alyadara

Sudah seminggu berlalu sejak Edgar memutuskan mengikuti akun Instagram milik Lilie. Edgar mengamati kehidupan Lilie melalui sosial media perempuan itu. Meski Lilie tidak banyak mengunggah kegiatannya di sana, tapi sudah cukup membuat Edgar senang ketika ia melihatnya.

Perasaan Edgar membuncah, sesederhana Lilie mengunggah hal random tentang kesehariannya. Lilie jarang sekali menunjukkan foto selfie-nya, tapi Edgar tetap nyaman melihatnya dan justru ia semakin tertarik pada sosok Lilie.

Rasanya Edgar belum pernah merasa bahagia semudah ini. Semakin ia mengetahui tentang Lilie,semakin Edgar kagum pada sosok perempuan mandiri dan pekerja keras seperti Lilie.

Edgar sampai di rumahnya sore ini sekitar pukul 4. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di sofa empuk di ruang keluarga. Rumahnya tampak sepi, jam segini memang biasanya para anggota keluarganya belum kembali dari kegiatan mereka.

“Eh, Abang udah pulang,” celetuk sebuah suara yang fameliar baginya.

Edgar dengan cepat menoleh dan menemukan Bundanya di sana.

“Bunda nggak kerja hari ini?” tanya Edgar.

“Kerja tadi, tapi udah balik. Kamu udah makan sore Bang?” tanya Sienna sembari mengambil tempat di samping Edgar. Sienna memperhatikan raut wajah anak lelakinya dengan tatapan hangat dan penuh kasih sayang.

“Kamu kayaknya lagi banyak pikiran akhir-akhir ini. Mau cerita sama Bunda?” tutur Sienna.

Edgar mengangguk sekali. “Ini soal Lilie, Bun.”

“Ohh … Lilie yang kamu naksir itu. Kenapa? Kamu udah coba kenalan?”

“Belum. Edgar baru cari tau tentang dia. Edgar bingung Bun gimana cara mulainya,” aku Edgar.

Sienna seolah mengerti sekali kebimbangan yang tengah dirasakan putranya itu. “Bang, Bunda boleh kasih saran ngga buat Abang?”

Edgar dengan cepat mengangguk. Edgar pun bertanya lebih dulu pada Bundanya, “Dulu gimana caranya Papa sama Bunda bisa kenal dan akhirnya saling suka?”

Sienna seketika mengulaskan senyumnya. “Papa kamu itu, dulu dia effort banget waktu deketin Bunda. Lama-lama Bunda luluh juga deh akhirnya, padahal pas diawal Bunda sempet gantungin Papa.”

“Ohya? Kenapa Bunda bikin Papa nunggu?” Edgar bertanya.

“Gini ya Bang, perempuan itu pikirannya lumayan rumit. Kadang banyak hal yang dipikirin, nggak cuma satu atau dua. Kebanyakan lelaki cenderung mikirnya dibikin simpel. Jadi udah keliatan perbedaannya kan. Nah, waktu itu Bunda mikirin banyak pertimbangan, karena cinta itu nggak cuma tentang dua orang, Bang. Nggak cuma Bunda dan Papa yang akan bersatu, tapi keluarga kita juga, karir, dan pastinya masa yang akan datang.”

“Saran Bunda nih Bang, kamu ikutin aja apa kata hati kamu. Setiap laki-laki punya caranya sendiri untuk membuat perempuan yang dia suka, suka balik sama dia. Selama kamu tulus dan pake cara yang bener, yakin deh, pasti perempuan bakal luluh dengan sendirinya kok. Dari hal-hal kecil, misalnya perhatian sederhana, rasa saling peduli dan pengertian, itu nantinya bisa jadi sesuatu yang berdampak besar.”

***

Edgar masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. Setelah mendengar wejangan dari Bundanya, Edgar lumayan mendapat pencerahan dan pecutan semangat. Edgar berniat menyusun strategi agar ia bisa mengenal Lilie dan bisa dikenal oleh perempuan itu.

Edgar mengambil sesuatu dari laci meja belajarnya. Kemudian di sebuah note book yang telah ia ambil, Edgar membuat sebuah mind maping dan perencanaan yang akhirnya diberi judul ‘Chasing Lilie’. Edgar telah mengumpulkan banyak informasi tentang Lilie yang nantinya akan ia gunakan sebagai kiat-kiat untuk mendekati Lilie. Pada halaman pertama, Edgar menuliskan apa saja informasi yang ia ketahui tentang Lilie. Kemudian pada halaman kedua, Edgar membuat mind maping yang merupakan strategi yang akan ia gunakan untuk mendapatkan Lilie.

Tiba-tiba Edgar teringat akan sesuatu. Ia lekas membuka ponselnya dan melihat kembali Instagram Story milik Lilie yang untungnya baru diunggah oleh Lilie beberapa jam lalu. Dari hasil penglihatannya tersebut, muncul sebuah ide di benak Edgar yang kemungkinan aksesnya cukup mudah dan bisa ia tempuh. Namun agar rencananya berhasil, Edgar harus melobi seseorang dan melakukan sebuah negosiasi. Meskipun keputusan akhirnya bukan orang itu yang menentukan, tapi setidaknya Edgar telah mencoba terlebih dulu. Edgar tidak akan menyerah sebelum ia mencoba mengenal Lilie.

***

3 hari kemudian.

Hari ini Edgar akan bertemu dengan seseorang bernama Serafina. Tidak mudah untuk bisa mendapat akses sehingga Fina setuju untuk bertemu dengannya. Ian dan Rico membantu Edgar mencari perempuan bernama Fina. Ternyata setelah dikulik, Fina adalah kakak tingkat mereka yang akan lulus tahun ini, tapi Fina berasal dari jurusan Komunikasi, berbeda dengan Edgar yang berasal daari jurusan Marketing. Untuk bisa bertemu dengan Fina, Edgar harus melalui satu orang yang kenal dengan Fina, juga meyakinkan orang itu bahwa ia punya urusan penting sehingga harus bertemu Fina.

Ian dan Rico menunggu Edgar yang akan berbicara dengan Serafina di kantin fakultas FISIP hari ini.

“Hai, Kak. Sorry agak telat, tadi gue baru selesai ketemu dosen buat bahas Sempro,” ujar Edgar begitu ia mendaratkan pantatnya di kursi di hadapan Fina.

“Oke. Lo udah mau mulai nyusun Sempro nih?” Fina bertanya yang lekas mendapat anggukan dari Edgar.

“Jadi lo mau minta tolong buat urusan skripsi? Apa yang bisa gue bantu kira-kira?” tanya Fina.

Edgar lantas menjelaskan maksudnya pada Fina bahwa ia ingin meminta tolong Fina untuk merekomendasikannya pada perusahaan tempat Fina magang sebelumnya. Untuk menyusun skripsi, Edgar harus melewati semester magang di jurusannya.

“Kenapa lo ngincer company tempat gue magang sebelumnya? Bukannya banyak company lebih gede yang direkomendasiin sama fakultas lo dan udah kerjasama juga sama kampus?” Pertanyaan bertubi-tubi dari Fina itu tidak nampak membuat Edgar kelabakan. Edgar telah mengantisipasi hal tersebut, dan benar sesuai dugaannya, pasti Fina akan menanyakan hal itu.

“Gini, Kak. Sebelumnya gue udah cari tau tentang company tempat lo magang. Gue dapet insight kalau posisinya yang dibutuhin cocok sama mata kuliah untuk magang gue,” jelas Edgar akhirnya.

Edgar pun berusaha meyakinkan Fina, ia tidak akan mengecewakan dan akan bekerja dengan maksimal. Edgar pikir tidak akan terlalu sulit membujuk Fina, tapi nyatanya perempuan itu justru menaruh curiga terhadapnya.

Sorry, Gar. Sebelumnya gini, gue bukannya nggak mau bantu lo. Tapi atasan gue di tempat magang itu, gue udah lumayan deket sama dia. Gue nggak bisa sembarangan rekomendasiin orang, karena gue nggak mau buat dia kecewa.” Itulah penjelasan Fina tentang latar belakang mengapa ia enggan membantu Edgar.

“Kak, lo boleh liat CV sama portofolio gue dulu, sebagai bahan pertimbangan. Kalau soal mengecewakan, gue akan berusaha untuk nggak mengecewakan. Gue ngehargain lo sebagai kakak tingkat gue, jadi tolong pertimbangin dulu ya Kak,” pinta Edgar.

***

Edgar telah mendapat balasan pesan WhatsApp dari Fina dan hasilnya, perempuan itu masih menolak untuk membantunya. Fina mengatakan bahwa ia telah melihat CV dan portofolio milik Edgar. Kualifikasi Edgar memang cocok untuk posisi internship di company tempat ia magang sebelumnya, tapi entah apa yang sebenarnya membuat Fina ragu untuk merekomendasikan Edgar.

Siang ini, Edgar mencari kesempatan untuk bertemu Fina di fakultas FISIP. Dapat dikatakan, aksi Edgar ini cukup nekat. Bahkan Ian dan Rico tidak mengetahui niatnya itu. Karena kalau dua sahabatnya tahu, kemungkinan mereka akan mencegah Edgar. Kedua sahabatnya sudah melihat bahwa Edgar tidak akan bisa mendekati Lilie dengan cara melamar magang di perusahaan tempat Lilie bekerja. Namun bagi Edgar, usahanya itu belum seberapa. Jadi Edgar akan berusaha lagi meyakinkan Fina agar perempuan itu bersedia membantunya.

Hari ini rupanya Fina sedang menjalani sidang skripsi. Jadi Edgar harus menunggu Fina sampai sidangnya selesai. Selama kurang lebih 2 jam Edgar menunggu di koridor lantai 2 fakultas Komunikasi.

Setelah penantian panjangnya, Edgar akhirnya mendapati sosok Fina di sana. Fina baru saja keluar dari ruang sidang. Edgar tidak langsung menghampiri, karena rasanya tidak sopan jika ia straight to the point datang kepada Fina.

Edgar mengamati dari jarak yang tidak jauh, di sana Fina sedang bersama teman-temannya untuk melakukan sesi foto. Fina terlihat memegang dua buah buket bunga dan satu buah buket snack. Saat akan berfoto, mereka tampak kebingungan karena tidak ada yang bisa membantu mengambil foto mereka secara bersamaan.

Edgar yang mendapati itu segera melangkah ke sana menawarkan bantuan. Fina terlihat terkejut mendapati kehadiran Edgar di sana, tapi akhirnya menerima bantuan lelaki itu.

“Makasih ya Gar,” ucap Fina setelah sesi foto tersebut berakhir.

“Sama-sama Kak,” ujar Edgar. “Selamat ya buat sidangnya,” tambah Edgar lagi.

Teman-teman Fina berlalu dari sana, memberi ruang pada Fina dan Edgar. Rupanya beberapa teman Fina tadi mengenal Edgar dan tidak tahu bahwa ternyata Edgar juga mengenal Fina.

“Lo famous juga ya, temen-temen gue pada kenal lo,” celetuk Fina.

“Iya dong. Gue kan aktif ikut organisasi sama kepanitian Kak,” timpal Edgar diiringi kekehan pelan.

“Iya iya, tau gue. Eh ngomong-ngomong lo habis ada urusan ke sini?” Fina bertanya.

“Iya, gue ada urusan Kak. Gue mau ketemu sama lo dan ngomongin sesuatu,” ucap Edgar.

Fina seketika menghentikan langkahnya dan kini menatap ke arah Edgar.

“Soal magang? Gar, sorry banget nih. Gue beneran nggak bisa bantu lo. Kalau lo emang mau apply di company tempat gue magang, lo coba apply aja. Tapi untuk kasih rekomendasi, kayaknya gue nggak bisa,” papar Fina.

Fina menatap Edgar dengan tatapan tidak tega. Fina mengira Edgar akan benar-benar menyerah setelah ia menolaknya, tapi rupanya tidak. Edgar justru mengajukan pertanyaan pada Fina yang membuatnya tertegun.

“Boleh gue tau alasan sebenarnya lo nggak berkenan untuk rekomendasiin gue?” Edgar bertanya.

Fina tercekat. Edgar seolah bisa membaca apa yang ada di pikirannya dan menjadi pertimbangan bagi Fina menolak Edgar. “Gue ragu karena, pertama gue baru kenal lo. Kedua, mantan atasan gue itu, orang yang gue hormatin banget, Gar. Kak Lilie tuh baik banget sama gue dan gue nggak mau ngecewain dia. Terakhir, gue nggak tau apa motif lo sampe lo segininya berusaha keterima magang di company itu.” Fina akhirnya mengungkapnya keraguannya pada Edgar.

Edgar menghela napasnya sesaat. Akhirnya ia memutuskan untuk jujur pada Fina soal motifnya. Menurut Edgar, jujur adalah yang terbaik dan dalam dunia kerja, itu hal yang sangat langka dan juga diutamakan.

“Gue ngeliat Lilie pertama kali di seminar fakultas waktu itu. Gue tertarik sama Lilie, dan gue pengen kenal sama dia,” ujar Edgar.

Fina tampak tertegun. Perempuan itu akhirnya mengetahui tujuan Edgar bersikeras meminta bantuannya karena ingin mendekati Lilie. Edgar jujur sepenuhnya kepada Fina soal motifnya, dan Fina cukup kagum akan sikap dan itikad lelaki itu untuk jujur.

Fina seketika terdiam dan dibuat kehilangan kata-kata berkat pengakuan Edgar. Menurutnya, Edgar ini lelaki yang termasuk langka spesiesnya.

“Kak, gimana? Lo bersedia bantu gue?” Edgar bertanya dan itu lekas menyadarkan Fina dari keterdiamannya.

“Edgar, gue—” Fina menjeda ucapannya, ia menatap tepat ke manik mata Edgar. Entah bagaimana, Fina seperti tersihir dengan tatapan itu. Fina akui bahwa usaha lelaki ini tidak main-main.

Setelah diam selama beberapa detik, Fina akhirnya kembali membuka suara. “Gar, gue akuin effort lo emang gede banget. Gue harap, usaha lo yang kayak gini nggak cuma di awal, ya. Karena gue nggak mau lo sampe kecewain Kak Lilie atau nyakitin dia.”

“Kak, jadi lo mau bantu gue?” Edgar bertanya untuk memastikan maksud dari semua kalimat Fina yang tersirat.

Fina dengan cepat mengangguk. “Iya, gue bakal bantu lo. Lo udah jujur soal motif lo, dan yaa gue nggak ada alasan buat nggak bantu. Gue akan kabarin Kak Lilie dan coba rekomendasiin lo ke dia. Keputusan akhirnya tetep di Kak Lilie, karena gue cuma bisa bantu segitu.”

“Oke. Gue makasih banyak sama lo, Kak,” ucap Edgar diiringi wajah semringahnya. Edgar masih tidak menyangka, usahanya akhirnya sedikit menampakkan hasil.

“Gar, lo serius suka sama Kak Lilie? Maksud gue nih ya, kalau sampe gue tau lo nyakitin atau mainin dia, gue bakal cari lo dan bikin lo kapok,” cerocos Fina panjang lebar.

“Iya, Kak. Gue serius. Lo liat usaha gue dong, gue nunggu lo kelar sidang dua jam di sini. Gue nggak akan sejauh ini berusaha kalau gue nggak serius,” jelas Edgar kemudian.

“Oke. Gue pegang omongan lo ya,” ucap Fina yang segera mendapat anggukan dari Edgar.

Fina sebenarnya masih sedikit tidak percaya dengan kenyataan bahwa ia bersedia membantu Edgar. Terlebih lagi, alasan Fina membantu adalah karena ia merasa tersentuh dengan cara lelaki itu berusaha. Namun begitulah, Fina akhirnya bersedia membantu Edgar karena hatinya yang tergerak. Dilihat-lihat, Edgar ini memiliki effort yang tinggi dan kepribadian yang cukup gigih serta tangguh. Maka Fina berhasil tidak khawatir lagi terhadap hal-hal yang menjadi pertimbangannya sebelumnya. Fina pun berharap, bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat untuk sesuatu yang akan jadi takdir bagi Edgar dan Lilie nantinya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Hal-Hal Biasa yang Ada di Hidup Lilie

Jakarta at Night

Jakarta Rasa NY

Suasana malam hari kota Jakarta Selatan nampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Lilie. Ciri khas jalannya yang lebar tapi lalu lintasnya selalu padat, para pedagang kaki lima yang berjejer di bagian alun-alun kota, lampu-lampu dari gedung pencakar langit yang membuat kota tersebut sungguh tampak seperti kota metropolitan yang padat dan sibuk. Pemandangan ini, yang selalu Lilie dapati ketika ia pulang bekerja. Saat berangkat kerja masih terang, maka ketika pulang, hari sudah gelap.

Lilie berjalan kaki sekitar 500 meter dari gedung kantornya untuk sampai di halte Transjakarta. Karena jarak dari rumahnya ke kantor cukup jauh, Lilie memilih angkutan umum sebagai mobilitasnya. Jika membawa kendaraan pribadi atau menggunakan jasa ojek online, selain lelah, biayanya pun juga akan lebih besar.

Jutaan orang berangkat maupun datang ke kota ini untuk mengadu nasib, berharap dapat mengubah hidup menjadi lebih baik, atau ingin membuktikan apakah Jakarta memang benar semengagumkan yang kebanyakan orang katakan?

Lilie termasuk dari sekian juta orang itu. Lilie datang setiap pagi ke kota ini untuk mendapatkan pundi-pundi uang, setidaknya baginya cukup untuk dirinya sendiri dan juga keluarganya. Rupanya benar, Jakarta itu kota yang mengagumkan. Memang tidak selalu mengagumkan dan menyenangkan, tapi Jakarta telah menyimpan begitu banyak cerita untuk Lilie. Mulai dari perjalanannya berkuliah dan hingga sekarang bekerja. Jadi, Lilie mencintai kota ini dan menghargai semua kenangannya di sini.

Delapan tahun yang lalu, Lilie memiliki mimpi untuk bisa lulus kuliah dan mendapat gelar Sarjana. Mimpinya mungkin terdengar sederhana bagi beberapa orang, tapi baginya itu mimpi besar. Lilie tidak memiliki biaya untuk berkuliah, jadi ia harus giat belajar untuk mempertahankan nilai semesternya agar beasiswanya terus mengalir. Setelah akhirnya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, Lilie bermimpi lagi untuk bisa bekerja di kota Jakarta. Lilie ingin mengenakan setelan kantoran, flat shoes hitam dengan logo brand terkenal, dan totebag layaknya wanita-wanita karir yang figurnya ia kagumi. Menurut Lilie, wanita yang bekerja itu keren.

Lilie sempat pesimis ia bisa menggapai cita-citanya, tapi akhirnya, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu.

Lilie memiliki prinsip bahwa apa yang ia jalani dan dapatkan sampai dengan hari ini, merupakan pemberian Tuhan yang patut ia syukuri. Lilie bisa menikmati hidupnya, karena ia merasa selalu cukup dengan apa yang ia miliki saat ini. Memang ada cita-cita besar yang Lilie impikan, itu adalah tentang kehidupannya beberapa tahun lagi. Lilie ingin memiliki rumahnya sendiri dan tinggal dengan orang yang ia cintai, juga mempunyai 2 orang anak. Lilie berusaha mewujudkan impian itu, dan ia percaya bahwa apa yang akan jadi miliknya, akan datang padanya.

Tanpa sadar, langkah Lilie telah sampai di halte Transjakarta. Ia hanya tinggal menunggu bus datang, si biru yang selalu mengantarnya pulang setelah seharian lelah bekerja. Di jam seperti ini, angkutan umum Transjakarta terbilang cukup padat. Para pekerja kantoran, sama seperti Lilie, bersamaan ingin menuju kediaman mereka untuk segera melepas lelah dan penat.

Lilie bersyukur ia dapat tempat duduk di bus malam ini. Namun saat bus kedatangan penumpang lagi dan terlihat seorang wanita membawa anaknya yang masih balita, hingga beberapa menit berlalu, tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tempat duduk mereka.

“Ibu, silakan duduk. Biar saya berdiri aja,” ucap Lilie kepada ibu tersebut sambil memberikan tempat duduknya. Lilie membawa dirinya beranjak dari tempat duduk, dan mempersilakan sang ibu untuk duduk.

“Makasih banyak ya Mbak,” ucap Ibu tersebut sambil tersenyum kepada Lilie.

“Iya, sama-sama Bu,” balas Lilie.

Terlihatnya itu adalah hal yang sederhana, tapi Lilie senang karena telah melakukannya. Bagi Lilie, tidak ada perasaan yang lebih baik daripada saat dirinya merasa bahagia karena orang lain juga bahagia. Sekecil apa pun yang kita lakukan, jika itu berarti bagi orang lain, maka kita telah melakukan hal yang tepat.

***

Lilie tiba di rumahnya hampir pukul 8 malam. Lilie melepas flat shoes-nya dan meletakkannya di rak sepatu di teras rumahnya, lalu ia bergegas masuk ke dalam.

Lilie sampai di ruang tamu dan menemukan kedua adiknya yang sedang berkutat pada tugas sekolah mereka. Kemudian dari arah dapur, terlihat Papanya menghampirinya dan seperti biasa, menyambut kepulangannya dengan sebuah senyuman.

“Tumben Lie, malem banget pulangnya,” ujar Papanya.

“Iya Pah, tadi kerjaan Lilie di kantor lagi lumayan banyak. Biasanya Lilie kan pulang jam 7, ini jam 8. Beda dikit lah, nggak papa,” ucap Lilie sembari menampakkan senyumannya.

“Yaudah, kamu makan dulu ya. Di meja makan udah ada makanan. Jangan begadang lagi Nak malam ini, kamu perlu istirahat yang cukup,” tutur Papanya.

Lilie hanya mengangguk sekali, lalu ia bergegas menuju kamarnya yang terletak tidak jauh dari ruang tamu. Lilie langsung menaruh totebag-nya di kursi meja kerjanya dan ia melepas blazer outer dari tubuhnya. Kini tersisa sebuah blouse berlengan pendek yang lebih teras nyaman untuk dikenakan. Lilie menghembuskan napasnya panjang lalu ia merebahkan dirinya di kasur single-nya.

Rasanya hari ini cukup melelahkan. Lilie baru beberapa detik memejamkan kelopak matanya, ketika ponsel di totebag-nya berdering. Lilie langsung bangun lagi dan segera menjawab panggilan yang ternyata dari manager divisi lain di kantornya.

“Halo. Iya, Mbak Devina. Ada apa Mbak?” ujar Lilie di telfon.

“…”

“Ohh gitu. Baik Mbak, coba saya cek dulu ya. Saya usahain selesai malam ini deh. Tapi mungkin kalau nggak bisa, besok pagi jam 8 baru kelar ya Mbak.”

“…”

“Oke, Mbak. Iya, sama-sama.”

Sambungan telfon pun ditutup. Baiklah, Lilie tidak punya waktu bersantai sedikit saja. Lilie harus kembali membuka laptop dan menatap layarnya dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.

Ketika Lilie sudah sibuk dengan laptop di hadapannya, pintu kamarnya di ketuk. Lilie mempersilakan seseorang di balik pintu untuk masuk. Detik berikutnya nampak sosok adik lelakinya di ambang pintu.

“Kak Lilie, makan dulu,” ujar adiknya.

“Iya Dek, nanti dulu ya. Kakak masih ada kerjaan nih, sebentar aja,” ujar Lilie yang hanya sekilas menoleh pad adiknya.

“Nanti Kakak lupa makan lagi.”

“Enggak kok. Janji deh, kakak bakal makan sepuluh menit lagi, ya,” tutur Lilie sambil menampakkan senyum meyakinkannya.

Setelah mengangguk, adiknya itu berlalu dari kamar Lilie dan menutup pintunya. Lilie sempat tertegun sejenak dan gerakan jemarinya di keyboard laptop terhenti begitu saja. Pasalnya adiknya seperti sudah hapal betul akan kebiasaan Lilie yang suka telat makan bahkan kadang sampai melupakannya.

Lilie mendesahkan napasnya panjang, dari helaan itu tersirat rasa lelah dan frustasi. Lilie memejamkan matanya sejenak, lalu ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Terkadang Lilie memang ingin menyerah karena merasa lelah dengan rutinitas yang harus dijalaninya. Namun Lilie tidak bisa menutup mata dan bersikap acuh begitu saja. Lilie merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya telah pensiun bekerja dan ibunya sudah tiada sejak adiknya yang paling kecil berusia 10 tahun. Kedua adiknya masih bersekolah, dan Lilie adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan juga bertanggung jawab pada pendidikan kedua adiknya. Bagi Lilie, hampir tidak ada waktu selain untuk bekerja.

Lilie telah menyingkirkan tangannya dari depan wajahnya, lalu ia kembali menatap layar laptopnya. Namun rasanya Lilie tidak bergairah mengerjakan pekerjaan dadakan itu. Ia tidak bisa berbohong bahwa tubuh dan jiwanya merasa lelah dan jenuh.

Lilie memutuskan sejenak melihat ponselnya untuk mencari hiburan atau pun melihat notif yang memang jarang sekali ia lakukan. Hidupnya kebanyakan hanya seputar pekerjaan, bahkan banyak sekali pesan maupun notif lain yang ia abaikan karena itu di luar urusan pekerjaannya.

Setelah Lilie membalas beberapa pesan yang masuk ke WhatsAppnya, Lilie beralih pada sosial medianya. Lilie jarang mengunggah tentang kehidupannya di media, karena baginya hal tersebut tidak terlalu penting. Membagikan sesuatu ke sosial media, ada batasannya, dan Lilie memiliki batasan itu sendiri untuk dirinya.

Ketika asik berselancar di Instagram, Lilie mendapati beberapa notifikasi untuknya. Ada beberapa orang yang baru saja mengikuti akunnya dan ketika ia mengeceknya, Lilie sama sekali tidak mengenal orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka yang datang ke akun pribadinya adalah laki-laki. Mungkin kalau Lilie mengenalnya, ia akan mengikuti balik orang tersebut. Namun kenyataannya, ia tidak mengenal mereka, jadi berakhir diabaikan begitu saja olehnya.

Selain notif follow, ada beberapa juga yang menyukai postingannya dan mengajaknya kenalan lewat DM. Lilie sempat membeliak ketika menemukan username akun yang sama yang menyukai postingan terbarunya bahkan sampai yang terlama. Orang ini aktif sekali di sosial medianya, membuat Lilie terheran.

Selain itu, akun tersebut juga memberi reaction pada Instagram Story miliknya yang telah 1 x 24 jam di upload oleh Lilie. Bahkan Instagram story tersebut sudah tidak tayang dan Lilie baru melihat notif reaction dari orang itu.

Lilie berdecak dan menggeleng, lalu ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Lilie memutuskan tidak melihat lagi ponselnya karena terlalu banyak orang seperti lelaki itu di sosial medianya yang kemudian membuatnya jengah. Lilie sering mendapati pesan dari orang tak dikenal dan menganggap hal tersebut bukanlah hal yang terlalu penting.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Hal-Hal Biasa yang Ada di Hidup Lilie

Jakarta at Night

Jakarta Rasa NY

Suasana malam hari kota Jakarta Selatan nampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Lilie. Ciri khas jalannya yang lebar tapi lalu lintasnya selalu padat, para pedagang kaki lima yang berjejer di bagian alun-alun kota, lampu-lampu dari gedung pencakar langit yang membuat kota tersebut sungguh tampak seperti kota metropolitan yang padat dan sibuk. Pemandangan ini, yang selalu Lilie dapati ketika ia pulang bekerja. Saat berangkat kerja masih terang, maka ketika pulang, hari sudah gelap.

Lilie berjalan kaki sekitar 500 meter dari gedung kantornya untuk sampai di halte Transjakarta. Karena jarak dari rumahnya ke kantor cukup jauh, Lilie memilih angkutan umum sebagai mobilitasnya. Jika membawa kendaraan pribadi atau menggunakan jasa ojek online, selain lelah, biayanya pun juga akan lebih besar.

Jutaan orang berangkat maupun datang ke kota ini untuk mengadu nasib, berharap dapat mengubah hidup menjadi lebih baik, atau ingin membuktikan apakah Jakarta memang benar semengagumkan yang kebanyakan orang katakan?

Lilie termasuk dari sekian juta orang itu. Lilie datang setiap pagi ke kota ini untuk mendapatkan pundi-pundi uang, setidaknya baginya cukup untuk dirinya sendiri dan juga keluarganya. Rupanya benar, Jakarta itu kota yang mengagumkan. Memang tidak selalu mengagumkan dan menyenangkan, tapi Jakarta telah menyimpan begitu banyak cerita untuk Lilie. Mulai dari perjalanannya berkuliah dan hingga sekarang bekerja. Jadi, Lilie mencintai kota ini dan menghargai semua kenangannya di sini.

Delapan tahun yang lalu, Lilie memiliki mimpi untuk bisa lulus kuliah dan mendapat gelar Sarjana. Mimpinya mungkin terdengar sederhana bagi beberapa orang, tapi baginya itu mimpi besar. Lilie tidak memiliki biaya untuk berkuliah, jadi ia harus giat belajar untuk mempertahankan nilai semesternya agar beasiswanya terus mengalir. Setelah akhirnya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan, Lilie bermimpi lagi untuk bisa bekerja di kota Jakarta. Lilie ingin mengenakan setelan kantoran, flat shoes hitam dengan logo brand terkenal, dan totebag layaknya wanita-wanita karir yang figurnya ia kagumi. Menurut Lilie, wanita yang bekerja itu keren.

Lilie sempat pesimis ia bisa menggapai cita-citanya, tapi akhirnya, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu.

Lilie memiliki prinsip bahwa apa yang ia jalani dan dapatkan sampai dengan hari ini, merupakan pemberian Tuhan yang patut ia syukuri. Lilie bisa menikmati hidupnya, karena ia merasa selalu cukup dengan apa yang ia miliki saat ini. Memang ada cita-cita besar yang Lilie impikan, itu adalah tentang kehidupannya beberapa tahun lagi. Lilie ingin memiliki rumahnya sendiri dan tinggal dengan orang yang ia cintai, juga mempunyai 2 orang anak. Lilie berusaha mewujudkan impian itu, dan ia percaya bahwa apa yang akan jadi miliknya, akan datang padanya.

Tanpa sadar, langkah Lilie telah sampai di halte Transjakarta. Ia hanya tinggal menunggu bus datang, si biru yang selalu mengantarnya pulang setelah seharian lelah bekerja. Di jam seperti ini, angkutan umum Transjakarta terbilang cukup padat. Para pekerja kantoran, sama seperti Lilie, bersamaan ingin menuju kediaman mereka untuk segera melepas lelah dan penat.

Lilie bersyukur ia dapat tempat duduk di bus malam ini. Namun saat bus kedatangan penumpang lagi dan terlihat seorang wanita membawa anaknya yang masih balita, hingga beberapa menit berlalu, tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tempat duduk mereka.

“Ibu, silakan duduk. Biar saya berdiri aja,” ucap Lilie kepada ibu tersebut sambil memberikan tempat duduknya. Lilie membawa dirinya beranjak dari tempat duduk, dan mempersilakan sang ibu untuk duduk.

“Makasih banyak ya Mbak,” ucap Ibu tersebut sambil tersenyum kepada Lilie.

“Iya, sama-sama Bu,” balas Lilie.

Terlihatnya itu adalah hal yang sederhana, tapi Lilie senang karena telah melakukannya. Bagi Lilie, tidak ada perasaan yang lebih baik daripada saat dirinya merasa bahagia karena orang lain juga bahagia. Sekecil apa pun yang kita lakukan, jika itu berarti bagi orang lain, maka kita telah melakukan hal yang tepat.

***

Lilie tiba di rumahnya hampir pukul 8 malam. Lilie melepas flat shoes-nya dan meletakkannya di rak sepatu di teras rumahnya, lalu ia bergegas masuk ke dalam.

Lilie sampai di ruang tamu dan menemukan kedua adiknya yang sedang berkutat pada tugas sekolah mereka. Kemudian dari arah dapur, terlihat Papanya menghampirinya dan seperti biasa, menyambut kepulangannya dengan sebuah senyuman.

“Tumben Lie, malem banget pulangnya,” ujar Papanya.

“Iya Pah, tadi kerjaan Lilie di kantor lagi lumayan banyak. Biasanya Lilie kan pulang jam 7, ini jam 8. Beda dikit lah, nggak papa,” ucap Lilie sembari menampakkan senyumannya.

“Yaudah, kamu makan dulu ya. Di meja makan udah ada makanan. Jangan begadang lagi Nak malam ini, kamu perlu istirahat yang cukup,” tutur Papanya.

Lilie hanya mengangguk sekali, lalu ia bergegas menuju kamarnya yang terletak tidak jauh dari ruang tamu. Lilie langsung menaruh totebag-nya di kursi meja kerjanya dan ia melepas blazer outer dari tubuhnya. Kini tersisa sebuah blouse berlengan pendek yang lebih teras nyaman untuk dikenakan. Lilie menghembuskan napasnya panjang lalu ia merebahkan dirinya di kasur single-nya.

Rasanya hari ini cukup melelahkan. Lilie baru beberapa detik memejamkan kelopak matanya, ketika ponsel di totebag-nya berdering. Lilie langsung bangun lagi dan segera menjawab panggilan yang ternyata dari manager divisi lain di kantornya.

“Halo. Iya, Mbak Devina. Ada apa Mbak?” ujar Lilie di telfon.

“…”

“Ohh gitu. Baik Mbak, coba saya cek dulu ya. Saya usahain selesai malam ini deh. Tapi mungkin kalau nggak bisa, besok pagi jam 8 baru kelar ya Mbak.”

“…”

“Oke, Mbak. Iya, sama-sama.”

Sambungan telfon pun ditutup. Baiklah, Lilie tidak punya waktu bersantai sedikit saja. Lilie harus kembali membuka laptop dan menatap layarnya dengan sisa kekuatan yang dimilikinya.

Ketika Lilie sudah sibuk dengan laptop di hadapannya, pintu kamarnya di ketuk. Lilie mempersilakan seseorang di balik pintu untuk masuk. Detik berikutnya nampak sosok adik lelakinya di ambang pintu.

“Kak Lilie, makan dulu,” ujar adiknya.

“Iya Dek, nanti dulu ya. Kakak masih ada kerjaan nih, sebentar aja,” ujar Lilie yang hanya sekilas menoleh pad adiknya.

“Nanti Kakak lupa makan lagi.”

“Enggak kok. Janji deh, kakak bakal makan sepuluh menit lagi, ya,” tutur Lilie sambil menampakkan senyum meyakinkannya.

Setelah mengangguk, adiknya itu berlalu dari kamar Lilie dan menutup pintunya. Lilie sempat tertegun sejenak dan gerakan jemarinya di keyboard laptop terhenti begitu saja. Pasalnya adiknya seperti sudah hapal betul akan kebiasaan Lilie yang suka telat makan bahkan kadang sampai melupakannya.

Lilie mendesahkan napasnya panjang, dari helaan itu tersirat rasa lelah dan frustasi. Lilie memejamkan matanya sejenak, lalu ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Terkadang Lilie memang ingin menyerah karena merasa lelah dengan rutinitas yang harus dijalaninya. Namun Lilie tidak bisa menutup mata dan bersikap acuh begitu saja. Lilie merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya telah pensiun bekerja dan ibunya sudah tiada sejak adiknya yang paling kecil berusia 10 tahun. Kedua adiknya masih bersekolah, dan Lilie adalah tulang punggung keluarga yang harus bekerja untuk menghidupi keluarganya dan juga bertanggung jawab pada pendidikan kedua adiknya. Bagi Lilie, hampir tidak ada waktu selain untuk bekerja.

Lilie telah menyingkirkan tangannya dari depan wajahnya, lalu ia kembali menatap layar laptopnya. Namun rasanya Lilie tidak bergairah mengerjakan pekerjaan dadakan itu. Ia tidak bisa berbohong bahwa tubuh dan jiwanya merasa lelah dan jenuh.

Lilie memutuskan sejenak melihat ponselnya untuk mencari hiburan atau pun melihat notif yang memang jarang sekali ia lakukan. Hidupnya kebanyakan hanya seputar pekerjaan, bahkan banyak sekali pesan maupun notif lain yang ia abaikan karena itu di luar urusan pekerjaannya.

Setelah Lilie membalas beberapa pesan yang masuk ke WhatsAppnya, Lilie beralih pada sosial medianya. Lilie jarang mengunggah tentang kehidupannya di media, karena baginya hal tersebut tidak terlalu penting. Membagikan sesuatu ke sosial media, ada batasannya, dan Lilie memiliki batasan itu sendiri untuk dirinya.

Ketika asik berselancar di Instagram, Lilie mendapati beberapa notifikasi untuknya. Ada beberapa orang yang baru saja mengikuti akunnya dan ketika ia mengeceknya, Lilie sama sekali tidak mengenal orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka yang datang ke akun pribadinya adalah laki-laki. Mungkin kalau Lilie mengenalnya, ia akan mengikuti balik orang tersebut. Namun kenyataannya, ia tidak mengenal mereka, jadi berakhir diabaikan begitu saja olehnya.

Selain notif follow, ada beberapa juga yang menyukai postingannya dan mengajaknya kenalan lewat DM. Lilie sempat membeliak ketika menemukan username akun yang sama yang menyukai postingan terbarunya bahkan sampai yang terlama. Orang ini aktif sekali di sosial medianya, membuat Lilie terheran.

Selain itu, akun tersebut juga memberi reaction pada Instagram Story miliknya yang telah 1 x 24 jam di upload oleh Lilie. Bahkan Instagram story tersebut sudah tidak tayang dan Lilie baru melihat notif reaction dari orang itu.

Lilie berdecak dan menggeleng, lalu ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Lilie memutuskan tidak melihat lagi ponselnya karena terlalu banyak orang seperti lelaki itu di sosial medianya yang kemudian membuatnya jengah. Lilie sering mendapati pesan dari orang tak dikenal dan menganggap hal tersebut bukanlah hal yang terlalu penting.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Support System

Ian tahu betul bahwa Edgar adalah tipe orang yang sulit untuk jatuh cinta. Maka dari itu, ketika sahabatnya bilang menyukai seseorang, Ian seperti melihat keajaiban dunia kedelapan. Memang ya, cinta seajaib itu.

Sebagai sahabat yang suportif, Ian bersedia membantu Edgar mencari informasi tentang perempuan pemilik nama Lilie Amara Thomas.

Siang ini sepulang kuliah, Edgar nampak bersemangat untuk pergi ke kost-an Ian. Rico tidak bisa ikut karena ada urusan dengan administrasi kampus, tapi lelaki itu sudah tahu juga akhirnya siapa sosok Lilie Amara yang telah membuat Edgar mabuk kepayang.

Edgar dan Ian hari ini kembali beraksi. Mereka akan stalking Lilie, sang dara yang membuat Edgar jatuh cinta. Kemarin mereka telah melakukan pencarian dan menemukan beberapa fakta tentang Lilie. Namun itu hanya sebatas informasi mendasar mengenai usia Lilie, tempat di mana perempuan itu bekerja, serta pendidikan terakhirnya.

Lilie merupakan perempuan berusia 26 tahun yang saat ini bekerja sebagai Social Media Manager di sebuah perusahaan brand parfum yang cukup ternama. Lilie merupakan lulusan Sarjana Marketing dari salah satu kampus ternama berakreditasi A. Lilie mempunyai pengalaman kerja dan rekam karir yang mengangumkan, dan Ian akui, sosok Lilie memang tipe idaman untuk kebanyakan laki-laki.

“Gar, ketemu nih akun IG-nya Lilie,” celetuk Ian yang langsung memperlihatkan pada Edgar hasil temuannya.

“Mana?” Edgar langsung melihatnya dan ingin me-follow akun tersebut.

“Eh, lu mau langsung follow? Pake first account gitu?” tanya Ian.

“Iya. Emang ngapa?”

“Ya nggak papa sih. Terserah lu deh,” ujar Ian akhirnya.

“Gue serius suka sama Lilie, jadi langsung pake first account aja. Masa pake akun bodong atau second sih, nggak gentle lah,” ucap Edgar.

Ian pun berpikir dan lantas membenarkan apa yang dikatakan oleh Edgar. “Mantep bener dah temen gue,” celetuk Ian sembari memamerkan senyum bangganya.

“Iyalah. Bangga kan lu punya temen kayak gue,” balas Edgar.

Setelah beberapa jam mereka mencari tentang Lilie, Edgar dan Ian akhirnya menyudahi pekerjaan mereka. Tidak banyak yang bisa ditemukan, mereka cukup sulit mendapatkannya karena Lilie merupakan orang yang lumayan tertutup. Lilie hanya memiliki akun Instagram dan Linked In. Di Instagram Lilie, tidak banyak yang dapat dikulik. Kehidupan Lilie hanya seputar pekerjaan, tidak ada tentang asmara yang dapat dijadikan sebagai bahan riset. Padahal Edgar membutuhkan informasi itu. Tidak mungkin kan, Edgar maju mendekati Lilie kalau ternyata perempuan itu sudah memiliki kekasih atau bahkan parahnya telah bersuami?

“Yan, masalahnya gap umur gue sama Lilie lumayan jauh, anjir. Kalau Lilie udah punya suami gimana,” ujar Edgar.

“Yaa bisa aja sih Lilie udah punya suami. Secara umurnya udah mateng juga, kan. Nggak mesti semua orang publish kehidupan percintaan mereka di sosial media. Kayaknya nih Lilie tipe yang diem-diem udah punya doi dah,” Ian pun mengungkapkan asumsinya.

“Yah anjir lu. Malah bikin gue down,” ucap Edgar.

“Yee, kamerin aja lu semangat banget. Baru gini udah down. Lu tuh belum nyoba, tapi udah nyerah duluan. Gini aja, kita kan nggak dapet info soal statusnya Lilie, ya jalan satu-satunya lu harus nekat coba deketin Lilie dulu, lu ajak kenalan. Nggak ada salahnya, lagian lu gak tau kan kalau dia udah punya cowok atau suami.”

Menurut Ian, tidak ada yang salah jika Edgar mencoba mendekati Lilie lebih dulu, untuk saling mengenal saja paling tidak. Gap umur antara Edgar dan Lilie, menurut Ian bukanlah sebuah hambatan besar. Lilie berusia 26 tahun, sementara Edgar 21 tahun. Edgar dan Lilie, mereka masih sama-sama muda, pastilah Lilie juga masih memiliki jiwa muda yang sedang membara, sama seperti Edgar. Jadi itu bukanlah masalah serius yang harus dipikirkan. Lilie juga masih bergelut pada karirnya, hanya bedanya, Edgar baru akan memulai karirnya setelah lulus kuliah. Namun itu bukan hambatan berarti kalau menurut Ian.

“Oke. Gue bakal coba buat bisa kenalan sama Lilie,” putus Edgar akhirnya.

“Nah, gitu kek. Baru nih temen gue. Nggak ada salahnya buat nyoba Gar, lu gak tau hasilnya kalo lu gak nyoba,” ungkap Ian.

“Yan, lu dukung gue kan?”

Ian pun dengan cepat mengangguk. “Iya gue dukung lu. Gue pasti bantu kalau lu butuh bantuan.”

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Sebuah Tekad

Ini sudah 3 hari berlalu sejak seminar waktu itu, dan Edgar masih dapat terbayang sosok perempuan bernama Lilie Amara. Wajah cantiknya, cara perempuan itu berbicara, bahkan senyum kelewat manis bak dewinya. Meskipun pertemuan tersebut terjadi dalam waktu singkat, Edgar tahu bahwa ia menyukai Lilie. Edgar tertarik pada Lilie, hatinya memilih Lilie, bahkan jantungnya bisa berdebar kencang hanya dengan mengingat namanya.

Sore ini setelah semua kelasnya selesai, Edgar berniat tidak langsung pulang. Melainkan Edgar dengan semangat pergi ke tempat kost yang ditempati oleh Ian dan Rico. Kedua sahabatnya jelas harus segera tahu tentang Edgar yang menyukai Lilie dan mereka akan menjadi yang kedua mengetahuinya setelah Bundanya. Bundanya menjadi orang yang pertama tahu, karena begitulah, Edgar selalu menceritakan apa pun pada Bundanya.

Ian dan Rico selesai kelas lebih dulu, jadi mereka telah berada di kost ketika Edgar datang.

“Mana Gar rokok gue, kemarin ke bawa sama lu kan ya?” tanya Rico begitu Edgar datang.

“Ada di tas gue, lu ambil aja,” ujar Edgar sembari menyuruh Rico langsung membuka tasnya.

“Lu nggak nyebat?” tanya Rico pada Edgar begitu ia sudah menyalakan sebatang rokok dengan pemantik.

“Ntar dulu. Ada yang lebih penting dari nyebat. Ian ke mana?”

“Lagi beli makanan ke luar. Dia beli buat kita bertiga.”

“Emang apaan sih yang lebih penting?” tanya Rico yang penasaran.

“Penting pokoknya deh,” jawab Edgar.

Rico mengernyit, ia penasaran, tapi Edgar belum ingin memberitahunya. Katanya Edgar menunggu Ian datang biar mereka tahu bersama. Sialan, Edgar membuat Rico penasaran saja. Awas kalau sampai kurang penting. Namun kalau di pikir-pikir, selain soal keluarga, kuliah, dan percintaan, memangnya apa lagi yang penting bagi Edgar?

“Adek lu Manda udah punya cowok Gar?” tanya Rico.

“Ngapa lu nanyain adek gue?” Edgar menoleh pada Rico dan menatap sahabatnya itu penuh selidik.

“Yaa kalau Manda belum ada cowok, mau gue deketin dah,” Ian memperjelas maksudnya bertanya soal adik perempuan Edgar.

“Sialan, jangan adek gue. Kita temenan aja, gue nggak mau iparan sama lu.”

“Dih, sialan bener.”

Tidak lama kemudian, sekitar 15 menit berlalu, Ian kembali sembari membawa satu plastik berisi 3 bungkusan makanan.

Rico langsung menyerbunya karena ia sudah lapar juga, begitu pun dengan Ian. Namun Edgar terlihat tidak tertarik dengan makanan yang ada di depan matanya itu.

“Makan dulu, Gar,” ucap Ian yang melihat Edgar belum juga mengambil bungkusan miliknya dari plastik.

“Bentar dulu, Bray. Dengerin gue, kalian harus bantuin gue. Please, please,” ujar Edgar.

“Bantuin apa sih?” sahut Rico yang baru kembali mengambil sendok dari dapur.

“Nggak usah dibantuin kalau dia nggak mau makan. Udah gue beliin anjir lu,” ujar Ian.

“Iye iye,” ucap Edgar yang akhirnya menurut. Edgar lantas membuka bungkusan miliknya dan mulai menyuap makanan ke mulutnya.

Setelah beberapa suap Edgar menikmati makanannya lelaki itu bicara lagi. “Gue naksir cewek, anjir,” aku Edgar.

“Siape?” tanya Rico sambil menatap Edgar dengan mata yang membola.

“Jangan bilang—” ucapan Ian menggantung, ia menatap Edgar dengan matanya yang seketika membeliak.

“Lilie Amara?” tebak Ian dengan cepat.

“Hah?” cetus Rico dengan tampang begonya. Rico tampak terkejut, sampai makanan di mulutnya hampir saja menyembur. Pasalnya, ini adalah suatu momen yang langka. Edgar punya crush, wah mereka perlu potong tumpeng sepertinya.

“Iye,” aku Edgar membenarkan tebakan Ian. Tatapan Edgar tertuju pada makanannya, diaduk aduk makanan tersebut sampai hampir tidak berbentuk.

“Heh, jangan diaduk-aduk. Makan yang bener, njir. Bentar, bentar. Beneran lu suka sama Lilie Amara yang jadi pembicara di seminar kemarin?” ujar Ian bertubi-tubi.

“Iya, gue suka sama Lilie. Lilie Amara yang kemarin jadi pembicara di seminar Digital Marketing Social Media,” Edgar pun memperjelas pernyataannya barusan.

“Ini Lilie yang mana sih anjir?” ditengah-tengah Edgar dan Ian, Rico masih kebingungan karena kemarin ia tidak ikut seminar. Rico pun hanya mendapat angin lalu dari kedua sahabatnya. Edgar sudah tak lagi lanjut makan, napsu makannya sukses menghilang entah ke mana.

Please, bantuin gue buat ngedeketin Lilie,” ucap Edgar dengan tatapan penuh harapnya.

Ian masih diam, apalagi Rico. Di sini Rico sebal karena ia tidak tahu menahu soal Lilie Amara dibicarakan oleh dua sahabatnya itu.

“Lu kalo mau deketin orang, harus tau dulu seenggaknya sedikit tentang dia. Lu udah cari tau?” ujar Ian akhirnya.

“Gue udah cari tau, tapi nggak nemu banyak. Susah banget nyari info tentang Lilie. Lu mau nggak Yan bantuin gue?” ujar Edgar.

“Iye, nanti gue bantuin. Makan dulu makanan lo, abisin,” tutur Ian. Ian tahu jika ia tidak mengiyakan ucapan Edgar, sahabatnya itu akan terus gigih meminta bantuan padanya. Tanpa diminta pun, Ian pasti akan membantu Edgar.

Mau tak mau akhirnya Edgar menurut meski rasanya terpaksa. Untuk kali ini, Edgar tidak bernapsu terhadap makanan, tapi ia harus makan. Di pikirannya hanya ada Lilie, Lilie, dan Lilie saja. Ian dan Rico pun hanya bisa berdecak keheranan melihat tingkah sahabat mereka. Seorang bernama Lilie Amara telah sukses membuat sahabat mereka berubah 180 derajat hanya karena cinta. Edgar yang biasanya lempeng saja untuk urusan cinta, kini bertekad berusaha untuk mendapatkan seorang perempuan dengan tekad yang terlihat tidak main-main. Congratulations to Lilie. You made it, girl.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Video mini drama yang diperankan oleh Edgar dan Chaca, dalam waktu cepat menjadi viral di kalangan mahasiswa di fakultas mereka. Itu karena ulah Rico dan Ian yang menyebar video tersebut di grup jurusan. Bukan hanya itu, dosen mata kuliah Komunikasi Pemasaran Digital IMC, beliau puas sekali dengan hasil kerja kelompok Edgar. Maka Mbak Ayu menjadikan video tersebut sebagai contoh dan bahan ajar yang lantas dipertontonkan di beberapa kelas.

Meski harus menjadi perbincangan hangat orang-orang, Edgar akhirnya tidak terlalu mempermasalahkan itu. Toh dirinya dapat nilai paling bagus di antara teman-temannya. Meskipun ini tugas kelompok, dosen mereka memberi nilai secara individu juga, jadi ada dua nilai. Edgar sukses membuat eksekusinya menjadi sebuah hiburan menarik yang sangat entertaining ketika disaksikan. Bukan hanya menghibur rupanya, tapi pesan videonya juga sampai ke audiens. Jadi dua komponen tersebut yang akhirnya membuat kelompok mereka mendapatkan nilai yang tinggi.

“Bisa nggak sih gue nggak ikut seminar?” tanya Edgar pada Ian.

“Yaa nggak bisa lah. Udah ikut aja sih,” ucap Ian.

“Pengen balik gue. Malu banget, sial,” ucap Edgar. Pasalnya kini setiap Edgar melangkah, banyak yang mengenalinya sebagai Edgar di video itu dan menahan senyum ketika melihatnya. Mereka pasti masih terbayang-bayang akting Edgar dan Chaca di mini drama itu. Edgar rasanya ingin pulang saja setelah kelas dan mangkir dari seminar.

“Malu ngapa sih? Mereka tanggapannya positif kok. Pada muji akting lu. Katanya humornya dapet, terharunya juga dapet. Lagian nih ya, seminarnya dapet sertifikat. Terus ada absen juga, lu mau absen lu bolong?” papar Ian.

“Gue titip absen aja lah ke lu,” ucap Edgar.

“Yee, jangan gitu lah Bray. Besok gue sama Rico traktir lu deh sebagai permintaan maaf, maafin kita ye,” ujar Ian dengan nada merasa bersalah.

Akhirnya Edgar pun setuju. Ia tidak jadi pulang dan memutuskan untuk ikut ke acara seminar yang diadakan oleh fakultasnya. Setelah kelas terakhir di hari itu, Edgar dan Ian pun langsung menuju auditorium milik fakultas mereka.

Terdapat beberapa pembicara dari perusahaan ternama yang mengisi acara seminar tersebut. Jadi seluruh mahasiswa diwajibkan untuk hadir. Edgar dan Ian datang agak terlambat, jadi mereka dapat kursi di deretan belakang. Edgar hampir tertidur begitu seminar sudah berlangsung selama 1 jam. Ian pun membangunkan Edgar. Katanya ada yang menyegarkan mata di depan, jadi Edgar harus membuka matanya.

“Lu liat dulu itu, anjir. Cantik banget alig pembicaranya,” bisik Ian yang duduk di samping Edgar.

Edgar masih mengucek matanya, lelaki itu berusaha menghilangkan kantuknya meski cukup sulit. Benar saja, waktu Edgar berhasil membuka mata, suasana aula sudah ramai berkat antusias teman-temannya, terutama para cowok. Terang saja, ada seorang perempuan muda nan cantik yang menjadi salah satu pembicara di sana dan sukses menarik perhatian massa. Banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan dan terlihat sangat antusisas. Jelas saja, pertanyaan mereka akan dijawab oleh sang gadis yang memiliki wajah bak dewi Aphrodite yang dikenal sebagai dewi kecantikan.

Seminar tersebut sayangnya terbagi menjadi dua sesi. Belum lama Edgar melihat sosok itu, jam istirahat harus memotong seminar tersebut. Acara akan dilanjutkan 30 menit lagi setelah waktu istirahat makan siang.

“Gar, ayo cari makan dulu. Laper banget nih,” ujar Ian. Mereka masih di area auditorium, beberapa mahasiswa tampak sudah berhamburan dari aula audit karena ingin mencari makan siang.

“Lu aja deh. Nggak laper gue. Gue mau tunggu di sini aja sampe sesi dua,” ucap Edgar.

“Lah, dasar bocah aneh.” Kali ini Ian idak peduli pada sahabatnya yang agak aneh itu. Urusan perut lebih penting nampaknya. Namun pada akhirnya Ian tetap membelikan Edgar makanan dan membawakannya untuk lelaki itu.

***

Pada saat sesi 2 dimulai, Edgar mengajak Ian untuk duduk di deretan kursi paling depan. Edgar telah menghabiskan makanan yang dibelikan Ian dengan secepat kilat. Ian pun keheranan mendapati tingkah sahabatnya itu. Namun ia hanya mengikuti saja, setelah ini mungkin ia akan menemukan alasan mengapa Edgar sangat bersemangat untuk seminar ini.

Di panggung di hadapan Edgar, matanya tertuju lurus pada sosok perempuan yang sedang menjadi pembicara. Materi masih dilanjutkan dari sesi 1 lagi yakni mengenai efektivitas promosi brand di ranah sosial media.

“Yan, ada sesi QnA kedua nggak sih habis ini?” bisik Edgar kepada Ian yang duduk di sampingnya.

“Kayaknya ada deh. Kenapa emangnya?”

“Gue mau ajuin pertanyaan. Tadi pas sesi 1 gue tidur lagi, jadi gue nggak denger materinya. Lu dengerin nggak? Bantuin gue bikin pertanyaan dong,” pinta Edgar. Wajahnya memohon, jadi akhirnya Ian setuju untuk membantu Edgar. Di dalam kepala Ian, ia menerka banyak kemungkinan akan sikap sahabatnya itu. Edgar itu sulit ditebak tingkahnya. Bahkan Ian yang sudah lama mengenal Edgar saja kadang masih tidak bisa membaca pikiran lelaki itu.

Usai Ian membuat pertanyaan dan menuliskannya di selembar kertas, ia lekas memberikannya pada Edgar. “Thanks, Bro. Lu emang sahabat terbaik gue deh,” ucap Edgar sambil terkekeh. Edgar pun langsung menghafalkan pertanyaan itu supaya nampak natural ketika bertanya dan tidak perlu membawa contekan.

Begitu tiba sesi QnA dimulai, dengan cepat Edgar mengangkat tangannya. Rupanya banyak juga yang mengajukan pertanyaan. Namun karena Edgar duduk di barisan paling depan dan tim panitia melihatnya paling cepat mengangkat tangan, jadilah Edgar dipersilakan untuk memberi pertanyaan.

Sampai 2 kali, Edgar mengajukan pertanyaan setelah menyebutkan nama dan asal jurusannya. Ian pun memperhatikan Edgar, lelaki itu terlihat sangat berambisi. Kedua pertanyaan Edgar dijawab dengan lugas oleh Lilie Amara, perempuan yang menjadi pembicara di sana.

“Semoga jawaban saya untuk dua pertanyaan barusan, dapat dipahami dan memberi wawasan baru kepada teman-teman, ya. Terima kasih,” ujar Lilie Amara setelah memberi jawaban dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Edgar. Lilie telah menjawabnya dengan lugas dan cukup bisa dimengerti.

Selama perempuan itu berbicara di depan, semua mata fokus tertuju padanya. Itu bukan hanya karena kecantikan wajahnya, tapi sosoknya sebagai perempuan yang tampak cerdas dan berwibawa, sukses membuat terpana seluruh orang yang ada di aula itu. Jelas saja, siapa sih yang tidak terpikat dengan eksistensi perempuan seperti Lilie.

Edgar sendiri, lelaki itu juga ikut terpesona pada sosok Lilie Amara. Baru kali ini dalam hidupnya, Edgar ia memiliki ambisi yang besar. Edgar berambisi untuk mendapatkan Lilie. Edgar merasa bahwa ia telah menyukai Lilie. Edgar ingin mengenal Lilie dan berusaha untuk mendapatkan hatinya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Edgar Si Jenius

Motor Edgar

Edgar outfit

Edgar baru saja memarkirkan motornya di pelataran parkir. Usai melepas helmnya meletakkannya dengan baik, lelaki itu berjalan santai menuju gedung fakultasnya. Beberapa orang yang berpapasan dengan Edgar, disapa olehnya dan ada juga yang menyapanya terlebih dulu.

“Pagi, Pak Hardi,” sapa Edgar pada petugas keamanan yang berjaga di depan gedung.

“Wih tumben Mas Edgar, pagi banget datengnya,” ujar Pak Hardi tampak heran.

“Hari ini kelas pertama saya Miss Jessica nih Pak. Nggak boleh sampe telat,” balas Edgar. “Miss Jessica galak soalnya, Pak,” timpalnya dengan nada bergurau.

Usai berlalu dari hadapan Pak Hardi, Edgar melangkah menuju lift untuk naik ke lantai 5. Saat di dalam lift, Edgar bertemu sosok perempuan dari jurusan lain yang dikenalnya. Jelas, perempuan itu merupakan gebetan sahabatnya. Edgar lekas menyapa perempuan tersebut dengan ramah.

“Hai, Aluna. Kok nggak berangkat bareng Elian? Biasanya bareng,” ujar Edgar.

Perempuan yang bernama Aluna itu seketika menoleh pada Edgar dan rupanya Edgar tidak mendapat respon yang baik. “Jangan tanya soal Ian ke gue,” ucap Aluna.

“Loh, kenapa? Bukannya lo sama Ian lagi deket ya?” Edgar tampak keheranan. Aluna turun lebih dulu di lantai 4 dan rupanya Edgar menyusulnya, padahal tujuan lelaki itu adalah lantai 5.

“Al, tunggu. Lo sama Ian kenapa deh?” Edgar menahan langkah Aluna, membuat gadis berambut coklat panjang itu berbalik padanya.

“Lo tanya aja sama sahabat lo. Gue mau masuk kelas,” tukas Aluna yang langsung kembali berbalik meninggalkan Edgar.

“Yee,” ucap Edgar otomatis. Edgar keheranan, pasalnya baru kemarin Ian dan Aluna jalan berdua dan hubungan keduanya nampak baik-baik saja. Namun keadaannya sekarang jelas jauh berbeda, padahal setahu Edgar, Ian belum confess ke Aluna.

Edgar akan kembali meniki lift untuk ke sampai ke lantai 5. Ketika pintu lift terbuka, di sana ia bertemu dengan Rico dan Elian. Iya, lelaki beranama Elian yang dipanggil Ian adalah sahabatnya yang hubungannya baru saja kandas dengan Aluna.

Di dalam lift, Edgar lekas bertanya pada Ian. “Lu sama Aluna kenapa dah? Dia sewot pas gue tanya tentang lu, terus ketus banget lagi sama gue,” ujar Edgar.

“Dia minta gue buat jauhin dia. Gue sama dia udah selesai,” ujar Ian menjawab pertanyaan Edgar.

“Gar, liat nih sahabat lu. Mana ada orang putus cinta tapi kagak ada sedih-sedihnya. Emang ye lu berdua tuh udah kayak anak kembar, sama-sama lempeng,” ujar Rico kemudian.

“Lah beneran putus? Lu kan belum jadian, gimana bisa?” Edgar kembali bertanya ketika mereka sudah sampai di lantai 5.

Edgar, Ian, dan Rico ada kelas bareng pagi ini. Saat mereka sampai di kelas, suasananya masih cukup sepi. Hanya ada beberapa anak di sana, dan Edgar bangga karena kali ini ia datang lebih awal dari biasanya.

“Aluna minta udahan karena Ian lebih nempel sama lo dari pada dia. Katanya, apa-apa Edgar, apa-apa Edgar. Sebenernya kamu tuh sukanya sama akua apa sama Edgar sih, gitu deh katanya,” cerocos Rico yang menceritakan detail kandasnya hubungan Ian dengan Aluna.

“Lah, kok salah gue?” celetuk Edgar.

“Bukan salah lo, Cuy. Aluna juga nggak bisa ngertiin gue. Kalau dia emang suka sama gue, ya dia harus terima temen-temen gue juga. Padahal gue perhatian sama dia dan coba selalu ada buat dia, tapi dia masih aja cemburu sama lo,” papar Ian.

“Ohh jadi karena itu. Pantesan dia sensi banget sama gue tadi,” ujar Edgar.

“Dahlah, nggak usah dipikirin. Cewek banyak, masih bisa dicari. Kalau temen yang kayak lo berdua nih susah dicarinya, mana bisa gue kehilangan kalian. Langka lagi,” tambah Ian lagi.

“Dih najis, geli gua,” ujar Rico.

“Gua heran banget ya sama lu berdua. Lu juga Gar, kenapa betah banget jadi jomblo sih? Yang mau sama lo banyak, kan? Punya tampang kagak dimanfaatin, aneh banget,” cerocos Rico.

“Ah lu mah kayak nggak tau Edgar aja. Kalau dianya gak suka, ya gak bakal jadi. Yang mau sama temen lu tuh banyak, tapi dianya gak tertarik,” jelas Ian.

Edgar hanya mengangguk-angguk setuju akan ucapan Ian. Yang dikatakan Ian itu, memang benar adanya. Jangankan untuk urusan percintaan, untuk kuliah saja, Edgar tidak terlalu berambisi.

Edgar agaknya cuek jika menyangkut soal asmara. Selama belum ada yang benar-benar menarik perhatiannya dan bisa membuatnya jatuh cinta, Edgar yaa Edgar, lelaki yang bersikap sangat lempeng dan tidak terburu-buru untuk menjalin hubungan. Ian pun jadi kebawa Edgar yang terlalu santai dalam menghadapi kehidupan. Kerap kali ada cewek yang dekat dengan Ian, tapi hubungannya tidak bertahan lama. Itu karena Ian lebih sering nempel dengan Edgar, menghabiskan waktu dengan sahabatnya. Jadi gebetan maupun kekasihnya Ian merasa bahwa Edgar lebih penting bagi Ian.

***

Tahun ini merupakan tahun pertama Edgar memasuki semester 7 perkuliahannya. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, pulang larut karena mengerjakan tugas sudah menjadi makanan sehari-hari.

Hari ini Edgar dan Ian akan pulang malam lagi, sepertinya. Ada tugas kelompok yang belum sepenuhnya selesai, bahkan sepertinya belum ada setengah dikerjakan. Sementara besok mereka sudah harus presentasi di depan dua dosen sekaligus. Ada dosen dari kampus dan dosen dari luar kampus yang berasal dari kampus luar negeri. Maka ini nampaknya jadi project yang cukup besar, dan pasti penilaiannya akan lebih ketat juga.

Edgar dan Ian satu kelompok. Kali ini Edgar terlihat cukup ambisius untuk project mereka. Padahal teman-temannya yang lain cukup santai dan mengatakan jika ini bukan ujian, jadi mereka tidak perlu seniat itu mengerjakannya.

“Kost siapa yang bisa dipake buat shooting? Gue ada ide nih buat eksekusinya,” Edgar bertanya pada teman-teman sekelompoknya. Mereka sedang berdiskusi untuk membuat output promotion digital campaign yang menjadi bahan utama untuk tugas kali ini. Namun mereka belum menemukan ide yang dirasa cukup bagus dan sesuai dengan tema yang diusung.

“Lu ada ide apaan dah? Kita harus shooting gitu?” tanya Reval.

“Iya. Gue udah kirim storyline-nya ke Chaca kemarin. Cha, lu udah liat kan? Coba gimana menurut lu gimana ide gue?” tanya Edgar pada Chacha, satu-satunya perempuan di kelompok mereka.

Chaca akhirnya angkat bicara. “Idenya Edgar oke juga sih, gue udah baca, dan kayaknya bisa kita pake. Gue ngulik dari kelompok lain, mereka belum ada yang bikin ide kayak kita. Kalau kita bisa bikin ekseskuisnya bagus, ide ini bakal pecah banget deh kayaknya.”

“Coba gue mau liat storyline-nya, Cha,” ujar Ian yang lantas menerima beberapa lembar kertas yang telah di print oleh Chaca.

Ian yang tidak lama selesai membaca storyline yang ditulis Edgar, langsung berkomentar, “Eh, ini oke sih. Bagus nih. Sekarang kan cara marketing makin beragam, nah ide Edgar ini tuh fresh banget, nggak monoton gitu.”

“Yoi,” ujar Edgar sambil cengegesan. Edgar bangga pada dirinya, dipikir-pikir ia cukup jenius juga.

“Oke. Jadinya nih kitaa bikin mini drama untuk output promotion campaign marketing kita. Pesannya bakal lebih mudah dipahamin kalau dibikin cerita dan lebih nyampe sih,” ujar Geri.

“Cha, kita shooting di kost lu aja ya. Pas banget juga, lu yang jadi ibu hamilnya, Cha. Untung kelompok kita ada cewenya,” ujar Ian kemudian.

“Lah, kok gue? Yah, gue nggak bisa akting. Apalagi nanti videonya dipresentasiin kan. Malu anjir,” cetus Chaca dengan cepat.

“Yaa kali Cha gue yang hamil,” ujar Geri.

“Ini promotion-nya kan kita bawa isu baby blues untuk produk susu sapi yang sasaran market-nya itu keluarga. Nah terus di storyline Edgar ceritain dari masa hamil sampe si ibu melahirkan. Cuma 1-2 menit kok durasinya, udah lah tebel muka aja. Udah ya Cha, lo jadi ibu hamilnya, terus Edgar jadi suami lo,” Reval yang pada akhirnya memutuskannya.

“Lah, anjing. Kenapa jadi gue?” cetus Edgar dengan cepat, tampak tidak setuju dengan keputusan Reval.

“Iya lah, kan ini ide lu Gar. Lu lah yang jadi suaminya Chaca,” timpal Ian yang disetujui juga dengan cepat oleh Geri.

Kemudian semua orang di sana tertawa terbahak karena ekspresi Edgar yang kelewat memelas dan masih saja ogah-ogahan untuk menerima peran tersebut. Ditambah Chaca juga tampak enggan, tapi mau gak mau gadis itu tetap harus melakukannya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Bagi seorang Edgar Archie Zachary, rasanya tidak ada definisi istimewa di dalam hidupnya. Istimewa atau spesial adalah sesuatu yang tidak biasa, berarti, dan berharga. Edgar merasa tidak ada yang spesial pada hidupnya. Keluarganya jelas berarti untukya, tapi ini bukan soal itu. Ini tentang diri Edgar sendiri. Di usianya yang tahun ini menginjak angka 21, Edgar merasa hidupnya berjalan biasa-biasa saja. Selayanya laki-laki seusianya pada umumnya, Edgar menjalani rutinitasnya dengan berkuliah, bersosialisasi, mengikuti kepanitiaan kampus, dan lain-lain. Terlihat normal dan semuanya tertata sesuai bagaimana mestinya, bukan?

Rasanya hidup Edgar lempeng-lempeng saja. Edgar hampir selalu terlihat santai dan cenderung tidak suka ambil pusing terhadap hal-hal yang menurutnya kurang penting. Moto hidup Edgar adalah, kalau ada yang mudah, maka jangan sampai dibuat sulit.

Di sebuah kamar dengan nuansa monokrom hitam dan putih, seorang Edgar pagi ini baru saja membuka kelopak matanya. Yang dilakukan lelaki itu pertama kali adalah mengecek ponsel untuk melihat pukul berapa saat ini. Oke, ia tidak akan terlambat kuliah hari ini. Edgar masih memiliki waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk bersantai dan mengumpulkan nyawanya.

Edgar's Room

Kedua mata Edgar yang masih terasa berat itu akhirnya kembali terpejam. Namun belum sempat dirinya lelap, sebuah ketukan di pintu kamar sukses memecah perjalanannya menuju alam mimpi.

“Edgar, ini Bunda,” ujar sebuah suara yang terdengar dari balik pintu.

“Iyaaa Bunda. Edgar udah bangun kok,” sahut Edgar dari dalam kamarnya.

“Buka dulu pintunya, Nak,” ujar suara itu lagi, terdengar untuk kedua kalinya memasuki indera pendengaran Edgar.

Edgar akhirnya beranjak dari ranjang empuknya, anak itu tidak akan enggan jika Bundanya yang sudah turun tangan.

Edgar berjalan dengan sedikit gontai dan agak oleng menuju pintu. Setelah membuka kunci pintu kamarnya, Edgar menemukan sosok Bundanya di sana.

“Abang, jangan mepet mulu berangkat kuliahnya. Jangan dibiasain kayak gitu, Bang. Dikit lagi yang lain udah pada siap di meja makan mau sarapan, kamu mah baru melek. Ayo cuci muka dulu, terus ikut sarapan bareng ya,” tutur Bundanya.

“Iya, Bunda. Edgar mandi dulu deh lima belas menit, terus langsung turun buat sarapan,” ucap Edgar dengan mata yang terpejam.

“Buka dulu matanya, Abang Edgar. Ya tuhan,” lagi, Bundanya berucap dengan nada keheranan melihat tingkah putra keduanya itu.

“Iya, Bundaku, Cintaku,” Edgar berucap dengan nada sok manis diiringi sebuah senyum lebar khasnya. Sebelum Bundanya berlalu dari hadapannya, dengan cepat Edgar memberi ciuman di pipi wanita yang dicintainya itu. Kemudian Bundanya mengulaskan sebuah senyum. Meski putranya itu tampak lempeng dan cenderung santai menanggapi hampir segala hal, tapi yang tidak pernah terlupakan dari Edgar adalah caranya menunjukkan kasih sayang kepada keluarganya. Itu berarti besar bagi Sienna, tentu saja.

I love you, Bunda,” ucap Edgar sebelum benar-benar menutup pintu dan meninggalkan Sienna di sana.

***

Di meja makan di kediaman keluarga Zachary, pagi ini terlihat para anggota keluarga sudah berkumpul. Ada sang Papa yang duduk di kursi paling ujung meja dan di sampingnya ada Bundanya. Kemudian ada si sulung yang merupakan Abangnya Edgar, dan perempuan yang merupakan si bungsu yang merupakan adiknya Edgar.

Edgar merupakan anak kedua dari tiga bersaudara di keluarganya. Edgar memiliki seorang Abang dan Adik. Mereka bertiga dibesarkan di keluarga yang penuh dengan kasing sayang dan sangat harmonis. Papa dan Bundanya adalah figur yang selalu menjadi inspirasi bagi Edgar. Papa dan Bundanya itu merupakan sosok yang pekerja keras, penyayang, dan memiliki rasa simpati tinggi kepada orang-orang di sekitar mereka. Abangnya adalah sosok yang berwibawa dan sangat mengayomi. Adiknya merupakan sosok yang sangat lembut dan perhatian terhadapnya, meski kadang suka menjahilinya. Edgar bahagia dengan kehidupannya, dan rasanya, tidak ada beban berarti di hidup Edgar.

Edgar jadi yang paling terakhir bergabung di ruang makan, ia menarik kursi di samping adik perempuannya dan segera mendaratkan pantatnya di sana.

“Kamu kuliah jam berapa Bang?” tanya sang Papa sambil menatap ke arah Edgar.

“Jam 8 nih Pah,” jawab Edgar, lalu ia mengambil piring dan mengisinya dengan menu sarapan yang tersaji di meja.

“Beneran? Kok jam segini udah siap aja? Tumben banget,” Papanya berujar lagi sambil melirik arloji di pergelangan tangan, dan menemukan bahwa sekarang waktu baru menunjukkan pukul 7 kurang 15 menit.

“Bagus dong, Pah. Artinya, pelan-pelan ada perubahan baik. Abang Edgar berusaha nggak mepet lagi kalau berangkat kuliah,” ucap Bundanya yang lantas mengarahkan tatapannya pada Edgar sambil mengulaskan sebuah senyum lembut.

Edgar lantas ikut menorehkan senyumnya. Edgar tampak senang pagi ini, ternyata bangun lebih pagi dan bersiap lebih cepat membuat mood-nya juga terasa lebih baik.

“Tumben Abang bisa bangun. Bunda pasti yang bangunin Abang. Kalau enggak, mana bisa tuh Abang bangun pagi,” celetuk Amanda si bungsu.

Edgar seketika menoleh pada adiknya, “Bocil diem deh,” ucap Edgar sembari mengacak rambut Amanda yang telah tampak rapi. Amanda terlihat kesal dengan aksi kakaknya, tapi setelah itu Edgar langsung meminta maaf dan merapikan kembali tatanan rambut adiknya.

“Bang Edgar sih belum punya cewek, jadi masih dibangunin sama Bunda,” kini giliran Papanya yang justru meledek Edgar. Amanda yang mendengar celetukan itu sukses tertawa dan memang kompak sekali dengan Papanya kalau soal urusan menjahili Edgar.

“Dari pada Bang Gio, ceweknya banyak. Edgar mah mau setia sama satu cewek aja nanti,” ucap Edgar dengan nada santai dan wajah lempeng khasnya. Edgar memang bukan tipe yang akan mudah tersinggung, apalagi dengan ucapan keluarganya sendiri. Beberapa kali orang-orang di sekitarnya juga kerap menyindirnya soal statusnya yang belum memiliki kekasih, tapi Edgar tetaplah Edgar yang teguh pada pendiriannya. Jika ia belum menjalin hubungan, maka artinya ia belum ingin dan belum ada sosok yang begitu diinginkannya untuk bersama menjalin asmara.

“Mana ada cewe Abang banyak, itu mah cuma gosip, Gar,” Gio angkat suara menanggapi ucapan Edgar.

“Resiko jadi artis ya gitu Bang, terima lah. Bukannya gosip malah bikin nama artis jadi makin naik ya?” balas Edgar.

“Ya nggak gitu juga. Tetep aja, jadi bahan gosip itu nggak enak lho,” tutur Gio.

“Terus enaknya jadi artis tuh apaan sih Bang?” Edgar bertanya karena ia penasaran. Pasalnya, Abangnya itu sudah menjadi artis sejak usianya menginjak 12 tahun, dan menurut Edgar itu adalah usia yang sangat muda. Hingga kini usia Gio menginjak 29 tahun, namanya telah cukup besar dan dikenal di dunia entertain. Jika dihitung, hampir setengah umur dari Abangnya, sudah digunakan untuk bekerja menjadi seorang artis. Edgar kagum dengan itu, tapi kadang juga heran karena menurutnya menjadi seorang artis itu tidaklah gampang.

“Enaknya jadi artis tuh bisa punya duit sendiri, gajinya lumayan gede juga,” ujar Gio sambil sedikit tertawa.

“Abang Edgar, semua pekerjaan itu pasti ada enak dan enggaknya, lho,” tutur Sienna menjelaskan pada putranya. Maksudnya adalah, setiap pekerjaaan di dunia ini, pasti ada sisi enaknya dan juga kurang enak. Jadi, sebenarnya semua pekerjaan itu sama saja, tinggal gimana kita mengaturnya agar tetap nyaman ketika bekerja.

“Nah, bener tuh kata Bunda. Selama kamu tekun dan cinta sama pekerjaan kamu, kamu bakal bisa nikmatin dan nggak kerasa itu jadi beban. Kalau kamu capek tapi kamu bahagia jalaninnya, berarti kamu ada di jalan yang tepat,” timpal Papanya.

“Kalau Bang Edgar, kenapa nggak mau jadi artis juga kaya Papa sama Bang Gio?” celetuk Amanda sambil menoleh kepada Edgar.

Ucapan Amanda itu lekas membuat semua pasang mata di sana menatap ke arah Edgar. Edgar terdiam sebentar, ia sebenarnya tidak punya alasan pasti, hanya saja ia tidak menginginkannya. Sederhananya, Edgar hanya melakukan apa yang dikehendaki oleh hatinya.

“Nggak mau aja, nggak punya alasan tertentu sih buat nolak. Edgar cuma ikutin kata hati,” ucap Edgar diiringi senyuman khasnya. Seperti yang sudah-sudah, jawaban Edgar tetap sama jika ditanya soal hal tersebut.

Edgar memiliki wajah tampan yang menarik untuk dipandang. Jadi wajar saja banyak film maker maupun produser yang menawarinya atau bahkan sampai membujuknya untuk menjadi publik figur. Paras Edgar itu sekali dengan Bundanya, sedikit mirip Papanya juga dan ia mendapatkan ketampanan juga dari sang Papa. Papanya merupakan aktor senior dan Abangnya merupakan aktor serta model yang namanya sudah cukup dikenal di kancah dunia hiburan.

Sejak usia remaja, Edgar banyak mendapat tawaran untuk mengikuti jejak karir Papa dan Abangnya, tapi kembali lagi, lelaki itu konsisten menolak. Edgar rupanya lebih memilih hidup menjadi orang biasa, katanya, ia tidak ingin terkenal dan disoroti oleh kamera. Menurut Edgar, hidup menjadi selebriti itu sulit dan cukup merepotkan. Edgar ingin hidupnya lempeng-lempeng saja, mulus, dan tanpa rintangan yang berarti. Soal kuliah, Edgar juga tidak terlalu berambisi. Asalkan ia bisa lulus tepat waktu, ia sudah bersyukur. Bagi Edgar hidup ini hanya sekali, jadi ia perlu menikmatinya dengan baik.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Hari ini akhirnya tiba, Edgar akan datang ke kantor Lilie untuk melakukan interview. Lilie yang menjabat sebagai Social Media Manager merupakan user yang nantinya akan membimbing dan menjadi mentornya jika Edgar keterima magang di perusahaan itu.

Edgar telah sampai di gedung yang diberitahu Lilie melalui chat kemarin. Edgar pergi ke receptionist terlebih dulu untuk menukar KTP-nya dengan card untuk akses masuk ke gedung. Setelah mendapat kartu akses, Edgar menaiki lift untuk sampai ke lantai 22.

Sesampainya Edgar di lantai 22, ia bertemu seseorang di meja tamu. “Permisi Mbak, saya sudah ada janji dengan Kak Lilie untuk interview,” ucap Edgar pada perempuan di hadapannya itu.

“Oh iya, silakan. Saya antar ke ruangannya Kak Lilie,” ucap perempuan itu yang lantas menyuruh Edgar mengikuti langkahnya.

Edgar mengangguk dan segera mengikuti langkah perempuan tersebut. Mereka melewati lorong yang di kanan dan kirinya terdapat ruangan-ruangan.

Begitu langkah Edgar berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu yang bertuliskan ‘Social Media Manager’, perempuan yang tadi mengantarnya pun pamit berlalu dan menyuruhnya untuk langsung masuk.

Sebelum meraih kenop pintu, Edgar terlebih dulu memanjatkan doa dalam hatinya dan juga berusaha mengatur degup jantungnya yang tiba-tiba menjadi tidak normal.

Rasanya saking gugupnya, Edgar ingin lari dari sini. Namun tidak mungkin juga ia menyia-nyiakan kesempatan yang telah datang padanya.

Cklek!

Edgar akhirnya meraih knop pintu dan membukanya. Seketika kedua netranya langsung bersitatap dengan sosok perempuan yang tengah duduk di kursi di balik mejanya.

Lilie adalah perempuan yang langsung menorehkan senyum tipisnya kepada Edgar dan mempersilakan Edgar untuk duduk di kursi di depannya.

Edgar balas mengulaskan senyum tipisnya, lalu ia menarik kursi dan segera duduk di sana. Lilie terlihat ramah sekali menyambut kehadiran Edgar di sana. Edgar berusaha menatap mata Lilie, meski itu terasa sulit, tapi akan aneh dan terkesan tidak sopan kalau ia melihat ke arah lain.

“Hari ini kita interview-nya santai aja ya. Saya sudah mempelajari CV kamu, jadi mungkin cuma mau nanya beberapa hal,” ucap Lilie sambil satu tangannya mengambil sebuah amplop coklat dari laci mejanya.

Lilie melihat-lihat kembali lembaran CV dan portofolio milik Edgar yang telah ia print. Kemudian pandangan Lilie tertuju lurus pada Edgar sebelum mengajukan pertanyaan pertama. “Untuk kamu sendiri, dari perusahaan ini apa yang kamu harap bisa kamu dapatkan kalau diberi kesempatan internship di sini?”

Edgar berdeham sekali, sebelum akhirnya ia menjawab dengan cukup lugas. “Begini, Kak. Untuk saya sendiri, saya berharap nantinya kalau diberi kesempatan, perusahaan ini dapat membuka jenjang karir untuk saya yang lebih luas lagi. Tentunya saya juga ingin berkontribusi terlebih dahulu untuk perusahaan sebelum mendapat kesempatan tersebut.”

“Oke,” Lilie mengangguk sekali setelah mendengar jawaban Edgar. Kemudian Lilie mengajukan dua pertanyaan lagi kepada Edgar, itu mengenai hal-hal yang menyangkut cara Edgar dalam memecahkan suatu masalah. Lilie mengajukan pertanyaan tersebut dengan harapan dapat melihat pandangan calon intern-nya ketika dihadapkan pada situasi harus berpikir cepat dan kritis guna menangani masalah, tentunya yang terkait dengan urusan pekerjaan.

“Oke, terima kasih ya Edgar sudah datang untuk interview. Mungkin terakhir nih, kamu ada yang ingin ditanyakan kepada saya? Kalau ada, silakan ditanya ya,” ujar Lilie.

“Ada Kak. Tapi ini bukan pertanyaan. Apa boleh?”

Lilei sempat terdiam selama 2 detik, ia menatap lurus tepat ke manik mata Edgar. Kemudian Lilie mempersilakan Edgar untuk menyampaikannya.

“Sebenernya Kak, saya mau jujur tentang sesuatu,” ucap Edgar.

“Oke, boleh. Silakan,” ucap Lilie akhirnya.

Edgar lantas jujur soal dirinya yang mengirim pesan melalui DM Instagram kepada Lilie. Itu adalah di mana saat Edgar menyapa Lilie dan dibalas oleh Lilie. Percakapan tersebut berakhir setelah Lilie mengirim foto seorang pria bersama seorang anak. Edgar mengatakan pasti kelakuannya waktu itu membuat Lilie tidak nyaman, jadi ia perlu meminta maaf secara langsung pada perempuan itu.

“Kak Lilie, saya minta maaf untuk kejadian itu. Saya ingin jujur, karena berharap ke depannya kalau Kakak memberi saya kesempatan magang di sini, nggak ada yang ditutup tutupi antara kita,” terang Edgar.

Lilie tampak tidak terkejut sama sekali, bahkan ekspresi wajahnya terkesan lempeng saja, sampai Edgar tidak tahu apa yang ada di pikiran perempuan itu.

“Edgar, sebenarnya saya sudah tahu soal itu,” ucap Lilie akhirnya.

Edgar tampak sedikit tertegun, tapi Lilie kemudian malah menorehkan sebuah senyum tipis. “Saya adalah calon user kamu, dan sama seperti intern sebelum-sebelumnya, saya akan mencari tahu beberapa informasi tentang calon anak magang saya. Saya menghargai usaha kamu untuk jujur dan ngomong duluan sama saya sebelum saya membahasnya.”

Edgar sukses di buat kehilangan kata-katanya. Edgar masih diam selama beberapa detik, sampai akhirnya ia bicara lagi. “Kak Lilie, saya butuh banget internship di perusahaan ini untuk nilai magang saya,” ucap Edgar.

“Iya, saya paham itu. Saya akan bersikap profesional dan tidak melibatkan urusan pribadi, kok. Saya tertarik sama kamu karena kualifikasi kamu dan cara kamu menjawab pertanyaan yang saya ajukan tadi. Untuk hasilnya, nanti saya hubungi kamu secepatnya lewat WhatsApp ya,” terang Lilie.

Edgar pun akhirnya mengangguk. “Oke, Kak. Makasih banyak kalau gitu.”

“Sama-sama,” ucap Lilie.

Pertemuan Edgar dengan Lilie untuk interview tersebut pun berakhir demikian. Edgar memang telah berencana untuk jujur pada Lilie tentang apa yang terjadi sebelum mereka akhirnya bertemu dan Lilie mengenal Edgar sebagai calon anak magangnya. Bagi Edgar, tidak ada yang lebih penting dari sebuah kejujuran. Maka dari awal ketika ia akan mengenal Lilie, Edgar tidak ingin ada yang ditutup tutupi di antara mereka. Meskipun kenyataannya Lilie sudah tahu, menurut Edgar ia harus mengaku secara langsung sebagai bentuk tanggung jawabnya atas perbuatannya waktu itu.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Pentingnya Sebuah Kejujuran

Hari ini akhirnya tiba, hari di mana Edgar datang ke kantor Lilie untuk melakukan interview. Lilie yang menjabat sebagai Social Media Manager merupakan user yang nantinya akan membimbing dan menjadi mentor Edgar selama ia magang di perusahaan itu.

Edgar telah sampai di gedung yang diberitahu Lilie melalui chat kemarin. Edgar pergi ke receptionist terlebih dulu untuk menukar KTP nya dengan card untuk akses masuk ke gedung. Setelah mendapat kartu akses, Edgar menaiki lift untuk sampai ke lantai 22, di mana ia akan bertemu dengan Lilie.

Sesampainya Edgar di lantai 22, ia bertemu seseorang di meja tamu. “Permisi Mbak, saya sudah ada janji dengan Kak Lilie untuk interview,” ucap Edgar pada perempuan di hadapannya itu.

“Oh iya, silakan. Saya antar ke ruangannya Kak Lilie,” ucap perempuan itu.

Edgar mengangguk dan segera mengikuti langkah perempuan tersebut. Mereka melewati beberapa long yang di kanan dan kirinya terdapat ruangan kaca. Jadi Edgar dapat melihat kegiatan yang sedang terjadi di ruangan-ruangan itu, tapi tidak dapat mendengar suara yang berasal dari dalam.

Begitu langkah Edgar berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu yang bertuliskan ‘Social Media Manager’, perempuan yang tadi mengantarnya pun pamit berlalu dan menyuruhnya untuk langsung masuk.

Sebelum meraih kenop pintu, Edgar terlebih dulu memanjatkan doa dalam hatinya dan juga berusaha mengatur degup jantungnya yang tiba-tiba menjadi tidak normal.

Rasanya saking gugupnya, Edgar ingin lari dari sini, tapi tidak mungkin juga ia menyia-nyiakan kesempatan yang telah datang padanya.

Cklek!

Edgar akhirnya meraih knop pintu dan membukanya. Seketika kedua netranya langsung bersitatap dengan sosok perempuan yang tengah duduk di kursi di balik mejanya.

Lilie adalah perempuan yang langsung menorekan senyum tipisnya kepada Edgar dan mempersilakan Edgar untuk duduk di kursi di depannya.

Edgar balas mengulaskan senyum tipisnya, lalu ia menarik kursi dan duduk di sana. Lilie terlihat ramah sekali menyambut kehadiran Edgar di sana. Edgar berusaha menatap mata Lilie, meski itu sulit, tapi akan aneh dan terkesan tidak sopan kalau ia melihat ke arah lain.

“Hari ini kita interview-nya santai aja ya. Saya sudah mempelajari CV kamu, jadi mungkin cuma mau nanya beberapa hal,” ucap Lilie sambil satu tangannya mengambil sesuatu dari laci mejanya.

Lilie melihat-lihat kembali lembaran CV yang telah ia print tersebut. Kemudian pandangan Lilie tertuju lurus pada Edgar sebelum mengajukan pertanyaan pertama. “Untuk kamu sendiri, dari perusahaan ini apa yang kamu harap bisa kamu dapatkan kalau diberi kesempatan internship di sini.”

Edgar berdeham sekali, sebelum akhirnya iam menjawab dengan cukup lugas. “Untuk saya sendiri Kak, saya berharap nantinya kalau diberi kesempatan, perusahaan ini dapat membuka jenjang karir untuk saya yang lebih luas lagi. Yang pastinya saya juga ingin berkontribusi terlebih dahulu sebelum mendapat kesempatan tersebut.”

“Oke,” Lilie mengangguk sekali setelah mendengar jawaban Edgar. Kemudian Lilie mengajukan dua pertanyaan lagi kepada Edgar, itu mengenai hal-hal yang menyangkut cara Edgar dalam memecahkan suatu masalah. Lilie mengajukan pertanyaan tersebut dengan harapan dapat melihat pandangan calon intern-nya ketika dihadapkan pada situasi harus berpikir cepat dan kritis untuk menangani masalah, tentunya dalam urusan pekerjaan.

“Oke, terima kasih ya Edgar sudah datang untuk interview. Mungkin terakhir nih, kamu ada yang ingin ditanyakan kepada saya. Kalau ada, silakan ditanya ya,” ujar Lili.

“Ada Kak. Tapi ini bukan pertanyaan. Apa boleh?”

Lilei sempat terdiam selama 2 detik, ia menatap lurus tepat ke manik mata Edgar. Kemudian Lilie mempersilakan Edgar menyampaikannya.

“Sebenarnya Kak, saya mau jujur tentang sesuatu,” ucap Edgar.

“Boleh. Silakan,” ucap Lilie akhirnya.

Edgar lantas jujur soal dirinya yang mengirim pesan melalui DM Instagram kepada Lilie. Itu adalah di mana saat Edgar menyapa Lilie dan dibalas oleh Lilie. Percakapan tersebut berakhir setelah Lilie mengirim foto seorang pria bersama seorang anak. Edgar mengatakan pasti kelakuannya waktu itu membuat Lilie tidak nyaman, jadi ia perlu meminta maaf langsung pada perempuan itu.

“Kak Lilie, saya minta maaf untuk kejadian itu. Saya ingin jujur, karena berharap ke depannya kalau Kakak menerima saya magang di sini, nggak ada yang ditutup tutupi antara kita,” terang Edgar.

Lilie tampak tidak terkejut sama sekali, bahkan ekspresi wajahnya terkesan lempeng saja, sampai Edgar tidak tahu apa yang ada di pikiran perempuan itu, tepatnya setelah pengakuannya barusan.

“Edgar, sebenarnya saya sudah tahu soal itu,” ucap Lilie akhirnya.

Edgar tampak sedikit tertegun, tapi Lilie kemudian malah tersenyum tipis. “Saya adalah calon user kamu, dan sama seperti intern sebelum-sebelumnya, saya akan mencari tahu beebrapa informasi tentang calon anak magang saya.”

Edgar sukses di buat kehilangan kata-katanya. Edgar masih diam selama beberapa detik, sampai akhirnya ia bicara lagi. “Kak Lilie, saya butuh banget internship ini untuk nilai magang saya,” ucap Edgar.

“Iya, saya paham. Saya akan profesional dan tidak melibatkan urusan pribadi, kok. Saya tertarik sama kamu karena kualifikasi kamu dan cara kamu menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Untuk hasilnya, nanti saya hubungi kamu secepatnya by WhatsApp ya,” jelas Lilie.

Edgar mengangguk. “Oke, Kak. Makasih banyak kalau begitu.”

“Sama-sama.”

Pertemuan Edgar dengan Lilie untuk interview tersebut pun berakhir demikian. Edgar memang telah berencana untuk jujur pada Lilie tentang apa yang terjadi sebelum mereka akhirnya bertemu dan Lilie mengenal Edgar sebagai calon anak magangnya. Bagi Edgar, tidak ada yang lebih penting dari sebuah kejujuran. Maka dari awal ketika ia akan mengenal Lilie, Edgar tidak ingin adayang ditutup tutupi di antara mereka. Meskipun Lilie sudah tahu sebelum Edgar membuat pengakuan, menurut Edgar ia harus mengaku secara langsung sebagai bentuk tanggung jawabnya atas perbuatannya waktu itu.

Chasing Lilie hal. 4 : My heart was beat so fast when I met you. You knew me as Edgar at interview, and as Edgar who sent a direct message to you on Instagram.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕