alyadara

Sudah seminggu berlalu sejak Edgar memutuskan mengikuti akun Instagram milik Lilie. Edgar mengamati kehidupan Lilie melalui sosial media tersebut. Meski tidak banyak Lilie mengunggah kegiatannya di sana, tapi sudah cukup membaut Edgar senang kalau ia melihatnya.

Perasaan Edgar membuncah, sesederhana Lilie mengunggah hal random tentang kesehariannya. Lilie jarang sekali menunjukkan foto selfienya, tapi Edgar tetap nyaman melihatnya dan justru ia semakin tertarik pada Lilie.

Rasanya Edgar belum pernah merasa bahagia semudah ini. Semakin ia mengetahui tentang Lilie, maka semakin dirinya kagum padaa sosok mandiri dan pekerja keras seperti Lilie.

Edgar sampai di rumahnya sore ini sekitar pukul 5. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di sofa empuk di ruang keluarga. Rumahnya tampak sepi, jam segini memang biasanya para angota keluarga belum kembali dari kegiatan mereka.

“Eh, Abang udah pulang,” celetuk sebuah suara yang fameliar baginya.

Edgar dengan cepat menoleh dan menemukan Bundanya di sana.

“Bunda nggak kerja hari ini?” tanya Edgar.

“Kerja tadi, tapi udah balik. Kamu udah makan sore Bang?” tanya Sienna sembari mengambil tempat di samping Edgar. Sienna memperhatikan raut wajah anak lelakinya dengan tatapan hangat dan penuh kasih sayang.

“Kamu kayaknya lagi banyak pikiran akhir-akhir ini. Mau cerita sama Bunda?” tutur Sienna.

Edgar mengangguk sekali. “Ini soal Lilie, Bun.”

“Ohh … Lilie yang kamu naksir itu. Kenapa? Apa kamu udah coba kenalan?”

“Belum. Edgar baru cari tau tentang dia. Edgar bingung Bun gimana caranya,” aku Edgar.

Sienna seolah mengerti sekali kebimbangan yang tengah dirasakan putranya itu. “Bang, Bunda boleh kasih saran ngga buat Abang?”

Edgar dengan cepat mengangguk. Edagr pun bertanya lebih dulu, “Dulu gimana caranya Papa sama Bunda bisa kenal dan akhirnya saling suka?”

Sienna seketika mengulaskan senyumnya. “Papa kamu itu, dulu dia effort banget waktu deketin Bunda. Lama-lama Bunda luluh juga deh akhirnya, padahal pas diawal Bunda sempet gantungin Papa.”

“Kenapa Bunda bikin Papa nunggu?” Edgar bertanya.

“Gini ya Bang, perempuan itu pikirannya lumayan rumit. Kadang banyak hal yang dipikirin, nggak cuma satu hal. Kebanyakan lelaki cenderung mikirnya dibikin simpel. Jadi udah keliatan perbedaannya kan. Nah, waktu itu Bunda mikirin banyak pertimbangan, karena cinta itu gak cuma tentang dua orang, Bang. Nggak cuma Bunda dan Papa yang bersatu, tapi keluarga kita juga, karir, dan pastinya masa depan.”

“Saran Bunda nih Bang, kamu ikutin aja apa kata hati kamu. Setiap laki-laki punya caranya sendiri untuk deketin perempuan yang dia suka. Selama kamu tulus dan pake cara yang bener, yakin deh, pasti perempuan bakal luluh dengan sendirinya kok. Dari hal-hal kecil, misalnya perhatian sederhana, rasa saling peduli dan pengertian, itu nantinya bisa jadi sesuatu yang berdampak besar.”

***

Edgar masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. Setelah mendengar wejangan dari Bundanya, Edgar lumayan mendapat pencerahan dan pecutan semangat. Edgar berniat menyusun strategi agar ia bisa mengenal Lilie dan bisa dikenal oleh perempuan itu.

Edgar mengambil sesuatu dari laci meja belajarnya. Kemudian pada sebuah note book, Edgar membuat sebuah mind maping dan perencanaan yang akhirnya diberi judul ‘Chasing Lilie’. Edgar telah mengumpulkan banyak informasi tentang Lilie yang nantinya akan ia gunakan sebagai kiat-kiat untuk mendekati Lilie. Pada halaman pertama, Edgar menuliskan apa saja informasi yang ia ketahui tentang Lilie. Kemudian pada halaman kedua, Edgar membuat mind maping yang merupakan strategi yang akan ia gunakan untuk mendapatkan Lilie.

Tiba-tiba Edgar teringat sesuatu. Ia lekas membuka ponselnya dan melihat kembali Instagram Story Lilie. Dari hasil temuannya tersebut, muncul sebuah ide di benak Edgar yang kemungkinan aksesnya cukup mudah dan bisa ia tempuh. Namun agar rencananya itu berhasil, Edgar harus melobi seseorang dan melakukan sebuah negosiasi. Meskipun keputusan akhirnya bukan orang itu yang menentukan, setidaknya Edgar telah mencoba terlebih dulu. Edgar tidak akan menyerah sebelum ia mencoba mengenal Lilie.

Chasing Lilie hal. 3 : Lilie, you make me happy in a way no one else can. As simple as you posted something random at your Instagram stories.

***

3 hari kemudian.

Hari ini Edgar akan bertemu dengan seseorang bernama Serafina. Tidak mudah untuk bisa mendapat akses sehingga Serafina setuju untuk bertemu dengannya. Ian dan Rico membantu Edgar mencari perempuan bernama Serafina. Ternyata setelah dikulik, Serafina adalah kakak tingkat mereka yang akan lulus tahun ini, tapi Fina berada di jurusan Komunikasi, berbeda dengan Edgar yang berada di jurusan Marketing. Untuk bisa bertemu dengan Fina, Edgar harus melalui satu orang yang kenal dengan Fina, juga meyakinkan orang itu bahwa ia punya urusan penting sehingga harus bertemu Fina.

Ian dan Rico menunggu Edgar yang akan berbicara dengan Serafina di kantin fakultas hari ini.

“Hai, Kak. Sorry agak telat, tadi gue baru selesai ketemu dosen buat bahas Sempro,” ujar Edgar begitu ia mendaratkan pantatnya di kursi di hadapan Fina.

“Oke. Lo udah mau mulai nyusun Sempro nih?” Fina bertanya yang lekas mendapat anggukan dari Edgar.

“Jadi lo mau minta tolong buat urusan Sempro? Apa yang bisa gue bantu nih?” tanya Fina.

Edgar lantas menjelaskan maksudnya pada Fina bahwa ia ingin meminta tolong Fina untuk merekomendasikannya pada perusahaan tempat Fina magang sebelumnya.

“Kenapa lo ngincer company tempat gue magang sebelumnya? Bukannya banyak company lebih gede yang direkomendasiin sama fakultas lo ya?” Pertanyaan bertubi-tubi dari Fina itu tidak nampak membuat Edgar kelabakan. Edgar telah mengantisipasi hal tersebut, dan benar sesuai dugaannya, pasti Fina akan menanyakan itu.

“Gini, Kak. Sebelumnya gue udah cari tau tentang company tempat lo magang. Gue dapet insight kalau posisinya itu cocok sama mata kuliah untuk magang gue,” jelas Edgar akhirnya.

Edgar pun berusaha meyakinkan Fina, ia tidak akan mengecewakan dan akan bekerja dengan maksimal. Edgar pikir tidak akan terlalu sulit membujuk Fina, tapi nyatanya perempuan itu justru menaruh curiga terhadapnya.

Sorry, Gar. Sebelumnya gini, gue bukannya nggak mau bantu lo. Tapi atasan gue di tempat magang itu, gue udah lumayan deket sama dia. Gue nggak bisa sembarang rekomendasiin orang, karena gue nggak mau buat dia kecewa.” Itulah penjelasan Fina terhadap latar belakang ia enggan membantu Edgar.

“Kak, lo boleh liat CV sama portofolio gue dulu, sebagai bahan pertimbangan gitu. Kalau soal mengecewakan, gue akan berusaha untuk nggak mengecewakan. Gue juga mengahragi lo sebagai kakak tingkat gue, jadi tolong pertimbangin dulu ya Kak,” pinta Edgar.

***

Edgar telah mendapat balasan pesan Whatsapp dari Fina dan hasilnya, perempuan itu masih menolak untuk membantunya. Fina mengatakan bahwa ia telah melihat CV dan portofolio milik Edgar. Kualifikasi Edgar memang cocok untuk posisi internship di company tempat ia magang sebelumnya, tapi entah apa yang membuat Fina ragu untuk merekomendasikan Edgar.

Siang ini, Edgar mencari kesempatan untuk bertemu Fina di fakultasnya. Dapat dikatakan, aksi Edgar ini cukup nekat. Bahkan Ian dan Rico tidak mengetahui niatnya itu, karena kalau dua sahabatnya tahu, kemungkinan mereka akan mencegah Edgar.

Kedua sahabatnya sudah melihat bahwa Edgar tidak akan bisa mendekati Lilie dengan cara melamar magang di perusahaan tempat Lilie bekerja. Namun bagi Edgar, usahanya itu belum seberapa. Jadi Edgar akan berusaha lagi meyakinkan Fina agar perempuan itu bersedia membantunya.

Hari ini rupanya Fina sedang menjalani sidang skripsi. Jadi Edgar harus menunggu Fina sampai sidangnya selesai. Selama kurang lebih 2 jam Edgar menunggu di koridor lantai 2 fakultas Komunikasi. Edgar mendapat panggilan dan pesan dari Ian dan Rico, tapi ia mengatakan bahwa dirinya sudah pulang ke rumah karena hari ini kurang enak badan. Pasti dua sahabatnya itu mencarinya dan justru aneh kalau Edgar menghilang begitu saja tanpa kabar, jadi terpaksa ia harus mengarang cerita.

Setelah penantian panjangnya, Edgar akhirnya mendapati sosok Fina di sana. Fina baru saja keluar dari ruang sidang. Edgar tidak langsung menghampiri, rasanya tidak sopan bagi Edgar jika ia serta merta datang pada Fina.

Edgar mengamati dari jarak yang tidak jauh, di sana Fina sedang bersama teman-temannya untuk melakukan sesi foto. Fina terlihat memegang dua buah buket bunga, juga beberapa buket snack. Saat akan berfoto, mereka tampak kebingungan karena tidak ada yang bisa membantu mengambil foto mereka secara bersamaan.

Edgar yang mendapati itu segera melangkah ke sana dan berniat menawarkan bantuan. Fina terlihat terkejut mendapati kehadiran Edgar di sana, tapi akhirnya menerima bantuan lelaki itu.

“Makasih ya Gar,” ucap Fina setelah sesi foto tersebut berakhir.

“Sama-sama Kak,” ujar Edgar. “Selamat ya Kak buat sidangnya,” tambah Edgar lagi.

Teman-teman Fina berlalu dari sana, memberi ruang pada Fina dan Edgar. Rupanya beberapa teman Fina tadi mengenal Edgar dan tidak tahu bahwa ternyata Edgar juga mengenal Fina.

“Lo famous juga ya, temen-temen gue pada kenal lo,” celetuk Fina.

“Iya dong. Gue kan aktif ikut organisasi sama kepanitian Kak,” timpal Edgar diiringi kekehan pelan.

“Iya iya, tau gue. Eh ngomong-ngomong lo habis ada urusan ke sini?” Fina bertanya.

“Iya, gue ada urusan Kak. Gue mau ketemu sama lo dan ngomongin sesuatu,” ucap Edgar.

Fina seketika menghentikan langkahnya dan kini menatap ke arah Edgar.

“Soal magang? Gar, sorry banget nih. Gue nggak bisa bantu lo. Kalau lo emang mau apply di company tempat gue magang sebelumnya, lo coba apply aja. Tapi untuk kasih rekomendasi, kayaknya gue nggak bisa,” papar Fina.

Fina menatap Edgar dengan tatapan tidak tega. Fina mengira Edgar akan menyerah setelah ia menolaknya, tapi rupanya tidak. Edgar justru mengajukan pertanyaan pada Fina yang membuatnya tertegun.

“Boleh gue tau alasan sejujurnya lo nggak berkenan untuk rekomendasiin gue?” Edgar bertanya.

Fina tercekat. Edgar seolah bisa membaca apa yang ada di pikriannya dan menjadi pertimbangan bagi Fina menolak Edgar. “Gue ragu karena, pertama gue baru kenal lo. Kedua, mantan atasan gue itu, orang yang gue hormatin banget, Gar. Kak Lilie tuh baik banget sama gue, dan gue nggak mau kecewain dia. Terakhir, gue nggak tau apa motif lo sampe lo segininya berusaha keterima magang di company itu.” Fina akhirnya mengungkapnya keraguannya pada Edgar.

Edgar menghela napasnya sesaat. Akhirnya ia memutuskan untuk jujur pada Fina soal motifnya. Menurut Edgar, jujur adalah yang terbaik dan dalam dunia kerja, itu hal yang sangat langka dan juga diutamakan.

“Gue ngeliat Lilie pertama kali di seminar fakultas waktu itu. Gue tertarik sama Lilie, dan gue pengen kenal sama dia,” ujar Edgar.

Fina tampak tertegun. Perempuan itu akhirnya mengetahui tujuan Edgar bersikeras meminta bantuannya karena ingin mendekati Lilie. Edgar jujur sepenuhnya kepada Fina soal motifnya, dan Fina cukup terpana akan sikap lelaki itu.

Fina seketika terdiam dan dibuat kehilangan kata-kata berkat pengakuan Edgar. Menurutnya, Edgar ini lelaki yang termasuk langka spesiesnya.

“Kak, gimana? Lo bersedia bantu gue?” Edgar bertanya dan itu lekas menyadarkan Fina dari keterdiamannya.

“Edgar, gue—” Fina menjeda ucapannya, ia menatap tepat ke manik mata Edgar. Entah bagaimana bisa, Fina seperti tersihir dengan tatapan itu. Fina akui, usaha Edgar tidak main-main.

Setelah diam seleamam beebrapa detik, Fina akhirnya kembali membuka suara. “Gar, gue akuin effort lo emang gede banget. Gue harap, usaha lo yang kayak gini nggak cuma di awal, ya. Karena gue nggak mau lo sampe kecewain Kak Lilie atau nyakitin dia.”

“Kak, jadi lo mau bantu gue?” Edgar bertanya untuk memastikan maksud dari semua kalimat Fina.

Fina dengan cepat mengangguk. “Iya, gue bakal bantu lo. Lo udah jujur soal motif lo, dan yaa gue nggak ada alasan buat nggak bantu. Gue akan kabarin Kak Lilie dan coba rekomendasiin lo ke dia. Keputusan akhirnya tetep di Kak Lilie, karena gue cuma bisa bantu segitu.”

“Oke. Gue makasih banyak sama lo, Kak,” ucap Edgar diiringi wajah semringahnya. Edgar masih tidak menyangka, usahanya sedikit menampakkan hasil.

“Gar, lo serius suka sama Kak Lilie? Maksud gue nih ya, kalau sampe gue tau lo nyakitin atau mainin dia, gue bakal cari lo dan bikin lo kapok,” cerocos Fina panjang lebar.

“Iya, Kak. Gue serius. Lo liat usaha gue dong, gue nunggu lo kelar sidang dua jam di sini. Udah keliatan serius kan. Gue nggak akan sejauh ini berusaha kalau gue nggak serius,” jelas Edgar kemudian.

“Oke. Gue pegang omongan lo ya,” ucap Fina yang segera mendapat anggukan dari Edgar.

Fina sebenarnya masih sedikit tidak percaya dengan kenyataan bahwa ia bersedia membantu Edgar. Terlebih lagi, alasan Fina membantu adalah karena ia merasa tersentuh dengan cara lelaki itu berusaha. Namun begitulah, Fina akhirnya bersedia membantu Edgar karena hatinya yang akhirnya tergerak. Dilihat-lihat, Edgar ini memiliki effort yang tinggi dan kepribadian yang cukup gigih. Maka Fina berhasil tidak khawatir lagi. Fina pun berharap, bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat untuk sesuatu yang akan jadi takdir bagi Edgar dan Lilie nantinya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Common Things in Lilie’s Life

Jakarta at Night

Jakarta Rasa NY

Suasana malam hari kota Jakarta bagian Selatan nampaknya sudah menjadi makan sehari-hari bagi seorang Lilie. Ciri khas jalannya yang lebar tapi lalu lintasnya selalu padat, lampu-lampu dari gedung pencakar langit yang melengkapi kota itu, hingga membuat kota tersebut tampak seperti kota metropolitan yang sungguh padat dan sibuk. Pemandangan ini, yang selalu Lilie dapati saat pulang bekerja. Ketika berangkat kerja masih terang, saat pulang sudah gelap. Itulah yang hampir setiap hari dialami oleh Lilie.

Lilie berjalan kaki sekitar 500 meter dari gedung kantornya untuk sampai di halte Transjakarta. Karena jarak dari rumahnya ke kantor cukup jauh, Lilie memilih angkutan umum sebagai mobiltasnya. Jika membawa kendaraan pribadi atau naik ojek online, selain lelah, biayanya pun juga lebih besar.

Jutaan orang berangkat maupun datang ke kota ini untuk mengadu nasib, berharap dapat mengubah hidup menjadi lebih baik, atau ingin membuktikan apakah Jakarta memang benar semengangumkan yang orang-orang bilang?

Lilie termasuk dari sekian juta orang itu. Lilie datang setiap pagi ke kota ini untuk mendapatkan pundi-pundi uang, setidaknya baginya cukup untuk dirinya sendiri dan juga keluarganya. Rupanya benar, Jakarta itu kota yang mengangumkan. Memang tidak selalu mengangumkan dan menyenangkan, tapi bagi Lilie, Jakarta menyimpan banyak cerita. Mulai dari perjalanannya berkuliah dan hingga sekarang bekerja. Jadi, Lilie mencintai kota ini.

Delapan tahun yang lalu, Lilie memiliki mimpi untuk bisa lulus kuliah. Mimpinya terdengar sederhana, tapi baginya itu mimpi besar. Lilie tidak memiliki biaya untuk berkuliah, jadi ia harus giat belajarr untuk mempertahankan nilai semesternya agar beasiswanya terus mengalir. Setelah akhirnya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, Lilie bermimpi lagi untuk bisa bekerja di kota Jakarta. Lilie ingin mengenakan setelan kantoran, flat shoes hitam dengan logo brand terkenal, dan totebag layaknya wanita karir yang figurnya ia kagumi. Menurut Lilie, wanita yang bekerja itu keren.

Lilie sempat pesimis ia bisa menggapai cita-citanya, tapi akhirnya, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu.

Lilie memiliki prinsip bahwa apa yang ia jalani dan dapatkan sampai dengan hari ini, merupakan pemberian Tuhan yang patut ia syukuri. Liie bisa menikmati hidupnya, karena ia merasa selalu cukup dengan apa yang ia milliki sekarang. Memang ada cita-cita besar yang Lilie impikan. Lilie berusaha untuk itu, tapi ia percaya bahwa apa yang akan jadi miliknya, akan datang padanya.

Tanpa sadar, langkah Lilie telah sampai di halte Transjakarta. Ia hanya tinggal menunggu bus datang, si biru yang selalu mengantarnya pulang setelah seharian lelah bekerja. Di jam seperti ini, angkutan umum Transjakarta terbilang cukup padat. Para pekerja kantoran, sama seperti Lilie, bersamaan ingin menuju kediaman mereka untuk segera melepas lelah.

Lilie bersyukur ia dapat tempat duduk di bus itu. Namun saat bus kedatangan penumpang lagi dan terlihat seorang wanita membawa anaknya yang masih balita, rupanya tidak ada yang bersedia memberikan tempat duduk mereka.

“Ibu, silakan duduk. Biar saya berdiri aja,” ucap Lilie kepada ibu tersebut sambil memberikan tempat duduknya. Lilie membawa dirinya beranjak dari tempat duduk, dan mempersilakan sang ibu untuk duduk.

“Makasih banyak ya Mbak,” ucap Ibu tersebut sambil tersenyum kepada Lilie.

“Iya, sama-sama Bu,” balas Lilie.

Terlihatnya itu adalah hal yang sederhana, tapi Lilie senang melakukannya. Bagi Lilie, tidak ada perasaan yang lebih baik dari pada ketika dirinya merasa bahagia karena telah memberi sesuatu kepada orang lain. Sekecil apa pun yang kita lakukan, jika itu berarti bagi orang lain, maka kita telah melakukan hal yang tepat.

***

Lilie tiba di rumahnya hampir pukul 8 malam. Lilie melepas flat shoes-nya dan meletakkannya di rak sepatu di teras rumahnya, lalu ia bergegas masuk ke dalam. Lilie langsung sampai di ruang tamu dan menemukan kedua adiknya yang sedang berkutat pada tugas sekolah mereka. Kemudian dari arah dapur, terlihat Papanya menghampirinya dan seperti baisa menyambut kepulangannya.

“Tumben Lie, malem banget pulangnya,” ujar Papanya.

“Iya Pah, tadi kerjaan Lilie di kantor lagi lumayan banyak. Biasanya Lilie kan pulang jam 7. ini jam 8. Beda dikit lah,” ucap Lilie sembari menampakkan senyumannya.

“Yaudah, kamu makan dulu ya. Di meja makan udah ada makanan. Jangan begadang lagi Nak malam ini, kamu perlu istirahat yang cukup,” tutur Papanya.

Lilie hanya mengangguk sekali, lalu ia bergegas menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang tamu. Lilie langsung menaruh (totebag*-nya di kursi meja kerjanya dan ia melepas blazer outernya. Kini tersisa sebuah blouse berlengan pendek yang lebih teras nyaman melekat di tubuhnya. Lilie menghembuskan napasnya panjang lalu ia merebahkan dirinya di kasur single-nya.

Rasanya hari ini cukup melelahkan. Lilie baru beberapa detik memejamkan kelopak matanya, ketika ponsel di saku blazernya berdering. Lilie langsung bangun lagi dan segera menjawab panggilan yang ternyata dari manager divisi lain.

“Halo. Iya, Mbak Devina. Ada apa Mbak?”

“…”

“Ohh gitu. Baik Mbak, coba saya cek dulu ya. Saya usahain selesai malam ini deh. Tapi mungkin kalau nggak bisa, besok pagi jam 8 baru kelar ya Mbak.”

“…”

“Oke, Mbak. Iya, sama-sama.”

Sambungan telfon pun ditutup. Baiklah, Lilie tidak punya waktu bersantai sedikit saja. Lilie harus kembali membuka laptop dan menatap layarnya dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.

Ketika Lilie sudah sibuk dengan laptop di hadapannya, pintu kamarnya di ketuk. Lilie mempersilakan seseorang di balik pintu untuk membukanya. Detik berikutnya nampak sosok adik lelakinya di sana.

“Kak Lilie, makan dulu Kak,” ujar adiknya.

“Iya Dek, nanti dulu ya. Kakak masih ada kerjaan nih, sebentar aja.”

“Nanti Kakak lupa makan lagi.”

“Enggak kok. Janji deh, kakak bakal makan sepuluh menit lagi, ya,” tutur Lilie.

Setelah mengangguk, adiknya itu berlalu dari kamar Lilie dan menutup pintunya. Lilie sempat tertegun sejenak. Pasalnya adiknya seperti sudah hapal betul akan kebiasaan Lilie yang suka telat makan bahkan kadang sampai melupakannya.

Lilie mendesahkan napasnya panjang, dari helaan itu tersirat rasa lelah dan frustasi. Lilie memejamkan matanya sejenak, lalu ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Terkadang Lilie memang ingin menyerah karena merasa lelah dengan rutinitas yang harus dijalaninya. Namun ia tidak bisa menutup mata dan bersikap acuh begitu saja. Lilie merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya telah pensiun bekerja dan ibunya sudah tiada sejak adiknya yang paling kecil berusia 10 tahun. Kedua adiknya masih bersekolah, dan Lilie adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan juga bertanggung jawab pada pendidikan kedua adiknya. Bagi Lilie, hampir tidak ada waktu selain untuk bekerja.

Lilie telah menyingkirkan tangannya dari depan wajahnya, lalu ia kembali menatap layar laptopnya. Namun rasanya Lilie tidak bergairah mengerjakan pekerjaan dadakan itu. Ia tidak bisa berbohong bahwa tubuh dan jiwanya lelah.

Lilie memutuskan sejenak melihat ponselnya untuk mencari hiburan atau pun melihat notif yang memang jarang sekali ia lakukan. Hidupnya kebanyakan hanya seputar pekerjaan, bahkan banyak sekali pesan maupun notif lainnya yang ia abaikan karena itu di luar urusan kerjaan.

Setelah Lilie membalas beberapa pesan yang masuk ke WhatsAppnya, ia beralih pada sosial medianya. Lilie jarang mengunggah tentang kehidupannya di media, karena baginya hal tersebut tidak terlalu penting. Membagikan sesuatu ke sosial media, ada batasannya, dan Lilie memiliki batasan itu sendiri.

Ketika asik berselancar di Instagram, Lilie mendapati beberapa notifikasi untuknya. Ada beberapa ornag yang mengikuti akunnya dan ketika ia mengeceknya, Lilie sama sekali tidak mengenal orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka yang datang ke akun pribadinya adalah laki-laki. Mungkin kalau Lilie mengenalnya, ia akan mengikuti balik orang tersebut. Namun kenyataannya, ia tidak mengenal mereka, jadi berakhir diabaikan begitu saja olehnya.

Selain notif follow, ada beberapa juga yang menyukai postingannya dan mengajaknya kenalan lewat DM. Lilie sempat membeliak ketika menemukan nama akun yang sama yang menyukai postingan terbarunya bahkan sampai yang terlama. Orang ini aktif sekali di sosial medianya, membuat Lilie terheran.

Selain itu, akun tersebut juga memberi reaction pada Instagram Story miliknya yang telah 1 x 24 jam di upload oleh Lilie. Bahkan Instagram story tersebut sudah tidak tayang dan Lilie baru melihat notif reaction dari orang itu.

Lilie berdecak dan menggeleng, lalu ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Lilie memutuskan tidak melihat lagi ponselnya, terlalu banyak orang seperti lelaki itu di sosial medianya. Lilie menganggap hal tersebut bukanlah hal yang terlalu penting.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Common Things in Lilie’s Life

Jakarta at Night

Jakarta Rasa NY

Suasana malam hari kota Jakarta bagian Selatan nampaknya sudah menjadi makan sehari-hari bagi seorang Lilie. Ciri khas jalannya yang lebar tapi lalu lintasnya selalu padat, lampu-lampu dari gedung pencakar langit yang melengkapi kota itu, hingga membuat kota tersebut tampak seperti kota metropolitan yang sungguh padat dan sibuk. Pemandangan ini, yang selalu Lilie dapati saat pulang bekerja. Ketika berangkat kerja masih terang, saat pulang sudah gelap. Itulah yang hampir setiap hari dialami oleh Lilie.

Lilie berjalan kaki sekitar 500 meter dari gedung kantornya untuk sampai di halte Transjakarta. Karena jarak dari rumahnya ke kantor cukup jauh, Lilie memilih angkutan umum sebagai mobiltasnya. Jika membawa kendaraan pribadi atau naik ojek online, selain lelah, biayanya pun juga lebih besar.

Jutaan orang berangkat maupun datang ke kota ini untuk mengadu nasib, berharap dapat mengubah hidup menjadi lebih baik, atau ingin membuktikan apakah Jakarta memang benar semengangumkan yang orang-orang bilang?

Lilie termasuk dari sekian juta orang itu. Lilie datang setiap pagi ke kota ini untuk mendapatkan pundi-pundi uang, setidaknya baginya cukup untuk dirinya sendiri dan juga keluarganya. Rupanya benar, Jakarta itu kota yang mengangumkan. Memang tidak selalu mengangumkan dan menyenangkan, tapi bagi Lilie, Jakarta menyimpan banyak cerita. Mulai dari perjalanannya berkuliah dan hingga sekarang bekerja. Jadi, Lilie mencintai kota ini.

Delapan tahun yang lalu, Lilie memiliki mimpi untuk bisa lulus kuliah. Mimpinya terdengar sederhana, tapi baginya itu mimpi besar. Lilie tidak memiliki biaya untuk berkuliah, jadi ia harus giat belajarr untuk mempertahankan nilai semesternya agar beasiswanya terus mengalir. Setelah akhirnya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, Lilie bermimpi lagi untuk bisa bekerja di kota Jakarta. Lilie ingin mengenakan setelan kantoran, flat shoes hitam dengan logo brand terkenal, dan totebag layaknya wanita karir yang figurnya ia kagumi. Menurut Lilie, wanita yang bekerja itu keren.

Lilie sempat pesimis ia bisa menggapai cita-citanya, tapi akhirnya, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu.

Lilie memiliki prinsip bahwa apa yang ia jalani dan dapatkan sampai dengan hari ini, merupakan pemberian Tuhan yang patut ia syukuri. Liie bisa menikmati hidupnya, karena ia merasa selalu cukup dengan apa yang ia milliki sekarang. Memang ada cita-cita besar yang Lilie impikan. Lilie berusaha untuk itu, tapi ia percaya bahwa apa yang akan jadi miliknya, akan datang padanya.

Tanpa sadar, langkah Lilie telah sampai di halte Transjakarta. Ia hanya tinggal menunggu bus datang, si biru yang selalu mengantarnya pulang setelah seharian lelah bekerja. Di jam seperti ini, angkutan umum Transjakarta terbilang cukup padat. Para pekerja kantoran, sama seperti Lilie, bersamaan ingin menuju kediaman mereka untuk segera melepas lelah.

Lilie bersyukur ia dapat tempat duduk di bus itu. Namun saat bus kedatangan penumpang lagi dan terlihat seorang wanita membawa anaknya yang masih balita, rupanya tidak ada yang bersedia memberikan tempat duduk mereka.

“Ibu, silakan duduk. Biar saya berdiri aja,” ucap Lilie kepada ibu tersebut sambil memberikan tempat duduknya. Lilie membawa dirinya beranjak dari tempat duduk, dan mempersilakan sang ibu untuk duduk.

“Makasih banyak ya Mbak,” ucap Ibu tersebut sambil tersenyum kepada Lilie.

“Iya, sama-sama Bu,” balas Lilie.

Terlihatnya itu adalah hal yang sederhana, tapi Lilie senang melakukannya. Bagi Lilie, tidak ada perasaan yang lebih baik dari pada ketika dirinya merasa bahagia karena telah memberi sesuatu kepada orang lain. Sekecil apa pun yang kita lakukan, jika itu berarti bagi orang lain, maka kita telah melakukan hal yang tepat.

***

Lilie tiba di rumahnya hampir pukul 8 malam. Lilie melepas flat shoes-nya dan meletakkannya di rak sepatu di teras rumahnya, lalu ia bergegas masuk ke dalam. Lilie langsung sampai di ruang tamu dan menemukan kedua adiknya yang sedang berkutat pada tugas sekolah mereka. Kemudian dari arah dapur, terlihat Papanya menghampirinya dan seperti baisa menyambut kepulangannya.

“Tumben Lie, malem banget pulangnya,” ujar Papanya.

“Iya Pah, tadi kerjaan Lilie di kantor lagi lumayan banyak. Biasanya Lilie kan pulang jam 7. ini jam 8. Beda dikit lah,” ucap Lilie sembari menampakkan senyumannya.

“Yaudah, kamu makan dulu ya. Di meja makan udah ada makanan. Jangan begadang lagi Nak malam ini, kamu perlu istirahat yang cukup,” tutur Papanya.

Lilie hanya mengangguk sekali, lalu ia bergegas menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang tamu. Lilie langsung menaruh (totebag*-nya di kursi meja kerjanya dan ia melepas blazer outernya. Kini tersisa sebuah blouse berlengan pendek yang lebih teras nyaman melekat di tubuhnya. Lilie menghembuskan napasnya panjang lalu ia merebahkan dirinya di kasur single-nya.

Rasanya hari ini cukup melelahkan. Lilie baru beberapa detik memejamkan kelopak matanya, ketika ponsel di saku blazernya berdering. Lilie langsung bangun lagi dan segera menjawab panggilan yang ternyata dari manager divisi lain.

“Halo. Iya, Mbak Devina. Ada apa Mbak?”

“…”

“Ohh gitu. Baik Mbak, coba saya cek dulu ya. Saya usahain selesai malam ini deh. Tapi mungkin kalau nggak bisa, besok pagi jam 8 baru kelar ya Mbak.”

“…”

“Oke, Mbak. Iya, sama-sama.”

Sambungan telfon pun ditutup. Baiklah, Lilie tidak punya waktu bersantai sedikit saja. Lilie harus kembali membuka laptop dan menatap layarnya dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.

Ketika Lilie sudah sibuk dengan laptop di hadapannya, pintu kamarnya di ketuk. Lilie mempersilakan seseorang di balik pintu untuk membukanya. Detik berikutnya nampak sosok adik lelakinya di sana.

“Kak Lilie, makan dulu Kak,” ujar adiknya.

“Iya Dek, nanti dulu ya. Kakak masih ada kerjaan nih, sebentar aja.”

“Nanti Kakak lupa makan lagi.”

“Enggak kok. Janji deh, kakak bakal makan sepuluh menit lagi, ya,” tutur Lilie.

Setelah mengangguk, adiknya itu berlalu dari kamar Lilie dan menutup pintunya. Lilie sempat tertegun sejenak. Pasalnya adiknya seperti sudah hapal betul akan kebiasaan Lilie yang suka telat makan bahkan kadang sampai melupakannya.

Lilie mendesahkan napasnya panjang, dari helaan itu tersirat rasa lelah dan frustasi. Lilie memejamkan matanya sejenak, lalu ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Terkadang Lilie memang ingin menyerah karena merasa lelah dengan rutinitas yang harus dijalaninya. Namun ia tidak bisa menutup mata dan bersikap acuh begitu saja. Lilie merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya telah pensiun bekerja dan ibunya sudah tiada sejak adiknya yang paling kecil berusia 10 tahun. Kedua adiknya masih bersekolah, dan Lilie adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan juga bertanggung jawab pada pendidikan kedua adiknya. Bagi Lilie, hampir tidak ada waktu selain untuk bekerja.

Lilie telah menyingkirkan tangannya dari depan wajahnya, lalu ia kembali menatap layar laptopnya. Namun rasanya Lilie tidak bergairah mengerjakan pekerjaan dadakan itu. Ia tidak bisa berbohong bahwa tubuh dan jiwanya lelah.

Lilie memutuskan sejenak melihat ponselnya untuk mencari hiburan atau pun melihat notif yang memang jarang sekali ia lakukan. Hidupnya kebanyakan hanya seputar pekerjaan, bahkan banyak sekali pesan maupun notif lainnya yang ia abaikan karena itu di luar urusan kerjaan.

Setelah Lilie membalas beberapa pesan yang masuk ke WhatsAppnya, ia beralih pada sosial medianya. Lilie jarang mengunggah tentang kehidupannya di media, karena baginya hal tersebut tidak terlalu penting. Membagikan sesuatu ke sosial media, ada batasannya, dan Lilie memiliki batasan itu sendiri.

Ketika asik berselancar di Instagram, Lilie mendapati beberapa notifikasi untuknya. Ada beberapa ornag yang mengikuti akunnya dan ketika ia mengeceknya, Lilie sama sekali tidak mengenal orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka yang datang ke akun pribadinya adalah laki-laki. Mungkin kalau Lilie mengenalnya, ia akan mengikuti balik orang tersebut. Namun kenyataannya, ia tidak mengenal mereka, jadi berakhir diabaikan begitu saja olehnya.

Selain notif follow, ada beberapa juga yang menyukai postingannya dan mengajaknya kenalan lewat DM. Lilie sempat membeliak ketika menemukan nama akun yang sama yang menyukai postingan terbarunya bahkan sampai yang terlama. Orang ini aktif sekali di sosial medianya, membuat Lilie terheran.

Selain itu, akun tersebut juga memberi reaction pada Instagram Story miliknya yang telah 1 x 24 jam di upload oleh Lilie. Bahkan Instagram story tersebut sudah tidak tayang dan Lilie baru melihat notif reaction dari orang itu.

Lilie berdecak dan menggeleng, lalu ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Lilie memutuskan tidak melihat lagi ponselnya, terlalu banyak orang seperti lelaki itu di sosial medianya. Lilie menganggap hal tersebut bukanlah hal yang terlalu penting.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

She is What He Waited For

Ini sudah 3 hari berlalu sejak seminar waktu itu. Edgar, lelaki itu masih dapat terbayang sosok perempuan bernama Lilie Amara. Wajah cantiknya, cara perempuan itu berbicara, serta senyum kelewat manis bak dewinya. Meskipun itu dalam waktu singkat, Edgar sudah tahu bahwa ia menyukai Lilie. Edgar tertarik pada Lilie, hatinya memilih Lilie dan bahkan jantungnya bisa berdebar kencang hanya dengan mengingat namanya.

Sore ini setelah semua kelasnya selesai, Edgar berniat tidak langsung pulang. Melainkan ia dengan semangat pergi ke tempat kost yang ditempati oleh Ian dan Rico. Kedua sahabatnya jelas harus segera tahu tentang ini, dan mereka akan menjadi yang pertama tahu. Oh, tidak. Bundanya jadi orang yang pertama tahu, karena begitulah, Edgar selalu menceritakan apa pun pada Bundanya.

Ian dan Rico selesai kelas lebih dulu, jadi mereka telah berada di kost saat Edgar datang.

“Mana Gar rokok gue, kemarin ke bawa sama lu kan ya?” ucap Rico begitu Edgar datang.

“Ada di tas gue, ambil aja,” ujar Edgar sembari menyuruh Rico langsung membuka tasnya dan mencari sendiri barangnya yang kemarin terbawa oleh Edgar.

“Lu nggak nyebat?” tanya Rico pada Edgar begitu ia sudah menyalaka rokoknya dengan pemantik.

“Ntar dulu. Ada yang lebih penting dari nyebat. Ian ke mana?”

“Lagi beli makanan ke luar. Dia beli buat kita bertiga.”

“Emang apaan sih yang lebih penting?” tanya Rico yang penasaran.

“Kayak orang sibuk aje lu,” timpal Rico sambil terkekeh.

“Penting pokoknya deh,” ujar Edgar.

Rico mengernyit, ia penasran, tapi Edgar belum ingin memberitahunya. Katanya ia menunggu Ian biar mereka tahu bersama. Sialan, Edgar membuat Rico penasaran saja. Awas kalau sampai kurang penting. Namun kalau di pikir-pikir, selain soal keluarga, kuliah, dan percintaan, memangnya apa lagi yang penting bagi Edgar?

“Adek lu Manda udah punya cowok Gar?” tanya Rico.

“Ngapain lu nanyain adek gue?”

“Yaa penting itu. Kalau Manda belum ada cowok, mau gue deketin dah.”

“Sialan, jangan adek gue. Kita temenan aja, gue nggak mau iparan sama lu.”

“Dih, sialan bener.”

Tidak lama kemudian, sekitar 15 menit berlalu, Ian kembali sembari membawa satu plastik berisi 3 bungkusan makanan. Rico langsung menyerbunya karena ia sudah lapar juga, begitu pun dengan Ian. Namun Edgar terlihat tidak tertarik dengan makanan di depan matanya itu.

“Makan dulu, Gar,” ucap Ian yang melihat hanya Edgar yang belum mengambil bungkusan miliknya dari plastik.

“Bentar dulu, Bray. Dengerin gue, kalian harus bantuin gue. Please, please,” ujar Edgar.

“Bantuin apa sih?” sahut Rico yang baru kembali mengambil sendok dari dapur.

“Nggak usah dibantuin kalau dia nggak mau makan. Udah gue beliin anjir lu,” ujar Ian.

“Iye iye,” ucap Edgar yang akhirnya menurut. Edgar lantas membuka bungkusan miliknya dan mulai menyuap makanan ke mulutnya.

Setelah beberapa suap Edgar menikmati makanannya, ia bicara lagi. “Gue naksir cewek, anjir,” aku Edgar.

“Siape?” tanya Rico.

“Jangan bilang …” ucapan Ian menggantung, ia menatap Edgar dengan matanya yang seketika membola.

“Lilie Amara?” tebak Ian tepat sasaran.

“Hah?” dengan tampang begonya, Rico tampak terkejut, sampai makanan di mulutnya hampir saja menyembur. Pasalnya, ini adalah suatu momen yang langka. Edgar punya crush, wah mereka perlu potong tumpeng.

“Iye,” aku Edgar, tatpaannya tertuju pada makanannya. Diaduk aduk itu makanan sampai hampir tidak berbentuk.

“Heh, jangan diaduk-aduk. Makan yang bener anjir. Maksud gue, bentar. Beneran lu suka sama Lilie Amara yang jadi pembicara di seminar kemarin?” ujar Ian bertubi-tubi.

“Iya, gue suka sama Lilie. Lilie Amara yang kemarin jadi pembicara di seminar Digital Marketing Social Media,” Edgar pun memperjelasnya.

“Ini Lilie yang mana sih anjir?” ditengah-tengah Edgar dan Ian, Rico masih kebingungan karena memang ia tidak ikut seminar kemarin. Rico pun hanya mendapat angin lalu dari kedua sahabatnya. Edgar sudah tak lagi lanjut makan, napsu makannya menguap entah ke mana.

Please, bantuin gue buat ngedeketin Lilie,” ucap Edgar dengan nada pelannya.

Ian masih diam, apalagi Rico. Di sini Rico sebal karena ia tidak tahu menahu soal Lilie Amara dibicarakan oleh dua sahabatnya.

“Lu kalo mau deketin orang, harus tau dulu seenggaknya sedikit tentang dia. Lu udah cari tau?” ujar Ian.

“Gue udah cari tau anjir, tapi nggak nemu banyak. Susah banget nyari info tentang Lilie. Lu mau nggak Yan bantuin gue,” pinta Edgar.

“Iye. Nanti gue bantuin. Makan dulu makanan lo, abisin,” tutur Ian.

Mau tak mau akhirnya Edgar menurut meski rasanya terpaksa. Untuk kali ini, ia tidak bernapsu terhadap makanan. Di pikirannya hanya ada Lilie, Lilie, dan Lilie saja. Ian dan Rico pun hanya bisa berdecak keheranan melihat tingkah sahabat mereka. Seorang yang bernama Lilie Amara telah sukses membuat sahabat mereka yang super cuek menjadi seperti ini. Congratulations to Lilie. You made it, girl.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Support System

Ian tahu betul bahwa Edgar adalah tipe yang sulit untuk jatuh cinta. Maka dari itu, ketika sahabatnya itu bilang menyukai seseorang, Ian seperti melihat keajaiban dunia kedelapan. Memang ya, cinta seajaib itu.

Sebagai sahabat yang supportif, Ian pun bersedia membantu Edgar mendapat informasi tentang perempuan pemilik nama Lilie Amara Thomas.

Siang ini sepulang kuliah, Edgar nampak bersemangat untuk pergi ke kost-an Ian. Rico tidak bisa ikut karena ada urusan kuliah, tapi lelaki itu sudah tahu juga akhirnya siapa sosok Lilie Amara yang telah membuat Edgar mabuk kepayang.

Edgar dan Ian hari ini kembali beraksi. Mereka akan stalking Lilie, sang dara yang membuat Edgar jatuh cinta. Kemarin mereka telah melakukan pencarian dan menemukan beberapa fakta tentang Lilie. Namun itu hanya sebatas infomasi mendasar mengenai usia Lilie, tempat di mana perempuan itu bekerja, serta pendidikan terakhirnya.

Lilie merupakan perempuan berusia 26 tahun yang saat ini bekerja sebagai Social Media Manager di sebuah perusahaan brand parfum yang cukup ternama. Lilie merupakan lulusan Sarjana Marketing dari salah satu kampus ternama dan berakreditasi A. Lilie mempunyai pengalaman kerja dan rekam karir yang terlihat keren, dan Ian akui, sosok Lilie memang tipe idaman sekali untuk kebanyakan laki-laki.

“Gar, ketemu nih akun IG-nya Lilie,” celetuk Ian yang langsung memperlihatkan pada Edgar hasil temuannya itu.

“Mana?” Edgar langsung melihatnya dan ingin me-follow akun tersebut.

“Eh, lu mau langsung follow? Pake first account gitu?” tanya Ian.

“Iya. Emang ngapa?”

“Ya nggak papa sih. Terserah lu deh,” ujar Ian akhirnya.

“Gue serius suka sama Lilie, jadi langsung pake first account aja. Masa pake akun bodong, nggak gentle lah,” ucap Edgar.

Ian pun berpikir dan lantas membenarkan apa yang dikatakan oleh Edgar. “Mantep bener dah temen gue,” celetuk Ian sembari memamerkan senyum bangganya.

“Iyalah. Harus bangga lu punya temen kayak gue,” balas Edgar.

Setelah beberapa jam mereka mencari tentang Lilie, Edgar dan Ian pun menyudahi pekerjaan mereka. Tidak banyak yang bisa ditemukan, mereka cukup sulit mencarinya karena Lilie merupakan orang yang lumayan tertutup. Lilie hanya memiliki akun Instagram dan Linked In. Di Instagram Lilie, tidak banyak yang dapat dikulik. Kehidupan Lilie hanya seputar pekerjaan, tidak ada kehidupan asmara yang dapat dijadikan sebagai bahan riset. Padahal Edgar butuh informasi itu. Tidak mungkin kan, ia maju mendekati Lilie kalau ternyata perempun itu sudah memiliki kekasih atau bahkan parahnya telah bersuami?

“Yan, masalahnya gap umur gue sama Lilie lumayan jauh, anjir. Kalau Lilie udah punya suami gimana,” ujar Edgar.

“Yaa bisa aja sih Lilie udah punya suami. Secara umurnya udah mateng juga, kan. Nggak mesti semua orang publish kehidupan percintaannya di sosial media. Kayaknya nih Lilie tipe yang diem-diem udah punya doi dah,” Ian pun mengungkapkan asumsinya.

“Yah anjir lu. Malah bikin gue down.”

“Yee, kamerin aja lu semangat banget. Baru gini udah down**. Lu tuh belum nyoba, tapi udah nyerah duluan. Gini aja, kita kan nggak dapet info soal statusnya Lilie, ya jalan satu-satunya lu harus nekat coba deketin Lilie dulu. Nggak ada salahnya, lagian lu gak tau kan kalau dia udah punya cowok atau suami.”

Menurut Ian, tidak ada yang salah jika Edgar mencob mendekati Lilie dahulu, untuk tahu sebenarnya status Lilie. Gap umur antara Edgar dan Lilie, menurut Ian bukanlah hambatan besar. Lilie berusia 26 tahun, sementara Edgar 21 tahun. Edgar dan Lilie, mereka masih sama-sama muda, pastilah Lilie juga masih memiliki jiwa muda yang sedang membara, sama seperti Edgar. Jadi itu bukanlah masalah serius yang harus dipikirkan. Lilie juga masih bergelut pada karirnya, hanya bedanya, Edgar baru akan memulai karirnya setelah lulus kuliah. Namun itu bukan hambatan berarti menurut Ian.

“Oke. Gue bakal tetep coba deketin Lilie,” putus Edgar akhirnya.

“Nah, gitu kek. Baru nih temen gue. Nggak ada salahnya buat nyoba Gar, lu gak tau hasilnya kalo lu gak nyoba,” saran Ian.

“Yan, lu dukung gue kan?”

Ian dengan cepat mengangguk. “Iye, gue dukung lu. Sebisa gue, pasti gue bantu kalau lu butuh bantuan.”

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

She is What He Waited For

Ini sudah 3 hari berlalu sejak seminar waktu itu. Edgar, lelaki itu masih dapat terbayang sosok perempuan bernama Lilie Amara. Wajah cantiknya, cara perempuan itu berbicara, serta senyum kelewat manis bak dewinya. Meskipun itu dalam waktu singkat, Edgar sudah tahu bahwa ia menyukai Lilie. Edgar tertarik pada Lilie, hatinya memilih Lilie dan bahkan jantungnya bisa berdebar kencang hanya dengan mengingat namanya.

Sore ini setelah semua kelasnya selesai, Edgar berniat tidak langsung pulang. Melainkan ia dengan semangat pergi ke tempat kost yang ditempati oleh Ian dan Rico. Kedua sahabatnya jelas harus segera tahu tentang ini, dan mereka akan menjadi yang pertama tahu. Oh, tidak. Bundanya jadi orang yang pertama tahu, karena begitulah, Edgar selalu menceritakan apa pun pada Bundanya.

Ian dan Rico selesai kelas lebih dulu, jadi mereka telah berada di kost saat Edgar datang.

“Mana Gar rokok gue, kemarin ke bawa sama lu kan ya?” ucap Rico begitu Edgar datang.

“Ada di tas gue, ambil aja,” ujar Edgar sembari menyuruh Rico langsung membuka tasnya dan mencari sendiri barangnya yang kemarin terbawa oleh Edgar.

“Lu nggak nyebat?” tanya Rico pada Edgar begitu ia sudah menyalaka rokoknya dengan pemantik.

“Ntar dulu. Ada yang lebih penting dari nyebat. Ian ke mana?”

“Lagi beli makanan ke luar. Dia beli buat kita bertiga.”

“Emang apaan sih yang lebih penting?” tanya Rico yang penasaran.

“Kayak orang sibuk aje lu,” timpal Rico sambil terkekeh.

“Penting pokoknya deh,” ujar Edgar.

Rico mengernyit, ia penasran, tapi Edgar belum ingin memberitahunya. Katanya ia menunggu Ian biar mereka tahu bersama. Sialan, Edgar membuat Rico penasaran saja. Awas kalau sampai kurang penting. Namun kalau di pikir-pikir, selain soal keluarga, kuliah, dan percintaan, memangnya apa lagi yang penting bagi Edgar?

“Adek lu Manda udah punya cowok Gar?” tanya Rico.

“Ngapain lu nanyain adek gue?”

“Yaa penting itu. Kalau Manda belum ada cowok, mau gue deketin dah.”

“Sialan, jangan adek gue. Kita temenan aja, gue nggak mau iparan sama lu.”

“Dih, sialan bener.”

Tidak lama kemudian, sekitar 15 menit berlalu, Ian telah kembali sembari membawa satu plastik berisi 3 bungkusan makanan. Rico langsung menyerbunya karena ia sudah lapar juga, begitu pun dengan Ian. Namun Edgar terlihat tidak tertarik dengan makanan di depan matanya itu.

“Makan dulu, Gar,” ucap Ian yang melihat hanya Edgar yang belum mengambil bungkusan miliknya dari plastik.

“Bentar dulu, Bray. Dengerin gue, kalian harus bantuin gue. Please, please,” ujar Edgar.

“Bantuin apa sih?” sahut Rico yang baru kembali mengambil sendok dari dapur.

“Nggak usah dibantuin kalau dia nggak mau makan. Udah gue beliin anjir lu,” ujar Ian.

“Iye iye,” ucap Edgar yang akhirnya menurut. Edgar lantas membuka bungkusan miliknya dan mulai menyuap makanan ke mulutnya.

Setelah beberapa suap Edgar menikmati makanannya, ia bicara lagi. “Gue naksir cewek, anjir,” aku Edgar.

“Siape?” tanya Rico.

“Jangan bilang …” ucapan Ian menggantung, ia menatap Edgar dengan matanya yang seketika membola.

“Lilie Amara?” tebak Ian tepat sasaran.

“Hah?” dengan tampang begonya, Rico tampak terkejut, sampai makanan di mulutnya hampir saja menyembur. Pasalnya, ini adalah suatu momen yang langka. Edgar punya crush, wah mereka perlu potong tumpeng.

“Iye,” aku Edgar, tatpaannya tertuju pada makanannya. Diaduk aduk itu makanan sampai hampir tidak berbentuk.

“Heh, jangan diaduk-aduk. Makan yang bener anjir. Maksud gue, bentar. Beneran lu suka sama Lilie Amara yang jadi pembicara di seminar kemarin?” ujar Ian bertubi-tubi.

“Iya, gue suka sama Lilie. Lilie Amara yang kemarin jadi pembicara di seminar Digital Marketing Social Media,” Edgar pun memperjelasnya.

“Ini Lilie yang mana sih anjir?” ditengah-tengah Edgar dan Ian, Rico masih kebingungan karena memang ia tidak ikut seminar kemarin. Rico pun hanya mendapat angin lalu dari kedua sahabatnya. Edgar sudah tak lagi lanjut makan, napsu makannya menguap entah ke mana.

Please, bantuin gue buat ngedeketin Lilie,” ucap Edgar dengan nada pelannya.

Ian masih diam, apalagi Rico. Di sini Rico sebal karena ia tidak tahu menahu soal Lilie Amara dibicarakan oleh dua sahabatnya.

“Lu kalo mau deketin orang, harus tau dulu seenggaknya sedikit tentang dia. Lu udah cari tau?” ujar Ian.

“Gue udah cari tau anjir, tapi nggak nemu banyak. Susah banget nyari info tentang Lilie. Lu mau nggak Yan bantuin gue,” pinta Edgar.

“Iye. Nanti gue bantuin. Makan dulu makanan lo, abisin,” tutur Ian.

Mau tak mau akhirnya Edgar menurut meski rasanya terpaksa. Untuk kali ini, ia tidak bernapsu terhadap makanan. Di pikirannya hanya ada Lilie, Lilie, dan Lilie saja. Ian dan Rico pun hanya bisa berdecak keheranan melihat tingkah sahabat mereka. Seorang yang bernama Lilie Amara telah sukses membuat sahabat mereka yang super cuek menjadi seperti ini. Congratulations to Lilie. You made it, girl.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Video mini drama yang diperankan oleh Edgar dan Saskia, dalam waktu cepat menjadi viral. Itu karena ulah Rico dan Ian yang menyebar video itu di grup jurusan. Bukan hanya itu, dosen mata kuliah Komunikasi Pemasaran Digital IMC, beliau puas sekali dengan hasil kerja kelompok Edgar. Mbak Ayu, dosen tersebut mejadikan video tersebut sebagai contoh yang lanas dipertontonkan di beberapa kelas.

Meski harus menjadi perbincangan hangat orang-orang, Edgar akhirnya tidak terlalu mempermasalahkan itu. Toh dirinya dapaat nilai paling bagus di antara teman-temannya. Meskipun ini tugas kelompok, dosen mereka memberi nilai secara individu juga, jadi ada dua nilai. Edgar sukses membuat eksekusinya menjadi sebuah hiburan menarik yang sangat entertaining ketika disaksikan. Bukan hanya menghibur rupanya, tapi pesannya juga sampai ke audiens, jadi dua komponen tersebut yang akhirnya membuat nilai kelompok mereka juga cukup tinggi.

“Bisa nggak sih gue nggak ikut seminar?” tanya Edgar pada Ian.

“Yaa nggak bisa lah. Udah ikut aja sih,” ucap Ian.

“Pengen balik gue. Malu banget, sial,” ucap Edgar. Pasalnya setiap ia melangkah, banyak yang mengenalinya sebagai Edgar di video itu dan menahan senyum ketika melihatnya. Mereka pasti masih terbayang-bayang akting Edgar dan Saskia di mini drama itu. Edgar rasanya ingin pulang saja setelah kelas dan mangkir dari seminar.

“Malu ngapa sih? Mereka tanggapannya positif kok. Pada muji akting lu. Katanya humornya dapet, terharunya juga dapet. Lagian nih ya, seminarnya dapet sertifikat. Terus ada absen juga, lu mau absen lu bolong?”

“Gue titip absen aja lah ke lu,” ucap Edgar.

“Yee, jangan gitu lah Bray. Besok gue sama Rico traktir lu deh sebagai permintaan maaf, maafin kita ye,” ujar Ian dengan nada merasa bersalah.

Akhirnya Edgar setuju. Ia tidak jadi pulang dan memutuskan untuk ikut ke acara seminar yang diadakan oleh fakultasnya. Setelah kelas terakhir di hari itu, Edgar dan Ian pun langsung menuju auditorium besar milik fakultas mereka.

Terdapat beberapa pembicara dari perusahaan ternama yang mengisi acara tersebut. Jadi seluruh mahasiswa diwajibkan untuk hadir ke acara tersebut. Edgar dan Ian datang agak terlambat, jadi mereka dapat kursi di deretan belakang. Edgar hampir tertidur begitu seminar sudah berlangsung selama 1 jam, lalu Ian membangunkan Edgar. Katanya ada yang menyegarkan mata di depan, jadi Edgar harus membuka matanya.

“Lu liat dulu itu anjir. Cantik banget alig pembicaranya,” ujar Ian yang duduk di samping Edgar.

Edgar masih mengucek matanya, berusaha menghilangkan kantuknya meski cukup sulit. Benar saja, waktu Edgar berhasil membuka mata, suasana audit sudah ramai berkat antusias teman-temannya, terutama para cowok. Terang saja, ada seorang perempuan muda nan cantik yang menjadi salah satu pembicara di sana dan sukses menarik perhatian massa. Banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan dengan sangat semangat karena pertanyaan mereka akan dijawab oleh sang gadis yang memiliki wajak bak dewi Aphrodite yang dikenal sebaagi dewi kecantikan.

Seminar tersebut sayangnya terbagi menjadi dua sesi. Belum lama Edgar melihat sosok itu, jam istirahat harus memotong seminar tersebut. Acara akan dilanjutkan 30 menit lagi setelah waktu istirahat.

“Gar, ayo cari makan siang dulu. Laper banget nih,” ujar Ian. Mereka masih di area auditorium, beberapa mahasiswa tampak sudah berhamburan dari aula audit karena ingin mencari makan siang.

“Lu aja deh. Nggak laper gue. Gue mau tunggu di sini aja sampe sesi dua,” ucap Edgar.

“Lah, dasar bocah aneh.” Kali ini Ian idak peduli pada sahabatnya yang agak aneh itu. Urusan perut lebih penting nampaknya. Namun akhirnya Ian tetap membelikan Edgar makanan dan membawakannya untuk lelaki itu.

***

Pada saat sesi 2 dimulai, Edgar mengajak Ian untuk duduk di deretan kursi paling depan. Edgar telah menghabiskan makanan yang dibelikan Ian dengan secepat kilat. Ian keheranan mendapati tingkah sahabatnya itu. Namun ia hanya mengikuti saja, setelah ini mungkin ia akan menemukan alasan mengapa Edgar sangat bersemangat untuk seminar ini.

Di panggung di hadapan Edgar, matanya tertuju lurus pada sosok perempuan yang sedang menjadi pembicara tersebut. Materi masih dilanjutkan dari sesi 1 lagi yakni mengenai promosi brand di ranah sosial media.

“Yan, ada sesi QnA kedua nggak sih habis ini?” bisik Edgar kepada Ian yang duduk di sampingnya.

“Kayaknya ada deh. Kenapa emangnya?”

“Gue mau ajuin pertanyaan. Tadi pas sesi 1 gue tidur lagi, jadi gue nggak denger materinya. Lu dengerin nggak? Bantuin gue bikin pertanyaan dong,” pinta Edgar. Wajahnya nampak memohon, jadi akhirnya Ian setuju untuk membantu Edgar. Di dalam kepala Ian, ia menerka banyak kemungkinan akan sikap sahabatnya itu. Edgar itu sulit ditebak tingkahnya, Ian yang sudah kenal lama saja kadang masih tidak bisa membaca pikiran lelaki itu.

Usai Ian membuat pertanyaan dan menuliskannya di selembar kertas, ia memberikannya pada Edgar. “Thanks, Bro. Lu emang sahabat terbaik gue deh,” ucap Edgar sambil terkekeh. Edgar pun langsung menghafalkan pertanyaan itu supaya ia nampak natural ketika bertanya dan tidak perlu membawa contekan.

Begitu tiba sesi QnA dimulai, dengan cepat Edgar mengangkat tangannya. Rupanya banyak juga yang mengajukan pertanyaan. Namun karena Edgar duduk di barisan paling depan dan panitia melihatnya paling cepat mengangkat tangan, jadilah Edgar dipersilakan untuk memberi pertanyaan.

Sampai 2 kali, Edgar mengajukan pertanyaan setelah menyebutkan nama dan asal jurusannya. Ian memperhatikan Edgar, lelaki itu terlihat sangat berambisi. Kedua pertanyaan Edgar pun dijawab dengan lugas oleh Lilie Amara, perempuan yang menjadi pembicara di sana.

“Semoga jawaban saya dari dua pertanyaan barusan, dapat dipahami dan memberi wawasan baru kepada teman-teman, ya. Terima kasih,” ujar Lilie Amara setelah memberi jawaban dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Edgar. Lilie telah menjawabnya dengan lugas dan cukup bisa dimengerti.

Selama perempuan itu berbicara di depan, semua mata fokus tertuju padanya. Itu bukan hanya karena kecantikan wajahnya, tapi sosoknya sebagai perempuan yang tampak cerdas dan berwibawa, sukses menarik perhatian seluruh orang yang ada di aula itu. Jelas saja, siapa sih yang tidak terpikat dengan eksistensi perempuan seperti Lilie.

Edgar sendiri, lelaki itu juga ikut terpesona pada sosok Lilie Amara. Baru kali ini dalam hidup Edgar, ia memiliki ambisi yang kuat. Edgar berambisi untuk mendapatkan Lilie. Edgar rasa ia telah menyukai Lilie, ia ingin mengenal Lilie dan berusaha mendapatkan hatinya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Edgar Si Jenius

Motor Edgar

Edgar outfit

Edgar baru saja memakirkan motornya di pelataran parkir. Usai meletakkan helmnya dengan baik, lelaki itu berjalan santai menuju gedung fakultasnya. Beberapa orang yang berpapasan dengan Edgar, disapa olehnya dan ada juga yang menyapanya terlebih dulu.

“Pagi, Pak Hardi,” sapa Edgar pada petugas keamanan yang berjaga di depan gedung.

“Wih tumben Mas Edgar, pagi banget datengnya,” celetuk Pak Hardi tampak heran.

“Hari ini kelas pertama saya Miss Jessica nih Pak. Nggak boleh sampe telat,” balas Edgar dengan nada berguraunya. “Miss Jessica galak soalnya, Pak.”

Usai berlalu dari hadapan Pak Hardi, Edgar melangkah menuju lift untuk naik ke lantai 5. Saat menaiki lift, Edgar bertemu sosok perempuan dari jurusan lain yang nampak fameliar baginya. Jelas, perempuan itu merupakan gebetan sahabatnya. Edgar lekas menyapa perempuan tersebut dengan ramah.

“Hai, Aluna. Kok nggak berangkat bareng Elian? Biasanya bareng,” ujar Edgar.

Perempuan yang bernama Aluna itu seketika menoleh pada Edgar dan rupanya Edgar tidak mendapat respon yang baik. “Jangan tanya soal Ian ke gue,” ucap Aluna.

“Loh, kenapa? Bukannya kalian lagi deket ya?” Edgar tampak keheranan. Aluna turun lebih dulu di lantai 4 dan rupanya Edgar menyusulnya, padahal tujuan lelaki itu ke lantai 5.

“Al, tunggu. Lo sama Ian kenapa deh?” Edgar menahan langkah Aluna, membuat gadis berambut coklat panjang itu berbalik padanya.

“Lo tanya aja sama sahabat lo. Gue mau masuk kelas,” tukas Aluna yang langsung kembali berbalik pergi meninggalkan Edgar.

“Yee,” cetus Edgar otomatis. Edgar keheranan, pasalnya baru kemarin Ian dan Aluna jalan berdua dan hubungan keduanya nampak baik-baik saja. Namun keadaannya sekarang jelas jauh berbeda, padahal setahu Edgar, Ian belum confess ke Aluna.

Edgar akan kembali meniki lift untuk ke sampai ke lantai 5, tapi ketika pintu lift terbuka, di sana ia bertemu dengan Rico dan Elian. Iya, Elian yang dipanggil Ian yang merupakan sahabatnya yang hubungannya baru saja kandas dengan Aluna, padahal dimulai saja belu.

Di dalam lift, Edgar bertanya pada Ian. “Lu sama Aluna kenapa dah? Dia sewot pas gue tanya tentang lu, terus ketus banget lagi sama gue,” ujar Edgar.

“Dia minta gue jauhin dia. Gue sama dia udah selesai,” ujar Ian menjawab pertanyaan Edgar.

“Nih sahabat lu nih, putus cinta tapi kagak ada sedih-sedihnya. Lempeng bener, emang lu berdua tuh udah kayak anak kembar ya,” celetuk Rico.

“Lah beneran putus? Lo kan belum jadian, gimana bisa?” Edgar masih bertanya ketika mereka sudah sampai di lantai 5.

Edgar, Ian, dan Rico ada kelas bareng pagi ini. Saat mereka sampai di kelas, suasananya masih cukup sepi. Hanya ada beberapa anak di sana, dan Edgar bangga kali ini ia datang lebih awal dari biasanya.

“Aluna minta udahan karena Ian lebih nempel sama lo dari pada dia. Katanya, apa-apa Edgar, apa-apa Edgar. Sebenernya kamu tuh sukanya sama akua apa sama Edgar sih, gitu,” cerocos Rico yang menceritakan detail kandasnya hubungan Ian dengan Aluna.

“Lah, kok salah gue?” celetuk Edgar.

“Bukan salah lo, cuy. Aluna juga nggak bisa ngertiin gue. Kalau dia emang suka sama gue, ya dia harus terima temen-temen gue juga dong. Padahal gue juga perhatian sama dia, tapi masa dia cemburu sama lo,” papar Ian.

“Ohh jadi karena itu. Pantesan dia sensi banget sama gue tadi,” ujar Edgar.

“Dahlah, nggak usah dipikirin. Cewek banyak, masih bisa dicari. Kalau temen yang kayak lo berdua nih susah dicarinya, mana bisa gue kehilangan kalian. Langka habisnya,” tambah Ian lagi.

“Dih najis, geli gua,” ujar Rico.

“Gue heran banget ya sama lu berdua. Lu juga Gar, kenapa betah banget jadi jomblo sih? Yang mau sama lo banyak, kan? Punya tampang kagak dimanfaatin, aneh banget,” cerocos Rico.

“Ah lu mah kayak nggak tau Edgar aja. Kalau dianya gak suka, ya gak bakal jadi. Yang mau sama temen lu ini tuh banyak, tapi dianya gak tertarik,” ujar Ian.

Edgar hanya mengangguk-angguk setuju akan ucapan Ian. Yang dikatakan Ian itu, memang benar adanya. Jangankan untuk urusan percintaan, untuk kuliah saja, Edgar tidak terlalu berambisi.

Edgar agaknya cuek jika menyangkut soal asmara. Selama belum ada yang benar-benar menarik perhatiannya dan bisa membuatnya jatuh cinta, Edgar yaa Edgar, lelaki yang bersikap sangat lempeng. Ian pun jadi kebawa Edgar yang terlalu santai dalam menghadapi kehidupan. Kerap kali ada cewek yang dekat dengan Ian, tapi hubungannya cepat kandas. Itu karena Ian lebih sering nempel dengan Edgar, menghabiskan waktu dengan sahabatnya, jadi gebetannya merasa bahwa Edgar lebih penting bagi Ian.

***

Tahun ini merupakan tahun pertama Edgar memasuki semester 7 perkuliahannya. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, pulang larut dan kekurangan waktu tidur sudah menjadi makanan sehari-hari. Hari ini Edgar dan Ian akan pulang malam lagi, sepertinya. Ada tugas kelompok yang belum sepenuhnya kelar, bahkan kayaknya belum sampai setengahnya selesai. Sementara besok mereka harus presentasi di depan dua dosen sekaligus. Ada dosen dari kampus dan dosen dari luar kampus yang bukan berasal dari kampus luar negeri. Maka ini nampaknya jadi project yang cukup besar, dan pasti penilaiannya akan lebih ketat juga.

Edgar dan Ian satu kelompok. Kali ini Edgar terlihat cukup ambisius untuk project mereka. Padahal teman-temannya yang lain cukup santai dan mengatakan jika ini bukan ujian, jadi mereka tidak perlu seniat itu mengerjakannya.

“Kost siapa yang bisa dipake buat shooting? Gue ada ide nih buat eksekusinya,” Edgar bertanya pada teman-temannya. Mereka sedang berdiskusi untuk membuat output promotion digital campaign yang diminta dibuat untuk tuags kali ini. Namun mereka belum menemukan ide yang dirasa cukup bagus dan sesuai dengan tema yang diusung. Edgar yang terlihat punya sejuta akal, menjadi penyelamat bagi kelompoknya.

“Lu ada ide apaan dah? Kita harus shooting gitu?” tanya Reval.

“Iya. Gue udah kirim storyline-nya ke Saskia kemarin. Sas, lu udah liat kan? Coba gimana menurut lu gimana ide gue?” tanya Edgar pada Saskia.

Saskia akhirnya angkat bicara. “Idenya Edgar oke juga sih, gue udah baca, dan kayaknya bisa kita pake. Gue ngulik dari kelompok lain, mereka belum ada yang bikin ide kayak kita. Kalau kita bisa bikin ekseskuisnya bagus, ide ini bakal pecah banget deh kayaknya.”

“Coba gue mau liat storyline-nya, Sas,” ujar Ian yang lantas menerima beberapa lembar kertas yang telah di print oleh Saskia.

Ian yang tidak lama selesai membaca storyline yang ditulis Edgar, langsung berkomentar, “Eh, ini oke sih. Bagus nih. Sekarang kan cara marketing makin beragam, nah ide Edgar ini tuh fresh banget, nggak monoton gitu.”

“Yoi,” ujar Edgar sambil cengegesan. Bangga juga dia pada dirinya sendiri, dipikir-pikir ia cukup jenius juga.

“Oke. Jadinya nih kitaa bikin mini drama untuk output promotion campaign marketing kita. Pesannya bakal lebih mudah dipahamin kalau dibikin cerita dan lebih nyampe sih,” ujar Geri.

“Sas, kita shooting di kost lu aja ya. Sekalian siapin makanan. Nah, pas banget juga, lu yang jadi ibu hamilnya, Sas. Untung kelompok kita ada cewenya,” ujar Ian kemudian.

“Lah, kok gue? Yah, gue nggak bisa akting. Apalagi nanti videonya dipresentasiin kan. Malu anjir,” cetus Saskia dengan cepat.

“Yaa kali Sas gue yang hamil,” ujar Geri.

“Ini promotion-nya kan kita bawa isu baby blues untuk produk susu sapi yang sasaran market-nya itu keluarga. Nah terus di storyline Edgar ceritain dari masa hamil sampe si ibu melahirkan. Cuma 1-2 menit kok durasinya, udah lah tebel muka aja. Udah ya Sas, lo jadi ibu hamilnya, terus Edgar jadi suami lo,” putus Reval akhirnya.

“Lah, anjing. Kenapa jadi gue?” cetus Edgar dengan cepat.

“Iya lah, kan ini ide lu Gar. Lu lah yang jadi suaminya Saskia,” timpal Ian yang disetujui juga dengan cepat oleh Geri.

Kemudian semua orang di sana tertawa terbahak karena ekspresi Edgar yang kelewat memelas dan masih saja ogah-ogahan untuk menerima peran tersebut. Ditambah Saskia juga tampak enggan, tapi mau gak mau gadis itu tetap harus melakukannya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Jika berbicara tentang keistimewaan, bagi seorang Edgar Archie Zachary, rasanya tidak ada definisi kata istimewa di dalam hidupnya. Istimewa atau spesial adalah sesuatu yang tidak biasa, berarti, dan berharga. Edgar pun merasa, tidak ada yang spesial pada hidupnya. Di usianya yang tahun ini menginjak angka 21, Edgar merasa hidupnya biasa-biasa saja. Layaknya seperti laki-laki seusianya, Edgar menjalani rutinitasnya dengan berkuliah, bersosialisasi, mengikuti kepanitian kampus, dan lain-lain. Terlihat normal dan semuanya tertata sesuai bagaimana mestinya.

Rasanya hidupnya lempeng-lempeng saja. Edgar hampir selalu terlihat santai dan cenderung tidak suka ambil pusing terhadap hal-hal yang menurutnya kurang penting. Moto hidup Edgar adalah, kalau ada yang mudah, maka jangan sampai dibuat menjadi sulit.

Di sebuah kamar dengan nuansa monokrom hitam dan putih, seorang Edgar pagi ini baru saja membuka kelopak matanya. Yang dilakukan lelaki itu pertama kali adalah mengecek ponsel untuk melihat pukul berapa saat ini. Oke, ia tidak akan terlambat kuliah hari ini. Edgar masih memiliki waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk bersantai dan mengumpulkan nyawanya.

Edgar's Room

Kedua mata Edgar yang masih terasa mengantuk itu akhirnya kembali terpejam. Namun belum sempat dirinya pergi, sebuah ketukan di pintu kamar sukses memecah perjalanannya menuju alam mimpi.

“Edgar, ini Bunda,” ujar sebuah suara yang terdengar dari balik pintu.

“Iyaaa Bundaaa. Edgar udah bangun kok,” sahut Edgar dari dalam kamarnya.

“Buka dulu pintunya,” ujar suara itu lagi, terdengar untuk kedua kalinya memasuki indera pendengaran Edgar.

Edgar akhirnya beranjak dari ranjang empuknya, ia tidak akan enggan jika itu menyangkut Bundanya.

Edgar berjalan dengan sedikit gontai dan agak oleng menuju pintu. Lalu setelah membuka kunci pintu kamarnya, ia menemukan sosok Bundanya di sana.

“Abang, jangan mepet mulu kalau berangkat kuliah, dong. Jangan dibiasain kayak gitu yaa, Bang. Yang lain udah di meja makan mau sarapan, kamu baru melek. Ayo cuci muka dulu, terus sarapan bareng ya. Jangan sampe Papamu yang bangunin lho,” tutur Bundanya.

“Iya, Bunda. Edgar mandi dulu deh lima belas menit, terus langsung turun buat sarapan,” ucap Edgar dengan mata yang terpejam.

“Buka dulu matanya, Abang Edgar. Ya tuhan,” lagi, Bundanya berucap dengan nada keheranan melihat tingkah putra keduanya itu.

“Iya, Bundaku, Cintaku,” Edgar berucap dengan nada sok manis diiringi senyum lebar khasnya. Sebelum Bundanya berlalu dari hadapannya, dengan cepat Edgar memberi ciuman di pipi wanita yang dicintainya itu. Kemudian Bundanya hanya menggeleng heran terhadap tingkah putranya. Meski putranya itu tampak lempeng dan cenderung santai menanggapi hampir segala hal, tapi yang tidak pernah terlupakan dari Edgar adalah caranya menunjukkan kasih sayang kepada keluarganya. Itu berarti besar bagi Sienna, tentu saja.

I love you, Bunda,” ucap Edgar sebelum benar-benar menutup pintu dan meninggalkan Sienna di sana.

***

Di meja panjang di kediaman keluarga Zachary, pagi ini terlihat para anggota keluarga telah berkumpul. Ada sang Papa yang duduk di kursi paling ujung meja, di sampingnya ada Bundanya. Kemudian ada si sulung yang merupakan Abangnya Edgar, dan perempuan yang merupakan si bungsu.

Edgar merupakan anak kedua dari tiga bersaudara di keluarganya. Edgar memiliki seorang Abang dan Adik. Mereka bertiga dibesarkan di dalam keluarga yang penuh dengan kasing sayang dan sangat harmonis. Papa dan Bundanya adalah figur yang selalu menjadi inspirasi bagi Edgar. Papa dan Bundanya merupakan sosok yang pekerja keras, penyayang, dan memiliki rasa simpati tinggi kepada orang sekitar. Abangnya adalah sosok yang berwibawa dan sangat mengayomi. Adiknya merupakan sosok yang sangat lembut dan perhatian terhadapnya, meski kadang suka menjahilinya. Jadi rasanya, tidak ada beban berarti di hidup Edgar.

Edgar jadi yang paling terakhir bergabung, ia menarik kursi di samping adik perempuannya dan segera mendaratkan pantatnya di sana.

“Kamu kuliah jam berapa Bang?” tanya sang Papa sambil menatap heran kepada Edgar.

“Jam 8 nih Pah,” jawab Edgar, lalu ia mengambil piring dan mengisinya dengan menu sarapan.

“Beneran? Kok jam segini udah siap aja? Tumben banget,” ujar Papanyalagi sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya dan menemukan bahwa sekarang waktu baru menunjukkan pukul 7 kurang.

“Bagus dong, Pah. Pelan-pelan ada perubahan baik. Abang Edgar berusaha nggak mepet lagi kalau berangkat kuliah,” ucap Bundanya yang mengarahkan tatapannya pada Edgar sambil mengulaskan senyum lembut.

Edgar lantas ikut menorehkan senyumnya. Edgar tampak senang pagi ini, ternyata bangun lebih pagi dan bersiap lebih cepat membuat mood-nya terasa lebih baik juga.

“Tumben Abang bisa bangun. Bunda pasti bangunin Abang. Kalau enggak, mana bisa tuh Abang bangun pagi,” celetuk Amanda si bungsu.

Edgar seketika menoleh pada adiknya, “Bocil diem aja deh,” ucap Edgar sembari mengacak rambut Amanda yang telah tampak rapi. Amanda terlihat kesal dengan aksi kakaknya, tapi setelah itu Edgar langsung meminta maaf dan merapikan kembali tatanan rambut adiknya.

“Bang Edgar sih belum punya cewek, jadi dibanguninnya masih sama Bunda,” kini giliran Papanya yang justru meledeki Edgar. Amanda yang mendengar celetukan itu sukses tertawa dan memang kompak sekali dengan Papanya kalau sudah urusan menjahili Edgar.

“Dari pada Abang Gio ceweknya banyak, Edgar mah mau setia sama satu cewek aja nanti,” ucap Edgar dengan nada santai dan wajah lempeng khasnya. Edgar memang bukan tipe yang akan mudah tersinggung. Beberapa kali orang-orang di sekitarnya kerap menyindirnya soal statusnya yang belum memiliki kekasih, tapi Edgar tetaplah Edgar yang teguh pada pendiriannya. Jika ia belum menjalin hubungan, maka artinya ia belum ingin dan belum ada sosok yang begitu diinginkannya.

“Mana ada cewe Abang banyak, itu mah cuma gosip, Gar,” sahut Gio menanggapi ucapan Edgar.

“Resiko jadi artis Bang, terima lah. Bukannya gosip malah bikin nama artis jadi makin naik ya?” balas Edgar.

“Ya nggak gitu juga. Tetep aja, jadi bahan gosip itu nggak enak lho,” tutur Gio.

Edgar akhirnya hanya mengangguk-angguk paham. “Terus enaknya jadi artis tuh apaan sih Bang?” tanya Edgar yang nampak penasaran. Pasalnya, Gio sudah menjadi artis sejak usianya menginjak 12 tahun dan menurut Edgar itu adalah usia yang sangat muda. Hingga kini usia Gio menginjak 29 tahun, namanya telah cukup besar dan dikenal di dunia entertain.

“Enaknya bisa punya duit sendiri, gajinya lumayan gede juga,” ujar Gio sambil sedikit tertawa.

“Abang Edgar, semua pekerjaan itu ada enak dan ada enggaknya, lho,” ujar Sienna menjelaskan pada putranya.

“Bener tuh kata Bunda. Selama kamu tekun, rajin, dan cinta sama pekerjaan kamu, kamu bakal bisa nikmatin dan nggak kerasa itu jadi beban. Kalau kamu capek tapi kamu bahagia jalaninnya, berarti kamu ada di jalan yang tepat,” tambah Papanya.

“Kalau Abang kenapa nggak mau jadi artis juga kaya Papa sama Bang Gio?” celetuk Amanda sambil menoleh kepada Edgar.

Ucapan Amanda itu lekas membuat semua pasang mata di sana menatap ke arah Edgar. Edgar terdiam sebentar, ia sebenarnya tidak punya alasan pasti, hanya saja ia tidak menginginkannya. Sederhananya, Edgar hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh hatinya.

“Nggak mau aja, nggak punya alasan tertentu sih buat nolak. Edgar uma ikutin kata hati,” ucap Edgar diiringi senyuman khasnya. Seperti yang sudah-sudah, jawaban Edgar tetap sama jika ditanya soal hal tersebut.

Edgar memiliki wajah tampan yang menarik untuk dipandang. Jadi wajar saja banyak film maker maupun produser yang menawarinya untuk menjadi publik figur. Parasnya itu mirip sekali dengan Bundanya, sedikit mirip Papanya juga dan ia mendapatkan ketampanan juga dari sang Papa. Papanya merupakan aktor senior dan Abangnya merupakan aktor serta model yang namanya sudah cukup dikenal di kancah dunia hiburan.

Sejak usia remaja, Edgar banyak mendapat tawaran untuk mengikuti jejak karir Papa dan Abangnya, tapi kembali lagi, lelaki itu konsisten menolak. Edgar rupanya lebih memilih hidup menjadi orang biasa, katanya, ia tidak ingin terkenal dan disoroti kamera. Menurut Edgar, hidup menjadi selebriti itu sulit dan cukup merepotkan. Edgar ingin hidup yang lempeng-lempeng saja, mulus, dan tanpa rintangan berarti. Soal kuliah, Edgar juga tidak terlalu berambisi. Asalkan ia bisa lulus tepat waktu, ia sudah bersyukur. Baginya hidup ini hanya sekali, jadi ia perlu menikmatinya dengan baik.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Sudah tiga hari belakangan sejak kembali dari bulan madu, Sienna jatuh sakit. Bahkan Sienna sampai tidak mengambil pekerjaannya dan harus menyerahkannya pada asistennya. Alvaro baru saja membantu Sienna untuk makan, karena istrinya tidak bernafsu terhadap makanan. Alvaro membujuk Sienna dan menyuapinya karena istrinya tetap harus mendapat asupan untuk tubuhnya.

“Al, gimana keadaan Sienna?” tanya Inggit begitu Alvaro melenggang ke ruang keluarga.

“Udah mau makan, walaupun dikit. Udah minum obat juga, sekarang lagi coba buat tidur,” ujar Alvaro.

“Gio,” Alvaro kemudian memanggil anaknya. Gio yang sebelumnya sedang bermain dengan mobil-mobilannya, segera berjalan menghampiri Alvaro.

“Kalau Papa lagi kerja, kamu jagain Bunda ya di rumah. Bunda lagi sakit soalnya,” ucap Alvaro.

“Siap, Papa. Gio bakal jagain Bunda. Emang Bunda sakit apa?”

“Bunda demam, sama nggak nafsu makan. Gio bujuk Bunda buat makan ya kalau Bunda nggak mau makan.”

“Al,” Inggit lantas menghampiri Alvaro. “Kamu sama Sienna udah coba cek belum?”

“Cek apa Mah?”

“Ya ampun, masa kamu nggak kepikiran sih. Coba, kapan terakhir Sienna datang bulan? Siapa tau istri kamu itu hamil, mending cek sekarang pake testpack atau ke dokter sekalian,” tutur Inggit.

Alvaro terdiam di tempatnya mendengar ucapan Inggit. Meskipun pernikahan Alvaro dan Sienna baru berusia 1 bulan, Alvaro dan Sienna memang cukup sering melakukannya, bahkan kadang tidak tau waktu juga. Pagi, siang, malam, asal Alvaro maupun Sienna tidak sibuk bekerja dan menjalani rutinitas lainnya, mereka pasti melakukannya. Jadi bisa saja kemungkinan yang dikatakan Inggit adalah benar adanya.

***

Alvaro menunggu Sienna dengan harap-harap cemas. Sudah cukup lama Sienna berada di dalam kamar mandi, setelah sebelumnya Alvaro menyerahkan sekantung bungkusan berisi beberapa merek alat testpack.

“Sayang …” Alvaro berucap pelan di dekat pintu.

Are you okey?” Alvaro bertanya, khawatir karena Sienna belum ada tanda-tanda akan membuka pintu setelah hampir 10 menit berada di dalam.

“Nggak papa yaa kalau belum, kita juga kan baru nikah,” Alvaro berujar lagi. Sebenarnya tanpa Inggit menyuruh mengecek, Alvaro dan Sienna sempat kepikiran juga kalau Sienna tengah mengandung. Alvaro tahu kekhawatiran Sienna, istrinya itu belum mau mengecek karena takut hasilnya akan negatif. Namun hari ini Sienna mengatakan ingin mencoba mengetesnya, karena jadwal datang bulannya juga telah terlambat beberapa hari.

Alvaro segera menegakkan punggungnya begitu pintu kamar mandi di hadapannya terbuka. Alvaro langsung mendapati wajah Sienna yang tampak sedikit pucat.

Sienna lantas meraih tangan Alvaro, mengajak pria itu untuk duduk di tepi kasur.

Sienna masih memegang dua buah testpack di tangannya yang belum ia perlihatkan kepada Alvaro.

“Sayang, gimana hasilnya?” Alvaro bertanya.

“Aku udah cek di internet. Katanya alatnya akurat, bisa sampe sembilan puluh persen. Kamu beliin beberapa merek, dan dari semua alatnya, hasilnya sama. Aku udah coba tes pake semua alatnya.”

Sienna menghela napasnya, kemudian menghembuskannya, “Al, aku hamil,” ucap Sienna, serta merta sebuah senyum terlukis di paras cantiknya.

Alvaro tampak tidak percaya mendengarnya, pria itu kehilangan kata-kata saking terkejutnya.

“Ini, kamu liat,” Sienna menunjukkan dua buah testpack yang ada di tangannya. Alvaro lekas melihat benda itu dan menemukan dua buah garis berada di sana.

Selesai melihatnya, Alvaro segera beralih menatap Sienna. Alvaro langsung memangkas jaraknya dengan Sienna, tanpa mengatakan apapun, pria itu langsung membawa torso Sienna ke pelukannya.

Sienna membalas pelukan itu, lalu ia berujar pelan, “Ayo kita kasih tau Mama sama Gio. Pasti mereka seneng banget tau kabar ini.”

***

Kemunculan Alvaro dan Sienna di ruang keluarga lekas mengundang perhatian Inggit. Gio sedang sibuk dengan mainannya, jadi tidak terlalu menghiraukan dan menyadari kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh Alvaro dan Sienna.

“Al, Sienna, gimana? Udah coba tes?” Inggit bertanya sembari beranjak dari posisi duduknya.

“Bener firasat Mama, Sienna hamil, Mah,” ucap Alvaro dengan wajah semringahnya.

Inggit yang mendengar kabar itu seketika wajahnya nampak berseri-seri. Inggit lekas menghampiri Sienna, lalu wanita itu membawa torso menantunya untuk di dekap hangat. “Sienna, selamat ya, Nak. Sehat terus ya ibu dan bayinya,” ucap Inggit.

“Iya, Mah. Makasih buat doanya,” balas Sienna.

Gio yang berada di tengah-tengah mereka tampak bingung mengapa ada acara peluk-pelukan yang mendadak ini.

“Ini ada apa? Oma kenapa peluk Bunda?” celetuk Gio yang telah meletakkan mainannya dan kini menghampiri mereka.

Sienna yang mendengar itu lantas beralih kepada Gio. Sienna mengajak Gio untuk duduk di sofa, dan juga Alvaro menyusul bersamanya.

“Gio, mau dipanggil apa kalau Gio punya adik?” Sienna bertanya sambil menatap paras anaknya.

Gio tidak langsung menjawab, ia bukannya tidak punya jawabannya, tapi bingung mengapa Sienna tiba-tiba menanyakan hal tersebut kepadanya.

“Gio mau dipanggil Abang,” jawab Gio akhirnya.

“Bunda, emang adiknya udah ada?” Gio bertanya. Wajahnya nampak polos sekali, ia bergantian menatap Alvaro kemudian menatap Sienna, mencoba mencari jawaban dari kedua orang tuanya.

“Papa, emang adiknya Gio di mana sih?” tanya Gio lagi dengan nada lucunya.

“Coba tanya sama Bunda. Kan yang hamil Bunda, bukan Papa,” ujar Alvaro.

“Adiknya belum lahir, Nak. Masih ada di perut Bunda,” jelas Sienna akhirnya.

“Ohiya? Adik itu di perut Bunda ya? Kok bisa ada adik? Siapa yang taro adik di perut Bunda?”

“Kalau kamu udah gede, kamu bakal paham, Gio. Oke?” ujar Alvaro tanpa menunggu lama.

Sienna lantas tertawa dan disusul oleh Alvaro yang ikut terkikik geli. Itu bukan sesuatu hal yang tabu, tapi mereka tidak bsia menjelaskannya saat ini kepada Gio. Suatu hari, Alvaro dan Sienna akan memberi pemahaman sebagai bentuk parenting kepada anak, tepatnya saat Gio sudah cukup umur untuk bisa mengerti.

“Karena ada adik di perut Bunda, Gio akan jagain Bunda. Papa tenang aja, kalau Papa kerja, ada Gio yang pastiin Bunda aman,” ucap Gio.

“Oke, Sayang. Terima kasih ya,” ujar Alvaro sembari mengusap puncak kepala Gio.

Gio lantas tersenyum lebar sekali dan tampak senang. Kemudian Sienna membiarkan Gio untuk menyentuh perutnya. Meski masih terasa rata, tapi Gio malah berakting seolah olah ia merasakan adiknya tengah menendang.

“Beneran ada adik di perut Bunda, lho. Tadi adiknya nendang. Gio bisa rasain,” Gio berucap dengan wajahnya yang sok dibuat serius.

“Hei Bocil, kamu jago akting ya. Mana ada adiknya nendang. Adik masih kecil, belum bisa nendang,” celetuk Alvaro. Lantas Gio hanya tertawa kesenangan karena telah merasa berhasil membohongi papanya.

“Al, kemarin Kak Nat bukannya nawarin Gio buat casting karena butuh aktor kecil cowok, ya? Gimana kalau Gio coba terima tawaran itu?” ujar Sienna yang tiba-tiba teringat akan cerita yang Alvaro katakan padanya beberapa hari lalu.

“Oh iya, aku baru inget. Kalau Gio mau, nanti Papa bilang ke Tante Natalie. Asal anaknya mau, aku sih oke aja, Sayang. Menurut kamu gimana?”

“Aku setuju. Selama Gio seneng jalaninnya, kenapa engga. Iya kan Mah?” Sienna juga bertanya persetujuan pada Inggit.

“Iya, Mama setuju. Asal Gio tetep bisa fokus sama sekolahnya,” sahut Inggit dari arah dapur.

Baiklah, setelah ini Alvaro akan coba mengajak anaknya berbicara. Gio cukup tertarik dengan dunia akting setelah sering melihat Alvaro berada di layar kaca. Meski banyaknya Alvaro tahu bahwa dunia entertain memiliki jalan yang cukup terjal untuk dilalui, tapi Alvaro tidak ingin menghalangi Gio untuk menemukan bakat dan takdir karirnya. Apa pun itu, asal Gio senang menjalaninya dan merasa passion-nya berada di sana, maka Alvaro dan Sienna akan mendukungnya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭