alyadara

Marsha hari ini kembali datang rumah Alvaro. Marsha berniat mengambil beberapa barangnya yang masih tersisa di sana. Sebagian ada di kamar tidur, kamar yang dulu menjadi tempat baginya dan Alvaro. Marsha menyapukan matanya ke penjuru ruangan. Dahulu Marsha dan Alvaro mencurahkan kasih di sini. Namun kini semuanya 180 derajat berubah.

Marsha selesai dengan kegiatannya memasukkan barang-barangnya ke satu koper berukuran sedang. Setelah itu Marsha melangkah keluar kamar.

Marsha tidak berniat langsung pergi seorang diri. Marsha mencari keberadaan Gio di kamar anaknya.

“Gio? Nak?” panggil Marsha yang belum juga mendapat sahutan. Marsha kembali mencari ke ruangan lain dan akhirnya menemukan Gio berada di ruang belajar. Gio tidak sendiri di sana, anak lelaki itu sedang bersama Alvaro.

Marsha masuk ke ruangan itu dan tidak lama kehadirannya langsung di sadari oleh Alvaro maupun Gio. Kedua lelaki beda generasi itu lantas mengalihkan atensi kepada Marsha yang tengah berdiri di ambang pintu.

“Gio, ikut Mama nginep di rumah eyang uti dan eyang kakung, yuk?” ujar Marsha begitu langkahnya sampai di depan Gio dan Alvaro.

Gio tampak bingung memandang Marsha, lalu bergantian ia memandang Alvaro.

Alvaro masih diam di tempatnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya.

“Eyang-eyang pada kangen sama Gio, pengen banget ketemu sama Gio.” Marsha berucap lagi.

“Mama … kenapa baru sekarang kangennya? Mama juga baru ke rumah ini sekarang. Mama kemarin ke mana? Padahal Gio kangen Mama, tapi Mama nggak kangen Gio yaa?” pertanyaan polos itu lolos begitu saja dari bibir kecil Gio.

Marsha nampak gelagapan dan bingung bagaimana harus menjelaskan pada putranya.

“Mama sama Papa berantem ya? Kenapa Mama nggak tinggal di rumah ini lagi?” Gio berujar lagi.

“Engga, Sayang. Mama sama Papa nggak berantem kok,” ujar Marsha dengan suara pelannya.

Begitu Marsha meraih tangan Gio dan akan membawa bocah itu ikut bersamanya, Alvaro dengan cepat menahan satu tangan Gio yang lain.

“Kamu perlu izin aku dulu untuk bawa Gio sama kamu.” Alvaro berucap dengan nada tegasnya sembari melayangkan tatapannya pada Marsha.

“Aku nggak perlu izin kamu, Al. Gio anak aku.” Marsha nampak keras kepala.

“Gio juga anak aku,” Alvaro berucap sengit.

“Mama, Papa. Gio nggak mau ikut siapa-siapa. Gio mau Mama di sini aja, biar Gio bisa sama Papa dan sama Mama juga,” ucap Gio dengan polosnya. Bocah itu jelas tidak mengerti kondisi orang tuanya.

“Gio, nggak mau ikut sama Mama? Gio sayang Mama kan, Nak?” tanya Marsha.

“Tapi Gio juga sayang Papa, Mah. Gio nggak mau ninggalin Papa di rumah sendiri. Gio nggak mau.”

Atmosfer di ruangan itu menjadi begitu dingin serta menakutkan, terutama bagi Alvaro dan Marsha. Tidak ada lagi kehangatan yang seperti dulu menyelimuti mereka. Tidak ada lagi kebahagiaan yang harusnya bertahan untuk Gio yang anak itu dapatkan dari kedua orang tuanya.

“Al, kamu harusnya ngerti. Aku yang melahirkan Gio dan aku ibu kandungnya. Aku kangen anakku dan tolong sekali ini aja, tolong kamu ngertiin aku,” ucap Marsha dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Kalimat Marsha terasa seperti tamparan bagi Alvaro. Kenyataan itu memang benar, apa yang diucapkan Marsha memang benar bahwa Gio adalah hanya anak Marsha, bukan anaknya. Alvaro sudah membuktikannya melalui test DNA, dan faktanya Gio memang bukan darah dagingnya. Namun Alvaro juga tidak bisa jauh dari Gio. Katakan saja ia egois, Alvaro tidak peduli. Alvaro terlalu takut Marsha membawa Gio pergi selamanya darinya.

Tatapan Alvaro lantas turun pada tangannya yang menggenggam tangan Gio. Perlahan-lahan, Alvaro akhirnya melepaskan genggaman itu. Alvaro pun telah membuat keputusan yang menurutnya paling bijak dan seharusnya ia bisa bersikap lebih dewasa. Di satu sisi, Marsha memang telah salah sempat meninggalkan kewajibannya sebagai ibu bagi Gio. Namun bagaimana pun, Marsha tetaplah ibu kandung yang telah melahirkan Gio. Gio bisa lahir ke dunia ini berkat perjuangan Marsha, dan perempuan itu telah rela mempertaruhkan nyawanya untuk Gio.

“Gio, dengerin Papa ya, Nak. Gio ikut Mama untuk nginep di rumah eyang, cuma untuk beberapa hari.” Alvaro berujar, meski hatinya terasa berat kala mengatakannya.

“Gio nggak mau, Papa. Gio maunya sama Papa dan Mama,” ucap Gio.

Alvaro lantas mengambil satu tangan Gio dan kembali menggenggam tangan kecil itu. “Suatu hari Gio akan paham. Papa pasti jelasin ke Gio, tapi Papa nggak bisa jelasin sekarang. Gio akan paham kalau ada beberapa hal yang membuat Papa dan Mama nggak bisa bersama lagi. Gio akan tetap tinggal sama Papa, tapi sesekali Gio ikut sama Mama, oke?”

Gio masih di tempatnya, bocah itu belum beranjak dari sana. Perkataan Alvaro pada Gio hari itu, terasa sangat sulit untuk ia mengerti. Gio menyayangi kedua orang tuanya, dan anak kecil yang memiliki indera perasa yang kuat dan hati yang murni, cenderung dapat merasakan ketika orang-orang di sekitarnya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Gio merasa sedih mengetahui hal itu terjadi pada orang tuanya. Namun Gio tidak bisa memaksa papa dan mamanya untuk bersama, seperti apa yang ia inginkan.

***

Alvaro tidak berpikir kalau rasa sakit di hatinya akan sampai membuat tubuhnya ikut sakit juga. Tepatnya kemarin malam setelah Marsha membawa Gio pergi, rasanya dunia Alvaro runtuh. Seolah-olah, hatinya memberi tahu tubuhnya untuk kemudian membagi rasa sakitnya. Alvaro merindukan Gio, padahal baru satu malam ia tidak melihat anaknya. Rindu ini seperti menghabisi kekuatan tubuhnya, hingga membuat Alvaro akhirnya jatuh sakit.

Pagi ini Alvaro hanya dapat terbaring di ranjang di kamarnya. Alvaro sudah mengabari Ila bahwa dirinya sakit. Untungnya hari ini Alvaro tidak memiliki jadwal apa pun, jadi waktunya dapat ia gunakan untuk beristirahat. Semalam baru saja Alvaro merasakan tenggorokannya sakit, kini pagi hari terasa semakin parah. Flu mulai menyerangnya dan kepalanya terasa amat pusing. Ditambah lagi, suhu tubuh Alvaro di atas suhu normal manusia sehat, jadi dapat dipastikan Alvaro juga mengalami demam.

Alvaro berniat mengabari Sienna mengenai kondisinya. Namun Alvaro ingat bahwa hari ini Sienna harus menghadiri event penting. Jadi Alvaro memutuskan tidak sekarang menghubungi Sienna, meskipun ia sangat membutuhkan sosok perempuan itu untuk berada di sisinya.

Alvaro mencoba memejamkan matanya. Tidak ada yang dapat ia lakukan saat ini, bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja rasanya sendinya enggan. Sekujur tubuh Alvaro terasa nyeri, jadi Alvaro akan membiarkannya sampai tubuhnya pulih. Alvaro harus pulih dan kembali bangkit, ia tidak ingin karena kelemahannya ia lengah dengan proses persidangan perceraiannya. Alvaro harus bisa fokus untuk memenangkan hak asuh atas Gio.

***

Sienna mendapat kabar dari Ila bahwa Alvaro tengah sakit. Sienna langsung coba menghubungi Alvaro untuk tahu keadaan lelaki itu. Namun Alvaro tidak menjawab telfonnya, membuat Sienna semakin khawatir. Akhirnya Sienna coba menghubungi nomor telfon rumah dan diangkat oleh Gina. Gina pun memberitahu Sienna tentang kondisi Alvaro. Selain itu Gina juga mengabarkan soal Gio yang sedang menginap di rumah orang tua Marsha. Sempat terjadi cekcok sebelum Alvaro mengizinkan Marsha membawa Gio, jadi kemungkinan itulah yang sampai membuat kondisi Alvaro menjadi drop.

Sienna menghampiri manager-nya untuk mengatakan sesuatu. Event yang dihadirinya baru saja selesai dan Sienna berniat berpisah dengan timnya, karena ia harus ke rumah Alvaro. “Mbak, aku nggak pulang bareng tim, ya. Alvaro sakit, aku mau rumahnya,” terang Sienna pada Zahra.

Sienna memberi tahu juga bahwa baru kali ini Alvaro jauh dari Gio, jadi kondisi ini pasti berat untuk Alvaro. Setelah diangguki oleh Zahra, Sienna pun pamit. Sienna tidak sempat mengatakan pada timnya yang lain kalau ia harus lebih dulu pergi.

***

Hari ini Sienna seperti mengalami sebuah de javu.Dejavu merupakan suatu kondisi di mana seseorang mengalami situasi familiar dengan kondisi sekitarnya. Situasi tersebut seolah-olah sudah pernah diaalami di waktu lampau dengan keadaan yang persis sama, padahal apa yang sedang dialami itu merupakan pengalaman pertama baginya.

Namun apa yang dialami Sienna sedikit berbeda dari definisi dejavu pada umumnya. Sienna mengalami hal yang sama yang pernah ia alami di mimpinya, dan itu terefleksi ke dunia nyata. Hanya saja, Sienna tidak tahu kapan tepatnya mimpinya akan jadi nyata, itulah yang membuat Sienna seringkali hidup dalam kekhawatiran.

Sienna menempuh waktu perjalanan cukup cepat untuk sampai di kediaman Alvaro. Ketika menginjakkan kakinya di rumah megah itu, tempat tersebut terasa amat kosong dan hampa. Kalau biasanya Sienna akan disambut oleh senyum semringah dari Gio atau pelukan hangat dari Alvaro, kini Sienna tidak mendapatinya.

Sienna hanya bertemu Gina yang baru saja mengantar makanan ke kamar Alvaro. Ini jadwalnya Alvaro makan sore. Alvaro harus tetap makan meski hanya beberapa suap, karena lelaki itu harus meminum obatnya.

“Tadi makan siangnya bapak nggak habis, Bu. Tapi untung udah minum obat,” terang Gina.

Setelah mengatakan hal tersebut pada Sienna, Gina pun berlalu. Sienna lantas melangkah menuju kamar Alvaro.

Sesampainya Sienna di kamar itu, Sienna mendapati situasi yang sama seperti yang ia dapatkan di dalam mimpinya.

Sienna melangkahkan kakinya ke dalam kamar itu setelah ia menutup pintunya.

Sienna langsung berjalan menuju sebuah ranjang. Begitu langkah Sienna sampai di samping ranjang berukuran king size tersebut, Sienna langsung duduk di tepi ranjang sebelah kiri.

Sienna sejenak mengamati wajah Alvaro. Detik berikutnya, Sienna mengarahkan tangannya untuk menggenggam tangan itu. Sienna seketika merasakan sebuah perasaan sedih di dalam hatinya. Masih sambil menatap wajah tertidur itu, Sienna lantas berujar, “Everything that will happen, I will always beside you, Al. I’ll never let you through this alone.”

Beberapa saat kemudian, Alvaro terlihat mengerjapkan kelopak matanya dan perlahan-lahan netranya mulai terbuka. Alvaro lantas menatap Sienna, dan sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya. Pandangan Alvaro pun mengarah pada tangannya yang digenggam oleh Sienna.

“Kenapa nggak ngabarin gue kalau lo sakit?” tanya Sienna.

“Nanti lo khawatir lagi sama gue.” Alvaro menjawab dengan nada sedikit menggoda, seperti ciri khasnya ketika sedang bersama Sienna.

Sienna langsung mencibir kecil, ia ingin melepaskan genggaman tangannya, tapi Alvaro dengan cepat menahannya.

“Tau dari mana kalau gue sakit?” tanya Alvaro.

“Dari mbak Ila.”

Alvaro seketika menampakkan cengirannya. “Mbak Ila emang paling mengerti gue deh. Tau banget kalau gue cuma butuh lo.”

“Lo juga butuh Gio,” ucap Sienna. Alvaro tidak menjawab, tapi dari tatapan matanya, Sienna tahu bahwa lelaki itu tengah membenarkan ucapannya.

“Al, gue yakin lo bisa memenangkan hak asuh atas Gio. Lo nggak boleh terlalu lama terpuruk karena ini, lo harus berjuang untuk Gio. Oke?” ujar Sienna. Alvaro lantas mengangguk sekali, lalu lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya di tangan Sienna.

“Sienna,” ujar Alvaro sembari menatap Sienna dengan tatapan penuh arti. “Gue nggak tau, gue akan sehancur apa kalau lo nggak ada di samping gue. Maafin gue, gue masih sering ngasih rasa sakit buat lo. Maaf kalau gue belum bisa membahagiakan lo.”

Sienna terdiam di tempatnya tanpa dapat mengucapkan apa pun setelah mendengar penuturan itu. Alvaro telah berhasil membuat Sienna begitu tersentuh sisi emosionalnya. Hati Sienna begitu sakit. Bukan terhadap permintaan maaf yang diucapkan oleh Alvaro, tapi karena Sienna melihat Alvaro terluka tepat di depan matanya. Sienna merasa bahwa dirinya tidak sanggup mendapati hal tersebut.

“Sienna, please stay with me,” Alvaro menjeda ucapannya sesaat, tampak lelaki itu berusaha menahan diri untuk tidak menangis di hadapan Sienna.

Setelah berhasil mengontrol dirinya, Alvaro akhirnya kembali berujar, “Gue pengen bikin lo bahagia, gue pengen menjadikan lo istri gue dan bunda untuk Gio.”

Sienna lantas mengulaskan senyumnya sembari tidak melepaskan tatapannya dari Alvaro. Sienna pun menatap Alvaro dengan tatapan yang memancarkan sebuah afeksi.

Beberapa detik kemudian, Alvaro meraih tangan Sienna dan memberi sebuah kecupan kecil di punggung tangan Sienna. “Setelah proses perceraian gue selesai dan orang tua lo ngerestuin kita, gue akan ngelamar lo.”

Masih sambil menggenggam tangan Sienna, Alvaro mengulaskan senyum lembutnya dan kembali melanjutkan perkataannya, “Sienna, would you like to marry me?”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, nampak Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah terlihat sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya. Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati Marsha berada di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro di sana, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu. Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak juga bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal saja.

“Ohh ... spesial banget ya perempuan itu di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia, Al? Berapa lama, dia ada di hidup kamu sampai kamu memperlakukan dia sebegininya,” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka dengan menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskan genggaman di pergelangan tangannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya? Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha,” ujar Alvaro sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, berhadapan dan saling menatap lurus.

“Kenapa Al? Kenyataannya emang kayak gitu, kan,” ujar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangis hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kamu udah jadi ayah yang gagal dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakin Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat nanti, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja. Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang perlu kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya itu berhasil membuat langkah Alvaro langsung berhenti. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap dari bibirnya.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur marah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Apa maksud kamu ngomong kayak gitu? Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan nada suaranya yang meninggi.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk matanya.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri. Alvaro belum bergerak sedikit pun, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberikannya cobaaan seberat ini? Dan berbagai pertanyaan mengapa lainnya tersu berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya. Mengetahui seseorang yang ia cintai sebenarnya bukan bagian dari dirinya, adalah perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 malam, nampak Alvaro baru kembali ke kediamannya. Suasana rumah sudah terlihat sepi, dan Alvaro berpikir pasti Gio telah tertidur di kamarnya. Begitu Alvaro sampai di kamar miliknya dan membuka pintu, ia mendapati Marsha berada di sana. Kehadiran Marsha di area pribadinya itu, seketika membuat amarah menguasai Alvaro.

Alvaro melangkah lebar untuk menghampiri Marsha. Ketika Marsha menyadari kehadiran Alvaro di sana, tatapan tenang Marsha pada Alvaro justru semakin menyulut emosi di dalam diri lelaki itu. Terlihat dari sorot matanya, Alvaro kini tengah marah terhadap Marsha.

“Kamu emang masih punya tempat di rumah ini, tapi hanya sebagai mamanya Gio. Bukan sebagai orang yang spesial untuk aku. Kamu nggak berhak masuk ke kamar ini,” ujar Alvaro.

“Pulang, Sha,” ujar Alvaro dengan nada tegasnya.

Namun Marsha tidak juga bergerak dari posisinya, membuat Alvaro tampak geram.

“Sha, aku bilang keluar. Pulang, rumah kamu bukan lagi di sini. Jangan bikin aku sampai harus ngeluarin tenaga buat bikin kamu keluar. Kamu harus tau batasan kamu,” titah Alvaro panjang lebar.

Marsha kemudian beranjak dari posisinya yang semula duduk di tepi ranjang. Marsha mendekat pada Alvaro, membuat jarak mereka hanya tersisa satu jengkal saja.

“Ohh ... spesial banget ya perempuan itu di mata kamu? Berapa bulan sih kamu kenal dia, Al? Berapa lama, dia ada di hidup kamu sampai kamu memperlakukan dia sebegininya,” ujar Marsha bertubi-tubi.

“Bukan urusan kamu, ini adalah ranah pribadi aku. Kamu nggak ada hak untuk mencampuri aku dan Sienna,” cetus Alvaro cepat.

Marsha masih di sana dan berujar di dekat Alvaro, “Kamu harus tau satu hal. Secara nggak langsung, kamu udah memberi contoh yang nggak baik untuk Gio. Gimana bisa, seorang ayah membawa perempuan lain ke rumah, berpacaran sampai malam di luar rumah. Kamu secara sengaja menghadirkan perempuan lain untuk gantiin peran ibu untuk Gio, padahal aku masih ada, Al. Aku yang berhak atas peran itu. Harusnya aku yang gugat cerai kamu.”

Marsha mengatakan Alvaro-lah yang telah menodai pernikahan mereka. Alvaro jelas membawa perempuan lain ke rumah, dan mencontohkan hal yang tidak baik di depan anak mereka dengan menghadirkan perempuan lain untuk Gio yang perannya sebagai seorang ibu, tapi sekaligus juga sebagai sosok kekasih bagi Alvaro.

Alvaro tanpa mengucapkan apa pun, segera meraih pergelangan tangan Marsha. Alvaro memaksa Marsha untuk keluar dari kamarnya. Marsha meronta, meminta Alvaro melepaskan genggaman di pergelangan tangannya.

“Aku harus bilang apa ke Gio waktu dia tanya di mana Papanya? Seharian ini Papanya nggak ada di rumah, baru pulang malem-malem begini. Aku harus bilang ke Gio kalau Papanya lagi pacaran sama ceweknya, gitu?”

“Tutup mulut kamu Sha,” ujar Alvaro sembari membebaskan genggamannya dari tangan Marsha. Alvaro dan Marsha kini berada di ruang tamu, berhadapan dan saling menatap lurus.

“Kenapa Al? Kenyataannya emang kayak gitu, kan,” ujar Marsha masih dengan tatapan tenangnya, bahkan sebuah senyum manis terlukis di wajah cantik perempuan itu.

Alvaro tampak tidak peduli, ia hampir berlalu dari hadapan Marsha. Namun Marsha dengan cepat menahan lengan Alvaro. Alvaro kembali menyentak genggaman Marsha. Marsha tidak menyerah, ia menyusul langkah Alvaro dan kini tengah berada di depan Alvaro, menghalangi jalan lelaki itu.

“Aku akan menangis hak asuh Gio dengan membawa bukti kalau kamu bertindak sebagai ayah yang nggak baik untuk Gio. Kalau kamu bilang aku mengabaikan tugas sebagai seorang ibu, jangan lupa kamu udah jadi ayah yang gagal dengan contohin hal buruk di depan anak kamu.”

Rentetan perkataan Marsha membuat Alvaro mematung di tempatnya. Tidak, itu tidak mungkin. Mana mungkin Marsha menang dengan asumsi yang baru saja dilontarkan perempuan itu dari bibirnya.

“Kamu dan Sienna, hubungan kalian bisa disebut sebagai perselingkuhan di dalam rumah tangga. Aku bisa bawa bukti itu untuk memenangkan hak asuh atas anak aku. Cuma aku yang pantas merawat Gio, bukan kamu,” tutur Marsha.

Alvaro menatap Marsha lurus-lurus, lalu dengan nada yakin Alvaro berujar, “Lakuin aja, silakan. Kita liat nanti, siapa yang nanti akan menangin hak asuh Gio.”

Marsha lantas berdecih kecil. Alvaro sudah melangkah melewati Marsha begitu saja. Akhirnya Marsha berujar dengan lantang, “Satu hal yang perlu kamu tau, Al. Kamu nggak berhak atas Gio, karena Gio bukan anak darah daging kamu.”

Marsha tersenyum menang karena kalimatnya itu berhasil membuat langkah Alvaro langsung berhenti. Alvaro masih membelakangi Marsha, tapi Marsha merasa bahwa dirinya telah berhasil menghancurkan Alvaro dengan fakta yang terucap dari bibirnya.

Alvaro pun berbalik, kembali menghampiri Marsha setelah beberapa langah lelaki itu berlalu.

“Apa maksud omongan kamu barusan?” Alvaro bertanya. Alvaro menatap Marsha dengan pandangan terluka bercampur marah yang jelas terlihat dari pendar matanya. Kedua iris Alvaro nampak berkaca-kaca dan matanya memerah.

“Jawab aku, Sha! Apa maksud kamu ngomong kayak gitu? Jangan berani-beraninya kamu bicara omong kosong.” Alvaro berujar dengan nada suaranya yang meninggi.

“Selama ini yang kamu tau Gio anak kamu, tapi kenyataannya nggak sesuai dengan apa yang kamu kira. Aku nggak sembarangan ngomong, Al. Aku yang mengandung Gio, jadi aku yang paling tau siapa ayah biologis dari anak aku.”

DEGH.

Jantung Alvaro seketika terasa berhenti berdetak dan dadanya seperti dihantam lalu dihimpit oleh sesuatu yang besar. Dadanya terasa sakit dan sesak, bahkan pandangannya terasa mengabur berkat sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk matanya.

Alvaro mundur beberapa langkah menjauhi Marsha. Alvaro nampak kacau, dengan kedua tangannya lelaki itu menarik kuat rambutnya ke belakang.

“Omong kosong!!” Alvaro berteriak di depan Marsha, nampak kilatan amarah yang sangat kentara dari kedua mata itu.

“Aku ngomong yang sebenarnya, Alvaro. Terserah kamu mau percaya atau engga. Yang jelas, aku akan berusaha untuk dapetin hak asuh anak aku. Kamu inget itu.” Setelah mengatakannya, Marsha langsung berlalu dari sana.

Marsha meninggalkan Alvaro di ruangan itu sendiri. Alvaro belum bergerak sedikit pun, hanya ada dirinya seorang diri dengan perasaannya yang kini hancur berkeping-keping. Fakta yang didengar Alvaro barusan rasanya seperti mengoyak jiwanya dan membuat raganya tidak berdaya.

Alvaro luluh lantak. Hatinya hancur, mengetahui bahwa Marsha telah selingkuh darinya bahkan sejak 6 tahun yang lalu. Artinya Marsha berselingkuh sampai mengandung anak dari lelaki lain. Marsha berhubungan dengan lelaki lain hingga hamil, dan dengan sengaja berbohong pada Alvaro bahwa anak yang dikandungnya adalah darah daging Alvaro.

Di ruangan yang luas itu, Alvaro akhirnya jatuh ke lantai. Kedua lututnya yang terasa lemas masih mencoba untuk menahan beban tubuhnya. Alvaro menunduk, sampai kepalanya hampir menyentuh lantai. Alvaro menangis tanpa suara, berusaha mengeluarkan rasa sesak dalam dadanya, tapi usahanya nampak sia-sia.

Mengapa ini terjadi padanya? Mengapa Tuhan memberikannya cobaaan seberat ini? Dan berbagai pertanyaan mengapa lainnya tersu berputar di kepala Alvaro.

Alvaro sangat menyayangi Gio dan merasa bahwa dirinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya. Mengetahui seseorang yang ia cintai sebenarnya bukan bagian dari dirinya, adalah perasaan terburuk yang sejauh ini Alvaro rasakan di hidupnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Alvaro baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya. Alvaro mengeringkan rambutnya sampai jadi setengah kering, lalu ia lekas mengenakan pakaiannya dengan lengkap dan mengoleskan body lotion di tubuhnya. Setelah dirasa semuanya beres, Alvaro melenggang dari ruang walk in closet dan langkahnya pun sampai di kamarnya.

Alvaro langsung mendapati Sienna di sana, ia lekas berjalan menghampiri perempuan itu.

“Gue lama nggak mandinya?” Alvaro bertanya.

“Lumayan lama,” jawab Sienna.

“Udah ngantuk banget emangnya?” Alvaro terkekeh, lalu ia berjalan menjauhi Sienna untuk mengambil botol parfum di laci nakas. Alvaro menyemprotkan parfum pada beberapa area di tubuhnya, setelah itu kembali pada Sienna. Alvaro langsung mendekap torso Sienna begitu ia sampai di hadapan gadis itu.

“Ngantuk banget,” ujar Sienna, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Alvaro, tampak nyaman berada di posisinya sekarang.

“Sabar dong. Gue kan tadi habis shooting, mandi dulu biar bersih sama wangi,” ujar Alvaro sembari menjalarkan tangannya membelai surai Sienna.

“Oke,” ucap Sienna diiringi tawa kecilnya. Sienna masih betah berada di posisinya, tidak ingin mereka berubah dulu. Sienna menghirup aroma tubuh Alvaro yang segar, perpaduan citrus dan sedikit mint, yang wanginya selalu mampu membuatnya merasa nyaman. Selain itu, kulit halus Alvaro juga selalu membuat Sienna candu. Penampilan Alvaro yang selalu prima ketika bersamanya, sukses menyenangkan hati Sienna.

Selang beberapa detik kemudian, Sienna dan Alvaro memutuskan untuk membaringkan tubuh di kasur. Mereka posisinya berhadapan, Sienna meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan, lalu ia menanyakan sesuatu pada Alvaro. “Gimana? Pak Herdian udah ada ngasih kabar lagi tentang Marsha?”

“Belum. Terakhir cuma beliau ngabarin kalau sempat ketemu sama Marsha buat minta uang tagihan sewa. Oh iya, kuasa hukum gue udah nemuin bukti yang bisa bikin gue menangin hak asuh Gio di pengadilan nanti.”

Alvaro telah mengatakan pada Sienna sebelumnya, bahwa keputusannya sudah bulat untuk menggugat cerai Marsha.

Sienna sudah tau bukti yang dimaksud oleh Alvaro, ia tanpa harus bertanya lebih jauh. Bukti yang Alvaro dapatkan itu, memang sangat berpotensi besar membuat Alvaro memenangkan hak asuh atas Gio di pengadilan nanti. Semua yang perlahan-lahan terungkap, terlihat sama persis dengan yang didapati oleh Sienna di dalam mimpinya.

“Al, sidang mediasi pertamanya kapan?” Sienna bertanya.

“Kuasa hukum gue udah ngajuin pembuatan surat gugatan cerai ke pengadilan, tinggal nunggu dikirim berkasnya ke pihak tergugat jadi sidang mediasi pertamanya kira-kira minggu ini atau minggu depan,” terang Alvaro.

Sienna lantas mengangguk. Setelah percakapan tersebut, mereka tidak lagi membahas persoalan itu.

“Sky,” ujar Alvaro.

“Hmm?”

I have lost my respected for her,” ujar Alvaro. Dari raut wajah Alvaro, tergambar jelas kekecewaan yang dalam.

Tanpa Alvaro mengatakan siapa yang lelaki itu maksud dalam kalimatnya barusan, Sienna sudah mengetahui siapa sosok tersebut.

“Kalau dia mau pisah sama gue, bisa pisah secara baik-baik. Bukan dengan pergi kayak gini tanpa kejelasan. Harusnya dia mikirin perasaan anaknya. Dia ibu kandungnya Gio, tapi sikapnya nggak mencerminkan itu.”

Sienna tidak berniat untuk berkomentar, ia membiarkan Alvaro mencurahkan perasaannya sampai selesai.

“Anaknya butuh dia, harusnya dia tau itu, kan?” ucap Alvaro lagi. Dari nada bicaranya, terdengar kekecewaan yang besar. Ada harapan yang telah dihancurkan, ada kepercayaan yang telah dikhianati.

“Sky, gue nggak mau jadi orang tua yang gagal buat Gio. Gue juga nggak mau Gio membenci Marsha dan menganggap kalau Marsha ibu yang gagal buat dia.”

“Al, lo nggak gagal dan nggak akan. Lo adalah papa yang hebat buat Gio. Gimana pun nanti, Marsha tetep ibu kandungnya Gio, ikatan darah itu kuat banget dan nggak bisa dipisahin. Gue yakin, Marsha sayang banget sama Gio. Sebaliknya, Gio juga akan tetap sayang sama Marsha, karena emang seharusnya kaya gitu.”

Alvaro mengangguk sekali. Lelaki itu nampak memejamkan matanya sejenak, kedua alisnya bertaut, dan jemarinya bergerak memijat pangkal hidungnya.

Tidak lama kemudian, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk mulai memejamkan mata setelah saling mendekap. Namun tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu kamar sebanyak dua kali.

“Gue aja yang buka pintunya,” ujar Sienna mendahului Alvaro. Sienna pun beranjak dari posisinya dan lekas membuka pintu.

“Bunda,” ujar sebuah saura begitu pintu dibuka.

“Gio boleh masuk? Gio mau nunjukin Papa sama Bunda sesuatu,” ucap Gio di sana.

“Boleh dong, Sayang. Ayo, sini. Gio mau nunjukin apa emangnya?” Sienna lantas menutup pintunya setelah Gio melangkah masuk. Gio sudah berlari menuju kasur, disusul Sienna yang mengikuti langkahnya.

“Papa, liat nih hasil gambar Gio,” seru Gio yang nampak antusias. Sienna pun menyusul ke kasur dan mengambil tempat di samping Alvaro, sementara Gio berada di samping Sienna. Alvaro dari samping mendekap bahu Sienna, mereka tengah bersama memperhatikan buku gambar yang ditunjukkan oleh Gio.

Gio membuka buku gambarnya, lalu ia memperlihatkan salah satu halaman di sana. Di kertas itu menampakkan gambar 3 orang yang dibuat dengan crayon warna-warni.

“Nih, ini Papa,” ujar Gio sembari menunjuk gambar seorang pria berambut hitam pendek dan bertubuh tinggi. “Ini Gio, terus ini Bunda,” lanjut Gio sembari menunjuk dua orang lagi yang berada di samping Alvaro. Gio digambarkan sebagai sosok anak lelaki kecil dengan senyum lebar dan Sienna digambarkan sebagai perempuan dengan bibir pink dan rambut panjang.

“Gio dapet tugas pelajaran seni untuk gambar keluarga. Bagus nggak gambarnya?” tanya Gio, anak itu bergantian menatap Alvaro dan Sienna.

“Coba Papa mau liat lebih deket,” Alvaro mengambil alih buku gambar itu dari Gio.

Alvaro lantas memperhatikan gambar itu, sebuah senyum seketika juga mengembang di wajahnya. “Bagus gambarnya,” ujar Alvaro.

Kemudian secara bergantian, Sienna juga ingin melihat gambar itu dari dekat. Di bawah gambar miliknya, Sienna mendapat tulisan ‘Bunda Sienna’ yang kemudian terdapat bentuk hati di samping namanya.

“Gambar Gio bagus banget,” komentar Sienna, senyumnya pun mengembang secara otomatis.

“Terima kasih Bunda,” ucap Gio dengan ekspresi senangnya. Di tengah-tengah suasana itu, tiba-tiba saja terdengar suara keributan dari luar kamar. Alvaro dan Sienna lantas saling bertukar pandang. Alvaro pun mengatakan ia yang akan mengeceknya ke luar. Mungkin saja terjadi sesuatu, dan apa pun itu sebaiknya cepat ditangani.

Saat Alvaro baru saja akan bangun dari posisi duduknya, pintu kamar tiba-tiba dibuka. Tepat di ambang pintu, Alvaro jelas mendapati sosok Marsha berada di sana. Detik berikutnya, kehadiran Marsha disusul oleh Gina dan Aufar.

Gina dan Aufar, dua orang yang bekerja di rumahnya itu nampak bingung dengan situasi yang kini tengah terjadi. Alvaro lantas menduga bahwa keributan kecil tadi disebabkan oleh kedatangan Marsha yang tiba-tiba.

Alvaro memang memerintahkan orang-orangnya untuk selalu menjaga keamanan di rumahnya, dan ada beberapa nama yang memang perlu mendapat izinnya sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Alvaro masih menatap lurus ke arah Marsha ketika Marsha melangkahkan kakinya memasuki kamar itu. Marsha menatap tepat pada Alvaro, lalu ia berujar, “Kenapa semua orang yang kerja di rumah ini ngehalangin aku buat masuk? Kenapa, Al?”

Tatapan Marsha tentu saja langsung tertuju pada sosok di samping Alvaro. Seorang perempuan yang ia kenal, kini berada di sisi Alvaro dan terlebih, anaknya juga berada di sana.

“Al … ini apa maksudnya?” Marsha berucap dengan nada pelannya, tatapannya masih setia menatap pada Sienna dan Gio yang berada di samping Alvaro.

Alvaro lantas beranjak dari posisinya dan menghampiri Marsha. Marsha dapat merasakan bahwa tatapan Alvaro padanya terasa dingin dan tidak bersahabat.

“Kita ngomong di luar,” ujar Alvaro dengan nada suaranya yang terdengar tegas.

“Kita ngomong di sini aja. Apa maksudnya semua ini?” Marsha bersikap keras kepala dan berusaha mempertahankan egonya.

“Marsha, kita ngomong di luar. Kamu mau anak kamu denger?” Alvaro berujar pelan di dekat Marsha. Alvaro lantas berlalu begitu saja dari hadapan Marsha. Alvaro berjalan melewati Gina dan Aufar yang masih berdiri di ambang pintu.

Beberapa detik kemudian, Marsha pada akhirnya menurut dan mengikuti langkah Alvaro keluar dari kamar.

Sementara di kamar itu, Sienna mencoba berpikir jernih di tengah suasana kacau dan tidak terprediksi ini. Namun sebenarnya Sienna sudah tau bahwa suatu hari Marsha memang akan kembali, seperti yang Sienna lihat di dalam mimpinya.

Detik berikutnya terdengar suara keributan terdengar dari arah luar yang mana itu merupakan suara Alvaro dan Marsha. Ini situasi yang tidak baik, terlebih untuk didapatkan oleh Gio. Sienna lantas berbicara dengan Gio. “Gio, ikut sama Bunda dulu yaa, Nak?”

“Emangnya kita mau ke mana Bunda?” Gio bertanya pada Sienna,

Sienna tidak memiliki ide di kepalanya untuk menjawab Gio, tapi ia tidak mungkin membiarkan Gio berada di sini dan mendengar keributan yang terjadi antara kedua orang tuanya.

“Papa sama mamanya Gio lagi ada urusan penting, jadi kita harus kasih waktu untuk mereka. Gio ikut sama Bunda yuk, nanti kita beli mainan. Gimana?”

Gio tampak tidak mengrti, tapi akhirnya anak itu menurut saja pada Sienna. Sulit dipahami oleh Gio atas apa yang terjadi di depan matanya, meskipun ia dapat merasakan bahwa orang tuanya sedang tidak baik-baik saja.

Akhirnya Sienna dan Gio keluar dari kamar. Sienna meminta tolong pada Gina untuk ikut bersamanya dengan Gio dan mereka akan melewati pintu belakang rumah. Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, suara Marsha yang cukup terdengar keras lantas membuat Gio menghentikan langkahnya. Gio langsung melepaskan genggaman Sienna di tangannya lalu anak itu berlari dari Sienna.

“Gio,” Sienna memanggil Gio, tapi hasilnya percuma.

“Gina, kamu tunggu di sini dulu sebentar. Saya susul Gio,” ucap Sienna pada Gina sebelum melangkahkan kakinya untuk menyusul Gio.

Sienna tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika sampai di ruang tamu. Dari jarak beberapa meter, Sienna memperhatikan yang terjadi di depan matanya. Di sana Alvaro dan Marsha masih berdebat, dan Gio berada di tengah -tengah mereka, anak itu tengah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.

“Kamu bawa perempuan lain ke rumah, bahkan kamu buat kamar baru dan ninggalin kamar lama kita. Harusnya posisi itu adalah posisi aku, Al. Sienna nggak punya hak untuk ngerebut posisi aku. Aku istri kamu dan aku ibu kandungnya Gio, itu nggak akan berubah,” ujar Marsha.

“Marsha, kamu yang nggak berhak untuk ngomong kayak gitu!” ucap Alvaro disertai tatapannya yang memancarkan amarah. Kulit wajah Alvaro nampak memerah, rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam kepada Marsha.

Alvaro lantas menoleh ketika menyadari kehadiran Gio di sana. Anaknya itu tengah menyaksikan keributan antara kedua orang tuanya.

“Gio, Papa sama Mama lagi bicara. Gio ke kamar dulu ya,” tutur Alvaro kepada Gio dengan suaranya yang dipelankan. Namun Gio hanya membalas Alvaro dengan gelengan. Anak itu tampak keras kepala.

“Mama nggak boleh ngomong kayak gitu!” Gio berteriak sambil menatap Marsha.

DEG.

Alvaro dan Marsha seketika tertegun dengan kalimat yang meluncur dari bibir kecil Gio. Begitu Marsha berlutut di hadapan Gio dan ingin meraih Gio ke pelukannya, anaknya itu justru mundur beberapa langkah dan tidak mau menerimanya.

“Mama ngomongnya gak sopan. Mama nggak boleh kayak gitu ke Bunda Sienna. Gio gak suka sama Mama!!”

Rentetan kalimat yang Marsha dengar dari Gio, seketika membuatnya mematung. Terlebih Gio membentaknya, hal yang sama sekali tidak pernah Marsha bayangkan akan terjadi di hidupnya.

“Gio, nggak boleh teriak sama Mama.” Alvaro dengan cepat mengingatkan Gio.

Mendengar ucapan tersebut keluar dari bibir Alvaro, Gio pun dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. Gio menatap Alvaro dengan tatapan terluka. Menurutnya Alvaro baru saja memarahinya, jadi anak itu langsung berbalik dan berlari dari sana.

Gio kembali menghampiri Sienna yang berada tidak jauh dari tempat kejadian. “Bunda, Papa marahin Gio, padahal Mama yang nakal,” ucap Gio mengadu pada Sienna. Sienna lantas mensejajarkan posisinya dnegan Gio, ia berlutut di depan Gio. Gio dengan cepat memeluk Sienna, dan Sienna berusaha menenangkannya dengan kalimat-kalimatnya dan usapan lembutnya di punggung kecil Gio.

Marsha yang mendapati kejadian itu di depannya pun tidak kuasa menahan dadanya yang terasa sesak. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar yang tengah menghimpit jantungnya. Marsha melihat sendiri dengan kedua matanya bahwa anaknya lebih memilih perempuan lain dibandingkan dirinya.

Gio berada bersama Sienna dan setelah cukup tenang, anak itu akhirnya mau diajak pergi oleh Gina. Sienna mengatakan bahwa ia akan menyusul Gio, tapi ia perlu bicara dulu dengan Alvaro.

Alvaro lantas menghampiri Sienna. “Sienna, lo sama Gio mau ke mana?” Alvaro bertanya.

Sienna dengan ada tenangnya lantas mengatakan pada Alvaro. “Al, lo selesaiin dulu ini sama Marsha. Keadaannya cukup nggak kondusif, jadi gue pikir sebaiknya Gio nggak di sini dulu.”

Alvaro pun setuju dengan ide tersebut. Nyatanya memang tidak baik jika anaknya harus menyaksikan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

“Sienna, hati-hati. Nanti tolong kabarin gue,” ucap Alvaro yang lantas diangguki oleh Sienna. Sienna paham Alvaro pasti khawatir dengan kondisi Gio yang kembali tantrum. Sienna mengatakan ia akan memastikan Gio aman bersamanya, dan sebisa mungkin Gio dapat kembali baik lagi.

Setelah Sienna berlalu dari hadapan Alvaro, Alvaro pun kembali menghampiri Marsha.

“Aku akan menggugat cerai kamu,” ucap Alvaro dengan gamblang. Alvaro mengatakannya seraya menatap Marsha tepat di manik matanya. Perkataan Alvaro terdengar pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun dari nada bicaranya.

Marsha masih diam, berusaha mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari lelaki di hadapannya.

“Marsha, aku tegasin sesuatu sama kamu. Kamu udah ninggalin kewajiban kamu sebagai istri dan ibu untuk Gio, jadi aku pikir kamu nggak berhak meminta hak kamu di rumah ini. Satu hal lagi, kamu nggak ada hak untuk bilang kalau Sienna adalah perebut. Sienna datang setelah kamu pergi, seharusnya kamu jaga bicara kamu, apalagi di depan Gio. Kayak yang kamu liat barusan, Gio berubah sejak kamu pergi, dia nggak baik-baik aja. Gio bisa lebih baik dan itu karena Sienna, jadi harusnya kamu berterima kasih sama Sienna.”

Alvaro menjeda ucapannya beberapa detik. Alvaro mengjembuskan nafasnya kasar, dan sebelum berlalu dari hadapan Marsha, Alvaro pun berujar, “Ada yang mau kamu sampaikan? Kalau nggak ada, pembicaran kita udah selesai sampai di sini.”

Marsha tidak kunjung menjawab, dan artinya Alvaro menilai bahwa tidak ada yang ingin Marsha bicarakan lagi dengannya. Alvaro pun berlalu dari sana, tapi tiba-tiba Marsha menahan lengannya.

“Kamu nggak bisa gugat cerai aku, Al,” ujar Marsha.

Alvaro berbalik dan melihat ke arah tangan Marsha yang menggenggam lengannya. Lantas dengan pelan, Alvaro melepaskan genggaman itu. Marsha nampak terkejut dengan sikap Alvaro yang seolah begitu enggan terhadapnya.

“Aku bisa dan aku berhak untuk menggugat cerai kamu. Jangan kamu pikir aku diem aja selama kamu pergi. Aku udah tau semuanya, dan aku nggak akan ngubah keputusan aku,” ujar Alvaro.

“Maksud kamu?”

“Kamu bisa liat sendiri nanti, aku akan bawa bukti biar aku bisa memenangkan hak asuh atas Gio. Surat gugatan cerai secepatnya akan dikirim ke kuasa hukum kamu.”

Mendengar rentetan pernyataan tersebut, Marsha jelas tampak terkejut. Alvaro tidak mengatakan pada Marsha soal bukti itu, yang mana jelas semakin membuat Marsha kalut. Marsha bertekad memenangkan hak asuh Gio, karena seharusnya menurut aturan hukum—ketika orang tua bercerai—hak asuh anak yang masih di bawah umur jatuh ke tangan ibunya.

Marsha pun dibuat penasaran tentang bukti apa yang dimiliki oleh Alvaro, hingga pria itu begitu yakin bisa memenangkan hak asuh Gio di pengadilan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Something Can’t Be Fixed

Kejadian kembalinya Marsha beberapa hari lalu, terasa cukup mengganggu pikiran Alvaro. Selain itu, pikiran Alvaro cukup terdistraksi oleh urusan perceraiannya, meskipun sudah ada kuasa hukumnya yang akan mengurus itu semua. Namun Alvaro tidak ingin hal tersebut terlalu berlarut bersarang di kepalanya dan bisa berdampak kurang baik pada pekerjaannya. Terlebih hari ini merupakan premiere film Police Evolution, jadi Alvaro harus tampil prima karena ia akan bertemu dengan banyak orang.

Waktu kini menunjukkan pukul 9 malam, dan acara premiere Police Evolution baru saja selesai. Namun tampak di bioskop masih banyak kerumunan orang, entah apa yang mereka tunggu.

Alvaro sendiri kini tengah berada di salah satu ruangan khusus milik bioskop. Ruangan ini disediakan untuk tempat berkumpulnya para cast film, sutradara, produser, dan beberapa orang penting yang berada di balik suksesnya film Police Evolution.

Alvaro menerima buket bunga yang serahkan oleh asistennya. Ada benda lain juga selain bunga yang diberikan oleh penggemarnya sebagai ucapan selamat atas tayang perdana film terbarunya.

Beberapa orang yang datang ke acara premiere film, tahunya Alvaro datang sendiri, di saat beberapa lawan mainnya datang bersama pasangan atau keluarga mereka. Padahal Alvaro juga membawa seseorang yang spesial baginya, tapi sayangnya memang dirinya belum bisa menunjukkan orang itu kepada khalayak publik. Alvaro belum bisa mengakui perempuan hebat yang begitu ia kagumi, sosok yang selalu berada di sampingnya dan menjadi sandaran baginya.

Sekitar 30 menit kemudian, satu persatu para pemain mulai berapamitan dari tempat itu. Mereka sebelumnya telah mengambil foto bersama dengan seluruh pemain dan juga para crew. Police Evolution telah tayang perdana secara sukses dan mendapat banyak dukungan dari masyarakat, khususnya mereka yang merupakan penikmat film action.

“Gimana filmnya?” Alvaro bertanya pada Sienna ketika mereka sudah berada dalam perjalanan pulang di mobil.

Malam ini Alvaro membawa Alphardnya dan meminta supirnya untuk menyetir, sementara dirinya dan Sienna duduk berdua di kursi belakang. Sienna memiringkan sedikit tubuhnya agar ia bisa menghadap Alvaro, kemudian Sienna berujar, “Filmnya bagus banget. Gue suka sama plot ceritanya, sama akting pemain-pemainnya juga yang keliatan natural dan bisa mendalami peran masing-masing. Ohiya, terus tempo alurnya nggak kecepatan jadi gampang paham, cinematografinya juga bagus. I think it was a great film and I’m happy that I can attend to the premiere tonight.”

Alvaro lantas mengulaskan senyum lebarnya. “Bagian mana yang paling lo suka?”

“Hmmm … bagian mana ya ...” Sienna tampak berpikir, kedua matanya memicing.

Alvaro menunggu Sienna menjawab sembari memandangi paras Sienna. Sienna tampil cantik sekali malam ini. Penampilan kekasihnya itu terlihat sederhana, tapi Alvaro tetap bisa melihat keistimewaan yang terpancar dari sosok di hadapannya ini. Elegan dan cantik, begitulah penggambaran sosok Sienna di mata Alvaro.

“Oh ini. Bagian yang paling gue suka, produsernya tuh nggak salah milih pemain utamanya. IMD kayaknya emang jago banget deh nentuin pemain.”

Alvaro seketika tertawa. Jelas sosok yang dibicarakan Sienna adalah dirinya sendiri. Alvaro merupakan pemeran utama di dalam film itu.

“Sky,” ujar Alvaro setelah tawanya reda. Kini sebuah senyuman kecil tersungging di wajah tampannya.

“Kenapa?”

“Lo cantik banget malam ini,” komentar Alvaro.

Tanpa sadar, mobil yang mereka tumpangi telah berhenti di depan rumah bertingkat dua yang fameliar.

“Oke, makasih. By the way, gue turun dulu ya.”

Wait.” Alvaro menahan Sienna yang akan beranjak. Sienna mengerutkan alisnya. Ia hanya memperhatikan Alvaro yang mengeluarkan ponsel dari saku jas hitamnya.

I want to take selfie with you,” ujar Alvaro.

Sienna lantas tersenyum, “Oke. Let’s go.”

Sienna pun kembali mendekatkan dirinya agar mereka bisa mengambil foto selfie bersama. Sienna menampakkan senyumnya, begitu juag dengan Alvaro. Ketika sudah siap dengan pose masing-masing, Alvaro lantas mengambil foto beberapa kali. Akhirnya cukup banyak foto yang mereka dapatkan.

“Sky, beberapa hari kemarin rasanya cukup berat buat gue. It’s happened and I’m a little bit stress to manage all of this. Tapi gue bisa laluin semuanya dan itu karena lo. You made my day, Sky. Thank you for always being there for me.”

Alvaro tahu Sienna tidak akan membalas perkataannya dengan kata-kata romantis, tapi itu tidak sama sekali menjadi masalah baginya. Setelah perkataan Alvaro itu, Sienna benar-benar pamit untuk turun. Namun sebelum Sienna beranjak dari posisinya, gadis itu memberikan sebuah kecupan singkat di pipi kiri Alvaro.

“Makasih buat malam ini, Al. It is a great night for me,” ucap Sienna sebelum akhirnya gadis itu sungguhan turun dari mobil.

Alvaro lantas mengarahkan netranya pada setiap langkah Sienna, sampai perempuan itu benar-benar memasuki rumahnya. Sienna pun segera masuk ke dalam rumah, karena ia tahu Alvaro masih akan tetap di sana, sampai lelaki itu memastikan Sienna melangkah aman ke dalam rumah.

***

Setibanya Alvaro di kediamannya, Alvaro mendapati Marsha masih berada di sana. Hari ini memang Marsha telah mengatakan pada Alvaro kalau Marsha ingin bertemu dengan Gio. Alvaro memberi izin untuk Marsha menghabiskan waktu dengan Gio. Alvaro mengatakan Marsha tetap bisa bertemu Gio kapan pun perempuan itu mau.

“Al, aku mau ngomong sama kamu.” Ucapan Marsha menahan langkah Alvaro.

Alvaro

Di ruang keluarga itu, tempat yang sebelumnya Marsha ingat di mana dirinya, Alvaro, dan Gio menghabiskan waktu bersama. Hanya ada canda tawa yang menyelimuti mereka, hanya ada bahagia, tapi kini semuanya jauh berbeda.

“Mau ngomong apa?” tanya Alvaro.

Marsha menatap Alvaro tepat di matanya, tapi Alvaro tidak menatap ke arah yang sama dengan Marsha. Tidak seperti dulu lagi, cara Alvaro memperlakukan Marsha.

“Al, aku tau aku salah karena udah ninggalin kamu dan Gio. Aku minta maaf untuk itu,” ucap Marsha.

“Langsung ke intinya, Sha. Kamu mau bilang apa?” ujar Alvaro yang tampak tidak ingin membuang waktunya.

“Kita bisa coba perbaiki semuanya, Al. Aku mau selalu ada untuk Gio dan juga untuk kamu. Tolong kasih aku kesempatan,” ucap Marsha.

Marsha hanya mendapat angin lalu dari ucapannya itu. Selama beberapa detik, Alvaro hanya diam. Sampai akhirnya dengusan kecil keluar dari bibir tipis lelaki itu.

Alvaro lantas mengarahkan tatapannya tepat di manik mata Marsha. “Aku emang jadiin Gio prioritas utamaku, dan selamanya kamu tetap ibu kandungnya Gio, Sha. Tapi aku juga berhak memilih kebahagiaan untuk aku sendiri. Aku berhak milih pendamping hidup yang aku rasa pantas untuk aku. Selama orang yang aku pilih itu bisa sayang sama Gio layaknya dia sayang sama anaknya sendiri, kamu harusnya tau, aku akan memperjuangkan orang itu. Semua di antara kita udah selesai, Sha. Kita nggak bisa bareng lagi.”

Alvaro menghembuskan napasnya kasar usai mengeluarkan semua kalimat yang perlu ia katakan pada Marsha. Kemudian tanap menunggu apapun, Alvaro berlalu begitu saja dari hadapan Marsha. Alvaro harus membuat Marsha mengerti, bahwa Alvaro bukanlah tempat bagi Marsha untuk ditinggalkan dan perempuan itu bisa meminta kembali kapan saja hanya dengan sebuah kata maaf.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Alvaro baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya. Alvaro mengeringkan rambutnya sampai jadi setengah kering, lalu ia lekas mengenakan pakaiannya dengan lengkap dan mengoleskan body lotion di tubuhnya. Setelah dirasa semuanya beres, Alvaro melenggang dari ruang walk in closet dan langkahnya pun sampai di kamarnya.

Alvaro langsung mendapati Sienna di sana, ia lekas berjalan menghampiri perempuan itu.

“Gue lama nggak mandinya?” Alvaro bertanya.

“Lumayan lama,” jawab Sienna.

“Udah ngantuk banget emangnya?” Alvaro terkekeh, lalu ia berjalan menjauhi Sienna untuk mengambil botol parfum di laci nakas. Alvaro menyemprotkan parfum pada beberapa area di tubuhnya, setelah itu kembali pada Sienna. Alvaro langsung mendekap torso Sienna begitu ia sampai di hadapan gadis itu.

“Ngantuk banget,” ujar Sienna, ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Alvaro, tampak nyaman berada di posisinya sekarang.

“Sabar dong. Gue kan tadi habis shooting, mandi dulu biar bersih sama wangi,” ujar Alvaro sembari menjalarkan tangannya membelai surai Sienna.

“Oke,” ucap Sienna diiringi tawa kecilnya. Sienna masih betah berada di posisinya, tidak ingin mereka berubah dulu. Sienna menghirup aroma tubuh Alvaro yang segar, perpaduan citrus dan sedikit mint, yang wanginya selalu mampu membuatnya merasa nyaman. Selain itu, kulit halus Alvaro juga selalu membuat Sienna candu. Penampilan Alvaro yang selalu prima ketika bersamanya, sukses menyenangkan hati Sienna.

Selang beberapa detik kemudian, Sienna dan Alvaro memutuskan untuk membaringkan tubuh di kasur. Mereka posisinya berhadapan, Sienna meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan, lalu ia menanyakan sesuatu pada Alvaro. “Gimana? Pak Herdian udah ada ngasih kabar lagi tentang Marsha?”

“Belum. Terakhir cuma beliau ngabarin kalau sempat ketemu sama Marsha buat minta uang tagihan sewa. Oh iya, kuasa hukum gue udah nemuin bukti yang bisa bikin gue menangin hak asuh Gio di pengadilan nanti.”

Alvaro telah mengatakan pada Sienna sebelumnya, bahwa keputusannya sudah bulat untuk menggugat cerai Marsha.

Sienna sudah tau bukti yang dimaksud oleh Alvaro, ia tanpa harus bertanya lebih jauh. Bukti yang Alvaro dapatkan itu, memang sangat berpotensi besar membuat Alvaro memenangkan hak asuh atas Gio di pengadilan nanti. Semua yang perlahan-lahan terungkap, terlihat sama persis dengan yang didapati oleh Sienna di dalam mimpinya.

“Al, sidang mediasi pertamanya kapan?” Sienna bertanya.

“Kuasa hukum gue udah ngajuin pembuatan surat gugatan cerai ke pengadilan, tinggal nunggu dikirim berkasnya ke pihak tergugat jadi sidang mediasi pertamanya kira-kira minggu ini atau minggu depan,” terang Alvaro.

Sienna lantas mengangguk. Setelah percakapan tersebut, mereka tidak lagi membahas persoalan itu.

“Sky,” ujar Alvaro.

“Hmm?”

I have lost my respected for her,” ujar Alvaro. Dari raut wajah Alvaro, tergambar jelas kekecewaan yang dalam.

Tanpa Alvaro mengatakan siapa yang lelaki itu maksud dalam kalimatnya barusan, Sienna sudah mengetahui siapa sosok tersebut.

“Kalau dia mau pisah sama gue, bisa pisah secara baik-baik. Bukan dengan pergi kayak gini tanpa kejelasan. Harusnya dia mikirin perasaan anaknya. Dia ibu kandungnya Gio, tapi sikapnya nggak mencerminkan itu.”

Sienna tidak berniat untuk berkomentar, ia membiarkan Alvaro mencurahkan perasaannya sampai selesai.

“Anaknya butuh dia, harusnya dia tau itu, kan?” ucap Alvaro lagi. Dari nada bicaranya, terdengar kekecewaan yang besar. Ada harapan yang dihancurkan, ada ekspektasi yang telah dipatahkan.

“Sky, gue nggak mau jadi orang tua yang gagal buat Gio. Gue juga nggak mau Gio membenci Marsha dan menganggap kalau Marsha ibu yang gagal buat dia.”

“Al, lo nggak gagal dan nggak akan. Lo adalah papa yang hebat buat Gio. Gimana pun nanti, Marsha tetep ibu kandungnya Gio, ikatan darah itu kuat banget dan nggak bisa dipisahin. Gue yakin, Marsha sayang banget sama Gio. Sebaliknya, Gio juga akan tetap sayang sama Marsha, karena emang seharusnya kaya gitu.”

Alvaro mengangguk sekali. Lelaki itu nampak memejamkan matanya sejenak, kedua alisnya bertaut, dan jemarinya bergerak memijat pangkal hidungnya.

Tidak lama kemudian, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk mulai memejamkan mata setelah saling mendekap. Namun tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu kamar sebanyak dua kali.

“Gue aja yang buka pintunya,” ujar Sienna mendahului Alvaro. Sienna pun beranjak dari posisinya dan lekas membuka pintu.

“Bunda,” ujar sebuah saura begitu pintu dibuka.

“Gio boleh masuk? Gio mau nunjukin Papa sama Bunda sesuatu,” ucap Gio di sana.

“Boleh dong, Sayang. Ayo, sini. Gio mau nunjukin apa emangnya?” Sienna lantas menutup pintunya setelah Gio melangkah masuk. Gio sudah berlari menuju kasur, disusul Sienna yang mengikuti langkahnya.

“Papa, liat nih hasil gambar Gio,” seru Gio yang nampak antusias. Sienna pun menyusul ke kasur dan mengambil tempat di samping Alvaro, sementara Gio berada di samping Sienna. Alvaro dari samping mendekap bahu Sienna, mereka tengah bersama memperhatikan buku gambar yang ditunjukkan oleh Gio.

Gio membuka buku gambarnya, lalu ia memperlihatkan salah satu halaman di sana. Di kertas itu menampakkan gambar 3 orang yang dibuat dengan crayon warna-warni.

“Nih, ini Papa,” ujar Gio sembari menunjuk gambar seorang pria berambut hitam pendek dan bertubuh tinggi. “Ini Gio, terus ini Bunda,” lanjut Gio sembari menunjuk dua orang lagi yang berada di samping Alvaro. Gio digambarkan sebagai sosok anak lelaki kecil dengan senyum lebar dan Sienna digambarkan sebagai perempuan dengan bibir pink dan rambut panjang.

“Gio dapet tugas pelajaran seni untuk gambar keluarga. Bagus nggak gambarnya?” tanya Gio, anak itu bergantian menatap Alvaro dan Sienna.

“Coba Papa mau liat lebih deket,” Alvaro mengambil alih buku gambar itu dari Gio.

Alvaro lantas memperhatikan gambar itu, sebuah senyum seketika juga mengembang di wajahnya. “Bagus gambarnya,” ujar Alvaro.

Kemudian secara bergantian, Sienna juga ingin melihat gambar itu dari dekat. Di bawah gambar miliknya, Sienna mendapat tulisan ‘Bunda Sienna’ yang kemudian terdapat bentuk hati di samping namanya.

“Gambar Gio bagus banget,” komentar Sienna, senyumnya pun mengembang secara otomatis.

“Terima kasih Bunda,” ucap Gio dengan ekspresi senangnya. Di tengah-tengah suasana itu, tiba-tiba saja terdengar suara keributan dari luar kamar. Alvaro dan Sienna lantas saling bertukar pandang. Alvaro pun mengatakan ia yang akan mengeceknya ke luar. Mungkin saja terjadi sesuatu, dan apa pun itu sebaiknya cepat ditangani.

Saat Alvaro baru saja akan bangun dari posisi duduknya, pintu kamar tiba-tiba dibuka. Tepat di ambang pintu, Alvaro jelas mendapati sosok Marsha berada di sana. Detik berikutnya, kehadiran Marsha disusul oleh Gina dan Aufar.

Gina dan Aufar, dua orang yang bekerja di rumahnya itu nampak bingung dengan situasi yang kini tengah terjadi. Alvaro lantas menduga bahwa keributan kecil tadi disebabkan oleh kedatangan Marsha yang tiba-tiba.

Alvaro memang memerintahkan orang-orangnya untuk selalu menjaga keamanan di rumahnya, dan ada beberapa nama yang memang perlu mendapat izinnya sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Alvaro masih menatap lurus ke arah Marsha ketika Marsha melangkahkan kakinya memasuki kamar itu. Marsha menatap tepat pada Alvaro, lalu ia berujar, “Kenapa semua orang yang kerja di rumah ini ngehalangin aku buat masuk? Kenapa, Al?”

Tatapan Marsha tentu saja langsung tertuju pada sosok di samping Alvaro. Seorang perempuan yang ia kenal, kini berada di sisi Alvaro dan terlebih, anaknya juga berada di sana.

“Al … ini apa maksudnya?” Marsha berucap dengan nada pelannya, tatapannya masih setia menatap pada Sienna dan Gio yang berada di samping Alvaro.

Alvaro lantas beranjak dari posisinya dan menghampiri Marsha. Marsha dapat merasakan bahwa tatapan Alvaro padanya terasa dingin dan tidak bersahabat.

“Kita ngomong di luar,” ujar Alvaro dengan nada suaranya yang terdengar tegas.

“Kita ngomong di sini aja. Apa maksudnya semua ini?” Marsha bersikap keras kepala dan berusaha mempertahankan egonya.

“Marsha, kita ngomong di luar. Kamu mau anak kamu denger?” Alvaro berujar pelan di dekat Marsha. Alvaro lantas berlalu begitu saja dari hadapan Marsha. Alvaro berjalan melewati Gina dan Aufar yang masih berdiri di ambang pintu.

Beberapa detik kemudian, Marsha pada akhirnya menurut dan mengikuti langkah Alvaro keluar dari kamar.

Sementara di kamar itu, Sienna mencoba berpikir jernih di tengah suasana kacau dan tidak terprediksi ini. Namun sebenarnya Sienna sudah tau bahwa suatu hari Marsha memang akan kembali, seperti yang Sienna lihat di dalam mimpinya.

Detik berikutnya terdengar suara keributan terdengar dari arah luar yang mana itu merupakan suara Alvaro dan Marsha. Ini situasi yang tidak baik, terlebih untuk didapatkan oleh Gio. Sienna lantas berbicara dengan Gio. “Gio, ikut sama Bunda dulu yaa, Nak?”

“Emangnya kita mau ke mana Bunda?” Gio bertanya pada Sienna,

Sienna tidak memiliki ide di kepalanya untuk menjawab Gio, tapi ia tidak mungkin membiarkan Gio berada di sini dan mendengar keributan yang terjadi antara kedua orang tuanya.

“Papa sama mamanya Gio lagi ada urusan penting, jadi kita harus kasih waktu untuk mereka. Gio ikut sama Bunda yuk, nanti kita beli mainan. Gimana?”

Gio tampak tidak mengrti, tapi akhirnya anak itu menurut saja pada Sienna. Sulit dipahami oleh Gio atas apa yang terjadi di depan matanya, meskipun ia dapat merasakan bahwa orang tuanya sedang tidak baik-baik saja.

Akhirnya Sienna dan Gio keluar dari kamar. Sienna meminta tolong pada Gina untuk ikut bersamanya dengan Gio dan mereka akan melewati pintu belakang rumah. Namun baru saja mereka berjalan beberapa langkah, suara Marsha yang cukup terdengar keras lantas membuat Gio menghentikan langkahnya. Gio langsung melepaskan genggaman Sienna di tangannya lalu anak itu berlari dari Sienna.

“Gio,” Sienna memanggil Gio, tapi hasilnya percuma.

“Gina, kamu tunggu di sini dulu sebentar. Saya susul Gio,” ucap Sienna pada Gina sebelum melangkahkan kakinya untuk menyusul Gio.

Sienna tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika sampai di ruang tamu. Dari jarak beberapa meter, Sienna memperhatikan yang terjadi di depan matanya. Di sana Alvaro dan Marsha masih berdebat, dan Gio berada di tengah -tengah mereka, anak itu tengah mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.

“Kamu bawa perempuan lain ke rumah, bahkan kamu buat kamar baru dan ninggalin kamar lama kita. Harusnya posisi itu adalah posisi aku, Al. Sienna nggak punya hak untuk ngerebut posisi aku. Aku istri kamu dan aku ibu kandungnya Gio, itu nggak akan berubah,” ujar Marsha.

“Marsha, kamu yang nggak berhak untuk ngomong kayak gitu!” ucap Alvaro disertai tatapannya yang memancarkan amarah. Kulit wajah Alvaro nampak memerah, rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam kepada Marsha.

Alvaro lantas menoleh ketika menyadari kehadiran Gio di sana. Anaknya itu tengah menyaksikan keributan antara kedua orang tuanya.

“Gio, Papa sama Mama lagi bicara. Gio ke kamar dulu ya,” tutur Alvaro kepada Gio dengan suaranya yang dipelankan. Namun Gio hanya membalas Alvaro dengan gelengan. Anak itu tampak keras kepala.

“Mama nggak boleh ngomong kayak gitu!” Gio berteriak sambil menatap Marsha.

DEG.

Alvaro dan Marsha seketika tertegun dengan kalimat yang meluncur dari bibir kecil Gio. Begitu Marsha berlutut di hadapan Gio dan ingin meraih Gio ke pelukannya, anaknya itu justru mundur beberapa langkah dan tidak mau menerimanya.

“Mama ngomongnya gak sopan. Mama nggak boleh kayak gitu ke Bunda Sienna. Gio gak suka sama Mama!!”

Rentetan kalimat yang Marsha dengar dari Gio, seketika membuatnya mematung. Terlebih Gio membentaknya, hal yang sama sekali tidak pernah Marsha bayangkan akan terjadi di hidupnya.

“Gio, nggak boleh teriak sama Mama.” Alvaro dengan cepat mengingatkan Gio.

Mendengar ucapan tersebut keluar dari bibir Alvaro, Gio pun dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. Gio menatap Alvaro dengan tatapan terluka. Menurutnya Alvaro baru saja memarahinya, jadi anak itu langsung berbalik dan berlari dari sana.

Gio kembali menghampiri Sienna yang berada tidak jauh dari tempat kejadian. “Bunda, Papa marahin Gio, padahal Mama yang nakal,” ucap Gio mengadu pada Sienna. Sienna lantas mensejajarkan posisinya dnegan Gio, ia berlutut di depan Gio. Gio dengan cepat memeluk Sienna, dan Sienna berusaha menenangkannya dengan kalimat-kalimatnya dan usapan lembutnya di punggung kecil Gio.

Marsha yang mendapati kejadian itu di depannya pun tidak kuasa menahan dadanya yang terasa sesak. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar yang tengah menghimpit jantungnya. Marsha melihat sendiri dengan kedua matanya bahwa anaknya lebih memilih perempuan lain dibandingkan dirinya.

Gio berada bersama Sienna dan setelah cukup tenang, anak itu akhirnya mau diajak pergi oleh Gina. Sienna mengatakan bahwa ia akan menyusul Gio, tapi ia perlu bicara dulu dengan Alvaro.

Alvaro lantas menghampiri Sienna. “Sienna, lo sama Gio mau ke mana?” Alvaro bertanya.

Sienna dengan ada tenangnya lantas mengatakan pada Alvaro. “Al, lo selesaiin dulu ini sama Marsha. Keadaannya cukup nggak kondusif, jadi gue pikir sebaiknya Gio nggak di sini dulu.”

Alvaro pun setuju dengan ide tersebut. Nyatanya memang tidak baik jika anaknya harus menyaksikan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

“Sienna, hati-hati. Nanti tolong kabarin gue,” ucap Alvaro yang lantas diangguki oleh Sienna. Sienna paham Alvaro pasti khawatir dengan kondisi Gio yang kembali tantrum. Sienna mengatakan ia akan memastikan Gio aman bersamanya, dan sebisa mungkin Gio dapat kembali baik lagi.

Setelah Sienna berlalu dari hadapan Alvaro, Alvaro pun kembali menghampiri Marsha.

“Aku akan menggugat cerai kamu,” ucap Alvaro dengan gamblang. Alvaro mengatakannya seraya menatap Marsha tepat di manik matanya. Perkataan Alvaro terdengar pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun dari nada bicaranya.

Marsha masih diam, berusaha mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari lelaki di hadapannya.

“Marsha, aku tegasin sesuatu sama kamu. Kamu udah ninggalin kewajiban kamu sebagai istri dan ibu untuk Gio, jadi aku pikir kamu nggak berhak meminta hak kamu di rumah ini. Satu hal lagi, kamu nggak ada hak untuk bilang kalau Sienna adalah perebut. Sienna datang setelah kamu pergi, seharusnya kamu jaga bicara kamu, apalagi di depan Gio. Kayak yang kamu liat barusan, Gio berubah sejak kamu pergi, dia nggak baik-baik aja. Gio bisa lebih baik dan itu karena Sienna, jadi harusnya kamu berterima kasih sama Sienna.”

Alvaro menjeda ucapannya beberapa detik. Alvaro mengjembuskan nafasnya kasar, dan sebelum berlalu dari hadapan Marsha, Alvaro pun berujar, “Ada yang mau kamu sampaikan? Kalau nggak ada, pembicaran kita udah selesai sampai di sini.”

Marsha tidak kunjung menjawab, dan artinya Alvaro menilai bahwa tidak ada yang ingin Marsha bicarakan lagi dengannya. Alvaro pun berlalu dari sana, tapi tiba-tiba Marsha menahan lengannya.

“Kamu nggak bisa gugat cerai aku, Al,” ujar Marsha.

Alvaro berbalik dan melihat ke arah tangan Marsha yang menggenggam lengannya. Lantas dengan pelan, Alvaro melepaskan genggaman itu. Marsha nampak terkejut dengan sikap Alvaro yang seolah begitu enggan terhadapnya.

“Aku bisa dan aku berhak untuk menggugat cerai kamu. Jangan kamu pikir aku diem aja selama kamu pergi. Aku udah tau semuanya, dan aku nggak akan ngubah keputusan aku,” ujar Alvaro.

“Maksud kamu?”

“Kamu bisa liat sendiri nanti, aku akan bawa bukti biar aku bisa memenangkan hak asuh atas Gio. Surat gugatan cerai secepatnya akan dikirim ke kuasa hukum kamu.”

Mendengar rentetan pernyataan tersebut, Marsha jelas tampak terkejut. Alvaro tidak mengatakan pada Marsha soal bukti itu, yang mana jelas semakin membuat Marsha kalut. Marsha bertekad memenangkan hak asuh Gio, karena seharusnya menurut aturan hukum—ketika orang tua bercerai—hak asuh anak yang masih di bawah umur jatuh ke tangan ibunya.

Marsha pun dibuat penasaran tentang bukti apa yang dimiliki oleh Alvaro, hingga pria itu begitu yakin bisa memenangkan hak asuh Gio di pengadilan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Bibir itu kembali mengecup belah bibirnya. Entah sudah berapa kali, dan sudah berapa banyak tanda kemerahan yang lelaki itu buat di sekitar leher Marsha, ada juga beberapa yang tersemat di bagian puncak dada sintalnya.

Kecupan itu pun dengan cepat berubah menjadi lumatan kuat, Marsha nampak tidak sanggup mengimbangi tempo si lelaki berbadan kekar dan besar itu. Lelaki itu semakin memperdalam ciumannya, dan kedua lengan kekarnya mengangkat tubuh Marsha untuk digendong. Seperti karung beras, begitulah lelaki itu membawa Marsha menuju kamar mandi.

“Raf, sakit … ahhh …” rintih Marsha bercampur dengan lenguhan yang lolos mulus dari bibir penuhnya.

“Ini belum seberapa, Marsha,” bisik lelaki itu di dekat telinga kiri Marsha. Selama berjalan menuju kamar mandi, lelaki itu terus menciuma dada Marsha, bahkan menggigitnya.

Sesampainya mereka di kamar mandi, lelaki yang dipanggil ‘Raf’ oleh Marsha itu mengunci pintunya. Kemudian lelaki itu menyalakan air shower di sana dan menarik lengan Marsha agar bersama dengannya berada di bawah kucuran air dingin itu.

At bathroom

“Kamu mau ngapain?” tanya Marsha dengan suara lemahnya.

Lelaki itu menatap paras Marsha lekat, tatapannya pun bergerak pelan-pelan, seakan ia sedang menjelajahi wajah Marsha.

“Lakuin di sini,” ujar lelaki itu.

“Lakuin apa?”

“Lakuin itu pakai mulut kamu, Marsha,” lanjutnya.

Marsha yang mengerti maksud lelaki di hadapannya ini, seketika terdiam dan tercekat. Pandangan Marsha turun ke bawah, dan ia mendapati bahwa milik lelaki itu sudah mengeras.

“Aku nggak mau, Raf,” Marsha berujar tegas.

“Marsha, kamu tau kan resikonya kalau kamu nolak permintaan aku, kan?”

Marsha menghela napas panjangnya. Tidak menunggu lama, lelaki itu meraih rahang Marsha dengan sastu tangannya. Mau tidak mau Marsha menatap netra lelaki itu. Hati Marsha tiba-tiba terasa begitu sakit, seketika ia teringat anaknya akan begitu melihat wajah lelaki di hadapannya ini.

Akhirnya Marsha mengangguk. Marsha menuruti permintaan lelaki itu. Marsha melakukannya, sesuai dengan yang diminta oleh lelaki itu. Setelah selama 5 menit kegaitan itu berlangsung, Marsha pun menyudahinya. Lelaki itu tampak mengulaskan senyum puasnya.

“Kita lanjut lagi,” ucap lelaki itu.

“Lanjut apa?” Marsha bertanya dengan nada yang terdengar sedikit khawatir.

Kedua mata bulat itu menatap Marsha dengan tatapan menyeringai, lalu ia berujar di dekat Marsha, “I want to be in you, Marsha. He could do the same thing, but I knew you will always comeback to me.”

***

At bedroom

Terdengar suara bel pintu yang menginterupsi kegiatan kedua sejoli yang sedang berada di atas ranjang itu. Kira-kira sudah sebanyak 3 kali terdengar bunyi bel di pintu apartemen itu.

“Buka pintunya,” ujar lelaki yang lantas membiarkan Marsha pergi dari kungkungannya. Marsha cepat-cepat mengambil pakaiannya yang berceceran di lantai. Setelah dengan rapi memakai pakaiannya, Marsha berjalan meninggalkan kamar untuk membuka pintu.

Saat Marsha melihat dari layar pemantau di dekat pintu yang mengarah ke luar, Marsha seketika nampak tercekat. Namun ia tidak bisa terus menghindar. Akhirnya Marsha membuka pintunya. Marsha kemudian langsung berhadapan dengan seorang pria berusia 40 tahunan yang merupakan pemilik unit apartemen yang jadi kediamannya.

“Langsung saja saya katakan ya, Mbak Marsha. Saya ke sini ingin menagih uang sewa apartemen, karena waktu gadai perhiasan yang Mbak gadaikan ke saya sudah habis. Jadi sesuai kesepakatan, barangnya jadi milik saya. Untuk tagihan bulan ini, Mbak perlu membayar karena juga sudah lewat batas waktunya,” jelas lelaki di hadapan Marsha.

“Pak Herdian, tolong kasih keringanan. Tolong kasih waktu, saya pasti bayar,” ucap Marsha.

“Saya kasih waktu kalau begitu, tapi cuma dua hari. Kalau lusa masih belum bisa melunasi, Mbak harus keluar dari apartemen saya.” Setelah mengatakan itu, Herdian pun berlalu dari hadapan Marsha. Marsha terdiam di tempatnya selama beberapa detik. Pikiran Marsha kini terasa penuh, otaknya tidak dapat berpikir dan menemukan cara untuk mendapat uang.

Marsha memutuskan kembali masuk ke dalam setelah menutup pintunya. Begitu Marsha sampai di ruang tamu, ia mendapati Rafandra berada di sofa. Lelak itu tengah menatap Marsha, tatapannya seperti biasa, selalu netra itu menatapnya seperti ingin menelanjanginya dari atas kepala sampai ujung kaki.

“Raf, kita bakal diusir dari sini kalau dalam dua hari nggak lunasin biaya sewa,” ujar Marsha.

Rafandra masih diam, lelaki itu malah akan berlalu dari Marsha. Namun dengan cepat Marsha menahan lengannya.

“Selama ini aku yang udah bayar sewa dan biayain hidup kita. Tapi kamu, ngapain? Kerjaan kamu tiap hari cuma habisin uang untuk hiburan kamu di luar sana.”

Rafa lantas menyentak pegangan Marsha di lengannya. “Emang itu tugas kamu, Sha. Kalau kamu nggak mau, kamu udah tau konsekuensinya.”

“Raf …” Marsha berucap lirih. Matanya nampak berkaca-kaca. Rasanya percuma bicara dengan lelaki di hadapannya ini.

“Sha, denger. Aku nggak peduli sekalipun kamu memohon dan nangis di depan aku. Dari awal, kamu yang memilih sama aku. You left him for me, remember that?”

Marsha seketika dubuat terdiam seribu bahasa. Kedua irisnya menatap Rafa dengan tatapan nyalang, yang hanya dibalas Rafa dengan decakan kecil yang lolos dari bibirnya. Rafa lantas mendekat pada Marsha dan berujar di dekatnya, “Oh iya, kamu harusnya tau di mana kamu bisa dapet uang. Kamu kan masih punya orang tua dan juga suami. Terutama suami kamu, dia punya banyak uang dan kamu punya hak karena kamu adalah istrinya. Kamu bisa balik ke dia, tapi inget, aku selalu tau cara untuk bikin kamu balik lagi ke aku.”

Setelah mengatakannya, Rafa berlalu begitu saja dari hadapan Marsha. Marsha masih berdiri di tempatnya. Kemudian tanpa Marsha sadari, air mata telah mengalir begitu saja membasahi pipinya. Isakan kecil juga keluar dari bibirnya, itu terus berlangsung bersamaan dengan kedua bahunya yang tampak bergetar.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sienna sudah memikirkan secara matang, sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia akan memberitahu Alvaro mengenai mimpinya. Bagi Sienna, tidak mudah untuk melakukannya. Namun Sienna berpikir ini adalah waktu yang tepat, dan sudah seharusnya Alvaro tahu. Sienna akan menceritakan mimpi yang didapatnya mengenai Marsha.

Pagi ini, Sienna dan Alvaro mengantar Gio ke sekolah. Setelah itu, mereka menikmati sarapan bersama, dan Sienna akan mengatakan tentang mimpinya kepada Alvaro usia mereka makan.

Sienna meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya yang tampak sudah bersih. Usai meneguk minuman di gelasnya, Sienna menatap Alvaro lurus-lurus, “Al, maaf gue baru bisa ceritain ini ke lo sekarang. Mimpi yang gue dapet kemarin adalah soal keberadaan Marsha.”

Selesai kalimat yang diucapkan oleh Sienna, kedua netra Alvaro pun nampak melebar. Terang saja, lelaki itu terkejut akan kalimat yang disampaikan oleh Sienna.

“Al, sebenernya gue udah tau alasan Marsha pergi. Tapi lo tau, gue nggak sanggup bilangnya ke lo. Gue takut kalau mimpi gue keliru, tapi gue selalu berharap kalau mimpi gue kali ini lebih baik emang keliru,” jelas Sienna.

Setelah beberapa detik terdiam, Alvaro akhirnya angkat bicara. “Sky … artinya mimpi yang lo dapet itu mimpi buruk?” Nada suara Alvaro terdengar pilu.

Sienna menjawab pertanyaan Alvaro hanya dengan sebuah anggukan. Jika Sienna selama ini tidak pernah melihat sosok Alvaro yang lemah, kali ini Sienna nyata melihatnya. Alvaro tampak masih mencerna ucapan Sienna. Dari sorot mata Alvaro, terlihat kelas ada sebuah luka di sana.

***

Keesokan harinya.

Selama satu malam kemarin, Alvaro telah memikirkan semua yang Sienna ceritakan. Sienna mengatakan pada Alvaro bahwa ia dapat membaca masa depan seseorang yang dekat padanya. Maka semakin dekat Alvaro dengan Sienna, akan semakin jauh juga Sienna dapat membaca apa yang akan menjadi masa depan Alvaro.

Hari ini Alvaro telah memutuskan untuk membuktikan sendiri kebenaran mimpi itu. Bermodalkan mimpi yang dialami oleh Sienna, Alvaro mencari di mana Marsha menetap setelah berbulan-bulan perempuan itu meninggalkan rumah.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, mobil yang ditumpangi Alvaro dan Sienna kini berhenti tidak jauh dari kawasan sebuah apartemen. Sienna memperhatikan bangunan itu dari kaca mobil, lalu ia berujar, “Al, ini bener tempatnya.”

Akhirnya Alvaro menyuruh supirnya untuk memarkirkan mobil di parkiran gedung itu. Hari ini Aufar juga ikut bersama mereka. Alvaro ingin Aufar membantunya mencari tahu kebenaran bahwa Marsha tinggal di tempat ini atau tidak.

***

Gedung apartemen yang kini Alvaro, Sienna, dan Aufar datangi, ternyata merupakan tipe apartemen kelas menengah ke atas. Lokasi tempat ini berada di luar kota Jakarta, jadi memang cukup jauh dan mereka butuh waktu yang tidak sebentar untuk sampai ke sini.

Setelah mereka sampai, mereka bertemu dengan seorang pria yang merupakan pemilik dari beberapa unit apartemen di lantai 20 ini. Nyatanya tidak mudah mendapatkan informasi mengenai penyewa apartemen, karena pemilik bertanggung jawab menjaga privasi penyewanya. Namun Alvaro mempunyai caranya sendiri untuk mendapatkan informasi tersebut.

Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang diketahui bernama Herdian, akhirnya bersedia memberi tahu setelah Alvaro dan Aufar coba melakukan negosiasi. Alvaro telah menjelaskan pada Herdian dan membawa bukti yang kuat bahwa ia memiliki kepentingan dan hak untuk mengetahui keberadaan istrinya. Marsha Iliana Tengker, aktris terkenal yang keberadaannya sampai saat ini tidak diketahui itu, statusnya masih sah sebagai istri dari Alvaro Xander Zachary.

Herdian yang merupakan pemilik sebuah unit yang ditempati oleh Marsha, lekas mengantar mereka ke tempat di mana Marsha tinggal selama ini.

Sesampainya mereka di sana, Herdian menekan sebuah bel yang ada di dekat gagang pintu.

Setelah 3 kali bel tersebut ditekan dan mereka menunggu, mereka tidak mendapatkan apa pun. Hasilnya benar-benar nihil, tidak ada yang membukakan pintu dari dalam.

“Sepertinya mereka lagi nggak ada di sini,” ujar Herdian.

“Maksud Bapak? Mereka siapa? Marsha tinggal dengan siapa di sini?” Alvaro mengutarakan pertanyaan itu secara bertubi-tubi.

Herdian lantas menjawab dengan sebuah anggukan. “Saya yang menyewakan apartemen ini dan saya tahu betul, ada berapa orang yang menghuni tempat saya. Ada dua orang yang tinggal di unit ini, laki-laki dan perempuan,” jelas Herdian dengan begitu yakin. Herdian lantas juga menjelaskan bahwa kontrak sewa dibuat atas nama Marsha Iliana, jadi Herdian tidak tahu menahu identitas soal lelaki yang tinggal dengan Marsha.

Selain itu Herdian mengatakan kalau sudah 2 bulan pembayaran apartemen ini belum dilunasi, dan Marsha menyerahkan barang berharganya yang bernilai besar sebagai jaminan. Dapat dikatakan bahwa sejumlah emas yang diberikan pada Herdian digunakan sebagai barang yang Marsha gadaikan untuk kemudian hari dapat diambil setelah Marsha berhasil melunasi biaya sewa.

Mereka sempat menunggu beberapa menit di sana, kalau saja Marsha tiba-tiba datang. Alvaro tidak ingin menunda lagi, ia ingin cepat tahu kebenarannya. Namun hari itu takdir berkata lain, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang setelah cukup lama menunggu di depan unit itu.

“Terima kasih atas bantuannya Pak,” ucap Aufar pada Herdian.

“Sama-sama. Nanti kalau ada info, saya pasti akan hubungi Mas Aufar secepatnya,” ujar Herdian sebelum Aufar menyusul langkah Alvaro dan Sienna yang sudah lebih dulu berlalu.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sekitar pukul 11 siang, Alvaro sudah tiba di studio makeup milik Sienna. Kedatangan Alvaro langsung disambut oleh seorang karyawan. Perempuan yang bernama Rahma itu lantas mengatakan bahwa Sienna masih mengajar kelas makeup.

“Sebelumnya mbak Sienna udah titip pesen, katanya bisa tunggu di ruangannya aja,” tutur Rahma.

Kemudian Rahma mengantar Alvaro sampai ke depan ke ruangan yang dimaksud. Setelah Alvaro mengucapkan terima kasih, Rahma berlalu dari hadapannya dan Alvaro memasuki ruangan itu.

Alvaro menutup pintunya ketika ia sudah masuk. Alvaro melangkah ke dalam dan netranya otomatis memindai ke setiap penjuru ruangan. Alvaro baru pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini, dan sepertinya ini ruangan kerja pribadi milik Sienna. Namun begitu melihat sebuah single bed dan sofa yang tampak nyaman di sudut kanan, Alvaro segera berpikir bahwa ruangan ini juga dimultifungsikan menjadi ruang istirahat.

Alvaro lantas memutuskan mendaratkan pantatnya di atas soda. Tidak jauh dari posisi duduknya, Alvaro melihat ada sebuah meja dan kursi kerja. Alvaro yang penasaran lantas beranjak dan berjalan menuju meja itu.

Alvaro mendapati barang-barang umum yang biasanya ada di atas meja, yakni laptop, sebuah buku catatan, dan pulpen. Tidak jauh dari meja itu, terdapat sebuah papan yang ditempeli cukup bayak sticky notes. Lantas ada satu benda yang begitu menarik perhatian Alvaro. Terdapat sebuah foto yang paling mencolok di antara para sticky notes warna warni itu. Alvaro semakin mendekat untuk melihatnya, dan ia akhirnya netranya mendapati sebuah foto yang dijadikan empat grid yang berisi potret dirinya, Sienna, dan Gio. Ada tulisan kecil di pojok kanan bawah foto itu.

‘The best moment in my life’ itu kalimat yang tertulis di sana.

Tanpa Alvaro sadari, sebuah senyum tiba-tiba sudah tersungging di bibirnya. Sienna memajang foto itu di ruang pribadinya, dan itu berhasil membuat dada Alvaro menghangat. Selesai Alvaro mengamati foto itu, ia kembali mendaratkan dirinya di sofa dan menunggu Sienna datang.

***

Begitu kelas makeup Sienna selesai, Sienna langsung memutuskan untuk ke ruangannya. Salah satu karyawannya sebelumnya sudah memberitahu Sienna bahwa Alvaro telah datang sekitar 1 jam yang lalu.

Cklek!

Sienna membuka pintu ruangannya dan langsung menemukan Alvaro di sana.

“Al, lo datengnya kecepatan. Bukannya gue udah bilang gue selesai jam 12 ya?” Sienna berutanya dengan wajah bingungnya.

“Iya, lo emang bilang selesai jam 12,” terang Alvaro.

“Terus kenapa lo dateng jam 11?” Sienna masih menatap Alvaro yang tak kunjung menjawabnya, justru Alvaro kini nampak menahan senyumannya.

Sienna akhirnya sadar akan satu hal. Alvaro cukup berada lama di ruangannya, dan pasti lelaki itu telah melihat sesuatu.

“Sky, ayo kita pesen makanan. Gue udah laper,” celetuk Alvaro tiba-tiba.

“Gue udah minta tolong sama Rahma buat pesenin. Dikit lagi makanannya dateng,” ucap Sienna.

***

Sienna dan Alvaro menikmati makan siang mereka dengan lahap. Selama menyantap makanan, tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Sekitar 15 menit kemudian, dua buah mangkuk soto telah tampak bersih tak bersisa. Sienna lantas meminta tolong karyawannya untuk membawakan kembali mangkuk soto itu.

“Makasih ya Rahma,” ucap Sienna sembari menyerahkan nampan berisi dua mangkuk bekas soto kepada Rahma.

Sepeninggalan Rahma, Sienna menutup pintu dan bahkan menguncinya. Alvaro yang melihat aksi Sienna itu lantas menatap Sienna dengan mata memicing. Tidak ketinggalan, sebuah senyum tipis yang terukir di bibir Alvaro, membuat Sienna yang melihatnya malah jadi gugup.

“Lo balik kerja lagi jam berapa?” tanya Alvaro.

Sienna mengambil tempat di samping Alvaro di sofa. “Sekitar jam 1,: ujar Sienna.

“Masih lama dong?” ujar Alvaro sambil melihat arloji di pergelangan tangannya.

“Iya. Makeup artist punya waktu istirahat yang banyak, Al,” jelas Sienna.

Alvaro lantas hanya manggut-manggut. Selama beberapa detik berlalu, Alvaro dan Sienna hanya saling menatap, sampai khirnya Sienna berceletuk, “Al.”

“Hmm?”

I felt like I could be my true self when I’m with you, since we are in relationship,” ujar Sienna.

Alvaro mencerna kalimat yang Sienna ucapkan dengan seksama. Mata mereka saling bertukar pandang, dan nada suara Sienna terdengar lembut dan sungguh-sungguh. Sienna kembali mengatakan bahwa perempuan itu merasakan perubahan-perubahan di dalam dirinya. Sienna menjadi sosok yang lebih baik dengan menjadi dirinya yang apa adanya, dan itu terjadi sejak ia menjalin hubungan dengan Alvaro.

Alvaro masih diam, belum berniat mengucapkan apa pun. Perkataan Sienna sangat berhasil menyentuh hatinya, hingga Alvaro dibuat terbengong dan tidak dapat berpikir bagaimana ia harus merespon. Eksistensinya begitu dihargai oleh sosok yang ia cintai, dan itu adalah hal yang berarti besar bagi Alvaro.

Alvaro hanya menatap Sienna dalam-dalam. Dari tatapan itu, rasanya ada cinta yang begitu besar. Sosok Sienna, eksistensi Sienna di hidup Alvaro juga telah memberikan makna yang besar bagi Alvaro.

When I’m with you, I felt confident and secure. You inspired me to do better, at everything,” ujar Sienna lagi.

Selain perasaan nyaman yang didapatkan Sienna ketika ia bersama Alvaro, Sienna juga dibuat kagum pada sosok lelaki di hadapannya ini melalui banyak cara. Salah satu contohnya, Alvaro tidak hanya memikirkan dirinya dan Sienna saja dalam hubungan mereka. Alvaro selalu memikirkan keluarga Sienna, meminta Sienna untuk lebih bersikap dewasa dalam menghadapi masalah, terutama saat orang tua yang Sienna belum setuju dengan hubungan keduanya.

Alvaro selalu mengingatkan bahwa Sienna dapat menjadikan Alvaro sebagai tempatnya bersandar, bermanja, dan Sienna dapat menjadi dirinya sendiri ketika bersama Alvaro. Alvaro ingin Sienna menunjukkan ‘real’-nya Sienna saat bersama Alvaro. Mulai detik ini, Sienna akhirnya berjanji ia akan melakukannya hingga seterusnya. Sienna akan menjadikan Alvaro tempatnya bersandar di kala ia membutuhkan seseorang, menjadikan Alvaro sebagai tempatnya pulang saat hari telah berakhir dan saat Sienna sangat merasa lelah dengan dunia.

“Sky, gue bangga sama lo,” ucap Alvaro.

“Tiba-tiba banget? Bangga dalam konteks apa nih?” Sienna bertanya dengan kerutan yang lantas muncul di keningnya.

“Tadi selama gue nunggu di sini, gue ngeliat foto kelulusan kuliah lo. Di lemari yang itu,” ujar Alvaro sambil mengarahkan pandangannya pada sebuah lemari kaca di pojok ruangan.

Alvaro lantas melanjutkan perkataannya. “Setelah gue hitung, lo lulus kuliah di tahun 2016, di umur lo yang ke 19 tahun. Artinya lo lulus SMA di sekitar umur 16 tahun, dan lulus SMP di umur 13 tahun.”

Mendengar penuturan Alvaro itu, Sienna pun sukses dibuat terdiam. Alvaro kemudian mengatakan bahwa ia ingin mendengar soal pendidikan Sienna. Sienna akhirnya setuju dan ia menjelaskan bahwa memang dirinya naik kelas lebih cepat dibandingkan anak lainnya, atau dapat dikatakan bahwa Sienna adalah murid akselerasi saat ia SMP dan SMA. Tentu untuk mendapatkan privilege tersebut, siswa akselerasi haruslah memiliki kemampuan belajar di atas anak-anak pada umumnya dan mempunyai nilai yang tinggi.

“Sky, gue mau nanya sesuatu,” ujar Alvaro setelah selesai mendengar Sienna bercerita tenang perjalanan pendidikannya.

“Mau nanya apa?”

“Kenapa lo pengen jadi guru TK waktu itu?”

“Hmm …” Sienna tampak berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian, akhirnya Sienna melanjutkan perkataannya. “Sebenernya karena orang tua gue ngarahin gue untuk ambil jurusan pendidikan guru. Gue tetep ambil jurusan itu meskipun gue ngerasa kurang yakin. At the end, ternyata gue ngerasa seneng bisa ketemu dan interaksi sama anak kecil hampir setiap hari. Tapi semuanya nggak berjalan mulus gitu aja, dan gue sadar kalau sebenernya bukan pekerjaan itu yang gue mau.”

Akhirnya Sienna menceritakan pada Alvaro tentang latar belakangnya. Sienna terlahir di keluarga yang sederhana, tapi kedua orang tuanya adalah tipe yang sangat mengutamakan pendidikan anak-anak mereka. Saat Sienna beranjak remaja, ia menyukai makeup dan banyak belajar dari Youtube caranya mengaplikasikan makeup. Sienna semakin menyukai makeup dan ingin mengambil jurusan tata rias ketika kuliah. Namun orang tuanya tidak menyetujuinya. Akhirnya Sienna mengambil jurusan pendidikan atas saran papa dan mamanya. Setelah lulus dengan nilai yang memuaskan, Sienna bekerja sebagai seorang guru TK di sebuah sekolah Internasional.

Pekerjaan menjadi guru terasa sangat menyenangkan, tapi rupanya itu juga menyiksa bagi Sienna.

Sienna adalah tipe orang yang begitu perasa, melankolis, dan mudah tersentuh perasaannya. Jadi ketika Sienna berpisah dengan muridnya karena kenaikan kelas, ia harus melalui fase yang berat dalam hidupnya. Mendapati keadaan tersebut, orang tua Sienna akhirnya membiarkan Sienna memilih apa yang ias inginkan.

Sienna memutuskan resign dari pekerjaannya dan memulai karirnya di bidang yang berbeda. Sienna bertekad kuat mewujudkan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi seorang makeup artist. Setelah mengikuti beberapa kursus untuk mendapat ilmu tata rias, Sienna perlahan-lahan mendapat pelanggan setia yang mempercayainya untuk merias. Setelah 2 tahun menekenui bidang tata rias itu, nama Sienna mulai dikenal sebagai seorang makeup artist. Karirnya semakin sukses, dan kini Sienna dapat menjalani apa yang ia cintai dengan sepenuh hati.

I’m a proud boyfriend, Sky,” ujar Alvaro setelah Sienna mengakhiri ceritanya.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Alvaro pun mengatakan bahwa ia dulu menyukai Sienna bukan hanya karena kecantikan parasnya, tapi sosok Sienna yang pintar dan cerdas, ternyata tampak sangat mengagumkan di mata Alvaro.

“Al, tapi setiap orang pasti punya kekurangan di hidupnya. Nggak selamanya semua aspek berjalan mulus,” ucap Sienna. Alvaro menyetujui hal tersebut, memang benar adanya kalau hidup manusia tidak ada yang sempurna.

“Sky, boleh gue tanya sesuatu?” Alvaro bertanya.

Sienna pun mengangguk.

“Apa yang lo ngerasa kurang dari hidup lo?” Alvaro bertanya karena ia penasaran dan tidak dapat kepikiran soal itu.

“Dalam menjalin hubungan. Beberapa kali gue gagal saat baru mulai atau bahkan sebelum gue memulai,” ungkap Sienna.

Alvaro baru mendengar tentang hal ini. Sebelumnya memang mereka tidak pernah membahasnya.

“Mungkin pas awal kita pacaran, lo sadar kalau gue orang yang susah buat nunjukin rasa sayang gue ke lawan jenis. Mungkin itu juga yang jadi alasan hubungan gue sering nggak berhasil,” terang Sienna.

Sienna sadar akan kekurangannya yang cenderung bersikap menutup diri dan juga terlalu mandiri. Sehingga beberapa kali saat Sienna dekat dengan seorang pria, hubungan mereka tidak bertahan lama. Sienna adalah orang yang kadang sulit menunjukkan kasih sayangnya kepada lawan jenis. Beberapa lelaki yang mendekati Sienna juga merasa minder saat tahu penghasilan dan aset yang dimiliki Sienna di usianya yang masih terbilang cukup muda.

“Sky, mungkin lo anggap itu sebagai kekurangan, tapi gue nggak pernah berpikir kaya gitu ketika gue kenal sama lo. Gue menganggap itu bagian dari diri lo dan gue menerima itu. Sky lo harus tau, setiap perempuan berharga di mata laki-laki yang tepat.”

DEG.

Perkataan Alvaro terasa dapat menembus hati Sienna. Kalimat terakhir yang Alvaro utarakan, terasa sangat benar.

Alvaro lantas menjelaskan bahwa hal yang Sienna anggap kekurangannya, sebenarnya bukan kekurangan yang patut untuk Sienna takuti. Sienna hanya belum menemukan lelaki yang tepat untuknya. Sienna belum bertemu dengan lelaki yang paham bahwa cara perempuan menunjukkan kasih sayangnya memang berbeda-beda.

Saat beberapa laki-laki yang sebelumnya singgah di hidup Sienna menganggap bahwa kemandirian Sienna adalah sebuah kekurangan, justru Alvaro justru melihatnya berbeda. Alvaro malah selalu berhasil dibuat terpana oleh sosok Sienna. Sienna yang mandiri, tangguh, dan pintar, mampu membuat Alvaro kagum terhadapnya.

Selain itu, kehadiran Alvaro di hidup Sienna, perlahan dapat membantu Sienna melihat value sesungguhnya yang ada di dalam dirinya. Alvaro mengajarkan banyak hal pada Sienna, menunjukkan pada Sienna bahwa setiap insan pantas untuk dicintai. Alvaro dapat mencintai kekurangan Sienna, yang sebenarnya Alvaro pun tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai kekurangan. Saat seseorang tulus mencintai pasangannya, maka kekurangan layaknya hanya seperti angin yang berlalu saja.

Alvaro meyakinkan Sienna bahwa itu adalah bagian dari diri Sienna, dan Alvaro mencintai setiap bagian tersebut.

“Al,” ujar Seinna.

“Ya?”

I already met someone that I’ve been looking before. Someone that I think he’s my true love,” ujar Sienna.

What .. the true love means for you?” Alvaro bertanya dengan sedikit terbata.

“Menurut gue cinta sejati itu adalah orang yang bisa ngasih gue perasaan aman, orang yang bisa menginspirasi gue untuk jadi orang yang lebih baik lagi, dan yang paling penting adalah orang yang nggak cuma mikirin tentang gue dan dia yang ada di hubungannya, tapi orang yang juga mikirin keluarga gue dan keluarga dia. Bagi gue, keluarga adalah bagian yang sangat penting, dan kalau ada orang yang menganggap itu sama pentingnya, gue akan sangat kagum sama orang itu.” Sienna menjeda ucapannya selama beberapa detik. Sienna menatap Alvaro lekat, sorot matanya seolah mengatakan bahwa tatapan Sienna ini hanyalah milik Alvaro seorang.

“Al, the person is you,” ujar Sienna.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Siang ini setelah sekitar 1 jam bermain bersama Gio di ruang keluarga, Alvaro dan Sienna akhirnya merasa kelelahan. Anehnya Gio masih nampak bersemangat. Alvaro pun meminta tolong Gina untuk menemani Gio bermain. Sepeninggalan Gio dan Gina, kini di ruang keluarga itu hanya tersisa Alvaro dan Sienna.

“Al, gue ngantuk banget. Mau tidur satu jam aja, boleh ngga?” celetuk Sienna.

“Lo duluan ke kamar,” ucap Alvaro.

Mendengar ucapan itu, Sienna lantas menatap Alvaro dengan matanya yang memicing.

“Kenapa Sayang?” tanya Alvaro yang langsung mendapat tatapan selidik dari Sienna usai ucapannya yang menyuruh Sienna ke kamar lebih dulu.

“Ayo. Sebentar aja. Kita cuma tidur, Al.” Sienna paham tentang kekhawatiran Alvaro, tapi Sienna yakin bahwa mereka dapat mengontrol dan menjaga batasan.

Alvaro menghembuskan nafasnya. Di dalam hatinya, Alvaro mencoba meyakinkan dirinya bahwa mereka memang akan cuma tidur. Alvaro akan teguh terhadap pendiriannya, bahwa ia tidak akan melewati batas.

“Kenapa? Lo ngga mau tidur?” tanya Sienna sambil mengucek matanya.

“Mau. Tapi gue takut kelewat batas, Sienna.”

Sienna malah terbahak mendengar jawaban itu. Kemudian Sienna mendekat pada Alvaro. Sienna lantas sedikit mendongakkan wajahnya untuk menatap Alvaro yang lebih tinggi darinya.

You can control it, Al. We can control it,” ucap Sienna sebelum akhirnya lengan menarik Alvaro lebih dulu untuk menuju kamar.

***

Ketika kita memiliki sesuatu yang ditakuti, ada kalanya justru kita harus menghadapi ketakutan tersebut. untuk akhirnya tau cara mengontrolnya. Prinsip tersebut yang pelan-pelan dipelajari oleh Sienna, tepatnya ketika mendapati dirinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Sienna akan menghadapi mimpinya dan berusaha untuk tidak merasa takut.

Alvaro pelan-pelan bisa belajar prinsip yang diajarkan oleh Sienna itu. Alvaro takut akan kelewat batas ketika ia sedang bersama Sienna. Namun pada akhirnya, Alvaro memang harus menghadapi ketakutan tersebut, agar ia tau bagaimana cara mengontrolnya.

Kali ini Alvaro dan Sienna tidur dengan lampu kamar yang dimatikan. Di bawah sebuah bed cover tebal, Alvaro mendekap torso Sienna. Alvaro merasakan kulit mereka yang bersentuhan dan ia dapat mengontrol dirinya. Alvaro justru merasa nyaman dan cepat lelap juga. Pikiran-pikiran yang Alvaro takutkan seketika lenyap begitu saja.

Selamar 30 menit berlalu, di tengah tidur nyenyaknya, tiba-tiba mimpi itu datang lagi pada Sienna. Rekaan kejadian masa depan terputar jelas di dalam benak Sienna. Menit-menit yang Sienna lalui terasa sangat mencekam baginya, hingga isakan kecil pelan-pelan lolos dari bibirnya. Lama-lama suara isakan tersebut mengusik Alvaro yang tertidur, dengan jelas Alvaro dapat mendengar bahwa Sienna tengah terisak.

Alvaro kemudian membuka netranya, dengan mata setengah mengantuk, Alvaro menatap Sienna yang tengah menangis di dalam tidurnya.

“Sienna,” ujar Alvaro pelan. Baru kali ini Alvaro mendapati Sienna seperti ini. Alvaro bingung apa yang harus ia lakukan, maka akhirnya Alvaro hanya mencoba menenangkan Sienna dengan mengusap pundaknya.

Sienna masih memejamkan matanya, ketika bibirnya kembali berujar, “Al … Alvaro …”

“Sienna, hei, I’m here. Ssshhh ... sshh ... don’t cry,” tutur Alvaro, ia mencoba menenangkan Sienna. Ketika akhirnya Sienna membuka matanya, tatapan mata itu menyorotkan ketakutan. Napas Sienna terdengar berhembus naik turun dan tidak beraturan.

Sienna tampak masih syok dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Kedua bahu Sienna bergetar. Mimpi yang baru saja Sienna alami, adalah sebuah mimpi buruk. Terlebih Sienna harus mendapati sosok yang baru saja ada di mimpinya, kini tengah berada di hadapannya dan menatapnya dengan tatapan lembutnya.

“Al … gue takut,” ucap Sienna dengan suara seraknya, seolah suaranya akan hilang sebentar lagi.

“Hei, everything will be oke. Lo ngga perlu takut, gue ada di sini jagain lo. Tidur lagi, ya?” Alvaro mengusap puncak kepala Sienna, lalu usapannya turun ke pipi kanannya.

Sienna lantas mengangguk pelan. Perkataan lembut Alvaro dan sentuhan menenangkannya, dapat menyihir Sienna untuk kembali merasa tenang. Ketika Alvaro kembali membawa Sienna ke pelukannya, Sienna balas mengeratkan pelukannya di torso Alvaro.

Tiba-tiba saja otak Sienna memutar kilas balik saat dirinya dan Alvaro mengunjungi rumah Alvaro yang ada di Menteng beberapa hari lalu, tepatnya saat Sienna melihat foto masa kecil Gio dan mengatakan bahwa wajah Gio sangat mirip dengan Alvaro. Rasanya kalimat tersebut terus berputar-putar di dalam otak Sienna, kemudian itu menghantam Sienna berkali-kali, karena mimpinya sangat bertolak belakan gdengan kenyataan yang ada. Kali ini Sienna sangat ingin meragukan kemampuannya membaca masa depan melalui mimpi. Namun sayangnya, selama ini mimpi Sienna tidak pernah salah dalam memprediksi sesuatu.

***

Pintu kamar yang diketuk sebanyak 3 kali itu, membuat Alvaro lantas bangkit dari posisinya. Sienna berada di kasur, di sana ia menunggu Alvaro membuka pintu.

“Papa lagi ngapain sama Bunda? Kok pintunya dikunci? Gio kan mau sama Bunda,” celetuk sebuah suara. Sienna yang mendengar suara fameliar itu, lantas segera beranjak dari posisinya.

Sienna menyusul Alvaro ke pintu dan langsung menemukan Gio di sana. “Gio mau sama Bunda yaa?” ucap Sienna sembari mengulurkan tangannya dan Gio langsung menyambutnya. Sienna lantas membawa Gio masuk ke dalam kamar.

Sienna dan Gio sudah menjamah kasur, lalu Alvaro segera menyusul keduanya setelah menutup pintu.

“Gio cari-cari Bunda, eh ngga taunya Bunda di kamar Papa,” celoteh Gio. Alvaro berada di sisi kanan Sienna, sementara Gio berada di sisi kirinya. Alvaro kemudian mendekat pada Sienna dan meletakkan tangannya di paha Sienna. Alvaro sengaja melakukannya untuk menggoda Gio. Beberapa kali Gio merasa cemburu saat Alvaro menempel pada Sienna, bagi anaknya itu, Sienna hanyalah miliknya seorang.

Gio seketika bergerak menyingkirkan tangan Alvaro dari atas paha Sienna sambil berceletuk, “Papa ngga boleh pegang, ini kan Bundanya Gio.”

Alvaro kemudian mendelik, kedua alisnya menyatu. Alvaro tidak mau kalah begitu saja. “Tapi Bunda Sienna kan pacarnya Papa,” celetuk Alvaro.

Ucapan Alvaro tersebut seketika membuat Sienna melotot ke arahnya. “Al, kamu nih,” cicit Sienna.

“Pacar itu apa sih Bunda?” Gio yang bingung pun bertanya pada Sienna dengan wajah ingin tahunya.

“Pacar itu level sayangnya lebih tinggi dari Bunda,” Alvaro berujar cepat untuk menjawab pertanyaan Gio.

“Emang Bunda lebih sayang siapa? Gio atau Papa?” Gio bertanya lagi.

“Sayang dua-duanya,” tutur Sienna.

“Lebih sayang Gio aja dong, Bunda.”

“Iya oke, Bunda lebih sayang Gio,” ujar Sienna akhirnya. Namun itu membuat Alvaro tidak terima. Lekas Alvaro mendekat pada Sienna dan merengkuh bahu Sienna dari samping.

“Ihh ... Papa nakal!” Gio sedikit berteriak dan berusaha menjauhkan Alvaro dari sana.

Sienna yang mendapati itu seketika merasa tersentil hatinya. Melihat perlakuan Gio pada Alvaro, Sienna merasa kalau seharusnya Gio tidak boleh bersikap seperti itu pada Alvaro. “Gio, Sayang, ngga boleh gitu sama Papa. Gio anak hebat, Gio kan sayang sama Papa. Sayang Papanya, coba?” pinta Sienna.

“Tapi Papa kan nakal Bunda.” Gio masih saja berserikeras mempertahankan argumennya.

“Engga, Sayang. Papa ngga nakal. Kita harus saling sayang dan bertutur kata yang lembut. Okee?”

“Oke, Bunda.”

Setelah itu Gio meminta maaf pada Alvaro. Bahkan anak itu memberi kecupan singkat di pipi Alvaro. Mendapati anaknya seperti ini, Alvaro tidak bisa mencegah hatinya menghangat.

“Gio, ayo sekarang kita kiss Bunda,” cetus Alvaro.

Sienna sedikit terkejut mendapati ide itu, tapi kemudian dengan senang hati ia menerimanya. Gio lantas bergerak mencium pipi kirinya, dan disusul oleh Alvaro mendapat bagian di pipi kanannya.

“Papa, Bunda. Gio mau tanya deh. Adik itu asalnya dari mana? Gio kan pengen banget punya adik,” ujar Gio tiba-tiba.

“Adik itu asalnya dari surga, yang dititipin ke dua orang yang saling sayang,” jawab Alvaro.

“Oh gitu ya? Papa dan Bunda kan saling sayang, berarti bisa punya adik dong?” ujaran Gio itu lantas membuat Alvaro dan Sienna saling menatap satu sama lain. Sienna mengisyaratkan Alvaro melalui gerakan matanya, bahwa sebaiknya Alvaro tidak lagi menjawab. Jika Alvaro melakukannya lagi, mungkin urusannya bisa semakin panjang dan Gio semakin ingin tahu lebih jauh lagi.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭