alyadara

Sesuai yang telah dijadwalkan, hari ini IMD Pictures mengadakan konferensi pers untuk menanggapi berta kurang baik yang berhembus mengenai kedua artis mereka. Para awak media telah menunggu kedatangan sang aktor sejak tadi pagi, karena sang aktris diketahui tidak bisa ikut hadir.

Acara itu diadakan di sebuah ruangan indoor, dan jumlah wartawan yang boleh meliput pun dibatasi.Ketika nampak sosok Alvaro memasuki tempat itu, para wartawan mulai mengarahkan kamera mereka dan telah siap mendengarkan lelaki itu memulai kata-katanya.

Di sebuah meja panjang di hadapan para awak media, Alvaro berada di sana didampingi manager dan juga kuasa hukumnya. Sebuah microphone di atas meja diraih oleh Alvaro dengan satu tangannya. Setelah berdeham satu kali, Alvaro akhirnya membuka suara. “Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk teman-teman media yang sudah bersedia hadir pada acara konferensi pers hari ini. Saya akan menyampaikan beberapa hal, yang di kemudian hari saya harap dapat diterima.”

Alvaro menjeda ucapannya. Alvaro menoleh ke sampingnya, di mana ada Ila dan ke samping kirinya ada Roy, kuasa hukumnya.

“Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah mengenai perpisahan saya dengan Marsha. Perpisahan saya dan Marsha tersebut terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak. Tentunya kami sudah memikirkan dengan matang dan perpisahan adalah jalan terbaik untuk kami.”

Selama Alvaro mengucapkannya, para wartawan sibuk merekam, bahkan ada beberapa yang mencatatnya di buku maupun menggunakan perangkat digital.

“Pastinya di setiap perpisahan ada perseteruan dan masalah. Ada beberapa hal yang kami pertimbangkan, jadi saya dan Marsha telah sepakat bahwa kami nggak akan membawa masalah ke publik.”

Meskipun Alvaro dan Marsha adalah seorang public figure, mereka tetap ingin adanya privasi di dalam kehidupan pribadi mereka.

Alvaro kembali berbicara dan ini akan jadi bagian terakhirnya. “Satu hal yang saya perlu tegaskan di sini, tidak ada orang ketiga dalam pernikahan kami. Jadi saya harap setelah ini, tidak ada lagi pemberitaan kurang mengenakkan dari teman-teman media, baik yang mengarah pada saya maupun kepada Marsha.”

Alvaro telah selesai bicara. Gini giliran Roy sebagai kuasa hukumnya yang akan menambahkan. “Alvaro dan Marsha telah sepakat sebelumnya, mereka memilih menyimpan hal ini demi menjaga perasaan anak mereka. Semata hanya karena hal tersebut,” pungkas Roy.

Setelah semua dirasa cukup disampaikan, Alvaro dan pihaknya beranjak dari sana. Para wartawan beberapa masih ada yang tidak puas dengan jawaban yang diberikan. Namun Alvaro sendiri memilih tidak ingin memedulikannya. Bukan tanggung jawabnya untuk memuaskan banyak orang, dan ia memiliki batasan-batasan dalam hidupnya yang perlu dijaga.

Alvaro memiliki alasan kuat agar fakta yang sebenarnya tidak terungkap ke publik. Sebenarnya bisa saja Alvaro membuktikan bahwa Marsha berselingkuh dan itu yang membuat mereka harus berpisah, guna membersihkan namanya dari fitnah. Namun Alvaro tidak melakukannya. Alvaro tidak ingin fakta bahwa Marsha selingkuh terungkap, karena jejak digital akan selamanya ada ; yang mana itu berpotensi akan menyakiti hati anaknya.

Suatu hari Gio memang akan tau, tapi tidak dalam waktu dekat ini, di saat anaknya masih terlalu kecil dan belum bisa memahami semuanya.

***

Beberapa saat setelah acara konferensi pers selesai, ada beberapa wartawan yang sengaja menguntit keberaaan Alvaro. Alvaro baru saja keluar dari sebuah ruangan dan ia tidak sendiri di sana. Alvaro tidak bersama manager atau kuasa hukumnya ; tentu hal tersebut semakin mengundang rasa penasaran para awak media.

Alvaro terlihat bersama seorang perempuan dan anak laki-laki yang diduga merupakan anaknya. Meskipun wajah anak lelaki itu tertutup oleh topi yang ia kenakan, sudah dapat ditebak bahwa Alvaro datang ke konferensi pers ini dan membawa anaknya bersamanya. Namun yang jadi pertanyaan adalah ssosk perempuan yang terlihat dekat dengan anaknya.

“Ini sudah kelewatan batas, kalian menguntit kehidupan pribadi saya sampai sejauh ini,” ujar Alvaro dengan nada geramnya.

Alvaro membiarkan dirinya tertahan oleh pada wartawan, sementara ia meminta bodyguard-nya untuk membawa Sienna dan Gio agar keduanya terbebas dari serangan wartawan. Alvaro tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi.

Sekembalinya pengawal yang diperintahkan Alvaro untuk membawa Sienna dan Gio ke mobil, mereka tidak memikirkan kemanusiaan lagi ketika menyuruh wartawan untuk minggir.

“Al, kasih keterangan dulu dong,” ujar salah seorang wartawan yang masih nekat mengejar sampai ke parkiran gedung. Mereka rela mendapat hentakan fisik dari pengawal yang mengawal sang artis, demi hanya untuk mendapat bahan berita.

Alvaro masih bungkam, tidak berniat memberi keterangan apa pun. Salah seorang bodyguard-nya kemudian memberitahu bahwa mobil yang diminta Alvaro telah tiba. Sempat terjadi kericuhan ketika Alvaro harus menembus para kerumunan wartawan itu untuk bisa masuk ke mobilnya.

Dengan terpaksa Alvaro harus menaiki mobil yang berbeda dengan Sienna dan Gio. Sampai Alvaro sudah masuk ke mobil, dari kaca jendela mobilnya, ia masih bisa melihat para wartawan yang nekat mengejar mobilnya. Padahal itu tidak mungkin bisa mereka lakukan. Sudah jelas mereka tidak akan mendapat apa pun dari usaha licik mereka memburu sang artis.

Alvaro sebenarnya sudah terbiasa menghadapi hal semacam ini ketiak ia menjadi artis. Namun dulu media memburunya karena prestasinya dan memberitakan hal yang baik-baik tentangnya. Keadaannya sekarang jauh berbeda dan Alvaro mau tidak mau harus siap menghadapinya. Namun alvaro tidak akan membiarkan mereka mengusik orang-orang yang ia sayangi, cukup dirinya saja yang harus menghadapi ini.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Rasanya masih seperti sebuah mimpi bagi Alvaro. Namun kenyataannya, ini lah yang terjadi. Alvaro telah berhasil melewati fase yang tidak mudah dalam hidupnya. Setelah malam-malam yang jadi menakutkan baginya, dengan adanya air mata, amarah, kekecewaan ; akrhinya satu persatu dari itu semua, berhasil Alvaro lalui. Alvaro bersyukur, sangat bersyukur mengetahui kenyataan bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan.

Alvaro telah kehilangan dan melepaskan masa lalunya untuk bertemu dengan masa depannya, untuk menyambut dan mengatakan ‘Halo’ pada hidup barunya.

Alvaro berpikir bahwa cinta bisa seajaib itu. Bertahun-tahun, ia mencintai Marsha dan setia pada hubungan mereka, tapi dalam sekejap takdir menunjukkan sosok asli orang yang ia cintai. Alvaro mengerti bahwa cinta yang murni tidak selalu harus dibalas dengan cinta yang sama murninya.

Alvaro tidak pernah menduga bahwa ia akan kembali bertemu Sienna dan jatuh cinta pada sosoknya. Hanya dalam hitungan bulan, Alvaro berhasil jatuh cinta pada sosok baru yang hadir di hidupnya. Alvaro sudah memastikan perasaannya dan meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan mencintai orang lain selain Sienna.

Sienna adalah perempuan hebat yang dulu juga pernah membuat Alvaro jatuh cinta. Sienna adalah cinta pertamanya di kala usia mereka masih begitu muda. Alvaro tidak mengerti apa itu cinta saat usianya menginjak 11 tahun. Pikiran anak seusianya pada waktu itu hanya sesederhana bahwa dari rasa kagumnya, Alvaro akrhinya tahu bahwa ia menyukai Sienna. Setiap melihat hadirnya atau hanya dengan mendengar nama Sienna disebut, Alvaro merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

“Sienna, Gio,” Alvaro memanggil kedua nama itu begitu kaki panjangnya melangkah memasuki rumah. Alvaro baru saja pulang dari tempat gym setelah kegiatan itu sempat tertunda ia lakukan.

Sudah beberapa hari ini, Alvaro dengan nyaman menjalani kehidupan barunya. Rasanya ia seperti terlahir kembali dan Alvaro bertekad menjadi dirinya dengan versi yang lebih baik.

Alvaro tetap memiliki Gio dan berhasil menghadirkan sosok baru di rumah yang perannya melengkapi hidupnya dan juga anaknya. Keluarga harmonis yang anaknya dambakan, kini berhasil diwujudkan oleh Alvaro dan Sienna.

Alvaro akhirnya menemukan Sienna dan Gio. Kedua sosok yang dicarinya itu rupanya sedang berenang bersama di kolam renang yang berada di area belakang rumah.

“Kalian berenang siang-siang begini?” Alvaro bertanya dengan nada keheranan.

“Kita udah pake sunblock, Papa. Yaa kan Gio?”” ujar Sienna ketika ia sudah sampai ke tepian kolam.

“Iyaaa dong!” sahut Gio yang berada dari ujung kolam.

“Udah berapa lama kalian berenang?” Alvaro berujar lagi. Kini Gio ikut menghampiri Alvaro dan Sienna di tepi kolam dan anaknya itu pun menyahut, “Baru 3 jam Papa, sebentar itu. Gio masih mau berenang lagi. Boleh kan??”

“Tiga jam itu bukan sebentar, Gio. Itu udah lama,” Alvaro lantas beralih pada Sienna. “Sayang, kamu udah pucet gini lho. Udah keriput jari-jari kamu, artinya berenangnya kelamaan. Naik, yuk? Gio, udahan yuk Nak? Kalau ngga, kamu berenang sendiri lho. Kasian Bunda kalau temenin kamu terus, nanti Bunda sakit.”

Sienna memang sudah tampak lelah, terlihat dari bibirnya yang memutih dan sedikit bergetar.

Sienna hanya memperhatikan saja ketika Alvaro mengoceh ini itu, bawelnya sudah keluar kalau menyangkut dirinya, dan Sienna selalu menyukai cara lelaki itu memperlakukannya juga memperhatikan kondisinya.

“Gio, nggak papa ya Bunda udahan duluan? Tapi Gio juga udahan sebentar lagi, sepuluh menit lagi Bunda minta tolong mbak Gina buat ambilin handuk ya,” ujar Sienna.

“Hmm .. oke deh Bunda. Bunda jangan sampai sakit ya,” ujar Gio kemudian.

Sienna langsung mengulaskan senyumnya kala mendengar penuturan itu, Alvaro rupanya juga ikut tersenyum. Semakin hari, rasa sayang Gio pada Sienna semakin bertambah. Seakan tidak ada batasan yang membedakan posisi Sienna dengan Marsha. Gio tahu bahwa Marsha ibu kandungnya dan Sienna adalah calon ibu sambungnya, tapi hal itu tidak membuat perlakuan Gio kepada keduanya menjadi berbeda.

***

Sienna telah selesai mandi dan ia juga sudah mengeringkan rambutnya hingga jadi setengah kering. Rasanya setelah berenang, tubuhnya lelah sekali dan juga matanya mengantuk.

Ketika Sienna sedang menyisir rambutnya sambil berkaca di depan cermin ruangan walk in closet, Sienna merasakan sesuatu mendekap pinggang rampingnya dari belakang. Sienna masih melanjutkan kegitannya menyisir rambut, membiarkan Alvaro mendekapnya selagi ia melakukan hal lain.

“Mbak Ila tadi konfirmasi ke gue, konferensi persnya bisa diadain besok,” ujar Alvaro.

“Sebenernya gue nggak mau buat konferensi pers semacam itu. Takutnya media malah manfaatin keadaan dan mutar balik omongan yang gue sampaikan di acara itu,” lanjut Alvaro.

Sienna lantas membalikkan badannya agar ia berhadapan dengan Alvaro. “Al, lo udah pikirin ini mateng-mateng sebelumnya. Inget tujuan lo mau ngelakuin ini. Lo ngelakuin ini untuk masa depan Gio nantinya, setidaknya lo udah berusaha. Menurut gue, keputusan lo nerima saran perusahaan untuk bikin konferensi pers, udah tepat.”

Beberapa hari setelah resmi bercerai, isu miring tentang penyebab perceraian Alvaro dan Marsha masih saja berhembus, malah semakin membuat keadaan jadi runyam. Maka dari itu, Alvaro akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran entertainment yang menaungi namanya untuk membaut konferensi pers. Setelah selama ini memutuskan bungkam mengenai hal apa pun tentang perceraiannya, Alvaro akhirnya memutuskan angkat bicara. Alvaro tidak tahan lagi dengan pemberitaan buruk tentang dirinya mau pun tentang Marsha. Di masa depan nanti, Alvaro tidak ingin Gio mendapati jejak digital yang memberitakan hal kurang mengenakkan mengenai orang tuanya. Alvaro mencoba mencegah hal itu terjadi, jika pun suatu hari akan terbongkar, setidaknya ia telah berusaha.

“Ayo kita tidur. Lo pasti udah ngantuk banget, keliatan tuh,” ucap Alvaro sembari memperhatikan raut wajah Sienna dan sleepy eyes-nya.

“Ayo,” ucap Sienna dan kemudian Alvaro langsung meraih tangannya, mengajak perempuan itu untuk menikmati tidur siang mereka yang berharga.

Hands

***

Bagi Alvaro dan Sienna, tidur siang adalah hal yang sungguh berarti. Di tengah kesibukan pekerjaan mereka, waktu kebersamaan terasa sangat bermakna dan mereka selalu menghargainya.

Setelah kurang lebih dua jam terlelap, Alvaro dan Sienna kini telah kembali membuka mata. Perasaan mereka jauh lebih baik, tubuh terasa lebih bugar, dan hati plong bahagia.

“Mau pesen makanan nggak? Laper nih,” ujar Alvaro sembari memegangi perutnya yang terasa keroncongan.

“Mau makan apa emangnya?”

“Hmm …” Alvaro merenggangkan tubuhnya sejenak, lalu ia menguap sembari menutupi mulutnya.

I wanna eat you,” ujar Alvaro dengan nada berguranya, tatapannya tidak lepas menatap Sienna dengan senyuman yang tertahan di bibirnya.

Sienna mengambil bantal kecil lalu melemparkannya pada Alvaro. Alvaro berhasil menangkap bantal itu, lalu ia meraih tangan Sienna dan menarik gadis itu untuk kembali didekap.

I care about you a lot. I think about you almost every day, and I want to spoil you as much as I can,” Alvaro berucap di dekat Sienna. “Sky, I can’t wait to marry you,” lanjutnya.

Sienna hanya terkekeh kecil mendengar kalimat itu.

“Katanya laper, ayo pesen makan,” ujar Sienna setelah beberapa detik mereka hanya saling berpelukan.

Alvaro akhirnya mengurai pelukan mereka. Alvaro menatap Sienna dengan tatapan intens, lalu ia menunjuk pipinya menggunakan jari telunjuknya.

“Apa?” tanya Sienna yang tidak paham akan tingkah Alvaro.

“Cium dulu,” ujar Alvaro.

Sienna berdecak kecil, tapi akhirnya tetap mendekatkan tubuhnya untuk kemudian memberikan kecupan di sisi wajah Alvaro.

“Oke, ayo kita pesen makan.” Alvaro tersenyum bahagia dan ia segera bangkit dari posisinya. Sienna pun geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Alvaro yang bisa jadi kekanak-kanakan, bahkan melebihi Gio.

***

Gio yang semakin hari semakin menyayangi Sienna, kerap kali bersikap posesif ; terlebih ketika Alvaro bertingkah manja kepada Sienna.

Mereka baru saja selesai makan siang bersama. Seperti yang sudah-sudah terjadi, Alvaro dan Gio selalu berebut untuk mendapat perhatian Sienna. Kalau bisa, Sienna ingin membelah diri saja atau membuat kloningan dirinya, tapi itu kan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan.

Sienna melangkah ke ruang keluarga di saat Alvaro dan Gio masih mencuci tangan mereka di wastafel di dapur. Kedua lelaki berbeda generasi itu tengah berlomba mencuci tangan, dan siapa yang lebih cepat selesai, berarti dia yang akan dapat memeluk Sienna.

Sebenarnya bisa saja mereka melakukannya bersamaan, Sienna kan bisa berada di tengah lalu Alvaro dan Gio memeluknya dari kedua sisi yang berbeda. Namun dasarnya mereka tidak mau mengalah dan selalu ingin menang, terjadilah kesepakatan tersebut.

“Papa selesai duluan!” seru Alvaro setelah ia mengelap tangannya menggunakan handuk supaya kering.

Gio yang melihat Alvaro telah lebih dulu selesai darinya, mempercepat gerakan tangannya untuk dibersihkan dari sabun. Namun Alvaro tetap jadi pemenang dan berhasil sampai di ruang keluarga lebih dulu.

Ketika Gio sampai di sana, ia sudah mendapati Alvaro yang tengah memeluk Sienna dari samping.

“Sini, peluknya barengan. Jangan sedih dong anak Bunda kan anak hebat,” ujar Sienna sambil merentangkan satu tangannya untuk meraih Gio ke pelukannya.

“Kan Papa yang menang, harus sportif dong,” cetus Alvaro yang tidak terima. Kini Gio tengah memeluk Sienna dari sisi kiri dan Alvaro berada di sisi kanannya.

“Kan Bunda punya sama-sama, Papa. Papa nggak boleh gitu,” ucap Gio.

“Kamu kayak orang gede aja ya omongannya,” ujar Alvaro lagi masih berusaha mendebat anaknya sendiri.

“Al, kamu nih,” ucap Sienna mengingatkan Alvaro.

“Tau nih.” Gio pun ikut-ikutan ucapan Sienna. “Papa, kan Bunda Sienna bundanya Gio. Mau apa hayo, hah?”

“Eh, diajarin siapa kamu kayak begitu? Hah hah ke Papanya,” ucap Alvaro sembari menoel pipi anaknya.

“Diajarin sama Gio sendiri. Nih, bunda Sienna itu bundanya Gio,” oceh Gio.

“Yaa Bunda Sienna itu calon istrinya Papa. Mau apa hayo, hah?” Alvaro membalas dan tampak tidak mau kalah.

Sienna hanya bisa pasrah saja kalau sudah begini. Memilih diam adalah yang terbaik sampai kedua lelaki ini lelah sendiri dan berakhir menghentikan perdebatan.

“Calon istri itu apa emangnya?” Gio pun bertanya.

“Calon istri itu nantinya akan jadi istri. Kalau Bunda jadi istrinya Papa, artinya Bunda jadi Bundanya Gio juga. Bunda tinggal di sini selamanya sama kita. Gio mau nggak?” ujar Alvaro.

“Mau dong, Papa. Beneran nih?”

“Coba tanya sama Bunda,” ucap Alvaro sembari menampakkan senyum misteriusnya.

“Emang iya beneran Bunda? Bunda mau menikah sama Papa?” Gio beralih menatap Sienna, bocah itu sedikit mendongakkan wajahnya.

“Iya, Nak. Gio seneng nggak kalau Bunda menikah sama Papa?” Sienna bertanya.

“Seneng banget, karena kan Gio sayang sama Bunda. Tapi kapan menikahnya? Masih lama atau dikit lagi?”

Begitu banyak pertanyaan dari Gio yang memerlukan jawaban dari Alvaro dan Sienna. Mereka belum bisa menjawabnya, tapi yang jelas itu akan segera terjadi. Hari bahagia yang ditunggu itu, akan terlaksana secepatnya.

Gio akhirnya senang setelah diberi pemahaman bahwa Sienna dan Alvaro akan menikah suatu hari nanti. Itu artinya, Sienna akan menjadi bundanya, tinggal bersama dengannya dan Alvaro di rumah ini.

Sienna menatap Alvaro dan Gio secara bergantian. Sienna merasa bahagia, ia disayangi dengan tulus oleh dua laki-laki yang juga sangat ia sayangi. Alvaro dan Gio, keduanya hampir setiap hari mewarnai hidup Sienna, mencetak senyum di wajahnya, dan menjadi alasan dari bahagianya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

1 bulan kemudian.

Alvaro dan Marsha telah resmi dinyatakan bercerai, setelah melalui beberapa tahapan perceraian sesuai dengan aturan pengadilan negeri agama. Kemarin, sidang kesimpulan telah dilaksanakan, dan itu menjadi pertanda bahwa Alvaro dan Marsha telah final berpisah. Pengadilan sudah membuat keputusan dan melakukan pembacaan kesimpulan, setelah semua berhasil dibuktikan oleh saksi maupun surat yang diberikan dari kedua belah pihak.

Alvaro sebagai pihak penggugat yang membuktikan bahwa Marsha sebagai pihak tergugat telah melakukan perselingkuhan di dalam rumah tangga, akhirnya pada pembacaan keputusan, majelis hakim memutuskan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan Alvaro. Pihak Alvaro berhasil melakukan pembuktian pembenaran perselingkuhan, maka Marsha dinyatakan sudah gagal menjadi seorang ibu, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 mengenai perkawinan, yang berbunyi bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Ada beberapa hal yang disepakati oleh Alvaro dan Marsha. Salah satunya, mereka mengaku pada pengadilan bahwa Gio adalah anak kandung keduanya. Selain itu, Alvaro ingin semua informasi tentang perceraiannya di tutup rapat, dan sidang diadakan secara tertutup.

Kabar perceraian kedua artis kondang Alvaro Zachary dan Marsha Tengker pun berhembus dengan cepat. Kabar tersebut berhasil menggemparkan jagat dunia hiburan dan menorehkan tanda tanya besar. Berbagai media langsung memberitakan hal tersebut, membuat nama Alvaro dan Marsha menjadi buah bibir bagi khalayak.

Siang ini secara bergantian Alvaro dan Marsha keluar dari ruang sidang. Marsha keluar lebih dulu dan kehadirannya langsung disambut oleh para wartawan dengan berbagai kamera yang siap menyorotinya.

“Mbak Marsha, ngomong sedikit dong Mbak,” cetus seorang wartawan.

“Iya Mbak, dikit aja dong kasih keterangan. Hasil sidangnya seperti apa, dan katanya ada orang ketiga, apa itu bener?” sahut wartawan yang lain.

Berbagai pertanyaan pun datang bertubi-tubi. Marsha berada di sana didampingi oleh manager dan kuasa hukumnya, serta 2 orang bodyguard-nya. Para bodyguard dan petugas keamanan yang ada di sana pun menyuruh wartawan untuk memberi jalan bagi Marsha.

Marsha masih bungkam di balik masker dan kecamata hitam yang bertengger di batang hidungnya.

Wartawan tidak menyerah dan masih memaksa agar salah dari mereka angkat bicara, sampai akhirnya sang manager pun memutuskan buka suara. “Kalian bebas ingin membuat asumsi apapun. Pihak kami memilih menjaga privasi, karena gimanapun Al dan Marsha punya anak, kalian harusnya tau alasan mereka memutuskan hal ini tidak dibawa ke publik. Tolong pengertiannya sekali lagi, baik Al maupun Marsha udah sepakat untuk berpisah karena adanya masalah internal,” jelas Nisya yang merupakan manager dari Marsha.

“Wah ... jangan-jangan bener nih ada orang ketiga,” sahutan lantang itu terdengar dari salah satu wartawan laki-laki di belakang.

Di sisi yang berbeda, masih di area gedung pengadilan agama, sebagian wartawan menyerbu sosok Alvaro yang baru saja menampakkan dirinya. Sama dengan Marsha, Alvaro didampingi oleh manager, kuasa hukum, dan tiga orang bodyguard-nya.

Terjadi kerumunan di sana, sampai mereka tidak bisa bergerak. Para bodyguard berusaha menyingkirkan wartawan dan mengatakan terpaksa akan menggunakan tenaga jika mereka tidak juga memberi jalan.

Alvaro memilih bungkam saat cacian dan makian terlontar dari para wartawan yang menuduh bahwa dirinyalah yang telah mengkhianati pernikahan.

Nama Alvaro dan Marsha di cap jelek setelah sidang kesimpulan yang menyatakan bahwa mereka resmi bercerai. Masyarakat beranggapan bahwa kehidupan artis itu penuh dengan drama. Mereka bisa menikah dengan gampang, bercerai seenaknya, bahkan berganti pasangan layaknya berganti pakaian.

Berbagai isu penyebab perceraian Alvaro dan Marsha pun berhembus, diduga penyebabnya karena adanya orang ketiga. Namun tidak ada bukti kuat yang dapat mengklarifikasi isu miring tersebut. Alvaro telah meminta pengadilan mengadakan sidang perceraiannya dengan tertutup dan ia ingin kerahasiaan data dijamin sepenuhnya. Pengadilan pun bersedia menjamin privasi tersebut dan memastikan bahwa semuanya tersimpan aman.

Manager Alvaro akhirnya angkat bicara dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan memberi keterangan apa pun untuk menanggapi hal ini.

Jadi tidak ada lagi penjelasan yang didapatkan oleh para wartawan yang telah rela menunggu lama di depan gedung pengadilan. Mereka berakhir tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pada kenyataannya, percuma saja memberi keterangan, karena pada akhirnya kebanyakan media akan menggoreng lagi berita yang mereka dapatkan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Ini merupakan hari Sabtu. Kalau biasanya Sienna akan menghabiskan waktu paginya di akhir pekan untuk tidur ; sampai paling tidak jam 12 siang, kali ini ia tidak melakukannya. Pukul 10 pagi, Sienna telah ikut bersama Renata untuk berbelanja bahan makanan ke supermarket.

Seperti yang telah direncanakan, malam ini Alvaro dan Gio akan datang ke rumah untuk makan malam atas undangan dari Fabio. Sienna nampak berseri-seri sekali wajahnya, sampai Renata yang memperhatikan putrinya itu ikut senang juga.

“Mah, Alvaro nervous banget tau karena papa undang makan malem. Semalem kita video call-an, terus Sienna temenin dia sampai bisa ngantuk, soalnya dia gak bisa tidur saking gugupnya,” cerita Sienna sembari mendorong troli belanjaan, mengikuti langkah Renata dari belakang.

Renata sedang meminta petugas supermarket untuk memotong beberapa slice daging steak sirloin. Nampaknya acara makan malam ini sungguh spesial, Renata sampai belanja sebanyak ini dan akan memasak hidangan yang fancy.

Renata lantas menoleh ke belakang dan bertanya pada Sienna, “Emang kamu belum kasih tau Al kalau papa udah restuin hubungan kalian?”

“Belum,” Sienna menggeleng.

“Kamu nih. Kasian kan, Al jadi khawatir gitu. Kenapa nggak dikasih tau aja?” Renata memasukkan kantong plastic berisi daging sirloin yang telah di slice ke dalam troli belanjaan.

“Biar surprise dong, Mah. Sienna pengennya Al langsung tau dari papa,” ujar Sienna, senyum di bibirnya otomatis terukir.

“Yaudah kalau gitu. Papa kamu juga baru kasih tau Mama kemarin, karena katanya itu hukuman buat Mama. Soalnya Mama kan sempet ikutan bantuin kamu bohong ke papa, pas kamu pergi ketemu sama Al, padahal papa udah larang.”

Sienna kemudian terkekeh. “I’m sorry, Mam. Tapi makasih ya udah bantuin Sienna.”

“Gimana coba kalau papamu nggak restuin kamu sama Al? Bener emang katanya kamu nggak mau nikah sama laki-laki selain Al?” Renata bertanya yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Renata hanya penasaran bagaimana pandangan dan keseriusan putrinya dalam menjalani hubungannya dengan Alvaro.

Sienna kemudian mengangguk yakin untuk menjawab pertanyaan Renata. “Mungkin Sienna bakal tetep nikah kalau nggak sama Al, tapi pasti perasaannya beda, Mah.” Sienna membayangkan hal itu. Rasanya jika ia bersama orang lain, ia tidak akan bisa melupakan perasaannya yang ia miliki terhadap Alvaro. Alvaro akan tetap memiliki tempat spesial di hatinya, maka harapan Sienna adalah bisa hidup bersama orang yang telah sepenuhnya memiliki hatinya.

“Mah, Sienna nggak mau cari laki-laki lain yang menurut papa pantes buat Sienna. Sienna milih Al bukan karena dia yang paling pantes buat Sienna, tapi karena Sienna mau hidup selamanya sama Al, bukan orang lain.”

***

Pukul 7 malam, Alvaro dan Gio telah datang ke rumah, dan karena sudah jamnya makan malam, jadi mereka akan langsung menikmati hidangan yang telah tersaji cantik di meja makan.

Terdapat banyak makanan, mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga hidangan penutup. Renata menyiapkan camilan kesukaan Gio, yakni es krim dan coklat. Khusus malam ini, Alvaro memperbolehkan anaknya untuk menikmati makanan manis kesukaannya.

Di meja makan itu, kini terdapat orang tua Sienna, kakaknya, adiknya, Sienna, Alvaro, dan juga Gio. Fabio sebelumnya telah membuat briefing, bahwa ada yang penting yang perlu disampaikan setelah makan malam selesai. Jadi yang ada di sana nantinya hanyalah yang berkepentingan saja.

Setelah sekitar 30 menit mereka menyantap makanan, Renata meminta Valiant dan Christo untuk mengajak Gio bermain di kamar. Orang dewasa mempunyai urusan yang harus diselesaikan, jadi ada waktunya bagi anak kecil untuk tidak terlibat dulu.

Di meja makan itu, kini tersisa Fabio, Renata, Sienna, dan Alvaro. Fabio baru saja meneguk teh manis di gelasnya. Setelah meletakkan gelasnya di meja, Fabio berdeham sekali lalu ia berujar, “Alvaro, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu.”

Alvaro yang duduk di hadapan Fabio lantas mengarahkan tatapannya pada Fabio. Satu kali Alvaro menoleh pada Sienna yang berada di sampingnya. Tatapan Alvaro terlihat khawatir ketika netranya bertemu dengan netra Sienna. Sienna lantas hanya mengulaskan senyum teduhnya, lalu satu tangannya di bawah meja bergerak menggenggam tangan Alvaro yang ada di atas pahanya.

“Saya sudah memikirkannya selama seminggu belakangan ini. Ada banyak hal yang saya pikirkan. Sebagian tentang hubungan kamu dan Sienna, sebagian lagi tentang Gio. Saya ketemu Gio waktu dia nunggu Sienna di studio. Tanpa saya duga, kata-kata Gio berhasil meluluhkan hati saya.”

Alvaro mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Fabio ucapkan. Terdapat perbedaan dari cara Fabio menatapnya. Kalau dulu tatapan itu begitu dingin dan tidak bersahabat, kini ada secercah keteduhan dan kelembutan yang terpancar dari sana.

“Saya sadar akhirnya kalau selama ini saya terlalu menutup hati, hingga saya nggak bisa melihat kebaikan seseorang. Saya terlalu egois dengan cuma mikirin kebahagiaan Sienna, tanpa tau kalau saya memisahkan kamu, Sienna, dan Gio, ada kebahagiaan lain yang saya hancurkan. Saya minta maaf atas perlakuan saya sebelumnya kepada kamu.” Fabio menjeda ucapannya. Lelaki berusia 50 tahunan di hadapan Alvaro itu nampak menghembuskan napasnya dan terlebih, kedua mata itu terlihat berkaca-kaca ; hal yang jelas belum pernah Alvaro dapati di depan matanya.

Tanpa Alvaro sadari, kedua matanya juga terasa memanas. Alvaro berusaha kuat menahan air matanya agar tidak tumpah.

Kembali lagi Alvaro menatap Fabio ketika lelaki itu berujar, “Saya merestui hubungan kamu dengan Sienna. Saya mengizinkan kamu untuk bersama anak saya, karena saya percaya kamu dapat membahagiakannya.”

Lantas setelah mengatakannya, Fabio beranjak dari duduknya. Fabio menghampiri Alvaro dan mengajaknya berjabat tangan, seperti tanda bahwa kedua orang itu telah berdamai. Tidak ada lagi perseteruan di antara mereka, dan Fabio telah sepenuhnya merelakan putrinya untuk bersama lelaki pilihannya.

Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Alvaro menyambut uluran tangan Fabio. Sienna dan Renata menatap kejadian itu dengan senyuman haru dan mata yang juga sudah berkilat karena air mata yang tertahan.

Begitu tangan Fabio menjabat tangannya, Alvaro merasakan genggaman itu sedikit menguat.

“Dua puluh lima tahun saya menjaga Sienna dan berusaha selalu memastikan agar dia bahagia. Sekarang saya menyerahkan tanggung jawab itu kepada kamu, dan saya harap kamu mampu memegang tanggung jawab itu dengan baik.”

Atas permintaan Fabio tersebut, Alvaro menganggukinya dengan sebuah anggukan yakin. Begitu Fabio meraih Alvaro ke pelukannya, Alvaro nampak sedikti terkejut.

Fabio menepuk sekali punggung Alvaro dengan pelan, lalu Fabio berujar di dekatnya, “Terima kasih, kamu sudah hadir di hidup Sienna dan jadi alasan dia untuk bahagia.”

Alvaro nampak mengulaskan senyum harunya. Setelah pelukan itu terurai, Alvaro berujar kepada Fabio. “Terima kasih Om. Terima kasih sudah memberi restu untuk hubungan saya dan Sienna.” Alvaro mati-matian berusaha mengucapkan kalimat itu, ketika lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata. Namun detik setelahnya, pertahanan Alvaro akhirnya runtuh juga. Alvaro tidak lagi sanggup menahan air matanya untuk tidak tumpah.

***

Fabio telah mendengar kabar bahwa Sienna dan Alvaro sempat membicarakan soal pernikahan. Renata sudah tau itu terlebih dulu. Jadi setelah Alvaro menyelesaikan urusan perceraiannya dengan Marsha, Alvaro tidak ingin menunggu lama untuk meresmikan hubungannya dengan Sienna.

Kabar itu sungguh membahagiakan. Meski rasanya begitu cepat dan tentu sebagai orang tua, tetap terasa berat ketika harus melepas anak mereka untuk memulai hidup baru dengn seseorang yang dicintai. Namun begitulah kehidupan, akan ada perubahan-perubahan yang di awal terasa tidak mudah diterima.

Sekitar pukul 9 malam, Alvaro memutuskan pamit dari rumah itu. Ada yang berbeda kali ini, Alvaro tidak pulang bersama Gio. Alvaro sebelumnya telah berjanji pada Gio agar anak itu diperbolehkan menginap di rumah Sienna. Tadi sebelum berangkat, Gio telah membawa pakaian di alam ransel miliknya, bocah itu telah sangat siap untuk menginap.

Alvaro pulang sendiri akhirnya. Setelah berpamitan pada Fabio dan Renata, kini Alvaro berpamitan pada anaknya.

“Bener nih kamu nggak mau ikut Papa pulang?” Alvaro mencoba triknya sekali lagi, mana tahu Gio ingin ikut pulang dengannya.

“Nggak mau, Papa. Gio mau tidur sama Bunda malam ini. Papa pulang sendiri ya.” Dengan lugasnya Gio menjawab pertanyaan papanya.

Lantas Sienna, Fabio, dan Renata yang menyaksikan interaksi anak dan ayah di hadapan mereka itu hanya dapat mengulaskan tersenyum.

“Kamu nggak kasian sama Papa? Papa sendiri lho di rumah kalau nggak ada kamu,” ujar Alvaro lagi.

Gio nampak berpikir, lalu dua detik setelahnya anak itu kembali menjawab. “Kan di rumah ada banyak orang. Ada om Aufar, mbak Gina, mbak Ida, pak Amar, tuh banyak kan Papa.” Jawaban Gio sukses mengundang tawa orang-orang dewasa yang ada di sana.

“Gio mau bobo sama Bunda Sienna di kamar bunda,” ucap Gio lagi.

“Gio tidur di kamar Nenek sama Kakek aja, gimana? Kan Nenek juga mau tidur sama Gio, nanti Nenek beliin Gio mainan deh. Mau ngga?” celetuk Renata yang segera membuat Gio menoleh ke arahnya.

“Hmm ... nanti dulu ya Nenek. Lain kali deh beneran. Gio malam ini mau tidur sama bunda dulu,” jawab Gio dengan nada sok dewasanya. Seolah anak itu yang mengatur semuanya, dan semua orang harus menurutinya.

“Oke, bener ya. Besok kalau nginep lagi, Gio tidurnya sama Nenek ya?”

“Iya, Nenek,” sahut Gio diiringi senyum lebarnya, tidak lupa anak itu mengacungkan satu ibu jarinya kepada Renata.

Akhirnya setelah percakapan itu, Alvaro sungguhan pamit dan berlalu dari sana. Sienna dan Gio mengantar Alvaro sampai ke mobil, sementara Fabio dan Renata memilih masuk ke dalam rumah lebih dulu.

Say good bye dulu sama Papa,” ujar Sienna meminta Gio untuk berpamitan pada Alvaro.

Good bye, Papa. It’s oke to be alone, Papa. Kemarin Papa terus yang bobo sama Bunda, sekarang gantian Gio dulu ya.” Gio malah meledek Alvaro, tahu saja kalau papanya itu posesif terhadap bunda Siennanya dan mereka juga sering cemburu satu sama lain. Tidak Alvaro, tidak Gio, mereka menjadikan Sienna bahan rebutan.

Alvaro belum masuk ke mobilnya, lelaki itu lantas mengarahkan tangannya untuk kemudian mengusap puncak kepala Gio. “Jadi anak baik ya, nurut sama Bunda selama kamu di sini,” ujar Alvaro pada anaknya.

Setelah dari Gio, Alvaro beralih pada Sienna. “Gue pulang dulu. Titip Gio ya,” ujar Alvaro sembari mengusap puncak kepala Sienna dengan lembut.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Sudah biasa Alvaro melakukannya, tapi kali ini terasa ada yang berbeda. Sienna merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dan ia hanya dapat membeku di tempatnya. Sienna merasa tingkahnya jadi aneh, dan ia hanya berharap semoga Alvaro tidak menyadari itu.

Begitu Alvaro sudah memasuki mobilnya dan berada di balik kemudi, lelaki itu menatap Sienna leka-lekat dan senyum lebarnya terulas. “You look so happy today,” celetuk Alvaro.

Gio meminta Sienna agar mereka masuk, anak itu sudah meraih tangan Sienna dan merengek minta masuk ke rumah. Namun Gio hanya mendapat angin lalu saja, ia diabaikan karena kedua orang dewasa di hadapannya sedang asik menikmati belenggu cinta, tidak sadar bahwa ada manusia lain selain mereka.

I’m so happy tonight,” Alvaro kembali berucap, masih mempertahankan senyumnya dan menatap Sienna dengan tatapan penuh afeksi.

Good night, Sky. Have a sweet dream, ya.” Dua kalimat itu Alvaro ucapkan sebelum ia menutup kaca mobilnya. Setelah itu, range rover putih milik Alvaro benar-benar berlalu dari hadapan Sienna dan Gio.

Beberapa meter setelah mobil itu berlalu, senyum Sienna masih setia terulas di wajahnya ; nampaknya senyum itu belum ingin luntur sedikitpun.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Ini merupakan hari Sabtu. Kalau biasanya Sienna akan menghabiskan waktu paginya di akhir pekan untuk tidur ; sampai paling tidak jam 12 siang, kali ini ia tidak melakukannya. Pukul 10 pagi, Sienna telah ikut bersama Renata untuk berbelanja bahan makanan ke supermarket.

Seperti yang telah direncanakan, malam ini Alvaro dan Gio akan datang ke rumah untuk makan malam atas undangan dari Fabio. Sienna nampak berseri-seri sekali wajahnya, sampai Renata yang memperhatikan putrinya itu ikut senang juga.

“Mah, Alvaro nervous banget tau karena papa undang makan malem. Semalem kita video call-an, terus Sienna temenin dia sampai bisa ngantuk, soalnya dia gak bisa tidur saking gugupnya,” cerita Sienna sembari mendorong troli belanjaan, mengikuti langkah Renata dari belakang.

Renata sedang meminta petugas supermarket untuk memotong beberapa slice daging steak sirloin. Nampaknya acara makan malam ini sungguh spesial, Renata sampai belanja sebanyak ini dan akan memasak hidangan yang fancy.

Renata lantas menoleh ke belakang dan bertanya pada Sienna, “Emang kamu belum kasih tau Al kalau papa udah restuin hubungan kalian?”

“Belum,” Sienna menggeleng.

“Kamu nih. Kasian kan, Al jadi khawatir gitu. Kenapa nggak dikasih tau aja?” Renata memasukkan kantong plastic berisi daging sirloin yang telah di slice ke dalam troli belanjaan.

“Biar surprise dong, Mah. Sienna pengennya Al langsung tau dari papa,” ujar Sienna, senyum di bibirnya otomatis terukir.

“Yaudah kalau gitu. Papa kamu juga baru kasih tau Mama kemarin, karena katanya itu hukuman buat Mama. Soalnya Mama kan sempet ikutan bantuin kamu bohong ke papa, pas kamu pergi ketemu sama Al, padahal papa udah larang.”

Sienna kemudian terkekeh. “I’m sorry, Mam. Tapi makasih ya udah bantuin Sienna.”

“Gimana coba kalau papamu nggak restuin kamu sama Al? Bener emang katanya kamu nggak mau nikah sama laki-laki selain Al?” Renata bertanya yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Renata hanya penasaran bagaimana pandangan dan keseriusan putrinya dalam menjalani hubungannya dengan Alvaro.

Sienna kemudian mengangguk yakin untuk menjawab pertanyaan Renata. “Mungkin Sienna bakal tetep nikah kalau nggak sama Al, tapi pasti perasaannya beda, Mah.” Sienna membayangkan hal itu. Rasanya jika ia bersama orang lain, ia tidak akan bisa melupakan perasaannya yang ia miliki terhadap Alvaro. Alvaro akan tetap memiliki tempat spesial di hatinya, maka harapan Sienna adalah bisa hidup bersama orang yang telah sepenuhnya memiliki hatinya.

“Mah, Sienna nggak mau cari laki-laki lain yang menurut papa pantes buat Sienna. Sienna milih Al bukan karena dia yang paling pantes buat Sienna, tapi karena Sienna mau hidup selamanya sama Al, bukan orang lain.”

***

Pukul 7 malam, Alvaro dan Gio telah datang ke rumah, dan karena sudah jamnya makan malam, jadi mereka akan langsung menikmati hidangan yang telah tersaji cantik di meja makan.

Terdapat banyak makanan, mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga hidangan penutup. Renata menyiapkan camilan kesukaan Gio, yakni es krim dan coklat. Khusus malam ini, Alvaro memperbolehkan anaknya untuk menikmati makanan manis kesukaannya.

Di meja makan itu, kini terdapat orang tua Sienna, kakaknya, adiknya, Sienna, Alvaro, dan juga Gio. Fabio sebelumnya telah membuat briefing, bahwa ada yang penting yang perlu disampaikan setelah makan malam selesai. Jadi yang ada di sana nantinya hanyalah yang berkepentingan saja.

Setelah sekitar 30 menit mereka menyantap makanan, Renata meminta Valiant dan Christo untuk mengajak Gio bermain di kamar. Orang dewasa mempunyai urusan yang harus diselesaikan, jadi ada waktunya bagi anak kecil untuk tidak terlibat dulu.

Di meja makan itu, kini tersisa Fabio, Renata, Sienna, dan Alvaro. Fabio baru saja meneguk teh manis di gelasnya. Setelah meletakkan gelasnya di meja, Fabio berdeham sekali lalu ia berujar, “Alvaro, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu.”

Alvaro yang duduk di hadapan Fabio lantas mengarahkan tatapannya pada Fabio. Satu kali Alvaro menoleh pada Sienna yang berada di sampingnya. Tatapan Alvaro terlihat khawatir ketika netranya bertemu dengan netra Sienna. Sienna lantas hanya mengulaskan senyum teduhnya, lalu satu tangannya di bawah meja bergerak menggenggam tangan Alvaro yang ada di atas pahanya.

“Saya sudah memikirkannya selama seminggu belakangan ini. Ada banyak hal yang saya pikirkan. Sebagian tentang hubungan kamu dan Sienna, sebagian lagi tentang Gio. Saya ketemu Gio waktu dia nunggu Sienna di studio. Tanpa saya duga, kata-kata Gio berhasil meluluhkan hati saya.”

Alvaro mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Fabio ucapkan. Terdapat perbedaan dari cara Fabio menatapnya. Kalau dulu tatapan itu begitu dingin dan tidak bersahabat, kini ada secercah keteduhan dan kelembutan yang terpancar dari sana.

“Saya sadar akhirnya kalau selama ini saya terlalu menutup hati, hingga saya nggak bisa melihat kebaikan seseorang. Saya terlalu egois dengan cuma mikirin kebahagiaan Sienna, tanpa tau kalau saya memisahkan kamu, Sienna, dan Gio, ada kebahagiaan lain yang saya hancurkan. Saya minta maaf atas perlakuan saya sebelumnya kepada kamu.” Fabio menjeda ucapannya. Lelaki berusia 50 tahunan di hadapan Alvaro itu nampak menghembuskan napasnya dan terlebih, kedua mata itu terlihat berkaca-kaca ; hal yang jelas belum pernah Alvaro dapati di depan matanya.

Tanpa Alvaro sadari, kedua matanya juga terasa memanas. Alvaro berusaha kuat menahan air matanya agar tidak tumpah.

Kembali lagi Alvaro menatap Fabio ketika lelaki itu berujar, “Saya merestui hubungan kamu dengan Sienna. Saya mengizinkan kamu untuk bersama anak saya, karena saya percaya kamu dapat membahagiakannya.”

Lantas setelah mengatakannya, Fabio beranjak dari duduknya. Fabio menghampiri Alvaro dan mengajaknya berjabat tangan, seperti tanda bahwa kedua orang itu telah berdamai. Tidak ada lagi perseteruan di antara mereka, dan Fabio telah sepenuhnya merelakan putrinya untuk bersama lelaki pilihannya.

Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Alvaro menyambut uluran tangan Fabio. Sienna dan Renata menatap kejadian itu dengan senyuman haru dan mata yang juga sudah berkilat karena air mata yang tertahan.

Begitu tangan Fabio menjabat tangannya, Alvaro merasakan genggaman itu sedikit menguat.

“Dua puluh lima tahun saya menjaga Sienna dan berusaha selalu memastikan agar dia bahagia. Sekarang saya menyerahkan tanggung jawab itu kepada kamu, dan saya harap kamu mampu memegang tanggung jawab itu dengan baik.”

Atas permintaan Fabio tersebut, Alvaro menganggukinya dengan sebuah anggukan yakin. Begitu Fabio meraih Alvaro ke pelukannya, Alvaro nampak sedikti terkejut.

Fabio menepuk sekali punggung Alvaro dengan pelan, lalu Fabio berujar di dekatnya, “Terima kasih, kamu sudah hadir di hidup Sienna dan jadi alasan dia untuk bahagia.”

Alvaro nampak mengulaskan senyum harunya. Setelah pelukan itu terurai, Alvaro berujar kepada Fabio. “Terima kasih Om. Terima kasih sudah memberi restu untuk hubungan saya dan Sienna.” Alvaro mati-matian berusaha mengucapkan kalimat itu, ketika lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata. Namun detik setelahnya, pertahanan Alvaro akhirnya runtuh juga. Alvaro tidak lagi sanggup menahan air matanya untuk tidak tumpah.

***

Fabio telah mendengar kabar bahwa Sienna dan Alvaro sempat membicarakan soal pernikahan. Renata sudah tau itu terlebih dulu. Jadi setelah Alvaro menyelesaikan urusan perceraiannya dengan Marsha, Alvaro tidak ingin menunggu lama untuk meresmikan hubungannya dengan Sienna.

Kabar itu sungguh membahagiakan. Meski rasanya begitu cepat dan tentu sebagai orang tua, tetap terasa berat ketika harus melepas anak mereka untuk memulai hidup baru dengn seseorang yang dicintai. Namun begitulah kehidupan, akan ada perubahan-perubahan yang di awal terasa tidak mudah diterima.

Sekitar pukul 9 malam, Alvaro memutuskan pamit dari rumah itu. Ada yang berbeda kali ini, Alvaro tidak pulang bersama Gio. Alvaro sebelumnya telah berjanji pada Gio agar anak itu diperbolehkan menginap di rumah Sienna. Tadi sebelum berangkat, Gio telah membawa pakaian di alam ransel miliknya, bocah itu telah sangat siap untuk menginap.

Alvaro pulang sendiri akhirnya. Setelah berpamitan pada Fabio dan Renata, kini Alvaro berpamitan pada anaknya.

“Bener nih kamu nggak mau ikut Papa pulang?” Alvaro mencoba triknya sekali lagi, mana tahu Gio ingin ikut pulang dengannya.

“Nggak mau, Papa. Gio mau tidur sama Bunda malam ini. Papa pulang sendiri ya.” Dengan lugasnya Gio menjawab pertanyaan papanya.

Lantas Sienna, Fabio, dan Renata yang menyaksikan interaksi anak dan ayah di hadapan mereka itu hanya dapat mengulaskan tersenyum.

“Kamu nggak kasian sama Papa? Papa sendiri lho di rumah kalau nggak ada kamu,” ujar Alvaro lagi.

Gio nampak berpikir, lalu dua detik setelahnya anak itu kembali menjawab. “Kan di rumah ada banyak orang. Ada om Aufar, mbak Gina, mbak Ida, pak Amar, tuh banyak kan Papa.” Jawaban Gio sukses mengundang tawa orang-orang dewasa yang ada di sana.

“Gio mau bobo sama Bunda Sienna di kamar bunda,” ucap Gio lagi.

“Gio tidur di kamar Nenek sama Kakek aja, gimana? Kan Nenek juga mau tidur sama Gio, nanti Nenek beliin Gio mainan deh. Mau ngga?” celetuk Renata yang segera membuat Gio menoleh ke arahnya.

“Hmm ... nanti dulu ya Nenek. Lain kali deh beneran. Gio malam ini mau tidur sama bunda dulu,” jawab Gio dengan nada sok dewasanya. Seolah anak itu yang mengatur semuanya, dan semua orang harus menurutinya.

“Oke, bener ya. Besok kalau nginep lagi, Gio tidurnya sama Nenek ya?”

“Iya, Nenek,” sahut Gio diiringi senyum lebarnya, tidak lupa anak itu mengacungkan satu ibu jarinya kepada Renata.

Akhirnya setelah percakapan itu, Alvaro sungguhan pamit dan berlalu dari sana. Sienna dan Gio mengantar Alvaro sampai ke mobil, sementara Fabio dan Renata memilih masuk ke dalam rumah lebih dulu.

Say good bye dulu sama Papa,” ujar Sienna meminta Gio untuk berpamitan pada Alvaro.

Good bye, Papa. It’s oke to be alone, Papa. Kemarin Papa terus yang bobo sama Bunda, sekarang gantian Gio dulu ya.” Gio malah meledek Alvaro, tahu saja kalau papanya itu posesif terhadap bunda Siennanya dan mereka juga sering cemburu satu sama lain. Tidak Alvaro, tidak Gio, mereka menjadikan Sienna bahan rebutan.

Alvaro belum masuk ke mobilnya, lelaki itu lantas mengarahkan tangannya untuk kemudian mengusap puncak kepala Gio. “Jadi anak baik ya, nurut sama Bunda selama kamu di sini,” ujar Alvaro pada anaknya.

Setelah dari Gio, Alvaro beralih pada Sienna. “Gue pulang dulu. Titip Gio ya,” ujar Alvaro sembari mengusap puncak kepala Sienna dengan lembut.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Sudah biasa Alvaro melakukannya, tapi kali ini terasa ada yang berbeda. Sienna merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dan ia hanya dapat membeku di tempatnya. Sienna merasa tingkahnya jadi aneh, dan ia hanya berharap semoga Alvaro tidak menyadari itu.

Begitu Alvaro sudah memasuki mobilnya dan berada di balik kemudi, lelaki itu menatap Sienna leka-lekat dan senyum lebarnya terulas. “You look so happy today,” celetuk Alvaro.

Gio meminta Sienna agar mereka masuk, anak itu sudah meraih tangan Sienna dan merengek minta masuk ke rumah. Namun Gio hanya mendapat angin lalu saja, ia diabaikan karena kedua orang dewasa di hadapannya sedang asik menikmati belenggu cinta, tidak sadar bahwa ada manusia lain selain mereka.

I’m so happy tonight,” Alvaro kembali berucap, masih mempertahankan senyumnya dan menatap Sienna dengan tatapan penuh afeksi.

Good night, Sky. Have a sweet dream, ya.” Dua kalimat itu Alvaro ucapkan sebelum ia menutup kaca mobilnya. Setelah itu, range rover putih milik Alvaro benar-benar berlalu dari hadapan Sienna dan Gio.

Beberapa meter setelah mobil itu berlalu, senyum Sienna masih setia terulas di wajahnya ; nampaknya senyum itu belum ingin luntur sedikitpun.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di dalam mobil itu, baik Fabio maupun Sienna, tidak ada yang memulai pembicaraan. Jalanan Jakarta saat ini tampak cukup padat. Wajar saja sebenarnya, karena mereka berkendaratepat saat jam pulang kerja orang-orang kantoran.

Mobil yang dikendarai Fabio baru saja maju sedikit, tapi sudah berhenti lagi ; karena mobil di depan mereka berhenti. Pada saat itulah Fabio menoleh ke samping dan ia berujar, “Sienna, ada yag mau Papa tanyakan sama kamu.”

“Iya, Pah?” Sienna pun ikut menoleh dan menatap Fabio. Kemudian Sienna membiarkan Fabio bertanya padanya.

“Tadi pas Papa nunggu kamu, papa denger cerita dari Gio soal kejadian waktu itu.”

Awalnya Sienna belum ‘ngeh’ apa yang dimaksud oleh Fabio. Namun Fabio menjelaskan lagi bahwa Gio bercerita padanya soal kejadian Alvaro yang menolong Marsha ketika Marsha mendapat perlakuan kurang baik dari seorang laki-laki.

Akhinya Sienna bersedia menceritakan detail kejadiannya pada Fabio. Memang benar, waktu itu Alvaro menolong Marsha karena perempuan itu mendapat perlakuan buruk dari seorang laki-laki. Di mana laki-laki itu adalah orang yang berselingkuh dengan Marsha dan merupakan ayah biologis dari Gio.

“Pah, untuk Alvaro nggak mudah melakukan itu. Tapi Alvaro mutusin buat nolong Marsha karena satu alasan. Karena gimana pun Marsha, dia tetep ibu kandungnya Gio. Meskipun Alvaro udah tau Gio bukan anak kandungnya, itu nggak ngubah sedikitpun rasa sayang Alvaro ke Gio.”

Bagi Alvaro, tidak mudah melakukannya, karena sama saja itu seperti membuka luka lamanya. Harusnya pun Marsha bukan lagi tanggung jawab Alvaro, seharusnya Alvaro bsia saja tidak peduli dan menutup mata. Namun Alvaro menyelamatkan Marsha karena satu alasan. Bagaimana pun masa lalu dengan Marsha, Marsha tetaplah ibu kandung Gio. Alvaro melakukannya semata untuk anaknya. Hanya satu kali itu saja, Alvaro menyelamatkan Marsha, setelahnya mereka benar-benar berakhir.

Sienna tidak tahu bahwa selama Fabio tadi menunggunya dan bertemu Gio, keduanya mengobrol banyak hal. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Fabio jadi ingin tahu dan berakhir bertanya pada Sienna.

“Sienna,” ujar Fabio setelah Sienna selesai menjelaskan kejadian itu.

“Iya Pah?”

“Maafkan Papa. Papa sudah salah menilai Alvaro. Maaf, Papa selama ini terlalu menutup hati dan udah bersikap egois.”

***

Beberapa hari telah berlalu sejak percakapan Sienna dan Fabio di mobil. Setelah mendengar semua cerita itu, Fabio akhirnya tergerak hatinya. Fabio dapat melihat sisi baik dari Alvaro, dapat melihat cara lelaki itu memperjuangkan segalanya. Selama ini, Fabio hanya terlalu menutup hatinya, hingga tidak bisa melihat kebaikan seseorang. Fabio menyadari itu dan mengaku bahwa dirinya salah.

Pagi ini Fabio menghampiri Sienna yang masih bersiap-siap di kamarnya. Fabio mengetuk pintu kamar putrinya sebanyak dua kali sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam.

Di luar dugaan, Fabio meletakkan kunci mobil milik Sienna di atas meja. Sienna nampak bingung, alisnya menyatu di tengah. Pasalnya beberapa hari belakangan, Fabio bersikukuh mengantar dan menjemputnya ke studio.

“Papa nggak nganter Sienna ke studio?” Sienna bertanya.

“Mulai hari ini, Papa mengizinkan kamu bawa mobil sendiri ke studio. Papa juga mengizinkan kamu untuk ketemu sama Alvaro,” tutur Fabio. Sienna nampak tidak percaya kala mendengarnya. Kedua matanya membola, bahkan belah bibirnya sedikit terbuka.

“Sienna?” panggil Fabio menyadarkan Sienna dari bengognya.

Ketika Sienna telah sadar, ia berujar, “Pah … ini beneran?”

“Beneran, Sayang. Papa nggak larang lagi kamu berhubungan dengan Alvaro. Oh iya, Papa juga mau ngundang Alvaro makan malam di rumah kita.”

“Oke.Nanti Sienna bilang ke Alvaro.” Sienna hanya mengangguk sekali, ia masih tampak bingung dan coba mencerna semuanya. Sienna berusaha meyakinkan dirinya ini bukanlah mimpi, ini adalah nyata. Papanya telah merestui hubungannya dengan Alvaro.

“Sienna, tunggu.” Fabio menahan Sienna yang sudah akan berlalu setelah menyalami tangannya.

“Kenapa Pah?”

“Nanti tolong kamu kirim nomornya Alvaro ke Papa. Papa yang akan hubungi Alvaro secara langsung untung ngundang makan malam.”

Sienna hanya mengangguk sekali lagi, lalu Sienna benar-benar melangkah pergi dari sana. Sienna harus segera berangkat dan saat ini tidak punya waktu untuk meresapi semua yang terjadi pagi ini.

Ini terlalu ajaib dan membahagiakan baginya, maka Sienna akan memikirkannya lagi nanti dan memberi tahu Alvaro, tepatnya setelah ia selesai bekerja.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sienna telah memutuskan untuk terlebih dulu menuruti ego papanya. Sienna benar-benar tidak bertemu dengan Alvaro dan itu sudah berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Sienna berpikir, kalau ia bersikap lebih keras dari papanya, maka permasalahan ini tidak akan ada ujungnya. Sienna telah berdiskusi dengan Alvaro, dan lelaki itu setuju dengan rencananya. Mereka akan coba menuruti keinginan Fabio dulu, dan berharap mungkin itu bisa membuat hati Fabio luluh dengan sendirinya.

Sore ini Fabio datang ke studio untuk menjemput Sienna. Fabio tidak membiarkan Sienna pergi ke mana pun sendiri, jadi Fabio mengantar putrinya berangkat kerja dan juga menjemputnya ketika pulang.

Fabio telah sampai di studio sekitar 15 menit sebelum Sienna selesai dengan pekerjaannya. Jadi Fabio akan menunggu putrinya di sana. Fabio tadinya berniat akan menunggu Sienna di ruangan pribadinya, tapi langkahnya terhenti begitu saja saat sebuah suara terdengar memanggilnya.

Suara itu terasa fameliar, yang langsung membuat Fabio menoleh. Fabio nampak sedikit terkejut menemukan sosok kecil itu di belakangnya.

“Kakek,” panggil suara itu untuk yang kedua kalinya.

Fabio nampak bingung menghadapi situasi yang tengah terjadi. Belum sempat ia beranjak dari sana, sosok kecil di hadapannya itu berujar lagi, “Kakek nungguin bunda Sienna juga ya?”

“Iya.” Fabio hanya menjawab seadanya.

Setelah itu, yang terjadi adalah Gio berlalu dari hadapan Fabio. Anak itu berjalan menuju sofa di ruang tunggu dan duduk dengan anteng di sana. Fabio mengarahkan netranya pada Gio, lantas ia berpikir. Sudah sedekat apa bocah itu dengan Sienna? Fabio tahu betul putrinya, biasanya Sienna tidak ingin terlalu dekat dengan orang asing. Namun mengapa sekarang putrinya itu membiarkan dirinya terlalu dekat dengan Gio dan segala yang berhubungan dengan Alvaro?

Entah apa yang ada di pikirannya, Fabio justru melangkahkan kakinya menuju sofa itu. Kemudian Fabio mengambil tempat di samping Gio. Fabio memutuskan menunggu Sienna bersama dengan Gio.

“Kakek mau lihat nggak? Ada gambar papa, Gio, sama bunda Sienna,” oceh Gio sembari menunjukkan buku gambar yang bocah itu keluarkan dari tas ranselnya.

Fabio tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi ketika Gio memperlihatkan buku gambarnya, Fabio tertarik juga untuk melihat. Lantas Gio menyerahkan buku gambar itu kepada Fabio setelah anak itu membukakan halaman di mana gambar yang ingin ia perlihatkan berada.

Selama interaksi antara Fabio dan Gio berlangsung, Gina sebenarnya mendapati itu ketika ia kembali dari toilet dan tengah mencari keberadaan Gio. Namun Gina memilih menghentikan langkahnya dan mengamati dari posisi agak jauh. Gina membiarkan interaksi tersebut terjadi. Pasalnya kedua orang itu nampak akrab, jadi Gina tidak ingin mengganggu.

Kembali pada Fabio yang tengah melihat gambar di salah satu halaman di buku gambar milik Gio. Fabio mendapati gambar denga judul ‘Keluarga’ yang dibuat oleh Gio.

“Ini Gio yang gambar sendiri?” Fabio bertanya.

“Iya. Gio gambar sendiri karena ini tugas sekolah. Bu guru suruh Gio gambar keluarga, jadi Gio gambar papa, Gio, sama bunda,” jelas Gio dengan begitu lugasnya. Nampak senyum kecil di wajah bocah itu ketika menjelaskan soal gambar yang dibuatnya.

Fabio memperhatikan senyum Gio, senyum yang nampak begitu tulus dari seorang anak kecil. Fabio tiba-tiba membayangkan bagaimana kalau kebahagiaan anak ini hilang dari dirinya? Pancaran mata itu begitu mendamba sebuah kehangatan dari sebuah keluarga kecil yang harmonis.

“Kakek,” ujar Gio.

“Iya?” Fabio memberikan atensinya kepada Gio, tatapannya kini tertuju kepada Gio yang berada di sampingnya.

“Kemarin papanya Gio nolongin mama dari orang yang sakitin mama. Papa sama mama udah gak tinggal bareng lagi. Gio sedih sih, tapi Gio punya bunda Sienna yang sayang banget sama Gio. Papa sama bunda juga saling sayang, jadi Gio gak sedih lagi deh.”

“Kakek?” Gio berujar dengan nada bingungnya ketika mendapati Fabio hanya terdiam usai ia secara spontan bercerita.

“Kakek kenapa?” Gio bertanya lagi, nadanya terdengar khawatir.

“Nggak papa,” ujar Fabio, coba memberitahu Gio bahwa dirinya baik-baik saja. Fabio berusaha menutupinya agar Gio tidak tidak tahu bahwa rentetan kalimat yang bocah itu ucapkan telah berhasil mengobrak-abrik perasaan Fabio.

“Gio,” ujar Fabio.

“Iya Kakek?”

Fabio masih memegang buku gambar itu dengan tangannya, lalu ia bertanya “Kenapa Gio bisa sayang sama bunda Sienna?”

Pertanyaan itu jelas membuat Gio bingung. Namun anak itu tetap akan menjawabnya, sesuai dengan apa yang mampu ia pikirkan, sesuai apa yang dirasakan oleh hatinya.

“Gio sayang sama bunda Sienna karena bunda orangnya baik banget. Waktu mama Gio pergi, bunda dateng, bunda temenin Gio. Bunda suka bacain Gio cerita dongeng biar Gio bisa tidur, bantuin Gio kerjain PR sekolah juga.”

“Kakek, tau gak? Tadinya papa sedih banget pas mama pergi. Tapi pas ada bunda Sienna, papa bisa bahagia lagi. Gio sayang dan bangga banget samaa papa. Gio seneng karena Gio punya papa dan bunda Sienna yang hebat,” lanjut Gio.

Fabio hanya mampu mengulaskan senyum getirnya mendengar semua kalimat itu. Perkataan Gio btelah erhasil mendobrak pintu hatinya yang selama ini tertutup. Entah keajaiban apa yang dimiliki anak ini, hingga perkataannya mampu menembus hati Fabio. Fabio dapat merasakan, anak sekecil ini memiliki hati yang murni dan tulus, dan ucapannya pasti adalah kejujuran yang berasal dari dalam hatinya.

Fabio pun mampu merasakan kehangatan melalui kata-kata yang Gio ucapkan. Gio begitu bahagia berkat kehadiran Sienna, tepat setelah ibu kandungnya pergi meninggalkannya. Maka jika Fabio memisahkan mereka, ia akan merasa jadi manusia terjahat dan juga seorang ayah yang gagal untuk Sienna.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sekitar pukul 7 malam, Sienna baru saja tiba di rumah setelah hari yang terasa panjang yang dilauinya. Tadi Alvaro mengantarnya sampai rumah, tapi lelaki itu tidak mampir.

Saat akan melangkah masuk, Sienna langsung mendapati Fabio duduk di teras ; seolah papanya itu memang telah menunggu kepulangannya.

“Sienna, kamu berniat bohong atau sengaja melanggar perintah Papa di depan mata Papa sendiri?” ujar Fabio, nadanya terdengar dingin dan agak ketus.

Sienna baru saja melepas flat shoes-nya dan meletakannya di rak sepatu di samping teras. Sienna tidak mungkin menghindari omelan papanya, ia tahu bahwa dirinya harus menghadapi sesuatu yang telah ia langgar.

“Papa larang kamu ketemu sama dia, tapi kamu masih ketemu dan bahkan bohong sama Papa. Mama kamu juga ikutan bohongin Papa,” ucap Fabio lagi, kali ini dari nada bicaranya terdenagr ada kekecewaan.

Fabio melarang Sienna untuk bertemu Alvaro, tapi akhirnya tau kalau putrinya telah membohonginya. Sienna menemui Alvaro dan yang membuat Fabio murka adalah Sienna melibatkan dirinya pada kehidupan Alvaro, lagi dan lagi.

“Sienna, kamu akhiri hubungan kamu dengan dia. Ini adalah perintah telak dari Papa.”

“Pah—”

“Apa lagi? Kamu mau membantah ucapan Papa?”

Fabio nampak menghembuskan napasnya dan memegangi dadanya. Setelah coba menenangkan diri, Fabio akhirnya menjelaskan pada Sienna. “Papa begini karena Papa sayang sama kamu, Sienna. Selama ini, kamu rela menjalani hubungan yang tidak jelas arahnya, kamu rela berada di posisi yang bisa merugikan kamu, nggak tau sekarang, nggak tau nanti. Bagi Papa, hubungan kamu dan Alvaro adalah hubungan yang tidak dilandaskan pada ajaran Tuhan dan agama kita.”

Menurut Fabio, Alvaro telah berani-beraninya memacari anak gadisnya di saat lelaki itu masih terikat pernikahan dengan perempuan lain. Hal tersebut jelas melanggar aturan agam mereka.

Selain itu, kehidupan dan masa Alvaro yang terlalu rumit, membuat Fabio tidak ingin anaknya terlibat dengan lelaki itu, karena tidak ingin Sienna ikut terbawa masalah.

“Sienna, sekali lagi Papa bilang sama kamu. Akhirin hubungan kamu sama dia. Kamu cuma dibutakan oleh cinta, Nak. Papa hanya nggak ingin anak Papa disakiti.”

***

Sienna hanya bicara seperlunya ketika berhadapan dengan Fabio, dan itu sudah berlangsung selama tiga hari lamanya. Sienna tahu sikapnya ini tidak baik, ia terlihat seperti anak yang durhaka kepada orang tua. Namun Sienna punya alasan melakukannya. Ia ingin papanya juga mengerti. Sienna tahu Fabio begitu menyayanginya, tapi tidak selamanya cara menyayangi adalah dengan mengutamakan ego dan bersikap keras hati.

Fabio bahkan tidak memberi Alvaro kesempatan untuk menunjukkan sedikit saja itikad baiknya. Fabio sudah terlalu menutup hati, entah cara apa lagi yang harus Sienna dan Alvaro lakukan untuk meluluhkan hati seorang ayah yang berasumsi bahwa beginilah cara mencintai putrinya.

Malam ini di ruang keluarga, hanya Sienna yang tidak terlihat. Papa, mama, kakak, dan adiknya tengah berkumpul sembari menikmati cemilan dan menonton siaran TV.

“Sienna ke mana Mah?” celetuk Valiant.

“Ad di kamarnya. Dari pulang kerja tadi, belum keluar tuh sampai sekarang,” ujar Renata dengan nada khawatir.

“Belum makan dong dia?” tanya Valiant.

“Belum. Padahal Mama masak makanan kesukaan dia lho.” Usai pembicaraan itu, tiba-tiba Fabio beranjak dari posisinya. Fabio meninggalkan ruang keluarga dan sepertinya akan menuju kamar Sienna.

“Kasian deh kakak. Lagian kenapa papa nggak restuin hubungan kakak sih, Mah?” Christo bertanya dengan raut bingungnya.

“Ini urusan orang dewasa. Intinya papa kamu tuh cuma belum luluh aja,” ujar Renata yang kemudian ikut menyusul langkah Fabio.

Christo lantas hanya geleng-geleng kepala, tanda bahwa dirinya tidak dapat memahami jalan pikrian orang dewasa yang menurutnya terlalu rumit.

Apakah cinta memang membuat seseorang menjadi buta? Namun Christo sendiri pun ingat, ia belum pernah mendapati kakaknya sekacau ini karena urusan asmara.

Ketika Christo melihat Sienan seperti sekarang, ia jadi beranggapan bahwa kakaknya itu sungguh-sungguh telah mencintai sosok kekasihnya. Itu artinya, Alvaro telah benar-benar membuat Sienna jatuh sedalam-dalamnya ; karena jika tidak, Christo yakin kakaknya tidak akan sampai seperti ini.

***

Fabio mendapati Sienna tertidur di kamarnya. Pintu kamar Sienna tidak dikunci seperti kemarin. Fabio pun bersyukur, artinya anaknya sudah tidak terlalu marah padanya.

Fabio lantas berjalan mendekat, lalu ia duduk di tepi kasur. Tanpa Fabio tahu, Renata berada di daun pintu, mengamati apa yang sedang Fabio lakukan di sana.

Fabio mengangkat tangannya dan dengan lembut mengusap puncak kepala Sienna. Renata tahu betul alasan suaminya bersikap seperti itu. Kasih sayang seorang ayah pada anaknya memanglah begitu besar, maka tidak bisa dipaksa begitu saja agar Fabio luluh hatinya. Biarkan itu terjadi secara alami dan memang membutuhkan waktu.

“Sienna, maafkan Papa,” ucap Fabio di dekat Sienna.

“Papa minta maaf, Papa udah bikin kamu sedih,” lagi, Fabio berujar dengan nada yang terdengar pilu.

Fabio sedikit tertegun ketika mendapati Sienna menangis di dalam tidurnya, air bening itu mengalir dari pelupuk mata putri tersayangnya.

Fabio masih di sana, ia mengatami wajah tertidur Sienna yang nampak damai, tapi tahu bahwa putrinya sebenarnya tengah bersedih.

Satu hal yang lantas menarik perhatian Fabio adalah sebuah bingkai foto berukuran mini yang di berada di dekapan putrinya. Sienna tidur sembari memeluk benda itu.

Secara perlahan agar tidak membangunkan Sienna, Fabio mengambil bingkai itu dari dekapan Sienna. Fabio melihat foto di dalam bingkai itu yang berisikan potret Sienna, Alvaro, dan Gio. Di foto itu, Sienna terlihat begitu bahagia, Fabio dapat merasakannya hanya dari melihat senyum yang tercetak paras putrinya.

“Sienna, apa dia benar-benar bisa membuat kamu bahagia?” Fabio bermonolog.

Fabio meletakkan bingkai foto itu ke nakas di samping kasur, lalu ia kembali menatap wajah tertidur Sienna. Selama beberapa detik, Fabio masih di sana dengan banyak cabang pikiran di dalam kepalanya.

Mengapa hatinya terlalu keras hingga jadi tertutup seperti ini? Apa yang sebenarnya Fabio inginkan? Apakah yang telah ia lakukan ini salah? Semua pertanyaan itu hanya satu jawabannya, dan sebenarnya Fabio sudah mengetahuinya. Fabio hanya ingin Sienna bahagia, dan ia sudah tahu alasan putrinya bahagia adalah eksistensi lelaki yang dicintai oleh putrinya. Lelaki itu hadir di hidup putrinya dan memberikan kebahagiaan, lantas mengapa Fabio malah menjauhkan putrinya dari kebahagiaannya?

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Flashback.

Di usianya yang ke 19 tahun, Alvaro mendapati dirinya menjadi seorang ayah. Hari di mana Gio lahir, Alvaro tidak akan pernah lupa bahwa ia menjadi lelaki yang paling bahagia.

Alvaro menjadi lelaki yang pertama menggendong bayi mungil itu, menjadi lelaki pertama yang memegang jemari-jemari kecilnya. Alvaro pikir hidupnya jadi lebih baik sejak Giorgino Gavi Zachary lahir ke dunia. Menjadi seorang ayah, rupanya adalah perasaan yang membahagiakan dan juga menakjubkan.

Sudah menjadi keputusan Alvaro dan Marsha, bahwa sejak bayi, Gio akan tinggal dengan Alvaro dan Inggit. Marsha sering berkunjung ke rumah, atau kadang menginap pada akhir pekan. Sejak balita hingga menginjak usia 3 tahun, Gio mengenal bahwa Alvaro dan Marsha adalah orang tua kandungnya.

Semakin Gio beranjak besar, anak itu semakin pintar dan sering bertanya pada orang tuanya tentang mengapa papa dan mamanya tidak menikah ; tidak seperti orang tua teman-temannya. Makanya Gio selalu ingin papa dan mamanya menikah dan tinggal di rumah yang sama.

Gio tidak pernah tahu bahwa Alvaro mengakuinya sebagai anak angkat di hadapan publik. Alvaro terpaksa melakukannya, dan ia merasa sangat bersalah akan itu.

Di suatu malam, saat Gio tidak bisa tidur, Alvaro datang ke kamar anaknya. Alvaro akan menceritakan cerita lucu yang kemudian mengundang gelak tawa bocah berusia 4 tahun itu.

“Sekarang Gio tidur ya, ini udah malam,” ucap Alvaro setelah kurang lebih tiga puluh menit ia bercerita.

“Papa, boleh Gio tanya sesuatu?” tanya Gio sambil menatap Alvaro.

“Boleh dong, Sayang. Gio mau tanya apa?”

“Bisa nggak, suatu hari Papa sama mama menikah? Kalau menikah, Papa sama mama nanti tinggalnya bareng, kan? Orang yang menikah itu saling sayang kan, Pah? Papa dan mama kan saling sayang.”

Alvaro sempat terdiam dan tidak langsung menajwab pertanyaan Gio. Namun ia tidak ingin membuat anaknya bingung dan bersedih.

“Kalau Papa dan mama menikah, emangnya Gio seneng?” Alvaro bertanya sembari menggerakkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Gio.

“Seneng banget. Gio kan pengen tinggal sama Papa dan mama. Gio sayang Papa, sayang mama juga.” Gio menjawabnya sembari menatap Alvaro dengan mata puppy eyes-nya yang sanagt lucu dan menggemaskan itu.

“Iya, Sayang. Gio sabar ya, nanti Papa dan mama akan bicarakan dulu,” ujar Alvaro akhirnya.

Gio mengangguk dengan semangat, lalu bocah itu menampakkan senyum lebarnya. Namun Gio belum tidur, ia malah bertanya lagi pada Alvaro. “Papa sayang sama mama kan?”

Alvaro dengan cepat mengangguk, lalu ia menyematkan kecupan di puncak kepala Gio. “Papa sayang mama dan juga sayang Gio, sayang sekali.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Flashback.

Malam itu, Alvaro baru saja selesai menghadiri sebuah ajang bergengsi untuk penghargaan film. Alvaro memenangkan penghargaan atas aktor pendatang baru terbaik di tahun itu. Film laga yang dibintanginya, sukses dengan berhasil mendapatkan 2 juta penonton dalam waktu penayangan minggu. Itu adalah pencapaian besar di usia Alvaro yang masih terbilang muda, saati itu usianya baru menginjak 18 tahun.

Bukan hanya mamanya saja yang yang bangga, tapi perusahaan management-nya juga begitu bangga pada Alvaro. Tidak lupa, kekasih juga bangga sekali padanya. Marsha memberi surprise untuk Alvaro setelah menyuruh Alvaro datang ke apartemennya malam ini.

Rupanya hanya ada Marsha di sana, padahal Alvaro mengira Marsha akan mengundang teman-teman mereka yang berasal dari sesama artis, paling tidak. Lantas Marsha hanya mengatakan kalau ia ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Alvaro. Alvaro telah sibuk menjalani shooting beberapa bulan belakangan, hingga mereka jarang bertemu. Belum lagi, promosi film yang harus dijalani Alvaro, membuat waktunya tersita disaat ia harus membaginya pada sang kekasih.

“Al, selamat ya. Aku bangga banegt sama kamu,” ucap Marsha.

Alvaro lantas tersenyum. “Makasih ya, Sayang,” ujarnya kemudian.

Marsha lantas menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Alvarp. Alvaro langsung membuka isinya dan matanya seketika membeliak. Alvaro nampak senang, Marsha membelikan sebuah sepatu mahal yang Alvaro incar dari dulu.

Tidak hanya sepatu, tapi Marsha juga memberikan sebuah jam tangan dan sebotol minuman alkohol. Alvaro tahu itu minuman mahal dan tidak mudah mendapatkannya karean memang harus di impor dari luar negeri.

Marsha kemudian berjalan menjauhi Alvaro, rupanya perempuan itu tengah mengambil dua buah gelas tinggi dari laci.

Marsha kembali pada Alvaro, meletakkan gelas di tangannya di meja. “Wanna have a drink together?” tanya Marsha.

Of course,” ucap Alvaro yang lantas meminta Marsha menuangkan minuman untuk mereka berdua.

Malam itu, setelah beberapa saat kerongkongannya merasakan minuman keras, Alvaro pun hilang kesadaran. Semuanya tiba-tiba gelap dan ada gelenyar aneh dari dalam dirinya.

Alvaro tidak berniat melakukannya. Ia tidak berniat menyentuh Marsha, tapi keesokan harinya, Marsha mengatakan mereka telah melakukan hubungan badan semalam.

Pagi hari yang akan selalu Alvaro ingat, di mana dirinya rasa berdosa karena telah merusak pacarnya sendiri. Alvaro tidak berpikir sejauh ini dirinya akan melakukannya dengan Marsha. Alvaro bukanlah lelaki suci yang tidak pernah menyentuh kekasihnya sama sekali, tapi apa yang telah ia lakukan adalah lebih dari sekedar menyentuh. Alvaro telah membuat Marsha menerima miliknya yang seharusnya itu tidak terjadi sebelum mereka terikat pernikahan.

***

Beberapa minggu kemudian.

Alvaro berusaha menepis pikiran negatif di pikirannya saat Marsha mengatakan ingin bicara dengannya. Marsha bilang ini sesuatu yang penting dan Alvaro harus mengetahuinya.

“Al, aku hamil.” Tiga kata itu yang diucapkan Marsha itu berhasil membuat Alvaro tercekat. Rasanya seperti ada sesuatu tak kasat mata yang kini mencekik lehernya.

Alvaro masih mematung di tempatnya, sampai akhirnya Marsha menunjukkan sebuah testpack bergaris dua di hadapan Alvaro.

Alvaro melihat ke arah benda itu dengan tatapan bingung. Bingung atas apa yang terjadi, dan bagaimana harus menghadapi tanggung jawab yang besar ini.

“Sha, malam itu aku nggak inget. Kamu yakin kita ngelakuin itu?” Alvaro bertanya tanpa maksud melukai perasaan Marsha.

“Maksud kamu? Al, kita ngelakuin itu. Mungkin kamu nggak inget, tapi jelas aku inget. Aku selama ini sama kamu. Sikap kamu seolah-olah nuduh kalau aku selingkuh,” ucap Marsha dengan Marsha pilu dan terlihat ekspresi kecewa di wajahnya.

“Sha, nggak gitu maksud aku. Aku cuma lupa kita udah ngelakuin itu. Siapa tau hasil testpack-nya salah, kita ke dokter yaa buat pastiin?” Alvaro membujuk Marsha. Namun Marsha sudah lebih dulu mengeluarkan sebauh amplop dari tasnya. Marsha menyerahkannya pada Alvaro dan meminta lelaki itu untuk membaca isinya.

Dengan perasaan cemas, Alvaro membaca keterangan di kertas itu. Jelas tertulis di sana bahwa Marsha tengah mengandung dan kandungannya sudah masuki usia 2 minggu.

Alvaro kalut, tapi ia dipaksa untuk berpikir dan mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang sulit. Di saat usianya masih terbilang muda, Alvaro merasa ia tidak siap menjadi seorang ayah.

Namun di satu sisi, Alvaro tidak kepikiran untuk kehilangan darah dagingnya.

Alvaro akhirnya membuat keputusan, ia tidak ingin kehilangan anak mereka. Alvaro tidak sanggup mengorbankannya darah dagingnya sendiri demi keamanan karirnya, tidak kepikiran juga di benaknya untuk menjadi seorang yang lebih bejad lagi.

Alvaro dan Marsha memutuskan mempertahankan anak itu dan akan merawatnya bersama. Meskipun ada yang harus mereka lakukan guna menjaga nama mereka sebagai artis tetap bersih. Mungkin sebagai orang tua Alvaro dan Marsha tidak sempurna, tapi mereka akan selalu mencoba memberikan kasih sayang utuh untuk calon anak mereka.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭