alyadara

Marsha hari ini kembali datang rumah Alvaro. Marsha berniat mengambil beberapa barangnya yang masih tersisa di sana. Sebagian ada di kamar tidur, kamar yang dulu ditempati olehnya dan Alvaro. Marsha menyapukan matanya ke penjuru ruangan. Dahulu Marsha dan Alvaro mencurahkan kasih di sini. Namun kini semuanya telah 180 derajat berubah.

Marsha selesai dengan kegiatannya memasukkan barang-barang ke satu koper berukuran sedang. Setelah dirasa tidak ada lagi keperluan, Marsha memutuskan melangkah keluar kamar.

Marsha tidak berniat langsung pergi seorang diri. Marsha mencari keberadaan Gio di kamar anaknya.

“Gio? Nak?” panggil Marsha yang belum juga mendapat sahutan.

Marsha kembali mencari ke ruangan lain dan akhirnya menemukan Gio berada di ruang belajar. Gio tidak sendiri di sana, anaknya sedang bermain komputer bersama Alvaro.

Marsha masuk ke ruangan itu dan kehadirannya langsung di sadari oleh Alvaro dan Gio. Kedua lelaki beda generasi itu lantas mengalihkan atensi mereka kepada Marsha.

“Gio, ikut Mama nginep di rumah eyang uti dan eyang kakung, yuk?” ujar Marsha begitu langkahnya sampai di depan Gio dan Alvaro.

Gio tampak bingung memandang Marsha, lalu bergantian ia memandang Alvaro.

Alvaro masih diam di tempatnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya.

“Eyang-eyang pada kangen sama Gio, pengen banget ketemu sama Gio.” Marsha berucap lagi.

“Mama … kenapa eyang baru sekarang kangennya? Mama juga baru pulang ke rumah. Mama kemarin ke mana? Padahal Gio kangen Mama, tapi Mama nggak kangen Gio yaa?” pertanyaan polos itu lolos begitu saja dari bibir kecil Gio.

Marsha nampak gelagapan dan bingung bagaimana harus menjelaskan pada putranya.

“Mama sama Papa berantem ya? Kenapa Mama nggak tinggal di rumah ini lagi?” Gio berujar lagi.

“Engga, Sayang. Mama sama Papa nggak berantem kok,” ujar Marsha dengan suara pelannya.

Begitu Marsha meraih tangan Gio dan akan membawa bocah itu ikut bersamanya, Alvaro dengan cepat menahan satu tangan Gio yang lain.

“Kamu perlu izin aku untuk bawa Gio sama kamu.” Alvaro berucap dengan nada tegasnya.

“Aku nggak perlu izin kamu. Gio anak aku.” Marsha nampak keras kepala.

“Gio juga anak aku,” Alvaro berucap sengit.

“Mama, Papa. Gio nggak mau ikut siapa-siapa. Gio mau Mama di sini aja, biar Gio bisa sama Papa dan sama Mama juga,” ucap Gio dengan polosnya. Bocah itu jelas tidak mengerti tentang kondisi kedua orang tuanya.

“Gio, nggak mau ikut sama Mama? Gio sayang Mama kan, Nak?” tanya Marsha.

“Tapi Gio juga sayang Papa, Mah. Gio nggak mau ninggalin Papa di rumah sendiri,” ucap Gio.

Atmosfer di ruangan itu menjadi begitu dingin serta menakutkan, terutama bagi Alvaro dan Marsha. Tidak ada lagi kehangatan yang seperti dulu menyelimuti mereka. Tidak ada lagi kebahagiaan untuk Gio yang harusnya anak itu dapatkan dari kedua orang tuanya.

“Al, kamu harusnya ngerti. Aku yang melahirkan Gio dan aku ibu kandungnya. Aku kangen anakku dan tolong sekali ini aja, tolong kamu ngertiin aku,” ucap Marsha dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Kalimat Marsha terasa seperti tamparan bagi Alvaro. Kenyataan itu memang benar, apa yang diucapkan Marsha memang benar adanya. Alvaro sudah membuktikannya melalui test DNA, dan faktanya Gio memang bukan darah dagingnya. Namun Alvaro juga tidak bisa jauh dari Gio. Katakan saja Alvaro egois, ia tidak peduli. Alvaro terlalu takut Marsha membawa Gio pergi selamanya darinya.

Tatapan Alvaro lantas turun pada tangannya yang menggenggam tangan Gio. Perlahan-lahan, Alvaro akhirnya melepaskan genggaman itu. Alvaro telah membuat keputusan yang menurutnya paling bijak dan seharusnya ia bisa bersikap lebih dewasa. Di satu sisi, Marsha memang salah sempat meninggalkan kewajibannya sebagai ibu bagi Gio. Namun bagaimana pun, Marsha tetaplah ibu kandung yang telah melahirkan Gio. Gio bisa lahir ke dunia ini berkat perjuangan Marsha, dan Marsha telah rela mempertaruhkan nyawanya untuk Gio.

“Gio, dengerin Papa ya, Nak. Gio ikut Mama untuk nginep di rumah eyang, cuma untuk beberapa hari.” Alvaro berujar, meski hatinya terasa berat kala mengatakannya.

“Gio nggak mau, Papa. Gio maunya sama Papa dan Mama,” ucap Gio.

Alvaro lantas mengambil satu tangan Gio dan kembali menggenggam tangan kecil itu. “Suatu hari Gio akan paham. Papa pasti jelasin ke Gio, tapi Papa nggak bisa jelasin sekarang. Gio akan paham kalau ada beberapa hal yang membuat Papa dan Mama nggak bisa bersama lagi. Gio akan tetap tinggal sama Papa, tapi sesekali Gio ikut sama Mama, oke?”

Gio masih di tempatnya, bocah itu belum beranjak dari sana. Perkataan Alvaro pada Gio hari itu, terasa sangat sulit untuk Gio mengerti. Gio menyayangi kedua orang tuanya. Anak kecil memiliki indera perasa yang kuat dan hati yang murni, jadi cenderung dapat merasakan ketika orang-orang di sekitarnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Gio merasa sedih mengetahui hal itu terjadi pada orang tuanya. Namun Gio tidak bisa memaksa papa dan mamanya untuk bersama, seperti apa yang ia inginkan.

***

Alvaro tidak berpikir kalau rasa sakit di hatinya akan sampai membuat tubuhnya ikut sakit juga. Tepatnya kemarin malam setelah Marsha membawa Gio pergi, rasanya dunia Alvaro runtuh. Seolah-olah, hatinya memberi tahu tubuhnya untuk kemudian membagi rasa sakitnya. Alvaro merindukan Gio, padahal baru satu malam ia tidak melihat anaknya. Rindu ini seperti menghabisi energinya, hingga membuat Alvaro akhirnya jatuh sakit.

Pagi ini Alvaro hanya dapat terbaring di ranjang di kamarnya. Alvaro sudah mengabari Ila bahwa dirinya sakit. Untungnya hari ini Alvaro tidak memiliki jadwal apa pun, jadi waktunya dapat ia gunakan untuk beristirahat. Semalam baru saja Alvaro merasakan tenggorokannya sakit, kini pagi hari terasa semakin parah. Flu mulai menyerangnya dan kepalanya terasa amat pusing. Ditambah lagi, suhu tubuh Alvaro di atas suhu normal manusia sehat, jadi dapat dipastikan Alvaro juga mengalami demam.

Alvaro berniat mengabari Sienna mengenai kondisinya. Namun Alvaro ingat bahwa hari ini Sienna harus menghadiri event penting. Jadi Alvaro memutuskan tidak sekarang menghubungi Sienna, meskipun ia sangat membutuhkan perempuan itu untuk berada di sisinya.

Alvaro mencoba memejamkan matanya. Tidak ada yang dapat ia lakukan saat ini, bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja rasanya otot-ototnya enggan. Sekujur tubuh Alvaro terasa nyeri, jadi Alvaro akan membiarkannya sampai tubuhnya pulih. Alvaro harus pulih dan kembali bangkit. Alvaro tidak ingin karena kelemahannya, ia jadi lengah dengan proses persidangan perceraiannya. Alvaro harus bisa fokus untuk memenangkan hak asuh atas Gio.

***

Sienna mendapat kabar dari Ila bahwa Alvaro tengah sakit. Sienna langsung coba menghubungi Alvaro untuk mengetahui keadaan lelaki itu. Namun Alvaro tidak menjawab telfonnya, membuat Sienna semakin khawatir. Akhirnya Sienna coba menghubungi nomor telfon rumah dan diangkat oleh Gina. Gina pun memberitahu Sienna tentang kondisi Alvaro. Selain itu Gina juga mengabarkan soal Gio yang sedang menginap di rumah orang tua Marsha. Sempat terjadi cekcok sebelum Alvaro mengizinkan Marsha membawa Gio, jadi kemungkinan itulah yang sampai membuat kondisi Alvaro menjadi drop.

Sienna menghampiri manager-nya untuk mengatakan sesuatu. Event yang dihadirinya baru saja selesai dan Sienna berniat berpisah dengan timnya, karena ia harus pergi ke rumah Alvaro. “Mbak, aku nggak pulang bareng tim, ya. Alvaro sakit, aku mau rumahnya,” terang Sienna pada Zahra. Sienna memberi tahu juga bahwa baru kali ini Alvaro jauh dari Gio, jadi kondisi ini pasti berat untuk Alvaro. Setelah diangguki oleh Zahra, Sienna pun pamit. Sienna tidak sempat mengatakan pada timnya yang lain kalau ia harus lebih dulu pergi.

***

Hari ini Sienna seperti mengalami sebuah de javu. Dejavu merupakan suatu kondisi di mana seseorang mengalami situasi yang familiar dengan kondisi sekitarnya. Situasi tersebut seolah-olah sudah pernah dialami di waktu lampau dengan keadaan yang persis sama, padahal apa yang sedang dialami tersebu merupakan pengalaman pertama.

Namun apa yang Sienna alami sedikit berbeda dari definisi dejavu pada umumnya. Sienna mengalami hal yang sama yang pernah ia alami di mimpinya, dan itu terefleksi ke dunia nyata. Hanya saja, Sienna tidak tahu kapan tepatnya mimpinya akan menjadi kenyataan, itulah yang membuat Sienna seringkali hidup dalam kekhawatiran.

Sienna menempuh waktu perjalanan cukup cepat untuk sampai di kediaman Alvaro. Ketika menginjakkan kakinya di rumah megah itu, tempat tersebut terasa amat kosong dan hampa. Kalau biasanya Sienna akan disambut oleh senyum semringah dari Gio atau pelukan hangat dari Alvaro, kini Sienna tidak mendapatkannya.

Sienna hanya bertemu Gina yang baru saja mengantar makanan ke kamar Alvaro. Ini jadwalnya Alvaro makan sore. Alvaro harus tetap makan meski hanya beberapa suap, karena lelaki itu harus meminum obatnya.

“Tadi makan siangnya bapak nggak habis, Bu. Tapi untung udah minum obat,” terang Gina.

Setelah mengatakan hal tersebut pada Sienna, Gina pun berlalu. Sienna lantas melangkah menuju kamar Alvaro.

Sesampainya Sienna di kamar itu, Sienna mendapati situasi yang sama seperti yang ia dapatkan di dalam mimpinya.

Sienna melangkahkan kakinya ke dalam kamar setelah ia menutup pintunya.

Sienna langsung berjalan menuju sebuah ranjang. Begitu langkah Sienna sampai di samping ranjang berukuran king size tersebut, Sienna langsung duduk di tepi ranjang sebelah kiri.

Sienna sejenak mengamati wajah Alvaro. Detik berikutnya, Sienna mengarahkan tangannya untuk menggenggam tangan itu. Sienna seketika merasakan sebuah perasaan sedih di dalam hatinya. Masih sambil menatap wajah tertidur itu, Sienna lantas berujar, “Everything that will happen, I will always beside you, Al. I’ll never let you through this alone.”

Beberapa saat kemudian, Alvaro terlihat mengerjapkan kelopak matanya dan perlahan-lahan netranya mulai terbuka. Alvaro lantas menatap Sienna, sebuah senyum tipis pun tersungging di wajahnya.

Pandangan Alvaro turun mengarah pada tangannya yang digenggam oleh Sienna.

“Kenapa nggak ngabarin gue kalau lo sakit?” tanya Sienna.

“Nanti lo khawatir lagi sama gue.” Alvaro menjawab dengan nada sedikit menggoda, seperti ciri khasnya ketika sedang bersama Sienna.

Sienna langsung mencibir kecil, ia ingin melepaskan genggaman tangannya, tapi Alvaro dengan cepat menahannya.

“Tau dari mana kalau gue sakit?” tanya Alvaro.

“Dari mbak Ila.”

Alvaro seketika menampakkan cengirannya. “Mbak Ila emang paling mengerti gue ya. Tau banget kalau gue cuma butuh lo.”

“Lo juga butuh Gio, Al,” ucap Sienna. Alvaro tidak menjawab, tapi dari tatapan matanya, Sienna tahu bahwa lelaki itu tengah membenarkan ucapannya.

“Al, gue yakin lo bisa memenangkan hak asuh Gio. Lo nggak boleh terlalu lama terpuruk karena ini, lo harus berjuang untuk Gio. Oke?” ujar Sienna.

Alvaro lantas mengangguk sekali, lalu lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya di tangan Sienna.

“Sienna,” ujar Alvaro sembari menatap Sienna dengan tatapan penuh makna. “Gue nggak tau, gue akan sehancur apa kalau lo nggak ada di samping gue. Maafin gue, gue masih sering ngasih rasa sakit buat lo. Maaf kalau gue belum bisa membahagiakan lo.”

Sienna terdiam di tempatnya tanpa dapat mengucapkan apa pun setelah mendengar penuturan itu.

Perkataan Alvaro telah berhasil membuat Sienna begitu tersentuh sisi emosionalnya. Hati Sienna begitu sakit, bukan terhadap permintaan maaf yang diucapkan oleh Alvaro, tapi karena Sienna melihat Alvaro terluka tepat di depan matanya. Sienna merasa bahwa dirinya tidak sanggup mendapati hal tersebut.

“Sienna, please stay with me,” Alvaro menjeda ucapannya sesaat, tampak lelaki itu berusaha menahan diri untuk tidak menangis di hadapan Sienna.

Setelah berhasil mengontrol dirinya, Alvaro akhirnya kembali berujar, “Gue pengen bikin lo bahagia, gue pengen menjadikan lo istri gue dan bunda untuk Gio.”

Sienna lantas mengulaskan senyumnya sembari tidak melepaskan tatapannya dari Alvaro. Sienna pun menatap Alvaro dengan tatapan yang memancarkan sebuah kasih sayang.

Beberapa detik kemudian, Alvaro memberi kecupan kecil di punggung tangan Sienna. “Setelah proses perceraian gue selesai dan orang tua lo ngerestuin kita, gue akan ngelamar lo.” Masih sambil menggenggam tangan Sienna, Alvaro mengulaskan senyum lembutnya dan kembali melanjutkan perkataannya, “Sienna, would you like to marry me?”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, terlihat Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah tampak sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya.

Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati keberadaan Marsha di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu.

Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak kunjung bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal. Sesaat Marsha menyapukan pandangannya ke penjuru kamar ini, kamar yang dibuat Alvaro untuk ditempatinya khusus dengan Sienna.

“Spesial banget ya Sienna di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia? Berapa lama dia ada di hidup kamu, sampai kamu memperlakukan dia sebegininya, hmm?” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu sama sekali, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan kembali berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, tidur di kamar berdua, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka. Alvaro menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya?” Marsha berujar dengan suaranya yang lantang. “Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha.” Alvaro berujar sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, mereka berhadapan dan saling menatap lurus satu sama lain.

“Aku berhak untuk bicara, ini menyangkut anak aku juga. Bukannya kenyataannya emang kayak gitu? Kamu dan Sienna menampilkan hal yang seolah-olah terasa benar di depan Gio,” papar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah begitu saja, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangin hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kalau kamu udah jadi ayah yang gagal, dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakinnya Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja.

Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang harus kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya telah berhasil membuat Alvaro menghentikan langkahnya. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur amarah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Ucapan Marsha membuat jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak, dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk mata.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri.

Alvaro belum bergerak sedikit pun. Di ruangan besar itu, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak-ngoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu, mengetahui bahwa Gio bukanlah anak kandung. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberi cobaan seberat ini untuknya? Dan berbagai pertanyaan 'mengapa' lainnya yang terus berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya.

Ini seperti tamparan kuat bagi Alvaro. Mengetahui seorang yang ia cintai bukan bagian dari dirinya, merupakan perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Nothing Can Be Fixed

Kejadian kembalinya Marsha beberapa hari yang lalu, terasa cukup mengganggu pikiran Alvaro. Selain itu, pikiran Alvaro cukup terdistraksi oleh urusan perceraiannya, meskipun sudah ada kuasa hukumnya yang akan mengurus itu semua. Namun Alvaro mencoba tidak terlalu memikirkannya. Alvaro tidak ingin hal tersebut terlalu berlarut bersarang di kepalanya dan bisa berdampak kurang baik pada pekerjaannya. Terlebih hari ini merupakan premiere film Police Evolution, jadi Alvaro harus tampil prima karena ia akan bertemu dengan banyak orang.

Waktu kini menunjukkan pukul 9 malam, dan acara premiere Police Evolution baru saja selesai. Namun tampak di bioskop masih banyak kerumunan orang, entah apa yang mereka tunggu.

Alvaro sendiri kini tengah berada di salah satu ruangan khusus milik bioskop. Ruangan ini disediakan untuk tempat berkumpulnya para cast film, sutradara, produser, dan beberapa orang penting yang berada di balik suksesnya film Police Evolution.

Alvaro menerima buket bunga yang serahkan oleh asistennya. Ada benda lain juga yang diberikan oleh penggemarnya sebagai ucapan selamat atas tayang perdana film terbarunya.

Beberapa orang yang datang ke acara premiere Police Evolution, tahunya Alvaro datang sendiri ; di saat beberapa lawan mainnya datang bersama pasangan atau keluarga mereka. Padahal sebenarnya Alvaro juga membawa seseorang yang spesial baginya, tapi sayangnya memang dirinya belum bisa menunjukkan orang itu kepada khalayak publik. Alvaro belum bisa mengakui perempuan hebat yang begitu ia kagumi, sosok yang selalu berada di sampingnya dan menjadi sandaran baginya.

Sekitar 30 menit kemudian, satu persatu para pemain mulai berapamitan dari tempat itu. Mereka sebelumnya telah mengambil foto bersama dengan seluruh pemain dan juga para crew.

Police Evolution telah tayang perdana secara sukses dan mendapat respon positif dan dukungan dari masyarakat, khususnya mereka yang merupakan penikmat film action. Para pemain, sutradara, produser, dan para crew tentunya merasa puas dan bangga akan pencapaian yang mereka raih berkat kerja keras mereka.

“Gimana filmnya?” Alvaro bertanya pada Sienna ketika mereka sudah berada dalam perjalanan pulang di mobil.

Malam ini Alvaro membawa Alphardnya dan meminta supirnya untuk menyetir, sementara dirinya dan Sienna duduk berdua di kursi belakang.

Sienna memiringkan sedikit tubuhnya agar ia bisa menghadap Alvaro, kemudian ia berujar, “Filmnya bagus. Gue suka sama plot ceritanya, sama akting pemain-pemainnya juga yang keliatan natural dan bisa mendalami peran masing-masing. Ohiya, terus tempo alurnya nggak kecepatan jadi gampang paham, cinematografinya juga bagus. I think it was a great film, and I’m happy that I can attend to the premiere tonight.”

Alvaro lantas mengulaskan senyum lebarnya, lalu ia bertanya lagi pada Sienna. “Bagian mana yang paling lo suka?”

“Hmmm … bagian mana ya ...” Sienna tampak berpikir, kedua matanya nampak memicing.

Alvaro menunggu Sienna menjawab sembari memandangi paras Sienna. Sienna cantik sekali malam ini. Penampilan kekasihnya itu terlihat sederhana, tapi Alvaro tetap bisa melihat keistimewaan yang terpancar dari sosok di hadapannya ini. Cantik dan elegan, begitulah penggambaran sosok Sienna di mata Alvaro.

“Oh ini. Bagian yang paling gue suka, produsernya tuh nggak salah milih pemain utamanya. IMD kayaknya emang jago banget deh nentuin pemain.”

Alvaro seketika tertawa. Jelas sosok yang dibicarakan Sienna adalah dirinya sendiri. Alvaro merupakan pemeran utama di dalam film itu.

“Sky,” ujar Alvaro setelah tawanya reda. Kini sebuah senyuman kecil tersungging di wajah tampannya.

“Kenapa?”

“Lo cantik banget malam ini,” komentar Alvaro.

Tanpa sadar, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan rumah bertingkat dua yang fameliar. Mereka telah sampai di temapt tujuan, yakni rumah Sienna.

“Oke, makasih. Gue turun dulu kalau gitu,” ujar Sienna.

Wait.” Alvaro menahan Sienna yang akan beranjak dari posisinya. Sienna mengerutkan alisnya. Ia pun memperhatikan Alvaro yang mengeluarkan ponsel dari saku jas hitamnya.

I want to take selfie with you,” ujar Alvaro.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya, ia mengangguk pertanda setuju agar mereka berfoto bersama.

Sienna pun kembali mendekatkan dirinya agar mereka bisa mengambil foto selfie bersama. Sienna menampakkan senyumnya, begitu juga dengan Alvaro. Ketika sudah siap dengan pose masing-masing, Alvaro pun mengambil foto mereka beberapa kali. Akhirnya cukup banyak jepretan foto yang mereka dapatkan.

“Sky, beberapa hari kemarin rasanya cukup berat buat gue. It’s happened and I’m a little bit stress to manage all of this. Tapi gue bisa laluin semuanya dan itu karena lo. You made my day, Sky. Thank you for always being there for me.”

Alvaro tahu Sienna tidak akan membalas perkataannya dengan kata-kata romantis, tapi itu tidak sama sekali menjadi masalah baginya. Setelah perkataan Alvaro itu, Sienna benar-benar pamit untuk turun. Namun sebelum Sienna beranjak dari posisinya, gadis itu memberikan sebuah kecupan singkat di pipi kiri Alvaro.

“Makasih buat malam ini, Al. It is a great night for me,” ucap Sienna sebelum akhirnya gadis itu sungguhan turun dari mobil.

Setelah Sienna turun, Alvaro masih di sana, ia mengarahkan netranya pada setiap pergerakan Sienna. Sienna pun segera masuk ke dalam rumah, karena ia tahu Alvaro masih akan tetap di sana ; paling tidak sampai lelaki itu memastikan Sienna melangkah aman ke dalam rumah.

***

Setibanya Alvaro di kediamannya, Alvaro mendapati Marsha masih berada di sana. Hari ini memang Marsha telah mengatakan pada Alvaro kalau ia ingin bertemu dengan Gio. Alvaro memberi izin untuk Marsha menghabiskan waktu bersama Gio. Alvaro mengatakan Marsha tetap bisa bertemu Gio kapan pun perempuan itu mau.

“Al, aku mau ngomong sama kamu.” Ucapan Marsha seketika menahan langkah Alvaro.

Alvaro

Di ruang keluarga itu, tempat yang sebelumnya Marsha ingat di mana dirinya, Alvaro, dan Gio menghabiskan waktu bersama-sama. Hanya ada canda tawa yang menyelimuti mereka, hanya ada bahagia, tapi kini semuanya jauh berbeda.

“Mau ngomong apa?” tanya Alvaro.

Marsha menatap Alvaro tepat di matanya, tapi Alvaro tidak menatap ke arah yang sama dengan Marsha. Tidak seperti dulu lagi, cara Alvaro memperlakukan Marsha.

“Al, aku tau aku salah karena udah ninggalin kamu dan Gio. Aku minta maaf untuk itu,” ucap Marsha.

“Langsung ke intinya, Sha. Kamu mau bilang apa?” ujar Alvaro yang tampak tidak ingin membuang waktunya.

“Kita bisa coba perbaiki semuanya, Al. Aku mau selalu ada untuk Gio dan juga untuk kamu. Tolong kasih aku kesempatan,” ucap Marsha.

Marsha hanya mendapat angin lalu dari ucapannya. Selama beberapa detik, Alvaro hanya diam. Sampai akhirnya dengusan kecil keluar dari bibir tipis lelaki itu.

Alvaro lantas mengarahkan tatapannya tepat di manik mata Marsha. “Aku emang jadiin Gio prioritas utamaku, dan selamanya kamu tetap ibu kandungnya Gio. Tapi aku juga berhak memilih kebahagiaan untuk aku sendiri. Aku berhak milih pendamping hidup yang aku rasa pantas untuk aku. Selama orang yang aku pilih itu bisa sayang sama Gio layaknya dia sayang sama anaknya sendiri, kamu harusnya tau, aku akan memperjuangkan orang itu. Semua di antara kita udah selesai, nggak ada yang bisa diperbaiki.”

Alvaro menghembuskan napasnya kasar usai mengeluarkan semua kalimat yang perlu ia katakan pada Marsha. Kemudian tanap menunggu apapun, Alvaro berlalu begitu saja dari hadapan Marsha.

Alvaro harus membuat Marsha mengerti bahwa Alvaro bukanlah tempat bagi Marsha untuk ditinggalkan, bukan tempat di mana perempuan itu bisa meminta kembali kapan saja hanya dengan sebuah kata maaf.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Alvaro baru saja selesai mandi. Alvaro lantas mengeringkan rambutnya sampai jadi setengah kering, lalu ia lekas mengenakan pakaiannya dengan lengkap. Tidak lupa, Alvaro mengoleskan body lotion di tubuhnya. Setelah dirasa semuanya beres, Alvaro melenggang dari ruang walk in closet dan langkahnya pun sampai di kamarnya.

Alvaro langsung mendapati Sienna berada di sana, ia pun berjalan menghampiri perempuan itu.

“Gue lama nggak mandinya?” Alvaro bertanya.

“Lumayan,” jawab Sienna.

“Udah ngantuk banget emangnya?” Alvaro terkekeh, lalu ia berjalan menjauhi Sienna untuk mengambil parfum di atas nakas. Alvaro pun menyemprotkan parfum pada beberapa area di tubuhnya, setelah itu ia kembali pada Sienna.

Alvaro langsung mendekap torso Sienna begitu ia sampai di hadapan gadis itu.

“Ngantuk banget,” ujar Sienna, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Alvaro, tampak nyaman berada di posisinya sekarang.

“Sabar dong. Gue kan tadi habis shooting, mandi dulu biar bersih sama wangi,” ujar Alvaro sembari menjalarkan tangannya membelai surai Sienna.

“Oke,” ucap Sienna diiringi tawa kecilnya. Sienna masih betah berada di posisinya, tidak ingin mereka berubah dulu. Sienna menghirup aroma tubuh Alvaro yang segar, perpaduan citrus dan sedikit mint, yang wanginya selalu mampu membuatnya merasa nyaman. Selain itu permukaan kulit Alvaro yang terasa halus juga selalu membuat Sienna candu ketika mereka bersentuhan. Penampilan Alvaro yang selalu prima ketika bersamanya, sukses menyenangkan hati Sienna.

Selang beberapa detik kemudian, Sienna dan Alvaro memutuskan untuk membaringkan tubuh mereka di kasur.

Mereka posisinya berhadapan, Sienna meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya, lalu ia menanyakan sesuatu pada Alvaro. “Gimana? Pak Herdian udah ada ngasih kabar lagi tentang Marsha?”

“Belum. Terakhir cuma beliau ngabarin kalau sempat ketemu sama Marsha, buat minta uang tagihan sewa. Oh iya, kuasa hukum gue udah nemuin bukti yang bisa bikin gue menangin hak asuh Gio di pengadilan nanti.”

Alvaro telah mengatakan pada Sienna sebelumnya, bahwa keputusannya sudah bulat untuk melayangkan gugatan cerai kepada Marsha. Alvaro ingin cepat bercerai dari Marsha setelah tahu bahwa Marsha meninggalkan rumah demi bersama lelaki lain.

Sienna sudah tau bukti yang dimaksud oleh Alvaro, tanpa harus bertanya lebih jauh. Bukti yang Alvaro dapatkan itu, memang sangat berpotensi besar membuat Alvaro memenangkan hak asuh Gio di pengadilan. Semua yang perlahan-lahan terungkap, terlihat sama persis dengan yang didapati Sienna di dalam mimpinya.

“Al, sidang mediasi pertamanya kapan?” Sienna bertanya.

“Kuasa hukum gue udah ngajuin pembuatan surat gugatan cerai ke pengadilan, tinggal nunggu dikirim berkasnya ke pihak tergugat. Jadi sidang mediasi pertamanya kira-kira minggu ini atau minggu depan,” terang Alvaro.

Sienna lantas mengangguk. Setelah percakapan tersebut, mereka tidak lagi membahas persoalan itu.

“Sky,” ujar Alvaro.

“Hmm?”

I have lost my respected for her,” ujar Alvaro. Dari raut wajahnya, tergambar jelas kekecewaan yang begitu dalam.

Tanpa Alvaro mengatakan siapa yang ia maksud dalam kalimatnya barusan, Sienna sudah mengetahui siapa sosok tersebut.

“Kalau dia mau pisah sama gue, bisa pisah secara baik-baik. Bukan dengan pergi kayak gini tanpa kejelasan. Harusnya dia mikirin perasaan anaknya. Dia ibu kandungnya Gio, tapi sikapnya nggak mencerminkan itu.”

Sienna tidak berniat untuk berkomentar, ia membiarkan dulu Alvaro mencurahkan perasaannya sampai selesai.

“Anaknya butuh dia, harusnya dia tau itu, kan?” ucap Alvaro lagi. Dari nada bicaranya, terdengar kekecewaan yang besar. Ada harapan yang telah dihancurkan dan ada kepercayaan yang telah dikhianati.

“Sky, gue nggak mau jadi orang tua yang gagal buat Gio. Gue juga nggak mau Gio membenci Marsha dan menganggap kalau Marsha ibu yang gagal buat dia.”

“Al, lo nggak gagal dan nggak akan gagal. Lo adalah papa yang hebat buat Gio. Gimana pun nanti, Marsha tetep ibu kandungnya Gio. Ikatan darah itu kuat banget dan nggak bisa dipisahin. Gue yakin, Marsha sayang banget sama Gio. Sebaliknya, Gio juga akan tetap sayang sama Marsha, karena emang seharusnya kaya gitu.”

Alvaro lantas mengangguk. Lelaki itu nampak memejamkan matanya sejenak, kedua alisnya bertaut, dan jemarinya bergerak memijat pangkal hidungnya.

Tidak lama kemudian, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk mulai memejamkan mata setelah saling mendekap. Namun tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu kamar sebanyak dua kali.

“Gue aja yang buka pintunya,” ujar Sienna mendahului Alvaro. Sienna pun beranjak dari posisinya dan lekas membuka pintu.

“Bunda,” ujar sebuah suara begitu pintu dibuka.

“Gio boleh masuk? Gio mau nunjukin Papa sama Bunda sesuatu,” ucap Gio di sana.

“Boleh dong, Sayang. Ayo, sini. Gio mau nunjukin apa emangnya?” Sienna lantas menutup pintunya setelah Gio melangkah masuk. Gio sudah berlari menuju kasur.

“Papa, liat nih hasil gambar Gio,” seru Gio yang nampak antusias. Sienna pun menyusul ke kasur dan mengambil tempat di samping Alvaro, sementara Gio berada di samping Sienna. Alvaro dari samping mendekap bahu Sienna, mereka tengah bersama memperhatikan buku gambar yang ditunjukkan oleh Gio.

Gio membuka buku gambarnya, lalu ia memperlihatkan salah satu halaman yang ada di sana. Di kertas itu menampakkan gambar 3 orang yang dibuat dengan crayon warna-warni, dan Gio mengatakan ini adalah hasil gambar yang dibuatnya.

“Nih, ini Papa,” ujar Gio sembari menunjuk gambar seorang pria berambut hitam pendek dan bertubuh tinggi. “Ini Gio, terus ini Bunda,” lanjut Gio sembari menunjuk dua orang lagi yang berada di samping Alvaro. Gio digambarkan sebagai sosok anak lelaki kecil dengan senyum lebar. Sienna digambarkan sebagai perempuan dengan bibir pink dan berambut panjang.

“Gio dapet tugas pelajaran seni untuk gambar keluarga. Bagus nggak gambarnya?” tanya Gio, anak itu bergantian menatap Alvaro dan Sienna.

“Coba Papa mau liat lebih deket,” Alvaro mengambil alih buku gambar itu dari Gio.

Alvaro lantas memperhatikan gambar itu, sebuah senyum seketika juga mengembang di wajahnya. “Bagus gambarnya,” ujar Alvaro.

“Terima kasih, Papa,” ujar Gio yang senang karena mendapat komentar positif.

Kemudian secara bergantian, Sienna juga ingin melihat gambar itu dari dekat. Di bawah gambar miliknya, Sienna mendapati tulisan ‘Bunda Sienna’ yang kemudian terdapat bentuk hati di samping namanya.

“Gambar Gio bagus banget,” komentar Sienna, senyumnya pun mengembang secara otomatis.

“Terima kasih Bunda,” ucap Gio dengan ekspresi senangnya.

Di tengah-tengah suasana itu, tiba-tiba saja terdengar suara keributan dari luar kamar. Alvaro dan Sienna lantas saling bertukar pandang. Alvaro pun mengatakan ia yang akan mengeceknya ke luar. Mungkin saja terjadi sesuatu, dan apa pun itu sebaiknya cepat ditangani.

Saat Alvaro baru saja akan bangun dari posisi duduknya, pintu kamar tiba-tiba telah dibuka. Tepat di ambang pintu, Alvaro jelas mendapati sosok Marsha berada di sana. Detik berikutnya, kehadiran Marsha disusul oleh Gina dan Aufar.

Gina dan Aufar, dua orang yang bekerja di rumahnya itu nampak bingung dengan situasi yang kini tengah terjadi. Alvaro lantas menduga bahwa keributan kecil tadi disebabkan oleh kedatangan Marsha yang tiba-tiba.

Alvaro memang memerintahkan orang-orangnya untuk selalu menjaga keamanan rumahnya, dan ada beberapa nama yang memang perlu mendapat izinnya sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Alvaro masih menatap lurus ke arah Marsha ketika Marsha melangkahkan kakinya memasuki kamar itu. Marsha menatap tepat pada Alvaro, lalu ia berujar, “Kenapa semua orang yang kerja di rumah ini ngehalangin aku buat masuk? Kenapa, Al?”

Tatapan Marsha tentu saja langsung tertuju pada sosok di samping Alvaro. Seorang perempuan yang ia kenal, kini berada di sisi Alvaro dan terlebih, anaknya juga berada di sana. Mereka nampak akrab dan dekat, membuat tanda tanya besar muncul di benak Marsha.

“Al … ini apa maksudnya?” Marsha berucap dengan nada pelannya, tatapannya masih setia menatap pada Sienna dan Gio yang berada di samping Alvaro.

Alvaro lantas beranjak dari posisinya dan menghampiri Marsha. Marsha dapat merasakan bahwa tatapan Alvaro padanya terasa dingin dan tidak bersahabat.

“Kita ngomong di luar,” ujar Alvaro dengan nada suaranya yang terdengar tegas.

“Kita ngomong di sini aja. Apa maksudnya semua ini?” Marsha bersikap keras kepala dan berusaha mempertahankan egonya.

“Marsha, kita ngomong di luar. Kamu mau anak kamu denger?” Alvaro berujar pelan di dekat Marsha. Alvaro lantas berlalu begitu saja dari hadapan Marsha. Alvaro berjalan melewati Gina dan Aufar yang masih berdiri di ambang pintu.

Beberapa detik kemudian, Marsha pada akhirnya menurut dan mengikuti langkah Alvaro keluar dari kamar.

Sementara di kamar itu, Sienna mencoba berpikir jernih di tengah suasana kacau dan tidak terprediksi ini. Namun sebenarnya Sienna sudah tau bahwa suatu hari Marsha memang akan kembali, seperti yang Sienna lihat di dalam mimpinya.

Detik berikutnya terdengar suara keributan dari arah luar yang mana itu merupakan suara Alvaro dan Marsha. Ini situasi yang tidak baik, terlebih untuk disaksikan oleh Gio. Sienna lantas berbicara dengan Gio. “Gio, ikut sama Bunda dulu yaa, Nak?”

“Emangnya kita mau ke mana Bunda?” Gio bertanya pada Sienna.

Sienna tidak memiliki ide di kepalanya untuk menjawab Gio, tapi ia tidak mungkin membiarkan Gio berada di sini dan mendengar keributan yang terjadi di antara kedua orang tuanya.

“Papa sama mamanya Gio lagi ada urusan penting, jadi kita harus kasih waktu untuk mereka. Gio ikut sama Bunda yuk, nanti kita beli mainan. Gimana?” ujar Sienna mencoba memberi pemahaman pada Gio.

Gio tampak tidak mengrti, tapi akhirnya anak itu menurut saja pada Sienna. Sulit dipahami oleh Gio atas apa yang terjadi di depan matanya. Namun Gio dapat merasakan bahwa orang tuanya sedang tidak baik-baik saja.

Akhirnya Sienna dan Gio keluar dari kamar. Sienna meminta tolong pada Gina untuk ikut bersamanya dengan Gio dan mereka akan melewati pintu belakang. Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, suara Marsha yang cukup terdengar keras langsung membuat Gio menghentikan langkahnya. Gio seketika melepaskan genggaman Sienna di tangannya lalu anak itu berlari dari Sienna.

“Gio,” Sienna memanggil Gio, tapi tidak mendapatkan Gio kembali padanya.

“Gina, kamu tunggu di sini dulu sebentar. Saya mau susul Gio,” ucap Sienna pada Gina sebelum melangkahkan kakinya untuk menyusul Gio.

Sienna tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika ia sampai di ruang tamu. Dari jarak beberapa meter, Sienna memperhatikan yang terjadi di depan matanya. Di sana Alvaro dan Marsha masih berdebat, dan Gio berada di tengah-tengah mereka, anak itu tengah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.

“Kamu bawa perempuan lain ke rumah, bahkan kamu buat kamar baru dan ninggalin kamar lama kita. Harusnya posisi itu adalah posisi aku, Al. Sienna nggak punya hak untuk ngerebut posisi aku. Aku istri kamu dan aku ibu kandungnya Gio, itu nggak akan berubah,” ujar Marsha.

“Marsha, kamu yang nggak berhak untuk ngomong kayak gitu,” ucap Alvaro disertai tatapannya yang memancarkan amarah. Kulit wajah Alvaro nampak memerah, rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam kepada Marsha.

Alvaro lantas menoleh ketika menyadari kehadiran Gio di sana. Anaknya itu tengah menyaksikan keributan di antaranya dirinya dan Marsha.

“Gio, Papa sama Mama lagi bicara. Gio ke kamar dulu ya,” tutur Alvaro kepada Gio dengan suaranya yang dipelankan. Namun Gio hanya membalas Alvaro dengan sebuah gelengan. Anak itu tampak keras kepala.

“Mama nggak boleh ngomong kayak gitu!” Gio tiba-tiba berteriak sambil menatap ke arah Marsha.

DEG.

Alvaro dan Marsha seketika tertegun dengan kalimat yang meluncur dari bibir kecil Gio. Begitu Marsha berlutut di hadapan Gio dan ingin meraih Gio ke pelukannya, anaknya itu justru mundur beberapa langkah dan tidak mau menerimanya.

“Mama ngomongnya gak sopan. Mama nggak boleh kayak gitu ke Bunda Sienna. Gio gak suka sama Mama!!” Gio berteriak lagi. Bahkan kali ini anak itu tampak marah, terbukti dengan kulit wajahnya yang memerah, kontras dengan kulit putihnya.

Rentetan kalimat yang Marsha dengar dari Gio, seketika membuat Marsha mematung. Terlebih Gio membentaknya, hal yang sama sekali tidak pernah Marsha bayangkan akan terjadi di hidupnya.

“Gio, nggak boleh teriak sama Mama.” Alvaro dengan cepat mengingatkan anaknya.

Mendengar ucapan tersebut keluar dari bibir Alvaro, Gio pun dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. Gio menatap Alvaro dengan tatapan terluka. Menurutnya Alvaro baru saja memarahinya, jadi anak itu langsung berbalik dan berlari dari sana.

Gio kembali menghampiri Sienna yang berada tidak jauh dari tempat kejadian. “Bunda, Papa marahin Gio, padahal Mama yang nakal,” ucap Gio mengadu pada Sienna. Sienna lantas mensejajarkan posisinya dengan Gio, ia berlutut di depan Gio. Gio dengan cepat memeluk Sienna, dan Sienna berusaha menenangkannya dengan kalimat-kalimatnya dan usapan lembut di punggung kecil Gio.

Marsha yang mendapati kejadian itu di depannya pun tidak kuasa menahan dadanya yang terasa sesak. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar yang tengah menghimpit jantungnya. Marsha melihat sendiri dengan kedua matanya, bahwa anaknya lebih memilih perempuan lain dibandingkan dirinya.

Gio berada bersama Sienna dan setelah cukup tenang, anak itu akhirnya mau diajak pergi oleh Gina. Sienna mengatakan bahwa ia akan menyusul Gio, tapi ia perlu bicara dulu dengan Alvaro.

Alvaro lantas menghampiri Sienna. “Sienna, lo sama Gio mau ke mana?” Alvaro bertanya.

Sienna dengan ada tenangnya lantas mengatakan pada Alvaro. “Al, lo selesaiin dulu ini sama Marsha. Keadaannya cukup nggak kondusif, jadi gue pikir sebaiknya Gio nggak di sini dulu.”

Alvaro pun setuju dengan ide tersebut. Nyatanya memang tidak baik jika anaknya harus menyaksikan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

“Sienna, hati-hati. Nanti tolong kabarin gue,” ucap Alvaro yang lantas diangguki oleh Sienna. Sienna paham Alvaro pasti khawatir dengan kondisi Gio yang kembali tantrum. Sienna mengatakan ia akan memastikan Gio aman bersamanya, dan sebisa mungkin Gio dapat kembali baik lagi.

Setelah Sienna berlalu dari hadapan Alvaro, Alvaro pun kembali menghampiri Marsha.

“Aku akan menggugat cerai kamu,” ucap Alvaro dengan gamblang. Alvaro mengatakannya sembari menatap Marsha tepat di manik matanya. Perkataan Alvaro terdengar pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun dari nada bicaranya.

Marsha masih diam, berusaha mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari lelaki di hadapannya.

“Marsha, aku tegasin sesuatu sama kamu.” Alvaro menjeda perkataannya, ia menghela nafasnya sejenak.

Masih sambil menatap Marsha, akhirnya Alvaro melanjutkan perkataannya. “Kamu udah ninggalin kewajiban kamu sebagai istri dan ibu untuk Gio, jadi kamu nggak berhak meminta hak kamu di rumah ini. Satu hal lagi, kamu nggak ada hak untuk bilang kalau Sienna adalah perebut. Sienna datang setelah kamu pergi, seharusnya kamu jaga ucapan kamu, apalagi di depan Gio. Kayak yang kamu liat barusan, Gio berubah sejak kamu pergi, dia nggak baik-baik aja. Gio bisa lebih baik dan itu karena Sienna, jadi harusnya kamu berterima kasih sama Sienna.”

Alvaro menjeda ucapannya selama beberapa detik. Alvaro menghembuskan nafasnya kasar. Sebelum memutuskan berlalu dari hadapan Marsha, Alvaro berujar lagi, “Ada yang mau kamu sampaikan? Kalau nggak ada, pembicaran kita udah selesai sampai di sini.”

Marsha tidak kunjung menjawab, dan artinya Alvaro menilai bahwa tidak ada yang ingin Marsha bicarakan lagi dengannya. Alvaro pun berlalu dari sana, tapi tiba-tiba Marsha menahan lengannya.

“Kamu nggak bisa gugat cerai aku, Al,” ujar Marsha.

Alvaro berbalik dan melihat ke arah tangan Marsha yang menggenggam lengannya. Lantas dengan pelan, Alvaro melepaskan genggaman itu. Marsha nampak terkejut dengan sikap Alvaro yang seolah begitu enggan terhadapnya.

“Aku bisa dan aku berhak untuk menggugat cerai kamu. Jangan kamu pikir aku diem aja selama kamu pergi. Aku udah tau semuanya, dan aku nggak akan ngubah keputusan aku,” ujar Alvaro.

“Maksud kamu?”

“Kamu bisa liat sendiri nanti, aku akan bawa bukti untuk memenangkan hak asuh atas Gio. Surat gugatan cerai secepatnya akan dikirim ke kuasa hukum kamu.”

Mendengar rentetan pernyataan tersebut, Marsha jelas tampak terkejut. Alvaro tidak mengatakan pada Marsha soal bukti itu, yang mana jelas semakin membuat Marsha merasa kalut.

Marsha bertekad kuat memenangkan hak asuh Gio. Marsha tidak ingin berpisah dari anaknya. Marsha pikir ia masih memiliki kesempatan, karena menurut aturan hukum—ketika orang tua bercerai—maka hak asuh anak yang masih di bawah umur jatuh ke tangan ibunya.

Marsha pun dibuat penasaran tentang bukti apa yang dimiliki oleh Alvaro, hingga pria itu begitu yakin bisa memenangkan hak asuh Gio di pengadilan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Bibir itu kembali mengecup belah bibirnya. Entah sudah berapa kali, dan sudah berapa banyak tanda kemerahan yang lelaki itu buat di sekitar leher Marsha, ada juga beberapa yang tersemat di bagian puncak dada sintalnya.

Kecupan itu pun dengan cepat berubah menjadi lumatan yang kuat. Terlihat Marsha tidak sanggup mengimbangi tempo si lelaki berbadan kekar dan besar yang tengah mencumbunya itu.

Setelah beebrapa menit pergulatan bibir brutal itu, kini lelaki itu lagi-lagi memperkuat ciumannya. Kemudian kedau lengan kekarnya mengangkat tubuh Marsha untuk digendong. Seperti karung beras, begitulah lelaki itu membawa Marsha menuju kamar mandi.

“Raf, sakit … ahhh …” rintih Marsha bercampur dengan lenguhan yang lolos mulus dari bibir penuhnya. Lelaki itu baru saja meremas kedua buah dadanya, bahkan sempat memberikan gigitan kecil di sana.

“Ini belum seberapa, Marsha,” bisik lelaki itu di dekat telinga kiri Marsha.

Sesampainya mereka di kamar mandi, lelaki yang dipanggil ‘Raf’ oleh Marsha itu segera mengunci pintunya. Kemudian lelaki itu menyalakan air shower dan menarik lengan Marsha agar bersama dengannya berada di bawah kucuran air dingin itu.

At bathroom

“Kamu mau ngapain?” tanya Marsha dengan suara lemahnya.

Lelaki itu menatap wajah Marsha lekat, tatapannya pun bergerak pelan-pelan, seakan ia sedang menjelajahi setiap inci paras Marsha.

“Lakuin di sini,” ujar lelaki itu.

“Lakuin apa?” Marsha bertanya.

“Lakuin itu pakai mulut kamu, Marsha,” lanjutnya.

Marsha yang lantas mengerti maksud lelaki di hadapannya ini, seketika terdiam dan tercekat. Pandangan Marsha turun ke bawah, dan ia mendapati bahwa milik lelaki itu sudah mengeras.

“Aku nggak mau, Raf,” Marsha berujar tegas.

“Marsha, kamu tau kan resikonya kalau kamu nolak permintaan aku, hmm?” sinis lelaki itu.

Helaan nafas panjang seketika lolos dari bibir Marsha. Tidak menunggu lama, lelaki itu meraih rahang Marsha dengan sastu tangannya. Mau tidak mau, Marsha menatap wajah lelaki itu. Hati Marsha tiba-tiba terasa sakit, karena tiba-tiba ia teringat anaknya begitu melihat paras lelaki di hadapannya ini.

Akhirnya Marsha mengangguk. Marsha menuruti lelaki itu. Marsha melakukannya, sesuai dengan yang diperintah oleh lelaki itu. Marsha lantas merendahkan posisinya, ia menumpu tubuhnya dengan kedua lutut, lalu perlahan ia mulai melakukannya dengan mulutnya. Seperti menikmati es krim, Marsha mengulum milik lelaki itu.

Setelah selama 5 menit kegiatan itu berlangsung, Marsha pun menyudahinya. Lelaki itu tampak mengulaskan senyum puasnya mendapati apa yang ia inginkan.

“Kita lanjut lagi di kamar,” ucap lelaki itu.

“Lanjut apa?” Marsha bertanya dengan nada yang terdengar sedikit khawatir.

Kedua mata bulat lelaki itu menatap Marsha dengan tatapan menyeringai, lalu ia berujar di dekat Marsha, “I want to be in you, Marsha. He could do the same thing with you, but I knew you will always comeback to me.”

***

At bedroom

Terdengar suara bel pintu yang menginterupsi kegiatan kedua sejoli yang sedang berada di atas ranjang itu. Kira-kira sudah sebanyak 3 kali, bunyi mereka mendengar bunyi tersebut.

“Buka pintunya,” ujar lelaki yang lantas membiarkan Marsha pergi dari kungkungannya.

Marsha cepat-cepat mengambil pakaiannya yang berceceran di lantai. Setelah dengan rapi memakai stelan bajunya, Marsha berjalan meninggalkan kamar untuk membuka pintu.

Saat Marsha melihat dari layar pemantau yang mengarah ke luar, Marsha seketika nampak tercekat. Namun ia tidak bisa terus menghindar. Akhirnya Marsha membuka pintunya. Marsha kemudian langsung berhadapan dengan seorang pria berusia 40 tahunan yang merupakan pemilik unit apartemen yang jadi kediamannya.

“Langsung saja saya katakan ya, Mbak Marsha. Saya ke sini ingin menagih uang sewa apartemen, karena waktu gadai perhiasan yang Mbak gadaikan ke saya sudah habis. Jadi sesuai kesepakatan, barangnya jadi milik saya. Untuk tagihan bulan ini, Mbak perlu membayar karena juga sudah lewat batas waktunya,” jelas lelaki di hadapan Marsha.

“Pak Herdian, tolong kasih keringanan. Tolong kasih waktu, saya pasti bayar,” ucap Marsha dengan nada memohon.

“Saya kasih waktu kalau begitu, tapi cuma dua hari. Kalau lusa masih belum bisa melunasi, Mbak harus keluar dari apartemen saya.” Setelah mengatakan itu, Herdian pun berlalu dari hadapan Marsha. Marsha terdiam di tempatnya selama beberapa detik. Pikiran Marsha kini terasa penuh, otaknya tidak dapat berpikir dan menemukan cara untuk mendapat uang.

Marsha memutuskan kembali masuk ke dalam setelah menutup pintunya. Begitu Marsha sampai di ruang tamu, ia mendapati Rafandra berada di sofa. Lelaki itu tengah menatap Marsha, tatapannya seperti biasa. Selalu netra itu menatapnya seperti ingin menelanjanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Raf, kita bakal diusir dari sini kalau dalam dua hari nggak lunasin biaya sewa,” ujar Marsha.

Rafandra masih diam, lelaki itu malah hendak berlalu dari Marsha. Namun dengan cepat Marsha menahan lengannya.

“Selama ini aku yang udah bayar uang sewa dan biayain hidup kita. Tapi kamu, ngapain? Kerjaan kamu tiap hari cuma habisin uang untuk hiburan kamu di luar sana,” ucap Marsha.

Rafa lantas menyentak pegangan Marsha di lengannya. “Emang itu tugas kamu, Sha. Kalau kamu nggak mau, kamu udah tau konsekuensinya.”

“Raf …” Marsha berucap lirih. Matanya nampak berkaca-kaca. Rasanya percuma bicara dengan lelaki di hadapannya ini.

“Sha, denger ya. Aku nggak peduli sekalipun kamu memohon dan nangis di depan aku. Dari awal, kamu yang memilih untuk memulai hubungan ini. You left him for me, remember that?”

Marsha seketika dubuat terdiam seribu bahasa. Kedua irisnya menatap Rafa dengan tatapan nyalang, yang hanya dibalas Rafa dengan decakan kecil yang lolos dari bibirnya.

Rafa lantas mendekat pada Marsha dan berujar di dekatnya, “Oh iya, kamu harusnya tau di mana kamu bisa dapet uang. Kamu kan masih punya orang tua dan juga suami. Terutama suami kamu, dia punya banyak uang dan kamu punya hak karena kamu adalah istrinya. Silakan aja kamu balik ke dia, tapi inget, aku selalu tau cara untuk bikin kamu balik lagi ke aku.”

Setelah mengatakannya, Rafa berlalu begitu saja dari hadapan Marsha.

Marsha masih berdiri di tempatnya selama beberapa detik. Kemudian tanpa Marsha sadari, air mata telah mengalir begitu saja membasahi pipinya. Isakan kecil juga lolos dari bibirnya, dan itu terus berlangsung bersamaan dengan kedua bahunya yang tampak bergetar.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Bibir itu kembali mengecup belah bibirnya. Entah sudah berapa kali, dan sudah berapa banyak tanda kemerahan yang lelaki itu buat di sekitar leher Marsha, ada juga beberapa yang tersemat di bagian puncak dada sintalnya.

Kecupan itu pun dengan cepat berubah menjadi lumatan yang kuat. Terlihat Marsha tidak sanggup mengimbangi tempo si lelaki berbadan kekar dan besar yang tengah mencumbunya itu.

Setelah beebrapa menit pergulatan bibir brutal itu, kini lelaki itu lagi-lagi memperkuat ciumannya. Kemudian kedau lengan kekarnya mengangkat tubuh Marsha untuk digendong. Seperti karung beras, begitulah lelaki itu membawa Marsha menuju kamar mandi.

“Raf, sakit … ahhh …” rintih Marsha bercampur dengan lenguhan yang lolos mulus dari bibir penuhnya. Lelaki itu baru saja meremas kedua buah dadanya, bahkan sempat memberikan gigitan kecil di sana.

“Ini belum seberapa, Marsha,” bisik lelaki itu di dekat telinga kiri Marsha.

Sesampainya mereka di kamar mandi, lelaki yang dipanggil ‘Raf’ oleh Marsha itu segera mengunci pintunya. Kemudian lelaki itu menyalakan air shower dan menarik lengan Marsha agar bersama dengannya berada di bawah kucuran air dingin itu.

At bathroom

“Kamu mau ngapain?” tanya Marsha dengan suara lemahnya.

Lelaki itu menatap wajah Marsha lekat, tatapannya pun bergerak pelan-pelan, seakan ia sedang menjelajahi setiap inci paras Marsha.

“Lakuin di sini,” ujar lelaki itu.

“Lakuin apa?” Marsha bertanya.

“Lakuin itu pakai mulut kamu, Marsha,” lanjutnya.

Marsha yang lantas mengerti maksud lelaki di hadapannya ini, seketika terdiam dan tercekat. Pandangan Marsha turun ke bawah, dan ia mendapati bahwa milik lelaki itu sudah mengeras.

“Aku nggak mau, Raf,” Marsha berujar tegas.

“Marsha, kamu tau kan resikonya kalau kamu nolak permintaan aku, hmm?” sinis lelaki itu.

Helaan nafas panjang seketika lolos dari bibir Marsha. Tidak menunggu lama, lelaki itu meraih rahang Marsha dengan sastu tangannya. Mau tidak mau, Marsha menatap wajah lelaki itu. Hati Marsha tiba-tiba terasa sakit, karena tiba-tiba ia teringat anaknya begitu melihat paras lelaki di hadapannya ini.

Akhirnya Marsha mengangguk. Marsha menuruti lelaki itu. Marsha melakukannya, sesuai dengan yang diperintah oleh lelaki itu. Marsha lantas merendahkan posisinya, ia menumpu tubuhnya dengan kedua lutut, lalu perlahan ia mulai melakukannya dengan mulutnya. Seperti menikmati es krim, Marsha mengulum milik lelaki itu.

Setelah selama 5 menit kegiatan itu berlangsung, Marsha pun menyudahinya. Lelaki itu tampak mengulaskan senyum puasnya mendapati apa yang ia inginkan.

“Kita lanjut lagi di kamar,” ucap lelaki itu.

“Lanjut apa?” Marsha bertanya dengan nada yang terdengar sedikit khawatir.

Kedua mata bulat lelaki itu menatap Marsha dengan tatapan menyeringai, lalu ia berujar di dekat Marsha, “I want to be in you, Marsha. He could do the same thing with you, but I knew you will always comeback to me.”

***

At bedroom

Terdengar suara bel pintu yang menginterupsi kegiatan kedua sejoli yang sedang berada di atas ranjang itu. Kira-kira sudah sebanyak 3 kali, bunyi mereka mendengar bunyi tersebut.

“Buka pintunya,” ujar lelaki yang lantas membiarkan Marsha pergi dari kungkungannya. Marsha cepat-cepat mengambil pakaiannya yang berceceran di lantai. Setelah dengan rapi memakai pakaiannya, Marsha berjalan meninggalkan kamar untuk membuka pintu.

Saat Marsha melihat dari layar pemantau yang mengarah ke luar, Marsha seketika nampak tercekat. Namun ia tidak bisa terus menghindar. Akhirnya Marsha membuka pintunya. Marsha kemudian langsung berhadapan dengan seorang pria berusia 40 tahunan yang merupakan pemilik unit apartemen yang jadi kediamannya.

“Langsung saja saya katakan ya, Mbak Marsha. Saya ke sini ingin menagih uang sewa apartemen, karena waktu gadai perhiasan yang Mbak gadaikan ke saya sudah habis. Jadi sesuai kesepakatan, barangnya jadi milik saya. Untuk tagihan bulan ini, Mbak perlu membayar karena juga sudah lewat batas waktunya,” jelas lelaki di hadapan Marsha.

“Pak Herdian, tolong kasih keringanan. Tolong kasih waktu, saya pasti bayar,” ucap Marsha dengan nada memohon.

“Saya kasih waktu kalau begitu, tapi cuma dua hari. Kalau lusa masih belum bisa melunasi, Mbak harus keluar dari apartemen saya.” Setelah mengatakan itu, Herdian pun berlalu dari hadapan Marsha. Marsha terdiam di tempatnya selama beberapa detik. Pikiran Marsha kini terasa penuh, otaknya tidak dapat berpikir dan menemukan cara untuk mendapat uang.

Marsha memutuskan kembali masuk ke dalam setelah menutup pintunya. Begitu Marsha sampai di ruang tamu, ia mendapati Rafandra berada di sofa. Lelaki itu tengah menatap Marsha, tatapannya seperti biasa. Selalu netra itu menatapnya seperti ingin menelanjanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Raf, kita bakal diusir dari sini kalau dalam dua hari nggak lunasin biaya sewa,” ujar Marsha.

Rafandra masih diam, lelaki itu malah hendak berlalu dari Marsha. Namun dengan cepat Marsha menahan lengannya.

“Selama ini aku yang udah bayar uang sewa dan biayain hidup kita. Tapi kamu, ngapain? Kerjaan kamu tiap hari cuma habisin uang untuk hiburan kamu di luar sana,” ucap Marsha.

Rafa lantas menyentak pegangan Marsha di lengannya. “Emang itu tugas kamu, Sha. Kalau kamu nggak mau, kamu udah tau konsekuensinya.”

“Raf …” Marsha berucap lirih. Matanya nampak berkaca-kaca. Rasanya percuma bicara dengan lelaki di hadapannya ini.

“Sha, denger. Aku nggak peduli sekalipun kamu memohon dan nangis di depan aku. Dari awal, kamu yang memilih untuk memulai hubungan ini. You left him for me, remember that?”

Marsha seketika dubuat terdiam seribu bahasa. Kedua irisnya menatap Rafa dengan tatapan nyalang, yang hanya dibalas Rafa dengan decakan kecil yang lolos dari bibirnya.

Rafa lantas mendekat pada Marsha dan berujar di dekatnya, “Oh iya, kamu harusnya tau di mana kamu bisa dapet uang. Kamu kan masih punya orang tua dan juga suami. Terutama suami kamu, dia punya banyak uang dan kamu punya hak karena kamu adalah istrinya. Silakan aja kamu balik ke dia, tapi inget, aku selalu tau cara untuk bikin kamu balik lagi ke aku.”

Setelah mengatakannya, Rafa berlalu begitu saja dari hadapan Marsha.

Marsha masih berdiri di tempatnya selama beberapa detik. Kemudian tanpa Marsha sadari, air mata telah mengalir begitu saja membasahi pipinya. Isakan kecil juga lolos dari bibirnya, dan itu terus berlangsung bersamaan dengan kedua bahunya yang tampak bergetar.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sienna sudah memikirkan secara matang, sebelum akhirnya memutuskan memberitahu Alvaro mengenai mimpinya. Bagi Sienna, tidak mudah untuk melakukannya. Namun Sienna berpikir ini adalah waktu yang tepat, dan sudah seharusnya Alvaro tahu. Sienna akan menceritakan mimpi yang didapatnya mengenai Marsha.

Pagi ini, Sienna dan Alvaro mengantar Gio ke sekolah. Setelah itu, mereka menikmati sarapan bersama, dan Sienna akan mengatakan tentang mimpinya kepada Alvaro usai mereka makan.

Sienna meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya yang tampak sudah bersih. Usai meneguk minuman di gelasnya, Sienna menatap Alvaro lurus-lurus, “Al, maaf gue baru bisa ceritain ini ke lo sekarang. Mimpi yang gue dapet adalah soal keberadaan Marsha.”

Selesai kalimat yang diucapkan oleh Sienna, kedua pupil mata Alvaro pun nampak melebar. Terang saja, lelaki itu terkejut akan kalimat yang disampaikan oleh Sienna barusan.

“Al, sebenernya gue udah tau alasan Marsha pergi. Tapi lo tau, gue nggak sanggup bilangnya ke lo. Gue takut kalau mimpi gue keliru, tapi gue selalu berharap kalau mimpi gue yang satu ini lebih baik emang keliru,” jelas Sienna.

Setelah beberapa detik terdiam, Alvaro akhirnya angkat bicara. “Sky … artinya mimpi yang lo dapet itu mimpi buruk?” Nada suara Alvaro terdengar pilu.

Sienna menjawab pertanyaan Alvaro hanya dengan sebuah anggukan.

Alvaro tampak masih mencerna ucapan Sienna. Dari sorot matanya, terlihat jelas ada sebuah luka di sana.

***

Keesokan harinya.

Selama satu malam kemarin, Alvaro telah memikirkan semua yang Sienna ceritakan padanya. Sienna mengatakan bahwa ia dapat membaca masa depan seseorang yang dekat padanya. Maka semakin dekat Alvaro dengan Sienna, akan semakin jauh juga Sienna dapat membaca apa yang akan menjadi masa depan Alvaro.

Hari ini Alvaro memutuskan untuk membuktikan sendiri kebenaran mimpi itu.

Bermodalkan mimpi yang dialami oleh Sienna, Alvaro mencari di mana Marsha menetap setelah berbulan-bulan perempuan itu meninggalkan rumah.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, mobil yang ditumpangi Alvaro dan Sienna kini berhenti tidak jauh dari kawasan sebuah apartemen. Sienna memperhatikan bangunan itu dari kaca mobil, lalu ia berujar, “Al, ini bener tempatnya.”

Akhirnya Alvaro menyuruh supirnya untuk memarkirkan mobil di parkiran gedung itu. Hari ini Aufar juga ikut bersama mereka. Alvaro ingin Aufar membantunya mencari tahu kebenaran bahwa Marsha tinggal di tempat ini atau tidak.

***

Gedung apartemen yang kini Alvaro, Sienna, dan Aufar datangi, ternyata merupakan tipe apartemen kelas menengah ke atas. Lokasi tempat ini berada di luar kota Jakarta, jadi memang cukup jauh dan mereka butuh waktu yang tidak sebentar untuk sampai ke sini.

Setelah mereka sampai, mereka bertemu dengan seorang pria yang merupakan pemilik dari beberapa unit apartemen di lantai 20.

Kenyataannya tidak mudah mendapatkan informasi mengenai penyewa apartemen, karena pemilik bertanggung jawab menjaga privasi penyewanya. Namun Alvaro mempunyai caranya sendiri untuk mendapatkan informasi tersebut.

Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang diketahui bernama Herdian, akhirnya bersedia memberi tahu setelah Alvaro dan Aufar coba melakukan negosiasi.

Alvaro menjelaskan pada Herdian dan membawa bukti yang kuat bahwa ia memiliki kepentingan dan hak untuk mengetahui di mana keberadaan istrinya. Marsha Iliana Tengker, aktris terkenal yang keberadaannya sampai saat ini tidak diketahui itu, statusnya masih sah sebagai istri dari Alvaro Xander Zachary.

Herdian yang merupakan pemilik sebuah unit yang ditempati oleh Marsha, lekas mengantar mereka ke tempat di mana Marsha tinggal selama ini.

Sesampainya mereka di sana, Herdian menekan sebuah bel yang ada di dekat gagang pintu.

Setelah 3 kali bel tersebut ditekan dan mereka menunggu, mereka tidak mendapatkan apa pun. Hasilnya benar-benar nihil, tidak ada yang membukakan pintu dari dalam.

“Sepertinya mereka lagi nggak ada di sini,” ujar Herdian.

“Maksud Bapak? Mereka siapa? Marsha tinggal dengan siapa di sini?” Alvaro mengutarakan pertanyaan itu secara bertubi-tubi.

Herdian lantas menjawab dengan sebuah anggukan. “Saya yang menyewakan apartemen ini dan saya tahu betul, ada berapa orang yang menghuni tempat saya. Ada dua orang yang tinggal di unit ini, laki-laki dan perempuan.” Herdian menjelaskan dengan begitu yakin. Herdian lantas juga mengatakan bahwa kontrak sewa dibuat atas nama Marsha Iliana, jadi Herdian tidak tahu menahu identitas soal lelaki yang tinggal dengan Marsha.

Selain itu Herdian mengatakan kalau sudah 2 bulan pembayaran apartemen ini belum dilunasi, dan Marsha menyerahkan barang berharganya yang bernilai besar sebagai jaminan. Dapat dikatakan bahwa sejumlah emas yang diberikan pada Herdian, digunakan sebagai barang yang Marsha gadaikan, untuk kemudian hari dapat diambil setelah Marsha berhasil melunasi biaya sewa.

Mereka sempat menunggu beberapa menit di sana, berjaga-jaga kalau saja Marsha tiba-tiba datang. Alvaro tidak ingin menunda lagi, ia ingin cepat tahu kebenarannya. Namun hari itu takdir berkata lain, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang setelah cukup lama menunggu di depan unit itu.

“Terima kasih atas bantuannya Pak,” ucap Aufar pada Herdian.

“Sama-sama. Nanti kalau ada info, saya pasti akan hubungi Mas Aufar secepatnya,” ujar Herdian sebelum akhirnya Aufar menyusul langkah Alvaro dan Sienna yang sudah lebih dulu berlalu.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sekitar pukul 11 siang, Alvaro sudah tiba di studio makeup milik Sienna. Kedatangan Alvaro langsung disambut oleh seorang karyawan. Perempuan yang bernama Rahma itu lantas mengatakan bahwa Sienna masih mengajar kelas makeup.

“Sebelumnya mbak Sienna udah titip pesen, katanya bisa tunggu di ruangannya aja,” ujar Rahma.

Kemudian Rahma mengantar Alvaro ke ruangan yang dimaksud. Setelah Alvaro mengucapkan terima kasih, Rahma berlalu dari hadapannya dan Alvaro memasuki ruangan itu.

Alvaro menutup pintunya ketika ia sudah masuk. Alvaro lantas melangkah ke dalam, dan netranya otomatis memindai ke setiap penjuru ruangan.

Alvaro baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang ini, dan sepertinya ini adalah ruangan kerja pribadi milik Sienna. Namun begitu melihat sebuah single bed dan sofa yang tampak nyaman di sudut kanan, Alvaro segera berpikir bahwa ruangan ini juga dimultifungsikan sebagai ruang istirahat.

Alvaro lantas mendaratkan pantatnya di atas sofa. Tidak jauh dari posisi duduknya, Alvaro kemudian melihat ke arah sebuah meja dan kursi kerja. Alvaro yang penasaran lantas beranjak dan berjalan menuju meja itu.

Alvaro mendapati barang-barang umum yang biasanya ada di atas meja, seperti laptop, sebuah buku catatan, dan pulpen.

Tidak jauh dari meja itu, terdapat sebuah papan yang ditempeli cukup banyak sticky notes. Lantas ada satu benda yang begitu menarik perhatian Alvaro yang tersemat di papan itu. Terdapat sebuah foto yang paling mencolok di antara para sticky notes warna warni.

Alvaro semakin mendekat untuk melihatnya. Akhirnya netranya mendapati sebuah foto yang dijadikan empat grid yang berisi potret dirinya, Sienna, dan Gio. Ada tulisan kecil di pojok kanan bawah foto itu.

‘The best moment in my life’ itu kalimat yang tertulis di sana.

Tanpa Alvaro sadari, sebuah senyum tiba-tiba sudah tersungging di bibirnya. Sienna memajang foto itu di ruang pribadinya, dan itu berhasil membuat dada Alvaro menghangat. Selesai Alvaro mengamati foto itu, ia kembali mendaratkan dirinya di sofa dan menunggu Sienna datang.

***

Begitu kelas makeup Sienna selesai, Sienna langsung memutuskan untuk ke ruangannya. Salah satu karyawannya sebelumnya sudah memberitahu Sienna bahwa Alvaro telah datang sekitar 1 jam yang lalu.

Cklek!

Sienna membuka pintu ruangannya dan langsung menemukan Alvaro di sana.

“Al, lo datengnya kecepatan. Bukannya gue udah bilang gue selesai jam dua belas ya?” Sienna bertanya dengan wajah bingungnya.

“Iya, lo emang bilang selesai jam dua belas,” terang Alvaro.

“Terus kenapa lo dateng jam sebelas?” Sienna masih menatap Alvaro yang tak kunjung menjawabnya, justru Alvaro kini nampak menahan senyumannya.

Sienna akhirnya sadar akan satu hal yang menurutnya lebih penting dari sekedar Alvaro yang datang lebih cepat. Alvaro cukup berada lama di ruangannya, dan pasti lelaki itu telah melihat sesuatu.

“Sky, ayo kita pesen makanan. Gue udah laper,” celetuk Alvaro tiba-tiba.

“Iya, gue udah minta tolong sama Rahma buat pesenin. Dikit lagi makanannya dateng,” ucap Sienna.

***

Sienna dan Alvaro menikmati makan siang mereka dengan lahap. Selama menyantap makanan, tidak ada pembicaraan di antara keduanya.

Sekitar 15 menit kemudian, dua buah mangkuk soto telah tampak bersih tak bersisa. Sienna lantas meminta tolong karyawannya untuk membawakan kembali mangkuk soto itu.

“Makasih ya Rahma,” ucap Sienna sembari menyerahkan nampan berisi dua mangkuk bekas soto kepada Rahma.

Sepeninggalan Rahma, Sienna menutup pintu dan bahkan menguncinya. Alvaro yang melihat aksi Sienna itu lantas menatap Sienna dengan mata yang memicing. Tidak ketinggalan, sebuah senyum tipis terukir di bibir Alvaro, membuat Sienna yang melihatnya malah jadi gugup.

“Lo balik kerja lagi jam berapa?” tanya Alvaro.

Sienna mengambil tempat di samping Alvaro di sofa. “Sekitar jam 1,” ujar Sienna.

“Masih lama dong?” Alvaro bertanya sambil melihat arloji di pergelangan tangannya.

“Iya. Makeup artist punya waktu istirahat yang banyak, Al,” jelas Sienna.

Alvaro lantas hanya manggut-manggut. Selama beberapa detik berlalu, Alvaro dan Sienna hanya saling menatap, sampai akhirnya Sienna berceletuk, “Al.”

“Hmm?”

I felt like I could be my true self when I’m with you, since we are in relationship,” ujar Sienna.

Alvaro mencerna kalimat yang Sienna ucapkan dengan seksama.

Netra mereka saling bertukar pandang, dan nada suara Sienna terdengar lembut dan sungguh-sungguh saat mengucapkannya.

Sienna kembali mengatakan bahwa perempuan itu merasakan perubahan-perubahan di dalam dirinya. Sienna menjadi sosok yang lebih baik dengan menjadi dirinya yang apa adanya, dan itu terjadi sejak Sienna menjalin hubungan dengan Alvaro.

Alvaro masih diam, belum berniat mengucapkan apa pun. Perkataan Sienna sangat berhasil menyentuh hatinya, hingga Alvaro dibuat terbengong dan tidak dapat berpikir bagaimana ia harus merespon.

Eksistensinya begitu dihargai oleh sosok yang ia cintai, dan itu adalah hal yang berarti besar bagi Alvaro.

Alvaro hanya menatap Sienna dalam-dalam. Dari tatapan itu, rasanya ada cinta yang begitu besar. Sosok Sienna, eksistensi Sienna di hidup Alvaro, telah memberikan makna yang besar bagi Alvaro.

When I’m with you, I felt confident and secure. You inspired me to do better, at everything,” ujar Sienna lagi.

Selain perasaan nyaman yang didapatkan Sienna ketika ia bersama Alvaro, Sienna juga dibuat kagum pada sosok lelaki di hadapannya ini melalui banyak cara. Salah satu contohnya, Alvaro tidak hanya memikirkan dirinya dan Sienna saja di dalam hubungan mereka. Alvaro selalu memikirkan keluarga Sienna, meminta Sienna untuk lebih bersikap dewasa dalam menghadapi masalah, terutama tentang orang tua Sienna yang belum setuju dengan hubungan keduanya.

Alvaro selalu mengingatkan bahwa Sienna dapat menjadikan Alvaro sebagai tempatnya bersandar, bermanja, dan Sienna dapat menjadi dirinya sendiri ketika sedang bersama Alvaro.

Alvaro ingin Sienna menunjukkan ‘real’-nya Sienna saat bersama Alvaro, itulah harapan lelaki itu. Maka mulai detik ini, Sienna akhirnya berjanji ia akan melakukannya hingga seterusnya. Sienna akan menjadikan Alvaro tempatnya bersandar di kala ia membutuhkan seseorang. Sienna akan menjadikan Alvaro sebagai tempatnya pulang saat hari telah berakhir dan saat Sienna sangat merasa lelah dengan dunia.

“Sky, gue bangga sama lo,” ucap Alvaro.

“Tiba-tiba banget? Bangga dalam konteks apa nih?” Sienna bertanya dengan kerutan yang lantas muncul di keningnya.

“Tadi selama gue nunggu di sini, gue ngeliat foto kelulusan kuliah lo. Di lemari yang itu,” ujar Alvaro sambil mengarahkan pandangannya pada sebuah lemari kaca di pojok ruangan.

Alvaro lantas melanjutkan perkataannya. “Setelah gue hitung, lo lulus kuliah di tahun 2016, di umur lo yang ke 19 tahun. Artinya lo lulus SMA di sekitar umur 16 tahun, dan lulus SMP di umur 13 tahun.”

Mendengar penuturan Alvaro itu, Sienna pun sukses dibuat terdiam.

Alvaro kemudian mengatakan bahwa ia ingin mendengar soal pendidikan Sienna. Sienna akhirnya setuju dan ia menjelaskan bahwa memang dirinya naik kelas lebih cepat dibandingkan anak lainnya, atau dapat dikatakan bahwa Sienna adalah murid akselerasi saat ia SMP dan SMA. Tentu untuk mendapatkan privilege tersebut, siswa akselerasi haruslah memiliki kemampuan belajar di atas anak-anak pada umumnya dan mempunyai nilai yang tinggi.

“Sky, gue mau nanya sesuatu,” ujar Alvaro setelah selesai mendengar Sienna bercerita tentang perjalanan pendidikannya.

“Mau nanya apa?”

“Kenapa lo pengen jadi guru TK waktu itu?”

“Hmm …” Sienna tampak berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian, akhirnya Sienna melanjutkan perkataannya. “Sebenernya karena orang tua gue ngarahin gue untuk ambil jurusan pendidikan guru. Gue tetep ambil jurusan itu pada akhirnya, meskipun gue ngerasa kurang yakin. At the end, ternyata gue ngerasa seneng bisa ketemu dan interaksi sama anak kecil hampir setiap hari. Tapi semuanya nggak berjalan mulus gitu aja, dan gue sadar kalau sebenernya bukan pekerjaan itu yang gue mau.”

Akhirnya Sienna menceritakan pada Alvaro tentang latar belakangnya. Sienna terlahir di keluarga yang sederhana, tapi kedua orang tuanya adalah tipe yang sangat mengutamakan pendidikan anak-anak mereka.

Saat beranjak remaja, Sienna menyukai makeup dan banyak belajar dari Youtube bagaimana cara mengaplikasikan makeup. Sienna semakin menyukai makeup dan ingin mengambil jurusan tata rias ketika kuliah. Namun orang tuanya tidak menyetujuinya. Akhirnya Sienna mengambil jurusan pendidikan guru atas saran papa dan mamanya. Setelah lulus dengan nilai yang memuaskan, Sienna bekerja sebagai seorang guru TK di sebuah sekolah Internasional.

Pekerjaan menjadi guru terasa menyenangkan, tapi rupanya itu juga menyiksa bagi Sienna. Sienna adalah tipe orang yang begitu perasa, melankolis, dan mudah tersentuh perasaannya. Jadi ketika Sienna berpisah dengan muridnya karena kenaikan kelas, ia harus melalui fase yang berat dalam hidupnya. Mendapati keadaan tersebut, orang tua Sienna akhirnya membiarkan Sienna memilih apa yang ia inginkan.

Sienna memutuskan resign dari pekerjaannya dan memulai karirnya di bidang yang berbeda. Sienna bertekad kuat mewujudkan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi seorang makeup artist.

Setelah akhirnya mengikuti beberapa kursus untuk mendapat ilmu tata rias, Sienna perlahan-lahan mulai mendapat pelanggan setia yang mempercayainya untuk merias. Setelah 2 tahun menekuni bidang tata rias, nama Sienna Malinka mulai dikenal sebagai seorang makeup artist.

Sienna dapat membuka studio makeup miliknya sendiri, menciptakan lapangan pekerjaan tuk orang-orang, persis seperti apa yang dulu ia impikan. Karir Sienna pun semakin sukses, dan kini Sienna dapat menjalani apa yang ia cintai dengan sepenuh hati.

I’m a proud boyfriend, Sky,” ujar Alvaro setelah Sienna mengakhiri ceritanya.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Alvaro pun mengatakan bahwa ia dulu menyukai Sienna bukan hanya karena kecantikan parasnya, tapi sosok Sienna yang pintar dan cerdas, ternyata tampak sangat mengagumkan di mata Alvaro.

“Al, tapi setiap orang pasti punya kekurangan di hidupnya. Nggak selamanya semua aspek berjalan mulus,” ucap Sienna. Alvaro menyetujui hal tersebut, memang benar adanya kalau hidup manusia tidak ada yang sempurna.

“Sky, boleh gue tanya sesuatu?” Alvaro bertanya.

Sienna pun mengangguk.

“Apa yang lo ngerasa kurang dari hidup lo?” Alvaro bertanya karena ia penasaran dan tidak kepikiran tentang hal tersebut.

“Dalam menjalin hubungan. Beberapa kali gue gagal saat baru mulai atau bahkan sebelum memulai,” ungkap Sienna.

Alvaro baru mendengar tentang hal ini. Sebelumnya memang mereka tidak pernah membahasnya.

“Mungkin pas awal kita pacaran, lo sadar kalau gue orang yang susah buat nunjukin rasa sayang ke lawan jenis. Mungkin itu juga yang jadi alasan hubungan gue sering nggak berhasil,” terang Sienna.

Sienna sadar akan kekurangannya yang cenderung bersikap menutup diri dan juga terlalu mandiri. Sehingga beberapa kali saat Sienna dekat dengan seorang pria, hubungan mereka tidak bertahan lama. Sienna adalah orang yang kadang sulit menunjukkan kasih sayangnya kepada lawan jenis. Beberapa lelaki yang mendekati Sienna juga merasa minder saat tahu penghasilan dan aset yang dimiliki Sienna di usianya yang masih terbilang cukup muda.

“Sky, mungkin lo anggap itu sebagai kekurangan, tapi gue nggak pernah berpikir kaya gitu ketika gue kenal sama lo. Gue menganggap itu bagian diri lo dan gue menerima itu. Sky lo harus tau, setiap perempuan berharga di mata laki-laki yang tepat.”

DEG.

Perkataan Alvaro terasa dapat menembus hati Sienna. Kalimat terakhir yang Alvaro utarakan, terasa sangat benar.

Alvaro lantas menjelaskan bahwa hal yang Sienna anggap sebagai kekurangannya, sebenarnya bukan kekurangan yang patut untuk Sienna takuti. Sienna hanya belum menemukan lelaki yang tepat untuknya. Sienna belum bertemu dengan lelaki yang pahamm bahwa cara setiap perempuan menunjukkan kasih sayangnya memang berbeda-beda.

Saat beberapa laki-laki yang sebelumnya singgah di hidup Sienna menganggap bahwa kemandirian Sienna adalah kekurangan, Alvaro justru melihatnya berbeda.

Alvaro malah selalu berhasil dibuat terpana oleh sosok Sienna. Sienna yang mandiri, tangguh, dan pintar, mampu membuat Alvaro kagum terhadapnya.

Selain itu, kehadiran Alvaro di hidup Sienna, perlahan dapat membantu Sienna melihat value sesungguhnya yang ada di dalam dirinya. Alvaro mengajarkan banyak hal pada Sienna, menunjukkan pada Sienna bahwa setiap insan pantas untuk dicintai.

Alvaro dapat mencintai kekurangan Sienna, yang sebenarnya Alvaro pun tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai kekurangan. Saat seseorang tulus mencintai pasangannya, maka kekurangan layaknya hanya seperti angin yang dapat berlalu begitu saja.

Alvaro meyakinkan Sienna bahwa itu adalah bagian dari diri Sienna, dan Alvaro mencintai setiap bagian tersebut.

“Al,” ujar Seinna.

“Ya?”

I already met someone that I’ve been looking before. Someone that I think he’s my true love,” ujar Sienna.

What the true love ... means for you?” Alvaro bertanya dengan sedikit terbata.

“Menurut gue cinta sejati itu adalah orang yang bisa ngasih gue perasaan aman, orang yang bisa menginspirasi gue untuk jadi orang yang lebih baik lagi, dan yang paling penting adalah orang yang nggak cuma mikirin tentang gue dan dia di hubungannya, tapi orang yang juga mikirin keluarga gue dan keluarga dia. Bagi gue, keluarga adalah bagian yang sangat penting, dan kalau ada orang yang menganggap itu sama pentingnya, gue akan sangat kagum sama orang itu.” Sienna menjeda ucapannya selama beberapa detik. Sienna menatap Alvaro lekat, sorot matanya seolah mengatakan bahwa tatapan Sienna ini hanyalah milik Alvaro seorang.

“Al, the person is you,” ujar Sienna.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sekitar pukul 11 siang, Alvaro sudah tiba di studio makeup milik Sienna. Kedatangan Alvaro langsung disambut oleh seorang karyawan. Perempuan yang bernama Rahma itu lantas mengatakan bahwa Sienna masih mengajar kelas makeup.

“Sebelumnya mbak Sienna udah titip pesen, katanya bisa tunggu di ruangannya aja,” ujar Rahma.

Kemudian Rahma mengantar Alvaro ke ruangan yang dimaksud. Setelah Alvaro mengucapkan terima kasih, Rahma berlalu dari hadapannya dan Alvaro memasuki ruangan itu.

Alvaro menutup pintunya ketika ia sudah masuk. Alvaro lantas melangkah ke dalam, dan netranya otomatis memindai ke setiap penjuru ruangan. Alvaro baru pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini, dan sepertinya ini ruangan kerja pribadi milik Sienna. Namun begitu melihat sebuah single bed dan sofa yang tampak nyaman di sudut kanan, Alvaro segera berpikir bahwa ruangan ini juga dimultifungsikan sebagai ruang istirahat.

Alvaro lantas mendaratkan pantatnya di atas sofa. Tidak jauh dari posisi duduknya, Alvaro kemudian melihat ke arah sebuah meja dan kursi kerja. Alvaro yang penasaran lantas beranjak dan berjalan menuju meja itu.

Alvaro mendapati barang-barang umum yang biasanya ada di atas meja, seperti laptop, sebuah buku catatan, dan pulpen.

Tidak jauh dari meja itu, terdapat sebuah papan yang ditempeli cukup banyak sticky notes. Lantas ada satu benda yang begitu menarik perhatian Alvaro yang tersemat di papan itu. Terdapat sebuah foto yang paling mencolok di antara para sticky notes warna warni.

Alvaro semakin mendekat untuk melihatnya. Akhirnya netranya mendapati sebuah foto yang dijadikan empat grid yang berisi potret dirinya, Sienna, dan Gio. Ada tulisan kecil di pojok kanan bawah foto itu.

‘The best moment in my life’ itu kalimat yang tertulis di sana.

Tanpa Alvaro sadari, sebuah senyum tiba-tiba sudah tersungging di bibirnya. Sienna memajang foto itu di ruang pribadinya, dan itu berhasil membuat dada Alvaro menghangat. Selesai Alvaro mengamati foto itu, ia kembali mendaratkan dirinya di sofa dan menunggu Sienna datang.

***

Begitu kelas makeup Sienna selesai, Sienna langsung memutuskan untuk ke ruangannya. Salah satu karyawannya sebelumnya sudah memberitahu Sienna bahwa Alvaro telah datang sekitar 1 jam yang lalu.

Cklek!

Sienna membuka pintu ruangannya dan langsung menemukan Alvaro di sana.

“Al, lo datengnya kecepatan. Bukannya gue udah bilang gue selesai jam dua belas ya?” Sienna bertanya dengan wajah bingungnya.

“Iya, lo emang bilang selesai jam dua belas,” terang Alvaro.

“Terus kenapa lo dateng jam sebelas?” Sienna masih menatap Alvaro yang tak kunjung menjawabnya, justru Alvaro kini nampak menahan senyumannya.

Sienna akhirnya sadar akan satu hal yang menurutnya lebih penting dari sekedar Alvaro yang datang lebih cepat. Alvaro cukup berada lama di ruangannya, dan pasti lelaki itu telah melihat sesuatu.

“Sky, ayo kita pesen makanan. Gue udah laper,” celetuk Alvaro tiba-tiba.

“Gue udah minta tolong sama Rahma buat pesenin. Dikit lagi makanannya dateng,” ucap Sienna.

***

Sienna dan Alvaro menikmati makan siang mereka dengan lahap. Selama menyantap makanan, tidak ada pembicaraan di antara keduanya.

Sekitar 15 menit kemudian, dua buah mangkuk soto telah tampak bersih tak bersisa. Sienna lantas meminta tolong karyawannya untuk membawakan kembali mangkuk soto itu.

“Makasih ya Rahma,” ucap Sienna sembari menyerahkan nampan berisi dua mangkuk bekas soto kepada Rahma.

Sepeninggalan Rahma, Sienna menutup pintu dan bahkan menguncinya. Alvaro yang melihat aksi Sienna itu lantas menatap Sienna dengan mata yang memicing. Tidak ketinggalan, sebuah senyum tipis terukir di bibir Alvaro, membuat Sienna yang melihatnya malah jadi gugup.

“Lo balik kerja lagi jam berapa?” tanya Alvaro.

Sienna mengambil tempat di samping Alvaro di sofa. “Sekitar jam 1,” ujar Sienna.

“Masih lama dong?” Alvaro bertanya sambil melihat arloji di pergelangan tangannya.

“Iya. Makeup artist punya waktu istirahat yang banyak, Al,” jelas Sienna.

Alvaro lantas hanya manggut-manggut. Selama beberapa detik berlalu, Alvaro dan Sienna hanya saling menatap, sampai akhirnya Sienna berceletuk, “Al.”

“Hmm?”

I felt like I could be my true self when I’m with you, since we are in relationship,” ujar Sienna.

Alvaro mencerna kalimat yang Sienna ucapkan dengan seksama.

Netra mereka saling bertukar pandang, dan nada suara Sienna terdengar lembut dan sungguh-sungguh saat mengucapkannya.

Sienna kembali mengatakan bahwa perempuan itu merasakan perubahan-perubahan di dalam dirinya. Sienna menjadi sosok yang lebih baik dengan menjadi dirinya yang apa adanya, dan itu terjadi sejak Sienna menjalin hubungan dengan Alvaro.

Alvaro masih diam, belum berniat mengucapkan apa pun. Perkataan Sienna sangat berhasil menyentuh hatinya, hingga Alvaro dibuat terbengong dan tidak dapat berpikir bagaimana ia harus merespon.

Eksistensinya begitu dihargai oleh sosok yang ia cintai, dan itu adalah hal yang berarti besar bagi Alvaro.

Alvaro hanya menatap Sienna dalam-dalam. Dari tatapan itu, rasanya ada cinta yang begitu besar. Sosok Sienna, eksistensi Sienna di hidup Alvaro, telah memberikan makna yang besar bagi Alvaro.

When I’m with you, I felt confident and secure. You inspired me to do better, at everything,” ujar Sienna lagi.

Selain perasaan nyaman yang didapatkan Sienna ketika ia bersama Alvaro, Sienna juga dibuat kagum pada sosok lelaki di hadapannya ini melalui banyak cara. Salah satu contohnya, Alvaro tidak hanya memikirkan dirinya dan Sienna saja di dalam hubungan mereka. Alvaro selalu memikirkan keluarga Sienna, meminta Sienna untuk lebih bersikap dewasa dalam menghadapi masalah, terutama tentang orang tua Sienna yang belum setuju dengan hubungan keduanya.

Alvaro selalu mengingatkan bahwa Sienna dapat menjadikan Alvaro sebagai tempatnya bersandar, bermanja, dan Sienna dapat menjadi dirinya sendiri ketika sedang bersama Alvaro.

Alvaro ingin Sienna menunjukkan ‘real’-nya Sienna saat bersama Alvaro, itulah harapan lelaki itu. Maka mulai detik ini, Sienna akhirnya berjanji ia akan melakukannya hingga seterusnya. Sienna akan menjadikan Alvaro tempatnya bersandar di kala ia membutuhkan seseorang. Sienna akan menjadikan Alvaro sebagai tempatnya pulang saat hari telah berakhir dan saat Sienna sangat merasa lelah dengan dunia.

“Sky, gue bangga sama lo,” ucap Alvaro.

“Tiba-tiba banget? Bangga dalam konteks apa nih?” Sienna bertanya dengan kerutan yang lantas muncul di keningnya.

“Tadi selama gue nunggu di sini, gue ngeliat foto kelulusan kuliah lo. Di lemari yang itu,” ujar Alvaro sambil mengarahkan pandangannya pada sebuah lemari kaca di pojok ruangan.

Alvaro lantas melanjutkan perkataannya. “Setelah gue hitung, lo lulus kuliah di tahun 2016, di umur lo yang ke 19 tahun. Artinya lo lulus SMA di sekitar umur 16 tahun, dan lulus SMP di umur 13 tahun.”

Mendengar penuturan Alvaro itu, Sienna pun sukses dibuat terdiam.

Alvaro kemudian mengatakan bahwa ia ingin mendengar soal pendidikan Sienna. Sienna akhirnya setuju dan ia menjelaskan bahwa memang dirinya naik kelas lebih cepat dibandingkan anak lainnya, atau dapat dikatakan bahwa Sienna adalah murid akselerasi saat ia SMP dan SMA. Tentu untuk mendapatkan privilege tersebut, siswa akselerasi haruslah memiliki kemampuan belajar di atas anak-anak pada umumnya dan mempunyai nilai yang tinggi.

“Sky, gue mau nanya sesuatu,” ujar Alvaro setelah selesai mendengar Sienna bercerita tentang perjalanan pendidikannya.

“Mau nanya apa?”

“Kenapa lo pengen jadi guru TK waktu itu?”

“Hmm …” Sienna tampak berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian, akhirnya Sienna melanjutkan perkataannya. “Sebenernya karena orang tua gue ngarahin gue untuk ambil jurusan pendidikan guru. Gue tetep ambil jurusan itu pada akhirnya, meskipun gue ngerasa kurang yakin. At the end, ternyata gue ngerasa seneng bisa ketemu dan interaksi sama anak kecil hampir setiap hari. Tapi semuanya nggak berjalan mulus gitu aja, dan gue sadar kalau sebenernya bukan pekerjaan itu yang gue mau.”

Akhirnya Sienna menceritakan pada Alvaro tentang latar belakangnya. Sienna terlahir di keluarga yang sederhana, tapi kedua orang tuanya adalah tipe yang sangat mengutamakan pendidikan anak-anak mereka.

Saat beranjak remaja, Sienna menyukai makeup dan banyak belajar dari Youtube bagaimana cara mengaplikasikan makeup. Sienna semakin menyukai makeup dan ingin mengambil jurusan tata rias ketika kuliah. Namun orang tuanya tidak menyetujuinya. Akhirnya Sienna mengambil jurusan pendidikan guru atas saran papa dan mamanya. Setelah lulus dengan nilai yang memuaskan, Sienna bekerja sebagai seorang guru TK di sebuah sekolah Internasional.

Pekerjaan menjadi guru terasa sangat menyenangkan, tapi rupanya itu juga menyiksa bagi Sienna. Sienna adalah tipe orang yang begitu perasa, melankolis, dan mudah tersentuh perasaannya. Jadi ketika Sienna berpisah dengan muridnya karena kenaikan kelas, ia harus melalui fase yang berat dalam hidupnya. Mendapati keadaan tersebut, orang tua Sienna akhirnya membiarkan Sienna memilih apa yang ia inginkan.

Sienna memutuskan resign dari pekerjaannya dan memulai karirnya di bidang yang berbeda. Sienna bertekad kuat mewujudkan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi seorang makeup artist.

Setelah akhirnya mengikuti beberapa kursus untuk mendapat ilmu tata rias, Sienna perlahan-lahan mulai mendapat pelanggan setia yang mempercayainya untuk merias. Setelah 2 tahun menekuni bidang tata rias, nama Sienna Malinka mulai dikenal sebagai seorang makeup artist.

Sienna dapat membuka studio makeup miliknya sendiri, menciptakan lapangan pekerjaan tuk orang-orang, persis seperti apa yang dulu ia impikan. Karir Sienna pun semakin sukses, dan kini Sienna dapat menjalani apa yang ia cintai dengan sepenuh hati.

I’m a proud boyfriend, Sky,” ujar Alvaro setelah Sienna mengakhiri ceritanya.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Alvaro pun mengatakan bahwa ia dulu menyukai Sienna bukan hanya karena kecantikan parasnya, tapi sosok Sienna yang pintar dan cerdas, ternyata tampak sangat mengagumkan di mata Alvaro.

“Al, tapi setiap orang pasti punya kekurangan di hidupnya. Nggak selamanya semua aspek berjalan mulus,” ucap Sienna. Alvaro menyetujui hal tersebut, memang benar adanya kalau hidup manusia tidak ada yang sempurna.

“Sky, boleh gue tanya sesuatu?” Alvaro bertanya.

Sienna pun mengangguk.

“Apa yang lo ngerasa kurang dari hidup lo?” Alvaro bertanya karena ia penasaran dan tidak kepikiran tentang hal tersebut.

“Dalam menjalin hubungan. Beberapa kali gue gagal saat baru mulai atau bahkan sebelum memulai,” ungkap Sienna.

Alvaro baru mendengar tentang hal ini. Sebelumnya memang mereka tidak pernah membahasnya.

“Mungkin pas awal kita pacaran, lo sadar kalau gue orang yang susah buat nunjukin rasa sayang ke lawan jenis. Mungkin itu juga yang jadi alasan hubungan gue sering nggak berhasil,” terang Sienna.

Sienna sadar akan kekurangannya yang cenderung bersikap menutup diri dan juga terlalu mandiri. Sehingga beberapa kali saat Sienna dekat dengan seorang pria, hubungan mereka tidak bertahan lama. Sienna adalah orang yang kadang sulit menunjukkan kasih sayangnya kepada lawan jenis. Beberapa lelaki yang mendekati Sienna juga merasa minder saat tahu penghasilan dan aset yang dimiliki Sienna di usianya yang masih terbilang cukup muda.

“Sky, mungkin lo anggap itu sebagai kekurangan, tapi gue nggak pernah berpikir kaya gitu ketika gue kenal sama lo. Gue menganggap itu bagian diri lo dan gue menerima itu. Sky lo harus tau, setiap perempuan berharga di mata laki-laki yang tepat.”

DEG.

Perkataan Alvaro terasa dapat menembus hati Sienna. Kalimat terakhir yang Alvaro utarakan, terasa sangat benar.

Alvaro lantas menjelaskan bahwa hal yang Sienna anggap sebagai kekurangannya, sebenarnya bukan kekurangan yang patut untuk Sienna takuti. Sienna hanya belum menemukan lelaki yang tepat untuknya. Sienna belum bertemu dengan lelaki yang pahamm bahwa cara setiap perempuan menunjukkan kasih sayangnya memang berbeda-beda.

Saat beberapa laki-laki yang sebelumnya singgah di hidup Sienna menganggap bahwa kemandirian Sienna adalah sebuah kekurangan, Alvaro justru melihatnya berbeda. Alvaro malah selalu berhasil dibuat terpana oleh sosok Sienna. Sienna yang mandiri, tangguh, dan pintar, mampu membuat Alvaro kagum terhadapnya.

Selain itu, kehadiran Alvaro di hidup Sienna, perlahan dapat membantu Sienna melihat value sesungguhnya yang ada di dalam dirinya. Alvaro mengajarkan banyak hal pada Sienna, menunjukkan pada Sienna bahwa setiap insan pantas untuk dicintai.

Alvaro dapat mencintai kekurangan Sienna, yang sebenarnya Alvaro pun tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai kekurangan. Saat seseorang tulus mencintai pasangannya, maka kekurangan layaknya hanya seperti angin yang dapat berlalu begitu saja.

Alvaro meyakinkan Sienna bahwa itu adalah bagian dari diri Sienna, dan Alvaro mencintai setiap bagian tersebut.

“Al,” ujar Seinna.

“Ya?”

I already met someone that I’ve been looking before. Someone that I think he’s my true love,” ujar Sienna.

What the true love ... means for you?” Alvaro bertanya dengan sedikit terbata.

“Menurut gue cinta sejati itu adalah orang yang bisa ngasih gue perasaan aman, orang yang bisa menginspirasi gue untuk jadi orang yang lebih baik lagi, dan yang paling penting adalah orang yang nggak cuma mikirin tentang gue dan dia di hubungannya, tapi orang yang juga mikirin keluarga gue dan keluarga dia. Bagi gue, keluarga adalah bagian yang sangat penting, dan kalau ada orang yang menganggap itu sama pentingnya, gue akan sangat kagum sama orang itu.” Sienna menjeda ucapannya selama beberapa detik. Sienna menatap Alvaro lekat, sorot matanya seolah mengatakan bahwa tatapan Sienna ini hanyalah milik Alvaro seorang.

“Al, the person is you,” ujar Sienna.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di minggu-minggu belakangan ini, begitu banyak yang terjadi di hidup Alvaro. Rasanya semua masalah datang bertubi-tubi padanya. Perceraiannya, perselingkuhan yang Marsha lakukan terhadapnya, dan di antara semua itu, ada yang paling menyakitkan untuk Alvaro. Itu adalah fakta bahwa Gio bukanlah anak kandungnya.

Alvaro telah menghadiri mediasi dan sidang jawaban atas perceraiannya dengan Marsha. Namun itu belum berakhir sampai di sana, masih terdapat beberapa rangkaian yang harus dilewati. Baik Alvaro sebagai pihak penggugat maupun Marsha sebagai pihak penggugat, keduanya berhak untuk menguatkan permohonan atau menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh masing-masing pihak. Jadi proses perceraian memang masih cukup panjang.

Alvaro telah pulih dari sakitnya dan Gio telah kembali ke rumahnya. Meskipun Alvaro sudah tau kenyataan bahwa Gio bukanlah anak kandungnya, itu tidak mengubah sedikitpun rasa sayangnya terhadap Gio. Alvaro tidak peduli darah yang mengalir di tubuh Gio milik siapa, yang jelas Alvaro tahu Gio adalah anaknya dan ia akan selamanya menjadi seorang papa untuk Gio.

Alvaro sudah menceritakannya pada Sienna. dan akhirnya Alvaro tahu bahwa Sienna telah mengetahui hal tersebut lebih dulu darinya. Sienna mendapat mimpi bahwa Gio bukanlah anak kandung Alvaro, tapi Sienna memilih untuk menyimpan itu sendiri sampai beberapa saat. Alasannya jelas karena Sienna tidak sanggups mengatakannya, ia tidak bisa menyampaikan hal buruk yang pasti akan menyakiti Alvaro. Alvaro mencoba memahami keputusan kekasihnya itu. Mungkin saja jika Sienna langsung memberitahunya tanpa bukti yang jelas nyata di hadapan Alvaro, Alvaro akan semakin kacau karena tidak melihat fakta jelasnya menggunakan matanya sendiri.

Pagi yang cerah di kediamannya, Alvaro tampak telah rapi dengan setelan kasualnya. Alvaro sedang sarapan di meja makan bersama Gio. Alvaro memperhatikan anaknya yang tampak bersemangat sekali hari ini, karena Alvaro telah menjanjikan agar mereka bertemu Sienna.

Rencananya, tanpa sepengetahuan Sienna, Alvaro akan menjemput gadis itu. Kemudian mereka bertiga akan pergi ke taman bermain indoor yang cukup besar yang terletak di pusat kota. Alvaro sudah tahu jadwal Sienna hari ini, kekasihnya itu tidak ada kegiatan apa pun, jadi kemungkinan rencana surprise-nya untuk mengajak Gio dan Sienna hangout hari ini akan berjalan lancar.

“Papa,” ujar Gio. Anak lelaki itu menghentikan kegiatannya menyuap makanan ke mulutnya.

“Iya, Nak?” Alvaro pun memberikan atensinya pada Gio.

“Nggak papa kok kalau Papa sama mama udah nggak tinggal bareng lagi. Yang penting Papa bahagia. Gio juga bahagia karena ada Papa dan bunda Sienna.” Gio mengucapkannya dengan sebuah senyum kecil yang tercetak wajahnya.

Alvaro lantas ikut menyunggingkan senyumnya. “Iya, Nak. Terima kasih ya udah coba untuk ngerti. Mungkin kamu belum paham banget dengan kondisi ini, tapi apa pun itu, Papa dan mama tetep orang tuanya Gio yang akan selalu sayang sama Gio.”

***

Ketika Alvaro sampai di kediaman Sienna, kedatangannya langsung disambut oleh Fabio. Fabio nampak tidak welcome dengan kehadiran Alvaro di sana.

“Selamat siang, Om,” ujar Alvaro sembari menyalami tangan Fabio. Fabio menjabat uluran tangan Alvaro. Namun beberapa detik berlalu, lelaki itu tidak juga mempersilakan Alvaro untuk masuk. Alvaro yang cukup lama membuat Gio menunggu di mobil, akhirnya tanpa perintah apapun anaknya itu menyusulnya.

Gio yang melihat papanya dan papa Sienna hanya berdiam di dekat pagar, lantas berjalan menghampiri kedua pria tu.

Begitu langkah Gio sampai di hadapan kedua orang dewasa itu, ketika itu juga Fabio mengatakan sesuatu di depan Alvaro. “Sienna ada di rumah, tapi saya tidak izinkan kamu bertemu dengan Sienna.”

Alvaro dan Fabio yang kemudian menyadari kehadiran Gio di sana, langsung menoleh pada anak itu. “Gio, tunggu Papa di mobil ya Nak,” tutur Alvaro pada anaknya.

“Papa, kenapa kita nggak boleh ketemu sama bunda Sienna?” celetuk Gio. Raut wajah anak berusia 6 tahun itu tampak sedih, tapi bercampur juga dengan tanda tanya besar yang membuatnya nampak bingung. Mengapa orang dewasa begitu rumit dan ia selalu tidak paham akan permasalahan yang ada.

Alvaro akhirnya memutuskan mengantar Gio untuk masuk ke mobil lagi. Kemudian baru Alvaro kembali pada Fabio. Di sana Alvaro memohon pada Fabio agar mengizinkannya bertemu dengan Sienna.

“Saya nggak ingin kamu menyakiti anak saya. Sudah cukup selama ini saya kasih kelonggaran untuk kamu berhubungan dengan Sienna. Sebaiknya kamu mengerti keputusan saya.” Setelah Fabio mengatakan kalimatnya, pria itu berlalu begitu saja dari hadapan Alvaro.

Alvaro lantas menatap pintu ganda rumah itu yang ditutup rapat dan meninggalkan bunyi dentuman yang cukup kuat. Selama beberapa detik, Alvaro masih setia berdiri di sana, berharap pada sesuatu yang sebenarnya Alvaro sudah tahu bahwa jawabannya tidak akan sesuai dengan keinginannya. Alvaro pun mendongak untuk menatap ke arah jendela di mana kamar Sienna berada.

Mungkinkah … ini adalah akhir dari kisah cintanya dengan Sienna?

Alvaro mencintai Sienna, tapi bagaimana pun, restu orang tua itu sangat penting. Alvaro ingin orang tua Sienna menerimanya, mengizinkannya untuk membahagiakan Sienna. Alvaro ingin orang tua Sienna merelakan dengan sepenuh hati agar putri mereka menjadi pendamping hidupnya. Namun sampai saat ini, Alvaro belum juga mendapat izin tersebut.

***

Sienna mengintip dari celah kecil jendela kamarnya. Ia melihat semua yang terjadi beberapa saat lalu. Begitu range rover milik Alvaro hilang dari pandangan Sienna, Sienna bergegas menemui papanya yang berada di lantai satu ruang keluarga. Sienna telah tahu beberapa saat yang lalu Alvaro datang ke rumahnya dan bertemu dengan papanya.

Namun Fabio sungguh keras melarang Sienna untuk keluar dan meminta Alvaro untuk angkat kaki dari rumah mereka.

“Papa,” ujar Sienna dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Fabio pun mendapati anak perempuannya menghampirinya. “Ada apa Sienna?” tanya Fabio yang masih setengah fokus pada majalah otomotif di tangannya.

Seinna mendekat pada Fabio, dan tiba-tiba Sienna langsung berlutut di hadapan papanya. Fabio yang kaget melihat itu, lantas menyuruh Sienna untuk bangun dari posisinya. Fabio meletakkan majalah di tangannya dan kini memegang kedua bahu Sienna.

“Kamu ngapain?” tanya Fabio dengan nadanya yang agak meninggi.

“Ngapain kamu sampai sebegininya demi laki-laki itu?” lanjut Fabio.

Sienna masihh bertahan di posisinya, bahkan ia bersujud di dekat kaki papanya. “Pah, Sienna mohon. Tolong restuin Sienna sama Alvaro,” ujar Sienna diiringi isakan kecil yang keluar dari bibirnya.

“Papa nggak punya alasan untuk merestui hubungan kamu dengan dia. Papa nggak bisa melihat kamu menderita karena dia. Selama sama dia, emang kamu bahagia?”

Sienna lantas bangkit dari posisinya. “Sienna bahagia, Pah. Papa nggak pernah tau perjuangan Alvaro untuk hubungan ini. Papa hanya ngeliat dari kacamata Papa aja.” Nada suara Sienna sedikit meninggi, hingga membuat Fabio terkejut dengan tingkah putrinya itu.

“Kamu bicara dengan nada tinggi ke Papa untuk membela lelaki itu? Papa yang merawat kamu dari kecil, Papa yang berusaha membahagiakan kamu karena Papa sayang sama kamu.” Fabio nampak terluka, itu terlihat jelas dari tatapan matanya.

“Sienna nggak maksud begitu, Pah. Dari awal, Papa yang selalu menilai buruk tentang Alvaro. Pah, bukan cuma Sienna yang berjuang di hubungan ini, tapi Alvaro juga berjuang.” Sienna menjeda sejenak ucapannya. Dengan lengan kaus panjangnya, Sienna mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Kalau Papa sayang sama Sienna, harusnya Papa bisa coba membuka hati dan menurunkan sedikit aja ego Papa. Kalau Papa masih kayak gini, sampai kapan pun juga, mungkinPapa nggak bisa nerima Alvaro,” ujar Sienna lagi.

“Sienna, stop memohon ke Papa. Masuk ke kamar kamu. Papa cuma mau yang terbaik untuk kamu. Masih banyak laki-laki yang pantas untuk kamu.” Fabio nampak tidak luluh sedikitpun.

Sekali lagi, airmata Sienna meluncur mulus dari pelupuk matanya. Melihat putrinya menangis demi lelaki yang tidak Fabio sukai, rasanya dada Fabio seperti tercabik-cabik.

“Sienna nggak akan menjalin hubungan lagi sama laki-laki lain selain Alvaro, Pah. Sienna berhak untuk milih calon pendamping hidup Sienna, karena Sienna yang akan menjalaninya. Sienna cuma mau menikah sekali, dan pastinya dengan orang yang Sienna inginkan.” Setelah mengatakan itu, Sienna segera berlalu dari hadapan Fabio.

Fabio menatap kepergian putrinya dengan tatapan nanar. Perasaan Fabio campur aduk. Di satu sisi, ia ingin Sienna bahagia dengan lelaki pilihannya. Namun ada ketakutan besar pada diri Fabio atas laki-laki yang menjadi pilihan anaknya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭