The Only One Reason
Sienna dijemput oleh Alvaro dan Gio setelah ia menyelesaikan pekerjaannya di studio. Gio nampak senang ketika tau akan menghabiskan waktu dengan papa dan bundanya.
Rencana yang kemarin sempat batal, hari ini akan diganti. Alvaro, Sienna, dan Gio akan mengunjungi tempat bermain indoor yang areanya cukup luas. Tempat permainan itu terbilang cukup lengkap ; ada area mandi bola, outbound, dan sliding. Jangan salah, semua wahana di tempat ini tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak, tapi ada juga yang untuk remaja bahkan sampai dewasa.
Sebelum memasuki arena permainan, Alvaro, Sienna, dan Gio membeli topi. Gio memilih yang warna biru dengan gambar animasi kartun kesukaannya. Sementara Alvaro tertarik pada sebuah topi hitam dengan tulisan ‘Papi’. Coba saja ada ‘Papa’ pasti akan sangat pas untuknya, tapi itu tidak menjadi masalah, toh arti kata tersebut sama saja. Sementara Sienna, ia tidak menemukan yang menarik baginya selain topi berwarna baby pink bertuliskan ‘Baby Girl’. Akhirnya setelah membeli topi, mereka bergegas masuk ke tempat bermain.
Ketika sudah masuk ke area bermain, yang lebih semangat dibandingkan Gio justru Alvaro dan Sienna. Mereka mencoba berbagai wahana yang ada, dari mulai outbound, mandi bola, dan trampolin.
Setelah kurang lebih 30 menit bermain, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk beristirahat terlebih dulu.
“Ternyata main kaya gini seru banget ya. Tempat mainan anak-anak sekarang keren-keren banget,” ujar Alvaro. Di salah satu sofa bag bean berwarna kuning, Alvaro merebahkan tubuhnya.
Sienna di sampingnya mengikuti Alvaro, merebahkan dirinya di sofa bag bean berwarna pink. “Iya. Pas kita kecil mana ada tempat mainan kayak gini,” timpal Sienna. Itu benar adanya. Di zamannya dan Alvaro dulu, mana ada model arena bermain sebagus dan selengkap ini. Biar saja mereka terlihat seperti orang dewasa dengan masa kecil yang kurang bahagia. Memangnya anak-anak saja yang butuh bermain, orang dewasa pun juga membutuhkannya.
“Bunda, Gio mau main perosotan yang di sana, ayo,” ajak Gio sembari menggandeng tangan Sienna. Sienna baru saja beristirahat, tapi Gio masih full baterainya mengajaknya untuk bermain lagi.
“Papa, ayo ikut juga,” ajak Gio pada Alvaro.
“Gio, nanti dulu dong. Papa capek nih,” sahut Alvaro dengan raut memelasnya.
“Yaudah, Al. Nanti lo nyusul aja. Gue sama Gio duluan ke sana ya,” ujar Sienna yang lantas diangguki oleh Alvaro.
Tidak lama setelah Sienna berlalu dengan Gio, Alvaro mendapati ponsel di saku celananya berbunyi. Alvaro menemukan nama ‘Marsha’ tertera di layar ponselnya. Namun saat akan menjawab panggilan itu, sambungannya sudah lebih dulu terputus. Alvaro pikir itu hanya salah pencet, dan mungkin saja hal tersebut terjadi.
Saat Alvaro masih menatap layar ponselnya, panggilan Marsha masuk lagi. Alvaro memutuskan menjawab telfonnya.
“Halo?” ujar Alvaro di telfon, tapi tidak ada sahutan apa pun. Alvaro hanya mendengar suara barang yang dibanting.
“Marsha?” Alvaro mencoba memanggil nama Marsha, tapi nihil. Terdengar lagi suarau teriakan laki-laki dari ujung sana “Matiin hp itu, Sialan!” begitu yang Alvaro dengar.
Beberapa detik kemudian, Alvaro mendengar suara fameliar Marsha menyahut di telfon. “Al, tolongin aku. Dia mau celakain aku …” Suara itu terdengar lirih. Setelah itu, Alvaro tidak mendengar apa pun lagi, dan sambungan telfonnya mati begitu saja.
Alvaro baru akan menyusul Sienna dan Gio, tapi keduanya telah kembali ke tempat semula.
“Papa, Gio tungguin lho sama Bunda. Papa lama banget gak nyusul-nyusul,” ucap Gio.
“Al, kenapa?” tanya Sienna yang mendapati Alvaro terbengong sambil melihat layar ponselnya.
Alvaro akhirnya tersadar, ia pun segera memberitahu Sienna soal apa yang baru saja diketahuinya.
“Gue anter lo sama Gio pulang dulu, baru habis itu gue sama bang Aufar bakal ke apartemen Marsha.”
“Kelamaan, Al. Takutnya Marsha udah kenapa-napa. Gue sama Gio ikut aja. Lo telfon bang Aufar, biar bisa langsung disusul,” saran Sienna.
“Oke.” Alvaro akhirnya menyetujuinya.
Seharusnya Alvaro tidak usah peduli dan terlibat lagi dengan Marsha. Namun Alvaro melakukannya hanya karena sebuah alasan ; yakni karena Marsha adalah ibu kandungnya Gio. Alvaro tidak sampai hati kalau sampai sesuatu yang buruk menimpa Marsha.
***
Marsha rasa sudah terlambat baginya untuk lari dari Rafandra. Seharusnya Marsha melakukannya dari dulu. Kini Marsha harus menghadapi murkanya Rafa dan ia sungguh ketakutan.
“Kenapa semuanya nggak berjalan sesuai rencana kita?!” hardik Rafa di depan wajah Masha, tampak rahang lelaki itu mengetat. Rafa mendekat pada Marsha, lalu ia meraih dagu Marsha dengan kasar, memaksa perempuan itu untuk menatapnya.
“Gimana bisa Alvaro punya bukti kalau kita selingkuh? Dari awal kita udah rencanain semuanya. Kalau lo sama Alvaro cerai, lo harus menangin hak asuh itu,” ujar Rafa lagi.
“Aku udah berusaha, Raf. Aku udah sewa pengacara handal dan melayangkan tuduhan kalau Alvaro selingkuh sama Sienna. Hasil sidangnya juga belum final, jadi kamu tenang aja,” ucap Marsha.
“Lo suruh gue tenang?! Lo pikir dong Sha, kalau sampai hak asuhnya jatuh ke Alvaro, kita nggak bakal dapet apa-apa!” Rafa berucap dengan berapi-api.
Sejak awal, Rafa dan Marsha telah merencanakan sesuatu. Jika pernikahan Marsha dan Alvaro tidak bertahan, maka jalan satu-satunya untuk mendapatk apa yang mereka mau adalah dengan memanfaatkan hak asuh Gio dan Marsha harus mendapatkannya.
Saat ini justru posisi mereka terancam. Mereka takut kalah dan tidak mendapat hak asuh, yang mana nanti kemungkinan besar tidak bisa juga mengajukan pembagian harta gono gini. Jika Marsha terbukti selingkuh di sidang kesimpulan, maka Marsha tidak akan mendapat hak asuh Gio.
Selama ini pun, aset yang dimiliki oleh Alvaro adalah atas namanya sendiri, jadi tidak ada pencampuran harta yang membuat pengadilan harus melakukan pembagian harta gono gini. Maka jalan satu-satunya adalah mendapatkan hak asuh atas Gio. Kalau Marsha mendapat hak asuh, Marsha akan berhak mendapat uang dari Alvaro untul memenuhi kebutuhan Gio, dan itu akan dimanfaatkan sebisa mungkin oleh Rafa dan Marsha.
“Sekarang mungkin kita nggak punya kesempatan lagi. Aset kita satu-satunya, Alvaro yang bakal dapetin itu.” Rafa menggeram kesal, buku-buku tangannya tampak memutih karena ia mengepal terlalu kuat.
“Rafa, kamu sadar gak sih, Gio itu anak kamu! Gio itu darah daging kamu, tapi kamu jadiin dia aset!” ucap Marsha sembari berdiri dari posisinya. Marsha mencoba kabur dari tempat ini, jadi Rafa segera menyeretnya masuk kembali hingga Marsha jatuh tersungkur ke lantai.
Rafa lantas mengarahkan netranya pada Marsha, lalu ia menyunggingkan senyum smirk-nya. Dengan satu tangannya, Rafa menarik rambut panjang Marsha. Rafa memaksa Marsha mendongak, membuat perempuan itu kesakitan dan rintihan pun lolos dari bibirnya.
“Lo lupa?! Lo juga jadiin anak lo aset! Satu hal Sha, gue nggak pernah menginginkan anak itu. Gue udah nyuruh lo buat gugurin, tapi lo keras kepala.”
“Lepasin gue, Raf! Mulai detik ini, gue udah nggak mau berhubungan sama lo lagi. Lo denger itu baik-baik!” Marsha sudah muak, selama ini ia tidak berani bahkan untuk menghardik Rafa, tapi kini ia harus melakukannya.
“Lo pikir lo bisa lepas dari gue? Silakan aja lo berkhayal, tapi sayangnya khayalan lo gak akan jadi kenyataan, Sha,” ucap Rafa.
Marsha menatap Rafa nyalang, kedua matanya terasa perih, tapi ia tidak sudi untuk mengeluarkan air matanya, tidak lagi untuk lelaki ini. Dengan sekuat tenaga, Marsha pun berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman Rafa. Marsha berontak dengan memukul lengan Rafa dan aksinya sempat membuat lelaki itu hilang kendali. Namun dengan cepat Rafa kembali meraih Marsha, lalu ia mencengkeram kuat lengan Marsha hingga nampak meninggalkan kemeraham di kulit Marsha.
“Lo berani juga ya. Lo harusnya nurut sama gue, Sha. Atau gue bisa nyakitin lo lebih dari yang lo bayangin,” desis Rafa.
“Jangan sentuh gue,” Marsha menggeleng lemah ketika Rafa menyentuhkan tangannya ke lehernya dan bergerak lama-lama ke buah dadanya. Rafa kemudian membawa Marsha ke kamar dan dengan kasar menjatuhnya tubuhnya ke atas kasur.
“Raf, sakit …” lirih Marsha begitu Rafa mencengkeram pergelangan tangannya. Rafa hampir saja mengikat kedua tangan Marsha di atas kepala perempuan itu, tapi Marsha dengan cepat berhasil mencegah hal tersebut terjadi. Marsha mengambil sebuah kotak tisu, lalu melemparkannya kepada Rafa hingga akhirnya berhasil mengenai kepala lelaki itu. Rafa merintih kesakitan, lantas ia mendapati keningnya berdarah berkat lemparan kotak tisu yang terbuat dari kayu.
“Sialan!” umpat Rafa sembari mengelap darah di keningnya. Tidak ingin targetnya melarikan diri, Rafa dengan cepat kembali meraih Marsha.
Marsha akhirnya kembali berada di bawah kungkungan Rafa. Kamudian Rafa melayangkan pukulan yang cukup keras pada bokong Marsha.
“Lo mau kabur? Jawab!” ujar Rafa.
“Engga, Raf. Ma-maaf. Maafin gue,” Marsha sebenarnya tidak sudi mengucapkannya, tapi ia tidak punya pilihan. Rafa yang temperamental, membuat Marsha tidak bisa melawan. Paling tidak sampai Rafa tenang, Marsha baru akan kembali berencana melarikan diri.
Rafa nampak belum puas, ia berniat akan kembali melayangkan pukulan pada Marsha. Marsha berusaha menghindari tangan itu dari dirinya, tapi tenaganya tidak sebanding dengan Rafa.
‘PLAK!’ satu tamparan pun akhirnya mendarat di kulit wajah Marsha. Marsha merintih kesakitan, ia menggigit bibir bawahnya.
Tiba-tiba Marsha terbayang, rasa sakit yang ia dapatkan mungkin tidak sebanding dengan perbuatannya. Marsha telah melakukan dosa, ia telah mengkhianati Alvaro, dan mungkin ini adalah balasan untuknya. Marsha secara sadar telah berhubungan dengan Rafa sejak dirinya dan Alvaro berpacaran. Dari hasil hubungan mereka, Marsha mengandung Gio dan Rafa menyuruhnya menggugurkan anak mereka. Namun Marsha tidak melakukannya, ia malah berbohong pada Alvaro dan mengatakan bahwa dirinya mengandung anak lelaki itu.
“Raf, cukup. Aku mohon ... cukup,” Marsha berucap dengan wajah memelas. Namun seakan belum puas, Rafa kembali mengangkat tangannya untuk melayangkan tamparan pada Marsha. Namun tiba-tiba saja aksinya itu tertahan karena ada yang menahan lengannya ; lebih tepatnya ada seseorang yang menghalanginya untuk melakukan hal tersebut kepada Marsha.
Marsha yang mendapati sosok Alvaro di depannya lantas tampak nampak syok. Baik Marsha maupun Rafa, tidak menyadari bahwa tadi ada suara-suara dari luar dan rupanya itu adalah penyebab dari datangnya Alvaro.
Marsha memang menghubungi Alvaro beberapa saat lalu, karena tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Namun Marsha tidak menyangka Alvaro sudi datang untuk menyelamatkannya.
“Al,” ucap Marsha dengan suaranya yang terdengar tercekat.
Alvaro beralih meraih kerah kaus Rafa, membuat sang pemilik tampak kesal dan menatapnya dengan tatapan nyalang. “Sekali lagi coba lo sakitin dia, gue nggak akan segan bikin lo terima balasannya,” Alvaro berucap tepat di hadapan wajah Rafa.
Alvaro menatap nyalang pria di hadapannya, tiba-tiba hatinya berdenyut nyeri mendapati sosok ini, rasanya luka lamanya seperti kembali dibuka. Jika Alvaro merasa bahwa Gio mirip dengannya, maka ketika melihat paras lelaki ini, Alvaro jadi tahu bahwa Gio lebih mirip dengan lelaki ini.
Beberapa detik kemudian, muncul di sana kehadiran Aufar dan juga Herdian. Rupanya Herdian yang telah membantu Alvaro membuka pintu apartemen menggunakan kunci cadangan yang dimilikinya.
Aufar lantas menghampiri Alvaro, ia menyuruh lelaki itu melepaskan cengkramannya pada Rafa. “Biar gue yang urus. Lo bawa Marsha, pastiin dia aman,” ujar Aufar.
Dengan sedikit berat hati, akhirnya Alvaro melepaskan Rafa, meski ingin sekali Alvaro menghajar tampang itu dengan tangannya sendiri.
Alvaro berakhir bisa mengontrol dirinya dan tidak melakukan hal yang dirasa kurang bijak. Banyak hal yang lebih penting untuk dilakukan di hidupnya, ketimbang harus mengotori tangannya dengan memukul bajingan itu.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭