alyadara

Kafka, Barra, Romeo, dan Calvin datang menjenguk Raegan keesokan harinya. Raegan dan Kaldera pun bertanya bagaimana kondisi Aksa saat ini. Rupanya Aksa dirawat karena mengalami luka-luka yang cukup serius, jadi lelaki itu tidak bisa ikut datang menjenguk. Aksa melawan dua orang anggota Leonel untuk membiarkan Kafka selamat, dengan tujuan Kafka dapat memberitahu Raegan tentang Kaldera yang diculik. Semua kejadian menciptakan begitu banyak pengorbanan juga termasuk dari Aksa dan Kafka.

Setelah sekitar 20 menit membesuk, mereka berpamitan untuk pulang. Selain jam besuk yang singkat, mereka memang harus membiarkan Raegan memiliki waktu istirahat yang lebih banyak.

“Kaf, makasih ya untuk semuanya,” ucap Kaldera kepada Kafka. Kaldera mengantar Kafka sampai ke pintu ruang rawat, sementara Romeo, Barra, dan Calvin memberi kedua orang itu ruang untuk untuk bicara empat mata.

“Sama-sama, Kal. Oh iya, gue mau menyampaikan sesuatu ke lo,” ujar Kafka.

“Soal apa Kaf?” tanya Kaldera.

“Ini soal Aksa. Aksa ngelakuin itu karena dia nggak mau sampai menyesal untuk yang kedua kalinya, Kal. Dia udah kehilangan sahabat terbaiknya, Zio udah berkorban besar banget untuk Aksa. Jadi, Aksa janji kalau dia akan membalas budi dengan menjaga harta yang paling berharga bagi Zio, yaitu lo.”

Mendengar penurutan Kafka, Kaldera seketika merasa terenyuh. Kaldera mengalihkan pandangannya guna menahan air matanya.

“Yaudah Kal, gue balik dulu ya,” ujar Kafka. Kaldera mengangguk sekali dan menunggu sampai Kafka menjauh. Kaldera masih di tempatnya dan memikirkan semuanya. Begitu besar Kaldera telah kehilangan, tapi ia juga mendapat begitu banyak kasih sayang setelah kehilangannya itu.

***

“Mereka udah pulang?” pertanyaan itu yang pertama kali Raegan tanyakan begitu Kaldera kembali ke ruang rawatnya dan duduk di samping ranjangnya. Raegan dengan posisi duduknya, ia menyadarkan punggungnya ke sandaran kasur yang telah dibuat dalam posisi setengah tegak.

“Kafka udah pulang. Kalau mas Romeo, mas Calvin sama mas Barra lagi ke kafetaria di lantai satu, katanya mereka nanti mau balik ke sini lagi,” ujar Kaldera.

“Balik ke sini lagi? Jam besuknya kan udah mau habis. Mereka mau ngapain?” tanya Raegan.

“Mungkin masih ada yang mau dibicarain sama kamu. Emangnya kenapa kalau mereka ke sini?” Kaldera justru balik bertanya, kedua alisnya bertaut di tengah.

Raegan dan Kaldera pun saling bertatapan, cara Kaldera menatapnya tiba-tiba membuat Raegan menjadi sedikit gugup. Namun Raegan tidak akan lagi membiarkan dirinya terlalu kaku di hadapan Kaldera. Raegan ingin menunjukkan perasaannya yang seutuhnya kepada Kaldera.

“Aku pengen berdua aja sama kamu,” ucap Raegan kemudian.

Kaldera yang mendapat tatapan Raegan yang begitu dalam ketika menatapnya, membuatnya gugup dan canggung. Mereka masih saling menatap dengan intens satu sama lain, sampai pada akhirnya …

Cklek!

Pintu ruang rawat itu terbuka bersamaan dengan munculnya Romeo, Barra, dan Calvin. Ketiga pria itu lekas menatap ke arah Raegan dan Kaldera dengan tatapan memicing dan senyum yang tertahan.

“Hayoo kalian lagi ngapain berduaan?” seru Romeo.

“Nggak ngapa-ngapain,” ucap Kaldera cepat.

“Kalau nggak ngapa-ngapain kenapa kayak panik gitu deh pas kita dateng,” celetuk Calvin.

Raegan berdeham dua kali, lalu ia berujar, “Ada yang mau kalian omongin sama gue?” tanya Raegan pada teman-temannya.

“Nggak ada sih. Mau ganggu kalian aja,” ujar Barra dengan begitu entengnya.

“Ada yang mau kita omongin, ini soal Leonel,” ucap Romeo akhirnya. Romeo, Calvin, dan Barra lantas saling melempar pandangan. Raegan menatap teman-temannya itu satu persatu.

“Kemarin malam kita nggak berhasil mendapatkan Leonel. Tiba-tiba ada kompolotan yang datang dan bantuin Leonel untuk kabur. Tapi kita nemuin sesuatu yang mungkin bisa bawa kita untuk nemuin keberadaan Leonel,” ungkap Calvin. Kemudian Calvin menunjukkan sebuah foto yang berhasil didapatkan oleh anggotanya, yakni foto dari sebuah plat mobil yang menolong Leonel malam itu.

“Kita udah lacak plat nomor itu dan nemuin titik di mana mobil itu sekarang. Kita akan berusaha ke sana untuk menemukan Leonel,” ujar Barra.

Raegan mengangguk sekilas. Raegan lantas mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya. Tanpa mereka sesungguhnya Raegan bukanlah siapa-siapa dan rasanya mustahil ia bisa sampai di titik ini.

“Lo sembuh total dulu, biar persoalan ini kita yang urus,” ujar Barra. Kemudian Barra melirik Kaldera dan Raegan, pria itu menatap keduanya dengan tatapan penuh arti seraya berujar, “Oh iya, jangan lupa. Selain urusan kesehatan, urusan percintaan juga harus dikelarin.”

***

Romeo, Barra, dan Calvin telah pamit. Kini di ruang rawat itu hanya ada Kaldera dan Raegan. Setelah apa yang terjadi kemarin, keduanya belum sempat berbicara mengenai hal itu secara empat mata. Ada sesuatu yang ingin Kaldera utarakan, tapi Raegan malah bertanya apakah Kaldera akan menginap malam ini atau pulang ke rumah.

“Iya, aku nginep malam ini. Aku tidur di sofa bed,” ujar Kaldera akhirnya.

Raegan pun mengangguk sekilas, sebuah senyum lantas tidak bisa dicegah untuk terbit di wajahnya.

“Mas, mama sama papa kemarin khawatir banget lho sama kamu. Dokter juga sempat ragu waktu operasi, karena katanya kamu pernah punya luka di tempat yang dekat sama posisi pelurunya,” ujar Kaldera.

“Kamu nggak mikirin diri kamu sendiri, kemarin kamu hampir nggak selamat, Mas,” Kaldera menjeda ucapannya sesaat, gadis itu menghela napasnya sesaat, lalu menghembuskannya dengan helaan yang panjang.

“Aku udah nggak papa sekarang, Kal,” ucap Raegan. Raegan lalu meraih satu tangan Kaldera dan menggenggamnya dengan tangan besarnya.

“Mas, kamu nggak punya rasa takut yaa emangnya?” Kaldera berucap dengan matanya yang tidak lepas menatap Raegan. Dari tatapan Kaldera, Raegan dapat melihat pancaran kasih sayang yang perempuan itu berikan untuknya.

“Aku cuma mikirin kamu waktu itu, Kal,” ujar Raegan. Satu tangan Raegan yang tidak memegang tangan Kaldera lantas mengarah ke dadanya, di mana luka jahitannya berada.

“Arghh,” Raegan merintih kesakitan dan seketika Kaldera langsung menatapnya dengan tatapan khawatir.

“Mas, kamu kenapa? Aku panggilin dokter dulu sebentar,” ujar Kaldera yang segera bergerak dari posisinya, tapi Raegan dengan cepat menahan pergelangan tangannya, membuat Kaldera kembali ke posisi duduknya.

“Aku nggak papa. Mau ngetes aja,” ujar Raegan seraya mengulaskan senyum segaris di wajahnya.

Kaldera seketika membelalakkan matanya, dan kedua alisnya bertaut tanda bahwa ia bingung. “Ngetes apa?”

“Aku penasaran kamu khawatir apa engga sama aku,” ujar Raegan.

Kaldera seketika memutus kontak matanya dengan Raegan. Tanpa bisa Kaldera cegah, pipinya kini terasa menghangat. Raegan justru nampak senang memandangi wajah Kaldera yang saat ini terlihat bersemu kemerahan.

Soal pertanyaan Kaldera apakah Raegan tidak memiliki ketakutan, jawabannya adalah Raegan memilikinya. Ketakutan terbesar Raegan bukanlah tentang dirinya, melainkan ketakutan tersebut adalah tentang Kaldera. Raegan takut bahwa ia selamanya tidak bisa memberikan kehidupan yang aman dan nyaman sebagaimana yang Kaldera impikan. Raegan takut ia tidak dapat mewujudkan itu untuk orang yang ia cintai.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Kaldera seperti merasakan dejavu, di mana ia mendapati perasaan takut kehilangan orang yang ia sayangi untuk yang kedua kalinya. Di depan ruang UGD itu, Kaldera berdiri dengan tatapan kosong. Barra yang melihat tangan Kaldera dipenuhi oleh darah dari tubuh Raegan, segera meminta tolong perawat untuk bantu membersihkannya.

Sementara Kaldera dibawa oleh perawat, Barra menghubungi orang tua Raegan untuk mengabari apa yang tengah terjadi. Barra juga telah meminta anggotanya untuk berjaga di sekitar area rumah sakit, mereka melakukan penjagaan lebih ketat guna mengantisipasi hal buruk atau kecolongan penjagaan seperti yang sebelumnya terjadi.

Tidak lama kemudian, Barra kembali mendapati kehadiran Kaldera di depan ruang UGD. Ketika Barra menghampiri Kaldera, ia mendapati gadis itu menatapnya dengan tatapan penuh luka.

“Kal, Raegan yang merencanakan semua ini,” ujar Barra.

Kaldera menoleh dan menatap Barra. “Maksud Mas Barra?”

“Kita nggak tau alasan Raegan ngelakuin ini apa. Aquiver tadi udah mengepung tempat itu dari luar, tapi Raegan mutusin untuk masuk ke tempat itu sendiri.”

“Mas Barra … mas Raegan cabut tuntutan kasusnya di hadapan Leonel,” ucap Kaldera dengan nadanya yang terdengar putus asa.

Barra lantas menatap Kaldera lekat, pria itu berusaha untuk meyakinkan Kaldera kalau semua akan baik-baik saja. “Kal, kamu coba tenang dulu ya. Raegan pasti ngelakuin ini ada alasannya. Raegan nggak akan mudah menyerah dengan tujuannya, tapi gimana pun dia tetap memikirkan keselamatan kamu.”

***

Indri dan Satrio datang tidak lama berselang. Di dalam ruang UGD itu, Raegan masih menjalani operasi untuk pengambilan peluru yang menembus hingga ke dalam tubuhnya. Indri terlihat syok dan dan begitu sedih, Satrio di sampingnya berusaha untuk menenangkannya.

Kaldera yang melihat itu di depan matanya ikut merasa terenyuh. Kaldera ingin lari dari hadapan Indri, rasanya ia begitu malu menampakkan dirinya di depan Indri setelah apa yang terjadi. Namun ketika netra Indri bersitatap dengan Kaldera, wanita itu justru menghampiri Kaldera dan bergerak untuk memeluknya.

Indri berusaha mencari kekuatan melalui dekapan itu. Masih sambil berpelukan, Kaldera pun berujar pelan kepada Indri. “Mama, maafin Kaldera. Mas Raegan kayak gini gara-gara Kaldera.”

Indri pelan-peln mengurai pelukannya, wanita itu menatap Kaldera dengan tatapan penuh afeksi. “Sayang, ini bukan salah kamu. Kamu jangan ngomong kayak gitu ya. Mama tahu, Raegan pasti ngelakuinnya karena dia sangat sayang sama kamu,” ujar Indri.

Kaldera tidak menyangka bahwa Indri mengatakan kalimat itu padanya. Hati Indri memang hancur saat ini, tapi begitu berpikir bahwa putra sulungnya melakukan itu karena suatu alasan, Indri berusaha untuk memakluminya. Mungkin jika Kaldera yang terkena peluru itu, Indri tidak tahu akan sehancur apa Raegan, dan mungkin Indri lebih tidak sanggup melihat putranya menghadapi kehancuran itu.

***

Operasinya telah selesai dan berjalan dengan lancar. Tim dokter yang melakukan operasi besar tersebut mengatakan bahwa Raegan hampir saja tidak terselamatkan. Peluru yang mengenai Raegan posisinya hampir dekat dengan luka lama yang pernah Raegan miliki. Sehingga tim dokter cukup kesulitan untuk mengeluarkan peluru itu, mereka harus ekstra hati-hati agar operasinya tidak menimbulkan luka baru yang dapat berakibat fatal pada keselamatan Raegan. Dokter ragu bisa menyelamatkan Raegan, tapi rupanya Tuhan masih memberi Raegan kesempatan untuk hidup.

Beberapa saat setelah operasi, Raegan pun telah dipindahkan ke ruang rawat. Indri dan Satrio jadi yang pertama untuk melihat kondisi anak mereka. Setelah itu, Indri meminta Kaldera untuk melakukan kunjungan yang kedua. Sebelum Kaldera masuk, Indri meraih tangannya dan mengucapkan sesuatu. “Raegan belum siuman, tapi Mama yakin dia ingin kamu ada di sampingnya.”

Setelah ucapan Indri, Kaldera bergerak masuk ke dalam ruang rawat Raegan. Begitu Kaldera memasuki ruangan itu, ia melihat Raegan masih memejamkan matanya di atas ranjang rawatnya. Kaldera pun menarik kursi di samping ranjang dan duduk di sana.

Ketika Kaldera memandang wajah terlelap Raegan, air matanya merembas lagi. Kaldera segera menyekanya, lalu ia mengulaskan senyum segarisnya. “Mas,” ucap Kaldera, ia meraih jemari Raegan di sisi kasur dan bergerak menggenggamnya .

Kaldera mengamati jemari Raegan yang kini berada di genggamannya, lalu tatapannya kembali beralih pada wajah Raegan. “Hari ini aku hampir kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kalinya. Aku takut banget, Mas. Aku takut kehilangan kamu. You know what, I realized that I already loved you, Mas. Makasih yaa, kamu udah bertahan untuk kita semua yang sayang sama kamu.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Sebelumnya Raegan telah mengibarkan bendera perangnya kepada Tacenda, maka Leonel juga akan mengibarkan bendera perangnya hari ini. Satu persatu anggota Tacenda memang telah gugur, tapi tidak semudah itu seorang Leonel Nathan Tarigan menyerah.

Kaldera mendapati sosok itu lagi di depan kedua matanya. Leonel berjalan ke arahnya sambil mempertahankan senyum smirk di wajah tegasnya. Sesampainya Leonel di hadapan Kaldera yang duduk dengan kedua tangannya diikat, tangan Leonel lantas mengarahkan tangannya pada kain penutup yang membekap mulut Kaldera.

Leonel menurunkan kain penutup itu, hingga kini Kaldera dapat berteriak menyumpahi pria itu di depan wajahnya. Leonel malah cuma tertawa mendapati umpatan-umpatan itu.

“Akan lebih bagus kalau nanti kamu megumpat di bawahku, Cantik,” ujar Leonel dengan entengnya. “Di mana pacarmu dan anggota gengnya itu, hmm? Menjaga kamu saja nggak bisa, laki-laki macam apa dia?” ujar Leonel lagi.

Leonel semakin mendekat pada Kaldera, lalu satu tangannya meraih rahang Kaldera dan memaksa gadis itu untuk menatapnya. “Raegantara yang membuat saya harus melakukan ini, kamu tahu itu. Dia mengibarkan bendera perang, jadi saya juga harus melakukan hal yang sama. Bukankah seperti itu dunia ini bekerja?”

Setelah mengatakannya, Leonel lekas meminta anggotanya untuk melepaskan ikatan tali di tangan Kaldera. Leonel akan membawa Kaldera entah ke mana, tidak ada yang mengetahui itu. Namun sebelum Leonel membawa Kaldera bersamanya, terdengar suara tembakan yang sangat kuat. Mereka segera mencari sumber peluru itu dan mendapati bahwa peluru tersebut mengenai salah satu kaca di ruangan itu hingga kaca jendela itu pecah.

“Cepat cari tau sumber peluru itu dan lakukan antisipasi,” seru Leonel memerintah anggotanya.

Para anggota Leonel segera melaksanakan perintah tersebut. Leonel menahan Kaldera bersamanya, satu lengan pria itu melingkar di seputaran leher Kaldera dan satunya lagi memegang sebuah pistol untuk berjaga-jaga.

Detik berikutnya yang terjadi, pintu ruangan itu dibuka dengan gerakan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat. Di sana Kaldera mendapati sosok yang begitu dikenalnya. Namun hatinya tidak tenang saat melihat Raegan hanya seorang diri di sana. Raegan menatap ke arah Leonel dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti ada rasa marah yang begitu besar yang masih coba lelaki itu tahan.

Beberapa anggota Leonel yang ada di sana siap mengeluarkan senjata dan mengarahkannya kepada Raegan. Namun Kaldera tidak mengerti mengapa Raegan hanya datang dengan tangan kosong.

Let her go,” ujar Raegan.

Leonel berdecih, lalu pria itu mengangkat pistol di tangannya, mengarahkannya berhenti tepat di pelipis Kaldera. Leonel menatap Raegan lurus-lurus, lalu ia berujar, “What happened if she die in front of you? What will you do if that happen?”

Kaldera menyaksikan itu di depan matanya sendiri. Raegan akhirnya rela berlutut di hadapan Leonel untuk meminta Leonel melepaskan Kaldera.

What do you want from me?” tanya Raegan. Kaldera melarang Raegan melakukannya, ia meminta Raegan bangkit dari posisinya. Namun Raegan tetap bertahan di sana, menunggu Leonel mengajukan syarat agar melepaskan Kaldera.

“Cabut tuntutan atas kasus Redanzio dan pembunuhan berencana ketua Mahkamah Konstitusi,” ujar Leonel.

Begitu mendengar itu, Raegan pun beranjak dari posisinya. Pandangannya kini tertuju pada Kaldera. Bagaimana bisa Raegan memilih kedua hal itu?

“Mas, jangan cabut tuntutannya,” ujar Kaldera. Namun yang terjadi setelahnya adalah justru di luar dugaan Kaldera. Malam itu di markas Tacenda, Raegan mengatakan bahwa ia akan mencabut tuntutannya terhadap dua kasus itu.

Kaldera tidak mempercayai tindakan Raegan tersebut. Kerja keras Raegan dan Aquiver selama ini rasanya hancur begitu saja dan itu disebabkan oleh dirinya.

“Mas, kenapa kamu turutin dia … ” ucap Kaldera dengan suara lemahnya. Leonel telah melepaskan Kaldera. Raegan kini meraih tangan Kaldera, lalu ia berujar sembari menatapnya lekat. “Itu lebih baik dari pada dia nyakitin kamu.”

“Kita pergi dari sini sekarang,” Raegan segera meraih pergelangan tangan Kaldera untuk membawanya pergi. Kaldera masih termangu dengan semua yang terjadi, sampai dirinya tidak sadar akan sesuatu. Begitu mereka hampir mencapai pintu, Raegan menghela tubuh Kaldera untuk bertukar posisi dengannya. Raegan memeluk Kaldera bertepatan dengan suara tembakan yang terdengar begitu kuat di sana. Kedua netra Kaldera pun membola mendapati suara itu terasa begitu dekat dengan posisi mereka. Apa yang baru saja terjadi? Dalam sekedip mata, sebuah peluru telah mengenai Raegan yang seharusnya itu mengenainya. Leonel terlihat berdiri dari posisi mereka, lelaki itu memegang sebuah pistol yang tadi pria itu gunakan untuk menembak Raegan.

“Kal—” ucapan Raegan tertahan dan detik berikutnya pria itu terjatuh dengan kedua lututnya yang lebih dulu menyentuh lantai. Raegan yang masih memeluk Kaldera membuat gadis itu ikut terjatuh juga bersamanya.

“Mas … ” Kaldera nampak panik akan kondisi Raegan yang tertembak di depan matanya. Air mata Kaldera seketika luruh mendapati Raegan kesakitan sambil memeluknya. “Mas, kita ke rumah sakit sekarang ya. Tolong bertahan, sebentar aja,” ucap Kaldera dengan suara lirihnya.

Tidak sampai satu menit setelahnya, tempat tersebut di kepung oleh para anggota Aquiver. Anggota Barra yang mendapati kondisi Raegan yang tertembak, segera membantu untuk menyelesaikan urusan tersebut. Sementara anggota Romeo dan Calvin akan melakukan perang dengan anggota Tacenda malam ini. Kedua kubu kini telah sama-sama mengibarkan bendera perang dan diprediksi akan ada pertarungan besar yang terjadi.

“Nunggu ambulans akan terlalu lama, kita berangkat pakai mobil aja,” ujar Dean. Mereka akhirnya memutuskan memapah Raegan dan akan berangkat ke rumah sakit dengan menaiki mobil milik pribadi dan mencari jalur yang tercepat.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit di dalam mobil, Kaldera berusaha membuat Raegan tetap tersadar. Kedua mata Raegan beberapa kali hampir saja tertutup, tapi kata-kata Kaldera selalu berhasil mengembalikan pria itu pada kesadaran.

Raegan mendongak untuk menatap Kaldera. Dunianya kini ada di hadapannya dan nampak begitu khawatir padanya. Raegan lantas mengarahkan satu tangannya untuk menyeka air mata yang merembas di pipi Kaldera.

Kaldera menatap Raegan lekat-lekat, lalu satu tangannya diarahkan untuk mengusap sisi wajah Raegan. “Mas, please, keep your eyes open. Please, I’m begging you,” lirih Kaldera. Kaldera merasa begitu hancur melihat Raegan kesakitan di depan matanya seperti ini. Raegan rela meletakkan nyawanya di ujung tanduk dan pria itu melakukannya karena dirinya. Apa yang terjadi saat ini membuat Kaldera akhirnya menyadari bahwa Raegan berarti sangat besar baginya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Pekan ujian akhir semester tinggal menghitung hari lagi. Tidak sampai seminggu lagi, para siswa SMA kelas 12 akan menghadapi ujian akhir yang nantinya nilai tersebut akan tercetak di rapor kelulusan. Seperti pada umumnya, saat menjelang waktu ujian, para guru meminta para muridnya untuk melengkapi tugas-tugas yang belum terpenuhi, terutama untuk murid kelas 12 yang akan lulus tahun ini.

Di kelas 12 IPS 3, Icha yang merupakan teman sebangku Kaldera memperhatikan Kaldera yang baru saja mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

“Cieee … intens banget nih sekarang chat sama mas Raegan,” cetus Icha.

“Lo dijemput mas Raegan Kal nanti pulang sekolah?” tanya Icha. Kaldera lantas meletakkan ponselnya ke dalam saku kemejanya.

“Engga deh kayanya. Mas Raegan lagi sibuk,” jawab Kaldera.

“Ohh gitu. Terus nanti lo dijemput siapa Kal?” tanya Icha. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, tapi Kaldera maupun Icha masih memiliki tugas yang harus mereka kumpulkan. Kaldera, Icha, dan Adel sudah berencana untuk pergi ke percetakan untuk mencetak tugas poster digital mereka.

“Gue dijemput supirnya mas Raegan kok. Tadi gue udah bilang jemputnya agak telat aja dari biasanya,” ujar Kaldera. Icha pun mengangguk-angguk. Tempat percetakan tujuan mereka tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi mereka harus mengejar waktu karena sekolah akan ditutup sekitar 1 jam lagi dari sekarang. Jadi Icha mengusulkan agar mereka naik motor saja. Namun karena hanya ada 1 motor dan Icha memboncengi Adel, jadilah Icha menyarankan sesuatu kepada Kaldera.

“Kal, lo nebeng aja sama Sandra. Kebetulan rumah Sandra searah sama tempat percetakannya. Nggak papa kan, San Kaldera nebeng sama lo?” ujar Icha kepada Sandra. Rupanya Sandra mengiyakan dan tidak masalah kalau memang Kaldera ingin ikut bersamanya.

Akhirnya Kaldera berangkat bersama Sandra. Kaldera, Icha, dan Adel janjian langsung bertemu di tempat percetakan. Tidak memakan waktu yang lama, sekitar kurang dari 10 menit, Kaldera dan Sandra telah sampai di tempat percetakan. Namun Icha dan Adel belum sampai di sana.

Sandra menawarkan pada Kaldera untuk menemaninya sampai Icha dan Adel datang, tapi Kaldera menolak tawaran itu. “Nggak papa San, gue tunggu Icha sama Adel aja. Paling bentar lagi mereka nyampe, tadi di pertigaan kan emang agak macet, kayaknya mereka kejebak macet di sana deh,” ujar Kaldera.

“Ohhh yaudah, Kal. Lo hati-hati ya, gue balik dulu,” ucap Sandra sebelum pergi. Kaldera mengangguki ucapan Sandra dan membiarkan Sandra pergi dari sana.

Di depan tempat percetakan itu, Kaldera menunggu kedatangan Icha dan Adel. Namun sampai hampir 20 menit berlalu, Kaldera masih di sana sendirian. Icha dan Adel tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Kaldera akhirnya memutuskan mengirim pesan pada Icha bahwa ia akan mencetak poster miliknya sendiri terlebih dulu. Bagaimana pun ini tugas individu dan harus segera dikumpulkan, Kaldera hanya mencoba berpikir realistis untuk saat ini.

Tinggal beberapa menit lagi sekolah akan ditutup. Jadi setelah mendapat hasil cetakan posternya, Kaldera segera memesan ojek online untuk sampai lebih cepat ke sekolah. Saat sampai di area sekolah, di sana sudah cukup sepi rupanya. Gedung sekolah Kaldera yang terletak di dalam gang itu, membuatnya perlu berjalan melewati 2 buah warung untuk sampai di sekolah.

Ketika langkah Kaldera sampai di warung kedua, ia merasa bahwa ada yang tengah mengikuti langkahnya. Namun ketika Kaldera berbalik untuk melihat siapa yang mengikutinya, ia tidak menemukan siapa pun di sana. Kaldera memutuskan melanjutkan langkahnya dan bahkan mempercepat jalannya untuk sampai ke sekolah. Namun tiba-tiba dari arah depannya, langkahnya dicegat oleh dua orang pria.

Kaldera otomatis mundur selangkah, perasaannya mengatakan bahwa dua orang itu akan berniat jahat kepadanya. Ketika Kaldera mundur, kedua bahunya justru dicekal oleh seseorang di sana. Kaldera berusaha melepaskan cekalan orang itu di bahunya. Gang yang sepi itu membuat Kaldera tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa/

“Mau ke mana sih, Cantik? Santai aja sama kita, sini,” ujar salah satu pria yang berada di hadapannya.

“Lepasin,” ucap Kaldera.

Tiba-tiba Kaldera teringat perkataan Raegan soal Aquiver yang sedang berusaha mencari keberadaan Leonel yang selalu bisa kabur. Mereka sudah menemukan antek yang meracuni Satrio, tapi belum juga menemukan Leonel. Apakah mungkin orang-orang ini adalah anggota geng Leonel?

Sekuat apa pun Kaldera mencoba melepaskan diri, usahanya tetap berakhir sia-sia. Satu orang pria dengan mudah membawanya, setelah melepaskan ransel Kaldera untuk dibuang begitu saja ke semak-semak. Jadi mereka tidak akan membawa sesuatu lain selain diri Kaldera sendiri. Belum jauh saat para pria itu membawanya dari sana, Kaldera melihat sosok yang dikenalnya. Segera Kaldera berteriak memanggil dua orang itu. Mendapati aksi Kaldera, pria yang membawanya itu segera membekap mulutnya.

Dua orang lelaki yang tadi dipanggil Kaldera rupanya adalah Aksa dan Kafka.

“Sial, kita harus cepet bawa dia tanpa satu pun orang yang lihat,” ujar seorang pria yang mendapati Aksa dan Kafka melihat ke arah mereka. Aksa dan Kafka yang mendapati Kaldera dibawa oleh orang asing, segera bergerak untuk menyelamatkannya. Mereka tidak terpikirkan untuk meminta bantuan lebih dulu, yang ada dipikiran mereka saat ini hanya berhasil menyelamatkan Kaldera dari orang-orang itu.

Di sinilah Aksa dan Kafka sekarang, mereka berhadapan dengan dua orang pria berbadan besar yang tentunya tidak bisa ditandingi oleh keduanya. Aksa maju lebih dulu untuk menghadapi pria itu, sementara Kafka mundur beberapa langkah dan segera ingin menghubungi seseorang dengan ponselnya. Namun Kafka juga diserang oleh satu pria hingga ponselnya terjatuh dan hancur diinjak oleh pria itu.

BUGH!!

Aksa mendapatkan 2 kali pukulan di wajahnya dan perutnya yang terasa sakit berkat hantaman oleh pria itu. Aksa hampir saja dapat menjangkau Kaldera, tapi ia berhasil dilumpuhkan lagi oleh pria yang menahan Kaldera bersamanya.

“Aksa …” ucap Kaldera lirih. Kaldera tertegun mendapati Aksa yang babak belur. Kaldera melihat sendiri di depan matanya, Aksa babak belur di tangan dua pria itu.

“Kal, gue akan pastiin lo selamat,” ucap Aksa dengan suara pelannya. “Gue janji Kal,” sambung Aksa sebelum menerima pukulan lagi dari pria di hadapannya. Saat satu pria lagi akan meraih Kafka, Aksa menarik tubuh pria itu dan memberi satu bogem mentah untuk menjatuhkan pria itu.

“Kaf, lo tau kan apa yaang harus lo lakuin. Gue minta tolong banget sma lo,” ucap Aksa. Kafka lekas menganggukinya dan membiarkan Aksa bergelut sendiri melawan dua orang itu. Salah satu di antara mereka harus ada yang selamat, maka dari itu harus ada yang berkorban.

Setelah kehilangan sahabatnya, Aksa tidak ingin merasa menyesal untuk yang kedua kalinya. Aksa sudah berjanji pada dirinya sendiri dan juga kepada Zio, ia akan melindungi sosok yang paling berharga bagi Zio, yakni Kaldera. Sekalipun harus mengorbankan nyawanya, Aksa rela untuk melakukannya. Zio telah berkorban untuknya, maka Aksa akan membalas budi sahabatnya itu.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Bandara Internasional Soekarno Hatta siang hari ini terlihat lumayan padat. Terdapat banyak orang yang berlalu lalang, dari mulai calon penumpang, pengunjung non penumpang, dan beberapa sisanya adalah karyawan bandara yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Di area check in terminal 2 untuk keberangkatan domestik, terlihat lebih ramai dari pada untuk keberangkatan domestik yang cenderung lebih lengang. Hal tersebut dikarenakan peraturan baru pemerintah yang memperbolehkan pengunjung non penumpang memasuki area check in untuk menikmati shopping arcade atau sekedar menghabiskan waktu lebih lama, sebelum berpisah dengan penumpang yang akan berangkat.

Tidak jauh dari area security check point, 3 orang pria kembali bertemu di satu titik setelah saling berpencar. “Bos, kita harus gimana? Keberangkatan internasional nggak memperbolehkan non penumpang masuk ke area check in,” terang Vero, seorang pria yang mengenakan sebuah topi hitam.

Seorang yang di panggil bos itu, lantas menurunkan kacamata aviatornya. “Kita pakai plan B untuk bisa ke sana. Gimana pun caranya, kita harus masuk ke area check in untuk menemukan pengkhianat itu,” ujar Romeo, orang yang rupanya dipanggil bos oleh 2 pria yang sedang bersamanya.

Romeo

***

Mereka telah mempersiapkan rencana yang matang sejak awal. Mereka mempunyai plan A dan tentunya mempersiapkan plan B. Dean dan Vero sangat tahu bahwa bos mereka akan selalu memiliki cara. Berbicara soal akses, memang tidak semua akses bisa ditembus dengan uang. Namun sejatinya uang selalu menggiurkan bagi kebanyakan orang.

“Hanya ada satu penumpang yang menuju Taiwan sesuai dengan ciri-ciri yang Anda sebutkan. Namanya Hendri Tanjung, berangkat pukul 15.00, gate B2, kursi no. 15 E,” ujar seseorang yang ditemui oleh Romeo itu. Dean dan Vero mengawasi keadaan sekitar, memastikan bahwa pertemuan bos mereka dengan petugas bandara itu tidak diketahui oleh siapa pun.

“Anda akan dapatkan uangnya kalau bisa memberi akses kami untuk masuk masuk ke boarding room,” ujar Romeo.

“Untuk itu saya nggak bisa bantu, Pak.”

“Lalu apa? informasi yang Anda berikan tidak berguna untuk tujuan saya. Saya ingin mendapatkan orang itu, gimana pun caranya,” ujar Romeo lagi.

Pria yang merupakan petugas bandara itu terlihat menimang. Sebelum akhirnya Romeo berbalik pergi bersama uang yang diinginkan orang itu, orang itu akhirnya mengiyakan permintaan Romeo. Pekerjaannya menjadi taruhannya jika hal ini sampai menimbulkan masalah, tapi Romeo memberinya jaminan bahwa apa pun itu petugas tersebut tidak akan kehilangan pekerjaannya.

“Baik, Pak. Saya akan bantu Anda untuk masuk ke sana,” putus petugas bandara itu.

***

Sayangnya hanya 1 orang yang bisa dibawa masuk ke area boarding room. Gate B2 akan dibuka beberapa saat lagi, jadi mereka tidak punya banyak waktu untuk menemukan Hendri. Romeo masih bersama petugas bandara yang mengusahakan akses masuk untuknya. Boarding room yang cukup luas itu tampak ramai. Romeo kini telah sampai di gate B2, di mana tujuanya untuk menemukan targetnya.

Petugas bandara yang membantunya telah mempersiapkan akses bagi Romeo untuk kabur ketika ia sudah bertemu targetnya nanti. Mereka akan melewati jalur arrival VIP yang menghubungkan langsung ke area parkir kendaraan.

Romeo tahu bahwa caranya ini mungkin akan menimbulkan kegaduhan di area bandara. Namun tidak ada pilihan untuk itu. Jika mereka kehilangan Hendri, mereka mungkin tidak akan pernah mendapatkan Leonel dan pejabat negara yang telah merencanakan pembunuhan terhadap Satrio.

Romeo memindai di seluruh area gate B2. Di sana cukup ramai, dan agak sulit untuk menemukan sosok Hendri. Namun saat matanya berhenti di satu titik yakni di kursi paling ujung gate B2 itu, ada sosok pria yang dicurigai Romeo merupakan Hendri. Meskipun orang itu mengenakan pakaian serba hitam dengan pootngan rambut yang berbeda dari yang sebelumnya, Romeo tetap yakin kalau orang itu memang benar Hendri. Namun Romeo tidak bisa langsung ke sana, pasalnya posisi Hendri dekat dengan seorang security dan faktor-faktor lain yang tidak memungkinkan ia untuk langsung bertindak.

Melalui telfon genggamnya, Romeo lantas mengirimkan pesan pada petugas bandara yang bekerja sama dengannya untuk melakukan sesuatu. Tidak jauh dari posisi Hendri, Romeo berdiri di sana tapi tidak sampai Hendri menyadari bahwa pria itu dalam pengawasannya. Di sana Romeo pun tinggal menunggu semuanya bekerja sesuai keinginannya.

Tidak sampai lima menit kemudian, gate B2 yang sebelumnya nampak tentram seketika berubah menjadi ricuh. Penumpang di sana terliha panik berkat listrik yang tiba-tiba padam, semua menjadi gelap dan tentu itu membuat mereka melakukan protes pada para petugas bandara. Di saat situasi chaos itu, Romeo segera melancarkan aksinya.

“Kepada seluruh penumpang diharapkan untuk tenang, kami akan berusaha mencari tahu penyebab padamnya alian listrik,” terdengar suara seorang perempuan dari pengeras suara yang ada di sana.

Hendri yang termasuk salah satu penumpang di gate B2 yang menemukan keberadaan Romeo saat ia menoleh ke kursi di sampingnya. Meskipun situasinya tengah gelap, rupanya Hendri tetap dapat mengenali siapa sosok yang berada di dekatnya itu.

Sambi membawa ransel hitamnya, Hendri bergerak cepat untuk melarikan diri dari Romeo. Namun Romeo tidak kalah cepat juga untuk mengejar Hendri yang berlari menembus kerumunan orang di sana. Dikarenakan oleh ramainya boarding room itu, pergerakan Hendri menjadi cukup sulit. Beberapa kali Hendri menabrak penumpang lain, sukses membuat keributan di sana.

Romeo masih mengejar Hendri dengan gerakannya yang gesit dan langkahnya yang lebar. Mungkin listriknya akan menyala sebentar lagi, Romeo tidak memiliki banyak waktu. Saat matanya menangkap ke mana larinya Hendri, Romeo segera menuju ke sana. Di sebuah lorong di mana Hendri berpikir bahwa dirinya aman bersembunyi dari Romeo, pria itu rupanya salah tujuan. Lorong itu buntu, jadi ketika Romeo menemukan Hendri di sana, pria itu pun terpojok.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Romeo berjalan menghampiri Hendri yang tampak ketakutan.

“Ssssht,” Romeo meletakkan tangannya di depan bibirnya. “Anda tahu, ada yang lebih cepat membunuh dibandingkan arsenik,” ujar Romeo dengan nada datarnya, tapi tatapannya begitu terasa menusuk.

“Tolong, tolong, jangan bunuh saya. Saya tidak tau apa-apa,” ucap Hendri.

Romeo lantas berdecih. Kemudian sebuah senyum smirk terulas di wajah tegasnya. “Kalimat Anda barusan justru menunjukkan kalau Anda tahu semuanya. You have business with us, so you need to pay it.”

***

Di markas besar Aquiver, sebuah kursi yang biasa digunakan untuk menghukum target maupun pengkhianat, kini telah ditempati oleh seseorang. Namun ada yang berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, orang yang duduk di kursi itu yang diketahui adalah Hendri, masih tampak begitu baik dan utuh.

Hendri yang baru saja sadar dari pingsannya berkat obat bius, kini mendapati sosok yang sangat fameliar di depannya. Tatapan orang yang berada di hadapan Hendri itu nampak sungguh datar, tidak ada kesan amarah, orang itu justru terlihat tenang. Di ruangan itu juga ada beberapa anggota Aquiver yang berdiri di belakang bos mereka.

Raegan in suit

Orang yang berada di hadapan Hendri itu adalah Raegan. Sosok yang dulu pernah membantu Hendri, mengangkat derajatnya serta keluarganya, bahkan mempercayakannya untuk bekerja pada keluarga Gumilar. Namun Hendri berkhianat dan hampir membunuh papanya.

Raegan berdecih di depan depan wajah Hendri, lalu pria mengalihkan tatapannya ke arah lain. Berikutnya Raegan berbalik dan berjalan menuju kursi kebesarannya. Pria itu duduk di sana, memangku kedua lengannya di atas paha dan jemarinya saling bertaut.

“Anda sudah tahu bahwa saya tidak suka memaafkan seseorang. Seribu kali pun Anda meminta maaf dan memohon ampun, itu tidak akan mengembalikan kepercayaan saya kepada Anda,” Raegan menjeda ucapannya. Rasa kecewa yang tiba-tiba menyerangnya, membuatnya kesulitan berbicara.

Anggota Aquiver sebelumnya telah meminta Hendri berbicara tentang siapa yang berada di balik semua ini. Namun pria berusia 40 tahun itu sejauh ini masih bungkam. Raegan hampir meluapkan amarahnya, tapi ia berusaha untuk menahannya.

Rasa dendam dan amarah tidak akan menyelesaikan masalahnya. Raegan hanya memerlukan akalnya untuk mendapat titik terang dari semua ini.

“Anda membuat semua ini jadi lebih mudah, Pak Hendri,” ucap Raegan diiringi sebuah senyum tipis di wajahnya. Raegan mencegah anggotanya yang akan bergerak menyeret Hendri ke ruang eksekusi. Di ruang tersebut berbagai alat telah siap untuk digunakan kapanpun, untuk membuat target mereka menurut. Para anggota Aquiver sempat heran mendapati Raegan akan menggunakan cara lain, tapi mereka tidak akan bergerak tanpa perintah dari ketua mereka.

“Maksud Anda?” tanya Hendri.

“Anda akan merasakan pahitnya hukum itu sendiri, atas apa yang Anda perbuat kepada Satrio Malik Gumilar. Sementara orang yang memerintah Anda akan bebas,” ujar Raegan.

“Anda tidak akan pernah bisa menghukum orang itu, Raegan. Anda tidak mengerti dengan siapa Anda akan berurusan,” ucap Hendri dengan ekspresinya yang seolah menunjukkan bahwa Raegan tetap akan kalah mau sekeras apapun usahanya.

Tatapan Raegan yang lurus-lurus menatap Hendri, membuat pria itu tidak dapat menebak apa yang ada di dalam pikiran Raegan. Selanjutnya Raegan mengulaskan senyum smirk-nya, tapi secepat itu juga ekspresinya berubah menjadi datar dan mengintimidasi.

“Siapa yang Anda maksud? Abbas Pasha Tarigan? Kenapa saya tidak bisa menghukumnya?” ujar Raegan.

Hendri nampak terkejut mendenar Raegan mengucapkan nama itu. Ekspresi Hendri sudah sangat jelas menunjukkan siapa dalang yang berada di balik semua ini.

“Anda membuat saya tidak perlu mengotori tangan untuk menghukum orang itu. Bukan berarti seorang penegak hukum yang melakukan kesalahan tidak bisa diadili oleh hukum itu sendiri. Lagipula kesaksian Anda cuma sebagian kecil dari bukti yang sudah saya punya,” ujar Raegan.

Hendri masih tampak bingung, tapi begitu ia melihat sebuah pantulan pada dinding dari layar projector di ruangan itu, ia pun akhirnya mengerti. Semuanya kini tampak jelas. Di sana terdapat rekaman video dan rupanya sedari tadi ada kamera yang tidak di sadarinya yang merekam semuanya.

Secara tidak langsung Hendri telah mengakui perbuatannya sendiri dan mengatakan bahwa Abbas Pasha adalah orang yang menyuruhnya untuk membunuh Satrio. Begitu rekaman tersebut selesai terputar, Raegan berbalik dan melangkah pergi dari sana. Raegan telah meminta anggotanya untuk menjaga Hendri baik-baik. Sebelum pergi dari sana, Raegan mengatakan pada Hendri bahwa ia telah memaafkan Hendri akan perbuatannya. Namun bukan berarti Raegan akan melupakan, serta membiarkan orang terebut terbebas dari jerat hukum yang seharusnya mengadilinya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Bandara Internasional Soekarno Hatta siang hari ini terlihat lumayan padat. Terdapat banyak orang yang berlalu lalang, dari mulai calon penumpang, pengunjung non penumpang, dan beberapa sisanya adalah karyawan bandara yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Di area check in terminal 2 untuk keberangkatan domestik, terlihat lebih ramai dari pada untuk keberangkatan domestik yang cenderung lebih legang. Hal tersebut dikarenakan peraturan baru pemerintah yang memperbolehkan pengunjung non penumpang memasuki area check in untuk menikmati shopping arcade atau sekedar menghabiskan waktu lebih lama, sebelum berpisah dengan penumpang yang akan berangkat.

Tidak jauh dari area security check point, 3 orang pria kembali bertemu di satu titik setelah saling berpencar. “Bos, kita harus gimana? Keberangkatan internasional nggak memperbolehkan non penumpang masuk ke area check in,” terang Vero, seorang pria yang mengenakan sebuah topi hitam.

Seorang yang di panggil bos itu, lantas menurunkan kacamata aviatornya. “Kita pakai plan B untuk bisa ke sana. Gimana pun caranya, kita harus masuk ke area check in untuk menemukan pengkhianat itu,” ujar Romeo, orang yang rupanya dipanggil bos oleh 2 pria yang sedang bersamanya.

Romeo

***

Mereka telah mempersiapkan rencana yang matang sejak awal. Mereka mempunyai plan A dan tentunya mempersiapkan plan B. Dean dan Vero sangat tahu bahwa bos mereka akan selalu memiliki cara. Berbicara soal akses, memang tidak semua akses bisa ditembus dengan uang. Namun sejatinya uang slelau menggiurkan bagi kebanyakan orang.

“Hanya ada satu penumpang yang menuju Taiwan sesuai dengan ciri-ciri yang Anda sebutkan. Namanya Hendri Tanjung, berangkat pukul 15.00, gate B2, kursi no. 15 E,” ujar seseorang yang ditemui oleh Romeo itu. Dean dan Vero mengawasi keadaan sekitar, memastikan bahwa pertemuan bos mereka dengan petugas bandara itu tidak diketahui oleh siapa pun.

“Anda akan dapatkan uangnya kalau bisa memberi akses kami untuk masuk masuk ke boarding room,” ujar Romeo.

“Untuk itu saya nggak bisa bantu, Pak.”

“Lalu apa? informasi yang Anda berikan tidak berguna untuk tujuan saya. Saya ingin mendapatkan orang itu, gimana pun caranya,” ujar Romeo lagi.

Pria yang merupakan petugas bandara itu terlihat menimang. Sebelum akhirnya Romeo berbalik pergi bersama uang yang diinginkan orang itu, orang itu akhirnya mengiyakan permintaan Romeo. Pekerjaannya menjadi taruhannya jika hal ini sampai menimbulkan masalah, tapi Romeo memberinya jaminan bahwa apa pun itu petugas tersebut tidak akan kehilangan pekerjaannya.

“Baik, Pak. Saya akan bantu Anda untuk masuk ke sana,” putus petugas bandara itu.

***

Sayangnya hanya 1 orang yang bisa dibawa masuk ke area boarding room. Gate B2 akan dibuka beberapa saat lagi, jadi mereka tidak punya banyak waktu untuk menemukan Hendri. Romeo masih bersama petugas bandara yang mengusahakan akses masuk untuknya. Boarding room yang cukup luas itu tampak ramai. Romeo kini telah sampai di gate B2, di mana tujuanya untuk menemukan targetnya.

Petugas bandara yang membantunya telah mempersiapkan akses bagi Romeo untuk kabur ketika ia sudah bertemu targetnya nanti. Mereka akan melewati jalur arrival VIP yang menghubungkan langsung ke area parkir kendaraan.

Romeo tahu bahwa caranya ini mungkin akan menimbulkan kegaduhan di area bandara. Namun tidak ada pilihan untuk itu. Jika mereka kehilangan Hendri, mereka mungkin tidak akan pernah mendapatkan Leonel dan pejabat negara yang telah merencanakan pembunuhan terhadap Satrio.

Romeo memindai di seluruh area gate B2. Di sana cukup ramai, dan agak sulit untuk menemukan sosok Hendri. Namun saat matanya berhenti di satu titik yakni di kursi paling ujung gate B2 itu, ada sosok pria yang dicurigai Romeo merupakan Hendri. Meskipun orang itu mengenakan pakaian serba hitam dengan pootngan rambut yang berbeda dari yang sebelumnya, Romeo tetap yakin kalau orang itu memang benar Hendri. Namun Romeo tidak bisa langsung ke sana, pasalnya posisi Hendri dekat dengan seorang security dan faktor-faktor lain yang tidak memungkinkan ia untuk langsung bertindak.

Melalui telfon genggamnya, Romeo lantas mengirimkan pesan pada petugas bandara yang bekerja sama dengannya untuk melakukan sesuatu. Tidak jauh dari posisi Hendri, Romeo berdiri di sana tapi tidak sampai Hendri menyadari bahwa pria itu dalam pengawasannya. Di sana Romeo pun tinggal menunggu semuanya bekerja sesuai keinginannya.

Tidak sampai lima menit kemudian, gate B2 yang sebelumnya nampak tentram seketika berubah menjadi ricuh. Penumpang di sana terliha panik berkat listrik yang tiba-tiba padam, semua menjadi gelap dan tentu itu membuat mereka melakukan protes pada para petugas bandara. Di saat situasi chaos itu, Romeo segera melancarkan aksinya.

“Kepada seluruh penumpang diharapkan untuk tenang, kami akan berusaha mencari tahu penyebab padamnya alian listrik,” terdengar suara seorang perempuan dari pengeras suara yang ada di sana.

Hendri yang termasuk salah satu penumpan di gate B2 itu menemukan keberadaan Romeo ketika ia menoleh ke kursi di sampingnya. Meskipun situasinya gelap, rupaya Hendri tetap dapat mengenali siapa sosok yang berada di dekatnya itu.

Sambi membawa ransel hitamnya, Hendri bergerak cepat untuk melarikan diri dari Romeo. Namun Romeo tidak kalah cepat juga untuk mengejar Hendri yang berlari menembus kerumunan orang di sana. Dikarenakan oleh ramainya boarding room itu, pergerakan Hendri menjadi cukup sulit. Beberapa kali Hendri menabrak penumpang lain, sukses membuat keributan di sana.

Romeo masih mengejar Hendri dengan gerakannya yang gesit dan langkahnya yang lebar. Mungkin listriknya akan menyala sebentar lagi, Romeo tidak memiliki banyak waktu. Saat matanya menangkap ke mana larinya Hendri, Romeo segera menuju ke sana. Di sebuah lorong di mana Hendri berpikir bahwa dirinya aman bersembunyi dari Romeo, pria itu rupanya salah tujuan. Lorong itu buntu, jadi ketika Romeo menemukan Hendri di sana, pria itu pun terpojok.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Romeo berjalan menghampiri Hendri yang tampak ketakutan.

“Ssssht,” Romeo meletakkan tangannya di depan bibirnya. “Anda tahu, ada yang lebih cepat membunuh dibandingkan arsenik,” ujar Romeo dengan nada datarnya, tapi tatapannya begitu terasa menusuk.

“Tolong, tolong, jangan bunuh saya. Saya tidak tau apa-apa,” ucap Hendri.

Romeo lantas berdecih. Kemudian sebuah senyum smirk terulas di wajah tegasnya. “Kalimat Anda barusan justru menunjukkan kalau Anda tahu semuanya. You have business with us, so you need to pay it.”

***

Di markas besar Aquiver, sebuah kursi yang biasa digunakan untuk menghukum target maupun pengkhianat, kini telah ditempati oleh seseorang. Namun ada yang berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, orang yang duduk di kursi itu yang diketahui adalah Hendri, masih tampak begitu baik dan utuh. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya di mana mayoritas yang duduk di kursi itu keadaannya tidak akan baik.

Hendri yang baru saja sadar dari pingsannya berkat obat bius, kini mendapati sosok yang sangat fameliar di depannya. Tatapan orang yang berada di hadapan Hendri itu nampak sungguh datar, tidak ada kesan amarah, orang itu justru terlihat tenang. Di ruangan itu juga ada beberapa anggota Aquiver yang berdiri di belakang bos mereka.

Raegan in suit

Orang yang berada di hadapan Hendri itu adalah Raegan. Sosok yang dulu pernah membantu Hendri, mengangkat derajatnya serta keluarganya, bahkan mempercayakannya untuk bekerja pada keluarga Gumilar. Namun Hendri berkhianat dan hampir membunuh papanya.

Raegan berdecih di depan depan wajah Hendri, lalu pria mengalihkan tatapannya ke arah lain. Berikutnya Raegan berbalik dan berjalan menuju kursi kebesarannya. Pria itu duduk di sana, memangku kedua lengannya di atas paha dan jemarinya saling bertaut.

“Anda sudah tahu bahwa saya tidak suka memaafkan seseorang. Seribu kali pun Anda meminta maaf dan memohon ampun, itu tidak akan mengembalikan kepercayaan saya kepada Anda,” Raegan menjeda ucapannya. Rasa kecewa yang tiba-tiba menyerangnya, membuatnya kesulitan berbicara.

Anggota Aquiver sebelumnya telah meminta Hendri berbicara tentang siapa yang berada di balik semua ini. Namun pria berusia 40 tahun itu sejauh ini masih bungkam. Raegan hampir meluapkan amarahnya, tapi ia berusaha untuk menahannya.

Rasa dendam dan amarah tidak akan menyelesaikan masalahnya. Raegan hanya memerlukan akalnya untuk mendapat titik terang dari semua ini.

“Anda membuat semua ini jadi lebih mudah, Pak Hendri,” ucap Raegan diiringi sebuah senyum tipis di wajahnya. Raegan mencegah anggotanya yang akan bergerak menyeret Hendri ke ruang eksekusi. Di ruang tersebut berbagai alat telah siap untuk digunakan kapanpun, untuk membuat target mereka menurut. Para anggota Aquiver sempat heran mendapati Raegan akan menggunakan cara lain, tapi mereka tidak akan bergerak tanpa perintah dari ketua mereka.

“Maksud Anda?” tanya Hendri.

“Anda akan merasakan pahitnya hukum itu sendiri, atas apa yang Anda perbuat kepada Satrio Malik Gumilar. Sementara orang yang memerintah Anda akan bebas,” ujar Raegan.

“Anda tidak akan pernah bisa menghukum orang itu, Raegan. Anda tidak mengerti dengan siapa Anda akan berurusan,” ucap Hendri dengan ekspresinya yang seolah menunjukkan bahwa Raegan tetap akan kalah mau sekeras apapun usahanya.

Tatapan Raegan yang lurus-lurus menatap Hendri, membuat pria itu tidak dapat menebak apa yang ada di dalam pikiran Raegan. Selanjutnya Raegan mengulaskan senyum smirk-nya, tapi secepat itu juga ekspresinya berubah menjadi datar dan mengintimidasi.

“Siapa yang Anda maksud? Abbas Pasha Tarigan? Kenapa saya tidak bisa menghukumnya?” ujar Raegan.

Hendri nampak terkejut mendenar Raegan mengucapkan nama itu. Ekspresi Hendri sudah sangat jelas menunjukkan siapa dalang yang berada di balik semua ini.

“Anda membuat saya tidak perlu mengotori tangan untuk menghukum orang itu. Bukan berarti seorang penegak hukum yang melakukan kesalahan tidak bisa diadili oleh hukum itu sendiri. Lagipula kesaksian Anda cuma sebagian kecil dari bukti yang sudah saya punya,” ujar Raegan.

Hendri masih tampak bingung, tapi begitu ia melihat sebuah pantulan pada dinding dari layar projector di ruangan itu, ia pun akhirnya mengerti. Semuanya kini tampak jelas. Di sana terdapat rekaman video dan rupanya sedari tadi ada kamera yang tidak di sadarinya yang merekam semuanya.

Secara tidak langsung Hendri telah mengakui perbuatannya sendiri dan mengatakan bahwa Abbas Pasha adalah orang yang menyuruhnya untuk membunuh Satrio. Begitu rekaman tersebut selesai terputar, Raegan berbalik dan melangkah pergi dari sana. Raegan telah meminta anggotanya untuk menjaga Hendri baik-baik. Sebelum pergi dari sana, Raegan mengatakan pada Hendri bahwa ia telah memaafkan Hendri akan perbuatannya. Namun bukan berarti Raegan akan melupakan, serta membiarkan orang terebut terbebas dari jerat hukum yang seharusnya mengadilinya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Dulu saat Satrio mengetahui pekerjaan Raegan sebagai ketua mafia, tentu sebagai orang tua Satrio pun marah besar. Bagaimana bisa dirinya yang seorang penegak hukum justru memiliki anak yang pekerjaannya sangat berbahaya dan berpotensi besar berurusan dengan hukum itu sendiri. Raegan sempat meninggalkan pekerjaan beresiko itu dan memutuskan memulai karirnya di dunia bisnis. Raegan sebenarnya sudah sangat mapan dengan pekerjaannya, tapi Satrio memaksa anak sulungnya untuk melanjutkan bisnis batu bara miliknya, tepatnya sejak saat Raegan lulus dari sekolah bisnisnya.

Satrio menemui Raegan yang sedang memerintahkan orang-orangnya untuk memasang CCTV di hampir seluruh penjuru rumahnya. Raegan melakukannya untuk antisipasi terhadap hal buruk yang kemungkinan bisa terjadi.

“Raegan,” panggil Satrio. Raegan langsung menoleh ke arah Satrio. Pemasangan kamera CCTV telah selesai, jadi Raegan meminta orang-orangnya untuk memberi ruang untuk dirinya dan Satrio.

“Mama kamu dan Kaldera, mereka ada di tempat yang aman kan sekarang?” tanya Satrio kemudian.

Raegan mengangguk sekali. “Iya, Pah. Raegan akan pastiin mereka selalu aman dan dalam pengawasan orang-orang terpercaya,” terang Raegan.

“Pah, kita memang belum tau apa motif ketua Mahkamah Agung mesabotase data itu, tapi Raegan yakin dia adalah orang yang ada di balik semua rencana ini,” ujar Raegan lagi.

“Raegan, tapi dia tidak memiliki keuntungan untuk melakukan itu. Tidak ada motif baginya untuk mesabotase data tersebut,” ucap Satrio.

“Kadang kita nggak bisa menduga alasan seseorang melakukan sesuatu, Pah. Sekarang Papa nggak perlu memikirkan terlalu banyak hal. Raegan pastikan Papa aman di rumah ini,” ujar Raegan.

Setelah semua urusan selesai, Raegan hendak berpamitan pada Satrio. Namun sebelum Raegan berbalik, Satrio menahannya.

“Kapan-kapan kenalin Papa ke teman-teman kamu ya. Mereka udah membantu banyak sekali, Papa harus mengucapkan terima kasih secara langsung. Siapa nama mereka?”

“Calvin, Barra, dan Romeo. Lain waktu Raegan pasti akan kenalin mereka ke Papa. Tapi Papa nggak akan penjarakan mereka, kan?” ucap Regan dengan nada berguraunya. Satrio langsung tertawa dan menepuk dua kali pundak anak sulungnya itu.

“Bukan tugas Papa, itu tugasnya polisi dan yang nanti membuat putusan hukuman adalah Mahkamah Agung,” balas Satrio.

Raegan pun tersenyum. Momen bergurau antara ia dan papanya rasanya sudah begitu langka. Raegan merindukan momen tersebut dan tidak menyangka akan kembali mendapatinya meskipun di situasi seperti ini.

“Raegan, apa setelah kasus ini selesai kamu nggak ada keinginan untuk meninggalkan pekerjaan itu untuk selamanya?” Satrio bertanya lagi. Kali ini obrolan mereka menjadi serius.

“Raegan punya keinginan itu Pah,” jawab Raegan kemudian.

Satrio tampak tertegun mendengar jawaban Raegan. Detik berikutnya Satrio mengulaskan senyum bangganya dan nampak sedikit terharu.

“Kira-kira apa alasan yang membuat kamu ingin meninggalkan pekerjaan itu?” Satrio menyatukan alisnya, ia tampak penasaran.

Raegan terdiam selama beberapa detik. Setelah memikirkannya dan yakin akan jawabannya, Raegan lantas menjawab dengan nadanya yang terdengar sungguh-sungguh. “Raegan ingin membahagiakan orang-orang yang Raegan sayang, Pah. Raegan ingin memastikan mereka hidup nyaman, aman, dan nggak pernah merasakan ketakutan atau kecemasan lagi.”

***

Ruang kerja Satrio

Satrio masih berada di ruang kerjanya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Nama dan jabatannya telah kembali dipulihkan, jadi Satrio dapat kembali menangani kasus persidangan di Mahkamah Konstitusi, menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana mestinya. Saat terdengar bunyi ketukan di pintu ruangan kerjanya, Satrio lekas membiarkan orang di luar sana masuk.

“Permisi Pak, silakan ini tehnya,” ucap asisten yang kini memasuki ruangan. Satrio hanya mengangguk sekilas begitu asisten tersebut meletakkan secangkir teh jasmine di atas meja kerjanya. Asisten laki-laki tersebut kemudian berlalu dari ruang kerja Satrio setelah sedikit membungkukkan badan.

Selang beberapa menit kemudian, sebagian pekerjaan Satrio telah selesai. Ia meregangkan sedikit otot tubuhnya yang terasa pegal. Kemudian Satrio memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. Tatapan Satrio lantas mengarah pada secangkir teh di mejanya. Tangannya pun bergerak untuk mengambil cangkir putih itu. Satrio hanya meminum tehnya dua tegukan, lalu ia kembali meletakkan cangkir itu di atas meja.

Selang sekitar 15 menit kemudian saat Satrio berada di kamar tidurnya, Satrio merasakan sakit yang cukup hebat di kepalanya. Padahal beberapa saat kondisinya masih baik-baik saja. Semakin waktu berjalan, Satrio merasakan sesak napas dan kram otot di hampir seluruh tubuhnya, hingga ia kesulitan untuk bergerak dari kasurnya.

Satrio masih berusaha melakukannya, ia mencoba bangkit dari posisinya dan mengambil ponselnya di samping nakas tempat tidur. Saat Satrio akan menghubungi seseorang melalui ponselnya, tepat saat itu juga ia melihat sebuah ID call terpampang di layar. Nama Indri muncul di sana, nama yang sudah begitu lama tidak dilihat olehnya.

Satrio baru ingin menjawab panggilan itu, tapi ia tidak sempat melakukannya. Satrio lebih dulu terjatuh ke lantai setelah mengalami kejang dan seluruh tubuhnya yang kini terasa sangat kaku. Pandangan Satruo mengabur dan detak jantungnya terdengar kian melemah. Bersamaan dengan itu, terlihat air bening yang mengalir dari pelupuk matanya, hingga akhirnya perlahan-lahan kedua mata itu terpejam.

***

Geng mafia 1

Geng mafia 2

Suasana rumah megah berlantai 2 yang merupakan kediaman Satrio itu telah dipenuhi oleh beberapa orang. Segera setelah Satrio terjatuh di kamarnya, melalui rekaman CCTV, orang-orang yang memastikan keamanan di sana segera membawa Satrio ke rumah sakit.

Setelah ambulans berangkat membawa Satrio, salah satu atasan geng Aquiver yang ada di sana memerintahkan beberapa orang untuk mencari tahu penyebab kejadian tersebut.

Beberapa anggota Aquiver pun segera berpencar untuk mencari tahu sumber masalahnya. Sebagian ada yang pergi ke ruang CCTV untuk melihat menit-menit terakhir sebelum Satrio jatuh ke lantai, sebagian menyisir rumah dan area sekitarnya.

Pintu ruang kerja Satrio yang tiba-tiba dibuka sontak membuat anggota Aquiver yang ada di sana menoleh. Mereka mendapati kedatangan Romeo dan Barra.

“Ada pengkhianat yang melakukan ini,” ujar Romeo dengan air mukanya yang terlihat menahan amarah.

“Ada pengkhianat yang menyelinap, Bos?” tanya salah seorang di sana.

Barra berjalan ke arah meja kerja Satrio. Barra mengambil cangkir teh di sana, dan detik berikutnya ia meminta teh tersebut untuk diamankan.

“Kemungkinan Om Satrio diracun dengan teh itu. Pastikan kita akan mendapat pengkhianat yang menaruh sesuatu di minumannya om Satrio. Dilihat dari rekaman CCTV, asisten yang tadi ngasih ngasih teh itu ke om Satrio kabur lewat pintu belakang.” ujar Barra.

Anggota itu segera mengangguki perintah atasannya, “Baik Bos,” ujarnya.

“Gue baru aja ngabarin Raegan soal kejadian ini dan dia langsung ke rumah sakit. Calvin dan anggotanya akan coba melacak ke mana perginya pengkhianat itu,” ujar Barra.

“Sialan, gimana bisa itu orang ngeracunin om Satrio,” decak Romeo.

“Dari informasi bodyguard-nya om Satrio, orang itu udah lama kerja sebagai asisten di rumah ini. Jadi kemungkinan dia udah ngerencanain semua ini dan dia adalah salah satu anteknya Abbas Pasha,” ujar Barra.

“Sebelum polisi mengecek rumah ini, ada baiknya kita lakukan pengecekan lebih dulu. Siapa tau ada barang bukti yang tertinggal,” ujar Romeo.

“Oke. Pastiin satu hal, dari anggota lo maupun anggota gue, nggak ada lagi pengkhianat semacam itu,” ujar Barra pada Romeo.

Romeo mengangguki ucapan Barra. Kemudian keduanya segera melangkah pergi untuk melaksanakan tugas. Mereka bersumpah bukan hanya akan mengungkap kejahatan Leonel, tapi mereka juga akan mengungkap pejabat negara yang berada di balik rencana ini.

Salah satu pekerjaan sekelompok mafia adalah membedah hal-hal kriminal sampai ke akar-akarnya, tidak pandang bulu dan tidak peduli siapa lawan mereka. Apalagi ini menyangkut langsung orang-orang yang berharga bagi mereka. Aquiver akan membuat sejarah baru bagi penjahat kelas kakap semacam Leonel. Mereka akan membuat Leonel merasakan bagaimana pedihnya jerat hukum, hukum yang sebelumnya pria itu anggap telah berada di genggaman tangannya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Begitu banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak yang telah diperjuangkan untuk dapat mengungkap kasus, mulai dari waktu, tenaga, hingga luka. Saat ini waktu menunjukkan pukul 10 malam. Raegan masih berada di markas The Ninety Seven karena harus mengurus beberapa hal terkait misi mereka dalam menemukan buktinya. Dari waktu 60 hari yang merupakan keputusan presiden, kini tersisa 3 hari lagi. Raegan harus segera menemukan bukti untuk membebaskan papanya dari tuduhan itu.

Romeo dan Calvin baru saja tertidur di sofa ruang kerja yang ada di pojok ruangan, sementara Barra sedang mengambil minuman di dapur. Raegan bergerak sedikit dari posisi duduknya, ia mengambil sekotak rokok dari laci meja kerja. Tidak lama berselang, Barra kembali sambil membawa dua buah gelas yang telah diisi oleh bir dengan kadar alkohol rendah.

Barra lantas menyodorkan satu gelas di tangannya kepada Raegan. Raegan baru akan menerima gelas tersebut, tapi tangannya terhenti kala ponsel miliknya di atas meja berdering. Otomatis Barra juga melihat ke layar ponsel itu dan begitu ia membaca ID call yang tertera di sana, Barra seketika menatap Raegan dengan tatapan memicing dan sebuah senyum yang tertahan.

“Angkat aja dulu,” ucap Barra menyuruh Raegan mengangkat telfonnya. Raegan berdecak karena Barra tidak berniat pergi untuk memberinya ruang privasi.

Raegan akhirnya menjawab panggilan tersebut. Satu tangannya memegang ponsel, satunya lagi memegang sebatang rokok yang sebelumnya telah sempat dihisapnya. “Halo … Kal?” ucap Raegan.

“Halo, Mas. Kamu masih di markas?” ujar sebuah suara fameliar yang terdengar begitu lembut dari ujung sana.

“Masih,” ucap Raegan. Barra yang mendengar jawaban singkat sahabatnya itu, langsung menghembuskan napas panjang dan ekspresi di wajahnya menunjukkan bahwa ia telah kehabisan kesabaran.

Dengan gerakan tangannya sebagai isyarat, Barra mengatakan pada Raegan kalau lelaki itu tidak boleh menjawab dengan terlalu singkat. Raegan yang tidak terlalu mengerti dengan yang dimaksudkan oleh Barra, maka Raegan hanya melakukannya sesuai dengan apa kata hatinya.

“Mas kamu pulang atau nginep di sana?” tanya Kaldera lagi.

“Kayaknya malam ini nggak pulang,” jawab Raegan.

“Ohh oke kalau gitu. Berarti aku minta tolong pak Ardi buat kunci gerbang ya.”

“Hmm.”

Baiklah, Bara sudah sangat pasrah dengan kedua orang itu. Barra memutuskan berlalu dari hadapan Raegan setelah meletakkan gelas berisi bir di atas meja.

“Ada siapa di situ Mas?” tanya Kaldera lagi.

“Oh, tadi itu Barra, dia cuma lewat. Calvin sama Romeo udah tidur.”

“Okee. Yaudah Mas, aku tutup ya telfonnya?”

“Kal, tunggu,” ucap Raegan menahan Kaldera mengakhiri telfonnya.

“Iya?”

“Aku mau bilang makasih sama kamu,” ujar Raegan.

“Makasih untuk?”

I’m hearing your voice, and I’m feel so much better. Thank you,” ucap Raegan. Setelah Raegan mengucapkannya, keduanya pun hanya terdiam. Lebih tepatnya Kaldera sendiri sedang berusaha menetralkan jantungnya yang berdebar cukup kencang melebihi debaran normal. Sementara Raegan justru memikirkan ucapannya dan tentang bagaimana tanggapan Kaldera. Apakah ucapannya terlalu cheesy? Argh, Raegan bisa gila kalau terus berpikir dan kepalanya serasa ingin pecah.

“Halo … Mas?” ujar Kaldera akhirnya. Raegan pun tersadar dari keterdiamannya dan segera menjawab.

“Hmm … ini udah malem dan besok kamu harus sekolah, kan?” Raegan sedikit merutuki ucapannya yang mana itu terdengar seperti ingin menghindari situasi canggung yang terjadi. Padahal situasi tersebut juga tercipta berkat ulahnya sendiri.

“Oh iya bener, besok aku harus sekolah. Yaudah Mas aku tutup dulu ya telfonnya.”

Raegan pun mengiyakan dan menunggu Kaldera untuk menutup sambungannya lebih dulu. Namun sebelum sambungan tersebut ditutup, Kaldera kembali mengatakan sesuatu pada Raegan. “Mas, sejauh ini kamu udah ngelakuin yang terbaik. Waktu penentuannya tiga hari lagi, aku tau kamu akan berusaha keras untuk bawa bukti itu ke pengadilan. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, mama dan papa kamu jauh lebih khawatir sama kamu dibandingkan apa pun.”

I knew,” ujar Raegan pelan. Usai mengucapkannya, mereka sempat terdiam selama beberapa detik.

“Oke, aku tutup ya telfonnya. Jangan terlalu keras sama diri kamu, Mas. Kamu boleh istirahat saat kamu udah ngerasa capek. It’s totally oke.”

***

3 hari kemudian.

Keputusan pengadilan mengenai tuntutan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua MK akan keluar hari ini. Tepat di 60 hari setelah pemberhentian jabatan sementara dan masa tunggu tersebut selesai, Satrio Malik Gumilar akan menerima keputusan tentang jabatannya.

Sidang putusan tersebut bersifat tertutup, artinya persidangan tidak boleh dihadiri oleh masyarakat umum dan hanya dapat dihadiri oleh pihak yang berperkara atau dalam kapasitas sebagai kuasa hukum.

“Sesuai dengan peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 4 tahun 2012 tentang tata cara pemberhentian hakim konstitusi, sesuai pasal 8 tentang pelanggaran kode etik dan pedoman hakim konstitusi, hakim memutuskan pemberhentian dengan tidak hormat resmi dibatalkan,” ujar hakim itu.

“Atas keputusan pengadilan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi tidak bersalah, tuntutan akan dibatalkan dan terdakwa berhak mendapatkan pemulihan nama baik,” terang hakim sebelum mengakhiri sidangnya.

Sidang yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam tersebut akhirnya telah selesai. Sebelum masa 60 hari tersebut, berhasil dibawa bukti kepada kejaksaan bahwa dokumen penting milik Mahkamah Konstitusi telah disabotase oleh seorang oknum, jadi kekacauan administrasi tersebut bukan disebabkan oleh Sekretaris Jenderal dan Panitera MK.

Usai sidang berakhir, Satrio di damping oleh sekretarisnya menemui seorang jaksa yang tadi ikut menghadiri persidangan.

“Sidangnya telah selesai, selamat atas pengembalian jabatan Anda, Pak Satrio,” ujar jaksa itu sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Satrio.

“Terima kasih,” balas Satrio.

“Pak Ferdi, saya ingin berdiskusi dengan Anda tentang suatu hal yang cukup penting. Apakah besok siang kita bisa membicarakannya?” tanya Satrio.

Ferdi yang mendengar pertanyaan itu seketika mengernyitkan alisnya. “Kalau boleh saya tahu lebih dulu, hal penting apa yang akan kita bicarakan ya, Pak?” tanya Ferdi.

“Ini tentang dokumen administrasi negara yang telah disabotase. Saya ingin mengusut kasus ini melalui hukum,” ujar Satrio.

“Saya rasa Anda bisa membicarakan hal tersebut pada Mahkamah Konstitusi karena ini termasuk masalah internal lembaga Anda, Pak,” ucap Ferdi yang sepertinya enggan menerima permintaan yang diajukan Satrio.

Satrio mengulaskan senyum lugasnya, lalu Satrio meminta sekretarisnya untuk menjelaskan mengapa ia memerlukan bantuan Ferdi terkait hal ini.

“Pak Satrio telah memilih Anda untuk coba lebih dulu melihat kasus ini, Pak. Ketua jarang sekali memutuskan hal seperti ini. Jadi tolong pertimbangkan permintaan ini. Kami tunggu kabar baiknya ya Pak.”

***

“Saya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung pada Raegan,” ujar Satrio yang kini tengah menatap Indri lurus-lurus.

“Indri, mungkin saya telah gagal menjadi papa yang baik untuk anak-anak kita. Tapi kamu tau, Raegan telah berhasil menjadi anak yang begitu berbakti pada orang tuanya.” Satrio mengungkapkannya. Kini ia baru menyadari kalau keluarga yang dulu ia miliki sangatlah berarti, tapi sekarang apa boleh buat semuanya sudah berbeda.

“Kamu tetap papanya anak-anak, perpisahan kita nggak akan mengubah fakta tersebut. Jadi sudah seharusnya Raegan berbakti sama kamu,” ujar Indri diiringi senyum hangat yang terulas di wajahnya.

Beberapa saat kemudian, kedatangan dua orang di ruang tamu rumah itu langsung memecah suasana hening antara Indri dan Satrio. Di dekat pintu, Raegan dan Kaldera tengah menatap ke arah Indri dan Satrio. Saat kontak mata tersebut terputus, Raegan segera melangkah masuk ke dalam dan menyalami tangan Satrio. Aksi Raegan itu juga diikuti oleh Kaldera yang meski nampak canggung karena baru pertama kali gadis itu menyapa Satrio.

Lantas Indri dan Kaldera membiarkan Raegan dan Satrio berbicara empat mata. Mereka beralasan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang baru saja dibeli oleh Kaldera dan Raegan.

“Kalau Papa berkenan, kita bisa sekalian makan malam bersama. Ini sudah waktunya malam malam, kan? Gimana?” ujar Raegan membuka pembicarannya.

“Boleh, kita bisa makan malam bersama,” balas Satrio. Melalui tatapan pria paruh baya itu, ada pancaran kebahagiaan yang mungkin bagi sebagian orang makan bersama adalah hal yang sederhana. Namun konsep kebahagiaan seseorang tentunya berbeda-beda, bukan?

“Raegan, Papa ingin mengucapkan terima kasih sama kamu. Berkat bantuan kamu dan teman-teman kamu, Papa bisa bebas dari tuntutan pengadilan,” ujar Satrio.

Raegan terdiam setelah mendengarnya. Rasanya ia begitu rindu terhadap momen kebersamaan keluarga mereka. Melihat papanya hari ini datang ke rumah, tembok kokoh yang telah Raegan bangun selama ini rasanya seperti akan runtuh sedikit lagi.

“Sama-sama, Pah. Selamat juga atas kembalinya jabatan Papa. Soal kasus sabotase itu, apa Papa akan menuntut balik pelaku itu?” tanya Raegan.

“Tentu, Papa akan melakukan itu. Papa akan meminta kejaksaan untuk menyelidikinya. Jika memang benar perbuatan tersebut dilakukan oleh Leonel dan dia memiliki orang yang memerintahnya, maka tujuan kita bukan hanya Leonel. Di ranah hukum, seseorang sulit sekali jika bekerja sendiri, jadi hanya ada satu kemungkinan besar.”

“Apa kemungkinan itu Pah?” tanya Raegan.

“Leonel adalah antek mafia yang bekerja untuk pejabat tinggi. Mereka pasti saling menguntungkan satu sama lain dan memiliki suatu tujuan di balik semua ini.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Dulu saat Satrio mengetahui pekerjaan Raegan sebagai ketua mafia, tentu sebagai orang tua Satrio pun marah besar. Bagaimana bisa dirinya yang seorang penegak hukum justru memiliki anak yang pekerjaannya sangat berbahaya dan berpotensi besar berurusan dengan hukum itu sendiri. Raegan sempat meninggalkan pekerjaan beresiko itu dan memutuskan memulai karirnya di dunia bisnis. Raegan sebenarnya sudah sangat mapan dengan pekerjaannya, tapi Satrio memaksa anak sulungnya untuk melanjutkan bisnis batu bara miliknya, tepatnya sejak saat Raegan lulus dari sekolah bisnisnya.

Satrio menemui Raegan yang sedang memerintahkan orang-orangnya untuk memasang CCTV di hampir seluruh penjuru rumahnya. Raegan melakukannya untuk antisipasi terhadap hal buruk yang kemungkinan bisa terjadi.

“Raegan,” panggil Satrio. Raegan langsung menoleh ke arah Satrio. Pemasangan kamera CCTV telah selesai, jadi Raegan meminta orang-orangnya untuk memberi ruang untuk dirinya dan Satrio.

“Mama kamu dan Kaldera, mereka ada di tempat yang aman kan sekarang?” tanya Satrio kemudian.

Raegan mengangguk sekali. “Iya, Pah. Raegan akan pastiin mereka selalu aman dan dalam pengawasan orang-orang terpercaya,” terang Raegan.

“Pah, kita memang belum tau apa motif ketua Mahkamah Agung mesabotase data itu, tapi Raegan yakin dia adalah orang yang ada di balik semua rencana ini,” ujar Raegan lagi.

“Raegan, tapi dia tidak memiliki keuntungan untuk melakukan itu. Tidak ada motif baginya untuk mesabotase data tersebut,” ucap Satrio.

“Kadang kita nggak bisa menduga alasan seseorang melakukan sesuatu, Pah. Sekarang Papa nggak perlu memikirkan terlalu banyak hal. Raegan pastikan Papa aman di rumah ini,” ujar Raegan.

Setelah semua urusan selesai, Raegan hendak berpamitan pada Satrio. Namun sebelum Raegan berbalik, Satrio menahannya.

“Kapan-kapan kenalin Papa ke teman-teman kamu ya. Mereka udah membantu banyak sekali, Papa harus mengucapkan terima kasih secara langsung. Siapa nama mereka?”

“Calvin, Barra, dan Romeo. Lain waktu Raegan pasti akan kenalin mereka ke Papa. Tapi Papa nggak akan penjarakan mereka, kan?” ucap Regan dengan nada berguraunya. Satrio langsung tertawa dan menepuk dua kali pundak anak sulungnya itu.

“Bukan tugas Papa, itu tugasnya polisi dan yang nanti membuat putusan hukuman adalah Mahkamah Agung,” balas Satrio.

Raegan pun tersenyum. Momen bergurau antara ia dan papanya rasanya sudah begitu langka. Raegan merindukan momen tersebut dan tidak menyangka akan kembali mendapatinya meskipun di situasi seperti ini.

“Raegan, apa setelah kasus ini selesai kamu nggak ada keinginan untuk meninggalkan pekerjaan itu untuk selamanya?” Satrio bertanya lagi. Kali ini obrolan mereka menjadi serius.

“Raegan punya keinginan itu Pah,” jawab Raegan kemudian.

Satrio tampak tertegun mendengar jawaban Raegan. Detik berikutnya Satrio mengulaskan senyum bangganya dan nampak sedikit terharu.

“Kira-kira apa alasan yang membuat kamu ingin meninggalkan pekerjaan itu?” Satrio menyatukan alisnya, ia tampak penasaran.

Raegan terdiam selama beberapa detik. Setelah memikirkannya dan yakin akan jawabannya, Raegan lantas menjawab dengan nadanya yang terdengar sungguh-sungguh. “Raegan ingin membahagiakan orang-orang yang Raegan sayang, Pah. Raegan ingin memastikan mereka hidup nyaman, aman, dan nggak pernah merasakan ketakutan atau kecemasan lagi.”

***

Ruang kerja Satrio

Satrio masih berada di ruang kerjanya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Nama dan jabatannya telah kembali dipulihkan, jadi Satrio dapat kembali menangani kasus persidangan di Mahkamah Konstitusi, menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana mestinya. Saat terdengar bunyi ketukan di pintu ruangan kerjanya, Satrio lekas membiarkan orang di luar sana masuk.

“Permisi Pak, silakan ini tehnya,” ucap asisten yang kini memasuki ruangan. Satrio hanya mengangguk sekilas begitu asisten tersebut meletakkan secangkir teh jasmine di atas meja kerjanya. Asisten laki-laki tersebut kemudian berlalu dari ruang kerja Satrio setelah sedikit membungkukkan badan.

Selang beberapa menit kemudian, sebagian pekerjaan Satrio telah selesai. Ia meregangkan sedikit otot tubuhnya yang terasa pegal. Kemudian Satrio memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. Tatapan Satrio lantas mengarah pada secangkir teh di mejanya. Tangannya pun bergerak untuk mengambil cangkir putih itu. Satrio hanya meminum tehnya dua tegukan, lalu ia kembali meletakkan cangkir itu di atas meja.

Selang sekitar 15 menit kemudian saat Satrio berada di kamar tidurnya, Satrio merasakan sakit yang cukup hebat di kepalanya. Padahal beberapa saat kondisinya masih baik-baik saja. Semakin waktu berjalan, Satrio merasakan sesak napas dan kram otot di hampir seluruh tubuhnya, hingga ia kesulitan untuk bergerak dari kasurnya.

Satrio masih berusaha melakukannya, ia mencoba bangkit dari posisinya dan mengambil ponselnya di samping nakas tempat tidur. Saat Satrio akan menghubungi seseorang melalui ponselnya, tepat saat itu juga ia melihat sebuah ID call terpampang di layar. Nama Indri muncul di sana, nama yang sudah begitu lama tidak dilihat olehnya.

Satrio baru ingin menjawab panggilan itu, tapi ia tidak sempat melakukannya. Satrio lebih dulu terjatuh ke lantai setelah mengalami kejang dan seluruh tubuhnya yang kini terasa sangat kaku. Pandangan Satruo mengabur dan detak jantungnya terdengar kian melemah. Bersamaan dengan itu, terlihat air bening yang mengalir dari pelupuk matanya, hingga akhirnya perlahan-lahan kedua mata itu terpejam.

***

Geng mafia 1

Geng mafia 2

Suasana rumah megah berlantai 2 yang merupakan kediaman Satrio itu telah dipenuhi oleh beberapa orang. Segera setelah Satrio terjatuh di kamarnya, melalui rekaman CCTV, orang-orang yang memastikan keamanan di sana segera membawa Satrio ke rumah sakit. Satrio perlu mendapatkan pertolong utama.

Setelah ambulans berangkat membawa Satrio, salah satu atasan geng Aquiver yang ada di sana memerintahkan beberapa orang untuk mencari tahu penyebab kejadian ini.

Beberapa anggota Aquiver pun segera berpencar untuk mencari tahu sumber masalahnya. Sebagian ada yang pergi ke ruang CCTV untuk melihat menit-menit terakhir sebelum Satrio jatuh ke lantai, sebagian menyisir rumah dan area sekitarnya.

Pintu ruang kerja Satrio yang tiba-tiba dibuka itu sontak membuat anggota Aquiver yang ada di sana menoleh. Mereka mendapati kedatangan Romeo dan Barra.

“Kita telah kehilangan pengkhianat itu,” ujar Romeo dengan air mukanya yang terlihat menahan amarah.

“Ada pengkhianat yang menyelinap, Bos?” tanya salah seorang di sana.

Barra lantas berjalan ke arah meja kerja Satrio. Barra mengambil cangkir teh di sana, dan detik berikutnya ia meminta teh tersebut untuk diamankan.

“Kemungkinan Om Satrio diracun dengan teh itu. Pastikan kita akan mendapat pengkhianat yang menaruh sesuatu di minumannya om Satrio,” ujar Barra.

Anggota itu segera mengangguki perintah atasannya, “Baik Bos,” ujarnya.

“Gue baru aja ngabarin Raegan soal kejadian ini dan dia langsung ke rumah sakit. Calvin dan anggotanya akan coba melacak ke mana perginya pengkhianat itu,” ujar Barra.

“Sialan, gimana bisa itu orang ngeracunin om Satrio,” decak Romeo.

“Dari informasi bodyguard-nya om Satrio, orang itu udah lama kerja sebagai asisten di rumah ini. Kemungkinan dia udah ngerencanain semua ini dan dia adalah salah satu anteknya Abbas Pasha,” ujar Barra.

“Sebelum polisi ngecek rumah ini, ada baiknya kita lakukan pengecekan lebih dulu. Siapa tau ada barang bukti yang tertinggal,” ujar Romeo.

“Oke. Pastiin satu hal, dari anggota lo maupun anggota gue, nggak ada lagi pengkhianat semacam itu,” ujar Barra pada Romeo.

Romeo mengangguki ucapan Barra. Kemudian keduanya segera melangkah pergi untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka bersumpah bukan hanya akan mengungkap kejahatan Leonel, tapi mereka juga akan mengungkap pejabat negara yang telah merencanakan semua ini.

Salah satu pekerjaan sekelompok mafia adalah membedah hal-hal kriminal sampai ke akar-akarnya, tidak pandang bulu dan tidak peduli siapa lawan mereka. Apalagi ini menyangkut langsung orang-orang yang berharga bagi mereka. Aquiver akan membuat sejarah baru bagi penjahat kelas kakap semacam Leonel. Mereka akan membuat Leonel merasakan bagaimana pedihnya hukum, yang sebelumnya pria itu anggap telah berada di genggaman tangannya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Hands

Jauh sebelum Kaldera datang ke hidupnya, Raegan tidak pernah berpikir bahwa ia menyesal menjadi seorang mafia. Namun sekarang Raegan berkeinginan untuk memiliki kehidupan yang normal, membangun keluarga kecilnya sendiri, dan hidup tanpa diselimuti oleh perasaan takut maupun cemas.

Sejak menyadari perasaannya terhadap Kaldera, Raegan memiliki pemikiran bahwa ia tidak ingin menyerah. Raegan tidak ingin menyerah terhadap kisah asmara dan masa depannya yang ingin ia wujudkan bersama Kaldera. Namun ketakutan Raegan kian membesar. Raegan takut ia tidak bisa memberikan jaminan keamanan dan hidup yang tentram pada Kaldera. Setelah semua yang terjadi, haruskah Raegan melepaskan Kaldera dan kembali menyerah pada urusan percintaannya?

Raegan sekarang belum memiliki jawaban tersebut. Malam ini Raegan kembali memberikan ketakutan pada Kaldera dan mama, dua orang yang begitu ia cintai. Ketika mereka tengah tidur dengan nyaman di rumah, sekitar pukul 1 malam tiba-tiba rumah dibobol orang sekelompok orang.

Raegan segera meminta Indri dan Kaldera untuk keluar melalui pintu belakang. Di sana telah ada dua orang bodyguard yang menunggu mereka dan akan mengamankan keduanya. Mereka harus segera pergi dari rumah, bahkan rumah pun sudah bukan menjadi tempat yang aman.

Seperti yang sudah-sudah, Kaldera dan Indri tampak khawatir. Raegan berusaha meyakini keduanya bahwa ia akan segera membereskan masalah tersebut, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Indri dan Kaldera karena mereka adalah kelemahan bagi Raegan. Seorang lawan pasti akan menyerang titik lemah lawannya, bukankah begitu? Indri telah masuk ke mobil lebih dulu, tapi rupanya Kaldera malah berbalik dan kembali menghampiri Raegan.

“Mas, kamu—”

“Kal, kamu pergi sekarang ya,” Raegan menyela ucapan Kaldera dan memintanya untuk segera pergi dengan mobil itu.

Terdengar suara langkah kaki dan barang-barang pecah belah yang dijatuhkan ke lantai dari arah rumah bagian dalam. Di halaman belakang rumah itu, Raegan mendapati tatapan penuh ketakutan bercampur khawatir di wajah gadis yang dicintainya.

Raegan segera meraih tangan Kaldera dan menggenggamnya. Raegan menatap Kaldera lekat-lekat, lalu ia mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan Kaldera. “Aku janji semuanya akan baik-baik aja,” ucap Raegan. Raegan tahu apa yang dikatakannya adalah hanya sebatas pengharapan, bukannya sebuah janji yang sungguh-sungguh.

Kaldera masih menatap Raegan, gadis itu tidak mengalihkan tatapannya ke arah lain. Sampai akhirnya Raegan meraih tangan Kaldera, tapi kali ini Raegan menggenggamnya untuk membawa Kaldera memasuki mobil. Setelah Raegan mengatakan pada Arjuna soal lokasi tujuan untuk Indri dan Kaldera, kaca mobil pun segera di tutup.

Begitu mobil mulai berjalan, dari kaca di sisi kiri Raegan masih mendapati Kaldera yang tidak melepaskan tatapannya darinya. Raegan sengaja mengalihkan tatapannya ke arah lain. Semakin ia melihat mata itu, maka akan semakin sulit baginya untuk membiarkan Kaldera pergi.

***

Sekretaris Satrio yang bernama Hermawan serta Erwin yang merupakan pengacara keluarga mereka, baru saja kembali dari kantor kejaksaan. Jaksa yang secara sembunyi-sembunyi diminta Satrio untuk menyelidiki kasus sabotase data, telah menemukan bukti kalau data administrasi negara yang disabotase berada di kantor Mahkamah Agung.

Raegan tadinya ingin pergi ke kantor kejaksaan juga, tapi Satrio melarangnya untuk ke sana. Maka dari itu di sinilah Raegan sekarang, di kediaman Satrio.

“Raegan, untuk urusan dengan kejaksaan, tolong jangan gunakan cara kamu,” ujar Satrio.

“Maksud Papa?” tanya Raegan.

“Papa tau kamu bisa melakukannya. Tapi ini ranah hukum, Raegan.”

“Papa percaya sama orang kejaksaan itu?”

Satrio terdiam tidak dapat segera menjawab pertanyaan Raegan.

“Lantas apa yang ingin kamu lakukan?” Satrio justru malah melempar pertanyaan balik kepada Raegan.

“Sekarang situasi kita semua udah nggak aman, Pah. Kemarin malam rumah dibobol,” terang Raegan. Seketika Satrio membelalakkan matanya dan tampak kekhawatiran di wajah pria paruh baya itu.

“Raegan yakin kalau sindikat Leonel cukup luas. Sekarang sulit bagi kita untuk percaya sama orang luar, termasuk orang-orang lembaga hukum itu sendiri. Jadi tolong Pah, tolong izinin Raegan untuk pakai cara Raegan sendiri. Papa tolong bantu diakhir nanti. Papa dapat memastikan Leonel dan orang dari lembaga hukum yang bersindikat dengannya akan merasakan hukum itu sendiri, sebagaimana seharusnya.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂