alyadara

Sienna sudah mengatakan pada Alvaro agar lelaki itu tidak datang ke rumahnya. Ini sudah malamdan Alvaro pasti lelah selepas menjalani shooting, jadi lebih baik lelaki itu langsung pulang ke kediamannya dan beristirahat. Namun kenyataan yang Sienna hadapi, berbeda dengan apa yang ia ucapkan. Sienna tidak bisa fokus terhadap pekerjaan yang sedang ia lakukan, perempuan itu justru beberapa kali mengintip ke luar rumah melalui jendela kamarnya.

Sienna sudah tiga kali melihat ke bawah untuk mengetahui apakah Alvaro sungguhan nekat datang ke rumahnya atau tidak. Sienna merutuki dirinya sendiri, nyatanya sikap dan ucapannya tidak sinkron. Namun memang hatinya tidak bisa berbohong. Sienna merindukan Alvaro, merindukan bagaimana mereka menghabiskan waktu berdua. Sudah 4 hari belakangan mereka tidak bertemu sama sekali, itu karena Alvaro sibuk shooting dan Sienna juga sibuk dengan pekerjaannya.

Sienna melirik jam dinding di kamarnya yang kini menunjukkan pukul 20.30, di mana sudah 30 menit sejak Alvaro memintanya untuk tidak tidur dulu. Sienna memutuskan melihat sekali lagi melalui jendela kamarnya. Ketika Sienna melihat ke depan rumahnya, netranya mendapati range rover putih yang sangat fameliar tengah terparkir di sana.

Range Rover Alvaro

Sienna tidak menunggu apapun, ia lantas bergegas keluar kamar dan menuruni tangga. Sesampainya Sienna di depan rumahnya, ia menghampiri mobil itu. Kaca mobil di samping kemudi langsung dibuka dan seketika itu juga Sienna mendapati Alvaro di sana.

“Ini udah malem, Al. Mau ngapain coba?” pertanyaan tersebut yang pertama Sienna lontarkan pada Alvaro.

“Mau ketemu lo. Kita cari makan di luar, yuk?”

“Lo belum makan?”

Pertanyaan Sienna langsung dijawab Alvaro dengan sebuah anggukan. Alvaro sempat membujuk Sienna dulu, baru setelah itu Sienna mengangguk setuju.

“Tunggu bentar. Gue ganti baju dulu.”

“Oke.”

***

Night road

Sienna memperhatikan penampilan Alvaro malam ini. Alvaro masih mengenakan kemeja rapi yang, Sienna yakin stelan tersebut adalah yang digunakan Alvaro untuk shooting.

“Masih rapi banget. Nggak sempet ganti baju?” tanya Sienna.

“Iya, ngga sempet. Ini gue juga belum hapus makeup.”

“Sampe rumah nanti hapus ya, jangan langsung tidur.”

“Iyaa, Sienna.”

Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, Alvaro dan Sienna pun sampai di tempat tujuan. Malam ini penjual makanan kaki lima menjadi alternatif keduanya untuk menikmati makan malam. Dua buah nasi goreng pun di pesan, dan mereka memutuskan untuk makan di mobil.

Sebelum Sienna menyantap makanannya, terlebih dulu ia menggulung lengan kemeja Alvaro. “Kebiasaan deh, nanti kotor bajunya,” ucap Sienna.

Alvaro hanya memperhatikan selama Sienna membantunya menggulung lengan kemeja. Hingga beberapa detik kemudian, lengan panjang kemeja putih Alvaro telah tergulung rapi sampai sebatas siku.

Baru selanjutnya Alvaro melanjutkan kegiatannya menyantap makanan dan Sienna juga melakukan hal yang sama.

Selama mereka makan, tidak ada percakapan yang terjadi. Ini memang acara dadakan dan sederhana, tapi baik Sienna maupun Alvaro, mereka saling menikmatinya satu sama lain. Kebersamaan dan waktu yang sebisa mungkin diluangkan, terasa sangat berarti.

“Sienna,” ujar Alvaro yang telah lebih dulu selesai dengan makanannya.

“Hmm?” Sienna menoleh pada Alvaro.

Sienna menunggu Alvaro meneguk minuman di botolnya, baru setelah itu Alvaro melanjutkan perkataannya. “Gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Kebetulan deket dari sini, jadi lo pulangnya ngga kemaleman.”

“Bener ya … ngga kemaleman?” ujar Sienna terdengar sangsi.

“Iyaa, Sienna. Gue anter lo pulang sampe depan rumah. Aman, ngga akan kemaleman.”

“Emangnya kita mau ke mana?” Sienna bertanya karena jujur saja ia penasaran.

“Ke rumah gue yang ada di daerah Menteng,” ujar Alvaro. Selebihnya Alvaro akan menjelaskan pada Sienna saat mereka sampai di sana.

***

The Menteng House

Sienna menatap rumah bertingkat dua di hadapannya. Nampak dari luar, rumah tersebut memang tidak sebesar rumah yang saat ini Alvaro tinggali. Namun rumah itu terkesan sangat* homie* dan terlihat begitu terawat. Di bagian depan rumah, terdapat taman yang asri dengan rumput pendek berwarna hijau.

Sienna mengikuti langkah Alvaro memasuki rumah itu. Ketika mereka masuk, Sienna memperhatikan isi rumah itu, lalu netranya menangkap sebuah ranjang bayi yang terletak di salah satu pojok ruang keluarga. Alvaro mengikuti arah pandang Sienna dan seketika ia berujar, “Dulu waktu Gio baru lahir, gue, Gio sama mama tinggal di sini.”

Alvaro lantas mengambil sesuatu dari laci yang tidak jauh dari ranjang bayi itu. Sienna penasaran dan menyusul Alvaro untuk melihat sesuatu yang tengah di pandangi lelaki itu.

Rupanya frame yang sedang ditatap Alvaro adalah foto Gio ketika masih bayi. Alvaro lantas menunjukkannya pada Sienna.

He’s really look like you,” komentar Sienna.

Alvaro hanya menorehkan senyum kecilnya. “Ayo kita liat lantai atas,” ujarnya kemudian.

Sienna mengangguk dan lantas berjalan mengikuti langkah Alvaro. Mereka berjalan bersisian menaiki tangga, sambil Alvaro menceritakan tentang rumah ini kepada Sienna. “Ini rumah pertama yang gue beli untuk mama,” ujar Alvaro.

“Tahun berapa lo beli rumah ini?”

“Sebelum Gio lahir.”

Lantas Alvaro menjelaskan bahwa rumah ini adalah aset pertama yang ia beli dari hasil kerja kerasnya, dan tempat ini sangat berharga bagi Alvaro.

Sesampainya langkah mereka di lantai atas, Alvaro menunjukkan pada Sienna sebuah ruangan yang menjadi saksi jejak karir Alvaro sebagai aktor. Di dinding ruangan itu, di pajang beberapa bingkai foto yang menampakkan foto-foto Alvaro. Alvaro mengatakan bahwa Inggit yang mengabadikan semua ini. Mamanya selalu mengatakan, bahwa setiap momen adalah salah satu hal penting dalam hidup yang harus diabadikan.

Can I take a picture of this?” tanya Sienna sambil menunjuk pada sebuah foto.

Alvaro Teenager

Alvaro mengangguk, membiarkan Sienna memotret fotonya menggunakan ponsel perempuan itu. Foto tersebut adalah foto ketika Alvaro masih remaja, sekitar usia 16 tahun, di mana karirnya masih dirintis.

“Sienna,” ujar Alvaro. Sienna yang masih mengambil beberapa foto, seketika menoleh pada Alvaro.

“Iya?”

“Rumah ini berarti banget buat gue. That’s why I take you here. I want to saw you every little thing about me.” Setelah mengucapkannya, Alvaro terkekeh pelan.

Sienna manggut-manggut. “This is not a little, this is the whole thing. The house, and this room, have a lot memories about you. Your mother must be so proud of you, Al.”

Alvaro menatap Sienna lekat-lekat, seolah tidak ada hal lain yang menarik baginya untuk dilihat, selain sosok Sienna. Sienna yang kini tengah menatap Alvaro dengan tatapan bangganya, membuat Alvaro teringat akan mamanya yang juga sama menatapnya seperti ini.

“Ada spot favorit gue di rumah ini. Mau ke sana?” Alvaro mengulurkan tangannya, menunggu Sienna menyambutnya.

Let’s go,” ucap Sienna tanpa membuat Alvaro menunggu lama. Sienna menyambut uluran tangan itu, tangan yang akan selalu digenggamnya.

***

Spot favorit yang dikatakan Alvaro berada di area belakang rumah. Tempat tersebut merupakan sebuah teras luas yang menghadap ke halaman berumput. Di teras itu terdapat sebuah area sofa melingkar berbentuk persegi, dan di tengahnya ada tempat untuk perapian. Sienna terkagum pada pemandangan malam yang dapat dinikmati di sini. Lampu-lampu yang menyinari sekeliling halaman, pemandangan langit malam yang berwarna biru gelap, menjadikan tempat ini terasa sempurna.

Spot Favorit Alvaro

Alvaro dan Sienna memutuskan mengambil tempat di salah satu sofa di sana. Mereka duduk bersebelahan. Alvaro meletakkan satu lengannya pada sandaran sofa, melingkar di belakang punggung Sienna. Sienna menghadap Alvaro, hanya menatap lelaki itu saja, rasanya sudah cukup bagi Sienna.

“Lo suka banget ngelakuin hal impulsif ya Al,” celetuk Sienna.

“Contohnya?” tanya Alvaro.

“Malem-malem nekat ke rumah gue, padahal lo baru kelar shooting. Itu namanya keputusan impulsif, kayak ngga ada hari besok aja.”

“Emang ada hari besok. Tapi ngga bisa, Sienna. Gue kangen sama lo, gimana dong?”

Sienna belum merespon ucapan Alvaro, sampai akhirnya Alvaro berujar lagi, “Lo ngga kangen gue emangnya? Empat hari lho kita ngga ketemu.”

“Kalau ngga kangen, ngapain gue malem-malem gini mau keluar sama lo.”

“Ohh gitu. Oke.”

Alvaro terlihat menahan senyumnya, tapi seperti yang biasa terjadi, lelaki itu memang tidak bisa menyembunyikan jati dirinya ketika di depan Sienna. Alvaro tidak lagi menahan senyumnya, ia ingin Sienna mendapati senyum ini dan menikmatinya.

“Al,” ujar Sienna.

“Ya?”

Tatapan Sienna yang tidak lepas dari Alvaro dan tampak berbeda dari sebelumnya itu, membuat Alvaro gugup. Alvaro mengumpat dalam hati. Ia telah berjanji akan menjadi lelaki baik untuk Sienna, tapi sesuatu dalam dirinya justru kini meronta-ronta. Sesuatu itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, yang Alvaro tahu ia akan menjadi sangat brengsek jika sampai melakukannya.

Let me kiss you once,” ucap Sienna.

Beberapa detik setelah itu, Alvaro berujar, “Barusan … lo bilang apa?” Alvaro ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

“Harus diulang?” tanya Sienna.

Sebelum Alvaro menjawab pertanyaan Sienna, Sienna sudah lebih dulu mengulang pertanyaannya yang lebih terdengar seperti pernyataan. “Let me give you one kisses.”

Alvaro menatap Sienna, dan selama beberapa detik netranya menjelajahi detail paras cantik Sienna. Alvaro kemudian memangkas jarak yang tersisanya di antara dirinya dan Sienna. Tatapan mereka masih saling beradu, lalu Sienna meletakkan dua lengannya di pundak Alvaro. Dengan satu tangannya, lantas Alvaro membelai sisi wajah Sienna. Permukaan kulit Sienna yang terasa lembut itu seketika mengilhami jemari-jemari Alvaro.

Saat Sienna menurunkan pandangannya dan berhenti tepat di bibir Alvaro, saat itu juga Sienna berujar pelan, “I’m jealous, this lips kissed other.”

Alvaro lantas mengarahkan jari telunjuk Sienna untuk kemudian mendarat di atas bibirnya. “This lips are yours. You owned it, Sienna,” ucap Alvaro.

Alvaro mendapati kedua mata Sienna yang nampak berkaca-kaca, lalu perempuan itu mengulaskan senyum manisnya. Kemudian dua detik berikutnya, Sienna memajukan wajahnya dan detik itu juga, ia mendaratkan bibirnya pada bibir Alvaro. Bibir Sienna bergerak lembut, menyapa belah bibir Alvaro. Alvaro membalas ciuman itu, mengikuti alur gerakan yang sebelumnya lebih dulu Sienna ciptakan. Kedua benda yang sama-sama terasa lembut dan kenyal itu bersatu, saling menyalurkan kasih melalui gerakan seirama.

Kedua lengan Sienna masih berada di pundak Alvaro, nampak nyaman berada di sana, di saat bibirnya masih aktif memagut bibir Alvaro. Satu lengan Alvaro menarik pinggang ramping Sienna agar mendekat, lalu Alvaro memberi usapan lembut di sana.

Selama kurang lebih tiga menit mereka berciuman, akhirnya perlahan-lahan mereka mulai menjauh. Alvaro memperhatikan bibir Sienna yang sedikit memerah berkat kegiatan mereka. Alvaro lantas tertawa kecil, lalu tangannya bergerak mengusap bibir Sienna dengan ibu jarinya. “Kalau kayak gini, kita bisa kemaleman lho pulangnya,” ujar Alvaro dengan nada jenakanya.

Sienna mencebikkan bibirnya, ekspresinya itu nampak menggemaskan di mata Alvaro.

“Padahal shooting cuma tiga detik nempel, tapi harus dibayar pake tiga menit ya?” Alvaro kembali berceletuk.

“Ngga nyampe tiga menit, Al,” kilah Sienna.

“Nyampe. Itu tadi tiga menit, Sienna. Lama banget.”

“Ngga usah diingetin,” Sienna hendak beranjak dari duduknya, tapi Alvaro dengan cepat menahannya. Hingga kini Sienna kembali mendaratkan pantatnya di sofa.

“Makasih buat tiga menitnya,” ucap Alvaro.

“Al,” peringat Sienna sambil membelalakkan matanya.

Alvaro tertawa lagi, kali ini sampai kedua pelupuk matanya berair. Sienna masih di posisinya, dan dengan tangannya, Sienna menutupi kedua pipinya yang memerah dan terasa menghangat.

Alvaro yang mendapati itu lantas menghela tangan Sienna untuk menjauh dari pipinya. Sambil menatap Sienna lekat-lekat, Alvaro pun berujar, “Jadi setiap adegan romantis kalau gue shooting, harus dibayar berkali lipat sama lo?”

Sienna mengangguk satu kali sebagai sebuah jawaban.

“Oke. You don’t need to pay me for doing that. I’ll give it to you for free.”

Sebenarnya Alvaro hanya bergurau mengatakannya. Alvaro tidak akan melakukannya, ia tidak ingin membuat dirinya nampak berengsek di mata Sienna. Alvaro menghargai Sienna dan ingin menjaganya sepenuh hati. Alvaro memang ingin melakukannya, tapi satu hal yang dirinya yakini dan itu terdapat di ajaran agamanya. Alvaro yakin bahwa Tuhan tidak akan memberkati dan memberi jalan, bila umatnya melakukan hal-hal yang di luar jalur. Alvaro ingin jadi lebih baik, dan ia melakukannya untuk Sienna.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

2 hari kemudian.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan tidur. Alvaro pernah mengalami gejala kesulitan tidur hingga membuatnya terus terjaga di malam hingga pagi hari. Seiring berjalannya waktu, setelah konsultasi dengan dokter dan mendapat terapi serta saran, pola tidur Alvaro dapat berangsur membaik. Namun kini Alvaro kembali mendapati gejala kesulitan tidurnya. Setiap akan tidur, pikirannya selalu merasa cemas. Padahal Alvaro telah mengikuti anjuran dokter untuk tidak lagi mengonsumsi alkohol, dan memperbaiki pola makan, juga pola istirahatnya. Alvaro sebisa mungkin telah memberi tubuhnya istirahat, tidak terlalu memforsir tubuhnya untuk bekerja, tapi tetap saja usahanya belum berhasil.

Nanti malam Alvaro ada jadwal shooting, tapi sejak siang ia belum juga bisa beristirahat. Alvaro kini tengah berada di kamar barunya, berusaha untuk memejamkan mata. Saat Alvaro merasa kesal karena belum bisa merasa mengantuk, ponselnya di atas nakas berdering. Alvaro segera mengangkat panggilan itu ketika melihat ID Call yang tercantum di sana.

‘Sienna my love ❤️’ is calling.

“Halo,” ujar Alvaro menjawab panggilan tersebut.

“Halo Al? Lho katanya nanti malem ada shooting, lo belum tidur jam segini?” terdengar suara Sienna di telfon.

I’m trying,” ujar Alvaro dengan nada frustasinya.

“Coba lagi. Kalau belum bisa juga, nanti gue ke sana.”

Really?

“Hmm.”

Alright. Nanti minta jemput sama pak Amar ya.”

Sebelum Sienna menutup sambungan telfonnya, Alvaro mengucapkan sesuatu yang membuat Sienna seketika menahan dirinay untu ktetap di sana. “Thank you.” Hanya itu yang diucapkan Alvaro, tapi dua kata tersebut rasanya diungkapkan dengan sangat tulus dan begitu mendalam.

***

Sienna memutuskan datang ke rumah Alvaro, setelah beberapa yang menit lalu Alvaro memberitahu bahwa lelaki itu belum juga dapat terpejam. Pekerjaan Sienna hari ini tidak terlalu padat di studio, jadi ia bisa meninggalkannya dan meminta para karyawannya untuk meng-handle-nya.

Ketika Sienna sampai di kediaman Alvaro, Sienna mendapati Alvaro tengah berada di ruang keluarga. TV di nyalakan dengan volume yang cukup keras, dan Alvaro menonton tayangan di hadapannya, tapi nyawanya seperti tidak tertuju pada tayangan tersebut.

“Al,” Sienna menghampiri Alvaro. Alvaro seketika menoleh dan menatap Sienna.

“Hei,” ucap Alvaro sambil menatap ke arah Sienna. “The new room is ready to use, and made only for us,” lanjutnya.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya, lalu ia mengangguk ketika Alvaro mengajaknya ke kamar baru itu.

***

New room

Kamar yang kini telah resmi Alvaro tempati, tidak jauh berbeda dari segi luas ruangannya dibandingkan dengan kamar sebelumnya. Namun terdapat perbedaan, yakni dari segi desain. Kamar baru ini lebih simple tampilannya, tidak terlalu banyak detail, dan Alvaro mengatakan bahwa tone wana kamarnya adalah warna yang ia sukai.

Sienna melangkah ke dalam kamar dan menyapukan netranya ke penjuru kamar itu. Alvaro menyusulnya dan lagi, menutupi pintu dan segera menguncinya.

Sienna yang mendapati Alvaro melakukan itu, otomatis menorehkan senyumnya. Alvaro selalu konsisten dengan ucapannya di awal mereka menjalin hubungan. Waktu yang mereka miliki, Alvaro begitu menghargainya dan selalu memastikan mereka dapat menikmatinya semaksimal mungkin. Tidak ada seorang pun yang dapat mengganggu.

Alvaro menghargai kebersamaan dengan orang-orang yang ia sayang, maka Sienna juga menghargai hal tersebut sebagai bentuk cintanya kepada Alvaro.

Sienna duduk di tepi kasur, dan Alvaro berada di sampingnya. “Waktu pertama kali, kamar ini belum sepenuhnya bisa ditempatin. Jadi kemarin terpaksa kita harus pake kamar yang lama,” ujar Alvaro.

It’s oke,” ujar Sienna.

Alvaro sering kali memikirkan hal-hal kecil. Baginya, kenyamanan dirinya dan Sienna adalah yang utama. Dengan berada di kamar yang lama, Alvaro tidak ingin Sienna terbayang-bayang akan masa lalunya. Begitu sebaliknya, Alvaro juga ingin keluar dari masa lalu itu, dengan cara meninggalkannya sepenuhnya. Alvaro ingin memulai di tempat yang baru dengan orang baru, dan tentunya dengan perasaan yang baru.

Sienna izin untuk ke kamar mandi karena ia ingin sedikit membersihkan diri. Alvaro membiarkannya dan menunggu Sienna kembali.

Tidak lama kemudian ketika Sienna kembali, Sienna mendapati Alvaro yang masih duduk di tepi kasur, lelaki itu terlihat belum ingin menjamah kasur.

“Al, jangan terlalu banyak pikiran. Just let it flow,” ucap Sienna seolah tahu bahwa Alvaro sedang memiliki banyak pikiran di dalam kepalanya.

“Sienna, let me ask you something,” ujar Alvaro.

What happen?”

It’s about my past. Are you okay … with that?

Pertanyaan yang dilontarkan Alvaro bagaikan jarum yang melobangi hati Sienna. Sienna memang pernah memikirkan itu, tapi tidak menduga bahwa pikiran Alvaro dipenuhi juga oleh hal tersebut. Sienna lantas bertanya mengapa Alvaro menanyakan itu padanya, dan Alvaro segera menjelaskan, “I’m just asking. Sienna, gue nggak mau nyakitin lo karena masa lalu gue. Gue ingin lo tau kalau apa yang udah jadi masa lalu gue, nggak akan mempengaruhi hubungan kita, mau sekarang ataupun nanti.”

Sienna seketika menggeleng pelan. Sienna kemudian memangkas jarak di antara dirinya dan Alvaro. Sienna meraih satu tangan Alvaro dan kemudian menggenggamnya.

“Gue menerima masa lalu lo, Al. Jangan khawatirin tentang itu, yaa?” Sienna berusaha meyakinkan Alvaro.

Alvaro kemudian mengangguk. Alvaro mengerti, bahwa Sienna telah mencoba untuk berdamai dan menerima. Sienna juga menjelaskan bahwa sejak ia memutuskan menjalin hubungan dengan Alvaro, itu berarti Sienna telah sepenuhnya menerima masa lalu yang dimiliki Alvaro. Karena bagi Sienna, tujuan sebuah hubungan asmara adalah untuk bersinergi bersama, yakni bahwa dua insan harus melihat lurus ke depan, meninggalkan apa yang telah berlalu dan tidak perlu menoleh lagi ke belakang.

Setelah pembicaraan itu, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk merebahkan diri di kasur. Sienna posisinya menghadap Alvaro, satu tangannya berada di pinggang Alvaro, mendekap ringan di sana.

Alvaro masih menatap paras Sienna, ia belum juga merasa mengantuk.

“Al, tidur,” ucap Sienna pelan.

“Iya, sebentar lagi.”

“Tau gitu gue nggak ke sini, lo malah jadi nggak bisa tidur,” ujar Sienna.

Just a minute, Sienna. Gue lagi liatin lo, soalnya lo cantik banget.”

“Modus,” celetuk Sienna cepat.

“Lho, emang cantik.”

“Pasti ada maunya.”

Alvaro tidak dapat menahan tawanya mendengar ucapan Sienna. Ketika akhirnya tawa Alvaro reda, netra Sienna tertuju pada sesuatu yang nampak seperti bekas jahitan yang posisinya berada di bawah bahu Alvaro, yakni persis di dekat tulang selangka. Sienna lantas bertanya. “What happened with this?”ujarnya sembari menjalarkan tangannya pada bekas luka itu.

“Ini bekas cidera karena shooting. Dijahit 4 jahitan,” jawab Alvaro. Tidak jauh dari bekas jahitan itu, Sienna mendapati sebuah tato kecil berwarna hitam. Karena Alvaro mengenakan kaus tanpa lengan yang bagian kerahnya cukup rendah, jadi baru kali ini Sienna melihat tato itu.

How many tattoo did you have?” Sienna bertanya.

It’s four. Why?

Sienna menggeleng. Ia hanya sekedar bertanya, karena belum pernah menemui tato milik Alvaro yang memang ukurannya cukup kecil.

You really loves them?” tanya Sienna.

Alvaro mengangguk menjawab pertanyaan yang lagi-lagi diajukan Sienna. “You want me to make it one again? That one is gonna be for you,” ucap Alvaro.

“Gambar atau tulisan?”

It will be one words, it’s ‘Sienna’ and I’ll make it beautiful.”

Mendengar kalimat itu, membuat Sienna otomatis menarik ujung-ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman. Kemudian Sienna mengangguk. “Oke, you can add that one. Where it will be?

Alvaro meraih tangan Sienna dan mengarahkan tangan perempuan itu untuk berada di atas dadanya, “Here,” ujarnya. Kemudian mereka tertawa bersama, entah untuk alasan apa, mereka hanya tahu bahwa mereka menikmati waktu kebersamaan ini.

“Al,” ujar Sienna setelah tawa mereka reda.

“Hmm?”

“Secepatnya gue mau cerita ke papa dan mama, soal hubungan kita,” ujar Sienna.

Alright. Please tell me then how they respond,” ucap Alvaro.

Sienna langsung mengangguk mengiyakan. Pada awalnya Sienna memang belum ingin menceritakan soal hubungan mereka kepada kedua orang tuanya. Alvaro memaklumi hal tersebut dan memberi Sienna waktu, sebelum akhirnya Sienna sendiri yang ingin memberi tahu orang tuanya.

Keputusan Sienna hari itu yang akan menceritakan tentang hubungan mereka, berhasil menciptakan kebahagiaan kecil untuk Alvaro. Meskipun sebenarnya ada sedikit kekhawatiran tentang itu, tapi Alvaro selalu menanti, hari di mana orang yang penting di hidup Sienna mengetahui tentang hubungan mereka.

Beberapa detik yang lalu Alvaro sudah memejamkan matanya, tapi kini kelopaknya kembali terbuka. Sienna menatapnya Alvaro dan sedikit mengerucutkan bibirnya. Itu karena Alvaro belum juga tidur, padahal sudah hampir 30 menit mereka berada di kasur.

Dengan mata yang setengah mengantuk menatap Sienna, Alvaro lantas berujar, “Sienna … can I kiss you?”

Mendengar ujaran itu, Sienna terlihat sedikit terkejut dan gugup. Namun yang terjadi, pikiran dan hatinya dengan kompak berseru bahwa Sienna juga menginginkannya. Tanpa dapat dicegah, pipi Sienna pun terasa menghangat. Tatapan mata Sienna yang entah mendapat perintah dari mana, menatap ke arah belah bibir Alvaro yang nampak lembap itu.

If you don’t want, then I will not do it,” ujar Alvaro. Alvaro tidak akan melakukannya, jika Sienna tidak mengizinkannya dan jika Sienna tidak menginginkan mereka melakukannya.

I want it too.” Sienna mengucapkannya dengan gamblang. Sienna dan Alvaro masih saling bertukar pandang, dan dari tatapan keduanya, mereka tahu apa yang benar-benar mereka inginkan dari hati yang terdalam.

Alvaro dan Sienna sama-sama tidak dapat mencegah senyum yang terbit di wajah masing-masing. Sienna membiarkan Alvaro untuk melakukannya, membiarkan lelaki itu menangkup satu sisi wajahnya, lalu perlahan mulai bergeak memangkas habis jarak mereka.

Dengan jemarinya, Alvaro memberikan sentuhan dan usapan di pipi Sienna. Alvaro menatap Sienna dalam-dalam, tatapan Alvaro ini adalah tatapan yang selalu berhasil membekukan sendi-sendi di tubuh Sienna. Alvaro memandangi paras Sienna dengan seksama, paras yang 14 tahun lalu berhasil membuatnya jatuh cinta. Bersyukurnya, mereka bertemu lagi, dan Sienna kembali berhasil membuat Alvaro jatuh cinta, lagi.

“Sienna, I can’t help my self to not fall in love with you. You made me felt the love, not by once, but every time when I saw you.”

Usai mengatakannya, Alvaro semakin mendekatkan dirinya pada Sienna. Sienna lalu memejamkan matanya karena merasa gugup dan juga berdebar. Dua detik berikutnya, Sienna dapat merasakan sesuatu kenyal dan lembap menyapa belah bibirnya. Jantung Sienna berdegup kencang dan rasanya seperti ingin meledak. Rasanya seperti ada kembang api dan pesta pora yang kini tengah menggemparkan hatinya.

“Al …” ucap Sienna diiringi sedikit lenguhan yang tanpa sadar keluar dari bibirnya. Sienna menikmati setiap kecupan yang Alvaro berikan padanya, itu ditandakan dengan kelopak matanya yang membuka, lalu tertutup lagi.

Yes ... Babe?” Alvaro menjeda ciuman mereka, ia sedikit menjauhkan dirinya dari Sienna.

Sienna tidak mengucapkan apa pun, karena lidahnya terasa kelu dan kaku, ditambah otaknya seperti membeku, hingga tidak dapat berpikir dengan cepat. Namun pipi Sienna yang memerah telah menjelaskan semuanya, bahwa Sienna menyukai apa yang barusan terjadi. Alvaro lantas tertawa kecil, lalu ia menampakkan senyum lebarnya.

Let’s sleep,” ujar Alvaro kemudian meraih tubuh Sienna ke dalam rengkuhannya.

I will be a good man for you, Sienna,” ucap Alvaro di sela-sela pelukan mereka.

Di balik punggung Alvaro, Sienna nampak mengulaskan senyum lembutnya. Kemudian satu tangan Sienna bergerak mengusap punggung Alvaro dengan gerakan searah.

“Al, lo udah jadi yang terbaik buat gue. Lo juga udah jadi papa yang hebat buat Gio. Makasih untuk semua itu,” ucap Sienna.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Satu bulan telah berlalu sejak Sienna dan Alvaro memutuskan menjalin hubungan. Belum banyak yang mengetahui tentang hubungan keduanya. Namun sebagian memang sudah tau, terutama orang-orang terdekat Alvaro. Setelah Inggit, lalu disusul orang-orang yang bekerja dan tinggal di rumah Alvaro. Gina, mbak Ida, Aufar, dan beberapa pekerja lainnya.

Sementara Gio, tentu anak itu tidak mengerti apa-apa. Satu hal yang bocah 6 tahun itu ketahui adalah, ia merasa senang karena bunda Sienna-nya jadi lebih sering ke rumah dan menghabiskan waktu bersamanya dan juga papanya. Gio tidak tahu, bahwa bunda dan papanya sering menghabiskan waktu hanya berdua tanpa dirinya. Seperti pasangan pada umumnya, Alvaro dan Sienna beberapa kali butuh waktu untuk berduaan saja, dan itu adalah hal yang wajar.

Suasana rumah sianh ini sedang sepi karena pembuat keramaian sedang tidak ada, karena Gio belum pulang dari sekolahnya. Sienna datang ke rumah dan bertemu Gina di ruang tamu yang sedang membersihkan area di dekat sofa.

“Eh Ibu,” sapa Gina sambil mengulaskan senyum sopannya.

Sienna membalas sapaan Gina dengan seulas senyum. “Gin, Gio pulang sekolah jam berapa ya hari ini?” tanya Sienna ketika ia teringat sesuatu.

“Sekitar jam 4 sore Bu. Soalnya ada les renang dulu habis pulang sekolah.”

“Oh gitu. Jadi gini Gin, hari ini saya nggak bisa temenin Gio les. Saya minta tolong kamu yaa, bisa?”

“Oh, iya Bu, bisa. Nanti saya yang temenin Gio.”

“Oke, makasih ya Gin.”

Tepat setelah itu, terlihat sosok Alvaro yang berjalan menuju Sienna dari arah kamarnya. Alvaro segera sampai di hadapan Sienna. Jarak mereka yang sudah dekat itu, membuat Gina mengerti dan kemudian segera berlalu dari hadapan keduanya.

“Al, tadi masih ada Gina,” ujar Sienna.

“Gina udah paham,” ujar Alvaro pelan sembari mengulaskan senyum tipisnya. Kemudian Alvaro meraih tangan Sienna, Alvaro menggenggamnya dan mengajak Sienna untuk menuju kamarnya.

“Harusnya gue temenin Gio les renang lho hari ini,” ujar Sienna.

“Gio ada Gina yang temenin. Kalau papanya Gio nggak ada yang temenin.”

Sienna sukses membelakkan matanya ke arah Alvaro berkat kalimat enteng lelaki itu. Alvaro hanya terkekeh mendapati hal tersebut. Begitu langkah mereka telah sampai di kamar, Alvaro menutup pintunya dan menguncinya.

“Kenapa dikunci?” tanya Sienna yang baru sadar karena sebelumnya ia sedang menyapa Lily, kucing anggora putih yang sedang berada di kamar Alvaro.

Alvaro berjalan menghampiri Sienna, kemudian mengambil Lily dari gendongan Sienna. “Mau dibawa ke mana Lily-nya?” tanya Sienna.

“Lily, kamu keluar dulu yaa,” ujar Alvaro sambil mengusap bulu halus Lily.

Sienna mengikuti langkah Alvaro yang membawa Lily keluar. Ketika Alvaro meletakkan Lily di lantai dan hampir menutup pintunya, Lily mengaum kecil, mengeluarkan bunyi ‘meow’ lembut dari bibirnya.

“Kasian Lily,” ujar Sienna. Namun Alvaro tetap menutup pintunya dan kembali menguncinya, sehingga Lily tidak bisa melangkah masuk ke dalam.

“Al,” Sienna memelas, meminta Alvaro untuk membuka pintunya.

“Apaa ... Sayang?” Alvaro malah tersenyum jenaka ke arah Sienna. “Tunggu dulu sebentar di sini ya,” ucap Alvaro yang lantas menghilang di balik tembok yang menuju walk in closet di kamar itu.

Sienna menunggu Alvaro, ia duduk di tepi kasur. Sienna sedikit merasa gugup, jantungnya berdebar, dan sedari tadi sebenarnya Sienna mencoba menyembunyikan senyuman di wajahnya.

Selang 5 menit kemudian, Alvaro sudah kembali. Sienna langsung menoleh dan mendapati Alvaro telah mengganti pakaian yang sebelumnya lelaki itu kenakan.

“Kenapa ganti baju?” Sienna bertanya karena ia tidak mengerti mengapa Alvaro mengganti pakaiannya.

“Udah kotor baju yang tadi. Kan mau tidur,” jelas Alvaro.

Ketika Alvaro mulai menjamah kasur, Sienna dapat menghirup aroma parfum fameliar yang biasa Alvaro pakai. Alvaro telah lebih dulu merebahkan dirinya di kasur, baru setelah itu Sienna menyusul.

Sienna merebahkan tubuhnya dengan posisinya yang membelakangi Alvaro, hal tersebut membuat Alvaro terkekeh pelan. Namun tanpa mengucapkan apapun, Alvaro mendekat lebih dulu. Kemudian dengan gerakan lembut, satu lengan Alvaro menghela pinggang Sienna untuk didekap.

Sienna masih diam di tempatnya, sampai ketika beberapa menit berselang, Sienna mulai mendekatkan diri dan menyandarkan punggungnya di dada bidang Alvaro. Sienna memberi usapan lembut di lengan keras dan berotot Alvaro yang mendekap pinggang rampingnya.

“Sienna,” ujar Alvaro dengan suara pelannya.

Sienna memutuskan membalikkan badannya. Jadi kini Sienna bisa melihat wajah Alvaro. Wajah Alvaro nampak setengah mengantuk, matanya terlihat agak sayu.

“Ada kamar baru yang masih direnovasi, belum sepenuhnya jadi,” ujar Alvaro.

“Kamar siapa?” Sienna bertanya.

“Kamar gue. Nanti gue nggak tidur di kamar ini lagi.”

Sienna mengerti tanpa harus meminta Alvaro menjelaskan maksud dari ‘kamar baru’ yang akan Alvaro tempati. Sienna dapat mengerti rasa sakit yang dialami Alvaro. Dari pancaran mata Alvaro, Sienna dapat melihat rasa sakit yang lelaki itu coba sembunyikan. Kamar ini, pasti telah menyimpan banyak kenangan antara Alvaro dan Marsha. Maka dari itu, untuk mengobati sebuah luka, seseorang harus benar-benar meninggalkan semua yang berhubungan dengan dengan masa lalu mereka, dan Alvaro sedang melakukannya.

Beberapa menit telah berlalu, Sienna hanya memperhatikan Alvaro yang sudah memejamkan matanya, tapi Sienna tahu Alvaro belum sepenuhnya tertidur. Kini giliran Sienna yang mendekat lebih dulu. Sienna melesakkan dirinya ke dalam pelukan Alvaro, lalu ia membiarkan Alvaro merengkuh tubuhnya. Begitu mereka sudah saling mendekap, Sienna dapat merasakan deru napas hangat Alvaro di dekatnya, dan juga wangi tubuhnya.

Sebelum Alvaro benar-benar pergi ke alam mimpinya, lelaki itu menyematkan sebuah kecupan lembut di kening Sienna. Alvaro kemudian berucap pelan di dekat Sienna. “Gue bersyukur lo ada di sini, Sienna.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Saat seseorang semakin jauh mengenal seseorang, ia akan semakin merasa dekat dengan orang itu. Bila semakin dekat, maka akan ada perasaan takut kehilangan atau takut dikhianati. Itulah gambaran mayoritas yang terjadi pada kehidupan sosial seorang manusia. Namun berbeda dengan orang kebanyakan, semakin jauh mengenal seseorang, Sienna akan semakin jauh dapat mengetahui masa depan orang tersebut. Satu persatu apa yang akan menjadi takdir orang yang dekat dengannya, akan dapat Sienna baca melalui mimpinya.

Di tengah malam yang sunyi, sekitar pukul 12, Sienna kembali mendapati mimpi pembaca masa depan. Di sebuah kamar bernuansa baby pink itu, nampak Sienna yang tertidur dengan gelisah. Peluh membasahi pelipisnya, dan Sienna terlihat tidak nyaman di dalam tidurnya.

Hembusan napas Siena terdengar tidak teratur, kedua belah bibirnya saling membuka dan sedikit bergetar. Menit-menit berlalu yang dilewati Sienna, akhirnya dapat ia lalui. Sienna terbangun dari tidurnya dan kini tengah menatap lurus-lurus ke langit-langit kamarnya.

“Nggak mungkin, nggak. Ini nggak mungkin,” Sienna bermonolog sambil berusaha mengusap pelipisnya yang di penuhi oleh keringat. Bahkan AC di kamarnya tidak dapat menghalau rasa panas berkat perasaan panik yang kini tengah menyerang Sienna.

Sienna berusaha bangun dari posisinya. Ketika Sienna menapakkan kedua kakinya ke lantai, rasanya sendinya lemah dan ia sempat berdiam sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Barusan Sienna mendapati mimpi yang sangat mengerikan. Baru kali ini, Sienna membenci dirinya dan ia sangat membenci kemampuan yang dimilikinya. Kalau boleh memilih, Sienna lebih memilih tidak bisa membaca masa depan orang yang ia sayangi.

Sienna menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Di dalam hatinya, Sienna lantas memanjatkan sebuah doa. “Tuhan, aku tahu engkau adalah yang maha baik dari segala yang baik. Apa pun takdir yang Engkau buat, tolong lindungi orang-orang yang aku sayang. Amen.”

Usai memanjatkan doanya, Sienna memutuskan melangkah keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Sienna berjalan menuju dapur dan mengambil air putih, lalu Sienna menuju sofa ruang tamu dan duduk di sana. Setelah meneguk air di gelasnya, Sienna kembali termenung di ruang tamu. Pandangannya kosong, jiwanya sepertinya terguncang, dan Sienna berusaha untuk menutupi semuanya dengan menelan sendiri kenyataan yang ia ketahui.

“Sienna ..?” ujaran itu membuat Sienna menoleh. Di sana Sienna mendapati Renata. Mamanya dengan wajah setengah mengantuk lantas menghampirinya dan duduk di sampingnya.

“Nak, ada apa? Kamu mimpi lagi?” tanya Renata.

Sienna menatap Renata dengan tatapan mengadu, tapi bibirnya tetap terkatup dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Mah—” ucapan Sienna tertahan berkat tangisnya yang akhirnya tidak dapat lagi ia bendung. Renata yang mendapati itu segera meraih putrinya ke dalam pelukan.

“Ssshh ... kamu tenang ya. Kalau kamu mau cerita, Mama siap dengerin. Tapi kalau kamu belum atau bahkan nggak mau cerita, nggak papa,” tutur Renata sembari mengusap punggung Sienna dengan gerakan searah.

Selang beberapa detik kemudian, Sienna mengurai pelukannya. “Mah, Sienna bingung menghadapi ini. Sienna nggak tau harus ngambil langkah apa. Sienna dapat mimpi yang berhubungan sama orang-orang yang Sienna sayang. Sienna takut salah membuat keputusan, Mah.”

Renata paham kalau Sienna tidak dapat menceritakan tentang mimpinya saat ini. Namun suatu hari, Renata yakin bahwa putrinya akan mengadu padanya dan menceritakan tentang mimpinya.

“Sienna, dengerin Mama yaa, Nak. Kamu cuma perlu mengikuti kata hati kamu. Mama yakin, kamu pasti tau apa yang baik, dan apa yang buruk. Kemampuan yang kamu punya, harus kamu gunakan dengan sebaik mungkin. Mama percaya, kamu tahu keputusan yang harus kamu ambil. Selama itu demi kebaikan, Tuhan akan selalu melindungi kamu, dan juga orang-orang yang kamu sayang.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Alvaro sampai di rumahnya setelah mengendarai range rover miliknya dengan kecepatan 100 km per jam. Alvaro lupa kapan terakhir kali ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sekitar 15 menit, Alvaro akhirnya berhasil sampai di rumah. Alvaro memakirkan mobilnya dengan asal-asalan, lalu menyerahkan kunci mobilnya kepada pak Hasyim, meminta tolong pada beliau untuk merapikan mobilnya.

Alvaro kemudian melangkah memasuki rumahnya. Netranya memindai di ruang keluarga, tapi tidak menemukan sosok yang dicarinya.

“Gio? Gina? Mbak Ida?” Alvaro berjalan menuju kamar Gio, memanggil semua nama yang merupakan penghuni rumahnya. Namun Alvaro tetap belum mendapat sahutan. Sebenarnya ke mana semua orang?

“Sienna?” Terakhir Alvaro menyebut nama itu. Alvaro melangkah lebar menuju area belakang rumah, dan belum sempat kakinya sampai di sana, netranya telah lebih dulu menangkap sosok yang ia cari.

“Kok rumah sepi banget? Orang-orang pada ke mana?” tanya Alvaro pada Sienna. Alvaro merutuki dirinya, kenapa justru pertanyaan konyol itu yang terlontar dari mulutnya. Alvaro, bodoh, umpatnya dalam hati.

“Gina lagi bersihin taman depan, mbak Ida lagi ke minimarket. Gio lagi berenang,” jelas Sienna.

Alvaro lantas hanya ber-oh ria.

“Ayo sarapan bareng,” ucap Sienna kemudian. Alvaro lantas mengangguk dan segera mengekori langkah Sienna.

***

Area Belakang Rumah

Alvaro menarik salah satu kursi di hadapannya. Di sebuah gazebo dekat kolam renang, terdapat area yang memang dibuat untuk makan bersama. Di sebuah meja makan berisi 6 kursi itu, dipergunakan untuk menyantap makanan sambil menikmati pemandangan terbuka di area belakang rumah.

“Gio, ayo makan dulu. Nanti lanjut berenang lagi,” ujar Sienna yang tengah menghampiri Gio di pinggir kolam.

“Satu kali lagi, Bunda. Gio berenang sampai ujung dulu sekali, nanti habis itu makan.”

“Oke, bener ya?” Sienna bertanya dan Gio pun berjanji akan menurutinya.

Setelah kesepakatan itu, Gio langsung ngacir berenang lagi. Sienna pun kembali menuju gazebo. Sienna baru saja akan mengambil piring untuknya, tapi tiba-tiba kehadiran Gina di sana menginterupsi.

“Ibu, maaf, tadi minta tolong Gina ambilkan apa ya Bu?” tanya Gina pada Sienna.

“Oh, itu. Tolong ambilin baju handuk untuk Gio ya. Habis ini mau makan dulu dianya, baru lanjut berenang lagi.”

“Baik, Bu. Saya ambilkan dulu,” ucap Gina yang setelah itu berlalu dari hadapan Sienna dan Alvaro.

Sienna kembali lanjut mengambil makanannya. Sementara Alvaro sudah memulai suapan pertamanya. Sienna menarik kursi di hadapan Alvaro, ia duduk di sana dan mulai menikmati hidangannya.

Sienna yang merasa Alvaro memperhatikannya, langsung mengalihkan fokusnya dari makanannya kepada Alvaro yang berada di hadapannya.

“Sejak kapan Gina manggil lo beda?” Alvaro bertanya.

“Oh, itu. Gio yang nyuruh Gina.” Sienna pun sedikit tertawa. Kalau diingat, memang kelakukan Gio itu selalu saja penuh dengan kejutan.

“Ohya?” Alvaro terlihat bingung mengapa bisa demikian terjadi. Percakapan itu tiba-tiba terinterupsi oleh kehadiran Gio dan Gina. Gina sedang membantu Gio memakai baju handuknya dan mengeringkan tubuh anak itu agar tidak terlalu basah.

Setelah Gina mengambilkan makanan untuk Gio, Gina pamit berlalu dari sana.

“Gio, Papa mau tanya. Kamu nyuruh mbak Gina manggil Bunda Sienna apa?” ujar Alvaro.

Gio lantas menoleh pada Alvaro, bocah itu tampak bingung. Namun tidak lama kemudian, Gio menjelaskan setelah Sienna coba mengingatkan kejadian tadi pagi.

“Gio suruh mbak Gina manggil Bunda pake sebutan ‘Bu’. Kan mbak Gina dulu juga manggil mama pake sebutan ‘Bu’. Itu biar sopan, kan Papa?”

“Iya, biar sopan,” Alvaro manggut-manggut dan kemudian terkekeh pelan. Bisa-bisanya anaknya kepikiran sampai hal yang serinci itu. Sepertinya itu karena di pikiran Gio saat ini hanya ada Sienna, Sienna, dan Sienna saja. Semuanya hanya tentang ‘Bunda Sienna’-nya itu.

Selang 15 menit kemudian, Alvaro, Sienna dan Gio telah selesai menyantap sarapan mereka. Gio akan kembali berenang, anak itu meminta Sienna menemaninya dan menolak Gina yang akan menggantikan tugas tersebut.

“Gio, ditemenin Mbak Gina dulu ya?” Sienna membujuk Gio.

“Emang Bunda mau ke mana? Bunda mau pulang ya?”

“Engga, Bunda pulangnya nanti. Bunda mau ada yang diomongin dulu sama papa. Oke?”

Setelah dibujuk, akhirnya Gio menurut. Sebagai gantinya, Gio ingin tidur siang ditemani oleh Sienna. Sienna menyetujui itu, dan mereka telah sepakat agar sama-sama mendapatkan win win solution.

Gio telah kembali berenang dan Sienna berlalu dari sana. Sienna lantas menyusul Alvaro dan menemukan lelaki itu berada di ruang keluarga. Di sisi sofa yang kosong di samping Alvaro, Sienna mendaratkan dirinya di sana.

Selama beberapa detik, tidak ada yang mengeluarkan suara apa pun. Sienna dan Alvaro hanya diam dan saling menatap. Mereka nampaknya sama-sama tidak tahu harus membicarakan apa. Setelah pernyataan Sienna kepada Alvaro melalui sebuah pesan, Alvaro seperti bukan Alvaro yang biasanya dapat lugas berbicara di depan Sienna.

Alvaro salah tingkah, mendapati Sienna menatapnya seperti ini, dan jarak mereka yang kini cukup dekat.

“Gio bukannya minta ditemenin berenang?” Alvaro bersuara juga akhirnya.

“Gio ditemenin sama Gina,” ujar Sienna.

Setelah percakapan tersebut, Sienna meraih tangan Alvaro. Alvaro segera tertuju pandangannya pada tangannya yang diraih oleh Sienna dan kini digenggam ringan.

Alvaro menundukkan wajahnya, ketika ia merasakan hawa hangat menyergap permukaan kulitnya. Setelah berhasil menstabilkan dirinya, Alvaro kembali menatap Sienan lurus-lurus. Sienna lantas tersenyum untuknya, sebuah senyum yang nampak sangat manis.

Want to spend time together? Only for us?” Alvaro bertanya, masih sambil pandangannya yang tidak lepas memandang paras Sienna.

Sienna lantas mengeratkan genggaman tangannya di tangan Alvaro, ia menggoyangkan sedikit genggamannya. Detik berikutnya, Sienna menjawab dengan sebuah anggukan lugas. “Mau pergi kapan?”

“Hmm ... lusa bisa deh kayaknya. Bentar, gue coba tanya mbak Ila dulu.”

Sienna lantas membiarkan Alvaro mengambil ponsel di saku jaketnya dan menunggu Alvaro berbicara di telfon dengan mbak Ila.

“Halo mbak Ila? Lusa bisa nggak ya mbak minta tolong kosongin jadwal gue?”

“….”

“Gue mau pergi sama Sienna. Nggak sama Gio, gue sama Sienna doang.”

“…”

“Ada, ini Sienna di samping gue.”

Alvaro lantas mengaktifkan mode* speaker* di ponselnya.

“Sienna,” terdengarlah suara Ila dari telfon.

“Iya Mbak?” Sienna menyahut.

“Udah jadian nih kalian?”

“Iyaaa Mbak.” Alvaro yang menjawabnya dengan cepat.

Kemudian terdengar suara Ila dengan nada leganya. “Finally … gue bisa tenang habis ini.”

Sienna seketika tertawa pelan mendengar ucapan Ila. Lantas Ila melanjutkan ucapannya. “Gue bisa tenang, akhirnya artis gue nggak uring-uringan lagi. Sienna, Alvaro hampir gila gara-gara lo. Jangan lo tinggalin dia, nanti gue yang bisa repot.”

Setelah Ila sedikit bercerita tentang Alvaro yang semingguan ini nampak kacau, akhirnya telfon pun ditutup. Alvaro tidak menampiknya, karena kenyataannya memang seperti itu. Meskipun kini Alvaro harus tertangkap basah tepat di depan sosok yang membuatnya hampir gila, tapi itu tidak masalah baginya. Sebagai bonusnya, Alvaro berhasil mendapatkan cuti kerja dan akan menggunakan sehari penuh waktu liburnya untuk pergi dengan Sienna.

“Jangan ngerepotin mbak Ila lagi habis ini,” ujar Sienna.

“Iyaa, Sienna,” jawab Alvaro.

“Jangan mabok lagi, bisa-bisa nanti sembarangan ngirim* drunk text* ke orang.”

“Iyaa, ngga kirim drunk text lagi. Paling kalau iya, gue kirimnya ke lo doang.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sienna membuka jendela di sampingnya begitu mobilnya berhenti di sebuah pos yang dijaga oleh seorang satpam. Ketika seorang petugas yang berjaga di sana mendapati bahwa orang itu adalah Sienna, ia pun langsung berujar, “Ohh, Mbak Sienna. Saya kira dijemput pak Amar atau biasanya bareng sama bapak.”

“Engga Pak, Alvaro kan masih shooting. Saya bawa mobil aja sendiri ke sini,” ujar Sienna.

Petugas itu lantas mengangguk dan mengulaskan senyum ramahnya pada Sienna, sebelum akhirnya membukakan pagar rumah agar mobil Sienna bisa masuk.

“Mari, Pak,” ucap Sienna sebelum kembali memanuver mobilnya. Petugas itu mengangguk sambil sedikit membungkukkan badannya ketika mobil Sienna berlalu dari hadapannya.

***

“Makasih ya Pak,” ujar Sienna pada seseorang yang ia kenal yang telah membantu memarkirkan mobilnya.

“Sama-sama Mbak.”

Setelah berpamitan pada pak Hasyim, Sienna melangkah menuju area rumah. Saat Sienna pertama kali memasuki rumah ini, ia pun mengenal satu persatu para penghuni di dalamnya. Ada 2 asisten rumah tangga, tukang kebun, dan bodyguard. Mereka semua memperlakukan Sienna dengan sangat baik. Sampai terkadang, Sienna merasa bersalah ketika para pekerja di rumah Alvaro memperlakukannya layaknya ia adalah pengganti nyonya mereka di rumah ini. Sienna menghargai itu, tapi ada perasaan bersalah juga, karena ini terasa tidak sesuai. Mereka jelas tahu bahwa majikan mereka masih terikat pernikahan dengan nyonya pemilik rumah ini yang sebenarnya.

“Bundaaa!” seruan itu menyambut Sienna. Sienna baru melangkahkah kakinya sampai di ruang tamu ketika ia mendapati Gio di sana. Gio sedikit berlari ke arahnya. Wajah Gio tampak senang saat mendapati Sienna, selalu seperti itu.

“Bunda,” ujar Gio setelah ia menyalami tangan Sienna.

“Iya?”

“Bunda, Gio kangen banget Bunda. Makasih yaa Bunda udah dateng,” ujar Gio.

Sienna tersenyum lembut, “Gio udah tau kalau Bunda mau ke sini?”

“Gio udah tau, makanya Gio bangun pagi, terus Gio udah mandi.” Gio dan Sienna lantas melangkah bersama menuju area rumah lebih dalam.

“Oma ... Oma ... Bunda Sienna udah dateng lho,” celetukan Gio tersebut lantas membuat tatapan Sienna mengarah pada area dapur di sisi kanan rumah setelah mereka berjalan beberapa langkah.

Sienna lantas mendapati sosok Inggit yang menghampirinya dari arah dapur. Sebuah senyum terulas di wajah cantik yang tidak lagi muda itu. Ini pertama kalinya Sienna bertemu Inggit setelah Inggit mengetahui sosok ‘Bunda Sienna’ yang sering diceritakan cucunya. Inggit memang tidak tinggal di rumah ini, karean wanita memiliki rumahnay sendiri.

Sienna memberikan salam sopannya pada Inggit yang disambut ramah oleh wanita itu. “Sienna, Gio udah cerita banyak tentang kamu. Terima kasih ya, karena kamu, cucu saya pelan-pelan bisa dengan baik melewati fase adrenarche-nya,” ujar Inggit.

“Sama-sama, Tante. Saya senang bisa membantu,” ucap Sienna.

“Hari ini Tante masak lumayan banyak lho. Kita makan bareng, yuk. Gimana?” ajak Inggit pada Sienna.

Gio yang menarik tangan Sienna agar mereka makan bersama, membuat Sienna menurut saja untuk berjalan mengikutinya. Ketika mereka sampai di ruang makan, Sienna menatap hidangan di meja makan itu. Tampak di sana berbagai makanan yang Sienna tahu adalah jenis makanan khas Sumatera.

Tatapan Sienna bersinggungan dengan Inggit, dan Inggit akhirnya berujar, “Sienna, ini semua makanan kesukaan Alvaro. Sayangnya anak itu harus shooting dari tadi malem sampai siang ini, belum juga balik. Tante udah masakin padahal.”

“Iya, papa kerja terus. Harusnya kita makan bareng-bareng kan Oma?” celetuk Gio.

“Iya, nanti kita makan bareng-bareng kalau papamu udah pulang. Lauknya masih bisa diangetin, papamu pasti lahap banget makannya kalau menunya apa yang dia suka.”

“Sienna, ayo silakan diambil makanannya. Anggap aja kayak di rumah sendiri ya. Alvaro juga udah cerita lumayan banyak tentang kamu, teryata kalian satu sekolah waktu SD ya?”

“Iya, Tante.” Sienna mengangguk sebelum akhirnya mengambil piring untuknya dan mengisinya dengan nasi.

***

Sienna dan Gio berpindah ke kamar setelah tadinya mereka berada di ruang belajar. Waktu menunjukkan pukul 2 siang, dan Sienna mengarahkan Gio untuk tidur siang. Gio belum dapat memejamkan matanya, jadi anak itu menceritakan sesuatu pada Sienna. Mereka duduk di kasur, menyandarkan punggung ke header kasur, dan menyembunyikan kaki di bawah bed cover tebal.

Setelah cukup lama mengenal Gio, Sienna jadi tahu bahwa Gio adalah anak yang pintar. Daya tangkap anak itu cukup cepat, dibanding anak seusianya. Pikirannya kritis, dan ingatannya cukup tajam. Jadi ketika Sienna mengobrol dengan Gio setelah mengerjakan PR sekolah, Gio dapat dengan lancar menceritakan silsilah keluarganya.

“Opanya Gio yang dari papa udah meninggal. Gio tau nama panjang opa sama oma.”

“Ohya Gio tau?” tanya Sienna.

“Gio tau dong. Kalau opa namanya Harris Zachary, kalau Oma … tunggu! Gio lupa deh.”

Sienna tertawa kecil mendapati ekspresi Gio ketika sedang berusaha mengingat. Setiap melihat Gio, Sienna selalu dapat menemukan sosok lembut dan penyayang yang ada pada diri Alvaro, yang terefleksi kepada Gio.

“Gio udah inget, Bunda. Namanya oma itu Inggit Siregar. Oma jago masak lho, Bunda. Tapi makanan pedes-pedes gitu, kesukaannya papa.”

Gio mengakhiri ceritanya, lalu ia memutuskan untuk membarigkan tubuhnya.

Sienna di samping Gio, mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Gio seraya berujar, “Gio, makasih ya Nak udah jadi anak pintar. Gio udah nurut sama papa, nurut sama oma, Gio udah jadi anak yang hebat sekali.”

“Sama Bunda juga,” ucap Gio sambil sedikit mendongak dan menatap tepat ke manik mata Sienna.

Sienna mengangguk sambil berusaha menahan air matanya. Perilaku Gio pada Sienna, yang tidak pernah lupa menyebut namanya, membuat seolah-olah Sienna memang memiliki tempat di rumah ini.

“Bunda,” ujar Gio pelan.

“Iya, Gio? Ada apa?”

“Papa nggak pernah lupa sama Bunda lho.”

“Ohiya? Maksud Gio gimana?”

Gio nampak berpikir sejenak, sepertinya anak itu bingung harus mengatakannya. Setiap perilaku Alvaro yang didapati oleh Gio, membuat Gio akhirnya membuat sebuah kesimpulan. Namun dasarnya pemikiran anak usia 6 tahun masih sederhana, jadi Gio agak bingung ketika menyampaikannya.

“Papa itu selalu inget sama Bunda, sama kayak papa inget Gio. Setiap lagi ngomong sama Gio atau sama oma, pasti papa sebut nama Bunda. Oh iya, papa selalu ingetin mbak Gina buat jemput Gio, kirim makanan ke sekolah Gio, gitu Papa bilang. Papa begitu karena papa sayang sama Gio kan, Bunda?”

“Iya dong, papanya Gio pasti sayang sekali sama Gio,” Sienna lantas memperjelas argumen tersebut.

“Tapi berarti papa sayang sama Bunda juga, dong?” celetuk Gio. Gio masih menatap Sienna di sana, wajah bocah itu tampak bingung dan terlihat sedang berusaha menyatukan benang-benang merah di kepalanya.

Sienna kemudian hanya mengulaskan senyumnya, tanpa bisa menanggapi argumen Gio yang satu itu. Menit-menit yang akhirnya berlalu begitu saja, mengantarkan Gio untuk tertidur. Gio mulai memejamkan matanya dan akan menuju alam mimpi setelah sudah merasa mengantuk. Sienna masih berada di sana, pikirannya dipenuhi oleh ucapan Gio. Gio yang sekecil ini begitu pintar menyimpulkan sesuatu. Sebuah hati yang begitu suci dan sebelumnya telah dipenuhi oleh kasih sayang, pastilah dapat dengan mudah merasakan rasa sayang orang-orang di sekitarnya. Itu juga termasuk bagaimana sikap Alvaro terhadap Sienna, yang akhirnya Gio simpulkan bahwa itu merupakan bentuk kasih sayang.

Sienna menatap wajah tertidur Gio selama beberapa detik. Kemudian sebelum Sienna beranjak pergi dari kamar itu, ia berujar lembut di dekat Gio. “Gio, Bunda sayang sekali sama Gio.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Satu minggu kemudian.

Hubungan Alvaro dan Sienna masih tetap berjalan seperti biasa, meski seringkali pikiran mereka terbebani karena Fabio yang belum merestui hubungan keduanya. Hati Fabio belum tergerak, dan baik Sienna maupun Alaro paham bahwa beliau butuh waktu.

Alvaro mengerti bahwa Fabio hanyalah seorang pria yang tidak ingin putrinya sakit hati ketika harus bersama seorang lelaki. Tidak ada seorang ayah yang rela anaknya disakiti, Alvaro tahu itu karena ia juga seorang ayah yang selalu berusaha membahagiakan dan melindungi anaknya.

Beberapa hari sebelumnya, Alvaro sudah membicarakannya pada Sienna, bahwa ia ingin mengatakan kebenaran kepada orang tua Sienna mengenai status Gio. Alasannya sudah jelas, Alvaro tidak ingin ada rahasia di antara ia dan orang tua Sienna, tidak ada yang ingin Alvaro tutupi. Alvaro menghormati orang tua Sienna, maka dari itu Alvaro ingin bersikap transparan terhadap orang yang ia hormati.

“Malam Om, Tante. Maaf sudah mengganggu waktunya. Maksud kedatangan saya malam ini, saya ingin menyampaikan sesuatu sama Om dan Tante. Sebelumnya, saya dan Sienna sudah sepakat untuk membicarakan ini kepada Om dan Tante,” tutur Alvaro memulai pembicaraan.

Saat ini di hadapan Alvaro ada Fabio dan Renata. Sienna duduk di samping Alvaro, menggenggam tangannya di bawah meja. Alvaro tahu bahwa Sienna khawatir, dan perempuan itu tengah mencoba memberinya kekuatan.

Alvaro menjeda ucapannya, ditatapnya kedua pasang mata sosok di hadapannya. Dua sosok yang Alvaro hormati, karena Alvaro tahu betapa berharganya mereka bagi Sienna.

“Saya tidak memiliki anak angkat. Gio adalah anak kandung saya.” Setelah kalimat yang Alvaro ucapkan itu, suasana pun langsung hening. Tanpa perlu lebih jauh Alvaro mengucapkannya, Fabio dan Renata seperti sudah mengetahui kelanjutannya.Alvaro mendapati tatapan terluka di kedua mata Renata, wanita yang sebelumnya begitu nampak bahagia waktu Alvaro baru pertama kali datang ke rumah ini.

“Om, Tante. Maksud saya mengatakan ini, saya tidak ingin ada yang ditutupi. Sejak saya dan Sienna memutuskan menjalin hubungan, kita udah sepakat untuk terbuka tentang apa pun, baik di antara saya dan Sienna, maupun di antara orang tua Sienna, dan juga orang tua saya.”

Fabio dan Renta tidak memberikan respon apa pun. Mengetahui fakta kalau Gio bukanlah anak angkat Alvaro—melainkan anak kandungnya yang merupakan hasil hubungannya dengan Marsha—jelas saja orang tua Sienna kecewa.

“Mama mau istirahat di kamar,” ucap Renata pelan sebelum akhirnya beranjak dari kursinya. Renata berlalu begitu saja, dengan isakan yang sedari tadi sudah ia coba tahan.

Ketika sampai di kamar, tangis Renata akhirnya pecah juga. Renata memang kecewa terhadap Alvaro, tapi ia lebih sakit hati memikirkan bahwa putrinya begitu tegar dan masih tetap beraa di samping Alvaro, bagaimana pun masa lalu dan kondisi lelaki itu.

Fabio berdeham, kemudian ia mengatakan sebuah kalimat sebelum ikut menyusul Renata beranjak dari sana. “Terima kasih atas keberanian kamu mengakuinya. Kamu adalah seorang ayah, Alvaro. Di pundak kamu ada sebuah tanggung jawab, jadi kamu memang harus belajar menanggung apa yang perlu kamu pertanggungjawabkan itu.”

***

Sebelum berjalan menuju kamarnya, Sienna membelokkan langkahnya menuju kamar orang tuanya. Setelah mengetuk pintu dan dibukakan, Sienna mendapati Renata di sana. Kemudian Sienna mengatakan pada Renata bahwa ia perlu bicara berdua dengan Renata. Ada satu hal yang ingin Sienna sampaikan, dan Renata harus mengetahuinya.

“Sienna, apa ini tentang Alvaro?” Renata bertanya.

Sienna mengangguk sekali sebagai jawaban.

“Mama pikir, Mama ngga sanggup mendengarnya lagi.”

“Mah, dengerin Sienna dulu. Ini tentang kebenaran yang sesungguhnya yang menyangkut soal identitas Gio,” terang Sienna. Saat Renata hampir saja meninggalkan Sienna di ruang tamu, Renata akhirnya kembali mendaratkan dirinya di sofa.

“Maksud kamu apa?” tanya Renata.

“Mah, sebenarnya Gio bukan anak kandungnya Alvaro,” ucap Sienna.

Renata yang mendengar kalimat itu seketika tampak terkejut dan tidak percaya, tapi memang seperti itu lah faktanya. Renata yakin bahwa Sienna tidak mungkin mengatakan hal yang tidak benar, apalagi ini menyangkut soal Gio, sosok yang sangat putrinya itu sayangi.

“Mah, Sienna dapat mimpi kalau Gio itu bukan anak kandungnya Alvaro. Sienna nggak tau kenapa faktanya bisa seperti itu, tapi selama ini mimpi Sienna nggak pernah keliru, Mah.”

Renata masih termangu di tempatnya. Dua detik berikutnya, wanita paruh baya itu menghembuskan napasnya panjang. “Sienna, apa Alvaro udah tau soal ini?”

Sienna menggeleng. “Belum Mah. Untuk mimpi Sienna yang satu ini. Sienna belum cerita ke Alvaro.”

“Alasannya?”

“Sienna nggak sanggup, Mah. Alvaro sayang banget sama Gio, pasti ini akan nyakitin Alvaro.” Sienna mengatakan kalau ia memilih menyimpan fakta ini sendiri. Sienna sudah mendapatkan mimpi tersebut cukup lama, tepatnya saat ia tertidur di rumah Alvaro. Sienna belum menceritakannya pada siapa pun, dan Renata adalah orang pertama yang tahu.

“Mah, Sienna udah memutuskan. Sienna mau menyimpan ini, sampai pada saatnya fakta ini terungkap, dan Alvaro akan tau sendiri.”

“Sienna, tapi gimana caranya fakta ini terungkap, Nak? Kamu ingin melibatkan diri kamu ke dalam semua ini?” Renata menatap putrinya dengan tatapan terluka. Sebagai seorang ibu, Renata juga dapat merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Sienna. Sienna merelakan dirinya tertarik ke dalam semua masalah ini. Sienna memutuskan akan mengungkap kebenaran yang menyangkut hidup Alvaro dan pastilah tidak mudah untuk berada di posisi putrinya saat ini.

“Mah, Sienna minta tolong. Tolong dukung Sienna dan restui hubungan Sienna sama Alvaro. Alvaro harus tau kebenaran yang selama ini disembunyikan rapat dari dia. Sienna nggak ingin Alvaro melalui ini sendiri. Jadi Sienna udah memutuskan untuk selalu ada di samping Alvaro. Mimpi yang Sienna dapat, bukan cuma tentang Gio, tapi ada satu lagi yang berkaitan sama Marsha.”

Sienna menjelaskan pada Renata mengenai semua mimpi yang ia dapatkan yang berhubungan dengan Alvaro, Gio dan Marsha. Mendengar rentetan kalimat tersebut, Renata pun hanya sanggup terdiam. Sebuah kebohongan besar telah dilakukan dan jika tidak terungkap, akan selamanya menjadi momok dan bangkai yang menyeramkan.

“Sienna, Mama ingin meragukan mimpi kamu untuk kali ini, tapi Mama juga takut kalau mimpi kamu memang benar adanya,” ujar Renata.

“Sienna juga berpikir seperti itu, Mah. Sienna ngga bisa berbuat apa pun untuk sekarang. Sienna cuma bisa ada di samping Alvaro dan Gio, sampai nanti waktunya tepat, kebenaran ini akan terungkap. Sienna nggak akan biarin selamanya kebenaran ini tersimpan rapi,” jelas Sienna.

Renata lantas setuju dengan keputusan yang diambil Sienna. Saat Sienna mengetahui masa depan seseorang, tidak semudah itu baginya mengungkapkan prediksi tersebut, terlebih ini menyangkut suatu hal yang besar.

Sebagai seorang ibu, Renata bertanya-tanya mengapa putrinya diberkati kemampuan ini, yang kadang juga membuat Renata merasa sedih. Sienna sudah banyak melalui hal berat sejak kecil, hingga terkadang Sienna lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Namun satu hal yang Renata syukuri, Sienna dapat memutuskan sesuatu yang tepat. Renata merasa terenyuh dan bangga akan keputusan yang diambil oleh Sienna. Sienna dapat memutuskan sesuatu dan tidak takut untuk melangkah, terlebih itu untuk orang yang Sienna cintai.

Dari semua yang Renata dapatkan barusan, Renata jadi tahu bahwa putrinya begitu mencintai Alvaro. Sienna telah berada pada level tertinggi dari mencintai seseorang, yakni ketika dirinya tidak sanggup bahkan untuk sekedar melihat orang yang dia cintai terluka.

“Sienna, Mama mendukung kamu dan merestui hubungan kamu sama Alvaro,” ucap Renata akhirnya.

Sienna yang mendengar kalimat tersebut nampak tidak percaya, tapi ia bahagia mengetahui bahwa mamanya dapat mengerti perasaannya.

Renata kembali melanjutkan perkataannya sembari menggenggam tangan Sienna, “Keputusan yang udah kamu ambil, adalah keputusan yang tepat, Nak. Kamu berada di jalan yang benar, dan kamu melakukannya dengan tulus untuk orang yang kamu cintai.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sudah tiga hari berlalu sejak Fabio terang-terangan mengatakan ia tidak merestui hubungan anaknya dengan Alvaro. Sienna telah mengetahui semuanya. Oleh karena itu, Sienna meminta Alvaro untuk sementara tidak datang ke rumahnya. Namun pada dasarnya, Alvaro nekat dan keras kepala. Malam ini Alvaro mengantar Sienna pulang ke rumahnya, dan berakhir bertemu dengan Fabio di sana.

“Malam, Om,” ucap Alvaro yang kemudian menyalami tangan Fabio. Fabio nampak berekspresi datar, meskipun akhirnya ia mempersilakan Alvaro untuk duduk di ruang tamu. Sienna berlalu dari hadapan kedua lelaki beda generasi itu.

Tidak lama kemudian, Sienna telah kembali dengan dua buah gelas berisi minuman. Satu diletakkan di dekat Fabio, dan satunya lagi ia letakkan di dekat Alvaro.

“Om, ada hal yang ingin saya sampaikan sama Om,” Alvaro membuka suaranya. Sienna menatap Alvaro dengan tatapan khawatirnya. Namun Alvaro mengisyaratkan pada Sienna bahwa Sienna tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.

Fabio melayangkan tatapannya pada Alvaro dan Sienna. Dari sorot matanya, Fabio tidak bisa berbohong kalau ia tidak suka terhadap kekasih anak gadisnya itu.

“Saya sudah memikirkan dan membuat keputusan.” Alvaro menjeda ucapannya sesaat.

Kalau sebelumnya lelaki yang menjalin hubungan dengan Sienna akan langsung mundur begitu Fabio tidak merestui, kali ini yang terjadi berbeda. Sepertinya Alvaro memang memiliki nyali yang tinggi dan tekad yang kuat. Buktinya, lelaki itu berani menampakkan batang hidungnya di hadapan Fabio, saat jelas-jelas Fabio bersikap antipati terhadapnya.

“Saya akan memperjuangkan Sienna, Om. Saya paham Om memprioritaskan kebahagiaan Sienna. Maka dari itu, saya akan berusaha meyakinkan dan membuat Om memberi restu untuk hubungan kami. Saya minta tolong, berikan saya kesempatan untuk menunjukkan kalau saya pantas untuk Sienna dan bisa membahagiakan Sienna.”

Fabio masih diam di sana. Kedua rahangnya yang tampak mengeras. Tatapan dingin dari kedua mata Fabio, seperti sudah memberikan Alvaro jawaban tanpa perlu disampaikan melalui frasa.

“Pah, tolong pertimbangkan dulu,” ujar Sienna dengan nada memohon.

Permohonan Sienna tidak digubris oleh Fabio. Fabio memutuskan tetap kekeuh dengan keputusannya di awal. “Sienna, papa tetap tidak setuju,” ujar Fabio dengan nada tegasnya.

“Kalau kalian tetap ingin melanjutkan hubungan, silakan. Itu adalah pilihan dan konsekuensi untuk kalian. Papa tidak bisa berbuat apa-apa, kan?” ujar Fabio.

Kalimat yang baru saja terlontar dari sosok laki-laki yang selama ini Sienna sayangi dan hormati itu, rasanya begitu mampu menghujam dada Sienna.

Sienna menatap Fabio dengan tatapan terluka. Belum pernah Sienna merasakan rasa sakit seperti ini, saat mendapati seseorang yang ia sayang, justru menolak sosok laki-laki yang juga ia sayangi.

“Restu orang tua itu penting, dan Papa yakin kalian paham soal itu. Tapi kembali lagi, Papa nggak bisa berbuat apa pun kalau anak Papa masih keras kepala.” Usai mengucapkan dua kalimat itu, Fabio beranjak dari posisinya dan berlalu dari hadapan Sienna dan Alvaro.

Selama beberapa menit, tidak ada percakapan yang terjadi di antara Alvaro dan Sienna. Keduanya sama-sama terdiam, karena terlalu banyak pikiran yang mengantre di dalam benak mereka.

Sampai akhirnya, Alvaro mengatakan bahwa ia harus pamit pulang. “Don’t think about it too much, okey?” ujar Alvaro sambil menatap Sienna lekat.

“Al, tapi—”

“Sienna, wajar beliau belum merestui kita. Your dad really loves you, so what he did is not wrong,” ujar Alvaro.

Kenyataan memang sulit, tapi itulah yang harus Sienna dan Alvaro hadapi.

Sienna akhirnya mengantar Alvaro sampai pagar rumahnya. Sebelum Alvaro berlalu dari sana, Alvaro mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Sienna. “Sienna, percaya sama gue ya. Gue nggak akan nyerah ataupun mundur. Gue akan yakinin papa lo, sampai beliau ngerestuin hubungan kita.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sudah tiga hari berlalu sejak Fabio terang-terangan mengatakan ia tidak merestui hubungan anaknya dengan Alvaro. Sienna telah mengetahui semuanya. Oleh karena itu, Sienna meminta Alvaro untuk sementara tidak datang ke rumahnya. Namun pada dasarnya, Alvaro nekat dan keras kepala. Malam ini Alvaro mengantar Sienna pulang ke rumahnya, dan berakhir bertemu dengan Fabio di sana.

“Malam, Om,” ucap Alvaro yang kemudian menyalami tangan Fabio. Fabio nampak berekspresi datar, meskipun akhirnya ia mempersilakan Alvaro untuk duduk di ruang tamu. Sienna berlalu dari hadapan kedua lelaki beda generasi itu.

Tidak lama kemudian, Sienna telah kembali dengan dua buah gelas berisi minuman. Satu diletakkan di dekat Fabio, dan satunya lagi ia letakkan di dekat Alvaro.

“Om, ada hal yang ingin saya sampaikan sama Om,” Alvaro membuka suaranya. Sienna menatap Alvaro dengan tatapan khawatirnya. Namun Alvaro mengisyaratkan pada Sienna bahwa Sienna tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.

Fabio melayangkan tatapannya pada Alvaro dan Sienna. Dari sorot matanya, Fabio tidak bisa berbohong kalau ia tidak suka terhadap kekasih anak gadisnya itu.

“Saya sudah memikirkan dan membuat keputusan.” Alvaro menjeda ucapannya sesaat.

Kalau sebelumnya lelaki yang menjalin hubungan dengan Sienna akan langsung mundur begitu Fabio tidak merestui, kali ini yang terjadi berbeda. Sepertinya Alvaro memang memiliki nyali yang tinggi dan tekad yang kuat. Buktinya, Alvaro berani menampakkan batang hidungnya di hadapan Fabio, saat jelas-jelas Fabio bersikap antipati padanya.

“Saya akan memperjuangkan Sienna, Om. Saya paham Om memprioritaskan kebahagiaan Sienna. Maka dari itu, saya akan berusaha meyakinkan dan membuat Om memberi restu untuk hubungan kami. Saya minta tolong, berikan saya kesempatan untuk menunjukkan kalau saya pantas untuk Sienna dan bisa membahagiakan Sienna.”

Fabio masih diam di sana. Kedua rahangnya yang tampak mengeras. Tatapan dingin dari kedua mata Fabio, seperti sudah memberikan Alvaro jawaban tanpa perlu disampaikan melalui frasa.

“Pah, tolong pertimbangkan dulu,” ujar Sienna dengan nada memohonnya.

Permohonan Sienna tidak digubris oleh Fabio. Fabio memutuskan tetap kekeuh dengan keputusannya di awal. “Sienna, papa tetap tidak setuju,” ujar Fabio dengan nada tegasnya.

“Kalau kalian tetap ingin melanjutkan hubungan, silakan. Itu adalah pilihan dan konsekuensi untuk kalian berdua. Papa tidak bisa berbuat apa-apa, kan?” ujar Fabio. Kalimat yang terlontar dari sosok laki-laki yang selama ini Sienna sayangi dan hormati itu, rasanya begitu mampu menghujam dada Sienna. Sienna menatap papanya dengan tatapan terluka. Belum pernah Sienna merasakan rasa sakit seperti ini, saat mendapati seseorang yang ia sayang, justru menolak sosok laki-laki yang juga ia sayangi.

“Restu orang tua itu penting, dan papa yakin kalian paham soal itu. Tapi kembali lagi, Papa nggak bisa berbuat apa pun kalau anak Papa masih keras kepala.” Usai mengucapkan dua kalimat itu, Fabio beranjak dari posisinya dan berlalu dari hadapan Sienna dan Alvaro.

Selama beberapa menit, tidak ada percakapan antara Alvaro dan Sienna. Keduanya sama-sama terdiam dan terlalu banyak pikiran yang mengantre di dalam benak mereka.

Sampai akhirnya, Alvaro mengatakan bahwa ia harus pamit pulang. “Don’t think about it too much, oke?” ujar Alvaro sambil menatap Sienna lekat.

“Al, tapi—”

“Wajar beliau belum merestui kita, Sienna. Your dad really loves you, so what he did is not wrong.”

Kenyataan memang sulit, tapi itulah yang harus Sienna dan Alvaro hadapi.

Sienna mengantar Alvaro sampai pagar rumahnya. Sebelum Alvaro berlalu dari sana, Alvaro mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Sienna. “Sienna, percaya sama gue ya. Gue nggak akan nyerah dan mundur. Gue akan yakinin papa lo, sampai beliau ngerestuin kita.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sudah tiga hari berlalu sejak Fabio terang-terangan mengatakan ia tidak merestui hubungan anaknya dengan Alvaro. Sienna telah mengetahui semuanya. Oleh karena itu, Sienna meminta Alvaro untuk sementara tidak datang ke rumahnya. Namun pada dasarnya, Alvaro nekat dan keras kepala. Malam ini Alvaro mengantar Sienna pulang ke rumahnya, dan berakhir bertemu dengan Fabio di sana.

“Malam, Om,” ucap Alvaro yang kemudian menyalami tangan Fabio. Fabio nampak berekspresi datar, meskipun akhirnya ia mempersilakan Alvaro untuk duduk di ruang tamu. Sienna berlalu dari hadapan kedua lelaki beda generasi itu.

Tidak lama kemudian, Sienna telah kembali dengan dua buah gelas berisi minuman. Satu diletakkan di dekat Fabio, dan satunya lagi ia letakkan di dekat Alvaro.

“Om, ada hal yang ingin saya sampaikan sama Om,” Alvaro membuka suaranya. Sienna menatap Alvaro dengan tatapan khawatirnya. Namun Alvaro mengisyaratkan dari pada Sienna, bahwa Sienna tidak perlu mengkhawatirkan apa pun.

Fabio melayangkan tatapannya pada Alvaro dan Sienna. Dari sorot matanya, Fabio tidak bisa berbohong kalau ia tidak suka terhadap kekasih anak gadisnya itu.

“Saya paham betul Om memprioritaskan kebahagiaan Sienna. Saya sudah memikirkan dan membuat keputusan.” Alvaro menjeda ucapannya sesaat. Kalau sebelumnya, lelaki yang menjalin hubungan dengan Sienna akan langsung mundur begitu Fabio tidak merestui, kali ini justru sebaliknya. Sepertinya Alvaro memang memiliki nyali yang tinggi dan tekad yang kuat. Buktinya lelaki ini masih berani menampakkan batang hidungnya di hadapan Fabio, saat jelas-jelas Fabio bersikap antipati padanya.

“Saya akan memperjuangkan Sienna, Om. Saya akan berusaha meyakinkan dan membuat Om memberi restu untuk hubungan kami. Saya minta tolong, berikan saya kesempatan untuk menunjukkan kalau saya pantas untuk Sienna.”

Fabio masih diam di sana. Kedua rahangnya yang tampak mengeras. Tatapan dingin dari kedua mata Fabio, seperti sudah memberikan Alvaro jawaban tanpa perlu disampaikan melalui frasa.

“Pah, tolong pertimbangkan dulu,” ujar Sienna dengan nada memohonnya.

Permohonan Sienna tidak digubris oleh Fabio. Fabio memutuskan tetap kekeuh dengan keputusannya di awal. “Sienna, papa tetap tidak setuju,” ujar Fabio dengan nada tegasnya.

“Kalau kalian tetap ingin melanjutkan hubungan, silakan. Itu adalah pilihan dan konsekuensi untuk kalian berdua. Papa tidak bisa berbuat apa-apa, kan?” ujar Fabio. Kalimat yang terlontar dari sosok laki-laki yang selama ini Sienna sayangi dan hormati itu, rasanya begitu mampu menghujam dada Sienna. Sienna menatap papanya dengan tatapan terluka. Belum pernah Sienna merasa sesakit ini saaat mendapati seseorang yang ia sayang, justru menolak sosok laki-laki lain yang juga ia sayangi.

“Restu orang tua itu penting, dan papa yakin kalian paham soal itu. Tapi kembali lagi, Papa nggak bisa berbuat apa pun kalau putri Papa masih keras kepala.” Usai mengucapkan dua kalimat itu, Fabio beranjak dari posisinya dan berlalu dari hadapan Sienna dan Alvaro.

Selama beberapa menit, tidak ada percakapan antara Alvaro dan Sienna. Keduanya sama-sama terdiam dan terlalu banyak pikiran yang mengantre di dalam benak mereka.

Sampai akhirnya, Alvaro mengatakan bahwa ia harus pamit pulang. “Don’t think about it too much, oke?” ujar Alvaro sambil menatap Sienna lekat.

“Al, tapi—”

“Wajar beliau belum merestui kita, Sienna. Your dad really loves you, so what he did is not wrong.”

Kenyataan memang sulit, tapi itulah yang harus Sienna dan Alvaro hadapi.

Sienna mengantar Alvaro sampai pagar rumahnya. Sebelum Alvaro berlalu dari sana, Alvaro mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Sienna. “Sienna, percaya sama gue ya. Gue nggak akan nyerah dan mundur. Gue akan yakinin papa lo, sampai beliau ngerestuin kita.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭