The Birthday Party

Keadaan Edgar sudah jauh lebih baik setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Meski masih harus rutin melakukan kontrol dan menjalani terapi untuk kakinya, tapi sekarang Edgar sudah bisa kembali bekerja di kantor. Dua minggu tidak datang ke kantor, cukup banyak rupanya yang Edgar lewatkan.

Saat Edgar tidak bekerja, pekerjaannya sementara dipegang dulu oleh Lilie dan juga dibantu oleh Valdo.

Selain soal pekerjaan, ada hal lain yang hari ini baru Edgar ketahui ketika ia kembali ke kantor. Beredar isu di kantor bahwa Lilie sengaja mendekati sang atasan, yakni Marcellio Moeis. Lilie diduga memanfaatkan kecantikannya untuk menarik perhatian bos dan memiliki motif agar bisa naik jabatan atau apa pun itu ; yang jelas konotasinya mengarah pada hal yang negatif.

Siang ini satu tim divisi sosial media marketing telah berencana untuk makan siang bersama di luar kantor. Mereka memilih sebuah restoran fancy yang menyediakan masakan khas padang.

Hari ini bertepatan dengan jatuhnya tanggal gajian, jadi mengeluarkan uang untuk menyenangkan diri sendiri, layaknya sudah seperti suatu keharusan.

Tim mereka lengkap, Lilie yang biasanya tidak bergabung, kali ini tentu ikut bergabung. Selama mereka menyantap makanan, diselingi juga dengan obrolan-obrolan ringan.

“Lo tadi bawa motor Gar ke kantor?” Jesslyn bertanya kepada Edgar. Pasalnya Edgar baru saja pulih dari keadaannya pasca kecelakaan.

Edgar lantas menoleh pada Jesslyn. “Iya, gue bawa motor,” ujarnya.

“Lah, emang udah bisa? Mending jangan dulu dah kalau kata gue,” ujar Ardi.

“Bener tuh. Mending minta tolong anterin sama keluarga lo atau naik angkutan umum aja,” saran Valdo.

Edgar terdiam selama beberapa detik. Kemudian lelaki itu meneguk minuman di gelasnya lebih dulu. Ketika tidak sengaja netranya bersitatap dengan Lilie yang duduk di seberangnya, Edgar mendapati Lilie yang memperhatikannya ; tapi gadis itu langsung mengalihkan tatapan begitu Edgar menatap ke arahnya.

Edgar berujar di dalam hati. Di antara anggota divisinya, hanya Lilie yang tidak berkomentar soal topik pembahasan barusan. Padahal Edgar sedikit berharap, tapi apa boleh buat.

“Gar, emang lo udah beneran baikan? Mending kalau belum, lo libur kerja aja dulu,” ujar Valdo lagi.

Edgar menatap Valdo, seketika terbuyarlah pemikiran monolog di dalam benaknya.

“Nggak papa, Bang. Gue udah baikan kok. Cuma tiap minggu emang harus control sama terapi aja,” terang Edgar kemudian.

Setelahnya topik pun berganti ke hal lain. Mereka megobrol soal kerjaan atau tentang apa pun yang terlintas saja di dalam benak.

Beberapa menit berselang, ketika Lilie dan Jesslyn berlalu untuk pergi ke toilet, tiba-tiba Ardi berceletuk. “Lu udah tau belum Gar? Kak Lilie kan digosipin punya hubungan sama Pak Marcel. Sempet heboh deh kemarin tuh.”

“Ardi, nanti kalau Lilie denger, dia kepikiran lagi. Awas aja ya lu,” cetus Valdo dengan cepat.

“Iya- iya, Bang. Tapi gue penasaran aja gitu, bener apa enggak gosipnya. Ada karyawan yang bilang kalau Pak Marcel sama Kak Lilie dulu pernah pacaran,” Ardi masih berceloteh, membuat Valdo nampak kesal.

“Gosipnya nggak bener. Lilie ketemu Pak Marcel ya cuma karena urusan kerjaan aja, mereka nggak ada hubungan apa-apa,” ujar Valdo sebelum lelaki itu berlalu dari meja untuk mencuci tangan.

Lantas tersisa Edgar dan Ardi di meja itu. Ardi melihat sekitar dan belum menemukan tanda-tanda kembalinya Lilie dan Jesslyn, jadi Ardi segera berujar pada Edgar. “Kayaknya Pak Marcel deh Gar yang ngedeketin Kak Lilie duluan. Wajar nggak sih menurut lu Pak Marcel suka sama Kak Lilie? Secara Kak Lilie cantik, pinter lagi.”

Edgar tidak menanggapi ucapan Ardi sama sekali. Hingga berakhir Ardi tampak kesal dengan situasi tersebut.

“Gue nggak tau apa-apa, Bang. Jadi gue nggak berani komentar,” ucap Edgar memutuskan pembicaraannya dengan Ardi.

***

Venue Birthday Party

Ada acara perayaan yang diadakan untuk memperingati ulang tahun IT’S CLEINE yang ke-10. Semua karyawan diundang untuk datang ke acara tersebut. Di akhir acara, akan ada pengumuman doorprize dari hasil undian, yang membuat para karyawan sangat bersemangat dan tidak ingin melewatkan perayaan itu.

Namun Edgar tidak bersemangat datang ke acara tersebut, jadi akhirnya ia memutuskan untuk tidak datang. Namun Ian dan Rico yang mengetahui soal acara itu, justru menyemangati Edgar untuk datang. Edgar tetap tidak mau dateng meski sudah berkali-kali dibujuk oleh kedua sahabatnya. Akhirnya Ian dan Rico yang justru datang ke sana.

Malam ini Ian mengenakan setelan formalnya, yakni sebuah kemeja yang dilapisi jas hitam. Hampir sama dengannya, Rico juga mengenakan pakaian formal untuk datang ke pesta perayaan tersebut.

“Yan, nyesel gue ngikutin ide aneh lu ini,” bisik Rico pada Ian.

“Udah, ikutin gue aja. Ayo buruan,” ujar Ian.

Rico akhirnya hanya mengikuti langkah Ian yang sudah berjalan lebih dulu darinya. Mereka memasuki sebuah aula yang jadi temapt di mana pesta diadakan. Ketika mereka berpapasan dengan beberapa orang di acara itu, Ian hanya mengulaskan senyum ramahnya kepada mereka. Ian bersikap seolah ia mengenal orang-orang yang ada di sana. Sebagian orang menatap aneh pada dua lelaki yang nampak mencurigakan itu. Pasalnya mereka merasa asing dengan Ian dan Rico, jelas karena keduanya bukanlah karyawan yang bekerja di perusahaan.

“Tujuan kita ke sini tuh ngapain sih Yan?” Rico bertanya pada Ian.

Ian malah mengabaikan Rico dan asyik menyantap salad buah di piring kecilnya. Lelaki itu dengan santai menikmati berbagai makanan dan minuman yang disajikan di pesta itu.

“Numpang makan,” cetus Ian dengan ada santai.

“Ya nggak numpang makan doang lah, anjir. Kita tuh ke sini mau mengamati keadaan. Kali aja nemu sesuatu tentang Lilie, kan temen lu tuh nggak mau ke sini. Tugas kita adalah pantau dan jagain Lilie,” bisik Ian.

“Jagain dari apaan? Emangnya Lilie kenapa?” tanya Rico.

“Rivalnya Edgar itu Marcel, jelas bahaya. Marcel kan pasti dateng ke acara ini juga,” terang Ian sambil sebisa mungkin memelankan suaranya.

“Iya deh, terserah lu,” ujar Rico.

Pada akhirnya Rico hanya menurut saja. Ia juga bingung sebenarnya mengapa tiba-tiba dirinya mau mengikuti idenya Ian. Rico pun baru tersadar, kenapa ia mau ikut Ian ke acara yang jelas-jelas tidak mengundang mereka, sungguh aneh tapi itulah kenyataannya.

“Yan, anjir Yan!” ujar Rico sambil menunjuk ke suatu arah. “Liat deh, itu Lilie bukan sih?” Rico memberi tahu pada Ian apa yang dilihatnya di antara padatnya kerumunan orang-orang di sana.

Ian pun lekas memberikan atensinya dan menatap ke arah yang ditunjuk Rico. Ian memicingkan matanya, lalu tanpa banyak berucap, Ian segera menaruh piring saladnya di atas meja.

“Itu Lilie sama Marcel, anjir. Mereka mau ke mana berduaan? Wah nggak beres,” ujar Ian yang lantas segera berlalu dari sana.

“Eh Yan lu mau ke mana? Buset nekat banget nih anak, kenapa segala disamperin,” ucap Rico.

Rico pun yang kebingungan pada akhirnya hanya mengikuti langkah Ian. Rico tidak bisa menebak apa yang akan sahabatnya itu lakukan. Ia hanya berpikir, mungkin ini adalah bagian inti dari misi mereka datang ke acara ini.

***

Beberapa menit yang lalu, Edgar mendapat sebuah kiriman foto dari Ian. Foto tersebut memperlihatkan Lilie dan Marcel yang tengah berbincang berdua di balkon gedung.

Ian tidak dapat memberitahu Edgar lebih lanjut apa yang terjadi, karena ia takut ketahuan karena telah menguntit Lilie dan Marcel. Ian dan Rico tidak bisa berlama-lama berada di sana dan mendengar apa yang dibicarakan Lilie dan Marcel. Namun sepertinya pembicaraan mereka adalah hal yang serius, karena ketika Edgar sampai di gedung tersebut, Edgar mendapati Lilie dan Marcel masih berbincang di balkon. Di balik tirai yang membatasi balkon dengan gedung, di sana Edgar mendengarkan pembicaraan antara Lilie dan Marcel.

Jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang tengah menikmati pesta, di sana Edgar mendengarkan pembicaraan Lilie dan Marcel. Edgar tidak tahu apa yang membuatnya akhirnya memutuskan datang ke sini. Ia impulsif mengambil keputusan tersebut. Padahal tidak tahu juga apa dirinya mampu mendengar fakta tentang hubungan Lilie dan Marcel yang mungkin malam ini akan ia ketahui.

“Lilie, saya masih mencintai kamu. Sampai detik ini, nggak ada yang berubah soal perasaan saya ke kamu. Kamu tau, sejak kita berpisah, saya nggak bisa mencintai perempuan lain,” terdengar suara Marcel. Selama beberapa detik, Lilie hanya diam dan tidak mengatakan apa pun.

Berikutnya yang kembali didengar Edgar adalah suara Marcel. “Lilie, tolong kasih saya kesempatan untuk membahagiakan kamu seperti dulu. Kita mulai lagi semuanya dari awal, ya?”

Edgar masih bertahan di sana selama beberapa detik, tapi Lilie tidak kunjung menjawab pernyataan itu. Pada akhirnya Edgar memutuskan untuk pergi dari sana, karena ia tidak yakin bahwa dirinya akan sanggup mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Lilie.

Edgar mundur dua langkah, lalu ia berbalik dan dengan cepat melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Edgar hanya ingin pergi, ia tidak ingin berada di tempat itu. Di tengah beberapa orang yang masih menikmati pesta, Edgar mencoba menerobos kerumunan yang memenuhi tempat itu.

Edgar sempat menghentikan langkahnya karena tiba-tiba kakinya terasa sakit. Edgar sedikit menyingkirkan dirinya dari kerumunan itu. Kemudian satu tangannya mencoba mencari pegangan pada sesuatu. Rasa sakit di pergelangan kakinya kian menjadi. Edgar merintih kesakitan dan ketika tubuhnya akan ambruk karena tidak sanggup menahan rasa sakit, untungnya Ian dan Rico lebih dulu menemukannya dan segera membantunya.

Ian dan Rico tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas ini bukan keadaan yang baik.

“Kita perlu ke rumah sakit nggak?” tanya Ian yang sudah siap di balik kemudinya.

“Nggak usah, nggak papa,” ujar Edgar.

Rico dan Edgar duduk di jok belakang mobil. Kedua sahabat Edgar itu nampak khawatir dengan kondisinya.

“Emang tadi lo kenapa? Kok bisa sampe kayak gini?” Rico bertanya.

Ian sedang fokus menyetir, mobilnya melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan Jakarta yang malam ini tidak terlalu padat.

“Gue nggak tau. Tapi kayaknya karena gue paksa kaki gue buat jalan cepet, harusnya kata dokter nggak boleh dulu,” terang Edgar.

“Sekarang masih sakit nggak? Kita ke rumah sakit aja deh,” ujar Ian.

“Nggak usah. Yan, gue ngga mau balik. Gue nginep di kos lu ya malem ini?” ujar Edgar.

Ian hanya mengangguk mengiyakan, ia mengizinkan Edgar untuk menginap di kosnya.

Ian sudah bisa menebak apa yang terjadi dan tidak ingin menanyakannya secara langsung pada Edgar. Sepertinya bukan berita baik yang nanti akan didengarnya dan itu pasti menyangkut tentang Lilie. Memangnya siapa lagi sosok yang bisa membuat sahabatnya sampai seperti ini?

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕