Their Wishes

Hari ini Olivia dan Marcel menyempatkan waktu di tengah kesibukan mereka untuk bertemu. Ini adalah hari Rabu, jadi artinya, besok Marcel akan mengenalkan Olivia pada Mikayla.

Marcel dan Olivia pergi ke mall untuk membeli sesuatu untuk Mikayla, seperti rencana Olivia sebelumnya. Olivia ingin membawakan makanan kesukaan Mikayla dan juga mainan. Mereka telah berhasil menemukan mainan yang bentuk kemasannya menyerupai telur dan di dalamnya terdapat boneka. Olivia membeli 3 buah mainan bernama LOL Surprise tersebut yang dikemas dalam paper bag berwarna pink pastel, tidak lupa diisi juga dengan beberapa permen.

LOL

Bag

Besok, Olivia akan membawanya ketika ia bertemu Mikayla.

“Aku udah pesen cake-nya, besok siang baru dianter ke butik aku. Permennya udah satu tas sama mainannya. Kamu besok jemput aku jam berapa?” ujar Olivia pada Marcel. Olivia baru saja merapikan belanjaan dan menatanya di dekat sofa ruang tamu apartemennya.

“Jam 4 sore aku jemput kamu,” ujar Marcel.

“Oke. Yaudah, ini kamu mau pulang, kan?”

“Kamu ngusir aku, Babe?”

“Yaa .. enggak gitu, Babe. Ini jam berapa? Udah mau jam 7 tuh.”

Marcel justru mendekat pada Olivia, lalu perlahan ia memeluk Olivia dari belakang. Marcel sedikit menggoyangkan pelukannya di sana dan ia meletakkan dagunya di bahu Olivia.

Olivia meletakkan tangannya di lengan Marcel, lalu ia menepuknya sebanyak dua kali, tapi Marcel belum ingin melepaskan pelukannya.

“Mikayla nanti nyariin Daddy-nya lho. Kamu pulang sana,” ujar Olivia.

“Ya nggak papa, kan Daddy-nya lagi dipinjem dulu sama Mommy sebentar. Kamu katanya lagi kurang enak badan hari ini, nggak mau ditemenin sama aku? Beneran aku disuruh pulang nih?”

Olivia lantas diam saja. Sebenarnya ia masih ingin Marcel di sini, tapi ada hal lain ia pikirkan.

Olivia kemudian berbalik badan agar bisa berhadapan dengan Marcel.

“Aku telfon Mikayla ya? Aku izin sama dia pulang agak telat,” ujar Marcel.

Olivia tampak sedang menahan senyumnya. “Emangnya kamu mau izinnya gimana?”

“We will see,” ujar Marcel yang langsung merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya, lantas ia segera menghubungi seseorang.

Begitu sambungan terhubung, Marcel langsung bicara, “Halo. Iya, tolong saya mau bicara sama Mikayla.”

Kemudian tidak lama berselang, Marcel mengaktifkan fitur speaker di ponselnya. “Halo, Princess.”

“Halo, Daddy? Kenapa nelfon, Daddy?” terdengar suara perempuan yang lembut sekali dari ponsel itu.

“Princess, Daddy mau izin nih sama kamu. Boleh nggak malam ini Daddy pulangnya agak telat?”

“Daddy masih kerja di kantor? Kerjaan Daddy lagi banyak ya?”

“Daddy nggak di kantor, Sayang.” Marcel menjeda ucapannya sesaat. Ia lantas menatap kepada Olivia, senyumnya teruls, begitu juga tertular kepada Olivia.

“Daddy lagi ditempat Mommy nih. Temenin Mommy sebentar ya, soalnya Mommy lagi sakit.”

“Maksudnya calon Mommy-nya Mikayla ya?”

“Iya, Princess. Boleh nggak? Jam 8 deh Daddy udah sampe di rumah. Gimana?”

“Hmm .. boleh deh. Tapi beneran ya Daddy?”

“Iya, beneran, Sayang.”

“Oke, Daddy. Bye, I love you.”

“Bye, Sayang. I love you too.”

Setelah itu sambungan diakhiri. Marcel menatap Olivia, ia mendapati sebuah senyum cantik terulas di wajah kekasihnya.

Baru pertama kali Olivia melihat interaksi antara Marcel dan anaknya, dan ia merasa bahagia mendapati itu, karena Olivia melihat Marcel terus berusaha untuk menjadi Ayah yang baik untuk Mikayla.

Marcel pernah mengatakan bahwa ketika Mikayla hadir di dunia, sebenarnya Marcel belum siap untuk menjadi seorang Ayah, dan Marcel merasa belum maksimal dalam menjalankan perannya. Marcel mencoba melakukan yang terbaik untuk Mikayla, meski kadang masih merasa payah dengan itu. Mikayla hadir atas kehendak Tuhan, meskipun mungkin Marcel tidak bisa mencintai almarhum istrinya, bahkan setelah putrinya lahir.

“She look that she’s really loves you,” ujar Olivia tiba-tiba.

Olivia menatap kedua iris legam Marcel, ia juga melihat cinta yang besar yang terpancar dari mata itu. Olivia yakin bahwa jauh di lubuk hati terdalamnya, Marcel sungguh mencintai anaknya.

***

Marcel mengatakan ia akan menunggu Olivia sampai perempuan itu tertidur. Jika sedang kurang enak badan, Olivia memang sedikit sulit terlelap. Marcel khawatir, jadi ia ingin memastikan Olivia tertidur sebelum dirinya pulang.

Mereka berpelukan ringan sambil berbaring, lantas sesekali berciuman. Namun tidak ada ciuman di bibir, karena Olivia bilang Marcel bisa ketularan sakit jika mereka melakukannya. Olivia telah makan dan meminum obat pereda demam dan sakit kepala, agar besok pagi bisa merasa lebih baik. Minggu ini pekerjaan Olivia di butik cukup padat, jadi mungkin karena itu ia merasa kelelahan dan berakhir stamina tubuhnya menjadi menurun.

“Babe,” Olivia berujar pelan.

“Kenapa Sayang?”

“Kalau aku hamil, kamu seneng nggak?”

“Babe, .. kamu hamil? Jadwal datang bulan kamu gimana?” Marcel lekas bertanya, kedua matanya tampak berbinar.

“Engga,” Olivia spontan tertawa pelan. “Aku cuma nanya, Babe. Kan seandainya.”

Marcel lalu sedikit bergerak dari posisinya, ia kemudian menangkup wajah mungil Olivia menggunakan kedua tangan besarnya. “Babe, kamu nggak perlu khawatir. Tujuan kita pacaran itu untuk nantinya menikah. Aku bakal seneng banget kalau kamu hamil. Aku pengen punya anak dari kamu. Aku pengen anak laki-laki, biar nanti kalau kamu main boneka Barbie sama Mikayla, aku bisa main sepeda sama anak laki-laki kita.”

“Ohh gitu. Makanya kamu suka makan daging, ya?”

“Iya. Aku baca di jurnal, katanya kalau mau anak laki-laki ada kiat-kiat yang bisa dilakuin, Babe. Salah satunya bisa dari apa yang kita makan.”

“Alright,” ujar Olivia kemudian.

Mereka masih saling bertatapan, lalu kemudian Marcel berujar, “Babe, I have something for you. Wait a minute” Marcel kemudian beranjak dari tempatnya. Pria itu bergegas mengambil sesuatu dari dalam jas hitamnya, yang kemudian disembunyikan di balik punggungnya.

Olivia lalu duduk bersila di atas kasur, ia menunggu Marcel memperlihatkan benda itu kepadanya. Ketika Marcel menunjukkannya, Olivia seketika tampak terkejut dan terpana menatapnya. Sebuah kotak cincin beludru berwarna biru navy di pegang oleh Marcel, lalu pria itu membukanya dan menunjukkan isi di dalamnya, yakni sebuah cincin bermata berlian.

“This is for you,” ujar Marcel.

Kedua mata seketika Olivia berbinar menatap cincin tersebut. Lantas tanpa menunggu apa pun, Marcel mengambil cincin dari kotak itu dan akan memakaikannya di jari manis Olivia.

Olivia menyerahkan tangannya, lalu membiarkan Marcel menyematkan cincin di di jari manisnya.

“Do you like it?” tanya Marcel begitu cincinnya sudah terpasang sempurna di jari Olivia.

Olivia memerhatikan cincin di jarinya itu, lantas sebuah senyum terulas di wajah cantiknya. “I like it. This is so beautiful.”

The ring

Marcel kemudian meraih tangan Olivia dan ia menyematkan kecupan di punggung tangan itu. Marcel menahan tangan Olivia untuk berada di genggamannya.

“I will always hold your hand like this, Babe,” ujar Marcel.

Olivia menatap tangannya yang digenggam oleh Marcel, lalu detik berikutnya ia beralih menatap tepat ke manik mata Marcel.

“I will do the same. Don’t you ever leave me,” ujar Olivia.

“Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu? Aku nggak bakal ninggalin kamu,Babe.”

“Kita nggak ada yang tau apa yang bakal terjadi. Kadang nggak perlu alasan untuk mencintai dan nggak perlu juga alasan untuk ninggalin. I just wish that our relationship is gonna be last forever. I wish we can have each other until we’re get old, and we can make a long journey together.”

Marcel menatap Olivia lekat, lalu memperat genggaman tangannya di tangan mungil itu, “I wish it too, Babe.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒