They Are in Heaven

Olivia mendapati kehadiran suaminya tidak lama setelah dirinya kembali dari gym.

Olivia melirik jam dinding, di mana jarum pendek menunjuk pada angkat dan jarum panjang hampir menyentuh angka 12. Waktu menunjukkan hampir pukul 4 sore, yang di mana artinya ini MASIH terlalu dini untuk suaminya pulang ke rumah.

Olivia sedang berada di ruang tamu bersama ketiga anak mereka. Mikayla, si sulung yang baru beberapa jam lalu pulang dari sekolahnya. Orion, anak lelakinya yang masih berusia 7 tahun. Serta Leo, putra bungsunya yang masih berusia 6 tahun, duduk tenang sembari menikmati cemilan manis kesukaannya.

Suaminya itu lekas berjalan menghampiri Olivia, dan begitu telah sampai di hadapannya, Olivia langsung mendapatkan sebuah kecupan di pelipis dan di kening.

Marcel lantas mengusap pucuk kepala Olivia, gerakannya pelan sekali,lalu turun ke surai panjang Olivia. Olivia terdiam di tempatnya merasakan usapan itu, berusaha terlihat tenang, padahal jantungnya berdebar kencang di dalam rongga dadanya.

Marcel yang masih berada di dekat Olivia kemudian berbisik di telinga kirinya, “Babe, untuk malem ini aku udah reservasi dinner untuk kita berdua.”

“Acara apa? Tiba-tiba banget?” Olivia pun bertanya.

“Nggak ada acara apa-apa, Babe. Emagnya nggak boleh .. aku ajak istriku dinner?” Marcel berucap dengan nadanya yang seolah terdengar sarkas.

“Yaa .. boleh-boleh aja sih. Coba kamu tanya anak-anak dulu.”

“Kenapa harus tanya anak-anak?” Marcel berucap sembari kemdian menatap pada Mikayla, anak perempuannya.

“Oke, aku tanya anak-anak,” putus Marcel.

“Hmm.”

“Hello, Kids,” ujar Marcel satu kali. Namun ketiga anaknya belum menoleh padanya. “Halo, hai anak-anak, Daddy mau bicara. Bisa dengarkan Daddy dulu?” lagi Marcel berujar agar didengar.

Mikayla yang sebelumnya sedang menikmati cemilan dan tontonan youtube dari ipadnya, seketika menoleh begitu kedua kali Marcel memanggilnya.

“Iya Daddy?” sahut Mikayla, lalu disusul oleh Orion dan Leo yang juga menoleh serta menatap pada Marcel.

“Hmm .. malem ini Daddy sama Mommy mau hang out berdua dulu. Boleh kan?”

“Daddy sama Mommy mau hang out ke mana memangnya?” Mikayla pun jadi yang pertama bertanya.

“Daddy sama Mommy mau dinner berdua, habis itu menginap di hotel. Iya kan, Sayang?” ujar Marcel sembari kemudian menatap Olivia dengan lekat.

Olivia yang seketika mendapati tatapan dan senyuman maut khas Marcel, secara otomatis senyumnya terulas begitu saja.

“Daddy tadi bilangnya sama Mommy mau dinner doang lho. Tapi tiba-tiba kok segala nginep ya?” celetuk Olivia sembari memicingkan matanya menatap Marcel.

“Iya, gini lho. Kan kalau dinner kemungkinan bisa sampe malem banget. Restorannya juga lumayan jauh, takutnya kemaleman pulang. Jadi Daddy sama Mommy memutuskan menginep di hotel, gitu anak-anak.”

Olivia baru akan membuka mulutnya dan berujar, tapi Marcel keburu mencium pipinya yang mana membuat Olivia terkejut dan jadi mengurungkan niatnya berbicara.

“Malam ini kalian jadi anak baik di rumah ya. Daddy sama Mommy mau pergi dulu. Kalian mau punya adik baru nggak?”

“MAUU!!” sontak ketiga anak mereka berseru dengan antusias. Olivia membeliak di tempatnya, lalu sedikit meringis. Marcel hanya tersenyum saja di sana, senyumnya lebar, hingga tercetak eye smile di wajah tampan itu dan kedua matanya tampak akan menghilang.

“Daddy, Mommy, aku mau punya adik cowok!” celetuk Leo dengan mata sabitnya yang tampak berbinar.

“Kenapa Leo mau adik cowok?” Olivia pun bertanya.

“Karena biar bisa dikalahin pas main sama Leo. Kalau Leo main sama Kakak Orio, Leo kalah terus, Mommy.”

***

Marcel mengatakan pada Olivia bahwa wanita itu bisa mengenakan pakaian seksi ketika berada di luar rumah. Terang saja, Marcel memperbolehkannya karena Olivia akan sangat menawan dengan dress-dress mahal nan cantik itu. Dengan catatan, saat Olivia bersamanya dan Marcel tentu saja ada di sisinya. Marcel akan berjalan dengan bangga di samping Olivia dan menggenggam tangannya, menunjukkan pada dunia betapa ia beruntung memiliki Olivia.

Couple

He’s a proud husband.

Olivia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan memiliki trek rekor karir sebagai desainer yang gemilang. Olivia Agatha Christie, telah cukup dikenala sebagai desainer berbakat, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Salah satu pencapai besar Olivia adalah, ia terpilih menjadi salah satu desainer yang mewakili Indonesia untuk bekerja sama dengan brand pakaian luar negeri dalam sebuah pagelaran fashion terbesar di dunia, yakni New York Fashion Week. Olivia merancang sebuah pasang pakaian yang mewakili brand tersebut dan rancanagannya dipakai oleh dua model internasional yang pernah memiliki bayaran tertinggi pada tahun lalu.

Marcel selalu mengatakan ia bangga kepada Olivia. Meski Olivia sudah tau, tapi menuurt Marcel, apresiasi itu harus secara berkelanjutan diberikan. Marcel ingin Olivia selalu tahu bahwa Marcel bangga padanya.

Maka jika Olivia meminta sesuatu pada Marcel, sebisa mungkin Marcel akan memberikan dan mewujudkan sesuatu itu. Meski Olivia sebenarnya jarang meminta pada Marcel,

“Babe, kamu lagi ada kepengen apa nggak gitu? Mau nggak naik kapal pesiar? Atau yatch? It’s all will be private. There only for us and our family. Gimana menurut kamu? Itu rencana aku untuk liburan natal sekalian akhir tahun kita nanti,” Marcel berucap bertubi-tubi sambil tidak melepas pandangannya pada Olivia yang ada di hadapannya. Olivia begitu cantik, paras mungilnya bak dewi, mana bisa Marcel melihat hal lain selain istrinya.

Marcel lalu meraih tangan Olivia di atas meja, lalu ia menggenggamnya.

Marcel mendapati Olivia yang lantas mengulaskan senyum cantiknya.

“Boleh tuh ide kamu. Tapi aku mau sekalian snorkling gitu Babe, mau nyoba. Boleh ngga?”

“Iya, boleh. Nanti aku snorkling juga sama kamu. Biar aku bisa jagain kamu dan pastiin kamu aman,” ucap Marcel.

Olivia seketika berdecih kecil dan menatap Marcel dengan tatapan khasnya. “Posesif banget sih suami aku.”

“Oh iya, jelas. Tapi posesifnya aku tujuannya baik, Babe. Dan au nggak berlebihan, semuanya demi menjaga kamu.”

“Iya, sih.”

“Hmm.. okey. Tapi kamu suka nggak punya suami yang kaya begini?”

“Suka mah suka. Kalau nggak, mana mungkin aku ada di depan kamu sekarang.”

“Oh iya juga ya,” ucap Marcel.

Kemudian keduaanya tertawa bersamaan.

Beberapa detik kemudian, Olivia mengatakan sesuatu pada Marcel.

“Babe, I want a ice cream. Can you get it for me?”

“Of course, I can, Babe. Kamu mau es krim rasa apa?”

Bukannya segera menjawab pertanyaan tersebut, Olivia malah mencondongkan tubuhnya sedikit maju agar ia lebih dekat dengan Marcel. Olivia lantas berucap pelan, “Bukan es krim yang biasa, Babe. Bukan es krim kesukaan anak-anak, tapi es krim kesukaan aku, cuma aku.”

Marcel tidak perku berpikir keras untuk kemudian mengerti.

“Babe, you are a naughty and dangerous woman for me.”

“What?” Olivia terkikik kecil.

“Aku nggak mau es krim yang di jual. Ngapain aku beli, kalau aku punya es krimku sendiri.”

Marcel kemudian tersenyum tipis, senyum itu tampak seperti sebuah senyuman smirk. Marcel lalu tertawa pelan dan terdengar renyah di telinga Olivia. “Yes, Babe. You already have your ice cream, you owned it.”

***

Tipe kamar president suit room, terletak di lantai 64 bangunan hotel mewah bintang lima. Kamar tersebut menampakkan pemandangan kota Jakarta dari dinding kaca, sangat indah dan cantik, terasa melengkapi malam intim dan sempurna untuk Marcel dan Olivia.

Olivia luluh lantak begitu Marcel semakin brutal menciumnya. Belah bibir Marcel yang terasa lembap dan kenyal itu pertama mencium bibirnya, tanpa membirkan sejengkal pun area tidak dijamahnya. Kemudian bibir Marcel turun pada leher jenjeng Olivia, di sana Marcel menciumnya dengan penuh gairah. Olivia seketika melesakkan jemarinya pada rambut Marcel di bagian belakang kepalanya. Olivia masih setia memainkan jemarinya di antara helai rambut hitam itu, mengisyratkan pada Marcel bahwa pria itu perlu semakin gencar melakukannya.

Olivia ingin Marcel menciumnya, seluruh dirinya ini adalah avaible untuk Marcel, dan hanya Marcel selamanya. Begitu sesaat Marcel mengistirahatkan diri untuk mengambil napas juga, rupanya Marcel tidak diam saja. Ia segera melepaskan gaun berbahan silk yang dikenakan Olivia. Hingga kini Olivia sukses hanya terlihat mengenakan pakaian dalamnya yang berwarna senada, yakni putih transparan.

“Babe, kapan makan es krimnya?” Olivia lantas bertanya, tapi sebenernya ia hanya ingin menggoda Marcel dan sedikit bermain-main.

“Iya, nanti Sayang. Eh apa sekarang aja ya? Udah keras banget es krimnya. Damn it.”

Olivia sukses tergelak mendapati ucapan Marcel dan ekspresi pria itu yang selalu tidak bisa berbohong ketika bersamanya. Marcel begitu mendamba Olivia, dan selalu dengan mudahnya turn on, padahal Olivia sebenarnya belum melakukan apa pun.

“Emang iya udah keras? Coba aku cek.”

“Babe, no,” spontan Marcel berucap begitu Olivia akan menurunkan tangannya dan menuju pada sesuatu di antara kedua pahanya. “Makin kamu sentuh, dia makin menjadi. Please, just don’t. Nanti kamu yang kesakitan, we're not even doing foreplay yet. Kamu lecet semua yang ada nanti.”

Olivia tersenyum. “Iya-iya. Sensitif banget ya es krimmu ini.”

“Memang.”

“Oke, lima belas menit kalau gitu, ya? Kita foreplay dulu, habis itu aku mau mam es krim.”

“Iya, Sayang. You will get your ice cream.”

“Alright.”

Couple 2

***

Tahun-tahun telah berlalu. Sudah hampir 8 tahun Marcel dan Olivia mengarungi bahtera rumah tangga. Ada sedih yang mereka lalui, tapi keduanya bsia kemudian berdamai dengan itu. Tidak ada alasan pasti, hanya saja keduanya meyakini kalau mereka memiliki cinta yang tulus di hati. Mereka telah berkomitmen dan berjanji di hadapan Tuhan, bahwa cinta itu akan selalu ada karena dipupuk dan terus disirami. Jadi jika ada perpecahan, mereka bisa memperbaikinya dn menjadi satu kesatuan yang utuh lagi. Meski tidak sempurna.

Begitu banyak malam-malam intim yang Marcel dan Olivia telah lalui. Sedikitnya ada perasaan yang melekat di hati Olivia. Apakah Marcel bosan padanya?

Marcel sebenarnya juga memiliki pikiran itu, apakah Olivia bosan padanya? Namun Marcel memilih tidak menanyakannya. Berbeda dengan Olivia yang tidak bisa menyimpan lama-lama sesuatu di dalam kepalanya.

Mereka baru saja selesai melakuan foreplay. Olivia telah mendapati es krimnya, tapi belum menikmati benda itu di dalam dirinya, karena tiba-tiba terlontar pertanyaan Olivia kepada Marcel.

“Babe, kamu pernah ngerasa bosen nggak sih sama aku?” tanya Olivia.

Marcel jelas paham makna pertanyaan itu. Marcel kemudian mengusap satu sisi wajah Olivia, lalu usapannya turun ke pipinya. Marcel menggunakan punggung tangannya untuk merasakan lembut permukaan kulit wajah Olivia.

Olivia selalu suka ketika Marcel menyentuhnya selembut ini, rasanya Olivia seperti begitu disayangi.

“Pernah,” jawaban itu akhirnya terlontar dari bibir Marcel.

“Kapan?” Olivia bertanya.

“Nggak tau, aku lupa.”

Marcel terdiam, begitu pun dengan Olivia. Keduanya tiba-tiba merasa terjebak begitu saja.

“Babe,” cetus Marcel pelan, ia lantas menghela rahang Olivia untuk menghadapnya.

“Iya?”

“Aku lupa kapan aku bosen sama kamu, karena aku nggak pernah kepikiran buat bosen. Saat pikiran aku ngirim sinyal yang bilang kalau aku bosen sama kamu, rasanya hati aku nggak terima.”

“Maksudnya?”

“Mungkin dua detik atau tiga detik aja, sinyal itu bilang kalau aku bosen sama kamu. Tapi setelahnya, hati aku nolak. Hati aku nggak bisa bohong dan dia nggak setuju sama sinyal perintah itu.”

“Kalau kamu gimana? Kamu pernah nggak bosen sama aku?” kini Marcel yang akhirnya menanyakannya.

“Hmm .. pernah. Tapi akhirnya nggak bisa lama-lama, gampang aja gitu ilang rasa bosennya. Tapi Babe, kayaknya bukan bosen sih, mungkin lebih ke cape aja. Aku cape di saat aku nggak bisa kontrol perasaan egois aku. Aku maunya kamu lebih banyak waktu di rumah, bareng aku dan anak-anak, tapi di satu sisi aku juga tau kalau kamu harus kerja. Kamu punya tanggung jawab yang besar ke perusahaan.”

“Nggak papa kalau kamu bosen ke aku. Nanti aku bikin kamu nggak bosen.”

Olivia spontan tertawa pelan.

“Gimana caranya?”

“Aku ajak kamu makan es krim,” ujar Marcel.

“Babe,” cetus Olivia cepat, lalu ia menatap Marcel dengan matanya yang melebar.

“Makan es krim yang di jual, Babe. Sama anak-anak juga. Kamu suka gelatto vanilla yang pake topping Lotus crumbs, kan?”

“Hapal banget kamu kesukaan aku.”

“Iya dong, jelas itu. Oh iya, kamu lebih suka gellato vanilla atau gellato punyaku?”

“Heh,” Olivia berceletuk spontan, ekspresinya tampak sedikit terkejut.

“Apa? Jawab dong,” tuntut Marcel, meminta Olivia menjawabnya.

“Punya kamu lah. Premium soalnya, karena buat aku doang. Nggak dijual atau pun available buat yang lain.”

“Yes, exactly. All of me is for you, Babe.”

“Yuk,” cetus Olivia cepat.

“Yuk apa Sayang?”

“I wanna eat my gellato. Give it to me sir, please,” ucap Olivia.

Marcel tergelak dan kali ini cukup kencang. Kemudian ketika tawanya mereda, Marcel menghadap samping da mencium bibir Olivia dengan mesra. Olivia membalas ciuman itu dengan sangat baik.

Ketika akhirnya perlahan Marcel mengurai ciumannya, ia pun berujar di dekat Olivia, “Yes, Ma’am. You will get your premium gellato.”

***

END.