alyadara

Di ujung koridor sekolah di lantai 2, Kaldera terlihat membuka loker buku miliknya. Hari ini Kaldera berencana mengambil beberapa barang miliknya dari loker dan membersihkannya, karena sebentar lagi loker ini akan berpindah kepemilikan. Ketika netranya menangkap sebuah foto berukuran sedang yang sangat fameliar baginya, Kaldera segera mengambil benda tersebut dari dalam loker. Kaldera menatap foto yang merupakan potret pertamanya dengan Zio itu, senyumnya pun otomatis terulas.

Sambil masih menatap foto itu, Kaldera berujar di dalam hatinya. Zio, kita pernah punya rencana dan mimpi yang indah untuk masa depan kita. Hanya aja, manusia cuma bisa berencana, tapi Tuhan yang berkehendak. Di mana pun kamu berada sekarang, kamu pasti tau kalau ada seorang laki-laki yang udah berhasil membuat aku mencintainya. He’s very kind nd lovely like you, but like he said, he have his own way to loving me.

Kaldera mengakhiri ucapan di dalam hatinya. Kaldera lantas bergegas memasukkan foto itu ke dalam paper bag yang dibawanya. Kaldera juga merapikan barang-barang yang tersisa di lokernya, rupanya cukup banyak kenangan yang ia miliki dengan Zio yang masih ia simpan. Kaldera tersenyum sekilas, saat tiba-tiba teringat sikap cemburu Raegan ketika mengetahui Kaldera dan Zio memiliki banyak kenangan yang begitu indah.

Kaldera telah selesai dengan kegiatannya, ia pun mendapati sosok Icha tengah menghampirinya. Icha berjalan bersama Adel, tapi setelah mengatakan sesuatu pada Adel, kini Icha berjalan menuju Kaldera seorang diri.

“Kal,” ucap Icha.

Kaldera hanya menatap Icha dengan ekspresi datarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Kaldera berbalik meninggalkan Icha begitu saja. Namun Icha segera menyusul langkah Kaldera dan kini menghalangi jalannya.

“Kenapa Cha?” tanya Kaldera akhirnya.

“Pulang sekolah kita hang out, yuk? Kita kan udah selesai ujian, kita pergi sama Adel sama Sandra juga,” ujar Icha.

“Lo aja sama mereka, gue nggak ikut,” ujar Kaldera.

“Kenapa Kal? Lo mau ke mana deh emangnya?”

“Gue mau pulang,” ucap Kaldera yang lantas segera berlalu dari hadapan Icha, tapi lagi-lagi Icha menahan pergelangan tangannya.

“Kal, lo kenapa ngehindarin gue gini sih?” tanya Icha.

Kaldera terlihat tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Icha, tapi akhirnya ia memutuskan untuk mengatakannya. Pertama-tama Kaldera melepaskan tangannya dari genggaman Icha, lalu ia berujar. “Gue nggak mau berteman lagi sama lo,” ucap Kaldera dengan gamblang.

Icha tampak kebingungan, kedua alis gadis itu bertaut. “Gue salah apa Kal? Selama ini kan kita berteman baik. Gue selalu support lo dan ada untuk lo di saat lo butuh. Tapi lo kayak gini—”

“Lo yakin itu?” Kaldera memotong ucapan Icha. Icha pun bungkam, terlihat tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

Kaldera lantas berujar lagi. “Sebaiknya lo tanya sama diri lo sendiri, Cha. Lo tau, pengkhianatan lebih menyakitkan dari pada pembunuhan. Gue harap lo hargain keputusan gue, gue nggak mau berteman lagi sama lo.” Setelah mengatakannya, Kaldera segera berbalik dari hadapan Icha dan terus melangkah menjauh.

Pengkhianatan memang lebih menyakitkan dari pada pembunuhan. Sekarang Kaldera paham akan hal itu. Beberapa hari yang lalu, Raegan mengatakan sesuatu pada Kaldera mengenai cha. Kaldera sebaiknya membuat keputusan untuk tidak berteman lagi dengan Icha, karena Icha ikut andil dalam rencana penculikan Kaldera waktu itu. Icha menjadi antek yang berhasil dihasut oleh Leonel untuk membantunya merencanakan penculikan itu, dan Icha mendapat uang sebagai imbalannya.

Apa pun yang berhubungan dengan Kaldera, Raegan mengatakan kalau ia akan mengusut hal tersebut sampai tuntas ke akar-akarnya, termasuk tentang sahabatnya yang berusaha menusuknya dari belakang. Kaldera awalnya tidak bisa mempercayai fakta tersebut, tapi begitulah adanya. Siapa pun bahkan bisa berkhianat, dan pengkhianatan itu selamanya akan terasa menyakitkan dan tidak terlupakan.

***

Raegan's House

Di sore hari yang tampak cerah ini, Raegan mengajak Kaldera untuk pergi ke suatu tempat. Tempat tersebut rupanya adalah sebuah rumah hunian berlantai 2 yang cukup besar, dengan halaman yang luas di bagian depan maupun di bagian belakangnya.

“Mas, ini rumahnya siapa?” tanya Kaldera begitu mereka masuk dan berjalan sampai ke ruang tamu. Seluruh bagian rumah tersebut tampak sudah full furnish dan siap untuk dihuni.

Kaldera lantas mengambil tempat duduk di samping Raegan di sofa. Mereka saling menatap, lalu Raegan mengarahkan lengannya untuk memeluk bahu Kaldera dari samping. “Ini rumah aku. Kamu suka nggak sama rumah ini?” tanya Raegan.

“Hmm … suka aja sih. Rumahnya bagus, sejuk juga karena ada halaman yang luas,” ujar Kaldera.

“Mau liat-liat seluruh area rumah ini?” tanya Raegan.

“Boleh,” jawab Kaldera dengan tatapannya yang terlihat antusias.

“Oke, kita ke taman belakang. Sekalian aku mau kenalin kamu sama Xavier.”

“Xavier?” tanya Kaldera.

He’s so kind, bahkan sama orang yang baru pertama kali ketemu. Ayo,” ucap Raegan seraya meraih tangan Kaldera dan menggandengnya.

***

Ketika mereka sampai di halaman belakang, Kaldera mendapati sekitar 6 orang pria berbadan tinggi dan kekar di sana. Kaldera telah mengenal mereka semua yang merupakan anggota Aquiver, tapi Kaldera tahu bahwa di antara mereka tidak ada yang bernama Xavier.

Sebenarnya hari ini Raegan ingin menghabiskan waktu berdua bersama Kaldera, tapi kenyataannya mereka tetap tidak bisa berduaan saja. Mereka dikawal oleh beberapa orang, untuk memastikan keamanan dan menghindari kejadian yang tidak diinginkan kembali terjadi.

“Hei, Xavier,” ucap Raegan begitu terlihat Alaric muncul sambil membawa seekor anjing golden retriever bersamanya.

Kaldera lantas memperhatikan Raegan yang berlutut di hadapan anjing berbulu coklat keemasan itu. Raegan mengusap bulu anjing itu di bagian lehernya, lalu ia meminta Kadera untuk mencoba melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan.

“Jadi ini yang namanya Xavier,” ujar Kaldera, gadis itu ikut berlutut di dekat Xavier dan memperhatikan anjing dengan tubuh yang cukup gagah itu.

“Iya, emang kamu ngiranya apa?” tanya Raegan.

“Habis namanya bagus banget, aku sampe kira Xavier itu orang lho. Kamu sih nggak ngasih tau aku,” ujar Kaldera sambil tertawa pelan.

Raegan lantas ikut tertawa ketika mendapati tawa cantik Kaldera. “Nanti kalau Xavier punya anak, kamu mau namain apa?” tanya Raegan.

“Aku boleh namain?” tanya Kaldera sembari mengusap bulu halus Xavier. Anjing golden retriever memang terkenal ramah dan mudah akrab meskipun dengan orang baru. Xavier pun nampak anteng ketika Kaldera memanjakannya dengan mengusapi bulunya.

“Iya, kamu boleh namain. Terserah kamu mau namain apa,” ujar Raegan.

“Oke, nanti aku pikirin nama yang cocok untuk anaknya Xavier,” ujar Kaldera kemudian.

Setelah bermain beberapa saat dengan Xavier, Raegan dan Kaldera memutuskan untuk memiliki waktu berdua. Di halaman belakang rumah itu, terdapat sebuah paviliun yang bisa dijadikan tempat untuk bersantai sembari menikmati suasana sore.

Paviliun

Raegan dan Kaldera memutuskan duduk di kursi di paviliun di sana dan rupanya tanpa diduga, Xavier ingin ikut dengan mereka. Raegan telah meminta anggotanya untuk membawa Xavier, tapi anjing lincah itu malah melompat dan berlari menyusul ke paviliun.

Saat Raegan ingin mengajak Xavier bermain dengannya, anjing jantan yang telah 6 tahun menjadi peliharaan setianya itu justru menghampiri Kaldera dan meloncat ke atas pangkuannya. Xavier tampak manja, bahkan menggonggong kegirangan saat Kaldera bergerak memeluknya.

He like you very much,” cetus Raegan sambil memperhatikan keakraban antara Xavier dan Kaldera.

Kaldera menoleh pada Raegan dan mendapati perubahan ekspresi di wajah kekasihnya itu. Kaldera lantas tersenyum, lalu ia mencoba menurunkan Xavier dari pangkuannya. Namun apa daya, Xavier kembali naik ke pangkuannya dan malah meminta sebuah pelukan manja dari Kaldera.

“Mas, jangan bilang kamu cemburu sama Xavier?” tebak Kaldera.

Tawa Kaldera seketika membuncah setelah mendapati Raegan yang menjawab pertanyaannya dengan sebuah anggukan.

No one can loving you like I can,” ujar Raegan kemudian. Raegan mengaku kalah bahwa dirinya merasa cemburu pada siapa pun itu yang berada di dekat Kaldera dan dapat mencuri perhatiannya. Raegan tidak tahu pasti, tapi ia tidak dapat mengontrol perasaan itu. Perasaan cemburu yang tampak agak kekanak-kanakan, yang kadang membuat Raegan kalut. Namun berkat itu juga, Kaldera jadi sering tertawa karena mendapati tingkah Raegan yang satu itu.

“Iya iya, aku tau. No one can loving me like you can,” ujar Kaldera. Akhirnya Kaldera mengiyakan saja. Kalau dilanjutkan, Kaldera sudah tahu bahwa urusannya akan menjadi panjang. Lantas satu tangan Kaldera yang bebas yang tidak mendekap Xavier, meraih tangan Raegan yang berada di atas sandaran kursi yang di duduki pria itu.

Raegan terkesiap dan melihat ke arah tangannya yang kini di genggam oleh Kaldera.

“Biar kamu nggak cemburu lagi sama Xavier,” ujar Kaldera. Mau tidak mau, Raegan pun tertawa karena hal itu. Lucu juga kalau dipikir-pikir, Raegan bisa dengan mudah mencair saat bersama Kaldera. Suasana hati Raegan jadi mudah membaik berkat Kaldera dan itu terjadi begitu saja.

“Kalau kamu suka sama rumah ini, rumah ini bisa jadi rumah kita nantinya,” ucap Raegan. Raegan sedikit menggoyangkan tangannya yang masih digenggam Kaldera, ia menatap Kaldera dalam-dalam dan kembali berujar, “Rumah ini akan jadi rumah masa depan kita, saat nanti aku dan kamu udah sama-sama siap membangun keluarga kecil kita sendiri. Gimana menurut kamu?”

Senyum Kaldera seketika merekah setelah mendengar kalimat itu. Kaldera lantas memperat genggaman tangannya pada tangan Raegan, Kaldera menatap Raegan dengan tatapan penuh cintanya.

“Kal, saat kamu udah merasa siap, kamu bisa kasih tau aku. I will purpose you and ask you to marry me,” lagi, Raegan selalu gamblang mengucapkannya. Raegan melakukannya tanpa aba-aba maupun sinyal, yang seringkali membuat Kaldera mengalami senam jantung.

Alright, I will tell you,” ujar Kaldera kemudian.

Kaldera belum tahu kapan waktu tersebut akan datang. Namun satu hal yang pasti, Kaldera ingin dirinya secepatnya siap untuk bisa mendampingi Raegan, berada di sisi Raegan sebagai seorang perempuan yang selalu memberinya kasih sayang. Kaldera sangat menanti hari itu, yang jika dibayangkan saja sudah mampu membuat dadanya berdebar. Hari yang indah itu, Kaldera hanya ingin mewujudkannya bersama dengan Raegan.

***

Ketika Raegan dan Kaldera kembali ke rumah, mereka kedatangan seorang tamu. Keduanya sebenarnya tidak mengira bahwa tamu tersebut adalah Aksa. Kondisi Aksa sudah nampak cukup baik, meskipun terlihat masih ada bekas memas di sisi wajahnya.

Di sofa ruang tamu, Kaldera dan Raegan duduk bersebelahan dan Aksa duduk di hadapan mereka. Aksa mengatakan bahwa ada hal yang ingin ia sampaikan kepada Raegan dan Kaldera. Aksa menatap Raegan dan Kaldera bergantian, sebelum akhirnya lelaki itu berujar, “Kaldera, Mas Raegan, gue mau minta maaf sama kalian.” Ketika mengucapkannya, tampak penyesalan yang begitu mendalam di wajah Aksa.

“Kata maaf gue mungkin nggak ada artinya, dan nggak akan bisa mengembalikan Zio ke dunia ini. Gue belum sempat menyampaikan permintan maaf, jadi gue ingin minta maaf yang sebesar-besarnya,” Aksa menjeda ucapannya, lelaki itu mengalihkan tatapannya sejenak ketika tiba-tiba perasaan sesak menghampirinya.

Raegan dan Kaldera lantas saling menatap. Raegan mengangguk sekilas, ia membiarkan Kaldera untuk memulai perkataannya lebih dulu.

“Sa, gue sama Mas Raegan udah maafin lo. Apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan lo. Gue terima kasih juga sama lo dan Kafka karena udah nolongin gue kemarin,” tutur Kaldera.

“Udah seharusnya gue ngelakuin itu, Kal. Gue tau banget lo adalah orang yang berarti buat Zio. Gue nggak mau Zio membenci gue kalau sampai hari itu gue nggak berhasil nolong lo,” ujar Aksa.

Aksa menatap Kaldera dan Raegan bergantian. Lantas Aksa juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Raegan. Raegan telah menyelamatkan masa depannya, membebaskannya dari jerat hukum, padahal secara tidak langsung ia adalah penyebab adik kandung Raegan meninggal.

Setelah mengatakan semuanya, Aksa pun berpamitan untuk pulang. Raegan dan Kaldera mengantar Aksa sampai ke teras rumah. Sebelum Aksa pergi, lelaki itu mengatakan sesuatu pada Raegan dan Kaldera. “Ohiya, selamat ya untuk kalian berdua,” ucap Aksa diiringi sebuah senyum segaris di wajahnya.

Raegan dan Kaldera lantas saling melempar pandangan, keduanya tampak tidak mengerti maksud perkataan Aksa barusan.

Aksa lalu terkekeh pelan dan berujar, “Selamat atas hubungan kalian, gue ikut senang dengarnya. Gue yakin kalau bukan Mas Raegan orangnya, Zio pasti udah cemburu banget.”

Kemudian sebuah senyum otomatis terbentuk di wajah Raegan dan Kaldera. Setelah mereka pikir-pikir, perkataan Aksa itu memang ada benarnya. Kaldera maupun Raegan yang begitu mengenal watak Zio, menebak jika orang itu bukanlah Raegan, pasti Zio tidak akan senang dan atau malah jadi sangat cemburu. Namun kenyataannya, keinginan terakhir Zio kini telah sukses terwujud. Zio menitipkan seseorang yang paling ia cintai kepada seseorang yang juga paling ia sayangi, agar ia bisa pergi dengan tenang. Jika orang itu bukan Raegan, mungkin Zio tidak akan rela Kaldera menjadi milik pria lain selain dirinya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Dalam kurun waktu kurang lebih enam bulan belakangan, hidup Kaldera rasanya seperti menaiki sebuah wahana roller coaster yang ada di taman hiburan atau sejenisnya. Kaldera seperti dibawa naik, kemudian dihempaskan turun begitu saja. Kaldera bertemu dengan Zio dan mencintainya, tapi takdir membawa Zio pergi darinya. Saat Kaldera berpikir bahwa dunianya teelah hancur karena ia kehilangan kekuatan hidupnya, Raegan memasuki dunianya. Saat Kaldera berada di dalam bahaya, Raegan menyelamatkannya dengan usaha yang tidak main-main.

Seperti wataknya, Raegan memang suka bertindak semaunya ; yang kadang membuat Kaldera bingung dan jadi khawatir terhadap pria itu. Namun di sisi lain, Reagan juga memiliki sisi lembut dan rasa peduli yang begitu tinggi terhadap orang-orang di sekitarnya. Kaldera tidak mengerti, bagaimana Raegan dapat mengubah hatinya yang sebelumnya menampik peraasaannya terhadap Raegan.

Reagantara Rahagi Gumilar.

Raegan memasuki hidup Kaldera, melindunginya, menghapus sedihnya, bahkan lelaki itu membuatnya bisa kembali merasakan yang namanya jatuh cinta, setelah Kaldera sempat merasa takut untuk merasakan perasaan itu lagi. Raegan berusaha membawa seluruh dunia untuk Kaldera, berusaha menghiburnya di kala sedih, selalu berada di sisinya, bahkan rela terluka untuknya.

Siang ini sepulang sekolah, Kaldera ingin melakukan sesuatu untuk keluarga barunya. Keluarga Gumilar adalah keluarga yang beberapa bulan belakangan ini telah mengisi hari-harinya dan begitu baik menjaga, serta memberikannya kasih sayang. Mama Indri, papa Satrio, dan tentunya mas Raegan, mereka berada di sisinya di saat sulit, meskipun Kaldera tahu bahwa mereka juga masih merasa sedih berkat kehilangan sosok yang sama-sama mereka cintai. Sosok yang telah pergi dan rasanya Kaldera sudah dapat merelakannya, hatinya kini telah merasa sanggup karena suatu alasan.

Kaldera pulang sekolah lebih cepat, karena hari ini merupakan hari terakhir ujian akhir semesternya. Kaldera juga meminta tolong pada mbak Yuni untuk membelikan bahan masakan yang dibutuhkan untuk memasak makan malam. Kaldera berencana akan membuat makan malam spesial tepat sebelum Indri dan Satrio pulang dari kantor. Indri dan Satrio telah rujuk dan melaksanakan pernikahan secara sederhana dan intimate, keluarga mereka telah kembali utuh saat ini. Mereka belum sempat merayakannya, jadi sebelumnya mereka memang telah merencanakan makan malam bersama, sebagai bentuk rasa syukur atas utuhnya kembali keluarga mereka.

Saat Kaldera mendengar suara mobil yang begitu fameliar dari arah garasi, Kaldera segera melangkah meninggalkan dari dapur. Kaldera berjalan menuju ruang tamu dan ketika sampai di sana, ia mendapati Raegan yang baru saja pulang bekerja. Tiga hari yang lalu, Raegan sudah pulih dan bisa kembali menjalani aktivitasnya seperti sediakala.

Hari ini Raegan memang pulang kantor lebih cepat, karena pria itu masih harus banyak beristirahat untuk memastikan kondisinya benar-benar baik. Raegan yang melihat keberadaan Kaldera, lekas menghampirinya dan menatap Kaldera lekat-lekat.

“Kal, *do you want to know the one important thing?” tanya Raegan.

“Apa?” tanya Kaldera.

“I have a crush on you, and I like you*,” Raegan mengucapkannya secara gamblang. Raegan bukannya melangkah pergi untuk mandi, pria itu malah tiba-tiba menyatakan perasaannya—yang kesekian kalinya kepada Kaldera. Raegan sudah menyatakan perasaannya entah sudah yang berapa kali, Kaldera sendiri sampai tidak dapat mengingatnya.

Kaldera lantas tertawa pelan berkat tingkah Raegan dan ekspresi pria itu yang bisa jadi semenggemaskan ini. Di luarnya saja terlihat diktator, kejam, dan tegas, tapi pria ini sebenarnya memang punya seribu cara untuk membuat Kaldera tersenyum dan tertawa karena tingkah spontannya.

Tidak lama berselang saat tawa Kaldera mulai mereda, Raegan bergerak menangkup kedua sisi wajah Kaldera dengan kedua tangan besarnya. Berikutnya Raegan menyilakan helaian surai legam Kaldera ke belakang telinganya.

Sambil menatap Kaldera dengan tatapan penuh arti, Raegan pun berujar, “Kal, tolong lihat aku sebagai laki-laki. Apa selama ini kamu belum sadar? Semua yang aku lakukan, itu karena aku mencintai kamu. Aku ingin selalu ada di dekat kamu, jagain kamu, dan aku menganggap kamu sebagai seorang perempuan, bukan seorang adik. Soal wasiat Zio waktu itu, aku benar-benar ingin mewujudkannya. Zio ngasih dua cara agar kamu bisa menjadi anggota keluarga ini, dan aku ingin mengambil pilihan yang kedua untuk mewujudkan itu. Apa bisa, Kal?” tutur Raegan dengan pandangannya yang tidak sedetik pun lepas dari Kaldera.

Kaldera ingat itu. Zio memberikan dua cara untuk menjadikan Kaldera bagian dari keluarga Gumilar. Cara nomor satu adalah mengangkat Kaldera menjadi anak bungsu di keluarga Gumilar. Artinya Kaldera akan menjadi adik bagi Raegan dan anak kedua di keluarga ini. Sementara cara nomor dua adalah menjadikan Kaldera menantu keluarga Gumilar, dengan kata lain menjadikan Kaldera istri bagi Raegan. Kaldera akan menikah dengan Raegan di saat perempuan itu telah merasa bahwa dirinya benar-benar siap.

“Aku serius sama ucapanku. Aku mencintai kamu Kal,” ucap Raegan, sorot matanya memancarkan kesungguhan yang begitu mendalam. Kaldera seketika terdiam usai Raegan mengatakannya. Beberapa detik kemudian, Kaldera berusaha menjauh dari Raegan dan meminta pria itu untuk pergi mandi lebih dulu, tapi tatapan Raegan menguncinya, menahan Kaldera untuk tetap berada di sana.

Raegan lantas berdeham sekali, sebelum akhirnya pria itu kembali berujar, “Aku tau Zio sangat hebat sudah membuat kamu begitu mencintainya, bahkan sampai dia pergi meninggalkan kita semua. Aishh, anak itu.” Suara Raegan sedikit bergetar kala mengucapkannya, tapi pria itu berusaha untuk menutupinya dengan berdecak dan mengomel.

Raegan melonggarkan dasi di kerah kemejanya saat perasaan tidak nyaman dan terasa menyesakkan itu kembali datang menghampirinya. Perasaan Raegan kini terasa campur aduk. Ada rasa sedih mengingat kepergian adik kandungnya dan ingin adiknya kembali, tapi ada juga rasa sakit karena sebuah fakta bahwa gadis yang ia cintai masih mencintai lelaki lain. Lelaki lain yang bahkan keberadaannya sudah berbeda dunia dengan mereka saat ini.

Raegan meraup udara di sekitarnya kemudian menghembuskannya, helaan napasnya terdengar cukup berat. “Kal, tolong berusaha untuk lihat aku dulu dan jangan memanggil siapapun saat kamu membutuhkan seseorang.” Raegan menggerakkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Kaldera dengan gerakan lembut, lau ia berujar lagi, “Kal, I'm the only person that will be your keeper and caring of you. Aku akan membuat kamu mencintai aku. Ini konyol, tapi aku beneran cemburu sama Zio. Walaupun aku akui, dia lebih hebat dari aku dalam urusan mendapatkan hati kamu. Kamu tau, aku nggak pandai mengungkapkan kasih sayangku. Tapi Kal, kasih aku kesempatan aku untuk nunjukin rasa sayang aku ke kamu. Izinin aku untuk membuka pintu hati kamu. Zio punya caranya sendiri, aku juga punya caraku.”

Raegan menatap Kaldera tepat kedua di iris gelapnya. Dari tatapan itu, Kaldera dapat merasakan bahwa Raegan begitu sungguh-sungguh akan ungkapan cintanya.

“Mas, mending kamu mandi dulu, aku mau masak sekarang. Mama sama papa dikit lagi pulang dari kantor lho,” ujar Kaldera.

“Aku nggak akan lepasin kamu, sebelum kamu jawab pertanyaanku. Kal, would you be mine? Would you be my girlfriend?” tanya Raegan dengan tatapan penuh harapnya.

Kaldera nampak berpikir sejenak. Kaldera merasa gugup, jadi ia mengalihkan tatapannya pada jari-jari tangannya yang bertaut. Raegan masih berdiri di sana, setia menunggu Kaldera untuk menjawab pertanyaannya.

Beberapa detik kemudian, Kaldera mendongak dan kembali menatap Raegan tepat di netranya. “Iya, aku mau,” ucap Kaldera.

“Mau apa? Aku nggak ngerti maksud kamu,” Raegan masih di sana dan meminta Kaldera untuk mengatakannya dengan jelas. Padahal Kaldera malu, pipinya bahkan sudah memerah seperti tomat rebus.

“Iya, aku mau jadi pacar kamu,” ujar Kaldera akhirnya. Segera setelah Kaldera mengatakannya, sebuah senyum terpatri di wajah Raegan. Senyum itu terlihat sangat cerah, sampai-sampai Kaldera juga dibuat terpana berkat indahnya ciptaan Tuhan yang ada di hadapannya ini.

Kaldera pun mengulaskan senyumnya. Senyuman tersebut rasanya mampu menyirami hati Raegan dengan begitu sopannya, membuat percikan asmara di dalam dirinya menggelora dengan begitu dahsyat.

“Kal,” ujar Raegan seraya meraih tangan Kaldera untuk digenggam.

Perlahan tapi pasti, Kaldera membalas genggaman tangan itu. Kaldera menatap Raegan tepat di matanya, ia tenggelam pada kedua iris indah itu.

“Aku mau kita menjalin hubungan dengan tujuan menikah. Apa kamu bersedia untuk itu?” tanya Raegan.

Kaldera tampak berpikir selama beberapa detik. Kemudian dengan sebuah senyum manis yang terulas di wajahnya, Kaldera akhirnya memberikan jawaban diiringi sebuah anggukan pasti. Kaldera bersedia menjalin hubungan bersama Raegan dengan tujuan menikah. Kaldera ingin hidup bersama Raegan, mendampinginya, dan menghabiskan banyak waktu dengannya.

“Oke, aku mandi dulu. Terima kasih, Kal.” Raegan mengulaskan senyum simpulnya setelah mendengar jawaban Kaldera. Kaldera pun mengangguk pelan, lalu ia melangkah menuju dapur dan mencuci tangannya di wastafel sebelum hendak memasak.

“Kal,” ucap Raegan lagi, rupanya Raegan kembali berbalik dan menghampiri Kaldera di dapur, bukannya berjalan ke arah kamarnya yang berada lantai atas.

“Kenapa Mas?” tanya Kaldera yang kini kembali menatap Raegan. Kaldera yang kemudian mendapati Raegan menatap ke arah bibirnya, seketika mengerti akan suatu hal. Namun Kaldera tidak ingin berasumsi, bisa saja ia telah salah mengira. Kemudian Kaldera nampak bingung saat Raegan tidak juga beranjak dari posisinya. Raegan akhirnya mengutarakannya dan meminta izin kepada Kaldera untuk mereka melakukannya.

Can we had a kiss?” tanya Raegan dengan suara husky-nya yang terdengar begitu merdu memasuki indera pendengaran Kaldera.

Kaldera seketika merasakan jantungnya berdegup dengan kencang, entah bagaimana pikirannya memerintahnya untuk menatap ke arah bibir Raegan. Jarak yang semakin terkikis di antara mereka dan sesuatu yang mendorong Kaldera dari dalam dirinya, akhirnya membuat Kaldera mengizinkan Raegan untuk melakukannya.

Raegan lantas mendekat pada Kaldera, lalu pria itu sedikit memiringkan kepalanya. Kemudian secara perlahan tapi pasti, Raegan mulai bergerak untuk mempertemukan belah bibirnya dengan bibir Kaldera.

Cuphh

Terdengar sebuah bunyi kecupan yang lembut ketika Kaldera merasakan bibir kenyal Raegan menyapa di bibirnya. Kaldera baru merasakannya untuk yang pertama kali, jadi sensasi ini adalah hal yang begitu baru sekaligus terasa indah baginya. Tangan Raeagan yang lantas bergerak mengusap lembut belah pipi Kaldera, sukses menimbulkan gelenyar di dalam diri Kaldera, rasanya seperti ada aliran listrik yang mengaliri tubuhnya, sangat menggebu dan menakjubkan. Raegan kemudian bergerak sedikit memperdalam ciuman mereka, membuat Kaldera otomatis menjengitkan tubuhnya, memberi respon bahwa ia juga begitu mendamba Raegan.

Raegan & Kaldera Kisses

Raegan dan Kaldera masih saling mencumbu, menimbulkan bunyi indah yang memenuhi ruangan dapur yang sebelumnya sunyi. Dengan gerakan lembut, Raegan menghela satu lengan Kaldera untuk berada di atas bahunya. Satu lengan Raegan yang bebas, lantas menarik pelan pinggang Kaldera untuk mendekat, guna memangkas habis jarak yang masih tersisa di antara mereka.

Selang 2 menit kemudian, Raegan dan Kaldera mengurai pagutannya dan mereka saling menatap dengan mesra. Raegan pun tidak kuasa menarik ujung-ujung bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman. Begitupun dengan Kaldera, gadis itu tersenyum penuh afeksi, netranya menatap memuja pada Raegan.

Raegan kemudian menghela tubuh mereka untuk saling mengisi. Raegan meletakkan dagunya di pundak Kaldera, kedua lengannya memeluk torso Kaldera dengan mesra. “I was hope that I could hug you like this, Kal,” ucap Raegan di sela-sela kegiatan berpelukan mereka. Kaldera balas melingkarkan lengannya di torso Raegan, lalu ia memberi usapan lembut di punggung lebar itu.

Beberapa detik kemudian, Raegan mengurai halus pelukan mereka. Tatapan mereka bertemu lagi dan mengisyratkan bahwa mereka sama-sama menginginkan satu sama lain. Raegan lantas menghela Kaldera mendekat padanya, pria itu kembali mencumbu belah bibir Kaldera.

“Akhh ... ” Lenguhan kecil seketika lolos dari bibir Kaldera saat ciuman Raegan semakin terasa memabukkan. Tempo ciuman Raegan tidak terlalu cepat, tapi itu justru yang membuat Kaldera dapat menikmati setiap inci dari bentuk serta tekstur bibir Raegan yang begitu lembut. Kaldera pun memiringkan sedikit kepalanya, memudahkan Raegan untuk memperdalam ciumannya.

Tangan besar Raegan yang menangkup sisi kanan wajah Kaldera, usapan lembutnya yang turun hingga ke rahang Kaldera, berhasil membuat semuanya terasa sangat indah. Cara Raegan menginginkankannya, memberitahu seluruh netra Kaldera bahwa pria di hadapannya ini sungguh mencintainya.

Setelah sekitar 2 menit ciuman tersebut terjadi, Raegan perlahan menjauhkan bibirnya dari bibir Kaldera. Mata mereka bertemu dan saling mengunci. Kaldera merasa gugup bukan main, saat satu sisi wajahnya ditangkup menggunakan satu tangan Raegan.

Dengan tatapan Raegan yang begitu memujanya, Raegan kembali menyatukan bibirnya dengan bibir Kaldera. Kali ini Kaldera berusaha untuk memimpin ciuman itu. Kaldera melakukannya sesuai apa yang dikatakan oleh hatinya.

Pada detik berikutnya, ciuman tersebut berubah menjadi adegan yang sangat mendebarkan sekaligus begitu indah bagi Raegan maupun Kaldera. Nafas mereka yang saling berhembus dan beradu, saliva mereka yang bertemu, membuat mereka menikmati setiap detik yang bergulir dari momen penyatuan tersebut.

Belah bibir Raegan yang ukurannya sedikit lebih besar dari milik Kaldera, sukses melahap seluruh bibir mungil Kaldera. Sesekali Raegan juga memberi celah bagi Kaldera untuk memimpin kendali. Mereka seimbang melakukannya dan saling melengkapi satu sama lain.

Meski ini yang pertama kali bagi Kaldera, ia mencoba untuk melakukannya dengan baik. Itu terbukti berhasil rupanya, ketika Kaldera membalas ciumannya, jantung Raegan seketika berdegup sangat kencang di dalam rongga dadanya. Kaldera telah berhasil membuat hormon oksitosin dan serotonin dalam diri Raegan menggelora dengan hebat. Kedua hormon tersebut adalah hormon yang berperan penting dalam menimbulkan perasaan bahagia pada diri seseorang.

Selang beberapa menit kemudian, ciuman tersebut akhirnya terurai. Raegan menatap Kaldera dengan tatapan penuh afeksinya. Kaldera baru menyadari, selama ini tatapan Raegan padanya tidak pernah berubah. Apakah telah selama itu Raegan mencintainya? Kaldera tidak sadar itu dimulai sejak kapan, tapi yang jelas tatapan itu sangat mampu mengetuk pintu hatinya.

Mereka masih saling menatap intens, lalu Raegan mengusapkan ibu jarinya pada bibir ranum Kaldera. Bibir Kaldera nampak sedikit memerah akibat kegiatan mereka barusan. Raegan tersenyum kecil, membuat Kaldera secara otomatis ikut menarik kedua ujung bibirnya untuk membentuk senyum yang begitu cantik di mata Raegan. Rongga dada Kaldera rasanya masih meletup-letup, tanda bahwa dirinya bahagia, tanpa sebuah alasan yang tidak perlu ia jelaskan lagi melalui frasa.

“Aku mandi dulu,” ucap Raegan kemudian.

Kaldera pun mengangguk pelan. Setelah itu, Raegan segera berbalik dan melenggang dari hadapan Kaldera. Kaldera masih berdiri di tempat yang sama, dengan hatinya yang berdebar tidak karuan. Kaldera merasakan debaran itu cukup kuat, hingga rasanya jantungnya bisa meloncat keluar dari dalam rongga dadanya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Harbor

Romeo, Barra, dan Calvin telah berhasil menemukan keberadaan Leonel, tepat sebelum pria itu kabur menaiki sebuah kapal persiar dari sebuah pelabuhan besar. Seperti mendapatkan sebuah lotre, mereka menemukan Leonel seorang diri.

Kini tidak jauh dari pelabuhan, di sebuah gudang tua yang tidak lagi digunakan, mereka akan menunjukkan dengan siapa Leonel telah berurusan. Romeo, Barra, dan Calvin memang telah memutuskan akan membawa Leonel kepada polisi, tapi Calvin yang bersumbu pendek berniat memberi Leonel sedikit pelajaran menggunakan tangannya sendiri.

“Kalian akan menyesal telah melakukan ini,” ucap Leonel dengan tampang tenangnya. Leonel tidak dapat bergerak di tempatnya, tapi rupanya pria itu masih berupaya mempengaruhi 3 lelaki di hadapannya. Kedua kaki Leonel dimasukkan ke dalam sebuah pasung kayu, serta kedua tangannya dipasung menggunakan rantai yang dikaitkan pada beban seberat 3 kilogram.

Calvin hampir saja mendekat pada Leonel dan melayangkan bogem mentah di wajah pria itu, tapi Romeo dan Barra dengan cepat mencegah aksi gegabah Calvin itu.

“Kalian tidak akan pernah menduga siapa yang sesungguhnya berada di balik semua ini. Rupanya kalian sangat bodoh,” ujar Leonel lagi.

He just said a bullshit things. We don’t need to thinked about it,” ucap Romeo ketika Barra justru memikirkan ucapan Leonel.

Leonel lantas mengedikkan kedua bahunya, lalu dengan tampang beringasnya pria itu berujar, “Alright, it’s your choice. Kalian sendiri padahal tahu hukum di negara ini bisa dimanipulasi. I’ll let you doing what you want to do. But someday, I’ll make sure you need to pay me back.”

“Udah gue bilang, kita habisin aja dia,” ujar Calvin dengan guratan emosi yang tergambar jelas di wajahnya. Calvin berpikir bahwa menghabisi Leonel adalah jalan utama yang terbaik, toh mereka tetap akan memenjarakan Abbas Pasha Tarigan dengan tuduhan perencanaan pembunuhan terhadap Satrio.

Mereka ingin sekali menghabisi Leonel, tapi ingat bahwa mereka tidak ingin mengotori tangan mereka untuk itu. Situasi saat ini terasa seperti buah simalakama. Mereka harus memilih apakah menghabisi Leonel adalah yang terbaik atau membiarkannya membusuk di penjara akan menjadi keputusan terbaik untuk masa depan?

***

Akhirnya Romeo, Barra, dan Calvin memutuskan untuk mendiskusikannya terlebih dulu. Di markas The Ninety Seven, mereka membicarakan hal tersebut bertiga.

“Kita akan pastikan dia mati di penjara,” ucap Romeo membuka suaranya.

“Tapi gimana kalau siklusnya berputar kayak roda? Hukum bisa dibeli, dan gue curiga si bajingan itu akan melakukan apa pun untuk bebas dari jerat hukum,” ujar Calvin.

“Bar, kalau menurut lo gimana?” tanya Romeo yang melihat Barra belum mengungkapkan pendapatnya.

“Nggak ada gunanya kita habisin dia,” ucap Barra. Mendengar ucapan itu, seketika Romeo dan Calvin menatap Barra dengan tatapan bertanya.

Barra kembali melanjutkan perkataannya. “Kalau pun hukum bisa dibeli, harusnya kita nggak cuma habisin Leonel saat ini, tapi kita perlu habisin seluruh pejabat negara yang terlibat.”

“Jadi maksud lo kata-kata Calvin tadi bener? Siklusnya akan terus sama kalau kayak gitu,” Romeo tampak tidak setuju dengan Barra.

I'm always right, see,” ucap Calvin.

Barra lantas menatap Romeo dan Calvin secara bergantian. Barra yang terkenal paling genius dan realistis di antara mereka, kembali mengungkapkan pikirannya. “Gue curiga perkataan Leonel emang bener, ada oknum lain yang menggerakkan mereka.”

“Maksud lo?” tanya Calvin nampak penasaran, ia tidak mengerti jalan pikrian si jenius Barra.

“Kalian inget mobil yang nolong Leonel waktu itu? Orang-orang itu bukan anggota Tacenda, jadi ada kemungkinan besar kalau Abbas bukan kepala utama dari semua ini, tapi ada orang lain yang menjadikan Abbas dan Leonel sebagai anteknya,” ujar Barra mengungkapkan pemikirannya.

Akhirnya setelah diskusi tersebut, mereka bertiga tetep memutuskan untuk menyerahkan Leonel ke pihak yang berwenang menghukumnya. Mereka yakin Raegan akan memenangkan kasusnya karena mereka sudah punya bukti yang kuat yakni kesaksian dari Hendri. Namun meskipun begitu, ada hal yang perlu mereka diskusikan dengan Raegan terkait oknum yang dicurigai sebagai kepala utama dari semua kejahatan ini. Mereka perlu mencari tahu dan mengantisipasi, jika tidak ingin suatu hari bom waktu yang sedang disembunyikan tersebut meledak di permukaan.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Kafka, Barra, Romeo, dan Calvin datang menjenguk Raegan keesokan harinya. Raegan dan Kaldera pun bertanya bagaimana kondisi Aksa saat ini. Rupanya Aksa dirawat karena mengalami luka-luka yang cukup serius, jadi lelaki itu tidak bisa ikut datang menjenguk. Aksa melawan dua orang anggota Leonel untuk membiarkan Kafka selamat, dengan tujuan Kafka dapat memberitahu Raegan tentang Kaldera yang diculik. Semua yang telah terjadi, begitu menciptakan banyak pengorbanan, termasuk juga dari Aksa dan Kafka.

Setelah sekitar 20 menit membesuk, mereka berpamitan untuk pulang. Selain jam besuk yang singkat, mereka memang harus membiarkan Raegan memiliki waktu istirahat yang lebih banyak.

Kaldera mengantar Kafka sampai ke pintu ruang rawat, sementara Romeo, Barra, dan Calvin memberi kedua orang itu ruang untuk untuk bicara empat mata. “Kaf, makasih ya untuk semuanya,” ucap Kaldera kepada Kafka.

“Sama-sama, Kal. Oh iya, gue mau menyampaikan sesuatu ke lo,” ujar Kafka.

“Soal apa Kaf?” tanya Kaldera.

“Ini soal Aksa, Kal. Aksa ngelakuin itu karena dia nggak mau sampai menyesal untuk yang kedua kalinya. Dia udah kehilangan sahabat terbaiknya dan Zio udah berkorban besar banget untuk Aksa. Jadi Aksa janji kalau dia akan membalas budi, dengan menjaga harta yang paling berharga bagi Zio, yaitu lo,” jelas Kafka panjang lebar.

Mendengar penjelasan Kafka, Kaldera seketika merasa terenyuh. Kaldera mengalihkan pandangannya guna menahan air matanya.

“Yaudah Kal, gue balik dulu ya,” ujar Kafka. Kaldera mengangguk sekali dan menunggu sampai Kafka menjauh. Kaldera masih di tempatnya dan memikirkan semuanya. Begitu besar Kaldera telah kehilangan, tapi juga mendapat begitu banyak kasih sayang setelah kehilangannya itu.

***

“Mereka udah pulang?” pertanyaan itu yang pertama kali Raegan tanyakan begitu Kaldera kembali ke ruang rawatnya dan duduk di samping ranjangnya. Raegan dengan posisi duduknya, ia menyadarkan punggungnya ke sandaran kasur yang telah dibuat dalam posisi setengah tegak.

“Kafka udah pulang. Kalau mas Romeo, mas Calvin sama mas Barra lagi ke kafetaria di lantai satu, katanya mereka nanti mau balik ke sini lagi,” ujar Kaldera.

“Balik ke sini lagi? Jam besuknya kan udah mau habis. Mereka mau ngapain?” tanya Raegan.

“Mungkin masih ada yang mau dibicarain sama kamu. Emangnya kenapa kalau mereka ke sini?” Kaldera justru balik bertanya, kedua alisnya bertaut di tengah tampak tidak mengerti maksud perkataan Raegan.

Raegan dan Kaldera pun saling bertatapan. Cara Kaldera menatapnya, tiba-tiba membuat Raegan menjadi sedikit gugup. Namun Raegan tidak akan lagi membiarkan dirinya terlalu kaku di hadapan Kaldera. Raegan ingin menunjukkan perasaannya yang seutuhnya kepada Kaldera.

“Aku pengen berdua aja sama kamu,” ucap Raegan kemudian.

Kaldera yang mendapat tatapan Raegan yang begitu dalam ketika menatapnya, seketika menjadi gugup. Mereka masih saling menatap dengan intens satu sama lain, sampai pada akhirnya …

Cklek!

Pintu ruang rawat itu terbuka bersamaan dengan munculnya Romeo, Barra, dan Calvin. Ketiga pria itu lekas menatap ke arah Raegan dan Kaldera dengan tatapan memicing dan senyum yang tertahan.

“Hayo ... kalian lagi ngapain berduaan?” seru Romeo.

“Nggak ngapa-ngapain,” ujar Kaldera cepat.

“Kalau nggak ngapa-ngapain kenapa kayak panik gitu deh pas kita dateng,” celetuk Calvin.

Raegan berdeham dua kali, “Ada yang mau kalian omongin sama gue?” tanya Raegan pada teman-temannya.

“Ada, ini soal Leonel,” ucap Romeo akhirnya. Romeo, Calvin, dan Barra lantas saling melempar pandangan. Raegan menatap teman-temannya itu satu persatu.

“Kemarin malam kita nggak berhasil mendapatkan Leonel. Tiba-tiba ada kompolotan yang datang dan bantuin Leonel untuk kabur. Tapi kita nemuin sesuatu yang mungkin bisa membuat kita nemuin keberadaan Leonel,” ungkap Calvin. Kemudian Calvin menunjukkan sebuah foto yang berhasil didapatkan oleh anggotanya, yakni foto dari sebuah plat mobil yang menolong Leonel malam itu.

“Kita udah lacak plat nomor itu dan nemuin titik di mana mobil itu berada sekarang. Kita akan berusaha ke sana untuk menemukan Leonel,” ujar Barra.

Raegan mengangguk sekilas. Raegan lantas mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya. Tanpa mereka, sesungguhnya Raegan bukanlah siapa-siapa dan rasanya mustahil ia bisa sampai di titik ini.

“Lo sembuh total dulu, biar persoalan ini kita yang urus,” ujar Barra. Kemudian Barra melirik ke arah Kaldera dan Raegan, pria itu menatap keduanya dengan tatapan penuh arti seraya berujar, “Oh iya, jangan lupa. Selain urusan kesehatan, urusan percintaan juga harus diselesaikan.”

***

Romeo, Barra, dan Calvin telah pamit. Kini di ruang rawat itu hanya tersisa Kaldera dan Raegan. Setelah apa yang terjadi kemarin, keduanya belum sempat berbicara mengenai hal itu secara empat mata. Ada sesuatu yang ingin Kaldera utarakan, tapi Raegan malah bertanya apakah Kaldera akan menginap malam ini atau pulang ke rumah.

“Aku nginep malam ini. Aku tidur di sofa bed,” ujar Kaldera akhirnya.

Raegan pun mengangguk sekilas, sebuah senyum lantas tidak bisa dicegah untuk terulas di wajahnya.

“Mas, mama sama papa kemarin khawatir banget lho sama kamu. Dokter juga sempat ragu waktu operasi, karena katanya kamu pernah punya luka di tempat yang dekat sama posisi pelurunya,” ujar Kaldera.

“Kamu nggak mikirin diri kamu sendiri, Mas. Kemarin kamu hampir nggak selamat,” Kaldera menjeda ucapannya. Gadis itu menghela napasnya, lalu ia menghembuskannya dengan helaan yang panjang.

“Aku sekarang udah nggak papa,” ucap Raegan. Raegan lalu meraih satu tangan Kaldera dan menggenggamnya dengan tangan besarnya.

“Mas, kamu nggak punya rasa takut yaa emangnya?” Kaldera berucap dengan matanya yang tidak lepas menatap Raegan. Dari tatapan Kaldera, Raegan dapat melihat pancaran kasih sayang yang perempuan itu berikan untuknya.

“Aku cuma mikirin kamu waktu itu, Kal,” ujar Raegan. Satu tangan Raegan yang tidak memegang tangan Kaldera lantas mengarah ke dadanya, di mana luka jahitannya berada.

“Arghh,” Raegan merintih kesakitan dan seketika Kaldera langsung menatapnya dengan tatapan khawatir.

“Mas, kamu kenapa? Aku panggilin dokter dulu sebentar,” ujar Kaldera yang segera bergerak dari posisinya, tapi Raegan dengan cepat menahan pergelangan tangannya, membuat Kaldera kembali ke posisi duduknya.

“Aku nggak papa. Mau ngetes aja,” ujar Raegan seraya mengulaskan senyum segaris di wajahnya.

Kaldera seketika membelalakkan matanya, kedua alisnya bertaut tanda bahwa ia bingung. “Ngetes apa?”

“Aku penasaran, kamu khawatir apa engga sama aku,” ujar Raegan.

Kaldera seketika memutus kontak matanya dengan Raegan. Tanpa bisa ia cegah, kini pipinya terasa menghangat. Kladera terlihat benar-benar gugup, tapi Raegan justru nampak senang memandangi wajah Kaldera yang saat ini terlihat bersemu kemerahan.

Soal pertanyaan Kaldera apakah Raegan tidak memiliki ketakutan, jawabannya adalah Raegan memilikinya. Ketakutan terbesar Raegan bukanlah tentang dirinya, melainkan itu tentang Kaldera. Raegan takut bahwa ia selamanya tidak bisa memberikan kehidupan aman dan nyaman sebagaimana yang Kaldera impikan. Raegan takut ia tidak dapat mewujudkan itu untuk orang yang ia cintai.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Kaldera seperti merasakan dejavu, di mana ia mendapati perasaan takut kehilangan orang yang ia sayangi untuk yang kedua kalinya. Di depan ruang UGD itu, Kaldera berdiri dengan tatapan yang terlihat kosong. Barra yang mendapati tangan Kaldera dipenuhi oleh darah dari tubuh Raegan, segera meminta tolong perawat untuk bantu membersihkannya.

Sementara Kaldera dibawa oleh perawat, Barra menghubungi orang tua Raegan untuk mengabari apa yang tengah terjadi. Barra juga telah meminta anggotanya untuk berjaga di sekitar area rumah sakit, mereka melakukan penjagaan lebih ketat guna mengantisipasi hal buruk atau kecolongan penjagaan seperti sebelumnya.

Tidak lama kemudian, Barra kembali mendapati kehadiran Kaldera di depan ruang UGD. Ketika Barra menghampiri Kaldera, ia mendapati gadis itu menatapnya dengan tatapan penuh luka.

“Kal, Raegan yang merencanakan semua ini,” ujar Barra.

Kaldera menoleh dan menatap Barra. “Maksud Mas Barra?”

“Kita nggak tau alasan Raegan ngelakuin ini apa. Aquiver tadi udah mengepung tempat itu dari luar, tapi Raegan mutusin untuk masuk ke tempat itu sendiri.”

“Mas Barra … mas Raegan cabut tuntutan kasusnya di hadapan Leonel,” ucap Kaldera dengan nadanya yang terdengar putus asa.

Barra lantas menatap Kaldera lekat, pria itu berusaha untuk meyakinkan Kaldera kalau semua akan baik-baik saja. “Kal, kamu coba tenang dulu ya. Raegan pasti ngelakuin ini karena ada alasannya. Raegan nggak akan mudah menyerah dengan tujuannya, tapi gimana pun dia tetap memikirkan keselamatan kamu.”

***

Indri dan Satrio datang tidak lama berselang. Di dalam ruang UGD, Raegan masih menjalani operasi untuk pengambilan peluru yang menembus cukup dalam di tubuhnya. Indri terlihat syok dan terpukul, Satrio yang berada di sampingnya berusaha untuk menenangkannya.

Kaldera yang melihat itu di depan matanya pun ikut merasa terenyuh. Kaldera rasanya ingin lari dari hadapan Indri, ia begitu malu menampakkan dirinya di depan Indri setelah apa yang terjadi. Namun ketika netra Indri bersitatap dengannya, wanita itu justru menghampirinya dan bergerak memeluknya.

Indri berusaha mencari kekuatan melalui dekapan itu. Masih sambil berpelukan, Kaldera pun berujar pelan kepada Indri. “Mama, maafin Kaldera. Mas Raegan kayak gini gara-gara Kaldera.”

Indri lantas perlahan mengurai pelukannya, wanita itu menatap Kaldera dengan tatapan penuh afeksinya. “Sayang, ini bukan salah kamu. Kamu jangan ngomong kayak gitu, yaa. Mama tahu, Raegan pasti ngelakuinnya karena dia sangat sayang sama kamu,” ujar Indri.

Hati Indri memang hancur saat ini, tapi begitu berpikir bahwa putra sulungnya melakukan itu karena suatu alasan, Indri berusaha untuk memakluminya. Mungkin jika Kaldera yang terkena peluru itu, Indri tidak tahu akan sehancur apa Raegan, dan mungkin Indri lebih tidak sanggup melihat putranya menghadapi kehancuran itu.

***

Operasinya telah selesai dan berjalan dengan lancar. Tim dokter yang melakukan operasi besar tersebut mengatakan bahwa Raegan hampir tidak terselamatkan. Peluru yang mengenai Raegan posisinya cukup dekat dengan luka lama yang pernah Raegan miliki, sehingga tim dokter cukup kesulitan untuk mengeluarkan peluru itu. Mereka harus ekstra hati-hati agar operasinya tidak menimbulkan luka baru yang dapat berakibat fatal pada keselamatan Raegan. Awalnya dokter ragu dapat menyelamatkan Raegan, tapi rupanya Tuhan masih memberi Raegan kesempatan untuk hidup.

Raegan kini telah dipindahkan dari ruang operasi ke ruang rawat. Indri dan Satrio jadi yang pertama untuk melihat kondisi anak mereka. Setelah ia dan Satrio selesai, Indri meminta Kaldera untuk melakukan kunjungan yang kedua. Sebelum Kaldera masuk, Indri meraih tangannya dan mengucapkan sesuatu. “Raegan belum siuman, tapi Mama yakin dia ingin kamu ada di sampingnya.”

Setelah ucapan Indri, Kaldera beranjak dari posisinya dan melangkah menuju ruang rawat Raegan. Begitu Kaldera memasuki ruangan itu, ia melihat Raegan masih memejamkan matanya di atas ranjang rawatnya. Kaldera pun menarik kursi di samping ranjang dan duduk di sana.

Ketika Kaldera memandangi wajah terlelap Raegan, air matanya merembas lagi. Kaldera segera menyekanya, lalu ia mengulaskan senyum segarisnya. “Mas,” ucap Kaldera, ia meraih jemari Raegan di sisi kasur dan bergerak menggenggamnya .

Kaldera mengamati jemari Raegan yang kini berada di genggamannya, lalu tatapannya kembali beralih pada wajah Raegan. “Hari ini aku hampir aja kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kalinya. Aku takut banget, Mas. Aku takut kehilangan kamu,” Kaldera menjeda ucapannya. Tidak lama kemudian, Kaldera mengusapkan jemarinya di punggung tangan Raegan sembari berujar, You know what, I have realized that I already loved you, Mas. Makasih ya, kamu udah bertahan untuk kita semua yang sayang sama kamu.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Sebelumnya Raegan telah mengibarkan bendera perangnya kepada Tacenda, maka Leonel juga akan mengibarkan bendera perangnya hari ini. Satu persatu anggota Tacenda dan bisnis ilegal mereka memang telah gugur, tapi tidak semudah itu seorang Leonel Nathan Tarigan menyerah.

Kaldera mendapati sosok itu lagi di depan kedua matanya. Leonel berjalan ke arahnya sambil mempertahankan senyum smirk di wajah tegasnya. Leonel sampai di hadapan Kaldera yang duduk dengan kedua tangan diikat. Kemudian Leonel menurunkan kain penutup itu, hingga kini Kaldera dapat berteriak menyumpahi pria itu di depan wajahnya. Leonel malah cuma tertawa mendapati umpatan-umpatan itu.

“Akan lebih bagus kalau nanti kamu megumpat di bawahku, Cantik,” ujar Leonel dengan entengnya. “Di mana pacarmu dan anggota gengnya itu, hmm? Menjaga kamu saja nggak bisa, laki-laki macam apa dia?” ujar Leonel lagi.

Kemdudian satu tangan Leonel meraih rahang Kaldera dan memaksa gadis itu untuk menatapnya. “Raegantara yang membuat saya harus melakukan ini, kamu tahu itu. Dia mengibarkan bendera perang, jadi saya juga harus melakukan hal yang sama. Bukankah seperti itu, dunia ini bekerja?”

Setelah mengatakannya, Leonel lekas meminta anggotanya untuk melepaskan ikatan tali di tangan Kaldera. Leonel akan membawa Kaldera entah ke mana, tidak ada yang mengetahui itu. Namun sebelum Leonel membawa Kaldera bersamanya, terdengar suara tembakan yang sangat kuat. Mereka segera mencari sumber peluru itu dan mendapati bahwa peluru tersebut mengenai salah satu kaca di ruangan tersebut hingga kaca jendela itu pecah.

“Cepat cari tau sumber peluru itu dan lakukan antisipasi,” seru Leonel memerintah anggotanya.

Para anggota Leonel segera melaksanakan perintah tersebut. Leonel menahan Kaldera bersamanya, satu lengan pria itu melingkar di seputaran leher Kaldera dan satunya lagi memegang sebuah pistol untuk berjaga-jaga.

Detik berikutnya yang terjadi, pintu ruangan itu dibuka dengan gerakan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat. Di sana Kaldera mendapati sosok yang begitu dikenalnya. Namun hatinya tidak tenang saat melihat Raegan hanya seorang diri di sana. Raegan menatap ke arah Leonel dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti ada rasa marah yang begitu besar yang masih coba pria itu tahan.

Beberapa anggota Leonel yang ada di sana siap mengeluarkan senjata dan mengarahkannya kepada Raegan. Namun Kaldera tidak mengerti mengapa Raegan hanya datang dengan tangan kosong.

Let her go,” ujar Raegan.

Leonel berdecih, lalu pria itu mengangkat pistolnya dan berhenti tepat di pelipis Kaldera. Leonel menatap Raegan lurus-lurus, lalu ia berujar, “*What will happen if she die in front of you?”

Kaldera menyaksikan itu di depan matanya sendiri. Raegan akhirnya rela berlutut di hadapan Leonel untuk meminta Leonel melepaskan Kaldera.

What do you want from me?” tanya Raegan. Kaldera melarang Raegan melakukannya, ia meminta Raegan bangkit dari posisinya. Namun Raegan tetap bertahan di sana, menunggu Leonel mengajukan syarat agar pria itu melepaskan Kaldera.

“Cabut tuntutan atas kasus Redanzio dan pembunuhan berencana ketua Mahkamah Konstitusi,” ujar Leonel.

Begitu mendengar itu, Raegan pun beranjak dari posisi berlututnya. Pandangannya kini tertuju pada Kaldera. Bagaimana bisa Raegan memilih salah satu dari kedua hal tersebut?

“Mas, jangan cabut tuntutannya,” ujar Kaldera. Namun yang terjadi setelahnya adalah justru di luar dugaan Kaldera. Malam itu di markas Tacenda, Raegan mengatakan bahwa ia akan mencabut tuntutannya terhadap dua kasus itu.

Kaldera tidak dapat mempercayai keputusan Raegan. Kerja keras Raegan dan Aquiver selama ini rasanya hancur begitu saja dan itu disebabkan oleh dirinya.

“Mas, kenapa kamu turutin dia … ” ucap Kaldera dengan suara lemahnya. Leonel telah melepaskan Kaldera.

Raegan kini meraih tangan Kaldera, lalu ia berujar sembari menatapnya lekat. “Itu lebih baik dari pada dia nyakitin kamu.”

“Kita pergi dari sini sekarang,” sambung Raegan seraya meraih pergelangan tangan Kaldera untuk membawanya pergi. Kaldera masih termangu dengan semua yang terjadi, sampai dirinya tidak sadar akan sesuatu.

Begitu mereka hampir mencapai pintu, Raegan menghela tubuh Kaldera untuk bertukar posisi dengannya. Raegan memeluk Kaldera bertepatan dengan suara tembakan yang terdengar begitu kuat di sana. Kedua netra Kaldera pun membola mendapati suara itu terasa begitu dekat dengan posisi mereka. Apa yang baru saja terjadi? Dalam sekedip mata, sebuah peluru telah mengenai Raegan yang seharusnya itu mengenainya. Leonel terlihat berdiri tidak jauh dari posisi mereka, lelaki itu memegang sebuah pistol yang tadi digunakannya untuk menembak Raegan.

“Kal—” ucapan Raegan tertahan dan detik berikutnya, pria itu terjatuh dengan kedua lututnya yang lebih dulu menyentuh lantai. Raegan yang masih memeluk Kaldera membuat gadis itu ikut terjatuh juga bersamanya.

“Mas … ” Kaldera nampak panik akan kondisi Raegan yang tertembak di depan matanya. Air mata Kaldera seketika luruh mendapati Raegan kesakitan sambil memeluknya. “Mas, kita ke rumah sakit sekarang ya. Tolong bertahan, sebentar aja,” ucap Kaldera dengan suara lirihnya.

Tidak sampai satu menit setelahnya, tempat tersebut di kepung oleh para anggota Aquiver. Anggota Barra yang mendapati kondisi Raegan yang tertembak, segera membantu untuk menyelesaikan urusan tersebut. Sementara anggota Romeo dan Calvin akan melakukan petarungan dengan anggota Tacenda malam ini. Kedua kubu kini telah sama-sama mengibarkan bendera perang dan diprediksi akan ada pertarungan besar yang terjadi.

“Nunggu ambulans akan terlalu lama, kita berangkat pakai mobil aja,” ujar Dean. Mereka akhirnya memutuskan memapah Raegan dan akan berangkat ke rumah sakit menggunakan mobil milik pribadi dan mencari jalur tercepat untuk sampai.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit di dalam mobil, Kaldera berusaha membuat Raegan tetap tersadar. Kedua mata Raegan beberapa kali hampir saja tertutup, tapi kata-kata Kaldera selalu berhasil mengembalikan pria itu pada kesadaran.

Raegan mendongak untuk menatap Kaldera. Dunianya kini ada di hadapannya dan nampak begitu khawatir padanya. Raegan lantas mengarahkan satu tangannya untuk menyeka air mata yang merembas di pipi Kaldera.

Kaldera menatap Raegan lekat-lekat, lalu satu tangannya bergerak untuk mengusap lembut sisi wajah Raegan. “Mas, please, keep your eyes open. Please, I’m begging you,” lirih Kaldera. Kaldera merasa begitu hancur melihat Raegan kesakitan di depan matanya seperti ini. Raegan rela meletakkan nyawanya di ujung tanduk dan pria itu melakukannya karena dirinya. Apa yang terjadi saat ini, membuat Kaldera akhirnya menyadari bahwa Raegan sangat berarti baginya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Pekan ujian akhir semester tinggal menghitung hari lagi. Kira-kira tidak sampai seminggu lagi, para siswa SMA kelas 12 akan menghadapi ujian akhir dan nantinya nilai tersebut akan tercetak di rapor kelulusan. Seperti pada umumnya, saat menjelang waktu ujian, para guru meminta murid-muridnya untuk melengkapi tugas-tugas yang belum terpenuhi, terutama untuk murid kelas 12 yang akan lulus tahun ini.

Di kelas 12 IPS 3, Icha yang merupakan teman sebangku Kaldera memperhatikan Kaldera yang baru saja mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

“Cieee … intens banget nih sekarang chat sama mas Raegan,” cetus Icha.

“Lo dijemput mas Raegan Kal nanti pulang sekolah?” tanya Icha. Kaldera lantas meletakkan ponselnya ke dalam saku kemejanya dan menoleh pada Icha.

“Engga deh kayanya. Mas Raegan lagi sibuk,” jawab Kaldera.

“Ohh gitu. Terus nanti lo dijemput siapa Kal?” tanya Icha. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, tapi Kaldera maupun Icha masih memiliki tugas yang harus mereka kumpulkan. Kaldera, Icha, dan Adel memang sudah berencana pergi ke percetakan untuk mencetak tugas poster digital mereka.

“Gue dijemput sama supirnya mas Raegan. Tadi gue udah bilang jemputnya agak telat aja dari biasanya,” ujar Kaldera. Icha pun mengangguk-angguk.

Tempat percetakan tujuan mereka tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi mereka harus mengejar waktu karena sekolah akan ditutup sekitar 1 jam lagi dari sekarang. Jadi Icha mengusulkan agar mereka naik motor saja. Namun karena hanya ada 1 motor dan Icha memboncengi Adel, jadilah Icha menyarankan sesuatu kepada Kaldera.

“Kal, lo nebeng aja sama Sandra. Kebetulan rumah Sandra searah sama tempat percetakannya. Nggak papa kan San, Kaldera nebeng sama lo?” ujar Icha kepada Sandra. Rupanya Sandra mengiyakan dan tidak masalah kalau memang Kaldera ingin ikut bersamanya.

Akhirnya Kaldera berangkat bersama Sandra. Kaldera, Icha, dan Adel janjian langsung bertemu di tempat percetakan. Tidak memakan waktu yang lama, sekitar kurang dari 10 menit, Kaldera dan Sandra telah sampai di tempat percetakan. Namun Icha dan Adel belum sampai di sana.

Sandra menawarkan pada Kaldera untuk menemaninya sampai Icha dan Adel datang, tapi Kaldera menolak tawaran itu. “Nggak papa San, gue tunggu Icha sama Adel aja. Paling sebentar lagi mereka nyampe, tadi di pertigaan kan emang agak macet, kayaknya mereka kejebak macet di sana,” ujar Kaldera.

“Ohh yaudah, Kal. Lo hati-hati ya, gue balik dulu kalau gitu,” ucap Sandra sebelum pergi. Kaldera mengangguki ucapan Sandra dan membiarkan Sandra pergi dari sana.

Di depan tempat percetakan itu, Kaldera menunggu kedatangan Icha dan Adel. Namun sampai hampir 20 menit berlalu, Kaldera masih di sana sendirian. Icha dan Adel tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Kaldera akhirnya memutuskan mengirim pesan pada Icha bahwa ia akan mencetak poster miliknya sendiri terlebih dulu. Bagaimana pun, ini adalah tugas individu dan harus segera dikumpulkan, Kaldera hanya mencoba berpikir realistis untuk saat ini.

Tinggal beberapa menit lagi sekolah akan ditutup. Jadi setelah mendapat hasil cetakan posternya, Kaldera segera memesan ojek online untuk sampai lebih cepat ke sekolah. Saat sampai di area sekolah, di sana sudah cukup sepi rupanya. Gedung sekolah Kaldera yang terletak di dalam gang itu, membuatnya perlu berjalan melewati 2 buah warung untuk sampai di sekolah.

Ketika langkah Kaldera sampai di warung kedua, ia merasa bahwa ada yang mengikuti langkahnya. Namun ketika Kaldera berbalik untuk melihat siapa yang mengikutinya, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Kaldera memutuskan lanjut berjalan dan bahkan mempercepat langkahnya untuk sampai ke sekolah. Namun tiba-tiba dari arah depannya, Kaldera dicegat oleh dua orang pria.

Kaldera otomatis mundur selangkah, perasaannya mengatakan bahwa dua orang itu akan berniat jahat kepadanya. Ketika Kaldera bergerak mundur, kedua bahunya justru dicekal oleh seseorang di sana. Kaldera berusaha melepaskan cekalan orang itu di bahunya. Gang yang sepi itu membuat Kaldera tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa.

“Mau ke mana sih, Cantik? Santai aja sama kita, sini,” ujar salah satu pria yang berada di hadapannya.

Tiba-tiba Kaldera teringat perkataan Raegan soal Aquiver yang sedang berusaha mencari keberadaan Leonel yang selalu bisa kabur. Mereka sudah menemukan antek yang meracuni Satrio, tapi belum juga menemukan Leonel. Apakah mungkin orang-orang ini adalah anggota geng Leonel?

Sekuat apa pun Kaldera mencoba melepaskan diri, usahanya tetap berakhir sia-sia. Satu orang pria dengan mudah membawanya, setelah melepaskan ransel Kaldera untuk dibuang begitu saja ke semak-semak. Jadi mereka tidak akan membawa sesuatu lain selain dirinya. Belum jauh saat para pria itu membawanya dari sana, Kaldera melihat sosok yang dikenalnya tidak jauh dari posisinya. Segera Kaldera berteriak untuk memanggil dua orang itu. Mendapati aksi Kaldera tersebut, pria yang mencekalnya segera membekap mulutnya.

Dua orang lelaki yang tadi dipanggil Kaldera rupanya adalah Aksa dan Kafka.

“Sial, kita harus cepet bawa dia tanpa satu pun orang yang lihat,” ujar seorang pria yang mendapati Aksa dan Kafka tengah melihat ke arah mereka.

Aksa dan Kafka yang mendapati Kaldera dibawa oleh orang asing, segera bergerak untuk menyelamatkannya. Mereka tidak terpikirkan untuk meminta bantuan lebih dulu, yang ada dipikiran mereka saat ini hanya berhasil menyelamatkan Kaldera dari orang-orang itu.

Di sinilah Aksa dan Kafka sekarang, mereka berhadapan dengan dua orang pria berbadan besar yang jika dilihat tentu tidak tidak sebanding keduanya. Aksa maju lebih dulu untuk menghadapi pria itu, sementara Kafka mundur beberapa langkah dan segera menghubungi seseorang dengan ponselnya. Namun Kafka juga diserang oleh pria satunya lagi hingga ponselnya terjatuh dan hancur diinjak oleh pria itu.

BUGH!!

Aksa mendapatkan 2 kali pukulan di wajahnya dan perutnya. Aksa telah mencoba melawan, tapi pria itu lebih kuat darinya. Aksa hampir saja dapat menjangkau Kaldera, tapi ia berhasil dilumpuhkan lagi oleh pria yang menahan Kaldera bersamanya.

“Aksa …” ucap Kaldera lirih. Kaldera tertegun mendapati kondisi Aksa. Kaldera melihat sendiri di depan matanya, Aksa babak belur di tangan dua pria itu.

“Kal, gue akan pastiin lo selamat,” ucap Aksa dengan suara pelannya. “Gue janji Kal,” sambung Aksa sebelum menerima pukulan lagi dari pria di hadapannya. Saat satu pria lagi akan meraih Kafka, Aksa menarik tubuh pria itu dan memberi satu bogem mentah untuk menjatuhkan pria itu.

“Kaf, lo tau kan apa yang harus lo lakuin. Gue minta tolong banget sama lo,” ucap Aksa. Kafka lekas menganggukinya dan membiarkan Aksa bergelut sendiri melawan dua orang itu. Salah satu di antara mereka harus ada yang selamat, maka dari itu harus ada yang berkorban.

Setelah kehilangan sahabatnya, Aksa tidak ingin merasa menyesal untuk yang kedua kalinya. Aksa sudah berjanji pada dirinya sendiri dan juga kepada Zio, ia akan melindungi sosok yang paling berharga bagi Zio, yakni Kaldera. Sekalipun harus mengorbankan nyawanya, Aksa rela untuk melakukannya. Zio telah berkorban untuknya, maka Aksa akan berusaha membalas budi sahabatnya itu.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Pekan ujian akhir semester tinggal menghitung hari lagi. Kira-kira tidak sampai seminggu lagi, para siswa SMA kelas 12 akan menghadapi ujian akhir dan nantinya nilai tersebut akan tercetak di rapor kelulusan. Seperti pada umumnya, saat menjelang waktu ujian, para guru meminta murid-muridnya untuk melengkapi tugas-tugas yang belum terpenuhi, terutama untuk murid kelas 12 yang akan lulus tahun ini.

Di kelas 12 IPS 3, Icha yang merupakan teman sebangku Kaldera memperhatikan Kaldera yang baru saja mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

“Cieee … intens banget nih sekarang chat sama mas Raegan,” cetus Icha.

“Lo dijemput mas Raegan Kal nanti pulang sekolah?” tanya Icha. Kaldera lantas meletakkan ponselnya ke dalam saku kemejanya dan menoleh pada Icha.

“Engga deh kayanya. Mas Raegan lagi sibuk,” jawab Kaldera.

“Ohh gitu. Terus nanti lo dijemput siapa Kal?” tanya Icha. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, tapi Kaldera maupun Icha masih memiliki tugas yang harus mereka kumpulkan. Kaldera, Icha, dan Adel memang sudah berencana pergi ke percetakan untuk mencetak tugas poster digital mereka.

“Gue dijemput sama supirnya mas Raegan. Tadi gue udah bilang jemputnya agak telat aja dari biasanya,” ujar Kaldera. Icha pun mengangguk-angguk.

Tempat percetakan tujuan mereka tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi mereka harus mengejar waktu karena sekolah akan ditutup sekitar 1 jam lagi dari sekarang. Jadi Icha mengusulkan agar mereka naik motor saja. Namun karena hanya ada 1 motor dan Icha memboncengi Adel, jadilah Icha menyarankan sesuatu kepada Kaldera.

“Kal, lo nebeng aja sama Sandra. Kebetulan rumah Sandra searah sama tempat percetakannya. Nggak papa kan San, Kaldera nebeng sama lo?” ujar Icha kepada Sandra. Rupanya Sandra mengiyakan dan tidak masalah kalau memang Kaldera ingin ikut bersamanya.

Akhirnya Kaldera berangkat bersama Sandra. Kaldera, Icha, dan Adel janjian langsung bertemu di tempat percetakan. Tidak memakan waktu yang lama, sekitar kurang dari 10 menit, Kaldera dan Sandra telah sampai di tempat percetakan. Namun Icha dan Adel belum sampai di sana.

Sandra menawarkan pada Kaldera untuk menemaninya sampai Icha dan Adel datang, tapi Kaldera menolak tawaran itu. “Nggak papa San, gue tunggu Icha sama Adel aja. Paling sebentar lagi mereka nyampe, tadi di pertigaan kan emang agak macet, kayaknya mereka kejebak macet di sana,” ujar Kaldera.

“Ohh yaudah, Kal. Lo hati-hati ya, gue balik dulu kalau gitu,” ucap Sandra sebelum pergi. Kaldera mengangguki ucapan Sandra dan membiarkan Sandra pergi dari sana.

Di depan tempat percetakan itu, Kaldera menunggu kedatangan Icha dan Adel. Namun sampai hampir 20 menit berlalu, Kaldera masih di sana sendirian. Icha dan Adel tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Kaldera akhirnya memutuskan mengirim pesan pada Icha bahwa ia akan mencetak poster miliknya sendiri terlebih dulu. Bagaimana pun, ini adalah tugas individu dan harus segera dikumpulkan, Kaldera hanya mencoba berpikir realistis untuk saat ini.

Tinggal beberapa menit lagi sekolah akan ditutup. Jadi setelah mendapat hasil cetakan posternya, Kaldera segera memesan ojek online untuk sampai lebih cepat ke sekolah. Saat sampai di area sekolah, di sana sudah cukup sepi rupanya. Gedung sekolah Kaldera yang terletak di dalam gang itu, membuatnya perlu berjalan melewati 2 buah warung untuk sampai di sekolah.

Ketika langkah Kaldera sampai di warung kedua, ia merasa bahwa ada yang mengikuti langkahnya. Namun ketika Kaldera berbalik untuk melihat siapa yang mengikutinya, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Kaldera memutuskan lanjut berjalan dan bahkan mempercepat langkahnya untuk sampai ke sekolah. Namun tiba-tiba dari arah depannya, Kaldera dicegat oleh dua orang pria.

Kaldera otomatis mundur selangkah, perasaannya mengatakan bahwa dua orang itu akan berniat jahat kepadanya. Ketika Kaldera bergerak mundur, kedua bahunya justru dicekal oleh seseorang di sana. Kaldera berusaha melepaskan cekalan orang itu di bahunya. Gang yang sepi itu membuat Kaldera tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa.

“Mau ke mana sih, Cantik? Santai aja sama kita, sini,” ujar salah satu pria yang berada di hadapannya.

“Lepasin,” ucap Kaldera.

Tiba-tiba Kaldera teringat perkataan Raegan soal Aquiver yang sedang berusaha mencari keberadaan Leonel yang selalu bisa kabur. Mereka sudah menemukan antek yang meracuni Satrio, tapi belum juga menemukan Leonel. Apakah mungkin orang-orang ini adalah anggota geng Leonel?

Sekuat apa pun Kaldera mencoba melepaskan diri, usahanya tetap berakhir sia-sia. Satu orang pria dengan mudah membawanya, setelah melepaskan ransel Kaldera untuk dibuang begitu saja ke semak-semak. Jadi mereka tidak akan membawa sesuatu lain selain dirinya. Belum jauh saat para pria itu membawanya dari sana, Kaldera melihat sosok yang dikenalnya tidak jauh dari posisinya. Segera Kaldera berteriak memanggil dua orang itu. Mendapati aksi Kaldera, pria yang membawanya itu segera membekap mulutnya.

Dua orang lelaki yang tadi dipanggil Kaldera rupanya adalah Aksa dan Kafka.

“Sial, kita harus cepet bawa dia tanpa satu pun orang yang lihat,” ujar seorang pria yang mendapati Aksa dan Kafka tengah melihat ke arah mereka.

Aksa dan Kafka yang mendapati Kaldera dibawa oleh orang asing, segera bergerak untuk menyelamatkannya. Mereka tidak terpikirkan untuk meminta bantuan lebih dulu, yang ada dipikiran mereka saat ini hanya berhasil menyelamatkan Kaldera dari orang-orang itu.

Di sinilah Aksa dan Kafka sekarang, mereka berhadapan dengan dua orang pria berbadan besar yang jika dilihat tentu tidak tidak sebanding keduanya. Aksa maju lebih dulu untuk menghadapi pria itu, sementara Kafka mundur beberapa langkah dan segera menghubungi seseorang dengan ponselnya. Namun Kafka juga diserang oleh pria satunya lagi hingga ponselnya terjatuh dan hancur diinjak oleh pria itu.

BUGH!!

Aksa mendapatkan 2 kali pukulan di wajahnya dan perutnya. Aksa telah mencoba melawan, tapi pria itu lebih kuat darinya. Aksa hampir saja dapat menjangkau Kaldera, tapi ia berhasil dilumpuhkan lagi oleh pria yang menahan Kaldera bersamanya.

“Aksa …” ucap Kaldera lirih. Kaldera tertegun mendapati kondisi Aksa. Kaldera melihat sendiri di depan matanya, Aksa babak belur di tangan dua pria itu.

“Kal, gue akan pastiin lo selamat,” ucap Aksa dengan suara pelannya. “Gue janji Kal,” sambung Aksa sebelum menerima pukulan lagi dari pria di hadapannya. Saat satu pria lagi akan meraih Kafka, Aksa menarik tubuh pria itu dan memberi satu bogem mentah untuk menjatuhkan pria itu.

“Kaf, lo tau kan apa yang harus lo lakuin. Gue minta tolong banget sama lo,” ucap Aksa. Kafka lekas menganggukinya dan membiarkan Aksa bergelut sendiri melawan dua orang itu. Salah satu di antara mereka harus ada yang selamat, maka dari itu harus ada yang berkorban.

Setelah kehilangan sahabatnya, Aksa tidak ingin merasa menyesal untuk yang kedua kalinya. Aksa sudah berjanji pada dirinya sendiri dan juga kepada Zio, ia akan melindungi sosok yang paling berharga bagi Zio, yakni Kaldera. Sekalipun harus mengorbankan nyawanya, Aksa rela untuk melakukannya. Zio telah berkorban untuknya, maka Aksa akan berusaha membalas budi sahabatnya itu.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Bandara Internasional Soekarno Hatta siang hari ini terlihat cukup padat. Terdapat banyak orang yang berlalu lalang, dari mulai calon penumpang, pengunjung non penumpang, dan sisanya adalah karyawan bandara yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Di area check in terminal 2 untuk keberangkatan domestik, terlihat lebih ramai dari pada untuk keberangkatan internasional yang cenderung lebih lengang. Hal tersebut dikarenakan peraturan baru pemerintah yang memperbolehkan pengunjung non penumpang memasuki area check in untuk menikmati shopping arcade atau sekedar menghabiskan waktu lebih lama, sebelum berpisah dengan penumpang yang akan berangkat. Berbeda dengan area keberangkatan internasional, pengunjung selain calon penumpang, tidak diperbolehkan masuk.

Tidak jauh dari area security check point, 3 orang pria kembali bertemu di satu titik setelah sebelumnya saling berpencar. “Bos, kita harus gimana? Keberangkatan internasional nggak memperbolehkan non penumpang masuk ke area check in,” ujar Vero, seorang pria yang mengenakan topi hitam.

Seorang yang di panggil bos itu, lantas menurunkan kacamata aviatornya. “Kita pakai plan B untuk bisa ke sana. Gimana pun caranya, kita harus masuk ke area check in untuk menemukan pengkhianat itu,” ujar Romeo, orang yang rupanya dipanggil bos oleh 2 pria yang sedang bersamanya.

Romeo

***

Mereka telah mempersiapkan rencana matang sejak awal. Mereka mempunyai plan A dan tentunya mempersiapkan plan B. Dean dan Vero sangat tahu bahwa bos mereka akan selalu memiliki cara. Berbicara soal peraturan yang harus ditaati, memang tidak semua bisa berjalan sesuai keinginan kita. Namun sejatinya, uang selalu menggiurkan bagi kebanyakan orang dan dapat merubah seseorang.

“Nama lengkapnya Hendri Tanjung, tujuan Taiwan, berangkat pukul 15.00, gate B2, kursi no. 15 E,” ujar seseorang yang ditemui oleh Romeo itu. Dean dan Vero mengawasi keadaan sekitar, memastikan bahwa pertemuan bos mereka dengan petugas bandara itu tidak diketahui oleh siapa pun.

“Anda akan dapatkan uangnya kalau bisa memberi akses kami untuk masuk masuk ke boarding room,” ujar Romeo.

“Untuk itu saya tidak bisa bantu, Pak,” ucap petugas bandara itu.

“Informasi yang Anda berikan tidak berguna untuk tujuan saya. Saya ingin mendapatkan orang itu, gimana pun caranya,” ujar Romeo lagi.

Pria yang merupakan petugas bandara itu terlihat menimang. Sebelum akhirnya Romeo berbalik pergi bersama uang bernilai besar, akhirnya petugas itu mengiyakan permintaan Romeo. Pekerjaannya menjadi taruhannya, jika hal ini sampai menimbulkan masalah. Namun Romeo memberinya jaminan bahwa apa pun itu petugas tersebut tidak akan kehilangan pekerjaannya.

“Baik, Pak. Saya akan membantu Anda untuk masuk ke sana,” putus petugas bandara itu.

***

Sayangnya hanya 1 orang yang dapat dibawa masuk ke area boarding room. Gate B2 akan dibuka beberapa saat lagi, jadi Romeo tidak punya banyak waktu untuk menemukan Hendri. Romeo masih bersama petugas bandara yang mengusahakan akses masuk untuknya. Boarding room yang cukup luas itu tampak cukup ramai. Romeo kini telah sampai di gate B2, tempat di mana tujuanya untuk menemukan targetnya.

Petugas bandara yang membantunya telah mempersiapkan akses bagi Romeo untuk kabur ketika ia sudah bertemu targetnya nanti. Mereka akan melewati jalur arrival VIP yang menghubungkan langsung ke area parkir kendaraan.

Romeo tahu bahwa caranya ini mungkin akan menimbulkan kegaduhan di area bandara. Namun tidak ada pilihan untuk itu. Jika mereka kehilangan Hendri, mereka mungkin tidak akan pernah mendapatkan Leonel dan pejabat negara yang telah merencanakan pembunuhan terhadap Satrio.

Romeo memindai di seluruh area gate B2. Di sana cukup ramai, dan agak sulit untuk menemukan sosok Hendri. Namun saat matanya berhenti di satu titik yakni di kursi paling ujung gate B2 itu, ada sosok pria yang dicurigai Romeo merupakan Hendri. Meskipun orang itu mengenakan pakaian serba hitam dengan pootngan rambut yang berbeda dari yang sebelumnya, Romeo tetap yakin kalau orang itu memang benar Hendri. Namun Romeo tidak bisa langsung ke sana, pasalnya posisi Hendri dekat dengan seorang security dan faktor-faktor lain yang tidak memungkinkan ia untuk langsung beraksi.

Melalui telfon genggamnya, Romeo lantas mengirimkan pesan pada petugas bandara yang bekerja sama dengannya untuk melakukan sesuatu. Tidak jauh dari posisi Hendri, Romeo berdiri di sana, tapi tidak sampai Hendri menyadari bahwa pria itu dalam pengawasannya. Di sana Romeo pun tinggal menunggu semuanya bekerja sesuai keinginannya.

Tidak sampai lima menit kemudian, gate B2 yang sebelumnya nampak tentram seketika berubah menjadi ricuh. Penumpang di sana terliha panik berkat listrik yang tiba-tiba padam, semua menjadi gelap dan tentu itu membuat mereka melakukan protes kepada para petugas bandara. Di saat situasi chaos itu, Romeo segera bergerak melancarkan aksinya.

“Kepada seluruh penumpang diharapkan untuk tenang, kami akan berusaha mencari tahu penyebab padamnya aliran listrik,” terdengar suara seorang perempuan dari pengeras suara yang ada di sana.

Hendri yang termasuk salah satu penumpang di gate B2, menemukan keberadaan Romeo tepat saat ia menoleh ke kursi di sampingnya. Kursi yang sebelumnya kosong itu, kini telah ditempati oleh seseorang. Meskipun situasinya tengah gelap, rupanya Hendri tetap dapat mengenali siapa sosok yang berada di hadapannya itu.

Sambil membawa ransel hitamnya, Hendri bergerak cepat untuk melarikan diri dari Romeo. Namun Romeo tidak kalah cepat juga untuk mengejar Hendri yang berlari menembus kerumunan orang di sana. Dikarenakan oleh ramainya boarding room itu, pergerakan Hendri menjadi cukup sulit. Beberapa kali Hendri menabrak penumpang lain, sukses membuat keributan di sana.

Romeo masih mengejar Hendri dengan gerakannya yang gesit dan langkahnya yang lebar. Mungkin listriknya akan menyala sebentar lagi, jadi Romeo tidak memiliki banyak waktu. Saat matanya menangkap ke mana larinya Hendri, Romeo segera menuju ke sana. Di sebuah lorong di mana Hendri berpikir bahwa dirinya aman bersembunyi dari Romeo, pria itu rupanya salah perkiraan. Lorong itu buntu, jadi ketika Romeo menemukan Hendri di sana, pria itu pun terpojok.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Romeo berjalan menghampiri Hendri yang tampak ketakutan.

“Ssssht,” Romeo meletakkan tangannya di depan bibirnya. “Anda tahu, ada yang lebih cepat membunuh dibandingkan arsenik,” ujar Romeo dengan nada datarnya, tapi tatapannya begitu terasa menusuk.

“Tolong, tolong, jangan bunuh saya. Saya tidak tau apa-apa,” ucap Hendri.

Romeo lantas berdecih. Kemudian sebuah senyum smirk terulas di wajah tegasnya. “Kalimat Anda barusan justru menunjukkan kalau Anda tahu semuanya. You have business with us, so you need to pay it.”

***

Di markas besar Aquiver, sebuah kursi yang biasa digunakan untuk menghukum target maupun pengkhianat, kini telah ditempati oleh seseorang. Namun ada yang berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, orang yang duduk di kursi itu yang diketahui adalah Hendri, saat ini masih tampak begitu baik dan utuh.

Hendri yang baru saja sadar dari pingsannya berkat obat bius, kini mendapati sosok yang sangat fameliar di hadapannya. Tatapan orang itu nampak sungguh datar, tidak ada kesan amarah, orang itu justru terlihat tenang. Di ruangan itu juga ada beberapa anggota Aquiver yang berdiri di belakang bos mereka.

Raegan in suit

Orang yang berada di hadapan Hendri itu adalah Raegan. Sosok yang dulu pernah membantu Hendri, mengangkat derajat keluarganya, bahkan mempercayakannya untuk bekerja pada keluarga Gumilar. Namun Hendri berkhianat dan hampir membunuh papanya.

Raegan berdecih di depan wajah Hendri, lalu pria mengalihkan tatapannya ke arah lain. Berikutnya Raegan berbalik dan berjalan menuju kursi kebesarannya. Pria itu duduk di sana, memangku kedua lengannya di atas paha dan jemarinya saling bertaut.

“Anda sudah tahu bahwa saya tidak suka memaafkan seseorang. Seribu kali pun Anda meminta maaf dan memohon ampun, itu tidak akan mengembalikan kepercayaan saya kepada Anda,” Raegan menjeda ucapannya. Rasa kecewa yang tiba-tiba menyerangnya, membuatnya kesulitan untuk berbicara.

Anggota Aquiver sebelumnya telah meminta Hendri berbicara tentang siapa yang berada di balik semua ini. Namun pria berusia 40 tahun itu sejauh ini masih bungkam. Raegan mencegah anggotanya yang akan bergerak menyeret Hendri ke ruang eksekusi. Di ruang tersebut berbagai alat telah siap untuk digunakan kapanpun, untuk membuat target mereka patuh. Para anggota Aquiver sempat merasa heran mendapati Raegan akan menggunakan cara lain, tapi mereka tidak akan bergerak tanpa perintah dari ketua mereka.

Raegan hampir meluapkan amarahnya, tapi ia berusaha untuk menahannya. Raegan menyadari bahwa rassa dendam dan amarah tidak akan menyelesaikan masalahnya. Raegan hanya memerlukan akalnya untuk mendapat titik terang dari semua ini.

“Anda membuat semua ini jadi lebih mudah, Pak Hendri,” ucap Raegan diiringi sebuah senyum tipis yang terulas wajahnya.

“Maksud Anda?” tanya Hendri.

“Anda akan merasakan pahitnya hukum itu sendiri, atas apa yang Anda perbuat kepada Satrio Malik Gumilar. Sementara orang yang memerintah Anda akan bebas,” ujar Raegan.

“Anda tidak akan pernah bisa menghukum orang itu, Raegan. Anda tidak mengerti dengan siapa Anda akan berurusan,” ucap Hendri dengan ekspresinya yang seolah menunjukkan bahwa Raegan tetap akan kalah mau sekeras apapun usahanya.

Tatapan Raegan yang lurus-lurus menatap Hendri, membuat pria itu tidak dapat menebak apa yang ada di dalam pikiran Raegan. Selanjutnya Raegan mengulaskan senyum smirk-nya, tapi secepat itu juga ekspresinya berubah menjadi datar dan mengintimidasi.

“Siapa yang Anda maksud? Abbas Pasha Tarigan? Kenapa saya tidak bisa menghukumnya?” ujar Raegan.

Hendri nampak terkejut mendengar Raegan mengucapkan nama itu. Ekspresi Hendri sudah sangat jelas menunjukkan siapa dalang yang berada di balik semua ini.

“Anda membuat saya tidak perlu mengotori tangan untuk menghukum orang itu. Bukan berarti seorang penegak hukum yang melakukan kesalahan, tidak bisa diadili oleh hukum itu sendiri. Lagipula kesaksian Anda cuma sebagian kecil dari bukti yang sudah saya punya,” ujar Raegan.

Hendri masih tampak bingung, tapi begitu ia melihat sebuah pantulan di layar dari projector di ruangan itu, ia pun akhirnya mengerti. Semuanya kini tampak jelas. Di sana terdapat rekaman video dan rupanya sedari tadi ada kamera yang tidak di sadarinya yang merekam semuanya.

Secara tidak langsung Hendri telah mengakui perbuatannya sendiri dan mengatakan bahwa Abbas Pasha adalah orang yang menyuruhnya untuk membunuh Satrio. Begitu rekaman tersebut selesai terputar, Raegan berbalik dan melangkah pergi dari sana. Raegan telah meminta anggotanya untuk menjaga Hendri baik-baik. Sebelum pergi dari sana, Raegan mengatakan kepada Hendri bahwa ia telah memaafkan Hendri akan perbuatannya. Namun bukan berarti Raegan akan melupakan, serta membiarkannya terbebas dari jerat hukum yang harus mengadilinya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Satu minggu kemudian.

Sejak hari penangkapan Leonel dan Abbas Pasha, perlahan-lahan Raegan dan keluarganya dapat menjalani kehidupan seperti sediakala, seperti saat sebelum kecemasan tidak menghantui mereka. Satrio dan Indri pergi bekerja bersama di pagi hari, Raegan berangkat ke kantornya setelah mengantar Kaldera ke sekolah. Sesekali The Ninety Seven berkunjung ke rumah atau Raegan dan Kaldera yang mengunjungi markas. Mereka cukup banyak menghabiskan waktu bersama, Raegan dan Kaldera memberitahu orang-orang terdekat mereka tentang hubungan keduanya. Mereka ikut bahagia saat mendengarnya, meski terkadang Romeo atau Calvin megganggu keduanya saat ingin berduaan saja.

Hari ini ada jadwal pengambilan rapot di sekolah Kaldera. Teman-teman Kaldera mayoritas datang bersama orang tua mereka, tapi berbeda dengan Kaldera. Tadinya Kaldera ingin datang bersama mama, tapi ada perubahan pada rencana awal.

Raegan menawarkan Kaldera untuk menjadi walinya, untuk mengambil rapot ke sekolahnya. Akhirnya Kaldera menyetujui itu, karena mama hari ini ada rapat penting di kantornya yang tidak bisa ditinggalkan.

Pengambilan rapot ini merupakan yang terakhir, akan ada informasi penting yang akan disampaikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan nantinya. Jadi sepertinya akan lebih baik jika ada seseorang yang menemaninya untuk datang ke sekolah, daripada Kaldera datang sendiri.

Begitu giliran Kaldera mengambil rapotnya, kini seorang guru perempuan menatap Kaldera dan Raegan secara bergantian. Tatapan bu Nurhayati itu seolah meminta penjelasan tentang siapa sosok wali yang tengah bersama salah satu muridnya ini.

“Dengan Bapak—atau Mas siapa? Apakah Anda walinya Kaldera?” bu Nurhayati berujar agak ragu. Beliau memperhatikan penampilan formal Raegan. Mungkin wali kelasnya itu sedang memperkirakann, berapa usia Raegan dan apa hubungannya dengan Kaldera.

Raegan menoleh pada Kaldera selama beberapa detik, lalu ia beralih menatap wali kelas Kaldera. Raegan lantas mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. “Saya walinya Kaldera yang baru, Bu. Kenalkan, Raegantara,” ucap Raegan dengan begitu lugas, khas sekali gaya pria itu ketika berbicara.

Ibu Nurhayati segera membalas uluran tangan Raegan dan mengulaskan seuntai senyuman. “Baik, silakan duduk, Bapak Raegantara,” ucap bu Nurhayati kemudian.

***

Keberadaan Raegan sukses mengundang perhatian teman-teman sekelas Kaldera. Tidak hanya sampai di situ, beberapa orang tua murid yang memang mengenal Kaldera, menanyakan padanya tentang siapa Raegan sebenarnya dan apa hubungan yang ia miliki dengan lelaki berusia 30 tahunan itu.

Kaldera hanya menjawab bahwa Raegan adalah walinya yang baru. Kaldera tidak ingin menjelaskan lebih jauh kenapa walinya sebelumnya yang merupakan tantenya berubah menjadi sosok lelaki dewasa. Beberapa akhirnya menduga bahwa Raegan adalah kakaknya Kaldera. Kaldera dan Raegan pun hanya mengiyakannya saja. Perbedaan usia yang jelas tampak di antara Kaldera dan Raegan, membuat orang-orang akhirnya berasumsi demikian.

Untung acara pengambilan rapot itu tidak memakan waktu yang terlalu lama. Setelah membawa buku rapot dan hasil portofolio karya selama Kaldera bersekolah 3 tahun di SMA ini, Kaldera dan Raegan akhirnya keluar dari ruangan kelas dan bergegas untuk pulang.

Namun saat mereka hampir sampai di tangga, Kaldera menghentikan langkahnya. Otomatis Raegan yang berjalan di samping Kaldera pun ikut berhenti.

“Mas, ada barang aku yang ketinggalan di loker kelas. Aku ambil dulu, ya? Kamu tunggu di sini aja sebentar,” ucap Kaldera pada Raegan.

“Oke.” Raegan pun mengangguk mengiyakan.

Raegan menunggu Kaldera di sana. Selama ia di sana, beberapa murid atau pun guru yang melewatinya selalu berhenti sejenak untuk sekedar menoleh ke arahnya. Kepada para guru, Raegan membungkukkan badannya dengan sopan dan mengulaskan senyum tipis yang ramah. Ini pengalaman seumur hidup yang tidak akan Raegan lupakan. Bagaimana Raegan bisa melupakannya, ia datang ke sebuah sekolah untuk menjdi mengambil rapot dan menjadi wali bagi kekasihnya sendiri. Sungguh pengalaman yang menakjubkan, bukan?

Ketika ditatap dengan tatapan ingin tahu, biasanya Raegan akan dapat menjelaskan siapa dirinya. Namun kali ini, situasinya sungguh berbeda. Tidak mungkin ia menjawab dengan jujur pertanyaan orang tua teman Kaldera tentang apa hubungannya dengan Kaldera.

Saat mata Raegan menangkap sosok Kaldera yang tengah berjalan ke arahnya di ujung koridor, Raegan hampir melangkah untuk menghampiri Kaldera lebih dulu. Namun aksinya tersebut terhenti, kala ia melihat tiga orang teman Kaldera menghampiri gadis itu.

Raegan pun memutuskan untuk tetap di tempatnya. Dari posisinya saat ini, Raegan cukup bisa mendengar percakapan antara Kaldera dan teman-temannya.

“Kal, kok kita nggak pernah tau kalau wali lo ganti? Tante lo emangnya ke mana?” tanya salah satu teman Kaldera itu.

“Gue nggak bisa ceritain sekarang. Kapan-kapan gue bakal cerita ke kalian ya,” jawab Kaldera.

Tatapan teman-teman Kaldera pun nampak kecewa. Namun apa boleh buat, mereka tetap harus menghargai keputusan Kaldera itu. Kaldera masih belum ingin berbagi cerita tentang perubahan pada hidupnya.

Raegan juga akhirnya mencoba mengerti itu. Meski sebenarnya Raegan sangat ingin teman-teman Kaldera mengetahui hubungan mereka, tapi Raegan sadar itu tidak mungkin dapat terjadi dalam waktu dekat.

“Cuma satu yang bisa gue kasih tau ke kalian. Tapi please, jangan sampai ini kesebar dulu siapa-siapa ya,” ujar Kaldera lagi.

Suasana sekolah saat ini sudah lumayan sepi, beberapa sudah meninggalkan gedung setelah selesai mengambil rapot. Hari ini juga kelas 10 dan 11 diliburkan, jadi khusus kelas 12 saja yang diperbolehkan datang karena ada urusan mengambil rapot ke sekolah.

“Ini soal wali lo yang baru Kal?” tebak temannya yang satunya. Kaldera dengan cepat mengangguk mengiyakan. Dari posisinya, Raegan pun ikut menunggu jawaban yang akan diberikan Kaldera kepada teman-temannya.

“Sebenernya mas Raegan itu cowok gue, sekaligus wali gue juga,” ucap Kaldera akhirnya. Kaldera lantas nampak tersenyum sekilas setelah mengatakannya.

Usai Kaldera mengucapkannya, ketiga temannya hanya mampu terdiam, mereka nampak bingung harus memberi respon apa. Sahabat-sahabat dekat Kaldera itu nampak tidak percaya atas kalimatnya barusan. Namun memang begitulah kenyataannya. Kaldera berjanji akan menceritakan semuanya nanti, ketika waktunya sudah tepat. Kaldera akan menunjukkan secara resmi orang-orang yang sangat ia sayangi di hidupnya, sosok Raegan, mama Indri, dan papa Satrio.

“Yaudah, gue duluan ya,” ucap Kaldera sebelum melangkah pergi meninggalkan teman-temannya.

Begitu Kaldera semakin dekat menuju di mana Raegan berada, Raegan segera mengubah ekspresi wajahnya agar jadi senormal mungkin. Nanti apa yang akan Kaldera pikirkan kalau melihat Raegan tersenyum lebar seperti ini.

Kaldera mungkin tidak menyadari itu. Namun perlakuan kecil dan pengakuan Kaldera akan sosok Raegan di hidupnya, telah membuat Raegan merasa bahagia. Bahagianya Raegan ternyata sesederhana ini.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂