They're Already Found Their Home

Siang ini Olivia mendapati Marcel dan Mikayla di depan pintu apartemennya. Sebenarnya sebelumnya Marcel telah mengabari Olivia bahwa dirinya dan Mikayla akan datang. Namun Olivia tidak menduga bahwa Marcel akan datang secepat ini, yakni kurang dari satu jam setelah pria itu mengabarinya lewat chat.

Mikayla masih mengenakan seragam sekolahnya dan menggendong tas ransel bergambar little pony-nya. Perempuan kecil itu mengulaskan senyum lebarnya ke arah Olivia.

“Hai, Mommy.” Olivia mendapati lagi suara lembut itu memanggilnya.

“Hai, Princess. Ayo masuk,” Olivia lekas meraih tangan Mikayla, mengajak gadis kecil itu untuk memasuki kediamannya.

“Mikayla katanya mau ketemu sama kamu,” terang Marcel seolah dapat menebak apa yang ada di benak Olivia.

“Emang iya Nak?” Olivia lalu bertanya pada Mikayla.

“Daddy yang ajakin ke rumah Mommy. Daddy tadi jemput Mikayla di sekolah,” terang Mikayla dengan begitu jujurnya.

“Tapi kamu mau ketemu Mommy juga, kan?” ujar Marcel.

“Ya mau. Aku kangen Mommy juga.”

“Alright,” Olivia mengulaskan senyum lembutnya, lalu ia sekilas mengusap puncak kepala Mikayla.

“Mikayla udah makan Nak?” Olivia bertanya.

“Belum, Mommy. Tadi Daddy cepet-cepet ajak ke sini.”

“Kita pesen makanan aja. Kan kita mau makan bertiga,” ujar Marcel yang langsung mengeluarkan ponselnya untuk memesan sesuatu dari aplikasi online.

Sementara Marcel tengah memesan makanan, Olivia mengajak Mikayla untuk mengganti pakaian, agar gadis itu nyaman tidak menggunakan seragam sekolahnya. Mikayla membawa baju ganti di tasnya, membuat Olivia berpikir tentang suatu hal. Sepertinya Marcel memang telah berencana akan datang ke apartemennya bersama Mikayla, sepulangnya Mikayla dari sekolah.

***

Mikayla tampak antusias dan bahagia ketika mereka makan bersama dan mengobrol tentang hal-hal ringan. Marcel yang mendapati putrinya terlihat ceria hari ini, ikut mengulaskan senyumnya juga karena dirinya merasa bahagia. Rasanya sudah lama Marcel tidak melihat Mikayla sebahagia ini.

Marcel menoleh ke sampingnya, di mana Olivia duduk di sana. Marcel mendapati senyum semringah yang selalu tampak cantik di wajah itu. Marcel lantas menggenggam tangan Olivia di atas meja, membuat Olivia menoleh dan kini menatap padanya. Melihat aksi kedua orang di depannya, Mikayla segera teralihkan atensinya. Gadis kecil itu kini menatap pada tangan Marcel dan Olivia yang tertaut.

Marcel beralih menatap anaknya, lalu ia berujar, “Kalau Mikayla udah besar nanti, kalau ada cowok yang pegang tangan kamu kayak gini, jangan dibolehin ya. Bilang ke Daddy, karena Daddy harus tau dulu apa maksudnya.”

“Kalau cowok itu temennya Mikayla gimana?” celetuk Mikayla.

“Nak, nggak ada temen lawan jenis yang pegang tangan kamu kayak gini. Kecuali dia berani ketemu Daddy buat minta kamu jadi pacarnya,” tutur Marcel.

Mendengar penuturan itu, Olivia lekas berujar. “Daddy ngomongnya kejauhan ya, Nak? Belum saatnya dia tau, masih terlalu jauh,” Olivia menatap Marcel sembari mengatakannya.

“Iya, aku tau. Tapi harus mulai dikasih tau dari sekarang, Sayang. Harus bisa bedain, mana yang temen, mana yang mau macem-macem,” terang Marcel.

“Alright, Daddy,” ujar Olivia yang lekas menerbitkan sebuah senyum di wajah Marcel.

“Tuh Nak, denger kan? Mommy juga setuju sama Daddy.”

“Oke, Daddy,” ucap Mikayla akhirnya meski sebenarnya bocah itu tidak terlalu paham maksud nasihat yang diutarakan oleh Marcel.

***

Setelah makan siang, Marcel, Olivia, dan Mikayla menonton tayangan kartun di TV di ruang tamu. Selama kurang lebih dua jam menonton, akhirnya Mikayla merasa mengantuk.

Marcel berhasil menidurkan Mikayla sampai lelap di dekapannya. Kemudian Marcel menggendong Mikayla untuk diletakkan di satu kamar lagi yang ada di apartemen Olivia.

Setelah memastikan Mikayla nyaman dengan tidurnya, Marcel dan Olivia meninggalkan kamar itu dan menutup pintunya.

Marcel dan Olivia lantas melangkah menuju kamar yang satunya lagi. Mereka akan beristirahat juga sejenak. Setelah nanti Mikayla bangun, Marcel mengatakan ia baru akan pulang.

“Udah lama aku nggak ngeliat Mikayla keliatan bahagia kayak tadi,” ujar Marcel begitu dirinya dan Olivia telah berbaring di atas kasur, posisi mereka aling berhadapan dan menatap lurus satu sala lain.

“Ohya?” Olivia bertanya.

“Hmm.” Marcel bergerak sedikit dari posisinya, ia melonggarkan pelukannya pada torso Olivia, agar bisa sepenuhnya menatap kekasihnya.

“She’s look very happy, feels like she’s found a home,” ucap Marcel.

Olivia otomatis tersenyum mendengarnya. “You are already her home.”

“Yes. She has me, but I feel like I don’t have my home before I met you,” ujar Marcel dengan nadanya yang terdengar agak getir.

“Aku sadar sekarang, gimana caranya aku bisa ngasih rumah dan kebahagiaan buat Mikayla, kalau aku sendiri nggak punya kebahagiaan itu,” ucap Marcel. Rasanya kini semua tampak jelas. Selama ini Marcel mencari kebahagiannya, tapi ia belum merasa benar-benar menemukannya. Setelah bertemu Olivia, barulah Marcel menemukan definisi rumah dan kebahagaian untuknya.

“Babe,” ujar Olivia.

“Iya?”

“Hari ini bukannya kamu bilang, kamu mau ke acara keluarga besar kamu?” Olivia bertanya, karena pasalnya Marcel tidak jadi menghadiri acara keluarganya itu.

“Tadinya iya. Tapi aku lebih pengen spend time bareng kamu, sama Mikayla juga,” ujar Marcel.

Masih sambil menatap Marcel, Olivia kemudian berujar lagi, “Babe, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?”

“Boleh. Kamu mau tanya apa?”

“Kenapa kamu milih tinggal sendiri sama Mikayla? I mean, di rumah kamu yang sebesar itu, bukannya Mikayla bakal lebih ngerasa kesepian kalau kamu lagi kerja, kalau kamu lagi nggak ada di rumah.”

Marcel tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Seolah pertanyaan Olivia barusan seperti sebuah soal ujian yang jawabannya sulit untuk ia dapatkan.

“Babe, sebenarnya hubungan aku sama Papa dan Mamaku kurang baik. Lebih tepatnya itu sejak mereka minta aku buat menikah sama almarhum Mamanya Mikayla,” terang Marcel.

Ketika Marcel mengatakannya, Olivia mendapati sebuah luka yang terpancar jelas dari kedua mata itu.

Sejak mamanya Mikayla meninggal, Marcel mengatakan bahwa dirinya telah memutuskan untuk tinggal terpisah dengan orang tuanya. Padahal sebenarnya mereka bisa tinggal bersama, agar Mikayla tidak merasa kesepian. Namun Marcel tetap teguh pada pendiriannya, bahwa ia ingin tinggal mandiri dan hanya bersama dengan anaknya saja.

Babe, aku berhak kan untuk milih apa yang bikin aku bahagia?” Marcel bertanya, yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Namun perlakuan orang tuanya telah berkali-kali berhasil membuatnya ragu. Marcel kerap kali mempertanyakan, apakah ia pantas memilih apa yang membuatnya bahagia atau justru tidak?

“Kamu berhak untuk itu,” ucap Olivia dengan suaranya yang terdengar sedikit bergetar. Perasaan Olivia jadi campur aduk ketika mendapati luka itu di diri Marcel. Olivia memang tidak secara langsung merasakan luka itu, tapi melihat orang yang disayanginya terluka, hatinya ikut terasa hancur.

“Babe,” ujar Marcel, suaranya terdengar sedikit parau. Sepertinya pria itu tengah menahan gejolak rasa sedih, kecewa, dan juga amarah yang kini menjadi satu.

“Iya?”

“I just wanna be with you,” ujar Marcel.

Marcel memandangi wajah Olivia dengan lekat, lalu satu tangannya terangkat untuk mengusap pipi Olivia yang sedikit gembil. “I chose you, and it’s always you, Olivia,” ujarnya.

Olivia lekas hanyut ke dalam tatapan hangat dan penuh afeksi itu. Olivia kemudian mengulaskan senyum terharunya.

Ketika kamu merasa diinginkan, dibutuhkan, bisa menjadi rumah untuk seseorang, dan menjadi sosok yang selalu akan dipilih olehnya, rasanya tidak ada yang lebih baik dari pada itu.

Bukan hanya Olivia yang merasa telah menemukan rumahnya, tapi Marcel juga telah menemukan rumah ternyamannya. Olivia ingin selamanya menjadi rumah untuk Marcel, dan juga menjadikan lelaki ini sebagai rumahnya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒