juga karena ada halaman yang luas,” ujar Kaldera.
“Kamu mau liat-liat rumah ini?” tanya Raegan.
“Boleh,” jawab Kaldera dengan tatapannya yang terlihat antusias.
“Oke, kita ke taman belakang. Sekalian aku mau kenalin kamu sama Xavier.”
“Xavier?” tanya Kaldera.
“*He’s kind, bahkan sama orang yang baru pertama kali ketemu. Ayo,” ucap Raegan seraya meraih tangan Kaldera dan menggandengnya.
***
Ketika mereka sampai di halaman belakang, Kaldera mendapati sekitar 6 orang pria berbadan tinggi dan kekar di sana. Kaldera telah mengenal mereka semua yang merupakan anggota Aquiver, tapi Kaldera tahu bahwa di antara mereka tidak ada yang bernama Xavier.
Sebenarnya hari ini Raegan ingin menghabiskan waktu berdua bersama Kaldera, tapi kenyataannya mereka tetap tidak bsia berduaan saja. Mereka dikawal oleh beberapa orang, untuk memastikan keamanan dan menghindari kejadian yang tidak diinginkan terjadi lagi.
“Hei, Xavier,” ucap Raegan begitu Alaric muncul sambil membawa seekor anjing golden retriever bersamanya.
Kaldera lantas memperhatikan Raegan yang berlutut di hadapan anjing berbulu coklat keemasan itu. Raegan mengusap bulu anjing itu di bagian lehernya sejenak, lalu meminta Kadera untuk mencoba melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan.
“Jadi ini yang namanya Xavier,” ujar Kaldera, gadis itu ikut berlutut di dekat Xavier dan memperhatikan anjing dengan tubuh yang cukup gagah itu.
“Iya, emang kamu ngiranya apa?” tanya Raegan.
“Namanya bagus banget, aku sampe kira Xavier itu orang lho. Kamu sih nggak ngasih tau aku,” ujar Kaldera sambil tertawa pelan.
Raegan lantas ikut tertawa ketika mendapati tawa cantik Kaldera. “Nanti kalau Xavier punya anak, kamu mau namain apa?” tanya Raegan.
“Aku boleh namain?” tanya Kaldera sembari mengusap bulu halus Xavier. Anjing golden retriever memang terkenal ramah dan mudah akrab meskipun dengan orang baru. Xavier pun nampak anteng ketika Kaldera memanjakannya dengan mengusapi bulunya.
“Iya, kamu boleh namain. Terserah kamu namain apa,” ujar Raegan.
“Oke, nanti aku pikirin nama yang cocok untuk anaknya Xavier,” ujar Kaldera kemudian.
Setelah bermain beberapa saat dengan Xavier, Raegan dan Kaldera memutuskan untuk memiliki waktu berdua. Di halaman belakang rumah itu, terdapat sebuah paviliun yang bisa dijadikan tempat untuk bersantai sembari menikmati suasana sore yang sejuk.
Raegan dan Kaldera memutuskan duduk di kursi di paviliun itu dan rupanya tanpa diduga, Xavier ingin ikut dengan mereka. Raegan telah meminta anggotanya untuk membawa Xavier, tapi anjing lincah itu malah melompat dan berlari menyusulnya dan Kaldera.
Saat Raegan ingin mengajak Xavier bermain dengannya, anjing jantan yang telah 6 tahun menjadi peliharaan setianya itu justru menghampiri Kaldera dan meloncat ke atas pangkuannya. Xavier tampak manja bahkan menggonggong kegirangan saat Kaldera bergerak memeluknya.
“He like you very much,” cetus Raegan sambil memperhatikan keakraban Xavier dengan Kaldera.
Kaldera menoleh pada Raegan dan mendapati perubahan ekspresi di wajah kekasihnya itu. Kaldera lantas tersenyum, lalu ia mencoba menurunkan Xavier dari pangkuannya. Namun apa daya, Xavier kembali naik ke pangkuannya dan malah meminta sebuah pelukan manja dari Kaldera.
“Mas, jangan bilang kamu cemburu sama Xavier?” tebak Kaldera.
Tawa Kaldera seketika membuncah setelah mendapati Raegan yang menjawab pertanyannya dengan sebuah anggukan.
“No one can loving you like I can,” ujar Raegan kemudian. Raegan mengaku kalah bahwa dirinya merasa cemburu pada siapa pun itu yang berada di dekat Kaldera dan mencuri perhatiannya. Raegan tidak tahu pasti, tapi ia tidak dapat mengontrol perasaan itu. Perasaan cemburu yang tampak agak kekanak-kanakan, yang kadang membuat Raegan kalut. Namun berkat itu juga, Kaldera jadi sering tertawa karena mendapati Raegan yang cemburu.
“Iya iya, aku tau. No one can loving me like you can,” ujar Kaldera. Akhirnya Kaldea mengiyakan saja. Kalau dilanjutkan, Kaldera sudah tahu bahwa urusannya akan panjang. Lantas satu tangan Kaldera yang bebas yang tidak mendekap Xavier, meraih tangan Raegan yang sebelumnya berada di atas sandaran kursi yang di duduki pria itu.
Raegan terkesiap dan melihat ke arah tangannya yang kini di genggam oleh Kaldera.
“Biar kamu nggak cemburu lagi sama Xavier,” ujar Kaldera. Mau tidak mau, Raegan pun tertawa karena hal itu. Lucu juga kalau di pikir-pikir, Raegan bisa dengan mudah mencair saat bersama Kaldera. Suasana hati Raegan akan dengan mudah membaik berkat Kaldera dan itu terjadi begitu saja.
“Kalau kamu suka sama rumah ini, rumah ini bisa jadi rumah kita nantinya,” ucap Raegan. Raegan pun menatap Kaldera dalam-dalam, lalu pria itu kembali berujar, “Rumah ini akan jadi rumah masa depan kita, saat nanti aku dan kamu udah sama-sama siap membangun keluarga kecil kita sendiri. Gimana menurut kamu?”
Senyum Kaldera seketika merekah setelah mendengar kalimat itu. Kaldera lantas memperat genggaman tangannya pada tangan Raegan, Kaldera menatap Raegan dengan tatapan penuh cintanya.
“Kal, saat waktu itu datang, kamu bisa kasih tau aku. I will purpose you and ask you to marry me,” lagi, Raegan selalu gamblang mengucapkannya. Tanpa aba-aba, yang seringkali membuat Kaldera mengalami senam jantung.
“Alright, I will tell you,” ujar Kaldera kemudian.
Kaldera belum tahu kapan waktu tersebut akan datang. Namun satu hal yang pasti, Kaldera ingin dirinya secepatnya siap untuk bisa mendampingi Raegan, berada di sisi Raegan sebagai seorang perempuan yang selalu memberinya kasih sayang. Kaldera sangat menanti hari itu, yang jika dibayangkan saja sudah mampu membuatnya dadanya berdebar. Hari yang indah itu, Kaldera hanya ingin mewujudkannya bersama dengan Raegan.
***
Ketika Raegan dan Kaldera kembali ke rumah, mereka kedatangan seorang tamu. Keduanya sebenarnya tidak mengira bahwa tamu tersebut adalah Aksa. Kondisi Aksa sudah cukup pulih, meskipun terlihat masih ada sebuah perban yang membalut lengannya.
Di sofa ruang tamu, Kaldera dan Raegan duduk bersebelahan dan Aksa duduk di hadapan mereka. Aksa mengatakan bahwa ada hal yang ingin ia sampaikan kepada Raegan dan Kaldera. Aksaa menatap Raegan dan Kaldera bergantian, sebelum akhirnya lelaki itu berujar, “Kaldera, Mas Raegan, gue ingin minta maaf sama kalian.” Ketika mengucapkannya, tampak penyesalan yang begitu mendalam di wajah Aksa.
“Kata maaf gue mungkin nggak ada artinya, dan nggak akan bisa mengembalikan Zio ke dunia ini. Gue belum sempat menyampaikan kata maaf ini, jadi gue ingin minta maaf yang sebesar-besarnya,” Aksa menjeda ucapannya, lelaki itu mengalihkan tatapannya sejenak saat tiba-tiba perasaan sesak menghampirinya.
Raegan dan Kaldera lantas saling menatap. Raegan mengangguk sekilas, ia membiarkan Kaldera untuk memulai perkataannya lebih dulu.
“Sa, gue sama Mas Raegan udah maafin lo. Apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan lo. Gue terima kasih juga sama lo dan Kafka karena udah nolongin gue kemarin,” tutur Kaldera.
“Udah seharusnya gue ngelakuin itu, Kal. Gue tau banget lo adalah orang yang berarti buat Zio. Gue nggak mau Zio membenci gue kalau sampai hari itu gue nggak berhasil nolong lo,” ujar Aksa.
Aksa menatap Kaldera dan Raegan bergantian. Lelaki itu juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Raegan. Raegan telah menyelamatkan masa depannya, membebaskannya dari jerat hukum, padahal secara tidak langsung ia adalah penyebab adik kandung Raegan meninggal.
Setelah mengatakan semuanya, Aksa pun berpamitan untuk pulang. Raegan dan Kaldera mengantar Aksa sampai ke teras rumah. Sebelum Aksa pergi, lelaki itu mengatakan sesuatu pada Raegan dan Kaldera. “Ohiya, selamat ya untuk kalian berdua,” ucap Aksa diiringi sebuah senyum segaris di wajahnya.
Raegan dan Kaldera lantas saling melempar pandangan, keduanya tampak tidak mengerti maksud perkataan Aksa barusan. Aksa lalu terkekeh pelan dan berujar, “Selamat atas hubungan kalian, gue ikut senang dengarnya. Gue yakin kalau bukan Mas Raegan orangnya, Zio pasti cemburu banget.”
Kemudian senyum otomatis terbentuk di wajah Raegan dan Kaldera. Setelah mereka pikir-pikir, perkataan Aksa itu memang ada benarnya. Kaldera maupun Raegan yang begitu mengenal watak dari Zio, menebak jika orang itu bukanlah Raegan, pasti Zio tidak akan senang dan atau malah jadi sangat cemburu. Namun kenyataannya, keinginan terakhir Zio kini telah sukses terwujud. Zio menitipkan seseorang yang paling ia cintai kepada seseorang yang juga paling ia sayangi, agar ia bisa pergi dengan tenang. Jika orang itu bukan Raegan, mungkin Zio tidak akan rela Kaldera menjadi milik pria lain selain dirinya.
***
Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮
Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜
Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂