alyadara

Kehadiran Orang yang Tidak Terduga

Edgar telah menjelaskan yang sesungguhnya kepada Valdo, bahwa antara dirinya dan Riana tidak ada hubungan spesial apa pun. Valdo akhirnya percaya, tapi sepertinya Edgar akan kembali mendapat kecurigaan baru setelah ini.

Edgar dan Ardi baru saja kembali dari ruangan divisi kreatif untuk menerima laporan terkait promotion tools yang akhirnya di disepakati, yang nantinya akan dibuat eksekusinya oleh tim marketing sosial media.

Namun Edgar kembali ke ruangan tidak dengan tangan kosong. Satu tangannya menenteng sebuah paper bag dengan logo brand makanan yang cukup terkenal.

“Dapet dari mana tuh Gar?” Jesslyn bertanya sambil mengarahkan tatapannya pada paper bag yang di bawa oleh Edgar.

“Habis dikasih sama Riana. Buat makan siang, katanya. Takutnya nggak sempet keluar buat beli makan gitu,” ujar Ardi yang justru menjawab, padahal Edgar yang mendapat pertanyaan itu.

Hari ini memang cukup hectic di kantor. Beberapa minggu lagi, IT'S CLEINE akan me-launching produk baru. Jadi para karyawan juga terasa semakin dikejar oleh berbagai deadline.

Edgar tidak menanggapi ucapan Ardi dan Jesslyn yang lantas menduganya memiliki hubungan dengan Riana. Bagi Edgar, tidak ada yang perlu dijelaskan berkali-kali. Cukup sekali saja Edgar mengatakannya, maka semuanya sudah jelas bahwa ia memang tidak ada hubungan apa pun dengan Riana.

Edgar kembali ke kursinya dan duduk di sana. Namun bukannya membuka bungkus makanannya dan menyantap makan siangnya, lelaki itu justru berkutat pada laptop.

Edgar sekilas menoleh ke sampingnya, ia memperhatikan Lilie yang baru saja akan memesan makanan. Edgar kembali lagi pada laptopnya. Tanpa sadar di ruangan itu hanya tersisa dirinya, Lilie, dan Valdo saja. Jesslyn dan Ardi telah pergi entah ke mana.

Tidak lama kemudian, Valdo melenggang keluar juga dari sana. Seolah Valdo mengerti dan ingin memberi ruang untuk Edgar dan Lilie.

“Kak, mau pesen makanan apa?” Edgar bertanya sambil menoleh dan menatap Lilie.

“Aku mau pesen makanan korea yang di deket GI. Kenapa?”

“Boleh pesenin sekalian?”

“Lho kamu bukannya udah ada makanan?” Lilie justru bertanya sambil mengarahkan tatapannya pada paper bag yang ada di meja Edgar. Lilie tampak heran karena Edgar ingin memesan makanan, padahal lelaki itu sudah memiliki menu makan siangnya.

“Aku lagi pengen makanan korea juga. Nanti makanan ini mau aku bawa pulang aja,” ucap Edgar berdusta. Sebenarnya Edgar hanya tidak bernapsu menyantap makanan yang diberikan Riana. Edgar tidak menduga bahwa tiba-tiba tadi Riana memberikannya makanan. Edgar tidak mungkin menolak pemberian itu di depan orang yang memberi langsung, bukan?

“Oke. Aku udah pilih menu yang aku mau. Kamu pilih dulu mau apa, nanti aku pesenin,” ucap Lilie sembari memberikan ponselnya pada Edgar agar lelaki itu bisa memilih menu yang diinginkannya.

***

Hari ini Lilie kembali bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sekitar pukul 9 malam, Lilie baru meninggalkan kantor. Seperti biasa, Lilie harus berjalan kaki untuk sampai ke halte Transjakarta. Baru beberapa langkah Lilie berjalan dari gedung kantornya, ia mendapati sebuah motor yang nampak tidak asing baginya. Sosok pemilik motor tersebut rupanya berada tidak jauh dari sana. Di sebuah kafe yang memiliki area outdoor tersebut, Edgar ada di sana dan ia segera menghampiri Lilie.

Edgar membuatnya terlihat alami sebisa mungkin. Edgar mengatakan kalau ia belum pulang dan ingin nongkrong di kafe itu. Tanpa Lilie tahu, Edgar sebenarnya sengaja melakukannya karena ia ingin mengantar Lilie pulang.

“Rumah kamu di mana emangnya?” Lilie malah bertanya, karena secara jujur telah ia ungkapkan sebelumnya, bahwa rumahnya cukup jauh jaraknya. Jika rumah Edgar berlawanan arah juga dengan arah rumahnya, maka lebih baik Lilie naik bus Transjakarta seperti biasa.

“Nggak jauh kok Kak. Naik motor lebih cepet, kalau Transjakarta lama. Ini udah malem, bahaya kalau Kakak pulang sendiri,” ujar Edgar.

Lilie sesaat memikirkannya. Kalau soal helm untuk penumpang, di motor Edgar ada satu helm lagi. Jadi itu bukan sebuah masalah dan akan aman saja.

“Oke, deh. Tapi bener ya nggak ngerepotin,” Lilie akhirnya setuju untuk diantar pulang oleh Edgar.

Edgar pun dengan mengangguk. Di dalam rongga dadanya, jantung Edgar terasa akan meledak karena kegirangan. Namun tetap, lelaki itu coba bersikap normal dan seolah tidak ada yang terjadi. Edgar baru saja mengenakan helmnya dan akan menyerahkan sebuah helm kepada Lilie. Tiba-tiba kehadiran seseorang di sana yang memanggil nama Lilie, membuat mereka lantas melihat ke arah orang itu.

Marcel

Edgar meletakkan kembali helm yang sebelumnya akan ia berikan pada Lilie, lalu Edgar melepas helm yang telah ia pakai hanya untuk memastikan sosok yang kini berada di hadapannya mereka.

Edgar jelas melihat bahwa sosok pria jangkung tersebut adalah Marcellio Moeis. Rupanya Marcel memberhentikan mobilnya tidak jauh dari posisi mereka.

“Lilie, kamu sama kenal dia?” Marcel bertanya.

“Pak Marcel,” ucap Lilie dengan sopan. Lilie tampak kaget dan canggung mendapati Marcel di sana, tapi detik berikutnya ia segera berusaha mencairkan suasana dan menjelaskan situasinya. “Oh iya Pak, Edgar ini karyawan internship di divisi saya,” terang Lilie.

“Oh gitu. Saya tadi ngeliat kamu. Saya habis dari kafe deket sini. Kamu mau pulang juga? Biar saya antar, gimana?”

Kalimat enteng yang terlontar dari bibir Marcel, rasanya bagai sambaran petir di siang bolong bagi Edgar.

“Tapi rencananya saya pulang sama Edgar, Pak. Terima kasih banyak atas tawarannya, tapi saya sama Edgar aja. Tidak perlu repot-repot Pak,” ujar Lilie.

“Lilie, tapi ini udah malam dan kayaknya akan hujan sebentar lagi. Lebih baik saya yang antar kamu,” ucap Marcel lagi.

Lilie lantas menoleh pada Edgar, perempuan itu tampak bingung bagaimana harus bertindak. Edgar tidak tahu menahu tentang masa lalu Lilie dengan Marcel seperti apa. Jadi Edgar berpikir bahwa Lilie mungkin akan lebih memilih diantar pulang oleh Marcel ketimbang dirinya.

“Kak, kayaknya bentar lagi emang mau hujan. Dari pada kehujanan, mending Kakak pulang sama Pak Marcel aja,” Edgar pada akhirnya angkat suara.

Sepertinya memang yang terbaik adalah Lilie pulang bersama Marcel. Dari cara Marcel menatap Lilie dan nada bicaranya, seolah menggambarkan bahwa ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.

Seorang CEO yang berbicara dengan nada yang terkesan akrab kepada seorang manager yang bekerja di perusahaan miliknya, rasanya tidak mungkin jika tidak ada yang spesial di antara keduanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Pagi ini Edgar tampak bersemangat untuk memulai hari pertamanya magang. Bahkan Edgar datang lebih cepat ke kantor. Di ruangan divisi social media marketing, belum ada satu pun orang ketika Edgar sampai di sana. Selagi mengisi waktu luangnya dan tengah sendiri berada di ruangan, Edgar memutuskan mengabari Bundanya melalui chat. Edgar mengatakan bahwa hari ini merupakan hari pertamanya magang di kantor Lilie.

Seperti biasa, Bundanya lantas menyemangatinya dan menanyakan beberapa hal. Seperti apakah Edgar sudah sarapan, membawa jas hujan, dan hal-hal lain yang menyangkut tentangnya.

Edgar meletakkan ponselnya kembali di saku celana jeansnya setelah mengakhiri chat bersama Bundanya. Edgar kemudian berniat turun ke bawah untuk mencari sarapan. Ini masih pukul 8 dan jam kerja baru akan dimulai pada pukul 9.

Edgar turun menggunakan lift dan langkahnya pun akhirnya membawanya ke luar gedung. Gedung besar yang ditempati oleh beberapa brand ternama tersebut terdapat di tengah-tengah kota metropolitan. Lokasinya tentu cukup strategis, terdapat banyak pusat untuk menggerakkan perekonomian negara.

Tidak jauh dari sana, sebenarnya ada sebuah pusat perbelanjaan yang terbilang besar. Berjejer juga kafe-kafe dengan merek ternama yang menyediakan menu sarapan untuk para karyawan maupun orang-orang mengeluarkan uang untuk sekedar menikmati sarapan fancy di kota. Namun Edgar tidak termasuk ke dalam golongan tersebut. Meski sebenarnya Edgar sanggup saja membeli makanan di kafe itu, tapi Edgar memilih melipir ke alun-alun kota. Di sana terdapat para pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai jenis makanan. Yang utama bagi Edgar, selama makanan tersebut enak dan tempat jualannya bersih, mengapa ia harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk sekedar mengisi perut?

Edgar berjalan santai menuju salah satu penjual kaki lima setibanya ia di area alun-alun. Untuk sarapan kali ini, Edgar harus mengisi amunisinya dengan karbohidrat dan protein yang cukup, tentunya dengan tujuan agar ia semakin semangat menjalani hari ini untuk bekerja bersama Lilie.

Sebuah gerobak pedagang nasi rames pun menjadi tujuan lelaki itu.

“Bu, nasi ramesnya satu ya,” ucap Edgar pada sang ibu penjual nasi rames. Edgar pun menunggu pesanannya selesai dibuatkan. Selagi lelaki itu menunggu, matanya berpendar ke sekelilingnya. Beberapa orang dengan setelan formal nampak berjalan berlalu lalang di sekitar alun-alun. Sama sepertinya, mereka adalah para pekerja yang tengah mencari sarapan di tempat tersebut, atau hanya sekedar berjalan kaki di trotoar maupun menyebrangi zebra cross untuk sampai ke tempat tujuan mereka. Pemandangan seperti ini mungkin yang tiga bulan ke depan akan didapati oleh Edgar.

Dari banyaknya orang-orang di sana, netra Edgar lantas tertuju pada sosok yang terasa fameliar baginya. Segera setelah membayar nasi ramesnya, Edgar lekas menghampiri orang tersebut karena yakin bahwa yang dilihatnya adalah orang yang ia kenal. Namun karena tidak ingin kentara jelas, Edgar memutuskan untuk membeli jajanan pasar yang berjualan tepat di samping gerobak penjual nasi bebek tersebut.

Sampai akhirnya kehadiran Edgar disadari lebih dulu oleh perempuan yang tidak lain adalah Lilie, perempuan itu lekas menyapa Edgar lebih dulu.

“Hai, Kak,” ucap Edgar membalas sapaan itu. Sebisa mungkin Edgar mencoba bersikap natural meskipun jantungnya langsung berdebar berlebihan saat berada di dekat Lilie.

Kemudian setelah Lilie membayar makanan miliknya, Lilie menghampiri Edgar. Edgar masih menunggu jajanan pasar miliknya selesai dibuat. Di dalam hatinya, Edgar berharap kue tersebut cepat matang, agar ia bisa berjalan bersama Lilie untuk kembali ke kantor.

Rupanya Lilie bersedia menunggu Edgar selesai dengan pesanannya.

“Kirain Kakak mau duluan,” celetuk Edgar.

“Bareng aja sekalian, nggak papa. Dikit lagi selesai tuh,” ucap Lilie tanpa menatap Edgar. Benar saja, kue pukis pesanannya telah selesai dibuat. Setelah Edgar membayar, mereka memutuskan berlalu dari sana. Keduanya bersisian berjalan menuju gedung kantor yang berjarak sekitar dua ratus meter dari alun-alun kota.

Tidak ada percakapan selama perjalanan tersebut. Sampai tiba-tiba Lilie membuka percakapan lebih dulu ketika mereka telah memasuki lobi kantor. “Kamu kepagian ya datengnya?” tanya Lilie tepat sasaran.

“Iya, Kak,” jawab Edgar.

Lilie lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. “Masih setengah sembilan lho. Kemarin saya udah bilang ke kamu atau belum ya datengnya jam 9?”

“Udah kok, Kak. Cuma emang kepagian. Kebetulan jalanan juga nggak terlalu macet,” ujar Edgar. Kini mereka tengah menaiki liftuntuk sampai di lantai 22.

“Oh gitu. Takutnya saya lupa kasih tau kamu,” ujar Lilie lagi.

Percakapan mereka terhenti begitu lift berhenti dan pintunya terbuka. Lilie melangkah keluar lebih dulu dari lift, baru setelah itu Edgar berjalan menyusulnya. Sesampainya di ruang kerja, Lilie terlebih dulu menyalakan laptopnya dan juga mengatur suhu pendingin di ruangan tersebut.

“Jam sembilan nanti kita mulai ya. Kalau mau sarapan dulu, boleh. Di pantry ada cemilan, ada teh sama kopi juga, jadi kalau mau buat bisa ke sana aja langsung,” tutur Lilie kepada Edgar.

Edgar pun menganggukinya. Kemudian Lilie meninggalkan Edgar sejenak di ruangan itu. Hingga hanya ada Edgar di sana, dan lelaki itu akhirnya mampu mendengar sendiri degup jantungnya yang terasa tidak senormal biasanya.

Edgar pun lekas memutuskan menyantap makananannya. Di ruangan itu, Edgar menempati meja kerjanya yang sebelumnya telah Lilie beritahu padanya. Meja milik Edgar berada di samping meja milik Lilie dan dekat sekali jaraknya. Sehingga otomatis dari tempatnya, Edgar dapat melihat sebagian apa yang ada di meja Lilie. Edgar pun mendapati sebuah bingkai kecil berisi potret sebuah keluarga. Ada seorang lelaki yang nampaknya adalah seorang ayah, lalu perempuan paruh baya yang merupakan seorang ibu, serta 3 orang anak. Terlihat bahwa anak perempuan yang paling bersar itu adalah Lilie.

Usai beberapa detik menatap foto itu, Edgar kembali fokus pada makanannya. Edgar memang penasaran, tapi tidak mungkin membiarkan tingkahnya itu terlihat secara jelas.

Begitu Lilie kembali ke ruangan sekitar 5 menit berlalu, perempuan itu membawa sebuah tumbler berisi kopi di tangannya. Lilie menarik kursi kerjanya dan mendaratkan pantatnya di sana. Edgar sudah hampir selesai makan, sementara Lilie baru mulai menyantap makanannya.

Edgar lantas mengatakan pada Lilie bahwa ia akan ke pantry untuk membuat minuman di sana.

Ketika langkah sampai di pantry, Edgar berpapasan dengan beberapa karyawan yang kemudian menyapanya. Ternyata mereka adalah anak magang di perusahaan ini juga, tapi berada di divisi yang berbeda dengannya.

“Gue Riana, dari divisi kreatif,” ucap seorang gadis yang tadi menyapa Edgar.

“Gue Edgar, dari marketing,” balas Edgar pada Riana.

Tadi ada dua orang laki-laki yang merupakan anak magang juga, tapi mereka telah berlalu dari pantry, hingga hanya menyisakan Edgar dan Riana di sana.

“Lo dari kampus mana Gar?” Rianya bertanya setelah menyeseap kopi hangat di gelasnya.

“Ohh, gue dari Pelita Bhakti,” jawab Edgar.

“Lho, sama dong kayak Kak Fina? Kenal juga sama Kak Fina yang sebelumnya jadi anak magangnya Kak Lilie?” tanya Riana lagi.

“Iya, gue kena sama Kak Fina.”

“Ohh gitu. Berarti lo baru magang kan nih, masih 3 bulan ya? Sampe bulan September?”

“Iya. Kalau lo?” Edgar balas bertanya.

“Gue udah hampir sebulan sih magang di sini. Eh, gue harus duluan nih, Gar. Kalau lo butuh bantuan atau apa gitu, tanya aja ke gue. Siapa tau gue bisa bantu, soalnya divisi kita kerjanya sering bersinggungan.”

“Oke, thank you sebelumnya,” ucap Edgar.

Setelah itu Riana berlalu dari hadapan Edgar. Kemudian tidak lama ketika mesin kopi selesai menyeduh kopi milik Edgar, lelaki itu pun juga berlalu dari sana.

***

It's Cleine

IT'S CLEINE merupakan brand parfum lokal yang telah berdiri sejak 9 tahun yang lalu. Di pasaran Indonesia, nama IT'S CLEINE telah cukup terkenal sebagai brand parfum yang sangat mengedepankan kualitas produknya.

Meskipun merek lokal, IT'S CLEINE rupanya mampu bersaing dengan merek parfum internasional dan ternama lainnya. IT'S CLEINE pernah memenangkan penghargaan The Best Seller Parfume Brand mewakilkan Indonesia ; pada ajang pameran parfume brand internasional se-Asia Tenggara yang diadakan di Singapore pada tahun 2018.

Telah ada 20 lebih jenis parfum dengan berbagai nama yang diberikan sesuai dengan aroma dan bahan baku pembuatannya ; selama IT'S CLEINE berdiri. Semua pengetahuan tentang IT'S CLEINE, hari ini didapatkan oleh Edgar.

Selain mengenai product knowledge yang sebelumnya telah diberitahu Lilie kepadanya, Edgar juga diminta untuk mengetahui, sekaligus mengenal lebih dalam sedikit sejarah tentang berdirinya IT'S CLEINE. Beberapa hal tersebut adalah tentang bagaimana cara promosi yang IT'S CLEINE lakukan, siapa target pasar mereka, dan masih banyak lagi yang perlu Edgar ketahui.

Hari pertama Edgar magang di perusahaan tersebut, Lilie mengajarinya beberapa hal, itu tentang budaya kerja di It’s Cleine, terutama pada divisi social media marketing, yang di mana kini Edgar teah menjadi bagian dari divisi tersebut. Kedepannya, Edgar akan bertugas membantu Lilie dalam urusan membuat perencanaan marketing IT'S CLEINE di sosial media, melakukan riset pada target market, dan berbagai hal lainnya yang berhubungan dengan pemasaran untuk IT'S CLEINE.

“Edgar,” panggil Lilie.

“Iya Kak?” Edgar menoleh pada Lilie berada di sampingnya.

“Untuk excel dan lain-lainnya, kayak power point sama PDF juga, udah aku kirim ke kamu lewat Microsoft team ya. Untuk hari ini kamu pelajari aja dulu tentang brand kita, nggak perlu terlalu buru-buru kok,” terang Lilie.

“Oke Kak,” Edgar pun mengiyakannya.

Tidak terasa oleh Edgar kalau sekarang sudah menginjak waktu makan siang. Jam sudah menunjukkan puul 12. Beberapa karyawan di divisi tersebut sudah meninggalkan ruangan untuk mencari makan siang. Tersisa hanya Edgar, Lilie, dan satu orang laki-laki yang lantas menawari Edgar untuk keluar mencari makan bareng.

Edgar lantas menyetujui ajakan Valdo tersebut. Namun sebelum beranjak dari duduknya, Edgar menanyakan sesuatu pada Lilie. Edgar bertanya soal makan siang Lilie, karena nampaknya perempuan itu belum ingin beranjak dari duduknya karena masih berkutat pada pekerjaan.

“Gampang kok. Nanti aku order aja. Kerjaanku masih ada yang belum selesai, tanggung,” ujar Lilie.

Mendengar penuturan tersebut, Edgar akhirnya menganggukinya dan ia memutuskan melenggang keluar dari ruangan. Edgar langsung bertemu dengan Valdo yang tengah menunggu di luar.

“Lilie emang gitu,” ujar Valdo ketika dirinya dan Edgar berjalan menuju lift.

“Gitu gimana?” Edgar bertanya sambil menoleh kepada Valdo.

“Lilie tuh lumayan ambis kalau soal kerjaan. Bagus sih, tapi kadang kita-kita juga jadi khawatir sama kesehatannya. Dia lumayan perfeksionis orangnya, makanya anak-anak sosmed sebisa mungkin nggak buat kesalahan soal kerjaan,” jelas Valdo kemudian.

“Lo tadi nawarin nitip makanan ke Lilie?” Valdo bertanya ketika dirinya dan Edgar sudah sampai di lantai 1.

“Iya,” Edgar menjawab pertanyaan yang Valdo lontarkan itu.

“Udah biasa kauak gitu mah. Misal nih makan bareng kita gitu ya, diajak ke restoran di mal, jarang ikut dia,” tutur Valdo.

“Alasannya kira-kira kenapa Bang, kalau gue boleh tau,” Edgar bertanya lagi, karena jujur saja ia sukses penasaran berkat penuturan Valdo sebelumnya.

“Gar, mentor lu tuh ambis banget kerja, dibilang. Dia sering telat makan. Biasanya dia makan siang mepet pas sepuluh menit sebelum jam istirahat selesai. Yaa ... begitulah. Wajar sih, dia kan udah jadi manager. Pasti tanggung jawab Lilie untuk tim lebih besar, dan dia dapet tekanan langsung dari atasan-atasan.”

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Sejak kejadian Marcel yang berbicara kepada Lilie tentang masa lalu mereka, Lilie sebisa mungkin berusaha menjaga jarak dari Marcel. Meski terkadang, Lilie memang tidak bisa menghindar dari Marcel dan itu karena urusan pekerjaan. Dari beberapa karyawan yang sudah cukup sering bertemu dengan Marcel, pria itu masih sering lupa nama-nama mereka. Namun pengecualian untuk Lilie. Marcel kerap kali menyebut nama Lilie dalam rapat maupun di beberapa urusan pekerjaan lainnya. Seorang atasan yang terlihat beda memperlakukan karyawannya, lama-lama disadari juga oleh karyawan lainnya.

Marcel kerap kali terlihat santai saat berbicara dengan Lilie, menunjukkan bahwa dirinya dan Lilie sudah saling mengenal sebelumnya. Entah apa yang terjadi di masa lalu antara Marcel dan Lilie, tidak ada yang mengetahuinya. Hanya Lilie dan Marcel yang tahu betul, apa yang terjadi di antara mereka 3 tahun yang lalu.

Beberapa kali ada karyawan yang tidak sengaja memergoki Lilie sedang bicara dengan Marcel. Untungnya, alasan pekerjaan masih bisa dijadikan tameng. Lilie hanya bisa berharap bahwa apa yang ia bicarakan dengan Marcel waktu itu tidak didengar oleh siapa pun.

Malam ini Lilie kembali lembur. Lilie tidak sendiri, di ruangan masih ada Ardi dan Valdo yang nampaknya hari ini akan pulang telat juga sama sepertinya. Ketika Lilie sedang fokus berkutat pada laptopnya, layar ponselnya tibat-tiba menyala, menandakan sebuah pesan baru saaa masuk. Lilie langsung mengalihkan fokusnya kepada ponselnya.

Lilie lantas menemukan nama ‘Pak Marcel’ di room chat di barisan teratas. Setelah Lilie membaca pesan tersebut, ia mendapati bahwa topik pembicaraannya bukanlah tentang urusan pekerjaan.

Pak Marcel : Lilie kamu masih di kantor? Kamu lembur lagi?

Lilie : Pak, tolong. Kalau bukan urusan pekerjaan, bapak tidak perlu menghubungi saya

Setelah membalas pesan tersebut, Lilie memutuskan kembali mengerjakan pekerjaannya. Namun tiba-tiba Lilie terpikirkan kan sesuatu. Seperti yang terjadi kemarin, Marcel mencoba mengantar Lilie pulang. Lilie merasa bahwa Marcel sengaja menunggunya di kafe yang tidak jauh dari kantor. Lilie berakhir menolak tawaran tersebut. Rupanya sikap penolakan Lilie tidak membuat Marcel menyerah begitu saja. Mungkin malam ini, Lilie akan kembali mendapati Marcel yang menawarkan mengantarnya pulang, lagi. Sepertinya Marcel masih ada di kantor dan entah bagaimana Marcel bisa menebak dengan tepat sasaran bahwa malam ini Lilie bekerja lembur.

Lilie pun mencoba berpikir, bagaimana caranya ia menghindar dari Marcel. Namun setelah beberapa menit memikirkannya, Lilie tidak kunjung menemukan jalan keluarnya. Lilie akhirnya hanya bisa memutuskan untuk pulang lebih cepat di saat pekerjaannya belum selesai. Jam lembur biasanya sampai pukul 9, di mana kantor akan ditutup pada jam tersebut. Jadi sebelum kantor di tutup, lebih baik Lilie pulang lebih dulu.

“Valdo, Ardi. Aku izin pulang duluan ya. Untuk list KOL sama influencer, udah aku kirim file-nya ke Valdo. Besok tolong di kontak ke merekanya buat ajuin kerjasama,” ujar Lilie kepada dua orang timnya itu.

Lilie pun beralasan bahwa dirinya merasa kurang enak badan, jadi terpaksa harus pulang lebih dulu. Valdo dan Ardi memaklumi hal tersebut, mereka tahu juga bahwa pekerjaan yang diemban oleh Lilie memang berat dan kerap kali atasan mereka pulang larut dibandingkan tim lainnya.

Lilie telah melenggang meninggalkan ruang kerjanya. Ketika Lilie berada di dalam lift, ponsel di dalam tasnya berbunyi. Lilie segera mengangkat panggilan tersebut ketika mendapati nama Edgar tertera sebagai ID Call.

“Halo?” ujar Lilie begitu sambungannya terhubung.

“…”

“Aku baru mau turun pulang.”

“…”

“Kamu di mana emangnya?”

“…”

“Ketemu di deket halte aja ya. Ini aku jalan ke sana.”

“…”

“Oke.”

Setelah itu sambungan telfon pun ditutup. Barusan Edgar menelfon Lilie dan berniat untuk mengantarnya pulang. Edgar berada tidak jauh dari kantor dan mengatakan akan menjemputnya lalu mengantarnya pulang. Namun Lilie mengatakan lebih baik jika mereka ketemuan di dekat halte Transjakarta. Tujuan Lilie melakukannya, semata untuk menghindari gosip dan isu miring yang dengan mudahnya tercipta di lingkungan kantor.

Mungkin Lilie bisa bertahan dengan gosip-gosip yang akan dilayangkan padanya. Namun ia memikirkan posisi Edgar. Notabenenya Edgar membutuhkan nilai magang dari kantor, maka sebisa mungkin harus mampu menghindar dari gosip. Bagi seorang anak magang, posisi lelaki itu tidaklah mudah.

Soal Lilie sendiri yang menerima tawaran Edgar untuk mengantarnya pulang, adalah karena Lilie menikmati waktunya ketika ia bersama dengan Edgar. Lilie tidak bisa memungkiri perasaan yang perlahan mulai tumbuh di dalam hatinya.

***

Lilie menatap ke arah langit Jakarta yang lagi dan lagi tampak mendung. Satu kali petir menyambar, menandakan bahwa sebentar lagi kemungkinan hujan akan turun. Lilie telah sampai di halte, ia memutuskan untuk berlindung di bawah atap halte selagi menunggu Edgar ; karena di luar hujan gerimis mulai turun.

Lilie menunggu sembari melihat satu persatu kendaraan bermotor yang melewati jalanan di depannya. Namun sampai hampir 10 menit berlalu, Lilie belum juga menemukan sosok yang ditunggunya.

Lilie mulai merasa cemas, pikirannya melayang kemana-mana. Edgar yang belum datang, membuat Lilie berpikir bahwa terjadi sesuatu dengan lelaki itu. Ketika sebisa mungkin Lilie mencoba menangkal pikiran buruknya, tapi yang terjadi tidak jauh dari posisinya, justru seolah ingin berkata lain. Lilie mendapati beberapa orang berkerumun di jalan raya di tengah padatnya kendaraan. Terjadi sedikit kemacetan di sana berkat suatu kejadian yang Lilie belum ketahui secara pasti. Namun sepertinya ada kecelakaan kendaraan di sana.

Lilie pun tanpa berpikir panjang berjalan cepat menuju tempat kejadian itu. Lilie harus memastikan bahwa pikiran buruknya salah, bahwa korban kecelakaan tersebut bukanlah orang yang ia kenal.

Lilie tampak tidak memedulikan air hujan yang membahasi tubuhnya. Lilie berusaha menerobos kerumunan orang-orang.

“Pak, Bu permisi, permisi. Tolong kasih saya jalan,” ucap Lilie ketika ia sampai tempat kejadian.

Ketika Lilie akhirnya berhasil menerobos kerumunan, ia dapat melihat di depan matanya siapa korban kecelakaan itu. Kedua lututnya pun seketika terasa lemas. Sosok yang tengah terbaring di aspal dengan kondisi tidak baik tersebut adalah orang yang di kenalnya. Korban kecelakaan itu adalah Edgar, lelaki yang perlahan mulai memenuhi pikiran dan hatinya.

“Ada yang udah panggil ambulan?” Lilie bertanya pada orang-orang di sana.

“Udah, Mbak. Ambulannya lagi menuju ke sini, tadi sudah ada yang nelfon,” uajr seorang bapak-bapak yang ada di sana.

Lilie kemudian berlutut di samping Edgar. Lilie hanya mampu menggenggam ringan tangan lelaki itu. Tatapan Lilie dan Edgar bertemu. Di bawah hujan dan langit gelap malam itu, Edgar mendapati mata Lilie nampak berkaca-kaca. Untungnya Edgar mengenakan helm full face, jadi benda tersebut berhasil melindunginya bagian vitalnya. Namun tidak ada yang tahu dengan kondisi tubuhnya yang lain.

Korban yang mengalami kecelakaan apa pun, tidak boleh sembarangan langsung diangkat dan dipindahkan posisinya, apalagi yang melakukannya bukanlah orang medis. Jadi sampai sebuah ambulan yang akhirnya datang, Edgar baru dipindahkan dari tempat kejadian.

Lilie pun ikut bersama ambulan yang membawa Edgar. Di dalam mobil itu, Edgar segera mendapat pertolongan pertama yakni bantuan pernapasan dari selang oksigen. Tidak ada luka luar yang terlihat, jadi sepertinya diduga bahwa kecelakaan yang dialami Edgar menimbulkan luka dalam.

Edgar terbaring di bangkar ambulan dan di samping kanannya ada Lilie serta di samping kirinya ada seorang petugas medis. Edgar menoleh pelan dan ia menatap Lilie tepat di manik mata perempuan itu. Kondisi Lilie tampak sedikit kacau karena tubuhnya yang basah berkat air hujan. Rambut panjang gadis itu juga basah dan sedikit berantakan.

Terlihat jelas kekhawatiran terpancar dari iris mata Lilie, Edgar mendapati itu. Sekujur tubuh Edgar kini memang terasa sakit, tapi melihat Lilie menatapnya dengan tatapan khawatir seperti ini, rasa sakit itu rasanya sedikit berkurang. Di tengah momen tersebut, ponsel Lilie di saku blazernya tiba-tiba berdering. Lilie pun segera mengangkat panggilan tersebut.

“Saya lagi di jalan ke rumah sakit. Edgar kecelakaan,” ujar Lilie di telfon.

“…”

“Saya nggak papa,” ucap Lilie sebelum sambungannya ditutup. Entah siapa yang menghubungi Lilie, Edgar tidak tahu. Lilie meletakkan kembali ponselnya dan Edgar kembali mendapati Lilie yang menatapnya. Terlihat di kedua pelupuk mata Lilie, air matanya akan tumpah sesaat lagi.

Di tempat lain, setelah sambungan telfon dengan Lilie berakhir, Marcel terlihat khawatir setelah mendapat info dari orang kantor bahwa Lilie baru saja pulang ; ditengah keadaan hujan lebat di sekitar kantor. Marcel khawatir terhadap Lilie, tapi Lilie justru mengkhawatirkan orang lain dari pada kondisi dirinya sendiri.

***

Lilie tengah menunggu di depan ruang UGD. Beberapa menit yang lalu, Edgar baru saja dibawa masuk ke dalam untuk segera mendapat penanganan medis. Lilie telah menghubungi keluarga Edgar untuk memberi kabar tentang apa yang terjadi. Keluarga Edgar mengatakan akan segera datang ke rumah sakit.

Lilie berada sendiri di sana, di dalam hatinya ia terus memanjatkan doa. Kecemasan dan kekhawatiran masih meliputinya, tapi Lilie ingin berpikir positif. Edgar pasti bisa selamat. Setelah melalui perawatan, Edgar akan bisa sehat dan pulih kembali.

Beberapa menit berlalu, Lilie mendapati kehadiran orang lain di depan ruang UGD itu. Lilie menoleh dan segera menatap lekat pada sosok Marcel yang langsung menghampirinya di sana.

Sebelumnya Lilie memang telah mengirim pesan pada Marcel mengenai alamat rumah sakit tempat di mana Edgar mendapat penanganan. Namun Lilie tidak menduga jika Marcel sampai memutuskan datang ke sini.

“Lilie, aku khawatir sama kamu. Kamu nggak papa, kan?” ujar Marcel.

“Saya nggak papa,” jawab Lilie apa adanya.

Marcel lantas memperhatikan sosok Lilie. Selain tubuh perempuan itu yang basah, Lilie kini tengah terduduk dengan tatapan kosongnya.

“Lilie .. kamu khawatir sama dia?” Marcel bertanya setelah ia memperhatikan Lilie.

Lilie jelas mengerti siapa ‘dia’ yang dimaksud oleh Marcel. Lilie yang sebelumnya menatap ke arah pintu ruang UGD, kini perempuan itu mengalihkan tatapannya pada Marcel yang duduk di sampingnya.

“Karena dia anak magang yang kamu bimbing atau karena alasan lain?” Pertanyaan yang kembali Marcel lontarkan tersebut, sebenarnya sudah memiliki jawaban di benak Lilie. Namun Lilie memilih untuk tidak mengutarakannya. Karena bagi Lilie, Marcel tidak perlu ikut campur terhadap urusan pribadinya.

Lilie berakhir bungkam, ia tidak menjawab pertanyaan Marcel yang sebenarnya terdengar lebih seperti sebuah pernyataan.

Tidak lama kemudian, akhirnya keluarga Edgar datang. Lilie menemui seorang wanita yang merupakan Bundanya Edgar dan lelaki muda yang merupakan kakaknya Edgar.

Lilie berbicara dengan Sienna mengenai apa yang terjadi. Jadilah pada akhirnya Sienna juga tahu malam itu bahwa perempuan yang ada di hadapannya ini adalah Lilie yang sering putranya ceritakan padanya.

Tidak lama setelah perbincangan Lilie dengan Sienna, Lilie akhirnya berpamitan untuk pulang.

Lilie telah melangkahkan kakinya menjauh dari sana, hingga benar-benar meninggalkan tempat tersebut dengan kekhawatirannya masih tertinggal di sana. Lilie tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di sana, meskipun ia ingin sekali mengetahui kondisi Edgar terlebih dulu dan memastikan bahwa lelaki itu baik-baik saja.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Gosip merupakan obrolan atau rumor kosong yang biasanya berkaitan mengenai urusan pribadi atau pun orang lain. Banyak juga yang menyebut bahwa gosip sebenarnya adalah sebuah fakta yang tertunda. Sebagian gosip pada akhirnya memang benar menjadi sebuah fakta, tapi tidak selamanya demikian. Ketika gosip sudah menyebar, maka akan sulit dipadamkan dan mencari siapa penyebar utamanya.

Sejauh ini, gosip kontroversial yang beredar di lantai 22 adalah tentang dua anak magang yang hampir menciptakan skandal di tempat karaoke. Skandal sendiri adalah insiden yang dipublikasikan dengan melibatkan dugaan pelanggaran, aib, atau pun pencabulan moral.

Entah dari mana atau pun siapa yang awalnya memiliki foto yang memperlihatkan Edgar dan Riana tengah berciuman, yang lantas tersebar ke beberapa orang, hingga akhirnya semakin banyak yang mengetahuinya dan menjadikan itu sebagai buah bibir. Dua anak magang yang menjadi bahan perbincangan itu adalah Edgar dan Riana. Ketika semakin banyak asumsi yang beredar dan tidak bisa diredam begitu saja, maka ada tindakan yang harus ditempuh untuk menuntaskan semua masalah ini.

Siang ini di sebuah ruangan, kedua oknum yang jadi bahan pembicaraan tersebut akhirnya dipertemukan. Tentunya di sana juga ada mentor magang kedua belah pihak yang bertanggung jawab atas keberadaan keduanya di perusahaan tersebut. Lilie hadir sebagai mentor untuk Edgar, dan Devina sebagai mentor untuk Riana.

Edgar dan Riana duduk bersebelahan. Di hadapan mereka dibatasi sebuah meja, ada Lilie dan Devina.

“Pertama, saya mau dengar kejadiannya dari sisi Riana. Kemarin saya sudah denger dari Edgar,” ucap Lilie membuka percakapan.

“Riana, apa kamu tau siapa yang awalnya nyebarin foto itu? Atau siapa yang sengaja ngambil foto itu?” Lilie berujar lagi setelah beberapa detik Riana masih memilih untuk menutup mulutnya.

“Kak Lilie, maaf sebelumnya atas kejadian ini. Saya nggak tau kenapa bisa ada foto itu dan saya nggak tau juga siapa yang nyebar,” terang Riana akhirnya.

Lilie memutuskan tidak mengatakan apa pun lagi. Kini giliran Devina yang angkat suara. “Edgar, Riana, aku sama Lilie sebagai mentor kalian di kantor ini, bertanggung jawab atas apa yang kalian lakukan. Itu hanya ketika di kantor, kalau di luar, sudah beda lagi urusannya. Kita serahkan pada kalian. Tapi dengan tersebarnya foto itu di lingkungan kantor, citra kalian di perusahaan ini yang bisa terpengaruh ke depannya. Gosip ini juga udah sampai ke pihak direksi lho. Kami berusaha agar masalahnya nggak sampe ke pihak kampus kalian, karena kalian tau sendiri tugas kalian di tempat ini untuk internship. Jadi sebaiknya kalian tahu batasan dan bisa lebih menjaga diri. Kalian ini kan sudah dewasa, harusnya—”

“Mbak Dev, sorry. Boleh aku interupsi dulu sebentar?” ujar Lilie.

Devina seketika menoleh pada Lilie, perempuan itu kemudian mempersilakan Lilie untuk berbicara.

“Kenyataan yang sebenarnya nggak seperti yang ada di foto itu, Mbak Dev. Sebagai mentornya Edgar, saya akan berusaha meredam gosip yang udah termasuk ke dalam ranah pencemaran nama baik,” ujar Lilie.

“Memang kenyataannya seperti apa Lilie?” tanya Devina.

Lilie lantas menatap Edgar dan ia berujar, “Edgar, kamu bisa jelaskan ke Mbak Devina kejadian yang sebenarnya seperti apa.”

Edgar akhirnya mengatakannya. “Mbak Devina, maaf saya harus mengatakan kenyataannya. Saya nggak bertindak senonoh ke Riana. Waktu itu Riana hangover dan yang terjadi setelahnya seperti yang terlihat di foto seperti itu, tapi kenyataannya saya langsung menghindar. Jadi saya sama Riana nggak melakukan apa pun,” jelas Edgar.

Riana seketika menoleh menatap Edgar setelah penjelasan itu. Riana menatap Edgar dengan tatapan tidak menyangka bahwa Edgar mengatakan yang sesungguhnya.

Sorry Ri, gue nggak ada niat sama sekali baut ngejatuhin lo. Tapi kenyataannya emang kayak gitu, kan?” Edgar berucap lagi.

Devina pun sama dengan Riana, perempuan itu tampak terkejut setelah fakta yang sebenarnya terungkap. Devina tidak percaya bahwa kenyataan yang terjadi justru jauh berbeda dari yang ada di foto.

“Tapi apa ada buktinya kalau yang Edgar bilang itu bener?” Devina bertanya.

“Ada buktinya Mbak. Semuanya terekam di CCTV di ruang karaoke itu,” ujar Lilie.

Dengan pernyataan Lilie tersebut, Devina kemudian beralih pada Riana. “Riana, apa yang kamu bilang ke saya kenapa berbeda dengan yang sebenarnya? Saya kan udah minta sama kamu untuk jujur, tapi kamu lebih memilih berbohong dan nutupin fakta sebenarnya. Saya benar-benar kecewa sama kamu,” ungkap Devina panjang lebar, terpancar dari tatapan matanya bahwa ada kekecewaan.

Pembicaraan di ruangan tersebut akhirnya selesai sampai di sana. Semua telah clear ketika kedua belah pihak dipertemukan. Mereka jadi tahu fakta yang sesungguhnya. Dengan begini, maka tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi.

“Edgar, kayaknya kita perlu dapetin rekaman CCTV kafe itu. Besok ada pertemuan manager divisi sama direksi-direksi, jadi akan dibahas juga soal berita yang kesebsar itu,” ucap Lilie begitu ia dan Edgar melangkah bersisian meninggalkan ruangan pertemuan tadi.

“Oke Kak. Nanti biar aku aja yang ke sana buat minta cctvnya,” ujar Edgar.

“Oh iya Kak, makasih ya,” Edgar berujar lagi ketika langkah mereka hampir sampai di ruangan.

“Makasih untuk?” Awalnya Lilie tampak bingung, tapi akhirnya ia mengerti dan kembali berujar sebelum Edgar mengatakannya. “Sebagai mentor kamu, aku harus percaya sama kamu. Sama kayak Mbak Dev, di awal beliau juga percaya kok sama Riana. Tapi itu dia, sekalipun jangan pernah ngekhianatin kepercayaan orang yang udah percaya sama kita, karena kepercayaan itu harganya mahal.”

***

Hari ini merupakan hari pertemuan antara direksi dengan para manager dari tiap-tiap divisi yang bekerja di IT'S CLEINE. Launching dua produk parfum IT'S CLEINE satu bulan lalu telah sukses, bahkan melampaui target penjualan yang telah ditentukan. Mereka sampai harus membuka pre-order batch ketiga karena membludaknya pesanan yang masuk. Para konsumen cukup antusias dan ingin memiliki koleksi parfum yang baru launching tersebut.

Kesuksesan itu tentunya tidak akan terjadi tanpa kerja keras dari setiap divisi. Maka hari ini pihak direksi memanggil para manager divisi untuk dipertemukan. Ada yang akan dibahas tentang hasil penjualan produk mereka.

Lilie hadir di ruangan itu juga, tentunya sebagai perwakilan dari divisi sosia media marketing . Namun yang Lilie tidak sangka, setelah pertemuan tersebut rupanya ada acara lanjutan. Acara tersebut adalah sebuah acara makan siang bersama. Tidak tanggung-tanggung, atasan di kantornya mengajak mereka ke sebuah restoran all you can eat yang menu utamanya adalah daging berkualitas premium.

Sebenarnya cukup jarang ada tradisi seperti ini di perusahaan. Namun dari yang Lilie dengar, terlaksananya acara tersebut diprakarsai oleh owner sekaligus CEO IT'S CLEINE yang tidak lain dan tidak bukan adalah Marcellio Moeis.

Beberapa rekan sejawatnya sedang duduk di meja menikmati makanan mereka, sementara Lilie berniat mengisi kembali daging di piringnya yang sudah kosong. Lilie sedang mengambil makanan di deretan buffet di restoran tersebut, ketika sebuah suara dari dekat memanggil namanya. Lilie langsung menoleh dan ia mendapati sosok yang amat fameliar baginya. Marcel berada di sana, lelaki itu mengajaknya berbicara dengan gaya bicara yang santai ; seolah tidak ada batasan di antara CEO dengan seorang manager. Perbincangan tersebut juga bukan bertujuan untuk pekerjaan dan tidak terlihat profesional untuk terjadi di saat seperti ini.

“Lilie kamu mau minuman apa? Biar aku ambilin, ya?” ujar Marcel.

“Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa ambil sendiri,” ujar Lilie yang masih mengambil beberapa jenis daging ke piringnya.

“Kamu mau juice mangga kesukaan kamu?” Marcel bertanya, tampaknya tidak mengindahkan tolakan Lilie sebelumnya.

“Nggak usah Pak. Saya bisa ambil sendiri,” ujar Lilie untuk yang kedua kalinya.

“Lilie, tolong bersikap biasa aja kalau kamu lagi sama aku,” ujar Marcel yang akhirnya menahan Lilie yang akan menjauh darinya. Lilie berhenti di tempatnya, ia mendongak menatap Marcel yang lebih tinggi darinya, kira-kira tinggi Lilie hanya sebatas dada pria itu. Marcel menghalangi langkah Lilie, hingga terpaksa Lilie harus menghentikan langkahnya.

“Maksud Bapak bagaimana ya Pak?” Lilie bertanya. Lilie masih berusaha untuk bersikap profesional. Lilie melihat ke sekitar, takut-takut kalau ada yang menangkap basah dirinya tengah berbicara dengan Marcel.

“Kamu paham maksud aku, Amara. Bukan tanpa tujuan aku membeli perusahaan IT'S CLEINE, itu karena kamu. Listen to me, aku nggak pernah ingin menikahi istriku. Aku nikah cuma karena perjodohan gila itu. Sampai sekarang, yang aku inginkan cuma kamu. Aku ingin kita kembali kayak dulu lagi, please?”

“Pak, saya nggak ingin nanti ada yang melihat dan jadi timbul rumor nggak enak. Sebaiknya Bapak tetap bersikap profesional kepada saya. Satu hal lagi Pak, tolong panggil saya Lilie aja, jangan Amara.”

Marcel rupanya belum berhenti, pria itu kembali berujar, “Aku masih cinta sama kamu, Lilie. Tolong kasih aku kesempatan untuk memulai hubungan lagi sama kamu.” Marcel berucap tanpa mempedulikan di mana mereka berada sekarang. Tidak jauh dari posisi Lilie dan Marcel, terdapat meja panjang yang berisikan para manager divisi yang merupakan teman sejawat Lilie di kantor. Kemungkinan mereka akan melihat Lilie dan Marcel tengah mengobrol, bukan sekedar bertegur sapa seperti yang sewajarnya atasan dan bawahan lakukan.

Lilie akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menggubris ucapan Marcel. Lilie bersikeras menyingkir dari hadapan Marcel. Lilie kemudian benar-benar berlalu dari hadapan Marcel, tidak peduli pria itu masih mencoba berbicara dengannya. Lilie tidak tahu apa yang ada di pikiran Marcel hingga pria itu nekat menemuinya dan berbicara mengenai masa lalu mereka. Ini bukan tempat yang pantas untuk membicarakannya. Oh, tunggu. Bagi Lilie saat ini, tidak ada tempat yang pantas untuknya dan Marcel terlihat dekat atau pun mengobrol layaknya orang yang telah lama saling mengenal.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Sudah hampir 1 jam Lilie berada di ruangannya untuk menyelesaikan pekerjaan. Sebenarnya pekerjaan tersebut deadline-nya memang besok pagi. Namun file-nya sudah selesai dikerjakan dan hanya perlu ditinjau ulang saja. Lilie berbohong, ia menjadikan pekerjaannya sebagai alasan agar tidak ikut ke kafe. Sebenarnya tanpa pulang telat pun, Lilie yakin pekerjaan ini akan bisa selesai tepat waktu sesuai dengan deadline yang diminta.

Lilie sejenak mengalihkan tatapannya dari laptop. Matanya terasa lelah dan sedikit perih karena terlalu lama menatap layar. Lilie menghembuskan napas panjangnya, lalu ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Beberapa detik berlalu, terdengar suara pintu yang dibuka. Seketika membuat Lilie menjauhkan telapak tangannya dari hadapan wajahnya. Lilie langsung menatap ke arah pintu dan akhirnya menemukan sosok Edgar yang berada di sana. Kedua alis Lilie menyatu, ia melemparkan tatapan tanya ke arah lelaki itu.

“Ada yang ketinggalan Gar? Kok balik lagi?” Lilie bertanya kemudian.

“Kakak lembur sampe jam berapa?” Edgar malah balik bertanya, lelaki itu lantas mendaratkan dirinya di kursi kerja miliknya.

“Belum tau sih. Kayaknya 1 jam an lagi aku mau balik,” ujar Lilie.

“Boleh aku temenin Kakak sampe selesai di sini?”

“Ngapain? Maksud aku .. ini kan kerjaan aku, aku yang lembur. Kamu bukannya ikut yang lain ke kafe?”

Edgar baru akan berujar, tapi tiba-tiba ponsel di saku jaketnya berbunyi. Lelaki itu segera mengangkat panggilan yang masuk.

“Halo?” ujar Edgar di telfon.

“….”

“Gue udah balik,” Edgar kembali berujar.

“…”

“Lo tadi udah kelewatan, Riana. Lo harusnya tau batesan.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Edgar mengakhiri sambungan telfonnya secara sepihak. Dari apa yang dilontarkan Edgar barusan, Lilie seperti sudah tahu apa yang telah terjadi di tempat itu tanpa bertanya. Kemungkinan juga hal tersebut yang membuat Edgar memutuskan pergi begitu saja dari tempat karaoke. Namun sama sekali Lilie tidak ingin menyinggungnya atau menduga terlalu jauh. Lilie memutuskan kembali berkutat pada pekerjaannya di laptop.

Edgar juga duduk anteng di kursinya, lelaki itu kekeuh menemani Lilie untuk lembur di kantor.

Satu jam hampir berlalu, dan tidak ada percakapan di antara Lilie dan Edgar selama itu. Edgar hanya memainkan ponselnya, sesekali ia melirik Lilie yang masih fokus pada laptopnya.

“Edgar, kayaknya aku masih lama deh. Kamu kalau mau pulang duluan nggak papa,” ujar Lilie.

“Aku tungguin Kakak sampe selesai. Aku mau beli minuman di bawah, Kakak mau nitip sesuatu?” Edgar menawarkan.

Lilie tidak langsung menjawab tawaran itu. Tiba-tiba di pikirannya banyak terlintas pertanyaan. Jelas, pertanyaan tersebut tertuju pada satu orang. Orang yang kini ada di hadapannya, orang yang tanpa alasan rela menemaninya untuk lembur di kantor. Namun tentu saja, pertanyaan itu tidak bisa Lilie tanyakan secara langsung kepada Edgar.

“Boleh, deh. Aku titip coklat panas satu ya,” ujar Lilie setelah memutuskan.

“Oke,” ujar Edgar sebelum akhirnya berlalu dari sana.

Lilie kembali mempertanyakan dalam hatinya, mengapa Edgar sebaik ini kepadanya? Namun sebuah fakta kemudian terasa seperti menampar Lilie. Edgar tidak hanya baik kepadanya, tapi lelaki itu juga bersikap baik kepada Riana. Apakah gosip yang beredar itu benar, bahwa Edgar adalah seorang player yang dengan mudahnya mendekati dua perempuan sekaligus?

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Perubahan bukanlah sesuatu yang mudah untuk bisa dicapai. Butuh waktu dan praktek berkali-kali. Selain itu, dilakukan perlahan tapi harus dengan pasti, serta secara konsisten dilakukan. Lilie ingin mencobanya melakukan perubahan, ia ingin kembali menjadi Lilie yang dulu. Perkataan Edgar tempo hari padanya, akhirnya membuat Lilie berpikir. Di usianya yang telah menginjak 26 tahun tahun ini, seharusnya Lilie bisa bersikap lebih dewasa. Hidup dalam kesendirian dan cenderung memendam bebannya seorang diri, seringkali membuat Lilie merasa lelah dan kehabisan energi. Lilie pernah mengalami fase yang berat di dalam hidupnya, hingga masa lalu tersebut yang akhirnya membuat Lilie menjadi pribadi yang lumayan tertutup.

Di masa lalu, Lilie pernah kehilangan cinta dari seseorang yang ia anggap paling menyayanginya. Persona tentang lelaki idaman yang orang itu bangun pun hancur ketika akhirnya orang itu memutuskan untuk pergi dari hidup Lilie.

Sejak saat itu, Lilie memutuskan untuk lebih membatasi diri. Terutama untuk dekat dan mengenal lawan jenis dengan lebih jauh. Lilie trauma untuk kembali merasakan cinta dan menjalin hubungan asmara, hingga akhirnya memutuskan menyibukkan diri dengan bekerja. Lilie berharap dengan begitu ia bisa sembuh dari rasa sakit tersebut. 2 tahu berlalu, Lilie merasa dirinya telah sembuh. Namun layaknya sebuah organ tubuh yang telah rusak ; mau sehebat apa pun seorang dokter, tidak akan bisa mengembalikan dengan sempurna fungsi organ yang telah rusak itu, bukan?

Tadi pagi sebelum berangkat bekerja, Lilie bercerita tentang sesuatu kepada papanya ketika mereka menikmatti sarapan bersama di meja makan. Lilie bercerita soal pekerjaannya dan ada sebagian yang menyangkut persoalan pribadi. Lilie baru hanya menceritakan hal tersebut kepada Papanya, jadi nampaknya itu adalah hal yang sangat penting dan cukup privasi.

Papanya sedikit kaget dengan perubahan yang terjadi dengan Lilie, tapi akhirnya senang juga karena mendapati putrinya tampak lebih ceria dari biasanya. Tentang seseorang yang Lilie ceritakan pada Papanya, membuat Papanya sedikit kagum dan ikut merasa bahagia. Lantas Papanya pun juga menduga perubahan Lilie dimotivasi oleh orang tersebut, karena Lilie terlihat bahagia ketika menceritakan tentang orang itu.

Pagi ini di kantor, setelah menaruh tasnya di ruangan, Lilie berjalan menuju pantry. Lilie ingin membuat kopi sebelum memulai hari dan menyambut pekerjaan yang sudah menunggunya. Lilie membawa tumbler kosong di tangannya, ia pun melangkah menuju pantry. Namun tiba-tiba langkah Lilie terhenti di depan pantry begitu ia mendengar suara obrolan beberapa orang dari dalam. Mereka menyebut nama Lilie dan juga nama Edgar di sana.

Lilie mengenali suara tersebut, itu adalah suara Riana dan teman-temannya.

“Kemaren sore tuh gue pulang kantor bareng Edgar, terus kita makan di restoran makanan korea all you can eat. Padahal katanya Edgar nggak begitu suka makanan korea. Tapi karena gue lagi pengen, jadi dia ngikut aja, katanya nggak papa,” cerita Riana.

“Terus habis itu gimana?” sahut temannya yang lain.

“Kita nggak langsung pulang, jalan-jalan dulu ke mall. Baru habis itu dia nganterin gue pulang,” ujar Riana.

“Jam berapa lu baliknya?”

“Kayaknya jam sepuluh deh baru sampe rumah.”

“Malem juga. Eh, keliatannya Edgar tuh suka sama lu nggak sih Ri? Keliatan banget deh, dia baik banget sama lu,” ujar teman Riana yang satu lagi.

“Masa sih? Tapi banyak yang bilang Edgar sukanya sama Kak Lilie,” itu Riana yang mengatakannya.

“Engga sih. Menurut gue Edgar sukanya sama lo. Kak Lilie kan mentornya Edgar, jadi wajar aja kalau Edgar baik ke dia,” ujar temannya lagi.

Lilie di sana mendengar percakapan yang membawa dirinya dan juga Edgar. Hanya sebatas itu, kemudian Lilie segera berbalik dan melangkah pergi dari sana.

Selama perjalanan kembali menuju ruangannya, Lilie lantas bertanya-di dalam hatinya. Kenapa ia harus pergi dari sana? Kenapa ia menghindari Riana dan teman-temannya? Apa benar Lilie merasa risih dengan gosip tersebut? Harusnya perasaan tidak nyaman ini tidak dirasakannya, bukan?

***

Saat ini waktu menunjukkan pukul 4 sore. Artinya sekitar 1 jam lagi, jam kerja di kantor akan berakhir. Biasanya pada jam segini, para karyawan sudah mulai mengurangi pekerjaan mereka dan bisa sedikit bersantai ; seharian disibukkan oleh pekerjaan yang datang layaknya air yang tidak berhenti mengalir.

Santer terdengar di ruangan divisi sosial media marketing, bahwa ada kafe yang baru buka di dekat kantor mereka. Mereka berencana pergi ke sana karena penasaran dengan kafe yang sedang booming tersebut. Dikatakan juga ada tempat karaoke yang cukup mewah di lantai atasnya. Karena kafe tersebut baru saja buka 2 hari yang lalu, jadi ada penawaran diskon bagi yang ingin menyewa ruang karaoke.

“Ayo siapa aja nih yang mau ikut?” ujar Jesslyn menanyai satu persatu teman sedivisinya.

“Gar, lu ikut nggak?” Valdo bertanya pada Edgar.

“Gue ngikut yang lain aja deh. Kalau pada ikut, gue ikut,” jawab Edgar.

“Kak Lilie, gimana Kak? Ikut kan?” Jesslyn bertanya pada Lilie.

“Boleh deh,” ujar Lilie yang mengiyakan ajakan tersebut.

“Eh iya, anak kreatif katanya pada mau ke sana juga, tadi gue denger dari Diandra,” celetuk Ardi yang mengalihkan fokusnya dari laptop kepada teman-teman sedivisinya di ruangan itu.

“Wih mantep tuh, gabung aja sekalian. Dua divisi nih jadinya,” seru Jesslyn.

“Bang tim kita otw pakai mobil lu ya?” pinta Jesslyn pada Valdo.

“Oke, gampang itu mah. Mobil gue muat buat tim kita berlima. Masuk semua.”

“Oke deh. Karaokean nanti kita di sana,” cetus Ardi.

Setelah waktu berlalu dan jam akhirnya menunjukkan pukul 5 sore, Valdo, Jesslyn, dan Ardi telah bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan.

“Guys, sorry banget. Kayaknya aku nggak jadi ikut deh,” ujar Lilie. Pernyataan Lilie tersebut sontak mengundang tatapan tanya dari semua orang di sana.

“Lho kenapa Lie? Masih ada kerjaan kah?” tanya Valdo. Lelaki itu menatap Lilie lurus-lurus, pandangannya tampak keheranan.

“Iya nih, masih ada kerjaan. Mbak Dev minta besok pagi. Jadi aku harus kerjain sekarang biar selesai,” jelas Lilie.

Pada akhirnya mereka mengerti dan memaklumi alasan Lilie yang mendadak urung untuk ikut ke kafe. Lilie pun tersisa di ruangan itu seorang diri, semua teman satu divisinya sudah berlalu dari sana. Edgar jadi yang paling terakhir meninggalkan ruangan. Saat lelaki itu sudah tidak terlihat, Lilie mengalihkan tatapannya dari layar laptop kepada meja di samping mejanya. Itu adalah meja Edgar.

Entah kenapa, tiba-tiba Lilie tidak ingin saja ikut ke kafe itu setelah mendengar bahwa divisi kreatif juga berencana untuk pergi ke sana. Sebelumnya, tradisi pergi bersama dan karaoke memang sudah lumrah dilakukan beberapa divisi di kantornya, dan Lilie pernah ikut juga. Jadi ia tahu kira-kira akan seperti apa berjalannya kegiatan tersebut.

Ada alasan di balik setiap yang terjadi. Memang tidak selalu, tapi tahu kan pepatah yang mengatakan bahwa ada udang di balik batu? Begitulah kira-kira perumpamaannya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

It's Oke to Tell

Mengenai kejadian dua hari lalu, pada akhirnya Marcel yang mengantar Lilie pulang. Benar saja, hujan turun cukup deras beberapa saat setelah Lilie dan Marcel meninggalkan Edgar di kafe itu.

Langit yang menurunkan hujan malam itu seolah melengkapi suasana hati yang tengah dirasakan oleh Edgar. Lelaki itu sedikit terluka, tapi tidak lantas membuatnya menyerah. Bagi Edgar, ia belum berjuang untuk membuat Lilie mencintainya. Jadi, sebenarnya perjuangan baru akan dimulai. Kalau pun nanti ada persaingan, Edgar tidak akan masalah dengan itu. Ia siap untuk bersaing, meskipun saingannya adalah masa lalu Lilie yang merupakan seorang yang terlihat sempurna jika dibandingkan dengannya.

Hari ini Edgar dan Lilie memang telah berencana untuk pulang lebih telat dibandingkan karyawan di divisi sosial media yang lain. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan dan deadline-nya adalah besok pagi, jadi pulang telat kembali menjadi solusi agar target pekerjaan dapat tercapai.

Waktu kini telah menunjukkan pukul 8 malam. Akhirnya pekerjaan yang dikerjakan Lilie dan Edgar telah selesai. Lilie bergerak mengemasi barang-barangnya, begitu juga dengan Edgar. Tadi siang, mereka telah membicarakan kalau akan lembur dan Edgar menawarkan untuk mengantar Lilie pulang. Edgar bilang, arah rumahnya dan Lilie searah, jadi tidak masalah baginya untuk mengantar Lilie.

“Rumah kamu di daerah mana sih Gar?” Lilie bertanya ketika mereka berjalan bersisian menuju parkiran motor.

“Searah deh Kak kok sama rumah Kakak,” jawab Edgar.

“Yaa rumah kamu di mananya?” Lilie masih bertanya.

Edgar menyerahkan helm untuk dipakai Lilie kepada perempuan itu. Lilie segera menerimanya dan memakai itu di kepalanya.

“Sekitar delapan kilo meter jaraknya dari rumah Kakak. Deket kan?”

“Itu jauh, Edgar. Arahnya beneran searah? Taunya nanti enggak.”

“Searah, Kak,” ucap Edgar sambil memakai helmnya. Lilie akhirnya hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Edgar kemudian mulai naik ke motornya dan menunggu Lilie untuk naik ke boncengan.

Motor Edgar yang cukup tinggi membuat Lilie agak susah ketika ia akan naik. Jadilah otomatis Lilie menjadikan pundak Edgar sebagai pegangan untuk menjaga tubuhnya tetap seimbang ketika naik ke stas motor.

Selama beberapa detik itu terjadi, Edgar merutuki jantungnya yang berdetak tidak normal. Lagi, itu terjadi ketika Lilie berada di dekatnya, terlebih ketika Lilie melakukan sesuatu yang entah bagaimana bisa berhasil membuat hatinya membuncah bahagia.

“Udah Kak?” Edgar bertanya memastikan Lilie telah duduk aman dan nyaman di jok motornya.

“Udah,” ujar Lilie.

Setelah ujaran tersebut,Edgar segera menjalankan motornya. Posisi Edgar dan Lilie memang sangat dekat di karenakan jok motor Edgar yang berukuran minim. Namun posisi masih dibatasi oleh tas ransel hitam milik Edgar. Untuk alasan menghormati, Edgar sebelumnya bilang pada Lilie agar berpegangan pada tasnya saja jika perempuan itu ingin berpegangan.

***

Lilie POV

Aku kembali lembur di kantor, tapi malam ini ada yang berbeda dari biasanya. Edgar bersedia menemaniku menyelesaikan pekerjaan di luar jam normal. Sebenarnya tidak ada ketentuan bagi anak magang untuk lembur, tapi Edgar mengatakan ia tidak keberatan melakukannya.

Selain itu, Edgar menawarkanku untuk mengantar pulang sampai rumah. Aku sebenarnya tidak enak menerima tawaran tersebut, karena sebelumnya Edgar juga telah sangat baik kepadaku. Edgar beberapa kali membelikan makanan untukku dan malam ini, bahkan ia bersedia kerja lembur di kantor bersamaku.

Namun pada akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Mungkin ini jadi pertama dan terakhir Edgar mengantarku ke rumah dan sampai repot seperti ini. Bukannya aku ingin menolak tawaran baik seseorang, tapi gosip yang semakin santer terdengar di kantor tentang aku dan Edgar, membuatku akhirnya merasa sungkan juga terhadapnya. Pastilah juga rasanya tidak nyaman bagi Edgar, apalagi dia juga terlihat dekat dengan Riana. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman yang terjadi yang mungkin bisa menimbulkan gosip yang lebih besar lagi.

Setelah sekitar 30 menit berkendara, motor Edgar kini telah sampai di depan pagar putih rumahku. Tadi jalanan sebenarnya cukup padat, tapi karena kami berkendara dengan motor, jadi bisa lebih cepat sampai karena terhindar dari macetnya lalu lintas.

“Hati-hati Kak turunnya,” ujar Edgar begitu aku hendak turun dari motor.

Aku pun berhasil turun dari motor yang cukup tinggi itu dengan cukup berhati-hati tentunya.

“Untung malem ini gak hujan ya,” ujarku dengan nada bergurau.

“Bagus kalau gitu,” ujar Edgar.

“Edgar,” ujarku sebelum lelaki itu akan kembali memakai helmnya.

“Kenapa Kak?”

“Kamu udah jauh-jauh nganterin aku. Mau mampir dulu nggak?”

“Boleh deh Kak,” ujarnya mengiyakan diiringi sebuah anggukan.

“Oke. Yuk masuk dulu. Aku buatin minuman,” ujarku kemudian.

***

Edgar POV

Aku bertemu dengan papanya Lilie begitu memutuskan mampir sebentar. Lilie menjelaskan situasinya dan mengenalkanku pada Papanya sebagai teman kerjanya di kantor.

“Makasih lho Edgar udah repot-repot nganterin Lilie pulang,” ujar lelaki paruh baya di hadapanku sebelum akhirnya berlalu, meninggalkanku dan Lilie hanya berdua di teras.

Kami duduk di kursi teras yang bersebelahan, yang dibatasi oleh sebuah meja kecil. Aku telah menikmati teh manis yang Lilie buatkan, lalu meletakkan cangkir teh tersebut di atas meja.

Aku memang penasaran dan timbul pertanyaan di benakku, mengapa hanya ada ayahnya Lilie? Ke mana ibunya? Tapi tidak mungkin aku bertanya untuk sekedar menjawab rasa penasaranku.

Aku menoleh ke samping. Tatapanku dan Lilie bertemu, lalu entah bagaimana tanpa aku duga, Lilie tiba-tiba berujar, “Papa aku jadi single parent sejak Mama meninggal. Watu itu adekku yang paling kecil masih umur 10 tahun.”

“Kak, I'm sorry for your lost,” ucapku setelah beberapa detik hanya keheningan yang menyelimuti kami.

“Kak, waktu itu aku nggak sengaja liat foto di meja kerja Kakak. Jadi aku pikir Mama Kakak masih ada. Aku minta maaf kalau aku lancang ngomong gini,” ujarku apa adanya.

Aku memperhatikan Lilie, perempuan itu justru nampak mengulaskan senyumnya sekilas. “Nggak papa, Edgar. Pasti tadi kamu heran ya karena cuma ada Papaku aja.”

Aku tidak ingin menduga terlalu jauh, tapi sepertinya aku tahu alasan Lilie sangat berambisi terhadap pekerjaan dan tentunya sangat giat juga. Lilie adalah tulang punggung keluarganya. Dari informasi yang aku dapat dari Kak Fina, Lilie bisa berkuliah dengan bantuan beasiswa.

Untuk kesekian kalinya, aku berhasil dibuat kagum pada sosok Lilie. Sosok yang tidak disangka, yang malam ini bisa duduk di sampingku dan kami dapat mengobrol ringan layaknya dua orang yang sudah saling mengenal. Aku dan Lilie mengobrol lumayan banyak hal, Lilie menceritakan tentang bagaimana ia lulus dari kuliahnya. Lilie ingin mendapat gelar Sarjana karena ia ingin bekerja dan mendapat penghasilan yang cukup untuk menopang ekonomi keluarganya. Terlebih, Papanya telah pensiun, maka Lilie lah yang menajdi tulang punggung keluarga.

Sorry aku tiba-tiba jadi cerita kayak gini ke kamu,” ucap Lilie.

It's oke Kak,” ujarku kemudian.

Beberapa menit berselang, aku akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Teh manis di gelas sudah habis, dan juga hari sudah semakin malam. Lilie pasti butuh istirahat, bukannya malah semakin lama menghabiskan waktu mengobrol denganku.

Lilie mengantarku sampai ke pagar. Perempuan itu masih di sana, sepertinya baru akan masuk ketika aku sudah berlalu.

Aku membuka kaca helm full face-ku, mesin motorku sudah menyala, tapi aku belum berniat pergi dari sana.

“Kak Lilie,” ujarku.

“Iya Gar?” Lilie menatap lurus ke arahku.

“Aku nggak tau gimana rasanya yang Kakak alamin, karena belum pernah ngalamin. Tapi pasti berat banget. Kakak hebat udah bisa sampai sejauh ini, ada di titik karir dan pososi Kakak yang sekarang. Nggak papa kalau mau cerita Kak, berbagi bukan berarti kita lemah. Kadang kita butuh seseorang buat transfer apa yang kita rasain, biar habis itu bisa ngerasa lebih lega,” ujarku.

Usai mengatakan rentetan kalimat tersebut, aku benar-benar pamit dari hadapan Lilie. Mungkin aku akan merutuki perkataanku nantinya, aku tidak tahu pasti mengenai itu. Namun yang jelas, aku ingin Lilie tahu bahwa tidak masalah menceritakan dan berbagi hal kepada orang lain. Melihat Lilie menutup dirinya selama ini, aku kerap kali merasa khawatir kepadanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Makanan Korea dan Tawaran Mengantar Pulang

Edgar telah menjelaskan yang sesungguhnya kepada Valdo ; bahwa antara dirinya dan Riana tidak ada hubungan spesial apa pun. Valdo akhirnya percaya, tapi sepertinya Edgar akan kembali mendapat masalah baru hari ini.

Edgar dan Ardi baru saja kembali dari ruangan divisi kreatif untuk menerima laporan terkait promotion tools yang akhirnya di disepakati yang nantinya akan dibuatka eksekusinya oleh tim marketing sosial media.

Namun Edgar kembali tidak dengan tangan kosong. Satu tangannya menenteng sebuah paper bag dengan logo brand makanan yang cukup terkenal.

“Dapet dari mana tuh Gar?” Jesslyn bertanya sambil mengarahkan tatapannya pada paper bag yang di bawa Edgar.

“Habis dikasih sama Riana. Buat makan siang, katanya. Takutnya nggak sempet keluar buat beli makan,” ujar Ardi yang justru menjawab, padahal Edgar yang ditanya.

Hari ini memang cukup hectic di kantor. Beberapa minggu lagi, IT'S CLEINE akan me-launching produk baru, jadi pekerjaan pun juga terasa semakin diburu oleh waktu.

Edgar tidak menanggapi ucapan Ardi dan Jesslyn yang menduganya punya hubungan dengan Riana. Bagi Edgar, tidak ada yang perlu dijelaskan berkali-kali. Cukup sekali Edgar mengatakannya, maka semuanya sudah jelas bahwa ia tidak ada hubungan apa pun dengan Riana.

Edgar kembali ke kursinya dan duduk di sana. Namun bukannya membuka bungkus makanannya dan menyantap makan siang, lelaki itu justru berkutat pada laptop.

Edgar sekilas menoleh ke sampingnya, ia memperhatikan Lilie yang baru akan memesan makanan. Edgar kembali lagi pada laptopnya, tanpa sadar bahwa di ruangan itu hanya tersisa dirinya, Lilie, dan Valdo saja. Jesslyn dan Ardi telah pergi entah ke mana.

Tidak lama kemudian, Valdo melenggang keluar juga. Seolah Valdo mengerti dan ingin memberi ruang untuk Edgar dan Lilie.

“Kak, mau pesen makanan apa?” Edgar bertanya sambil menoleh menatap Lilie.

“Aku mau pesen makanan korea yang ada di deket GI. Kenapa?”

“Boleh pesenin sekalian?”

“Lho kamu bukannya udah ada makanan?” Lilie justru bertanya sambil mengarahkan tatapannya pada paper bag yang ada di meja Edgar. Lilie tampak heran karena Edgar ingin memesan makanan, padahal lelaki itu sudah memiliki menu makan siangnya.

“Lagi pengen makanan korea juga. Nanti makanan ini mau aku bawa pulang aja,” ucap Edgar berdusta. Sebenarnya ia hanya tidak bernapsu menyantap makanan dari Riana. Edgar tidak menduga bahwa tiba-tiba tadi Riana memberikannya makanan, dan ia tidak mungkin menolak pemberian itu di depan orang yang memberi langsung, bukan?

“Oke. Aku udah pilih menu yang aku mau. Kamu pilih dulu mau apa, nanti aku pesenin,” ucap Lilie sembari memberikan ponselnya pada Edgar agar lelaki itu bisa memilih menu yang diinginkannya.

***

Hari ini Lilie kembali kerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sekitar pukul 9 malam, Lilie baru meninggalkan kantor. Seperti biasa, Lilie harus berjalan kaki untuk sampai ke halte Transjakarta. Baru beberapa langkah Lilie berjalan dari gedung kantornya, ia mendapati motor yang nampak tidak asing baginya. Sosok pemilik motor tersebut rupanya tidak berada jauh dari sana. Di sebuah kafe yang memiliki area outdoor tersebut, Edgar berada di sana dan ia segera menghampiri Lilie.

Edgar membuatnya terlihat alami, lelaki itu mengatakan kalau ia belum pulang dan ingin nongkrong di sana. Tanpa Lilie tahu, Edgar sengaja melakukannya karena ia ingin mengantar Lilie pulang.

“Rumah kamu di mana emangnya?” Lilie malah bertanya, karena secara jujur ia ungkapkan sebelumnya, bahwa rumahnya cukup jauh jaraknya. Jika rumah Edgar berlawanan arah juga dengan arah rumahnya, maka lebih baik Lilie naik bis Transjakarta seperti biasa.

“Nggak jauh Kak pokoknya. Naik motor lebih cepet, kalau Transjakarta lama. Ini udah malem Kak, bahaya kalau Kakak pulang sendiri,” ujar Edgar.

Lilie sesaat memikirkannya. Kalau soal helm untuk penumpang, di motor Edgar ada satu helm. Jadi itu bukan sebuah masalah dan akan aman saja.

“Oke, deh. Tapi bener ya nggak ngerepotin,” Lilie akhirnya setuju untuk diantar pulang dengan Edgar.

Edgar mengangguk. Di dalam rongga dadanya, rasanya jantungnya akan meledak karena kegirangan. Namun tetap, lelaki itu coba bersikap normal dan seolah tidak ada yang terjadi. Edgar baru saja mengenakan helmnya dan akan memberikan sebuah helm pada Lilie, saat tiba-tiba kehadiran seseorang di sana yang memanggil nama Lilie ; membuat mereka menoleh ke arah orang itu.

Marcel

Edgar meletakkan kembali helm yang sebelumnya akan ia berikan pada Lilie, kemudian Edgar melepas helm yang telah ia pakai hanya untuk memastikan sosok yang kini berada di hadapannya dan Lilie.

Edgar tidak salah melihat, sosok pria jangkung itu adalah Marcellio Moeis. Rupanya Marcel memberhentikan mobilnya tidak jauh dari posisi mereka.

“Lilie, kamu sama kenal dia?” tanya Marcel.

“Pak Marcel,” ucap Lilie dengan sopan. Lilie tampak kaget dan canggung mendapati Marcel di sana, tapi detik berikutnya ia segera berusaha mencairkan suasana dan menjelaskan situasnya. “Oh iya Pak, Edgar ini karyawan internship di divisi saya,” terang Lilie.

“Oh gitu. Saya tadi ngeliat kamu. Saya habis dari kafe deket sini. Kamu mau pulang juga? Biar saya antar, gimana?”

Mendengar kalimat enteng itu terlontar dari bibir Marcel, rasanya seperti ada sambaran petir dan hanya Edgar yang dapat melihatnya.

“Tapi rencananya saya pulang sama Edgar, Pak. Terima kasih banyak atas tawarannya, tapi saya sama Edgar aja. Tidak perlu repot-repot Pak,” ujar Lilie.

“Lilie, tapi ini udah malam dan kayaknya bakal hujan sebentar lagi. Lebih baik saya yang antar kamu,” ucap Marcel lagi.

DUAR!

Sambaran petir itu terasa menyambar lagi, bahkan rasanya lebih kuat dari sebelumnya.

Lilie lantas menoleh pada Edgar, perempuan itu tampak bingung bagaimana harus bertindak. Edgar tidak tahu menahu tentang masa lalu Lilie dengan Marcel seperti apa. Jadi Edgar berpikir bahwa Lilie mungkin akan lebih memilih diantar pulang dengan Marcel ketimbang dirinya.

“Kak, kayaknya bentar lagi emang mau hujan. Dari pada kehujanan, mending Kakak pulang sama Pak Marcel aja,” Edgar pada akhirnya angkat suara.

Sepertinya memang itu yang terbaik, untuk sekarang Lilie pulang bersama Marcel. Dari cara Marcel menatap Lilie dan nada bicaranya, seolah mencerminkan bahwa ada masa lalu yang eblum selesai di antara mereka. Seorang CEO di berbicara dengan nada lembut dan terkesan akrab kepada seorang manager yang bekerja di perusahaan miliknya, rasanya tidak mungkin kalau tidak ada yang spesial di antara keduanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan penghasil produk, saat-saat sibuk dan penuh tekanan dalam bekerja adalah ketika akan launching produk baru. Segala sesuatu tentu perlu dipersiapkan dengan begitu detail dan matang. Dari mulai riset produk, produksi, pengujian hasil produksi beberapa sampel yang perlu melewati beberapa kali tahap revisi, penentuan packanging, hingga perencanaan promosi sebelum produk diluncurkan.

Tentunya semua tim bergerak dan bekerja keras demi tercapainya target penjualan produk baru tersebut. Dari tim marketing, kreatif, dan product development, semua mengerahkan tenaga dan pikiran mereka, hingga akhirnya hari ini akan di adakan sebuah meeting yang mempertemukan setiap manager divisi dengan atasan perusahaan.

Produk telah melalui 4 kali revisi. dan sesuai rencana sebelumnya, siang ini setelah jam makan siang, para manager dari setiap divisi menghadiri rapat. Mereka akan menunjukkan 2 produk terbaru Eu de Parfum IT'S CLEINE yang akan diluncurkan.

Lilie masih berada di ruangan divisinya, 20 menit sebelum rapat di mulai. Dua buah packaging berisi botol parfum tengah berada di meja. Timnya juga ikut menjajal produk tersebut dan Lilie meminta mereka berkomentar mengenai aroma parfumnya dan juga dari segi estetika packaging-nya.

Eucaplyptus

Loewe

“Gimana menurut kalian?” Lilie bertanya setelah satu-sati dari timnya mencoba menelaah produk milik brand mereka.

“Yang Eucaplyptus ini oke banget sih, Kak. Gue suka harumnya. Target pasar kita kan kelas SES A-B, nah ini wanginya ngasih vibes yang nggak murah gitu lho, wanginya elegan mahal gitu,” komentar Jesslyn.

Sementara Jesslyn dan Ardi sedang fokus pada si Eucaplytus, Edgar tengah mencoba si Loewe edisi untuk Women dan Valdo mencoba yang edisi untuk Men.

“Gue nggak tau banyak parfum cewek sih, tapi ini wanginya enak, Kak. Manisnya pas, nggak terlalu strong,” ujar Edgar.

“Kemarin ini yang Women sempet dapet revisi dari anak kreatif. Tim mereka banyak cewek kan, dan emang dikurangin aromanya biar gak begitu strong manisnya. Udah oke berarti ya,” ujar Lilie.

“Emang lu beneran gak tau banyak parfum cewek Gar?” celetuk Ardi kemudian yang seketika membaut Edgar dan Lilie beralih menatap lelaki itu.

“Kemaren kata anak kreatif, Riana nanya-nanya ke lu buat riset parfum cewek. Lu sama Riana keluar makan siang kan kemarin berdua? Ngomongin kerjaan ya katanya, soal riset itu. Jadi gue pikir lu paham banget sama wangi parfum cewek,” ujar Ardi.

“Gue lumayan tau sih, tapi nggak terlalu banyak. Gue kan punya adek cewek, Bang. Riana minta tolong ke gue buat ditanyain bentar, jadi yaudah gue iyain aja,” jelas Edgar menimpali ucapan Ardi.

“Ohh gue kira lu berpengalaman banget sama cewek, gitu.” Ucapan Ardi itu tidak ditanggapi lagi oleh Edgar, juga mereka yang ada di ruangan itu melupakannya begitu saja.

Siang ini yang akan meeting ikut dengan Lilie adalah hanya Valdo. Sebelum meninggalkan ruangan, Lilie membawa proposal yang telah disusun oleh timnya. Valdo mengigatkan pada Lilie, “Lie, ini nggak dibawa sampel parfumnya?”

“Oh, enggak Mas. Kata sekretarisnya beliau yang buat sampel dipresentasiin udah ditaro di ruangannya kok,” ucap Lilie.

Valdo lantas hanya mengangguk. Lilie melangkah lebih dulu keluar ruangan, tidak lupa para timnya memberikannya semangat untuk kedua orang itu. Tatapan Edgar sempat bersinggungan dengan Valdo sebelum lelaki itu benar-benar menghilang di balik pintu. Edgar tidak mengerti arti tatapan itu, tapi yang jelas Valdo menatapnya dengan tatapan berbeda. Seperti ada sesuatu yang coba Valdo tahan karena tidak bisa diungkapkan sekarang.

Apakah itu berhubungan tentang perkataan Ardi tadi tentangnya beberapa saat lalu? Apa Valdo baru saja mengira bahwa Edgar adalah tipe lelaki kurang ajar yang bisa mudah dekat dengan banyak perempuan? Maka kalau iya, itu adalah kabar buruk untuk Edgar. Valdo sebelumnya telah percaya bahwa Edgar serius menyukai Lilie dan tidak akan menyakitinya, tapi sepertinya Valdo tengah salah menduga.

***

Apa yang terjadi di area kantor akan dengan mudah menjadi perbincangan yang menyebar cepat dari satu mulut ke mulut lainnya. Hingga spekulasi pun terbentuk, entah sengaja dibuat atau memang tercipta begitu saja. Banyak berita yang saat ini tengahredar di kantor, selain mengenai Edgar yang pergi makan siang dengan Lilie berdua, dan juga Edgar yang pergi makan siang dengan Riana.

Edgar baru akan kembali ke ruangan setelah dari pantry, di sana ia berpapasan dengan Riana dan beberapa orang perempuan divisi kreatif. Edgar pun secara otomatis mendengar pembicaraan antara Riana dengan teman-temannya.

“Katanya CEO sama owner kita ganti ya.”

“Company ini dibeli gitu? Bukan Pak Tirta lagi ya sekarang?”

“Iya, katanya bukan owner yang lama lagi. Gue kira cuma dibeli, nggak taunya kepemimpinannya diambil alih juga. Masih muda lho CEOnya, tadi gue denger-denger namanya Pak Marcel Moeis.”

Begitu Riana menyadari kehadiran Edgar di sana, perempuan itu langsung menghentikan langkahnya dan menyapa Edgar. Kemudian teman-temannya diminta ke ruangan duluan oleh Riana, hingga menyisakan Riana dan Edgar saja di sana.

“Ri, sorry, gue tadi nggak sengaja denger omongan lo sama temen-temen lo. Kalau gue boleh tau, siapa nama CEO baru yang tadi lo sebutin?” ujar Edgar.

“Oh, nama beliau Pak Marcellio Moeis. Denger-denger sih ya, tapi belum pasti bener, tapi katanya Pak Marcel dua minggu lalu baru beli perusahaan ini dan bakal jadi CEO juga buat seterusnya.”

“Tadi kan Mbak Devina, atasan gue di kreatif, tuh baru rapat juga sama manager divisi lain. Karena dialihkan alih dari Pak Tirta ke Pak Marcel, jadi perlu presentasi lagi ke Pak Marcel soal update revisian produk baru.”

Edgar tidak mungkin salah mendengar nama yang disebutkan oleh Riana. Edgar masih berusaha menampik bahwa nama Marcellio Moeis mungkin tidak hanya satu, jadi ada kemungkinan Marcel CEO di perusahaan ini adalah Marcel yang ia ketahui. Namun rasanya sulit untuk berpikir demikian.

Edgar akhirnya berlalu dari sana setelah menanyakannya pada Riana. Sesampainya ia di ruangan, Edgar segera mencari tahu fakta yang membuatnya penasaran itu.

Di grup WhatsApp gruo divisinya, terdapat perbincangan baru tentang informasi yang baru saja Edgar cari. CEO dan pemilik yang telah membeli It’s Cleine adalah jelas Marcellio Moeis yang Edgar ketahui sebagai mantan kekasih Lilie. Edgar tidak habis pikir, cobaan apa lagi ini. Edgar justru masuk ke dalam kandang milik rivalnya sendiri. Apakah Marcel memiliki alasan membeli perusahaan ini? Edgar tiba-tiba kepikiraan akan hal itu. Yang jadi pertanyaannya, dari sekian banyak perusahaan yang bisa lelaki itu beli, kenapa harus perusahaan tempat Lilie bekerja?

***

“Edgar,” panggilan itu seketika membuat Edgar menoleh. Edgar baru saja akan mengenakan helmnya yang habis ia ambil dari penitipan helm yang tidak jauh dari parkiran kantor.

Edgar mendapati Valdo di sana dan lelaki itu segera berjalan menghampirinya. “Ada yang mau gue omongin sama lo,” ujar Valdo.

“Mau ngomong apa Bang?” Edgar bertanya.

Valdo memperhatikan keadaan sekitar, setelah dirasa aman karena tidak ada yang akan mendengar pembicaraannya dengan Edgar, Valdo akhirnya bertanya, “Lo akrab sama Riana?”

“Maksudnya?” Edgar justru balik bertanya. Namun ia cepat mengerti ke mana arah pembicaraan Valdo. “Bang, gosip itu nggak bener. Gue sama Riana makan berdua cuma sekedar karena dia mau mina tolong sama gue buat riset produk.”

“Tapi kenapa harus lo? Laki-laki di kantor kita kan banyak. Kayaknya lo spesial banget di mata Riana, ya? Gar, asal lo tau. Lilie udah gue anggap kayak adek gue sendiri. Gue nggak akan diem aja kalau ada yang berani nyakitin dia.”

“Bang, sumpah gue sama Riana nggak ada apa-apa,” ucap Edgar mencoba meluruskan kesalahan pahaman yang telah terjadi.

“Tadi siang di deket pantry gue liat lo ngobrol sama Riana. Lama banget lagi, ada kali hampir 15 menit. Kalau seandainya Lilie ngeliat gimana? Dia mungkin akan semakin membenarkan gosip tentang lo, Gar,” papar Vald.

“Gue tadi ngobrol sama Riana karena nanyain sesuatu, Bang,” Edgar pun mengatakan yang sebenarnya terjadi. “Lo tadi siang ikut Kak Lilie meeting samaa atasan perusahaan, kan? Apa lo tau siapa CEO baru dan owner perushaaan?”

“Iya, gue tau. Pak Marcellio Moeis, beliau owner sekaligus CEO baru di kantor kita,” ucap Valdo.

“Lo harus tau, Marcel itu mantannya Lilie, Bang. Marcellio Moeis, CEO baru perusahaan ini, mantannya Lilie,” ucap Edgar sebisa mungkin memelankan suaranya.

Valdo masih menatap Edgar di sana. Valdo terlihat sedikit terkejut, karena sebenarnya ia memang tidak tahu menahu mengenai itu.

“Gar, jangan-jangan mantannya Lilie yang bikin dia trauma itu Pak Marcel?” ujar Valdo lebih ke sebuah pertanyaan yang jawabannya sama sekali tidak didukung oleh bukti apa pun.

“Bang, gue kira lo udah tau. Tapi kalau pun itu bener, kenapa harus perusahaan ini yang dibeli sama Pak Marcel? Apa ada hubungannya sama Lilie?” ujar Edgar.

Baik Edgar atau Valdo, keduanya pun tidak tahu terlalu jauh sampai ke sana. Hanya saja, rasanya ada yang sedikit janggal. Dari sekian banyak bisnis dan company yang bisa diambil alih oleh Marcel, mengapa lelaki itu memilih perusahaan lokal brand yang merupakan tempat Lilie bekerja?

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Lilie POV

Siang ini di kantor nampak seperti hari-hari sebelumnya pada umumnya. Beberapa karyawan di divisiku pergi makan siang di luar kantor bersama. Semua pergi, kecuali Edgar, seorang lelaki yang sedang menjalani intership dan aku yang bertugas sebagai mentor untuknya. Edgar masih berkutat pada pekerjaannya, padahal biasanya ia pergi makan keluar bersama yang lainnya. Kalau aku, memang jarang ikut bersama teman-teman lainnya. Itu dikarenakan pekerjaanku yang cukup menumpuk. Jadi untuk menghemat waktu, aku lebih memilih makan siang di kantor dengan memesan makanan atau memakan bekal yang kubawa dari rumah.

Sudah 1 minggu lebih Edgar magang di divisiku. Aku menyadari beberapa hal yang rasanya berbeda. Edgar ... dia bersikap baik sekali kepadaku. Aku sadar akan hal itu, perlakuannya tampak berbeda untukku. Namun aku tidak ingin berpikir terlalu jauh. Mungkin Edgar begitu karena aku adalah mentornya di kantor, dan menurutku sikapnya itu masih wajar. Sama dengan karyawan magang yang sebelum-sebelumnya bekerja denganku, mereka juga bersikap sangat baik.

“Tumben nggak ikut yang lain makan siang di luar?” aku bertanya dan detik berikutnya Edgar langsung menoleh menatapku. Edgar mengalihkan atensinya dari layar laptop kepadaku.

“Masih ada kerjaan, Kak. Tanggung sih ini, dikit lagi,” ujar Edgar.

“Makan siangnya gimana? Kamu pesen makanan?” Aku bertanya lagi. Aku mengambil ponselku, lalu mulai menselancarkan jariku di layar untuk memesan makanan.

“Kakak mau pesen makanan?” Edgar bertanya padaku sambil menatapku yang tengah asik dengan ponsel di tangan.

Aku lantas mengangguk. “Mau sekalian?” Aku pun berinisiatif menawarkan pada Edgar.

“Yang Kakak mau pesan itu restoran jepang yang deket sini bukan? Yang biasa kakak order. Mau ke sana aja nggak?”

Mendengar pertanyaan Edgar itu, aku tidak langsung meresponnya. Bukankah itu sebuah ajakan? Aku berpikir, tapi kenapa? Harusnya aku tidak bertanya, mungkin juga Edgar kebetulan ingin ke restoran itu juga.

Edgar masih menunggu jawabanku, yang akhirnya aku mengangguk mengiyakan sebagai jawaban atas ajakannya.

“Oke. Ayo Kak kita makan di sana,” ucap Edgar sebelum lelaki itu mengambil dompetnya. Aku juga hanya membawa dompetku, lantas segera berjalan mengikuti langkahnya keluar dari ruangan.

***

Pada jam makan siang seperti ini, tempat-tempat makan sudah semestinya dipenuhi oleh para pengunjung ; terutama oleh para karyawan kantoran yang akan makan siang. Rasanya pemandangan dan suasana mengantre seperti ini sudah lama tidak aku dapati. Ada perasaan senang bisa keluar kantor untuk makan siang. Sepertinya aku memang harus lebih memperhatikan apa yang membuat aku senang, bukannya hanya berfokus terus menerus pada pekerjaan yang jujur saja membuatku bosan dan stres.

“Kakak mau pesen apa? Biar aku yang ngantri, Kakak duduk aja,” ujar Edgar padaku. Aku menoleh ke samping, mendapati sosok yang hari ini mengajakku keluar untuk makan siang.

“Beneran? Ngantri bareng aja nggak papa Gar,” ujarku.

Pada akhirnya karena antriannya masih cukup panjang, jadilah aku menunggu Edgar memesan makanan dengan duduk di salah satu meja. Ketika aku sedang menunggu, aku mengecek ponsel dan menemukan chat masuk yang berasal dari grup divisiku. Ardi, Jesslyn, dan Valdo telah kembali ke kantor dan menanyakan ke mana perginya diriku, karena tidak biasanya aku meninggalkan ruangan pada saat jam makan siang.

Karena di grup tersebut yang belum muncul hanya aku dan Edgar, akhirnya Jesslyn menduga bahwa aku pergi berdua dengan Edgar.

Ketika aku masih fokus dengan ponselku, Edgar datang dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan milik kami berdua.

“Di grup pada nanyain,” ujarku.

“Ohya? Nanyain apa Kak?”

“Nanyain aku ke mana. Soalnya emang nggak biasanya aku keluar di jam makan siang,” terangku.

Edgar pun langsung mengecek ponselnya untuk membaca rentetan pesan yang ada di grup. Aku memperhatikannya dan tidak mungkin salah melihat ketika Edgar sekilas mengulaskan senyum kecilnya.

Aku kemudian mengambil makananku di nampan, yang lantas Edgar juga melakukan hal yang sama denganku ; setelah lelaki itu meletakkan ponselnya.

“Kamu udah muncul di grup?” tanyaku.

“Udah. Mereka pada heran Kakak mau keluar kantor buat makan siang,” terang Edgar.

Aku sebenarnya penasaran bagaimana akhir percakapan di grup. Namun aku memutuskan untuk lebih dulu menikmati makanananku.

“Kak,” ujaran Edgar itu membuatku lantas mengalihkan fokus dari makananku.

“Iya?” aku menyahut, mengalihkan atensiku dari makanan kepada sosok yang ada di depanku.

“Tadi pagi belum ngopi kan? Mau beli kopi nggak sebelum balik ke kantor?”

“Hmm … boleh deh. Kopinya nanti gantian aku ya. Kamu mau kopi juga kan?” ujarku.

“Oke-oke. Aku boleh milih kopinya atau Kakak yang nentuin?”

Aku berpikir beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Edgar. “Kamu mau kopi apa?” tanyaku.

“Tapi store kopinya cuma ada di Grand Indonesia, Kak. Agak jauh sih, telat balik ke kantor nggak ya nanti,” Edgar nampak sedang mempertimbangkannya.

“Nggak terlalu jauh sih. Masih ada dua puluh menit lagi jam istirahat kantor. Boleh aja kalau kamu mau ke sana,” putusku akhirnya.

***

Edgar POV

Siang ini ketika jam istirahat kantor, aku berhasil pergi makan siang berdua dengan Lilie. Rasanya masih sulit meyakinkan diriku bahwa ini benar-benar nyata. Sebelum makan siang kami berakhir, aku mencoba mengajak Lilie untuk membeli kopi. Alasannya jelas, aku ingin memperlama waktu untuk bisa berdua saja dengannya.

Aku dan Lilie harus menempuh jarak sekitar 700 meter untuk sampai di mall Grand Indonesia. Kami berjalan santai untuk sampai ke tempat tujuan yang sebelumnya telah ditetapkan. Selama di perjalanan, kami pun berbincang ringan.

“Emang udah lama ya Kakak nggak keluar kantor buat makan siang?” Aku bertanya membuka pembicaraan.

“Iya sih, udah lumayan lama deh kayaknya. Sampe orang kantor juga pada heran. Kadang nggak enak nolak ajakan mereka, tapi aku bukannya nggak mau gabung atau gimana,” ungkap Lilie.

“Sesekali kalau kerjaan lagi nggak numpuk banget, luangin waktu untuk keluar makan siang ya, Kak. Rencananya Bang Valdo mau ngajak ke restoran seafood minggu depan,” ujarku.

“Oke. Nanti kalau ada luang, pasti aku ikut kok,” ujar Lilie diiringi tawa kecilnya.

“Oh iya, hari ini Kakak bawa payung?” aku kemudian bertanya lagi.

“Bawa, kok. Kamu tenang aja. Eh maksud aku, kamu nggak perlu repot-repot lagi anterin aku ke halte kalau misalnya nanti sore hujan. Kemarin pasti kamu nggak enak nolak idenya Valdo yah,” ucap Lilie.

“Nggak masalah sih Kak, cuma nganter sampe halte doang,” ujarku.

Entah bagaimana tiba-tiba Lilie menoleh padaku. Mendapati kedua netra cantiknya yang menatapku, jantungku seketika berdegup tidak karuan. Jadi sepeti ini rasanya jatuh cinta. Eksistensinya secara nyata dan dengan mudahnya, mampu membuat dunia milikku seperti berhenti selama beberapa detik.

“Aku nggak enak lho, Edgar. Jadi ngerepotin kamu,” ujar Lilie, masih sambil menatapku. Langkah kami telah sampai di tempat tujuan, yakni sebuah mal ternama yang cukup besar.

“Nggak repot kok Kak. Yang penting Kakak nggak kehujanan,” ujarku kemudian. Pembicaraan kami pun terhenti sampai di sana karena kami harus segera memesan kopi. Aku terus memikirkan kalimatku barusan. Rasanya kalimat tersebut terus berputar di dalam kepalaku. Apakah itu wajar aku ucapkan pada Lilie? Namun mau gimana lagi, aku sudah terlanjur mengatakannya. Sial, kenapa aku tidak bisa mengontrol diriku ketika sedang bersama dengannya? Kalau begini terus, bisa-bisa Lilie akan segera mengetahui perasaanku terhadapnya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕