alyadara

Marsha tampak sedikit terkejut ketika mendapati Alvaro tidak datang sendiri. Alvaro datang bersama Sienna dan Gio. Di setiap langkah lelaki itu, ada orang-orang yang dicintainya yang selalu mendampinginya. Lelaki itu tidak sendiri untuk menghadapi saat yang sulit baginya.

Alvaro akan mengantar Marsha ke suatu tempat yang sudah dipastikan aman. Kondisi Marsha yang kacau, tidak memungkinkan untuk mengantar perempuan itu ke rumah orang tuanya.

Marsha duduk di kursi mobil di belakang, sementara Sienna berada di kursi depan dan tengah memangku Gio yang tertidur di dekapannya. Melihat situasi yang terjadi sekarang, dada Marsha terasa berdenyut nyeri. Posisi Sienna itu, harusnya adalah posisinya.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, mobil Alvaro kini telah berhenti di depan sebuah rumah. Rumah tersebut adalah kediaman sahabat dekat Marsha, jadi sementara Marsha bisa tinggal di tempat itu dengan aman.

Sebelum turun dari mobil, Marsha mengatakan sesuatu pada Alvaro. “Al, ini mungkin jadi permintaan terakhir aku sama kamu.”

Alvaro hanya membiarkan Marsha mengatakannya, belum menanggapi apa pun.

“Tolong, kamu mengalah di pengadilan. Tolong biarin hak asuh Gio jatuh ke tangan aku. Ak-aku nggak bisa hidup tanpa anakku, Al,” ucap Marsha dengan nada memohonnya.

“Lebih baik kamu turun, aku nggak akan turutin permintaan kamu yang itu,” ucap Alvaro dengan tegas. Alvaro dengan cepat menolak permintaan itu, tapi mempertimbangkan apa pun, karena memang Marsha tidak berhak memintanya untuk mengalah atau pun mundur.

Marsha belum juga melangkah turun dari sana, ia masih keras kepala meminta Alvaro untuk menurutinya. Hingga keributan pun terjadi dan membuat Gio yang tadinya tertidur pulas jadi terbangun.

“Al, kamu harusnya ngerti. Aku ibu kandungnya, yang terbaik Gio adalah sama aku. Toh, Gio bukan anak kamu,” ucap Marsha dengan mulusnya.

Marsha kelepasan mengatakannya, bahkan ia mengucapkannya di depan anaknya. Gio mendengar perkataan tersebut keluar langsung dari bibir ibunya.

Gio pun tampak bingung, anak itu tidak mengerti dengan maksud Marsha, kenapa ibunya menyebut dirinya bukanlah anak papanya. Apakah itu benar? Gio hanya bertanya dalam hati sambil menatap Alvaro dan Marsha secara bergantian. Sienna lekas memintaa Gio kembali tidur, ia mengusap punggung kecil anak itu dan membisikkan sesuatu yang bisa menenangkannya.

“Ak-aku nggak maksud ngomong gitu. Gio, maafin Mama,” Marsha berucap dengan terbata. Namun Alvaro tidak memberi ampun, ia dengan tegas menyuruh Marsha untuk keluar dari mobilnya.

Marsha akhirnya melangkah keluar, dengan sayup-sayup terdengar olehnya bahwa Sienna tengah menenangkan Gio dengan kalimat-kalimatnya.

“Gio, tidur lagi ya, Nak,” suara lembut itu berhasil membuat anaknya menurut dan kembali tenang.

***

Di luar mobil, Marsha berbicara dengan Alvaro. Marsha mengungkapkan alibinya bahwa ia terpaksa meninggalkan Alvaro dan Gio. Alvaro tampak tidak tertarik untuk mendengarkan perkataan Marsha.

“Liat apa yang udah kamu lakuin. Kamu ibu kandungnya, tapi kamu nggak bisa memahami perasaannya. Kamu udah nyakitin perasaan Gio, Marsha,” ucap Alvaro. Marsha merasa tertampar dengan kalimat itu. Ia mengakuinya, bahwa dirinya telah menjadi ibu yang gagal untuk Gio.

“Al, dengerin dulu penjelasan aku,” ucap Marsha menahan Alvaro yang hendak berlalu dari hadapannya.

“Penjelasan apa?”

“Aku terpaksa ninggalin kamu sama Gio, aku nggak benar-benar ingin ngelakuin itu.”

“Terpaksa? Karena lebih penting laki-laki itu kan?” ucap Alvaro dengan nada sengitnya.

“Rafa ngancem aku. Dia bakal beberin ke media soal identitas Gio. Rafa punya bukti kalau Gio anak kita,” ujar Marsha.

Rafa tidak peduli Marsha berhubungan dengan Alvaro, yang penting lelaki itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Toh kalau Marsha pergi selamanya dari Rafa dan memilih Alvaro, Rafa akan selalu punya cara untuk membuat Marsha kembali yakni dengan ancamannya. Jadi Rafa tidak pernah takut kehilangan Marsha.

Rafa menempatkan Marsha di posisi yang sulit. Marsha tidak punya pilihan, karena takut karirnya hancur, dan itu juga bisa mengancam karir Alvaro. Awalnya Marsha menikmati hubungannya dengan Rafa dan merasa bahwa pria itu mencintainya. Namun akhirnya Marsha sadar bahwa Rafa tidak mencintainya dan hanya memanfaatkannya saja.

“Sha, denger ya,” Alvaro berucap tegas. “Aku nggak peduli seandainya karirku hancur. Selama aku menyembunyikan identitas Gio, aku selalu ngerasa jadi ayah yang gagal buat dia.” Alvaro menjeda ucapannya, tiba-tiba dadanya terasa sesak.

Alvaro kembali melanjutkan perkataannya. “Aku nggak pernah ingin mengakui Gio sebagai anak angkat aku, tapi aku terpaksa ngelakuin itu. Aku nggak mau anakku tau kalau dia adalah anak hasil di luar pernikahan.”

Alvaro lantas membuat alibi juga bahwa ia tidak peduli jika karirnya hancur, yang terpenting baginya adalah Gio. Alvaro justru bersyukur bahwa Marsha bersikap egois terhadap dirinya sendiri dengan mementingkan karir ketimbang anak, karena mungkin jika tidak, Alvaro tidak akan pernah tahu bahwa Marsha telah selingkuh darinya.

“Kamu bisa ketemu Gio kapan pun yang kamu mau. Tapi aku nggak akan mengalah dan mundur di persidangan, aku akan tetap berusaha memenangkan hak asuh Gio.” Alvaro berucap telak.

Alvaro juga menambahkan, ia tidak ingin memisahkan seorang ibu dari anaknya. Marsha tetaplah ibu kandung Gio yang berhak untuk bertemu dan bersama dengan anaknya. Marsha dapat bertemu Gio kapan pun, karena Marsha adalah ibu kandungnya. Namun untuk kembali membina rumah tangga bersama Marsha, Alvaro dengan tegas mengatakan bahwa itu tidak akan terjadi. Perempuan yang kini dicintai Alvaro hanya Sienna seorang, tidak ada yang lain.

Selain itu, bagi Alvaro tidak penting darah yang mengalir di tubuh Gio darah milik siapa. Gio tetap akan menjadi anaknya, karena Alvaro yang telah membesarkan Gio sejak kecil dan mereka adalah ayah dan anak yang tidak bisa dipisahkan.

Alvaro akhirnya melangkah meninggalkan Marsha di sana. Alvaro pergi dengan mobil itu, menyisakan Marsha seorang diri yang kini merasa begitu menyesali semuanya. Marsha menyesali perbuatannya, ia menahan tangisnya dan dadanya terasa amat sakit.

Marsha menyesal telah mengkhianati Alvaro serta meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan seorang ibu. Melihat Alvaro bahagia bersama Sienna dan terlebih anak kandungnya tampak menyayangi sosok baru yang hadir di hidupnya, membuat Marsha sebagai ibu kandung merasa gagal dan hancur.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sienna dijemput oleh Alvaro dan Gio setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Gio nampak senang ketika tau akan menghabislan waktu dengan papa dan bundanya. Rencana yang kemarin sempat batal, hari ini akan diganti. Alvaro, Sienna, dan Gio akan mengunjungi tempat bermain indoor yang areanya cukup luas. Di sana lengkap ada area mandi bola, outbound, dan sliding. Jangan salah, semua wahana di tempat ini tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak, tapi ada juga yang untuk remaja bahkan sampai dewasa.

Playtopia

Sebelum memasuki arena permainan, mereka membeli topi. Gio memilih yang warna biru dengan gambar animasi kartun kesukaannya. Sementara Alvaro tertarik pada sebuah topi hitam dengan tulisan ‘Papi’. Coba saja ada ‘Papa’ pasti akan sangat pas untuknya, tapi tidak masalah, toh arti kata tersebut sama saja. Sementara Sienna, ia tidak menemukan yang menarik baginya selain topi berwarna baby pink bertuliskan ‘Baby Girl’. Akhirnya mereka membeli 3 topi dan bergegas masuk ke tempat bermain.

Papi & Baby Girl

Ketika sudah masuk ke area bermain, yang lebih semangat justru Alvaro dan Sienna dibandingkan Gio. Mungkin saja dua orang dewasa itu kurang liburan, begitulah kira-kira.

Setelah kurang lebih 30 menit bermain, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk beristirahat terlebih dulu. “Ternyata main kaya gini seru banget ya,” celetuk Alvaro. Di salah satu sofa bag bean berwarna kuning, Alvaro merebahkan tubuhnya. Sienna di sampingnya mengikuti Alvaro, merebahkan dirinya di sofa bag bean berwarna pink.

“Iya. Pas kita kecil mana tempat mainan kayak gini,” timpal Sienna. Itu benar adanya. Di zamannya dan Alvaro dulu, mana ada modelan arena bermain sebagus dan selengkap ini. Biarkan saja dikatakan masa kecil kurang bahagia, memangnya anak-anak saja yang butuh bermain, orang dewasa pun butuh juga.

“Bunda, Gio mau main perosotan yang di sana, ayo,” ajak Gio sembari meraih tangan Sienna. Seinna baru saja beristirahat, tapi Gio masih full baterainya dan mengajaknya bermain lagi.

“Papa, ayo ikut juga,” ajak Gio pada Alvaro.

“Gio, nanti dulu dong. Papa capek nih,” sahut Alvaro dengan raut memelasnya.

“Yaudah, Al. Nanti lo nyusul aja. Gue sama Gio duluan ke sana ya,” ujar Sienna yang lantas diangguki oleh Alvaro.

Tidak lama setelah Sienna berlalu dengan Gio, Alvaro mendapati ponsel di saku celananya berbunyi. Alvaro menemukan nama ‘Marsha’ di layar ponselnya, tapi saat akan menjawab panggilan itu, sambungannya sudah lebih dulu terputus. Alvaro pikir itu hanya salah pencet, dan mungkin saja itu terjadi.

Saat Alvaro masih menatap layar ponselnya, panggilan Marsha masuk lagi. Alvaro memutuskan menjawab telfonnya.

“Halo?” ujar Alvaro di telfon, tapi tidak ada sahutan. Alvaro hanya mendengar suatu barang yang dibanting dan juga hardikan suara seorang pria.

“Marsha?” Alvaro mencoba memanggil nama Marsha, tapi nihil. Terdengar lagi teriakan laki-laki dari ujung sana “Matiin hp itu, Sialan!” begitu yang Alvaro dengar.

Beberapa detik kemudian, Alvaro mendengar suara fameliar Marsha menyahut di telfon. “Al, tolongin aku. Dia mau celakain aku …” Suara itu terdengar lirih. Setelah itu, Alvaro tidak mendengar apa pun lagi, dan sambungan telfonnya mati saat itu juga.

Alvaro baru akan menyusul Sienna dan Gio, tapi keduanya telah kembali ke tempat semula.

“Papa, Gio tungguin lho sama Bunda. Papa lama banget gak nyusul-nyusul,” ucap Gio.

“Al, kenapa?” tanya Sienna yang mendapati Alvaro terbengong sambil melihat layar ponselnya.

Alvaro akhirnya tersadar, ia pun segera memberitahu Sienna soal apa yang baru saja diketahuinya.

“Gue anter lo sama Gio pulang, baru habis itu gue sama Aufar bakal ke apartemen Marsha.”

“Kelamaan, Al. Takutnya Marsha udah kenapa-napa. Gue sama Gio ikut aja. Lo telfon bang Aufar, biar bisa langsung disusul,” saran Sienna.

“Oke.” Alvaro akhirnya menyetujuinya.

Seharusnya Alvaro tidak usah peduli dan terlibat lagi dengan Marsha. Namun Alvaro melakukannya karena sebuah alasan ; yakni Marsha adalah ibu kandungnya Gio. Alvaro tidak sampai hati kalau sampai sesuatu yang buruk menimpa Marsha.

***

Marsha rasa sudah terlambat baginya untuk lari dari Rafandra. Seharusnya Marsha melakukannya dari dulu. Kini Marsha harus menghadapi murkanya Rafa dan ia sungguh ketakutan.

“Kenapa semuanya nggak berjalan sesuai rencana kita?!” hardik Rafa di depan wajah Masha, tampak rahang lelaki itu mengetat. Rafa mendekat pada Marsha, lalu ia meraih dagu Marsha dengan kasar, memaksa perempuan itu untuk menatapnya.

“Gimana bisa Alvaro punya bukti kalau kita selingkuh? Dari awal kita udah rencanain semuanya, kalau lo sama Alvaro cerai, lo harus menangin hak asuh itu.”

“Aku udah berusaha, Raf. Aku udah sewa pengacara handal dan melayangkan tuduhan kalau Alvaro selingkuh sama Sienna. Hasil sidangnya juga belum final, jadi kamu tenang aja.”

“Gimana gue bisa tenang! Lo pikir dong Sha, kalau sampai hak asuhnya jatuh ke Alvaro, kita nggak bakal dapet apa-apa.”

Sejak awal, Rafa dan Marsha telah merencanakan sesuatu. Jika pernikahan Marsha dan Alvaro tidak bertahan, maka jalan satu-satunya mendapatkan apa yang mereka mau adalah dengan memanfaatkan hak asuh Gio dan Marsha harus mendapatkannya.

Saat ini justru posisi mereka terancam. Mereka takut kalah dan tidak mendapat hak asuh, yang mana nanti kemungkinan besar tidak bisa mengajukan pembagian harta gono gini. Jika Marsha terbukti selingkuh, maka Marsha tidak akan mendapat hak asuh Gio.

Selama ini pun, aset yang dimiliki oleh Alvaro adalah atas namanya sendiri, jadi tidak ada pencampuran harta yang membuat pengadilan harus melakukan pembagian harta gono gini. Jalan satu-satunya adalah mendapatkan hak asuh atas Gio. Kalau Marsha mendapat hak asuh, Marsha akan berhak dapet uang dari Alvaro untul memenuhi kebutuhan Gio, dan itu akan dimanfaatkan oleh Rafa dan Marsha sebisa mungkin.

“Sekarang mungkin kita nggak punya kesempatan lagi. Aset kita satu-satunya, Alvaro yang akan dapetin itu.” Rafa menggeram kesal, buku-buku tangannya tampak memutuih karena ia mengepal terlalu kuat.

“Rafa, kamu udah gila, ya? Kamu sadar gak, Gio itu anak kamu! Gio itu darah daging kamu, tapi kamu jadiin dia aset!” ucap Marsha sembari mencoba berdiri dari posisinya. Marsha mencoba kabur dari tempat ini, jadi Rafa segera menyeretnya masuk kembali hingga Marsha jatuh tersungkur ke lantai.

Rafa mengarahkan netranya pada Marsha, lalu ia menyunggingkan senyum smirk-nya. Dengan satu tangannya, Rafa menarik rambut panjang Marsha. Rafa memaksa Marsha mendongak, membuat perempuan itu kesakitan dan rintihan pun lolos dari bibirnya.

“Lo lupa?! Lo juga jadiin anak lo aset! Satu hal Sha, gue nggak pernak menginginkan anak itu. Gue udah nyuruh lo gugurin, tapi lo keras kepala.”

“Lepasin gue! Mulai detik ini, gue udah nggak mau berhubungan sama lo lagi, Raf. Lo denger itu baik-baik!” Marsha sudah muak, selama ini ia tidak berani bahkan untuk menghardik Rafa, tapi kini ia melakukannya.

“Lo pikir lo bisa lepas dari gue? Silakan aja lo berkhayal, tapi sayangnya khayalan lo gak akan jadi kenyataan, Sha,” ucap Rafa.

Marsha menatap Rafa nyalang, kedua matanya terasa perih, tapi ia tidak sudi mengeluarkan air matanya, tidak lagi untuk lelaki ini. Dengan sekuat tenaga, Marsha pun berusaha melepaskan dirinya dari Rafa. Marsha berontak memukul lengan Rafa dan sempat membuat lelaki itu hilang kendali. Namun dengan cepat Rafa kembali meraih Marsha, lalua ia encengkeram kuat lengan Marsha.

“Lo berani juga ya. Lo harusnya nurut sama gue, Sha. Atau gue bisa nyakitin lo lebih dari yang lo bayangin,” sinis Rafa.

“Jangan sentuh gue,” Marsha menggeleng lemah ketika Rafa menyentuhkan tangannya ke lehernya dan bergerak lama-lama ke buah dadanya. Rafa kemudian membawa Marsha ke kamar dan dengan kasar menjatuhnya tubuh Marsha di atas kasur.

“Raf, sakit …” lirih Marsha begitu Rafa mencengkereram pergelangan tangannya. Rafa hampir saja mengikat kedua tangan Marsha di atas kepala perempuan itu, tapi Marsha dengan cepat berhasil mencegah hal tersebut terjadi. Marsha mengambil sebuah kotak tisu, lalu melemparkannya kepada Rafa hingga akhirnya berhasil mengenai kepalanya. Rafa merintih, lalu mendapi keningnya berdarah terkena kotak tisu yang terbuat dari kayu itu.

“Sialan!” ketus Rafa. Tidak ingin targetnya melarikan diri, lelaki itu dengan cepat meraih Marsha. Marsha kembali berada di bawah kungkungan Rafa. Satu kali, Rafa melayangkan pukulan keras pada bokong Marsha.

“Lo mau kabur? Jawab!” ujar Rafa.

“Engga, Raf. Ma-maaf. Maafin gue,” Marsha sebenarnya tidak sudi mengucapkannya, tapi ia tidak punya pilihan. Rafa yang tempramental, membuat Marsha tidak bisa melawan. Paling tidak sampai Rafa tenang, Marsha baru berencana lagi melarikan diri.

Rafa nampak belum puas, ia berniat akan kembali melayangkan pukulan pada Marsha. Marha berusaha menghindari tangan itu dari dirinya, tapi tenaganya tidak sebanding dengan Rafa.

‘PLAK!’ satu tamparan pun akhirnya melayang di kulit wajah Marsha. Marsha merintih kesakitan, ia menggigit bibir bawahnya.

Tiba-tiba Marsha terbayang, rasa sakit yang ia dapatkan mungkin tidak sebanding dengan perbuatannya. Marsha telah berdosa, ia telah mengkhianati Alvaro, dan mungkin ini adalah balasan untuknya. Marsha secara sadar telah berhubungan dengan Rafa sejak dirinya dan Alvaro berpacaran. Dari hasil hubungan mereka, Marsha mengandung Gio dan Rafa menyuruhnya menggugurkan anak mereka.

“Raf, cukup. Aku mohon, cukup,” Marsha berucap dengan wajah memelas. Namun seakan belum puas, Rafa kembali mengangkat tangannya untuk melayangkan tamparan pada Marsha, tapi tiba-tiba saja aksinya itu tertahan karena ada yang menahan lengannya ; lebih tepatnya ada seseoang yang menghalanginya melakukan itu terhadap Marsha.

Marsha yang mendapati sosok Alvaro di depannya lantas tampak nampak syok. Baik Marsha maupun Rafa, tidak menyadari bahwa tadi ada suara-suara dari luar dan rupanya itu adalah penyebab dari datangnya Alvaro.

Ini situasi yang tidak baik, pertemuan Rafa dengan Alvaro, tidak diprediksi akan terjadi. Marsha memang menghubungi Alvaro beberapa saat lalu, karena tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Namun Marsha tidak menyangka Alvaro sudi datang untuk menyelamatkannya.

“Al,” ucap Marsha dengan suaranya yang terdengar tercekat. Alvaro beralih meraih kerah kaus Rafa, membuat sang pemilik tampak kesal dan menatapnya dengan tatapan nyalang. “Sekali lagi coba lo sakitin dia, gue nggak akan segan ngasih balasan yang lebih dari itu,” ucap Alvaro tepat di depan wajah Rafa. Alvaro menatap nyalang pria di hadapannya, tiba-tiba hatinya berdenyut nyeri mendapati sosok ini, rasanya luka lamanya seperti kembali dibuka. Jika Alvaro merasa bahwa Gio mirip dengannya, maka ketika melihat paras lelaki ini, Alvaro jadi tahu bahwa Gio lebih mirip dengan lelaki ini.

Beberapa detik kemudian, muncul di sana kehadiran Aufar dan juga Herdian. Rupanya Herdian yang telah membantu Alvaro membuka pintu apartemen dengan kunci cadangan yang dimilikinya.

Aufar lantas menghampiri Alvaro, ia menyuruh lelaki itu melepaskan cengkramannya pada Rafa.

“Biar gue yang urus. Lo bawa Marsha, pastiin dia aman,” ujar Aufar.

Dengan sedikit berat hati, akhirnya Alvaro melepaskan Rafa, meski ingin sekali Alvaro menghajar tampang itu dengan tangannya sendiri.

Namun Alvaro berakhir bisa mengontrol dirinya dan tidak melakukan hal yang kurang bijak. Ada yang lebih penting untuk diurus ketimbang mengotori tangannya dengan memukul bajingan itu.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Play this song while you read : I'm Not The Only One

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, terlihat Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah tampak sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya.

Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati keberadaan Marsha di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu.

Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak kunjung bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Sesaat Marsha menyapukan pandangannya ke penjuru kamar ini, kamar yang dibuat Alvaro untuk ditempatinya khusus dengan Sienna.

“Spesial banget ya Sienna di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia? Berapa lama dia ada di hidup kamu, sampai kamu memperlakukan dia sebegininya, hmm?” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu sama sekali, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan kembali berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, tidur di kamar berdua, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka. Alvaro menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya?” Marsha berujar dengan suaranya yang lantang. “Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha.” Alvaro berujar sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, mereka berhadapan dan saling menatap lurus satu sama lain.

“Aku berhak untuk bicara, ini menyangkut anak aku juga. Bukannya kenyataannya emang kayak gitu? Kamu dan Sienna menampilkan hal yang seolah-olah terasa benar di depan Gio,” papar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah begitu saja, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangin hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kalau kamu udah jadi ayah yang gagal, dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakinnya Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja.

Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang harus kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya telah berhasil membuat Alvaro menghentikan langkahnya. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur amarah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Ucapan Marsha membuat jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak, dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk mata.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri.

Alvaro belum bergerak sedikit pun. Di ruangan besar itu, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak-ngoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu, mengetahui bahwa Gio bukanlah anak kandung. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberi cobaan seberat ini untuknya? Dan berbagai pertanyaan 'mengapa' lainnya yang terus berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya.

Ini seperti tamparan kuat bagi Alvaro. Mengetahui seorang yang ia cintai bukan bagian dari dirinya, merupakan perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

https://write.as Play this song while you read : I'm Not The Only One

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, terlihat Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah tampak sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya.

Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati keberadaan Marsha di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu.

Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak kunjung bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Sesaat Marsha menyapukan pandangannya ke penjuru kamar ini, kamar yang dibuat Alvaro untuk ditempatinya khusus dengan Sienna.

“Spesial banget ya Sienna di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia? Berapa lama dia ada di hidup kamu, sampai kamu memperlakukan dia sebegininya, hmm?” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu sama sekali, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan kembali berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, tidur di kamar berdua, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka. Alvaro menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya?” Marsha berujar dengan suaranya yang lantang. “Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha.” Alvaro berujar sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, mereka berhadapan dan saling menatap lurus satu sama lain.

“Aku berhak untuk bicara, ini menyangkut anak aku juga. Bukannya kenyataannya emang kayak gitu? Kamu dan Sienna menampilkan hal yang seolah-olah terasa benar di depan Gio,” papar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah begitu saja, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangin hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kalau kamu udah jadi ayah yang gagal, dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakinnya Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja.

Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang harus kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya telah berhasil membuat Alvaro menghentikan langkahnya. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur amarah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Ucapan Marsha membuat jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak, dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk mata.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri.

Alvaro belum bergerak sedikit pun. Di ruangan besar itu, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak-ngoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu, mengetahui bahwa Gio bukanlah anak kandung. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberi cobaan seberat ini untuknya? Dan berbagai pertanyaan 'mengapa' lainnya yang terus berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya.

Ini seperti tamparan kuat bagi Alvaro. Mengetahui seorang yang ia cintai bukan bagian dari dirinya, merupakan perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

[Play this song while you read : I'm Not The Only One] (https://open.spotify.com/track/7795WJLVKJoAyVoOtCWqXN?si=mxoaZNcZTlyJeBGL0pTjCw)

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, terlihat Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah tampak sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya.

Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati keberadaan Marsha di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu.

Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak kunjung bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Sesaat Marsha menyapukan pandangannya ke penjuru kamar ini, kamar yang dibuat Alvaro untuk ditempatinya khusus dengan Sienna.

“Spesial banget ya Sienna di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia? Berapa lama dia ada di hidup kamu, sampai kamu memperlakukan dia sebegininya, hmm?” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu sama sekali, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan kembali berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, tidur di kamar berdua, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka. Alvaro menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya?” Marsha berujar dengan suaranya yang lantang. “Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha.” Alvaro berujar sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, mereka berhadapan dan saling menatap lurus satu sama lain.

“Aku berhak untuk bicara, ini menyangkut anak aku juga. Bukannya kenyataannya emang kayak gitu? Kamu dan Sienna menampilkan hal yang seolah-olah terasa benar di depan Gio,” papar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah begitu saja, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangin hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kalau kamu udah jadi ayah yang gagal, dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakinnya Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja.

Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang harus kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya telah berhasil membuat Alvaro menghentikan langkahnya. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur amarah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Ucapan Marsha membuat jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak, dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk mata.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri.

Alvaro belum bergerak sedikit pun. Di ruangan besar itu, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak-ngoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu, mengetahui bahwa Gio bukanlah anak kandung. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberi cobaan seberat ini untuknya? Dan berbagai pertanyaan 'mengapa' lainnya yang terus berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya.

Ini seperti tamparan kuat bagi Alvaro. Mengetahui seorang yang ia cintai bukan bagian dari dirinya, merupakan perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di minggu-minggu belakangan ini, begitu banyak yang terjadi di hidup Alvaro. Alvaro telah menghadiri mediasi dan sidang jawaban atas perceraiannya dengan Marsha. Namun itu belum berakhir sampai di sana, masih terdapat beberapa rangkaian yang harus dilewati. Baik Alvaro sebagai pihak penggugat maupun Marsha sebagai pihak penggugat, keduanya berhak untuk menguatkan permohonan atau menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh masing-masing pihak. Jadi proses perceraian memang masih cukup panjang.

Rasanya semua masalah datang bertubi-tubi padanya. Dari mulai perceraiannya, perselingkuhan yang Marsha lakukan terhadapnya, dan di antara semua itu ada satu yang paling menyakitkan bagi Alvaro ; yakni mengenai fakta bahwa Gio bukanlah anak kandungnya.

Satu minggu berlalu, kini Alvaro telah pulih dari sakitnya dan Gio telah kembali ke rumahnya. Meskipun Alvaro sudah tau kenyataan bahwa Gio bukanlah anak kandungnya, itu tidak mengubah sedikitpun rasa sayangnya terhadap Gio. Alvaro tidak peduli darah yang mengalir di tubuh Gio milik siapa, yang Alvaro tahu hanyalah Gio adalah anaknya dan ia akan selamanya menjadi papa untuk Gio.

Alvaro sudah menceritakannya pada Sienna, dan akhirnya Alvaro tahu bahwa Sienna telah mengetahui hal tersebut lebih dulu darinya. Sienna mendapat mimpi bahwa Gio bukanlah anak kandung Alvaro, tapi Sienna memilih untuk menyimpan itu sendiri sampai beberapa saat. Alasannya jelas karena Sienna tidak sanggup mengatakannya, ia tidak bisa menyampaikan hal buruk yang pasti akan menyakiti Alvaro. Alvaro mencoba memahami keputusan kekasihnya itu. Mungkin saja, jika Sienna langsung memberitahunya tanpa bukti yang jelas nyata di hadapan Alvaro, Alvaro akan semakin kacau karena pasti tidak mudah menerima hal tersebut.

Pagi yang cerah di kediamannya, Alvaro tampak telah rapi dengan setelan kasualnya. Alvaro sedang sarapan di meja makan bersama Gio. Alvaro memperhatikan anaknya yang tampak bersemangat hari ini, itu karena Alvaro telah menjanjikan agar mereka bertemu Sienna.

Rencananya, tanpa sepengetahuan Sienna, Alvaro akan menjemput gadis itu. Kemudian dirinya, Gio dan Sienna akan pergi ke taman bermain indoor yang cukup besar yang terletak di pusat kota. Alvaro sudah tahu jadwal Sienna hari ini, kekasihnya itu tidak ada kegiatan apa pun, jadi kemungkinan rencana surprise-nya untuk mengajak hangout akan berjalan lancar.

“Papa,” ujar Gio sembari menghentikan kegiatannya menyuap makanan ke mulutnya.

“Iya, Nak?” Alvaro pun memberikan atensinya pada Gio.

“Nggak papa kok kalau Papa sama mama udah nggak tinggal bareng lagi. Yang penting Papa bahagia. Gio juga bahagia karena ada Papa dan bunda Sienna.” Gio mengucapkannya dengan sebuah senyum kecil yang tercetak wajahnya.

Alvaro lantas menyunggingkan senyumnya. “Iya, Nak. Terima kasih ya udah coba untuk ngerti. Mungkin kamu belum paham banget dengan kondisi ini, tapi apa pun itu, Papa dan mama tetep orang tuanya Gio yang akan selalu sayang sama Gio.”

***

Ketika Alvaro sampai di kediaman Sienna, kedatangannya langsung disambut oleh Fabio.

“Selamat siang, Om,” ujar Alvaro sembari menyalami tangan Fabio. Fabio menjabat uluran tangan Alvaro. Namun beberapa detik berlalu, Fabio tidak juga mempersilakan Alvaro untuk masuk.

Alvaro cukup lama membuat Gio menunggu di mobil, akhirnya tanpa perintah apapun, anaknya itu menyusulnya.

Gio yang melihat papanya dan papa Sienna hanya berdiam di dekat pagar, lantas berjalan menghampiri kedua pria otu.

Begitu langkah Gio sampai di hadapan kedua orang dewasa itu, ketika itu juga Fabio mengatakan sesuatu di depan Alvaro. “Sienna ada di rumah, tapi saya tidak izinkan kamu bertemu dengan Sienna.”

Alvaro dan Fabio yang kemudian menyadari kehadiran Gio di sana, langsung menoleh pada anak itu. “Gio, tunggu Papa di mobil ya Nak,” tutur Alvaro kepada anaknya.

“Papa, kenapa kita nggak boleh ketemu sama bunda Sienna?” celetuk Gio. Raut wajah anak berusia 6 tahun itu tampak sedih, tapi bercampur juga dengan tanda tanya besar yang membuatnya nampak bingung. Mengapa orang dewasa begitu rumit dan ia selalu tidak paham akan permasalahan yang ada.

Alvaro akhirnya memutuskan mengantar Gio untuk masuk ke mobil lagi. Kemudian Alvaro kembali lagi pada Fabio. Di sana Alvaro memohon pada Fabio agar mengizinkannya bertemu dengan Sienna, tapi Alvaro mendapat penolakan.

“Saya nggak ingin kamu menyakiti anak saya. Sudah cukup selama ini saya kasih kelonggaran untuk kamu berhubungan dengan Sienna. Sebaiknya kamu mengerti keputusan saya.” Setelah Fabio mengatakan kalimatnya, pria itu berlalu begitu saja dari hadapan Alvaro.

Alvaro lantas menatap pintu ganda rumah itu yang ditutup rapat dan meninggalkan bunyi dentuman yang cukup kuat. Selama beberapa detik, Alvaro masih setia berdiri di sana. alvaro erharap pada sesuatu yang sebenarnya ia sudah tahu bahwa jawabannya tidak akan sesuai dengan keinginannya.

Alvaro pun mendongakkan kepala untuk menatap ke arah jendela di mana kamar Sienna berada. Mungkinkah … ini adalah akhir dari kisah cintanya dengan Sienna?

Alvaro mencintai Sienna, tapi bagaimana pun, restu orang tua itu sangat penting. Alvaro ingin orang tua Sienna menerimanya. Alvaro ingin orang tua Sienna mengizinkannya untuk membahagiakan Sienna dan merelakan dengan sepenuh hati agar putri mereka menjadi pendamping hidupnya. Namun sampai saat ini, Alvaro belum juga mendapat restu itu.

***

Play this song while you read : Love Story

Sienna mengintip dari celah kecil gorden di jendela kamarnya. Ia melihat semua yang terjadi beberapa saat lalu. Begitu range rover milik Alvaro sudah hilang dari pandangan, Sienna bergegas menemui papanya yang berada di lantai satu ruang keluarga.

“Papa,” ujar Sienna dengan suaranya yang terdengar bergetar. Sienna telah tahu beberapa saat yang lalu Alvaro datang ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Namun Fabio sungguh keras melarang Sienna untuk keluar dan meminta Alvaro untuk angkat kaki dari rumah mereka.

Fabio mendapati anak perempuannya menghampirinya lekas berujar, “Ada apa Sienna?” Fabio masih setengah fokus pada majalah otomotif yang ada di tangannya.

Seinna mendekat pada Fabio, dan tiba-tiba ia langsung berlutut di hadapan papanya. Fabio yang kaget melihat itu, lantas menyuruh Sienna untuk bangun dari posisinya. Fabio meletakkan majalah di tangannya dan kini memegang kedua bahu Sienna.

“Kamu ngapain?” tanya Fabio dengan netranya yang melebar. “Ngapain kamu sampai sebegininya demi laki-laki itu?” lanjut Fabio.

Sienna masih bertahan di posisinya, bahkan ia bersujud di dekat kaki papanya. “Pah, Sienna mohon. Tolong restuin hubungan Sienna sama Alvaro,” ujar Sienna diiringi isakan kecil yang lolos dari bibirnya.

“Papa nggak punya alasan untuk merestui hubungan kamu dengan dia. Papa nggak bisa melihat kamu menderita karena dia. Selama kamu sama dia, emangnya kamu bahagia?”

Sienna lantas bangkit dari posisinya dan kini menatap lurus ke arah Fabio. “Sienna bahagia, Pah. Papa nggak pernah tau perjuangan Alvaro untuk hubungan ini. Papa hanya ngeliat dari kacamata Papa, dan Papa terlalu menutup hati.” Nada suara Sienna sedikit meninggi, hingga membuat Fabio terkejut dengan tingkah putrinya.

“Kamu bicara dengan nada tinggi ke Papa untuk membela lelaki itu? Papa yang merawat kamu dari kecil, Papa yang berusaha membahagiakan kamu karena Papa sayang sama kamu.” Fabio nampak terluka, itu terlihat jelas dari tatapannya.

“Pah, Sienna nggak bermaksud kayak gitu. Dari awal, Papa yang selalu menilai buruk tentang Alvaro. Pah, bukan cuma Sienna yang berjuang di hubungan ini, tapi Alvaro juga berjuang.” Sienna menjeda sejenak ucapannya. Dengan lengan kaus panjangnya, Sienna mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau Papa sayang sama Sienna, harusnya Papa bisa coba membuka hati dan menurunkan sedikit ego Papa. Kalau Papa masih kayak gini, sampai kapan pun juga, mungkin Papa nggak bisa nerima Alvaro,” ujar Sienna lagi.

“Sienna, stop memohon ke Papa. Masuk ke kamar kamu. Papa cuma mau yang terbaik untuk kamu. Masih banyak laki-laki yang pantas untuk kamu, bukan dia.” Fabio nampak tidak luluh sedikitpun.

Sekali lagi, airmata Sienna meluncur mulus dari pelupuk matanya. Melihat putrinya menangis demi lelaki yang tidak ia sukai, rasanya dada Fabio seperti dicabik-cabik.

“Sienna nggak mau menjalin hubungan lagi sama laki-laki lain selain Alvaro, Pah.” Sienna menjeda kalimatnya, ia menghalau nafasnya kemudian menghembuskannya. “Sienna berhak untuk milih calon pendamping hidup Sienna, karena Sienna yang akan menjalaninya. Sienna cuma mau menikah sekali, dan pastinya dengan orang yang Sienna inginkan.” Setelah mengatakan semuanya, Sienna segera berlalu dari hadapan Fabio.

Fabio menatap punggung Sienna yang menjauh dengan tatapan nanar. Perasaan Fabio campur aduk. Di satu sisi, Fabio ingin Sienna bahagia dengan lelaki yang diinginkannya. Namun ada ketakutan di diri Fabio atas laki-laki yang menjadi pilihan putrinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Play this song while you read

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, terlihat Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah tampak sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya.

Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati keberadaan Marsha di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu.

Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak kunjung bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Sesaat Marsha menyapukan pandangannya ke penjuru kamar ini, kamar yang dibuat Alvaro untuk ditempatinya khusus dengan Sienna.

“Spesial banget ya Sienna di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia? Berapa lama dia ada di hidup kamu, sampai kamu memperlakukan dia sebegininya, hmm?” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu sama sekali, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan kembali berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, tidur di kamar berdua, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka. Alvaro menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya?” Marsha berujar dengan suaranya yang lantang. “Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha.” Alvaro berujar sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, mereka berhadapan dan saling menatap lurus satu sama lain.

“Aku berhak untuk bicara, ini menyangkut anak aku juga. Bukannya kenyataannya emang kayak gitu? Kamu dan Sienna menampilkan hal yang seolah-olah terasa benar di depan Gio,” papar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah begitu saja, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangin hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kalau kamu udah jadi ayah yang gagal, dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakinnya Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja.

Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang harus kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya telah berhasil membuat Alvaro menghentikan langkahnya. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur amarah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Ucapan Marsha membuat jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak, dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk mata.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri.

Alvaro belum bergerak sedikit pun. Di ruangan besar itu, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak-ngoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu, mengetahui bahwa Gio bukanlah anak kandung. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberi cobaan seberat ini untuknya? Dan berbagai pertanyaan 'mengapa' lainnya yang terus berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya.

Ini seperti tamparan kuat bagi Alvaro. Mengetahui seorang yang ia cintai bukan bagian dari dirinya, merupakan perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di minggu-minggu belakangan ini, begitu banyak yang terjadi di hidup Alvaro. Alvaro telah menghadiri mediasi dan sidang jawaban atas perceraiannya dengan Marsha. Namun itu belum berakhir sampai di sana, masih terdapat beberapa rangkaian yang harus dilewati. Baik Alvaro sebagai pihak penggugat maupun Marsha sebagai pihak penggugat, keduanya berhak untuk menguatkan permohonan atau menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh masing-masing pihak. Jadi proses perceraian memang masih cukup panjang.

Rasanya semua masalah datang bertubi-tubi padanya. Dari mulai perceraiannya, perselingkuhan yang Marsha lakukan terhadapnya, dan di antara semua itu ada satu yang paling menyakitkan bagi Alvaro ; yakni mengenai fakta bahwa Gio bukanlah anak kandungnya.

Satu minggu berlalu, kini Alvaro telah pulih dari sakitnya dan Gio telah kembali ke rumahnya. Meskipun Alvaro sudah tau kenyataan bahwa Gio bukanlah anak kandungnya, itu tidak mengubah sedikitpun rasa sayangnya terhadap Gio. Alvaro tidak peduli darah yang mengalir di tubuh Gio milik siapa, yang Alvaro tahu hanyalah Gio adalah anaknya dan ia akan selamanya menjadi papa untuk Gio.

Alvaro sudah menceritakannya pada Sienna, dan akhirnya Alvaro tahu bahwa Sienna telah mengetahui hal tersebut lebih dulu darinya. Sienna mendapat mimpi bahwa Gio bukanlah anak kandung Alvaro, tapi Sienna memilih untuk menyimpan itu sendiri sampai beberapa saat. Alasannya jelas karena Sienna tidak sanggup mengatakannya, ia tidak bisa menyampaikan hal buruk yang pasti akan menyakiti Alvaro. Alvaro mencoba memahami keputusan kekasihnya itu. Mungkin saja, jika Sienna langsung memberitahunya tanpa bukti yang jelas nyata di hadapan Alvaro, Alvaro akan semakin kacau karena pasti tidak mudah menerima hal tersebut.

Pagi yang cerah di kediamannya, Alvaro tampak telah rapi dengan setelan kasualnya. Alvaro sedang sarapan di meja makan bersama Gio. Alvaro memperhatikan anaknya yang tampak bersemangat hari ini, itu karena Alvaro telah menjanjikan agar mereka bertemu Sienna.

Rencananya, tanpa sepengetahuan Sienna, Alvaro akan menjemput gadis itu. Kemudian dirinya, Gio dan Sienna akan pergi ke taman bermain indoor yang cukup besar yang terletak di pusat kota. Alvaro sudah tahu jadwal Sienna hari ini, kekasihnya itu tidak ada kegiatan apa pun, jadi kemungkinan rencana surprise-nya untuk mengajak hangout akan berjalan lancar.

“Papa,” ujar Gio sembari menghentikan kegiatannya menyuap makanan ke mulutnya.

“Iya, Nak?” Alvaro pun memberikan atensinya pada Gio.

“Nggak papa kok kalau Papa sama mama udah nggak tinggal bareng lagi. Yang penting Papa bahagia. Gio juga bahagia karena ada Papa dan bunda Sienna.” Gio mengucapkannya dengan sebuah senyum kecil yang tercetak wajahnya.

Alvaro lantas menyunggingkan senyumnya. “Iya, Nak. Terima kasih ya udah coba untuk ngerti. Mungkin kamu belum paham banget dengan kondisi ini, tapi apa pun itu, Papa dan mama tetep orang tuanya Gio yang akan selalu sayang sama Gio.”

***

Ketika Alvaro sampai di kediaman Sienna, kedatangannya langsung disambut oleh Fabio.

“Selamat siang, Om,” ujar Alvaro sembari menyalami tangan Fabio. Fabio menjabat uluran tangan Alvaro. Namun beberapa detik berlalu, Fabio tidak juga mempersilakan Alvaro untuk masuk.

Alvaro cukup lama membuat Gio menunggu di mobil, akhirnya tanpa perintah apapun, anaknya itu menyusulnya.

Gio yang melihat papanya dan papa Sienna hanya berdiam di dekat pagar, lantas berjalan menghampiri kedua pria otu.

Begitu langkah Gio sampai di hadapan kedua orang dewasa itu, ketika itu juga Fabio mengatakan sesuatu di depan Alvaro. “Sienna ada di rumah, tapi saya tidak izinkan kamu bertemu dengan Sienna.”

Alvaro dan Fabio yang kemudian menyadari kehadiran Gio di sana, langsung menoleh pada anak itu. “Gio, tunggu Papa di mobil ya Nak,” tutur Alvaro kepada anaknya.

“Papa, kenapa kita nggak boleh ketemu sama bunda Sienna?” celetuk Gio. Raut wajah anak berusia 6 tahun itu tampak sedih, tapi bercampur juga dengan tanda tanya besar yang membuatnya nampak bingung. Mengapa orang dewasa begitu rumit dan ia selalu tidak paham akan permasalahan yang ada.

Alvaro akhirnya memutuskan mengantar Gio untuk masuk ke mobil lagi. Kemudian Alvaro kembali lagi pada Fabio. Di sana Alvaro memohon pada Fabio agar mengizinkannya bertemu dengan Sienna, tapi Alvaro mendapat penolakan.

“Saya nggak ingin kamu menyakiti anak saya. Sudah cukup selama ini saya kasih kelonggaran untuk kamu berhubungan dengan Sienna. Sebaiknya kamu mengerti keputusan saya.” Setelah Fabio mengatakan kalimatnya, pria itu berlalu begitu saja dari hadapan Alvaro.

Alvaro lantas menatap pintu ganda rumah itu yang ditutup rapat dan meninggalkan bunyi dentuman yang cukup kuat. Selama beberapa detik, Alvaro masih setia berdiri di sana. alvaro erharap pada sesuatu yang sebenarnya ia sudah tahu bahwa jawabannya tidak akan sesuai dengan keinginannya.

Alvaro pun mendongakkan kepala untuk menatap ke arah jendela di mana kamar Sienna berada. Mungkinkah … ini adalah akhir dari kisah cintanya dengan Sienna?

Alvaro mencintai Sienna, tapi bagaimana pun, restu orang tua itu sangat penting. Alvaro ingin orang tua Sienna menerimanya. Alvaro ingin orang tua Sienna mengizinkannya untuk membahagiakan Sienna dan merelakan dengan sepenuh hati agar putri mereka menjadi pendamping hidupnya. Namun sampai saat ini, Alvaro belum juga mendapat restu itu.

***

Play this song while you read : Love story

Sienna mengintip dari celah kecil gorden di jendela kamarnya. Ia melihat semua yang terjadi beberapa saat lalu. Begitu range rover milik Alvaro sudah hilang dari pandangan, Sienna bergegas menemui papanya yang berada di lantai satu ruang keluarga.

“Papa,” ujar Sienna dengan suaranya yang terdengar bergetar. Sienna telah tahu beberapa saat yang lalu Alvaro datang ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Namun Fabio sungguh keras melarang Sienna untuk keluar dan meminta Alvaro untuk angkat kaki dari rumah mereka.

Fabio mendapati anak perempuannya menghampirinya lekas berujar, “Ada apa Sienna?” Fabio masih setengah fokus pada majalah otomotif yang ada di tangannya.

Seinna mendekat pada Fabio, dan tiba-tiba ia langsung berlutut di hadapan papanya. Fabio yang kaget melihat itu, lantas menyuruh Sienna untuk bangun dari posisinya. Fabio meletakkan majalah di tangannya dan kini memegang kedua bahu Sienna.

“Kamu ngapain?” tanya Fabio dengan netranya yang melebar. “Ngapain kamu sampai sebegininya demi laki-laki itu?” lanjut Fabio.

Sienna masih bertahan di posisinya, bahkan ia bersujud di dekat kaki papanya. “Pah, Sienna mohon. Tolong restuin hubungan Sienna sama Alvaro,” ujar Sienna diiringi isakan kecil yang lolos dari bibirnya.

“Papa nggak punya alasan untuk merestui hubungan kamu dengan dia. Papa nggak bisa melihat kamu menderita karena dia. Selama kamu sama dia, emangnya kamu bahagia?”

Sienna lantas bangkit dari posisinya dan kini menatap lurus ke arah Fabio. “Sienna bahagia, Pah. Papa nggak pernah tau perjuangan Alvaro untuk hubungan ini. Papa hanya ngeliat dari kacamata Papa, dan Papa terlalu menutup hati.” Nada suara Sienna sedikit meninggi, hingga membuat Fabio terkejut dengan tingkah putrinya.

“Kamu bicara dengan nada tinggi ke Papa untuk membela lelaki itu? Papa yang merawat kamu dari kecil, Papa yang berusaha membahagiakan kamu karena Papa sayang sama kamu.” Fabio nampak terluka, itu terlihat jelas dari tatapannya.

“Pah, Sienna nggak bermaksud kayak gitu. Dari awal, Papa yang selalu menilai buruk tentang Alvaro. Pah, bukan cuma Sienna yang berjuang di hubungan ini, tapi Alvaro juga berjuang.” Sienna menjeda sejenak ucapannya. Dengan lengan kaus panjangnya, Sienna mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau Papa sayang sama Sienna, harusnya Papa bisa coba membuka hati dan menurunkan sedikit ego Papa. Kalau Papa masih kayak gini, sampai kapan pun juga, mungkin Papa nggak bisa nerima Alvaro,” ujar Sienna lagi.

“Sienna, stop memohon ke Papa. Masuk ke kamar kamu. Papa cuma mau yang terbaik untuk kamu. Masih banyak laki-laki yang pantas untuk kamu, bukan dia.” Fabio nampak tidak luluh sedikitpun.

Sekali lagi, airmata Sienna meluncur mulus dari pelupuk matanya. Melihat putrinya menangis demi lelaki yang tidak ia sukai, rasanya dada Fabio seperti dicabik-cabik.

“Sienna nggak mau menjalin hubungan lagi sama laki-laki lain selain Alvaro, Pah.” Sienna menjeda kalimatnya, ia menghalau nafasnya kemudian menghembuskannya. “Sienna berhak untuk milih calon pendamping hidup Sienna, karena Sienna yang akan menjalaninya. Sienna cuma mau menikah sekali, dan pastinya dengan orang yang Sienna inginkan.” Setelah mengatakan semuanya, Sienna segera berlalu dari hadapan Fabio.

Fabio menatap punggung Sienna yang menjauh dengan tatapan nanar. Perasaan Fabio campur aduk. Di satu sisi, Fabio ingin Sienna bahagia dengan lelaki yang diinginkannya. Namun ada ketakutan di diri Fabio atas laki-laki yang menjadi pilihan putrinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di minggu-minggu belakangan ini, begitu banyak yang terjadi di hidup Alvaro. Alvaro telah menghadiri mediasi dan sidang jawaban atas perceraiannya dengan Marsha. Namun itu belum berakhir sampai di sana, masih terdapat beberapa rangkaian yang harus dilewati. Baik Alvaro sebagai pihak penggugat maupun Marsha sebagai pihak penggugat, keduanya berhak untuk menguatkan permohonan atau menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh masing-masing pihak. Jadi proses perceraian memang masih cukup panjang.

Rasanya semua masalah datang bertubi-tubi padanya. Dari mulai perceraiannya, perselingkuhan yang Marsha lakukan terhadapnya, dan di antara semua itu ada satu yang paling menyakitkan bagi Alvaro ; yakni mengenai fakta bahwa Gio bukanlah anak kandungnya.

Satu minggu berlalu, kini Alvaro telah pulih dari sakitnya dan Gio telah kembali ke rumahnya. Meskipun Alvaro sudah tau kenyataan bahwa Gio bukanlah anak kandungnya, itu tidak mengubah sedikitpun rasa sayangnya terhadap Gio. Alvaro tidak peduli darah yang mengalir di tubuh Gio milik siapa, yang Alvaro tahu hanyalah Gio adalah anaknya dan ia akan selamanya menjadi papa untuk Gio.

Alvaro sudah menceritakannya pada Sienna, dan akhirnya Alvaro tahu bahwa Sienna telah mengetahui hal tersebut lebih dulu darinya. Sienna mendapat mimpi bahwa Gio bukanlah anak kandung Alvaro, tapi Sienna memilih untuk menyimpan itu sendiri sampai beberapa saat. Alasannya jelas karena Sienna tidak sanggup mengatakannya, ia tidak bisa menyampaikan hal buruk yang pasti akan menyakiti Alvaro. Alvaro mencoba memahami keputusan kekasihnya itu. Mungkin saja, jika Sienna langsung memberitahunya tanpa bukti yang jelas nyata di hadapan Alvaro, Alvaro akan semakin kacau karena pasti tidak mudah menerima hal tersebut.

Pagi yang cerah di kediamannya, Alvaro tampak telah rapi dengan setelan kasualnya. Alvaro sedang sarapan di meja makan bersama Gio. Alvaro memperhatikan anaknya yang tampak bersemangat hari ini, itu karena Alvaro telah menjanjikan agar mereka bertemu Sienna.

Rencananya, tanpa sepengetahuan Sienna, Alvaro akan menjemput gadis itu. Kemudian dirinya, Gio dan Sienna akan pergi ke taman bermain indoor yang cukup besar yang terletak di pusat kota. Alvaro sudah tahu jadwal Sienna hari ini, kekasihnya itu tidak ada kegiatan apa pun, jadi kemungkinan rencana surprise-nya untuk mengajak hangout akan berjalan lancar.

“Papa,” ujar Gio sembari menghentikan kegiatannya menyuap makanan ke mulutnya.

“Iya, Nak?” Alvaro pun memberikan atensinya pada Gio.

“Nggak papa kok kalau Papa sama mama udah nggak tinggal bareng lagi. Yang penting Papa bahagia. Gio juga bahagia karena ada Papa dan bunda Sienna.” Gio mengucapkannya dengan sebuah senyum kecil yang tercetak wajahnya.

Alvaro lantas menyunggingkan senyumnya. “Iya, Nak. Terima kasih ya udah coba untuk ngerti. Mungkin kamu belum paham banget dengan kondisi ini, tapi apa pun itu, Papa dan mama tetep orang tuanya Gio yang akan selalu sayang sama Gio.”

***

Love story

Ketika Alvaro sampai di kediaman Sienna, kedatangannya langsung disambut oleh Fabio.

“Selamat siang, Om,” ujar Alvaro sembari menyalami tangan Fabio. Fabio menjabat uluran tangan Alvaro. Namun beberapa detik berlalu, Fabio tidak juga mempersilakan Alvaro untuk masuk.

Alvaro cukup lama membuat Gio menunggu di mobil, akhirnya tanpa perintah apapun, anaknya itu menyusulnya.

Gio yang melihat papanya dan papa Sienna hanya berdiam di dekat pagar, lantas berjalan menghampiri kedua pria otu.

Begitu langkah Gio sampai di hadapan kedua orang dewasa itu, ketika itu juga Fabio mengatakan sesuatu di depan Alvaro. “Sienna ada di rumah, tapi saya tidak izinkan kamu bertemu dengan Sienna.”

Alvaro dan Fabio yang kemudian menyadari kehadiran Gio di sana, langsung menoleh pada anak itu. “Gio, tunggu Papa di mobil ya Nak,” tutur Alvaro kepada anaknya.

“Papa, kenapa kita nggak boleh ketemu sama bunda Sienna?” celetuk Gio. Raut wajah anak berusia 6 tahun itu tampak sedih, tapi bercampur juga dengan tanda tanya besar yang membuatnya nampak bingung. Mengapa orang dewasa begitu rumit dan ia selalu tidak paham akan permasalahan yang ada.

Alvaro akhirnya memutuskan mengantar Gio untuk masuk ke mobil lagi. Kemudian Alvaro kembali lagi pada Fabio. Di sana Alvaro memohon pada Fabio agar mengizinkannya bertemu dengan Sienna, tapi Alvaro mendapat penolakan.

“Saya nggak ingin kamu menyakiti anak saya. Sudah cukup selama ini saya kasih kelonggaran untuk kamu berhubungan dengan Sienna. Sebaiknya kamu mengerti keputusan saya.” Setelah Fabio mengatakan kalimatnya, pria itu berlalu begitu saja dari hadapan Alvaro.

Alvaro lantas menatap pintu ganda rumah itu yang ditutup rapat dan meninggalkan bunyi dentuman yang cukup kuat. Selama beberapa detik, Alvaro masih setia berdiri di sana. alvaro erharap pada sesuatu yang sebenarnya ia sudah tahu bahwa jawabannya tidak akan sesuai dengan keinginannya.

Alvaro pun mendongakkan kepala untuk menatap ke arah jendela di mana kamar Sienna berada. Mungkinkah … ini adalah akhir dari kisah cintanya dengan Sienna?

Alvaro mencintai Sienna, tapi bagaimana pun, restu orang tua itu sangat penting. Alvaro ingin orang tua Sienna menerimanya. Alvaro ingin orang tua Sienna mengizinkannya untuk membahagiakan Sienna dan merelakan dengan sepenuh hati agar putri mereka menjadi pendamping hidupnya. Namun sampai saat ini, Alvaro belum juga mendapat restu itu.

***

Sienna mengintip dari celah kecil gorden di jendela kamarnya. Ia melihat semua yang terjadi beberapa saat lalu. Begitu range rover milik Alvaro sudah hilang dari pandangan, Sienna bergegas menemui papanya yang berada di lantai satu ruang keluarga.

“Papa,” ujar Sienna dengan suaranya yang terdengar bergetar. Sienna telah tahu beberapa saat yang lalu Alvaro datang ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Namun Fabio sungguh keras melarang Sienna untuk keluar dan meminta Alvaro untuk angkat kaki dari rumah mereka.

Fabio mendapati anak perempuannya menghampirinya lekas berujar, “Ada apa Sienna?” Fabio masih setengah fokus pada majalah otomotif yang ada di tangannya.

Seinna mendekat pada Fabio, dan tiba-tiba ia langsung berlutut di hadapan papanya. Fabio yang kaget melihat itu, lantas menyuruh Sienna untuk bangun dari posisinya. Fabio meletakkan majalah di tangannya dan kini memegang kedua bahu Sienna.

“Kamu ngapain?” tanya Fabio dengan netranya yang melebar. “Ngapain kamu sampai sebegininya demi laki-laki itu?” lanjut Fabio.

Sienna masih bertahan di posisinya, bahkan ia bersujud di dekat kaki papanya. “Pah, Sienna mohon. Tolong restuin hubungan Sienna sama Alvaro,” ujar Sienna diiringi isakan kecil yang lolos dari bibirnya.

“Papa nggak punya alasan untuk merestui hubungan kamu dengan dia. Papa nggak bisa melihat kamu menderita karena dia. Selama kamu sama dia, emangnya kamu bahagia?”

Sienna lantas bangkit dari posisinya dan kini menatap lurus ke arah Fabio. “Sienna bahagia, Pah. Papa nggak pernah tau perjuangan Alvaro untuk hubungan ini. Papa hanya ngeliat dari kacamata Papa, dan Papa terlalu menutup hati.” Nada suara Sienna sedikit meninggi, hingga membuat Fabio terkejut dengan tingkah putrinya.

“Kamu bicara dengan nada tinggi ke Papa untuk membela lelaki itu? Papa yang merawat kamu dari kecil, Papa yang berusaha membahagiakan kamu karena Papa sayang sama kamu.” Fabio nampak terluka, itu terlihat jelas dari tatapannya.

“Pah, Sienna nggak bermaksud kayak gitu. Dari awal, Papa selalu menilai buruk tentang Alvaro. Pah, bukan cuma Sienna yang berjuang di hubungan ini, tapi Alvaro juga berjuang.” Sienna menjeda sejenak ucapannya. Dengan lengan kaus panjangnya, Sienna mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau Papa sayang sama Sienna, harusnya Papa bisa coba membuka hati dan menurunkan sedikit ego Papa. Kalau Papa masih kayak gini, sampai kapan pun juga, mungkin Papa nggak bisa nerima Alvaro,” ujar Sienna lagi.

“Sienna, stop memohon ke Papa. Masuk ke kamar kamu. Papa cuma mau yang terbaik untuk kamu. Masih banyak laki-laki yang pantas untuk kamu.” Fabio nampak tidak luluh sedikitpun.

Sekali lagi, airmata Sienna meluncur mulus dari pelupuk matanya. Melihat putrinya menangis demi lelaki yang tidak ia sukai, rasanya dada Fabio seperti dicabik-cabik.

“Sienna nggak mau menjalin hubungan lagi sama laki-laki lain selain Alvaro, Pah. Sienna berhak untuk milih calon pendamping hidup Sienna, karena Sienna yang akan menjalaninya. Sienna cuma mau menikah sekali, dan pastinya dengan orang yang Sienna inginkan.” Setelah mengatakan itu, Sienna segera berlalu dari hadapan Fabio.

Fabio menatap punggung Sienna yang menjauh dengan tatapan nanar. Perasaan Fabio campur aduk. Di satu sisi, Fabio ingin Sienna bahagia dengan lelaki yang diinginkannya. Namun ada ketakutan di diri Fabio atas laki-laki yang menjadi pilihan putrinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di minggu-minggu belakangan ini, begitu banyak yang terjadi di hidup Alvaro. Alvaro telah menghadiri mediasi dan sidang jawaban atas perceraiannya dengan Marsha. Namun itu belum berakhir sampai di sana, masih terdapat beberapa rangkaian yang harus dilewati. Baik Alvaro sebagai pihak penggugat maupun Marsha sebagai pihak penggugat, keduanya berhak untuk menguatkan permohonan atau menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh masing-masing pihak. Jadi proses perceraian memang masih cukup panjang.

Rasanya semua masalah datang bertubi-tubi padanya. Dari mulai perceraiannya, perselingkuhan yang Marsha lakukan terhadapnya, dan di antara semua itu ada satu yang paling menyakitkan bagi Alvaro ; yakni mengenai fakta bahwa Gio bukanlah anak kandungnya.

Satu minggu berlalu, kini Alvaro telah pulih dari sakitnya dan Gio telah kembali ke rumahnya. Meskipun Alvaro sudah tau kenyataan bahwa Gio bukanlah anak kandungnya, itu tidak mengubah sedikitpun rasa sayangnya terhadap Gio. Alvaro tidak peduli darah yang mengalir di tubuh Gio milik siapa, yang Alvaro tahu hanyalah Gio adalah anaknya dan ia akan selamanya menjadi papa untuk Gio.

Alvaro sudah menceritakannya pada Sienna, dan akhirnya Alvaro tahu bahwa Sienna telah mengetahui hal tersebut lebih dulu darinya. Sienna mendapat mimpi bahwa Gio bukanlah anak kandung Alvaro, tapi Sienna memilih untuk menyimpan itu sendiri sampai beberapa saat. Alasannya jelas karena Sienna tidak sanggup mengatakannya, ia tidak bisa menyampaikan hal buruk yang pasti akan menyakiti Alvaro. Alvaro mencoba memahami keputusan kekasihnya itu. Mungkin saja, jika Sienna langsung memberitahunya tanpa bukti yang jelas nyata di hadapan Alvaro, Alvaro akan semakin kacau karena pasti tidak mudah menerima hal tersebut.

Pagi yang cerah di kediamannya, Alvaro tampak telah rapi dengan setelan kasualnya. Alvaro sedang sarapan di meja makan bersama Gio. Alvaro memperhatikan anaknya yang tampak bersemangat hari ini, itu karena Alvaro telah menjanjikan agar mereka bertemu Sienna.

Rencananya, tanpa sepengetahuan Sienna, Alvaro akan menjemput gadis itu. Kemudian dirinya, Gio dan Sienna akan pergi ke taman bermain indoor yang cukup besar yang terletak di pusat kota. Alvaro sudah tahu jadwal Sienna hari ini, kekasihnya itu tidak ada kegiatan apa pun, jadi kemungkinan rencana surprise-nya untuk mengajak hangout akan berjalan lancar.

“Papa,” ujar Gio sembari menghentikan kegiatannya menyuap makanan ke mulutnya.

“Iya, Nak?” Alvaro pun memberikan atensinya pada Gio.

“Nggak papa kok kalau Papa sama mama udah nggak tinggal bareng lagi. Yang penting Papa bahagia. Gio juga bahagia karena ada Papa dan bunda Sienna.” Gio mengucapkannya dengan sebuah senyum kecil yang tercetak wajahnya.

Alvaro lantas menyunggingkan senyumnya. “Iya, Nak. Terima kasih ya udah coba untuk ngerti. Mungkin kamu belum paham banget dengan kondisi ini, tapi apa pun itu, Papa dan mama tetep orang tuanya Gio yang akan selalu sayang sama Gio.”

***

https://write.as Love story

Ketika Alvaro sampai di kediaman Sienna, kedatangannya langsung disambut oleh Fabio.

“Selamat siang, Om,” ujar Alvaro sembari menyalami tangan Fabio. Fabio menjabat uluran tangan Alvaro. Namun beberapa detik berlalu, Fabio tidak juga mempersilakan Alvaro untuk masuk.

Alvaro cukup lama membuat Gio menunggu di mobil, akhirnya tanpa perintah apapun, anaknya itu menyusulnya.

Gio yang melihat papanya dan papa Sienna hanya berdiam di dekat pagar, lantas berjalan menghampiri kedua pria otu.

Begitu langkah Gio sampai di hadapan kedua orang dewasa itu, ketika itu juga Fabio mengatakan sesuatu di depan Alvaro. “Sienna ada di rumah, tapi saya tidak izinkan kamu bertemu dengan Sienna.”

Alvaro dan Fabio yang kemudian menyadari kehadiran Gio di sana, langsung menoleh pada anak itu. “Gio, tunggu Papa di mobil ya Nak,” tutur Alvaro kepada anaknya.

“Papa, kenapa kita nggak boleh ketemu sama bunda Sienna?” celetuk Gio. Raut wajah anak berusia 6 tahun itu tampak sedih, tapi bercampur juga dengan tanda tanya besar yang membuatnya nampak bingung. Mengapa orang dewasa begitu rumit dan ia selalu tidak paham akan permasalahan yang ada.

Alvaro akhirnya memutuskan mengantar Gio untuk masuk ke mobil lagi. Kemudian Alvaro kembali lagi pada Fabio. Di sana Alvaro memohon pada Fabio agar mengizinkannya bertemu dengan Sienna, tapi Alvaro mendapat penolakan.

“Saya nggak ingin kamu menyakiti anak saya. Sudah cukup selama ini saya kasih kelonggaran untuk kamu berhubungan dengan Sienna. Sebaiknya kamu mengerti keputusan saya.” Setelah Fabio mengatakan kalimatnya, pria itu berlalu begitu saja dari hadapan Alvaro.

Alvaro lantas menatap pintu ganda rumah itu yang ditutup rapat dan meninggalkan bunyi dentuman yang cukup kuat. Selama beberapa detik, Alvaro masih setia berdiri di sana. alvaro erharap pada sesuatu yang sebenarnya ia sudah tahu bahwa jawabannya tidak akan sesuai dengan keinginannya.

Alvaro pun mendongakkan kepala untuk menatap ke arah jendela di mana kamar Sienna berada. Mungkinkah … ini adalah akhir dari kisah cintanya dengan Sienna?

Alvaro mencintai Sienna, tapi bagaimana pun, restu orang tua itu sangat penting. Alvaro ingin orang tua Sienna menerimanya. Alvaro ingin orang tua Sienna mengizinkannya untuk membahagiakan Sienna dan merelakan dengan sepenuh hati agar putri mereka menjadi pendamping hidupnya. Namun sampai saat ini, Alvaro belum juga mendapat restu itu.

***

Sienna mengintip dari celah kecil gorden di jendela kamarnya. Ia melihat semua yang terjadi beberapa saat lalu. Begitu range rover milik Alvaro sudah hilang dari pandangan, Sienna bergegas menemui papanya yang berada di lantai satu ruang keluarga.

“Papa,” ujar Sienna dengan suaranya yang terdengar bergetar. Sienna telah tahu beberapa saat yang lalu Alvaro datang ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Namun Fabio sungguh keras melarang Sienna untuk keluar dan meminta Alvaro untuk angkat kaki dari rumah mereka.

Fabio mendapati anak perempuannya menghampirinya lekas berujar, “Ada apa Sienna?” Fabio masih setengah fokus pada majalah otomotif yang ada di tangannya.

Seinna mendekat pada Fabio, dan tiba-tiba ia langsung berlutut di hadapan papanya. Fabio yang kaget melihat itu, lantas menyuruh Sienna untuk bangun dari posisinya. Fabio meletakkan majalah di tangannya dan kini memegang kedua bahu Sienna.

“Kamu ngapain?” tanya Fabio dengan netranya yang melebar. “Ngapain kamu sampai sebegininya demi laki-laki itu?” lanjut Fabio.

Sienna masih bertahan di posisinya, bahkan ia bersujud di dekat kaki papanya. “Pah, Sienna mohon. Tolong restuin hubungan Sienna sama Alvaro,” ujar Sienna diiringi isakan kecil yang lolos dari bibirnya.

“Papa nggak punya alasan untuk merestui hubungan kamu dengan dia. Papa nggak bisa melihat kamu menderita karena dia. Selama kamu sama dia, emangnya kamu bahagia?”

Sienna lantas bangkit dari posisinya dan kini menatap lurus ke arah Fabio. “Sienna bahagia, Pah. Papa nggak pernah tau perjuangan Alvaro untuk hubungan ini. Papa hanya ngeliat dari kacamata Papa, dan Papa terlalu menutup hati.” Nada suara Sienna sedikit meninggi, hingga membuat Fabio terkejut dengan tingkah putrinya.

“Kamu bicara dengan nada tinggi ke Papa untuk membela lelaki itu? Papa yang merawat kamu dari kecil, Papa yang berusaha membahagiakan kamu karena Papa sayang sama kamu.” Fabio nampak terluka, itu terlihat jelas dari tatapannya.

“Pah, Sienna nggak bermaksud kayak gitu. Dari awal, Papa selalu menilai buruk tentang Alvaro. Pah, bukan cuma Sienna yang berjuang di hubungan ini, tapi Alvaro juga berjuang.” Sienna menjeda sejenak ucapannya. Dengan lengan kaus panjangnya, Sienna mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau Papa sayang sama Sienna, harusnya Papa bisa coba membuka hati dan menurunkan sedikit ego Papa. Kalau Papa masih kayak gini, sampai kapan pun juga, mungkin Papa nggak bisa nerima Alvaro,” ujar Sienna lagi.

“Sienna, stop memohon ke Papa. Masuk ke kamar kamu. Papa cuma mau yang terbaik untuk kamu. Masih banyak laki-laki yang pantas untuk kamu.” Fabio nampak tidak luluh sedikitpun.

Sekali lagi, airmata Sienna meluncur mulus dari pelupuk matanya. Melihat putrinya menangis demi lelaki yang tidak ia sukai, rasanya dada Fabio seperti dicabik-cabik.

“Sienna nggak mau menjalin hubungan lagi sama laki-laki lain selain Alvaro, Pah. Sienna berhak untuk milih calon pendamping hidup Sienna, karena Sienna yang akan menjalaninya. Sienna cuma mau menikah sekali, dan pastinya dengan orang yang Sienna inginkan.” Setelah mengatakan itu, Sienna segera berlalu dari hadapan Fabio.

Fabio menatap punggung Sienna yang menjauh dengan tatapan nanar. Perasaan Fabio campur aduk. Di satu sisi, Fabio ingin Sienna bahagia dengan lelaki yang diinginkannya. Namun ada ketakutan di diri Fabio atas laki-laki yang menjadi pilihan putrinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭