alyadara

Siang ini para pejabat tinggi negara sedang mengadakan suatu pertemuan yang cukup penting. Ada beberapa hal yang akan dibahas oleh presiden, ketua DPR, ketua Mahkamah Konstitusi, dan ketua Mahkamah Agung.

Di sebuah restoran hotel bintang lima yang privasinya begitu dijaga tersebut, para petinggi negara sedang melakukan pembahasan mengenai penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Sambil menikmati makan siang berupa hidangan lezat ala hotel bintang lima, perbincangan pun mengalir. “Bukankah seharusnya UU negara kita ini bisa menciptakan perdamaian, bukannya menghadirkan konflik teritorial,” ujar Abbas Pasha, sang Ketua Mahkamah Agung.

Abbas Pasha

Ucapan Abbas itu tentu saja langsung mengundang perhatian dari yang hadir di sana. Abbas menyunggingkan senyum tenangnya, pria berusia 57 tahun itu lantas meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring makannya.

“Kalau boleh berpendapat, penguasaan dan kepemilikan wilayah adat dengan segala investasi yang sudah ada, sepertinya tidak memperhatikan keberadaan masyarakat adat di wilayah yang direncanakan akan menjadi Ibu Kota Negara itu,” ujar Abbas lagi.

Situasi pun berubah menjadi hening. Kegiatan menyantap makanan juga jadi terhenti dan pembahasan Abbas mengenai UU IKN itu tentu merujuk pada keputusan lembaga indeenden Mahkamah Agung yang diketuai oleh Satrio Malik Gumilar.

“Jadi bagaimana menurut Anda, Pak Satrio? Apakah Mahkamah Konstitusi akan tetap menutup telinga terhadap pemohonan uji formil Undang-Undang tersebut?” papar Abbas lagi.

Satrio Malik Gumilar

Satrio yang duduk di seberang Abbas nampaknya terlihat tenang. Satrio lantas meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring makannya. “Begini Pak Abbas, Pak Pak Dewandi, dan Pak Danu. Saya izin menjelaskan alasan Mahkamah Konstitusi menolak pengajuan permohonan uji formil tersebut. Seharusnya memang penolakan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar diajukan dalam waktu 45 hari sejak undang-undang tersebut diundangkan. Sesuai dengan fakta-fakta hukum tersebut, maka pengajuan permohonan telah melewati tenggang waktu 45 hari sejak undang-undang IKN diundangkan. Jadi permohonan para pemohon tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan di Mahkamah Konstitusi. Selain itu para pemohon yang mengajukan uji formil dan materil dinilai tidak memiliki kerugian langsung atas terbentuknya undang-undang IKN,” terang Satrio dengan begitu lugas.

Dewandi Wirawan yang merupakan presiden tampak takjub dengan jawaban tenang dan penurutan Satrio yang jelas dan runtut. “Jawaban yang bagus, Pak Satrio. Lembaga eksekutif juga telah menyelidiki hal tersebut. Seperti yang kita ketahui, permohonan para pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita, dan petitum. Jadi keputusan Mahkamah Konstitusi saya rasa sudah sangat tepat,” ujar Dewandi.

“Saya setuju dengan penolakan itu. Bagaimana pun negara tetap harus berorientasi pada Undang-Undang Dasar yang sudah kita buat. Bukankah begitu, Pak Abbas?” ujar Danuarta, sang ketua DPR.

“Semua memang setuju dengan hal tersebut, Pak. Tapi bagaimana dengan konflik teritorial yang terjadi berkat penolakan ini?” Abbas mengarahkan tatapannya pada Dewandi, lalu beralih pada Satrio.

Sebuah senyum sekilas terbit di wajah Abbas. Dewandi yang duduk di samping Abbas lantas menatap satu persatu petinggi negara yang ada di ruangan itu. Detik berikutnya, Dewandi pun berujar, “Saya yakin Pak Satrio akan dapat mengatasi hal tersebut dengan baik. Konflik teritorial itu dapat ditangani oleh kita sebagai pemerintah, terlebih apabila para lembaga tinggi negara bisa bekerja sama dengan lebih baik ke depannya.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Hotel tempat makan-makan Aquiver

Raegan memilih sebuah private room di restoran khas itali yang mewah untuk mewujudkan acara makan-makan bersama para anggota gengnya. Sebenarnya acara makan malam ini terasa lebih bermakna dari acara-acara sebelumnya bagi Raegan. Awalnya Raegan tidak berpikir bahwa Kaldera bersedia ikut dengannya, tapi Kaldera rupanya mengiyakan ajakan tersebut. Keikutsertaan Kaldera menjadi salah satu bagian terbaik untuk acara ini.

Romeo, Barra, dan Calvin juga datang ke acara tersebut. Mereka terlihat sedikit terkejut dan canggung saat melihat Kaldera ada di sana. Romeo dan Calvin bertemu dengan Kaldera begitu keduanya akan mengambil makanan di prasmanan yang telah disediakan.

Romeo lantas mempersilakan Kaldera untuk lebih dulu mengambil makanannya. Calvin justru menghampiri Kaldera dan langsung bertanya padanya. “Kayaknya habis acara ini lo sama Raegan punya acara berdua ya?” tanya Calvin dengan nada bergurau.

Kaldera pun menoleh dan wajahnya tampak bingung setelah mendengar pertanyaan Calvin.

Romeo yang mendapati tingkah jahil Calvin itu segera menghampiri keduanya. “Kal, nggak usah didengerin. Lo ambil makanan aja.” Setelah mengatakannya, Romeo pun segera menarik Calvin untuk menjauh dari Kaldera. Calvin terlihat mendumel, lelaki itu nampak tidak terima Romeo memotong pembicaraannya dengan Kaldera.

***

Ini pertama kalinya bagi Kaldera melihat dan bertemu anggota geng mafia, bahkan makan di satu meja yang sama dengan para pria itu. Kaldera berpikir hidupnya telah berubah menyerupai alur di film-film thriller yang pernah ditontonnya. Namun kenyataannya tidak seperti apa yang Kaldera pikirkan. Mereka, para anggota geng Aquiver tidak terlihat seperti mafia menyeramkan yang Kaldera bayangkan sebelumnya.

Di meja berbentuk lingkaran itu, mereka berbincang-bincang ringan setelah menikmati menu hidangan utama. Kini beberapa orang sedang menikmati dessert di piring kecil mereka. Kemudian ditengah-tengah obrolan itu, salah seorang anggota mengeluarkan pemantik dan siap untuk menyalakan sebatang rokok di tangannya.

You cannot smoke here,” ujar Raegan to the point, pria itu mengarahkan tatapannya ke arah seorang lelaki jangkung yang duduk di seberangnya. Seketika semua mata mengarah pada Dean, lelaki yang akan merokok itu.

Alright alright, Boss,” balas Dean sambil mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Kemudian Dean melenggang untuk pergi ke balkon restoran yang dibatasi oleh sebuah dinding kaca.

It must because of you,” bisik seseorang di dekat Kaldera yang seketika membuat Kaldera menoleh. Rupanya orang itu adalah Barra, pria itu baru saja melewati kursi Kaldera sambil membawa sajian dessert di tangannya.

Begitu netra Kaldera besinggung tatap dengan Barra, lelaki itu mengulaskan senyum tipisnya. Barra terlihat tenang di kursinya sembari menikmati pudding coklat di piringnya, tapi tatapannya terus tertuju ke arah Kaldera.

Kaldera lantas memikirkan ucapan Barra padanya. Kaldera masih belum menemukan jawabannya, ia penasaran tapi tidak mungkin menanyakannya pada Barra. Kemudian ada dua orang lagi yang ingin merokok, mereka sempat mempertanyakan mengapa tidak boleh merokok di ruangan ini, padahal ruangannya telah disewa secara privat. Toh mereka sering melakukannya selama ini, karena mereka semua yang ada di sini adalah seoran perokok.

Please respect her,” ujar Raegan akhirnya. Seketika Kaldera menoleh ke samping kanannya dan netranya langsung bersitatap dengan Raegan. Raegan hanya menatapnya dengan tatapan minim ekspresi, lalu kontak itu terputus begitu saja dan keduanya sama-sama mengalihkan tatapan ke arah lain.

Kini Kaldera mendapat jawaban atas pertanyaan yang tadi singgah di benaknya. Kaldera pun mengerti maksud perkataan Barra tadi. Detik berikutnya, tanpa Kaldera dapat cegah, ada sebuah desiran hangat yang perlahan-lahan memenuhi di rongga dadanya. Kaldera tidak dapat membohongi perasaannya. Perasaan ini jelas-jelas adalah perasaan yang sama dengan saat Raegan memberikan blazer jaketnya saat mereka pergi ke taman waktu itu.

***

Acara makan malam itu selesai sekitar pukul sembilan. Beberapa masih mempunyai acara yang akan dilakukan bersama. Mereka akan pergi ke bar untuk meneguk botol bir sambil menikmati karaoke di sebuah ruangan privat yang disediakan oleh tempat hiburan itu.

“Lo nggak ikut anak-anak ke bar?” tanya Barra pada Raegan.

“Kali ini nggak dulu. Maybe next time,” balas Raegan. Barra lantas mengangguk-angguk dan sepertinya pria itu sudah memiliki jawaban mengapa kali ini Raegan tidak ikut. Alasannya tentu adalah seorang perempuan yang nampaknya begitu diperlakukan layaknya seorang ratu oleh sang bos mafia itu.

Sebelum Raegan dan Kaldera berjalan menuju di mana mobil Raegan terparkir, Romeo, Barram dan Calvin menahan langkah keduanya.

“Ada yang mau kita omongin sebentar sama Kaldera,” ujar Romeo lebih dulu. Raegan seketika menatap Romeo dengan tatapannya khasnya, yakni dua alis yang bertaut dan hidung yang sedikit mengkerut.

“Kalian buru-buru banget balik sih? Mau ada acara apa lagi emangnya habis ini?” gurau Barra.

“Kita mau minta maaf sama lo Kal,” ujar Calvin akhirnya.

Kaldera yang mendapati kalimat tersebut terlihat tidak mengerti maksud dari perkataan Calvin.

“Kenapa minta maaf?” tanya Kaldera akhirnya setelah mereka hanya saling menatap.

“Maaf karena kita udah merahasiakannya dari lo. Saat lo udah tau identitas kita, gue pikir sikap lo akan berubah ke kita. Tapi ternyata enggak, dan kita selalu berharap lo nggak menganggap kita orang-orang jahat,” jelas Romeo panjang lebar.

Calvin dan Barra mengatakan hal yang hampir serupa dengan Romeo. Mereka sempat berpikir bahwa hubungan ketiganya dengan Kaldera akan berubah. Waktu-waktu yang telah mereka lalui bersama, membuat mereka cemas kalau Kaldera akan menjauh setelah mengetahui semuanya.

Beberapa detik setelahnya, Kaldera mengulaskan senyum lembutnya. “Nggak ada yang berubah sama sekali,” ujar Kaldera sambil menatap satu persatu anggota The Ninety Seven dengan tatapan penuh artinya.

Calvin tampak lega setelah mendengar penuturan Kaldera. Lelaki itu tersenyum cerah sekali. “Gue tadi agak kaget sih lo mau dateng ke acara makan-makan malam ini,” celetuk Calvin. Kemudian Calvin melirik Raegan dan Kaldera secara bergantian, “Makanya gue kira lo sama Raegan ada acara privat berdua habis ini,” tambah Calvin sambil melemparkan senyuman menggoda.

“Nggak ada acara apa-apa,” ucap Raegan cepat.

“Santai aja dong, Bos,” sergah Romeo.

Guys, enough. Nih sekarang di luar anginnya kenceng banget, udah malem juga. Mending lo anter Kaldera pulang sana,” suruh Barra yang kemudian lekas diangguki oleh Raegan.

Sebelum berpamitan pulang, Kaldera mengatakan sesuatu pada Romeo, Barra, dan Calvin. Kaldera mengatakan bahwa meskipun ia belum dapat memahami pekerjaan yang dilakukan oleh The Ninety Seven, Kaldera dapat merasakan bahwa mereka adalah orang-orang yang baik dan akan selalu melindunginya. Kaldera tidak membenarkan pekerjaan mereka, tindak kriminal memang akan selalu salah. Namun mereka yang Kaldera kenal adalah orang yang berbeda dengan pekerjaan yang mereka jalani. Itu seperti dua hal yang terpisah, begitulah kira-kira.

Kaldera akhirnya berpamitan dan masuk ke mobil lebih dulu. Raegan masih di sana dan ditahan oleh teman-temannya.

“Jadi Kaldera sekarang tinggal satu rumah sama lo?” tanya Romeo diiringi alisnya yang bertaut.

Yes. As you see,” jawab Raegan santai. Sementara Romeo tertegun mendengar jawaban itu. Sepertinya Romeo dan Raegan sudah 0-1 sekarang. Romeo tidak main-main soal ketertarikannya pada Kaldera, tapi kenyataan pahitnya adalah saingannya merupakan sahabatnya sendiri.

“Gerak cepat juga lo,” timpal Calvin.

Are you officially her boyfriend?” tanya Barra ikut menimpali.

“Hmm … not yet,” ujar Raegan. Pria itu terdiam beberapa detik, lalu ia kembali berujar, “But I’ll make it happen soon,” ujarnya dengan nada yang terdengar penuh keyakinan.

Romeo dan Calvin sukses dibuat takjub dengan pernyataan Raegan. Kalau Raegan sudah mengatakannya, maka Raegan akan sungguh-sungguh mewujudkannya. Selama ini sosok itulah yang mereka kenal sejak keempatnya bergabung di dalam geng yang sama. Kali ini Raegan tidak ingin menyerah terhadap urusan percintaannya, berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Biasanya Raegan mudah menyerah terhadap perempuan, tapi kali ini sepertinya pria itu begitu serius ingin berjuang.

Sebelum berbalik dan meninggalkan teman-temannya, Raegan kembali berujar, “I didn’t take her home,” ujar Raegan.

What do you mean?” tanya Calvin.

From now until she’ll be mine, she will always going home with me,” tukas Raegan.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Leonel telah ditetapkan sebagai tersangka sejak keputusan sidang beberapa hari lalu. Namun polisi masih melakukan pencarian dan belum menemukan keberadaan Leonel.

Aksa kini telah bebas dari penjara, lelaki itu dapat menjalani hari-harinya seperti remaja lelaki pada umumnya. Namun ada yang terasa hilang dari dalam dirinya. Aksa memang mendapatkan kembali hidupnya, tapi ia kehilangan sosok sahabat terbaiknya.

Sore ini sepulang sekolah setelah Aksa berziarah dai makam Zio, kini Aksaberada di depan sebuah rumah yang terlihat sangat megah. Tidak lama setelah Aksa menekan bel di dekat pagar tinggi itu, seorang lelaki bertubuh tinggi dan kekar membukakan pagar untuknya. Aksa dipersilakan masuk dan langsung diantar ke tempat tujuannya.

Hari ini Aksa telah sepakat untuk melakukan diskusi dengan Raegan dan Kaldera. Begitu memasuki ruangan dengan pintu ganda putih, Aksa tidak hanya menemukan Raegan dan Kaldera di sana, tapi ada 3 orang lelaki yang tidak Aksa kenali.

“Lo duduk dulu,” ujar Raegan mempersilakan Aksa untuk duduk. Aksa mengangguk sekali, ia meletakkan tas sekolahnya di kursi lalu menarik kursi dan mendudukinya.

“Kenalin mereka adalah Romeo, Barra, dan Calvin.” Raegan mengenalkan tiga orang lelaki kepada Aksa. Aksa lantas melirik Kaldera yang duduk di sampingnya. Kaldera hanya mengangguk sekali, mengisyaratkan kalau ia sudah lebih dulu mengenal orang-orang tersebut.

“Apa dia bisa dipercaya?” tanya Barra sambil menatap lurus ke arah Aksa. Seketika Raegan, Romeo, Calvin, dan Kaldera menatap ke arah Barra. Barra mengedikkan kedua bahunya, pria itu masih menatap Aksa dengan tatapan intens dan sedikit mengintimidasi.

“Dia bisa dipercaya,” ucap Raegan akhirnya. Raegan beranjak dari duduknya, lalu ia melangkah ke arah sebuah lemari dan membuka salah satu lacinya. Sekembalinya Raegan, lelaki itu menunjukkan sebuah pistol di tangannya dan mengarahkannya kepada Aksa.

Aksa nampak terkejut dan matanya membelalak menatap ke arah pistol yang ada di tangan Raegan. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aksi Raegan itu sudah dapat menjelaskan bahwa Aksa akan berurusan bukan dengan orang sembarangan. Jadi Aksa harus dapat dipercaya dan jika berkhianat, harusnya lelaki itu sudah tahu apa konsekuensi yang akan dihadapinya.

Raegan masih mengarahkan pistolnya kepada Aksa, tapi saat Kaldera meminta Raegan menjauhkan benda itu dari Aksa, Raegan perlahan-lahan akhirnya menjauhkannya.

“Seiring berjalannya waktu, lo akan tau sendiri lo berurusan dengan siapa. Kalau lo mengkhianati kepercayaan kita sekecil apa pun itu, lo akan tau sendiri akibatnya,” terang Romeo. Aksa lantas mengangguk dengan cepat dan berjanji bahwa ia bisa dipercaya.

Calvin sedikit bergerak dari posisi duduknya, pria itu meletakan kedua lengannya di atas meja. “Polisi sampai sekarang belum bisa menemukan keberadaan Leonel. Jadi kita harus cari cara, tanpa bantuan polisi atau bahkan siapa pun, kita harus bisa menemukan Leonel.” Calvin menjelaskan apa yang akan menjadi topik utama pembicaraan mereka saat ini.

“Status Kaldera yang akan jadi saksi di persidangan waktu itu masih bersifat rahasia, tapi Leonel mengetahui itu. Jadi kemungkinan besar Leonel memang memiliki koneksi dengan pejabat tinggi negara atau mungkin penegak hukum itu sendiri,” ujar Raegan. Semua yang ada di ruangan itu memikirkan perkataan Raegan dan mereka juga setuju dengan pemikiran tersebut.

Sesuai yang diungkapkan oleh Kaldera soal Leonel yang mengetahui bahwa Kaldera akan bersaksi, mereka pun sepakat berasumsi kalau Leonel punya hubungan dengan pejabat negara yang memiliki jabatan tinggi.

“Gue masih nyimpen bukti yang mungkin bisa dipakai untuk selidikin Leonel,” ujar Aksa tiba-tiba. Seluruh pasang mata di ruangan itu kini menatap ke arah Aksa.

“Mungkin bukti ini bisa jadi jalan pembuka untuk menemukan Leonel,” tambah Aksa sambil mengeluarkan sebuah memory card dari ponselnya.

***

Kaldera menemukan Aksa begitu ia melangkah keluar dari kelasnya. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, kini murid-murid satu persatu mulai berhamburan keluar dari kelas mereka.

“Kal, hari ini gue pergi ke suatu tempat untuk ngelacak bukti yang ada di memory card itu,” terang Aksa.

Aksa dan Kaldera berjalan bersisian keluar dari gedung sekolah. Saat langkah mereka sudah sampai di depan gerbang, Kaldera menoleh pada Aksa dan berujar, “Lo yakin bisa ke ngelakuinnya sendiri?”

Aksa mengangguk. “Gue bisa, Kal. Nanti kalau udah berhasil gue cari tau, gue akan infoin ke lo.”

“Kal,” ujar Aksa lagi.

“Hmm?” Kaldera segera menoleh pada Aksa dan memberikan enuh atensinya kepada lelaki itu.

“Apa lo tau siapa sebenarnya mas Raegan dan teman-temannya? Lo keliatan percaya banget sama mereka,” ujar Aksa.

Kaldera lantas mengulaskan senyumnya sekilas. “Lo akan tau nanti, tapi mungkin nggak sekarang. Yang jelas mereka orang-orang baik dan gue percaya sama mereka,” ujar Kaldera.

Tidak lama setelah itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan Aksa dan Kaldera. Kaldera yang sudah fameliar dengan mobil itu, lantas berujar kepada Aksa. “Sa, gue balik dulu ya. Kalau lo butuh bantuan buat ngelacak bukti itu, kasih tau gue atau mas Raegan aja. Oke?”

“Oke,” ujar Aksa diiringi senyum kecilnya.

Kaldera pun mengangguk dan lantas melangkahkan kakinya menuju sisi kiri mobil. Begitu Kaldera sudah memasuki mobil itu, kaca di sisi pengemudi mobil itu terbuka. Aksa masih di sana, jadi ia sempat bersinggung tatap dengan Raegan.

Tidak lama setelahnya, Raegan kembali menutup kaca mobilnya dan segera menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran sekolah. Aksa memang dibuat penasaran tentang siapa sebenarnya Raegan dan teman-temannya. Aksa merasa bahwa mereka bukanlah orang sembarangan. Namun jika Kaldera mempercayai Raegan dan teman-temannya, maka Aksa pikir ia bisa membuat dirinya untuk percaya juga.

***

Keesokan harinya …

Bukti yang ada pada memory card Aksa telah berhasil dilacak. Aksa yang sejak bekerja pada Leonel dan penasaran dengan sesuatu yang tidak sengaja ditemukannya, telah menduplikat bukti tersebut. Aksa adalah hacker muda yang pintar dan cerdik. Tepat saat Aksa ingin kabur bersama bukti itu, Leonel menemukannya dan akan menghabisinya malam itu juga.

Bukti di dalam memory card tersebut menunjukkan bahwa ternyata Leonel melakukan sabotase dokumen rahasia yang berhubungan dengan administrasi negara. Dari sana kecurigaan pun mulai bermunculan. Jelas sekali jika Leonel memanfaatkan koneksi dengan pejabat negara yang memiliki jabatan tinggi untuk mengetahui status Kaldera sebagai saksi yang padahal itu masih menjadi rahasia. Tidak mungkin Leonel bisa melakukan semuanya sendiri, pasti Leonel memiliki orang yang menjadi back up-nya.

Hari ini Raegan memerintahkan dua anggota gengnya yang terbaik untuk melakukan sebuah misi. Mereka harus membuntuti anggota geng Tacenda untuk mencari tahu koneksi yang dimiliki oleh Leonel itu, Leonel bekerja untuk siapa, dan apa tujuan Leonel mesabotase dokumen rahasia negara.

Setelah dua hari membuntuti secara sembunyi-sembunyi, hari ini akhirnya Alaric dan Gifari berhasil mendapatkan jejak keberadaan anggota Leonel. Dua anggota geng Raegan itu menggunakan drone untuk dapat mengetahui situasi yang tengah terjadi.

Dari atas sebuah rooftop, mereka menerbangkan drone untuk merekam situasi di ruangan privat di sebuah restaurant milik hotel mewah.

Hotel tempat ketemu

Drone kita nggak bisa menjangkau ruangan itu. Kita nggak bisa melihat siapa mereka,” ujar Alaric dengan raut wajahnya yang tampak kesal.

“Tapi target kita sudah masuk ke dalam. Kita harus secepatnya mendapatkan informasi,” ucap Gifari.

“Oke, gini aja. Lo tetap jalanin drone-nya, gue akan nyamar sebagai pramusaji restoran dan masuk ke dalam untuk terus pantau keadaan.” Alaric dengan cepat memutar otaknya untuk merubah sedikit rencana awal yang sudah mereka rencanakan.

***

Alaric dan Gifari berhasil mendapatkan beberapa foto dari kegiatan mereka membuntuti anggota geng Leonel itu. Salah satu tangan kanan Leonel yang bernama Taraka menemui seseorang yang diduga merupakan orang penting pemerintah. Beberapa anggota lainnya lantas segera telah membuat mind mapping yang bisa membantu mereka untuk memecahkan teka-teki tersebut.

Foto-foto bukti

Mind mapping

Malam ini Raegan datang ke markas Aquiver dan di sana anggota gengnya telah berkumpul. Begitu Raegan melangkah memasuki ruangan itu, semua yang ada di sana langsung beranjak dari posisi mereka. Mereka lantas sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada ketua mereka.

Setelah Raegan menarik kursi kebesarannya dan duduk di sana, Alaric menghampirinya dan menunjukkan hasil foto yang diminta oleh Raegan.

Raegan melihat hasil-hasil foto itu dengan seksama. Dugaan mereka selama ini tepat sasaran. Leonel pasti memiliki back up orang yang punya jabatan tinggi di hukum.

Raegan lantas meletakkan kembali foto-foto itu di atas meja. “Cari tau siapa orang yang di foto itu,” ujarnya.

“Kami sudah mencari tau itu Bos,” ujar Alaric.

Raegan menatap anggotanya dengan alis yang tertaut. Namun detik berikutnya, sebuah smirk terulas di wajah tegasnya.

“Orang yang menemui Taraka adalah sekretaris dari ketua Mahkamah Agung,” ujar Gifari kemudian.

“Kalian sudah memastikan kalau itu benar?” Raegan berdiri dari kursinya. Ia menatap satu persatu anggotanya yang telah ia didik dengan ketelatenan selama bertahun-tahun. Meskipun sempat vakum dari pekerjaan ini, begitu Raegan kembali anggotanya tetaplah orang-orang yang handal dan setia kepadanya.

“Sudah, Bos. Kami dapat pastikan kalau orang yang ditemui Taraka adalah seorang sekretaris yang bekerja untuk ketua Mahkamah Agung,” jawab Alaric.

Raegan lantas mengangguk sekilas. “Oke, kerja yang bagus.”

“Bos, apa setelah ini ada acara makan-makan seperti dulu yang sering kita lakukan?” tanya seorang anggota begitu Raegan baru akan melangkah pergi dari sana.

Raegan pun berbalik dan muncul sebuah kerutan di keningnya. Detik berikutnya pria itu mengangguk dan mengiyakan ide tersebut. “Sebelum kalian harus bekerja lebih keras lagi kedepannya, kalian berhak mendapatkannya. Saya akan atur jadwal makan malam untuk besok.”

“Terima kasih Bos,” ujar mereka secara bergantian. Terlihat raut-raut bahagia di wajah para lelaki bertubuh kekar itu. Sudah cukup lama mereka tidak melakukannya. Kali ini Raegan akan kembali melakukan tradisi tersebut bersama para anggota gengnya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Ruang persidangan siang itu telah dihadiri oleh beberapa orang yang akan menyaksikan jalannya persidangan. Tim jaksa berada di sisi kiri, sementara terdakwa dan pengacara pembela berada di sisi kanan. Saat hakim ketua memasuki ruang sidang dan menempati kursinya, sidang pun akhirnya siap untuk dimulai.

Jaksa penuntut maju ke depan dan membacakan dakwaan kepada tersangka. “Saudara Aksa Prameswara, Anda didakwa telah melakukan penusukan menggunakan senjata tajam terhadap saudara Redanzio Nawasena Gumilar hingga menyebabkan korban meninggal dunia. Sesuai bukti yang ditemukan oleh tim kejaksaan di tempat kejadian perkara, saudara Aksa Prameswara dituntut atas dugaan pembunuhan,” ujar jaksa penuntut.

Setelah itu jaksa penuntut kembali ke tempatnya. Kini giliran pengacara pembela maju ke tengah-tengah dan akan menyampaikan pembelaannya untuk Aksa. Erwin menghadap kepada tim hakim di depannya dan mengatakan bahwa kliennya memiliki saksi yang akan bersaksi untuk membelanya.

“Baik, kepada saksi yang sudah disetujui oleh kejaksaan, silakan memasuki ruang sidang,” ujar hakim ketua.

Detik berikutnya semua orang yang hadir di sana menatap ke arah pintu ruang persidangan. Di sana nampak seorang gadis yang tengah berjalan ke depan. Begitu Kaldera melangkah di sana, matanya sempat bertemu dengan Raegan dan Barra yang hari ini juga menghadiri di persidangan. Kaldera tersenyum sekilas yang lantas dibalas anggukan yakin oleh Raegan. Raegan yakin bahwa Kaldera dapat melakukannya dengan baik hari ini.

Hingga akhirnya langkah Kaldera sampai di depan meja hakim, ia dipersilakan untuk duduk di kursi saksi yang telah disediakan. Kaldera lantas menarik kursi di hadapannya dan duduk di sana.

“Kepada saudari Kaldera Ruby Rinjani, silakan berikan kesaksian Anda di hadapan hakim dan seluruh hadirin yang di ruangan ini,” ujar Erwin. Setelah itu Erwin kembali ke tempatnya dan kini semua pandangan yang ada di ruang sidang itu tertuju pada Kaldera.

Kaldera mengangguk satu sekali, lalu satu tangannya meraih stand microphone di hadapannya untuk mendekat padanya. “Saat malam kejadian, saya ada di sana. Saya melihat dengan jelas bahwa yang melakukan pembunuhan itu bukan Aksa. Orang yang melakukan itu adalah Leonel Nathan Tarigan,” ujar Kaldera.

Erwin kembali maju ke depan dan mengatakan kalau Kaldera tidak hanya melihat kejadiannya, tapi Kaldera juga memiliki bukti. Lantas Erwin segera memberikan bukti foto kepada hakim ketua yang kemudian ditampilkan di layar di ruang sidang itu.

Semua hadirin nampak terkejut begitu melihat foto yang terpampang di layar. Meskipun fotonya tidak begitu jelas karena penerangan yang minim, tapi tetap terlihat bahwa seseorang tengah menusukkan benda tajam kepada Redanzio. Di sana memang ada Aksa, tapi bukan Aksa yang melukai Redanzio.

“Bagaimana hakim ketua? Apakah kesaksian dan foto dapat membuktikan jelas kalau klien saya tidak bersalah?” tanya Erwin.

Jaksa penuntut lalu bergerak dari tempatnya. “Mohon maaf hakim ketua, tapi bukti foto tersebut tidak cukup jelas. Bagaimana kita bisa langsung percaya pada foto itu?”

“Klien saya jelas tidak melakukan penusukan tersebut. Kami juga punya saksi mata yang melihat kejadiannya secara langsung,” balas Erwin dengan nadanya yang masih terdengar sangat tenang.

“Pengacara pembela dan jaksa penuntut, silakan kembali ke tempat Anda masing-masing,” ujar hakim ketua.

Hakim ketua lantas melakukan diskusi dengan dua hakim yang duduk di sisi kanan dan kirinya. Putusan hakim ketua memerlukan pertimbangan dari para hakim di dalam timnya, di mana notabenenya tim hakim akan memberi usulan atau saran terhadap hal-hal lainnya yang berkaitan dengan keputusan final.

Setelah beberapa menit melakukan diskusi, hakim ketua pun menyampaikan keputusannya. Dengan palu yang diangkat kemudian diketukkan sebanyak tiga kali, hakim memutuskan bahwa Aksa tidak bersalah. Status terdakwa Aksa telah dicabut dan ia terbukti tidak melakukan tindak pidana. Bukti foto yang ada sudah sangat cukup untuk membebaskan Aksa. Setelah sidang selesai, bukti foto diserahkan pada pihak kejaksaan. Kasus akan dilanjutkan karena dari pihak penuntut umum ingin hukum negara mengusut kasusnya sampai tuntas dan memberi hukuman setimpal kepada pelaku sebenarnya.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Hari ini ada dua orang penyidik dari kejaksaan yang datang ke rumah untuk melakukan wawancara singkat dengan Kaldera. Penyidik ingin memeriksa an akan memberi keputusan apakah Kaldera nanti dapat kembali bersaksi di pengadilan. Jadi wawancara tersebut akan sangat berpengaruh pada keputusan yang nantinya dikeluarkan oleh kejaksaan.

Kaldera harus mengatakan yang sejujurnya kepada penyidik, alasan mengapa ia tidak dapat menghadiri sidang minggu lalu. Meskipun itu terasa sulit karena sama saja Kaldera harus membuka kembali luka yang telah ia coba lupakan, tapi Kaldera tetap berusaha mengatakannya.

Setelah sekitar 30 menit Kaldera menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penyidik, wawancara pun akhirnya selesai. Raegan lantas mengantar kedua penyidik itu sampai ke halaman rumah. Begitu Raegan berbalik dari sana, ia menemui Kaldera dan keduanya kini saling bertatapan.

“Mas, ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Kaldera.

“Soal apa?” tanya Raegan.

“Soal kejadian malam itu.”

“Bukannya kamu udah ceritain semuanya sama penyidik tadi?” Raegan justru melemparkan pertanyaan kepada Kaldera.

“Aku nggak bisa kasih tau semuanya ke penyidik, Mas,” ujar Kaldera.

***

Kini Raegan dan Kaldera duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Raegan menatap Kaldera lurus-lurus. Raegan menunggu Kaldera menjelaskan mengapa gadis itu tidak mengatakan seluruh kejadian yang terjadi pada malam itu.

“Aku nggak jelasin ke penyidik alasan sebenarnya aku nggak hadir di persidangan,” jelas Kaldera.

“Kenapa?” tanya Raegan dengan raut bingungnya.

“Malam itu Leonel ngancam aku. Katanya kalau aku sampai bersaksi di pengadilan, dia akan memastikan anggotanya untuk menghabisi Aquiver malam itu juga,” Kaldera menjeda ucapannya sesaat. Kaldera memang belum mengatakan hal ini pada siapa pun dan Raegan adalah orang pertama yang mendengarnya dari Kaldera. Malam saat Kaldera diculik, markas Aquiver juga diserang oleh sekelompok orang tidak dikenal. Raegan akhirnya tahu kalau itu semua ulah Leonel dan gengnya.

“Waktu wawancara tadi, aku cuma bilang ke penyidik kalau aku nggak bisa datang karena alasan sakit,” jelas Kaldera. Kaldera menjelaskan pada penyidik kalau ia memiliki penyakit mental dan saat persidangan ia mengalami collapse yang menyebabkannya tidak dapat hadir sebagai saksi. Kaldera tidak memenuhi syarat umum sebagai seorang saksi, di mana seorang saksi harus sehat secara jasmani dan rohani. Kaldera memang berbohong pada penyidik, tapi ia tidak sepenuhnya berbohong dan memiliki alasan kuat dibalik tindakannya tersebut.

“Kal, apa alasan kamu ngelakuin itu?” tanya Raegan.

Kaldera lantas menatap Raegan lekat-lekat. “Aku ngelakuin itu karena aku takut Leonel akan berbuat sesuatu lagi. Aku nggak ingin Leonel mencelakai Aquiver atau pun orang-orang yang aku sayang,” ujar Kaldera.

Raegan seketika terdiam seribu bahasa begitu mendengar ucapan Kaldera. Kaldera tidak menceritakan soal penculikan yang dialaminya, padahal itu merupakan hal yang cukup penting. Dengan keterangan itu, penyidik dapat membuat keputusan bahwa kemungkinan penculikan Kaldera berhubungan dengan statusnya sebagai saksi. Sehingga kemungkinan besar, kesaksian Kaldea nanti di persidangan dapat lebih kuat karena ada dugaan bahwa Leonel berniat mengacaukan jalannya persidangan kasus pidana.

“Mas,” ujar Kaldera.

“Iya?”

“Aku ingin mengungkapkan semuanya saat di persidangan nanti. Tunggu sampai hari persidangan ya Mas, dan kamu akan mengerti alasan kenapa aku nggak bisa ceritain kejadian penculikan itu ke penyidik,” tutur Kaldera.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Raegan memiliki dua tujuan saat ia akhirnya memutuskan untuk membentuk The Ninety Seven. Tujuan pertama Raegan adalah ingin mendapatkan Leonel dengan tangannya sendiri. Sebelum hukum negara menghukum bajingan itu, Raegan ingin menghukumnya dengan kemampuan yang ia miliki. Tujuan kedua Raegan adalah ia ingin melindungi Kaldera. Raegan tidak bisa melindungi adiknya. Raegan berkali-kali menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi dengan Zio. Raegan tidak ingin, sesuatu yang buruk terulang lagi dan itu terjadi pada Kaldera.

Setelah membalas pesan di group chat The Ninety Seven, Raegan bergegas mengambil kunci mobil dan melangkah meninggalkan ruang kerjanya. Raegan mengatakan pada sekretarisnya bahwa ia ada urusan dan akan kembali ke kantor secepatnya.

Raegan berencana untuk menjemput Kaldera di sekolah sore ini. Raegan datang lebih awal rupanya, jadi ia memilih menunggu Kaldera di salah satu kursi tunggu yang ada di koridor lantai satu. Setelah sekitar 15 menit Raegan menunggu, akhirnya jam pulang sekolah tiba.

Dari arah tangga di sisi barat, nampak para siswa mulai berhamburan turun. Seperti pada umumnya, pulang sekolah adalah hal yang begitu dinantikan oleh mayoritas anak sekolah. Ekspresi bahagia tergambar jelas di wajah mereka, tawa canda juga mengiringi langkah mereka.

Raegan lantas berdiri dari posisi duduknya untuk menemui Kaldera. Tubuh tingginya memudahkan pria itu untuk mencari sosok Kaldera di tengah banyaknya siswa dan siswi di sana. Begitu netranya menemukan sosok yang begitu fameliar, rupanya sosok itu juga langsung menyadari kehadiran Raegan dan tengah menatap ke arahnya.

Kaldera berbicara pada temannya, sebelum akhirnya kedua kakinya melangkah menuju Raegan. Setelah keduanya bertemu, mereka segera menuju di mana mobil Raegan terparkir. Kali ini Raegan tidak membawa BMW hitamnya, melainkan sebuah Mercedes Benz hitam yang nampak gagah dan cukup tinggi ketika Kaldera akan menaiki mobil itu.

Raegan in suit

Raegan's car

“Mas, nanti bisa mampir ke supermarket dulu sebentar?” tanya Kaldera ketika Raegan baru akan menjalankan mobilnya.

“Bisa,” balas Raegan.

“Oh iya kamu harus balik ke kantor, kan? Kalau enggak, turunin aku aja di supermarket, Mas. Aku mau beli bahan makanan,” ujar Kaldera memberi saran.

Kaldera menjelaskan pada Raegan bahwa ia ingin berbelanja bahan makanan untuk di markas The Ninety Seven. Beberapa hari yang lalu, Kaldera mendapati bahwa kulkas di sana tampak tidak terisi dengan baik. Hanya ada bir, minuman bersoda, dan minuman beralkohol. Mentok-mentok yang terbaik di kulkas itu adalah 2 buah apel dan setengah potong semangka.

“Aku bisa balik telat ke kantor kok. Aku anter kamu ke supermarket ya,” ujar Raegan sambil sekilas menoleh ke arah Kaldera.

***

Kaldera ingin melakukan sesuatu untuk Raegan, Romeo, Barra, dan Calvin. Keempat pria itu telah melakukan banyak hal untuknya, dan Kaldera juga ingin berbuat sesuatu yang berarti untuk mereka.

Setelah ke supermarket untuk berbelanja bahan makanan yang jumlahnya cukup banyak, Kaldera pun berniat memasak untuk makan sore. Kaldera is likes a mama bird untuk keempat pria dewasa itu. Para pria dewasa itu ahli beladiri dan tahu caranya mencari uang, tapi mereka kurang paham caranya untuk hidup sehat. Mereka akhirnya mengaku telah sedikit melupakannya. Itu terjadi berkat rutinitas pekerjaan yang cukup padat yang harus mereka lakukan akhir-akhir ini.

Makanan yang dimasak Kaldera belum siap sepenuhnya, tapi Romeo dan Calvin sudah tidak sabar untuk mencicipi. Mereka mencomot udang goreng tepung yang padahal baru saja diangkat dari penggorengan. Alhasil kedua mulut mereka kepanasan dan berakhir berlari bersamaan menuju kulkas untuk mengambil air minum dingin di sana.

They are really look like a kids. See,” ucap Barra sambil sedikit berdecak.

Kaldera yang memperhatikan kejadian itu hanya tersenyum kecil sambil sekilas menggelengkan kepalanya. Sementara Romeo dan Calvin masih meredakan rasa panas di mulut mereka, Raegan dan Barra membantu Kaldera membawa makanan yang telah siap ke meja makan. Mereka akan makan bersama. Ini hal yang sedikit terasa asing bagi mereka. Sebenarnya mereka lupa kapan terakhir klali bisa menghabiskan waktu seperti ini. Ada rasa rindu terhadap momen di antara sahabat itu. Terlebih sejak Raegan meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang mafia, momen kebersamaan itu menjadi langka sekali.

“Mas, kamu mau udang atau ayam?” tanya Kaldera kepada Raegan. Seketika Raegan pun tersadar dari lamunannya. Kaldera yang duduk di samping Raegan hendak mengambilkannya lauk dan bertanya pada Raegan apa yang pria itu inginkan,

“Aku mau udang gorengnya,” jawab Raegan akhirnya.

Kaldera lalu segera mengasurkan 3 potong udang berukuran besar ke piring Raegan yang sebelumnya telah terisi dengan nasi.

***

Setelah merasa kenyang dan puas akan masakan Kaldera yang katanya sangat enak itu, Romeo mengajak Kaldera untuk berenang. Romeo terlihat antusias sekali dan Kaldera juga nampak tertarik dengan ide tersebut.

“Ini udah malem, gue bakal anter Kaldera pulang,” ujar Raegan yang secara tidak langsung melarang Kaldera mengikuti ajakan Romeo. Laki-laki dan perempuan berenang bersama? Dasar Romeo modus, pikir Raegan. Entah apa yang ada di pikiran seorang lelaki dewasa dengan mengajak seorang gadis berenang bersama.

Romeo lantas menghampiri Raegan, lalu ia menepuk pundak sahabatnya dan membisikkan sesuatu, “Gue udah nganggep Kaldera kayak adek sendiri, kali. Lo kenapa kayak kebakaran jenggot gitu. Bukannya lo nganggep Kaldera sebagai adek juga?”

Kaldera melihat ke arah Romeo dan Raegan dengan tatapan penasarannya. Kaldera terlihat ingin tahu tentang apa yang tengah dibicarakan Romeo dengan Raegan, tepatnya setelah aksi Romeo yang mengajaknya untuk berenang.

Raegan lantas mengulkaskan senyum palsunya ke arah Kaldera. Setelah itu, Raegan kembali pada Romeo dan membisikkan sesuatu. Ketika mengatakannya, nada suara Raegan terdengar serius dan tidak terbantahkan. “Justru karena gue nganggep Kaldera sebagai adik, gue harus jauhin dia dari buaya darat kayak lo.”

Raegan keburu menanggapi candaan Romeo dengan begitu serius. Padahal nyatanya Romeo hanya bergurau soal mengajak Kaldera berenang, terlebih saat matahari bahkan sudah hampir terbenam. Raegan mengumpat dalam hati dan menatap Romeo dengan tatapan kesalnya.

“Lo kayak bukan nganggep Kaldera adek, tau nggak?” celetuk Romeo sambil melempar pandangannya bergantian ke arah Raegan dan Kaldera.

“Lo kayak papah papah yang posesif ke anak gadisnya. Wow, how sweet.” Segera setelah mengatakannya, Romeo segera pergi dari hadapan Raegan sebelum pria itu sempat menghajarnya.

***

Sebelum hari benar-benar menjadi gelap, Kaldera dan The Ninety Seven memutuskan untuk bermain badminton di taman belakang yang cukup luas. Dua buah raket dan satu slot shuttlecock diambil dari ruang penyimpanan, mereka pun siap melakukan permainan.

Mereka memilih halaman berumput yang ada di belakang rumah untuk dijadikan tempat bermain. Indah sekali tempat dan suasananya, udara yang sejuk, sangat cocok untuk menghabiskan waktu sore dengan bermain bersama.

Mereka bermain 2 lawan 2, dan 1 orang lagi menjadi wasit. Barra dan Calvin berada di tim yang sama, sementara Raegan dan Romeo berada di tim satunya lagi. Kaldera menjadi wasit, tapi sesekali ia menjadi pemain pengganti dengan menggantikan Romeo.

Permainan berjalan cukup seru. Mereka sepakat bahwa tim yang kalah akan diberi hukuman, yakni mencuci piring kotor. Calvin dan Barra menjadi tim yang kalah setelah 3 kali permainan, jadi mereka harus melaksanakan tugas sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Calvin dan Barra sedang menjalankan hukuman mereka di dapur. Tadinya Raegan akan mengantar Kaldera pulang, tapi Kaldera ketiduran di salah satu kamar di rumah itu dan mereka tidak tega membangunkannya.

Mereka telah melakukan banyak hal yang menyenangkan, dan mereka juga bahagia karena bisa membuat Kaldera tersenyum serta banyak tertawa hari ini. Tanpa Kaldera sadari, perlahan rasa sedihnya karena kepergian Zio mulai bisa terlupakan. Meskipun belum sepenuhnya, kehadiran Raegan, Romeo, Barra dan Calvin rupanya dapat membantu Kaldera bangkit dari masa terpuruknya.

Di ruang tamu rumah itu, Raegan terlibat obrolan serius sama Romeo. Raegan menceritakan pada Romeo sekilas tentang latar belakang keluarga Kaldera. Romeo yang mendengar itu dari Raegan, menjadi semakin paham mengapa Raegan begitu protektif terhadap Kaldera. Raegan telah menyelidiki banyak hal tentang Kaldera, termasuk tantenya Kaldera yang merupakan wali sahnya setelah orang tuanya tiada.

Selain itu Raegan juga mencari tahu tentang hubungan Kaldera dan Zio. Kaldera dan mendiang adiknya telah menjalin hubungan asmara selama kurang lebih satu tahun. Sejak saat itu, hidup Zio maupun Kaldera berubah menjadi lebih baik berkat hubungan keduanya. Bagi Kaldera, Zio sudah seperti dunia baru dan mimpi yang indah untuknya. Jadi saat Zio pergi, Raegan dapat melihat betapa hancurnya Kaldera.

“Dia nolak waktu gue mau menjadikan dia bagian dari keluarga gue. Itu keinginan dan wasiat dari Zio. Jadi gue nggak punya pilihan lain saat gue mutusin buat balik jadi mafia. Walaupun gue tau konsekuensinya, tapi gue nggak punya cara lain untuk ngelindungin Kaldera,” ungkap Raegan.

“Soal walinya Kaldera, lo udah selidikin?” tanya Romeo.

Raegan pun mengangguk. Pria jangkung itu meraih gelas berisi air mineral miliknya di meja, lalu Raegan meneguk isinya sampai habis dengan satu kali tegukan. “Gue udah minta Arjuna buat cari tau, tapi sejauh ini semuanya keliatan baik-baik aja,” ujar Raegan, ia meletakkan kembali gelas kosongnya di atas meja.

Ketika netra Raegan bertemu dengan Romeo, sahabatnya itu seolah tahu apa yang tengah Raegan pikirkan. Tidak mungkin seorang mantan ketua mafia seperti Raegan tidak menyimpan kecurigaan terhadap hal yang meskipun itu tidak mengundang tanda tanya sekali pun. Hal-hal yang mulai tercium baunya, sudah biasa mereka dapati ketika menjadi mafia dan mereka pasti akan langsung menyelidikinya. Mereka akan mencari tahu tuntas sampai ke akar-akarnya. Seorang mafia yang handal pasti akan melakukan hal tersebut.

“Lo butuh bantuan untuk cari tau soal walinya Kaldera?” tanya Romeo.

Raegan nampak memikirkan tawaran Romeo sejenak. Kemudian Raegan berdeham, matanya yang sebelumnya tidak menatap Romeo, kini berlai melihat Romeo lurus-lurus. “2 minggu lagi Kaldera akan bersaksi di pengadilan. Gue baru dapat kabar tadi siang kalau kejaksaan udah memutuskan itu.”

“Terus?”

“Kemungkinan sekarang posisi Kaldera nggak aman, karena dia adalah seorang saksi. Gue minta tolong, sebisa mungkin kita fokus ke Kaldera dulu. Soal walinya Kaldera, gue bakal minta bodyguard gue untuk terus pantau.”

Romeo lantas memicingkan matanya. Raegan memang belum memberitahu lebih jauh tentang walinya Kaldera, tapi Romeo sudah bisa mencium arah kecurigaan Raegan terhadap satu-satunya anggota keluarga yang dimiliki Kaldera itu. Selain itu lawan mereka bukan juga sembarang orang. Leonel Nathan Tarigan adalah ketua mafia Tacenda yang menguasai area barat, yang mana terkenal cukup kuat dan berpengaruh.

Raegan yakin, Leonel pasti telah menyiapkan sesuatu dan tidak sedang bersantai-santai dengan duduk di atas kursinya sambil mengangkat kedua kaki. Seorang mafia pasti memiliki backing yang kuat yang melindungi geng mereka dari jeratan hukum, maka dari itu iika ingin melawan mafia, maka cara terbaik adalah dengan menjadi mafia itu sendiri.

“Gue nggak ingin Kaldera kecewa sama gue,” ucap Raegan tiba-tiba. Ketika kembali menjadi seorang mafia, maka Raegan harus siap kalau hidup orang-orang yang ia sayangi terancam bahaya. Itu adalah konsekuensinya, tapi Raegan juga tidak punya pilihan lain. Selain anggota The Ninety Seven, keluarganya, serta kekasihnya, tidak ada yang tahu bahwa Raegan adalah mantan ketua geng mafia. Raegan ingin merahasiakan identitasnya tersebut dari Kaldera. Selain untuk menjamin keselamatan Kaldera, sikap Kaldera yang telah mempercayainya, yang akhirnya membuat Raegan tidak ingin suatu hari Kaldera kecewa terhadap pekerjaannya.

“Bro, lo bener-bener sayang sama Kaldera ya,” celetuk Romeo.

Tatapan Raegan yang sebelumnya menatap ke lantai, kini tatapan lelaki itu beralih lagi pada Romeo. Romeo sudah lama mengenal Raegan, jadi ia tahu bahwa dari tatapan sahabatnya itu, seperti ada perasaan lain yang lebih dari perasaan seorang kakak yang menyayangi adiknya.

“Gue cuma ngelakuin apa yang diamanatkan Zio. Nggak lebih dari itu,” ujar Raegan begitu Romeo terus mendesaknya untuk jujur terhadap perasaannya sendiri.

Seperti yang diinginkan oleh Redanzio, Raegan akan mencoba melindungi Kaldera dengan seluruh kemampuan yang ia miliki. Raegan memang telah menyayangi Kaldera, tapi perasaan itu tidak lebih dari rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya.

“Lo bisa bohong sama diri lo sendiri, tapi lo nggak bisa bohong sama gue,” ujar Romeo. Apa yang dikatakan Romeo terasa benar adanya. Romeo sudah seperti bayangan bagi Raegan yang selalu mengikutinya, dan sejauh ini Raegan tidak pernah bisa membohongi Romeo.

“Pembicaraan kita selesai sampai di sini. Gue mau nganter Kaldera pulang dulu,” Raegan beranjak dari duduknya dan mengabaikan ucapan Romeo tentang perasaannya terhadap Kaldera.

Awalnya Raegan berpikir semua yang ia lakukan hanya sebagai bentuk pengganti kasih sayang yang ia ingin berikan pada Zio, yakni dengan menganggap Kaldera sebagai adiknya dan menyayanginya. Namun sepertinya sekarang Raegan meragukan dirinya sendiri. Perlahan-lahan hatinya mulai memberitahu kebenaran akan perasaannya terhadap Kaldera. Namun kembali lagi, pikiran realistis Raegan berusaha terus menyangkal. Apalagi Raegan telah memiliki kekasih. Rasanya mustahil Raegan jatuh cinta pada perempuan lain di saat hatinya telah diisi oleh seseorang. Ibarat sebuah gelas yang telah terisi penuh dengan air, jika gelas tersebut diisi lagi hingga air sebelumnya tumpah, maka dapat timbul bencana dan masalah. Bukankah begitu?

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

TW // sex*al harassment

Kaldera mendapati kenyataan bahwa dirinya telah ditukar dengan uang senilai 500 juta oleh tantenya sendiri. Kasarnya tantenya telah menjualnya kepada sebuah komplotan penjahat.

Mereka membawa Kaldera dan selama perjalanan matanya ditutup. Kini Kaldera telah berada di sebuah kamar dengan satu buah kasur king size dan sebuah lemari tinggi yang hampir menyentuh langit-langitnya.

Kaldera ketakutan dan tengah menangis tanpa suara. Ia tidak bisa kabur dari sini atau pun melawan sedikit pun. Di tengah-tengah isakannya itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Kaldera segera melihat ke arah pintu dan bersikap was-was. Di sana Kaldera akhirnya melihat sosok pria yang berusia sekitar 30 tahunan. Tubuhnya tinggi, garis wajahnya tegas, dan mata elang dengan iris coklat gelap itu tengah menatap tajam ke arahnya.

Leonel

Kini hanya tersisa jarak sekitar 3 centi di antara pria itu dan Kaldera. Kaldera membuang wajahnya, ia tidak sudi ditatap oleh pria itu. Pria itu lantas berdeham dan berujar di dekat wajah Kaldera. “Tadinya aku ingin langsung menghabisimu. Tapi sepertinya bermain-main dulu tidak ada salahnya. Kamu cantik, oh tidak. Kamu sangat cantik rupanya.”

Bisikan pria itu di telinga Kaldera membuatnya jijik. Kaldera tidak sudi melihat lelaki itu barang sedikit pun. Mendapati Kaldera terlihat ketakutan dan tubuhnya bergetar ketika Leonel menyentuh bahunya, membuat Leonel seketika mengulaskan senyum picik di wajahnya.

“Kamu punya wajah yang cantik, Kaldera. Tidak sia-sia aku menghabiskan uang 500 juta untuk membelimu,” ujar pria itu lagi.

“Ohya, satu lagi. Wajah ini rupanya yang jadi alasan Raegantara begitu melindungimu. Gadis secantik kamu tentu menjadi favoritnya.”

Begitu Leonel mengakhiri kalimatnya, Kaldera segera menoleh. Kaldera menatap Leonel dengan tatapan penuh kebenciannya. “Jangan pernah samain diri kamu sama dia. Kalian jauh berbeda,” ucap Kaldera.

“Ohya?” tanya Leonel sembari menaikkan satu alisnya. “Apa kamu sebegitu yakinnya? Dia hanya memanfaatkan kamu untuk membalas dendamnya. Setelah itu kamu akan berakhir menjadi pemuas nafsunya. Tapi aku akan mendapatkannya lebih dulu darimu malam ini, Cantik,” ucap Leonel dengan satu kali tarikan napas.

Leonel kemudian meraih pergelangan tangan Kaldera dan menariknya secara paksa. Kaldera pun meronta berusaha melempaskan diri, tapi aksi itu justru yang membuat kulit tangannya kini terasa perih.

“Kamu hanya perlu jadi gadis penurut malam ini,” bisik Leonel di dekat telinga Kaldera.

Leonel lantas menyeret Kaldera ke atas kasur, lalu pria itu memposisikan tubuh Kaldera dibawahnya sementara Leonel bergerak untuk berada di atas Kaldera.

Kaldera merasakan tangan Leonel tengah membelai surainya. Kaldera menahan isak tangisnya untuk tidak lolos, tapi sekuat apa pun dirinya mencoba, air matanya terus mengalir begitu saja.

“Beritahu lokasi markas mereka sekarang,” ucap Leonel.

Kaldera yang bungkam dan tidak berniat membuka mulutnya sama sekali, akhirnya membuat Leonel tampak geram.

“Kamu cukup keras kepala ternyata,” hardik Leonel lagi. Pria itu lantas meraih rahang Kaldera dengan satu tangannya, memaksa Kaldera untuk berbicara.

Leonel tampak kesal karena sikap Kaldera itu. Jiwanya seperti terbakar oleh amarah dengan begitu mudahnya. Leonel tidak menyangka gadis ini lebih mementingkan orang lain, jelas-jelas nyawanya sedang dipertaruhkan.

Rasa sakit di pipi Kaldera rasanya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Membayangkan dirinya akan habis malam ini di tangan Leonel, membuat Kaldera kalut. Namun di satu sisi, Kaldera juga tidak ingin membuat Leonel merasa menang dengan memberitahu lokasi markas The Ninety Seven.

“Dengar, Kaldera,” ujar Leonel. Pria itu menatap Kaldera lekat dan kembali meraih rahang Kaldera dengan kasar. “Kalau kamu tidak mau mengatakannya, aku yang akan membuat kamu tidak punya pilihan.”

Leonel lantas melepas tuxedo hitam yang membalut tubuhnya, menyisakan sebuah kemeja putih melekat pas di tubuhnya. Leonel tidak melepaskan sedetik pun pandangannya dari Kaldera seiring ia menanggalkan rolex dari pergelangan tangannya.

Kaldera segera bergerak mundur di atas kasur, hingga kepalanya hampir saja membentur header kasur yang keras. Namun aksi Kaldera itu tidak sama sekali membuat Leonel kesulitan. Dengan gerakan cepat, Leonel dapat meraih tubuh Kaldera untuk mendekat padanya.

Hembusan napas Leonel terasa menyapu permukaan kulit wajah Kaldera. Saat Leonel akan mencumbu paksa Kaldera, dengan cepat Kaldera bergerak menghindar. Napas Kaldera berkejaran dan tangisan kerasnya pecah saat itu juga.

“Kalau kamu menghindar seperti ini, jangan salahkan kalau aku menggunakan cara yang kasar,” ucap Leonel. Pria itu lantas bergerak ke bawah, ia memaksa Kaldera membuka kedua pahanya. Kaldera meronta kuat, ia tidak akan membiarkan Leonel mendapatkan apa pun darinya.

Satu persatu Leonel akhirnya melepaskan pakaian di tubuh Kaldera. Pertama adalah baju tidur dengan kancing-kancing itu. Leonel melepasnya paksa dari sana yang mana membuat Kaldera kesakitan karena ia juga melakukan perlawanan. Kini tubuh Kaldera tinggal hanya menggunakan sebuah tanktop putih. Leonel tersenyum menyeringai, ia lalu mengarahkan tangannya untuk menurunkan tali tanktop itu. Leonel memberikan usapan menggelitik di lengan polos Kaldera yang terasa halus ketika bersentuhan dengan kulit tangannya.

Leonel tertawa pelan dan senyum smirk tercetak di wajah tegasnya. “Apa jadinya kalau Raegantara tau aku telah menyentuh kesayangannya ini.”

Kaldera sama sekali tidak ingin menatap Leonel, meski berkali-kali pria itu menyentak dagunya agar Kaldera melihatnya. Area di sekitar dagu Kaldera kini nampak memerah berkat sentuhan kasar tangan Leonel di sana.

Leonel tampak tidak peduli dan seolah kewarasan di dalam dirinya telah hilang. Pria itu bergerak menurunkan celana tidur Kaldera sampai sebatas pahanya. Akhirnya celana itu tanggal, menyisakan sebuah celana ketat sebatas paha yang menutupi tubuh bagian bawah Kaldera.

Saat Leonel akan bergerak mencumbu leher Kaldera, saat itu juga sebuah bunyi gebrakan di pintu terdengar. Detik berikutnya yang terjadi adalah Leonel tersungkur ke lantai berkat dorongan sekaligus tendangan kuat dari seseorang. Kaldera melihat ke arah orang itu dan ia mendapati Raegan berada di sana. Ekspresi Raegan diliputi oleh amarah yang begitu kentara, hingga Kaldera seoleh melihat orang lain yang seperti bukan Raegan yang ia kenal.

Bastard!” Raegan menghampiri Leonel yang tersungkur dan segera meraih kerah kemeja pria itu. Raegan mencengkeram kerah kemeja Leonel, lalu dengan satu tangannya yang bebas, Raegan melayangkan pukulan kuat di wajah pria itu.

Leonel yang mendapat serangan itu justru menyunggingkan sebuah senyum tipis di wajahnya. Leonel lantas bertepuk tangan di depan wajah Raegan. “Raegantara Rahagi, are you mad for it? Heared me out, I touched her with my hand,” ujar Leonel seraya menunjukkan tangannya di depan Raegan dan pria itu tertawa rendah.

Usai Leonel mengucapkannya, Raegan rupanya tidak datang sendiri. Kamar itu lantas dikepung oleh anggota geng Raegan yang tidak berjumlah sedikit. Mereka memenuhi tempat itu dan bergerak untuk menghabisi Leonel. Leonel tidak menampakkan keterkejutannya atau bahkan lari karena merasa terpojok. Karena detik setelahnya, anggota gengnya pun juga datang untuk siap bertarung dengan anggota Raegan.

Raegan memerintahkan anggotanya untuk mengurus situasi sementara ia akan menyelamatkan Kaldera. Raegan beralih pada Kaldera yang masih berada di atas kasur. Raegan berlutut di sisi kasur itu dan menatap Kaldera dengan tatapan lembutnya.

“Kal, izinin aku buat bantu kamu. It’s not gonna hurt you. I'm promise,” ujar Raegan pelan.

Kaldera dengan cepat mengangguk. Raegan akhirnya segera mencari sesuatu untuk menutupi tubuh Kaldera. Setelah menyelimuti tubuh Kaldera dengan sebuah selimut putih, Raegan menyelipkan tangannya lekukan kaki Kaldera dan satu lagi di balik punggungnya. Raegan menggendong Kaldera di dekapannya dengan perlahan, seolah Kaldera adalah hartanya yang paling berharga.

Kaldera melihat kejadian itu di depan matanya. Kaldera menyaksikan bagaimana anggota geng Raegan menyerang geng Leonel. Mereka saling memukul dan bahkan ada yang menggunakan senjata. Kaldera memejamkan matanya, guna menghalau semua rasa sakit yang kini menyerang fisik maupun jiwanya.

Begitu Kaldera dan Raegan sampai di mobil, dengan hati-hati Raegan mendudukkan Kaldera di jok depan mobil. Sebelum beralih ke balik kemudi, Raegan merendahkan posisi tubuhnya agar dapat sejajar dengan Kaldera. Kaldera juga menatap Raegan, ia melihat adanya penyesalan dari sorot mata itu.

“Kal, aku minta maaf. Aku hampir aja nggak bisa menjaga kamu,” ucap Raegan.

Kaldera dengan cepat menggeleng. “Mas, kamu nggak perlu minta maaf. Aku udah nggak papa,” ucap Kaldera berdusta. Mungkin saat ini Kaldera sedang tidak baik-baik saja, tapi ia tidak ingin membuat Raegan merasa bersalah terhadapnya.

Raegan lantas meraih tangan Kaldera, lalu ia memberikan usapan lembut di sana. “Kal, aku janji sama kamu. Aku akan memastikan Leonel dihukum sepantas-pantasnya. Kamu bisa pegang ucapan aku.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

TW // sex*al harrasment

Kaldera mendapati kenyataan bahwa dirinya telah ditukar dengan uang senilai 500 juta oleh tantenya sendiri. Kasarnya tantenya telah menjualnya kepada sebuah komplotan penjahat.

Mereka membawa Kaldera dan selama perjalanan matanya ditutup. Kini Kaldera telah berada di sebuah kamar dengan satu buah kasur king size dan sebuah lemari tinggi yang hampir menyentuh langit-langitnya.

Kaldera ketakutan dan tengah menangis tanpa suara. Ia tidak bisa kabur dari sini atau pun melawan sedikit pun. Di tengah-tengah isakannya itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Kaldera segera melihat ke arah pintu dan bersikap was-was. Di sana Kaldera akhirnya melihat sosok pria yang berusia sekitar 30 tahunan. Tubuhnya tinggi, garis wajahnya tegas, dan mata elang dengan iris coklat gelap itu tengah menatap tajam ke arahnya.

Leonel

Kini hanya tersisa jarak sekitar 3 centi di antara pria itu dan Kaldera. Kaldera membuang wajahnya, ia tidak sudi ditatap oleh pria itu. Pria itu lantas berdeham dan berujar di dekat wajah Kaldera. “Tadinya aku ingin langsung menghabisimu. Tapi sepertinya bermain-main dulu tidak ada salahnya. Kamu cantik, oh tidak. Kamu sangat cantik rupanya.”

Bisikan pria itu di telinga Kaldera membuatnya jijik. Kaldera tidak sudi melihat lelaki itu barang sedikit pun. Mendapati Kaldera terlihat ketakutan dan tubuhnya bergetar ketika Leonel menyentuh bahunya, membuat Leonel seketika mengulaskan senyum picik di wajahnya.

“Kamu punya wajah yang cantik, Kaldera. Tidak sia-sia aku menghabiskan uang 500 juta untuk membelimu,” ujar pria itu lagi.

“Ohya, satu lagi. Wajah ini rupanya yang jadi alasan Raegantara begitu melindungimu. Gadis secantik kamu tentu menjadi favoritnya.”

Begitu Leonel mengakhiri kalimatnya, Kaldera segera menoleh. Kaldera menatap Leonel dengan tatapan penuh kebenciannya. “Jangan pernah samain diri kamu sama dia. Kalian jauh berbeda,” ucap Kaldera.

“Ohya?” tanya Leonel smebari menikkan satu alisnya. “Apa kamu sebegitu yakinnya? Dia hanya memanfaatkan kamu untuk membalas dendamnya. Setelah itu kamu akan berakhir menjadi pemuas nafsunya. Tapi aku akan mendapatkannya lebih dulu darimu malam ini, Cantik,” ucap Leonel dengan satu kali tarikan napas.

Leonel kemudian meraih pergelangan tangan Kaldera dan menariknya secara paksa. Kaldera pun meronta berusaha melempaskan diri, tapi aksi itu justru yang membuat kulit tangannya kini terasa perih.

“Kamu hanya perlu jadi gadis penurut malam ini,” bisik Leonel di dekat telinga Kaldera.

Leonel lantas menyeret Kaldera ke atas kasur, lalu pria itu memposisikan tubuh Kaldera dibawahnya sementara Leonel bergerak untuk berada di atas Kaldera.

Kaldera merasakan tangan Leonel tengah membelai surainya. Kaldera menahan isak tangisnya untuk tidak lolos, tapi sekuat apa pun dirinya mencoba, air matanya terus mengalir begitu saja.

“Beritahu lokasi markas mereka sekarang,” ucap Leonel.

Kaldera yang bungkam dan tidak berniat membuka mulutnya sama sekali, akhirnya membuat Leonel tampak geram.

“Kamu cukup keras kepala ternyata,” hardik Leonel lagi. Pria itu lantas meraih rahang Kaldera dengan satu tangannya, memaksa Kaldera untuk berbicara.

Leonel tampak kesal karena sikap Kaldera itu. Jiwanya seperti terbakar oleh amarah dengan begitu mudahnya. Leonel tidak menyangka gadis ini lebih mementingkan orang lain, jelas-jelas nyawanya sedang dipertaruhkan.

Rasa sakit di pipi Kaldera rasanya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Membayangkan dirinya akan habis malam ini di tangan Leonel, membuat Kaldera kalut. Namun di satu sisi, Kaldera juga tidak ingin membuat Leonel merasa menang dengan memberitahu lokasi markas The Ninety Seven.

“Dengar, Kaldera,” ujar Leonel. Pria itu menatap Kaldera lekat dan kembali meraih rahang Kaldera dengan kasar. “Kalau kamu tidak mau mengatakannya, aku yang akan membuat kamu tidak punya pilihan.”

Leonel lantas melepas tuxedo hitam yang membalut tubuhnya, menyisakan sebuah kemeja putih melekat pas di tubuhnya. Leonel tidak melepaskan sedetikpun pandangannya dari Kaldera seiring ia menanggalkan dasi dan rolex di pergelangan tangannya.

Kaldera segera bergerak mundur di atas kasur, hingga kepalanya hampir saja membentur header kasur yang keras. Namun aksi Kaldera itu tidak sama sekali membuat Leonel kesulitan. Dengan gerakan cepat, Leonel dapat meraih tubuh Kaldera untuk mendekat padanya.

Hembusan napas Leonel terasa menyapu permukaan kulit wajah Kaldera. Saat Leonel akan mencumbu paksa Kaldera, dengan cepat Kaldera bergerak menghindar. Napas Kaldera berkejaran dan tangisan kerasnya pecah saat itu juga.

“Kalau kamu menghindar seperti ini, jangan salahkan kalau aku menggunakan cara yang kasar,” ucap Leonel. Pria itu lantas bergerak ke bawah, ia memaksa Kaldera membuka kedua pahanya. Kaldera meronta kuat, ia tidak akan membiarkan Leonel mendapatkan apa pun darinya.

Satu persatu Leonel akhirnya melepaskan pakaian di tubuh Kaldera. Pertama adalah baju tidur dengan kancing-kancing itu. Leonel melepasnya paksa dari sana yang mana membuat Kaldera kesakitan karena ia juga melakukan perlawanan. Kini tubuh Kaldera tinggal hanya menggunakan sebuah tanktop putih. Leonel tersenyum menyeringai, ia lalu mengarahkan tangannya untuk menurunkan tali tanktop itu. Leonel memberikan usapan menggelitik di lengan polos Kaldera yang terasa halus ketika bersentuhan dengan kulit tangannya.

Leonel tertawa pelan dan senyum smirk tercetak di wajah tegasnya. “Apa jadinya kalau Raegantara tau aku telah menyentuh kesayangannya ini.”

Kaldera sama sekali tidak ingin menatap Leonel, meski berkali-kali pria itu menyentak dagunya agar Kaldera melihatnya. Area di sekitar dagu Kaldera kini nampak memerah berkat sentuhan kasar tangan Leonel di sana.

Leonel tampak tidak peduli dan seolah kewarasan di dalam dirinya telah hilang. Pria itu bergerak menurunkan celana tidur Kaldera sampai sebatas pahanya. Akhirnya celana itu tanggal, menyisakan sebuah celana ketat sebatas paha yang menutupi tubuh bagian bawah Kaldera.

Saat Leonel akan bergerak mencumbu leher Kaldera, saat itu juga sebuah bunyi gebrakan di pintu terdengar. Detik berikutnya yang terjadi adalah Leonel tersungkur ke lantai berkat dorongan sekaligus tendangan kuat dari seseorang. Kaldera melihat ke arah orang itu dan ia mendapati Raegan berada di sana. Ekspresi Raegan diliputi oleh amarah yang begitu kentara, hingga Kaldera seoleh melihat orang lain yang seperti bukan Raegan yang ia kenal.

Bastard!” Raegan menghampiri Leonel yang tersungkur dan segera meraih kerah kemeja pria itu. Raegan mencengkeram kerah kemeja Leonel, lalu dengan satu tangannya yang bebas, Raegan melayangkan pukulan kuat di wajah pria itu.

Leonel yang mendapat serangan itu justru menyunggingkan sebuah senyum tipis di wajahnya. Leonel lantas bertepuk tangan di depan wajah Raegan. “Raegantara Rahagi, are you mad for it? Heared me out, I touched her with my hand,” ujar Leonel seraya menunjukkan tangannya di depan Raegan dan pria itu tertawa rendah.

Usai Leonel mengucapkannya, Raegan rupanya tidak datang sendiri. Kamar itu lantas dikepung oleh anggota geng Raegan yang tidak berjumlah sedikit. Mereka memenuhi tempat itu dan bergerak untuk menghabisi Leonel. Leonel tidak menampakkan keterkejutannya atau bahkan lari karena merasa terpojok. Karena detik setelahnya, anggota gengnya pun juga datang untuk siap bertarung dengan anggota Raegan.

Raegan memerintahkan anggotanya untuk mengurus situasi sementara ia akan menyelamatkan Kaldera. Raegan beralih pada Kaldera yang masih berada di atas kasur. Raegan berlutut di sisi kasur itu dan menatap Kaldera dengan tatapan lembutnya.

“Kal, izinin aku buat bantu kamu. It’s not gonna hurt you. I'm promise,” ujar Raegan pelan.

Kaldera dengan cepat mengangguk. Raegan akhirnya segera mencari sesuatu untuk menutupi tubuh Kaldera. Setelah menyelimuti tubuh Kaldera dengan sebuah selimut putih, Raegan menyelipkan tangannya lekukan kaki Kaldera dan satu lagi di balik punggungnya. Raegan menggendong Kaldera di dekapannya dengan perlahan, seolah Kaldera adalah hartanya yang paling berharga.

Kaldera melihat kejadian itu di depan matanya. Kaldera menyaksikan bagaimana anggota geng Raegan menyerang geng Leonel. Mereka saling memukul dan bahkan ada yang menggunakan senjata. Kaldera memejamkan matanya, guna menghalau semua rasa sakit yang kini menyerang fisik maupun jiwanya.

Begitu Kaldera dan Raegan sampai di mobil, dengan hati-hati Raegan mendudukkan Kaldera di jok depan mobil. Sebelum beralih ke balik kemudi, Raegan merendahkan posisi tubuhnya agar dapat sejajar dengan Kaldera. Kaldera juga menatap Raegan, ia melihat adanya penyesalan dari sorot mata itu.

“Kal, maafin aku. Aku hampir aja nggak bisa menjaga kamu,” ucap Raegan.

Kaldera dengan cepat menggeleng. “Mas, kamu nggak perlu minta maaf. Aku udah nggak papa,” ucap Kaldera berdusta. Mungkin saat ini Kaldera sedang tidak baik-baik saja, tapi ia tidak ingin membuat Raegan merasa bersalah terhadapnya.

Raegan lantas meraih tangan Kaldera, lalu ia memberikan usapan lembut di sana. “Kal, aku janji sama kamu. Aku akan memastikan Leonel dihukum sepantas-pantasnya. Kamu bisa pegang ucapan aku.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Kaldera pulang ke rumahnya dan memikirkan banyak hal di dalam benaknya. Kaldera berpikir tentang Raegan dan perkataan pria itu kepadanya. Raegan tidak akan menyerah untuk membuat Kaldera kembali merasakan cinta. Raegan ingin Kaldera mencintainya. Mereka tidak perlu terburu-buru untuk sampai ke tahap itu. Saat ini mungkin hanya Raegan yang merasakan perasaan cinta tersebut. Namun Raegan berjanji suatu hari nanti, mereka akan merasakan cinta itu berdua dan bisa saling melengkapi satu sama lain.

Setelah akhirnya merasa mengantuk, Kaldera pun memutuskan untuk tidur. Besok masih hari sekolah, Kaldera harus cepat tidur agar tidak terlambat bangun pagi. Saat Kaldera akan meraih gulingnya, sesuatu menahan aksinya itu.

‘Tok! Tok! Tok!’

Terdengar tiga kali ketukan di pintu kamarnya. Kaldera menghembuskan napasnya, matanya kembali terbuka padahal sebelumnya sudah terpejam. Ini jam 10 malam, apakah yang dipikirkan tantenya dengan mengetuk pintu kamarnya sekeras itu malam-malam seperti ini?

Kaldera memutuskan beranjak kasurnya. Kaldera berjalan ke arah pintu dan segera membukanya. Namun belum sempat pintu tersebut terbuka sepenuhnya, Kaldera segera menutup pintu itu lagi. Jantung Kaldera berdegup kencang karena apa yang baru saja dilihatnya di balik pintu. Orang yang mengetuk pintu kamarnya bukanlah tantenya dan Kaldera tidak tahu siapa orang itu.

Ketukan itu kembali terdengar, kali ini terasa lebih keras. Malam ini tantenya sudah pulang bekerja dan tadi memang sudah pergi tidur. Jadi siapa yang ada di balik pintu kamarnya saat ini?

Tanpa berpikir panjang, Kaldera segera mengunci pintu kamarnya. Kaldera berjalan mundur beberapa langkah. Dengan insting kuatnya, Kaldera pun mengambil ponselnya di nakas, membuka room chat kontak teratasnya dan menggenggam ponselnya erat dengan satu tangan.

“Sialan, pintunya dikunci,” seru suara dari luar.

“Hancurkan pintunya dan bawa perempuan itu pada bos segera!” perintah seseorang lagi.

Dua detik berikutnya, suara gebrakan yang begitu kuat terdengar. Kaldera menjauh dan berniat untuk kabur dari jendela. Namun semuanya sudah terlambat. 3 orang pria berbadan tinggi dan kekar telah lebih dulu melihatnya dan menatap menyeringai ke arahnya.

“Kalian siapa? Mau apa kalian di sini?” ujar Kaldera dengan suaranya yang terdengar sedikit gemetar.

“Gadis cantik, kamu tau satu hal? Tante kamu yang memberi kita akses untuk ke sini,” ujar salah satu di antara mereka. Pria itu menatap Kaldera dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Di mana tante saya? Kalian jangan macam-macam ya!” ujar Kaldera dengan berani.

Detik berikutnya Kaldera dibuat bungkam begitu melihat bahwa tantenya ada di sana dan terlihat baik-baik saja. Kaldera yang berpikir bahwa rumah mereka tengah dirampok dan tantenya juga berada dalam bahaya, kenyataannya semua itu salah.

“Tante … ini apa maksudnya?” tanya Kaldera sambil menatap ke arah Laura. Namun Laura tidak mengatakan apa pun, perempuan itu hanya diam dan mengulaskan sebuah senyum tipis di wajahnya. Setelah itu Laura melangkah berbalik, meninggalkan Kaldera sendirian bersama ketiga pria itu.

“Bawa dia dan pastikan kita bisa menggunakannya sebaik mungkin,” ucap salah satu pria yang bertubuh paling tinggi.

Dua orang pria di sana lantas menarik lengan Kaldera secara paksa, mereka membawa Kaldera yang tengah meronta-rontadan berusaha untuk melepaskan diri.

“Tunggu,” ucapan itu menghentikan aksi dua pria yang menarik Kaldera. Pria yang bertubuh paling tinggi dengan potongan rambut under cut itu lantas berbalik dan menatap Kaldera lamat-lamat. Satu tangan pria itu menghela dagu Kaldera, memaksa Kaldera untuk mendongakkan kepala. Kemudian tatapan pria itu turun mencari sesuatu. Ia pun segera menemukan apa yang dicarinya. Kaldera mengikuti arah pandang pria itu dan sadar kalau pria di hadapannya tengah menatap ke arah ponsel yang berada di genggamannya.

“Berikan benda itu,” ucap pria itu.

Kaldera menggeleng kuat, ia berusaha mengeratkan genggamannya di ponselnya. Pria itu lantas berdecih dan dengan kasar berujar, “Kamu harus jadi gadis penurut malam ini. Berikan benda itu atau aku akan menyakitimu.”

Kaldera masih tetep kukuh tidak mau memberikannya. Saat pria itu semakin mendekat padanya, dengan cepat Kaldera melakukan perlawanan dan hampir bisa melepaskan diri. Namun belum sempat langkahnya sampai di pintu, tubuhnya kembali ditarik paksa oleh kedua pria yang sebelumnya mencekalnya.

Kaldera menduga bahwa tujuan utama 3 orang ini bukanlah dirinya. Tujuan mereka adalah seseorang yang Kaldera kenal dan ia dijadikan alat untuk memancing orang itu datang. Kaldera sempat melirik layar ponselnya dan menemukan bahwa Raegan telah menghubunginya sebanyak 2 kali.

“Kalian mau ini, kan? Silakan ambil kalau gitu,” ucap Kaldera. Lantas tepat sebelum pria di hadapannya mengambil benda itu dari tangannya, Kaldera segera melempar ponselnya ke arah jendela rumah. Ponsel itu melayang dengan sangat cepat dan menghantam kaca jendela hingga tembus ke luar rumah. Kaca jendela tersebut sampai hancur dan pecahannya berjatuhan di lantai.

Pria itu nampak kesal karena perbuatan Kaldera. Ia lantas berbalik dan menatap Kaldera dengan tatapan bengisnya seraya berujar, “Dengan atau tanpa benda itu, kami bisa mendapatkan Raegantara dengan tangan kami sendiri. Camkan itu.”

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂

Raegan telah setuju dan mengatakan akan melakukan syarat yang diajukan Kaldera. Raegan akan mencoba melupakan rasa dendam di dalam dirinya. Secara perlahan, meskipun Raegan belum tahu pasti caranya, tapi ia memiliki alasan untuk berusaha melakukannya.

Alasannya adalah Kaldera. Raegan tidak ingin kehilangan Kaldera, ia tidak ingin orang yang disayangi pergi dari hidupnya untuk yang kesekian kali.

Hari ini Raegan menjemput Kaldera sepulang sekolah. Raegan mengajak Kaldera pergi ke suatu tempat dan mengatakan bahwa ada yang ingin Raegan sampaikan pada Kaldera.

Picnic

Destinasi pertama mereka adalah sebuah taman dan mereka akan melakukan piknik. Setelah membeli beberapa makanan, Raegan dan Kaldera berjalan menuju sebuah taman yang masih satu lokasi dengan sebuah pantai. Taman ini terletak di selatan kota, tidak terlalu dekat dengan keramaian, tapi tidak terlalu terpencil juga. Di taman ini pengunjung diperbolehkan untuk berpiknik, karena areanya yang juga lumayan luas.

Udara sore ini tampak cerah. Langit berwana biru terang, awan putih nampak cantik saat dilihat dari bawah sini. Setelah Raegan dan Kaldera memilih sebuah spot untuk mereka tempati, mereka duduk di atas kain yang disewakan oleh pengelola taman ini.

Kaldera mulai membuka tas belanjaan yang berisi makanan yang sudah mereka beli sebelumnya. Kaldera mengambil makanan milik Raegan lebih dulu dan memberikannya kepada pria itu. Baru setelahnya Kaldera akan menyantap makanan miliknya.

Sebenarnya hari ini merupakan acara mendadak. Tadi sepulang sekolah, Raegan menjemput Kaldera dan mengajaknya ke tempat ini. Kaldera tiba-tiba kepikiran tentang apa yang ingin Raegan katakan padanya. Di tengah-tengah pemikirannya itu, pergerakan Raegan dari posisinya mengalihkan pikiran Kaldera. Raegan mengambil sebuah tisu dari dalam tas belanja, mengambilnya satu lembar, lalu mengasurkannya kepada Kaldera.

Dengan bahasa tubuhnya, Raegan menunjuk ke arah ujung bibir Kaldera. Kaldera pun akhirnya mengerti, ia lekas mengambil tisu yang disodorkan Raegan, lalu mengusapkan tisu itu di ujung bibirnya. Pasti ada bekas makanan di sana dan Kaldera cukup malu harus terjebak di tengah situasi seperti ini bersama Raegan.

“Habis ini mau sewa sepeda sebelum ke skywalk?” tanya Raegan. Raegan telah telah menyelesaikan kegiatan makannya dan kini pria itu tengah menatap Kaldera yang masih menyantap makanannya.

“Emangnya ada sewa sepeda deket sini Mas?” tanya Kaldera.

“Ada kok, nggak jauh dari sini. Gimana, kamu mau?”

Kaldera pun segera menganggukkan kepala dengan antusias. “Mau,” ucapnya spontan. Nadanya suara Kaldera begitu bersemangat kala mengucapkannya. Sebuah senyum juga seraya terukir di wajah cantik itu.

“Oke,” ucap Raegan kemudian. Menyaksikan senyum Kaldera hari ini, membuat Raegan ikut tersenyum. Ujung-ujung bibir Raegan tidak kuasa untuk saling menarik satu sama lain.

***

Setelah piknik, Kaldera dan Raegan memang berencana untuk pergi ke skywalk. Raegan mengatakan bahwa ia ingin mengambil foto pemandangan malam hari di sana. Namun Raegan teringat bahwa Kaldera suka naik sepeda. Raegan mengetahui hal tersebut saat ia pergi ke kamar Zio dan menemukan foto polaroid yang Zio simpan apik di laci mejanya. Ada momen di mana Zio dan Kaldera naik sepeda bersama. Di balik polaroid itu, ada sebuah catatan kecil yang ditulis oleh Zio. Zio menuliskan bahwa Kaldera sangat suka naik sepeda. Jadi Raegan berniat mewujudkan kegiatan itu untuk Kaldera. Raegan ingin membuat Kaldera bisa tersenyum dan kembali bahagia seperti sediakala. Meskipun mungkin tidak akan pernah sama dengan saat sebelum Zio pergi.

Sepedaan

Raegan dan Kaldera menyewa dua buah sepeda. Mereka berkeliling di sekitar area taman sampai pantai, tepatnya di atas jalanan khusus untuk sepeda mau pun skuter listrik yang disewakan.

Kegiatan sederhana selama kurang lebih 30 menit itu rupanya mampu membuat Kaldera merasa bahagia. Saat matahati sudah mulai terbenam, Kaldera dan Raegan memutuskan untuk menyudahi kegiatan mereka. Sebelum berjalan menuju mobil, mereka membeli minum di pedagang kaki lima untuk meredakan dahaga yang tengah menyerang.

Tidak lama kemudian, keduanya telah berada di dalam perjalanan untuk menuju skywalk. Selama di dalam mobil, Kaldera memikirkan sesuatu. Rasanya Kaldera baru saja menemukan dirinya yang baru, versi dirinya yang sudah mulai bisa menerima kepergian orang yang dicintainya. Dirinya seperti hilang sejak kepergian Zio.

“Mas,” ucap Kaldera.

Raegan lantas menoleh kepada Kaldera. Mereka baru saja sampai dan Raegan menarik rem tangan saat mobilnya telah terparkir dengan sempurna.

“Kenapa Kal?” tanya Raegan.

Kaldera kemudian menatap Raegan lurus-lurus, pandangannya terasa begitu penuh makna. “Makasih ya untuk hari ini,” ungkap Kaldera, nadanya terdengar begitu tulus. Tanpa perlu menjelaskan maksud rasa terima kasih itu, Raegan dapat mengerti alasan Kaldera mengatakannya.

Raegan lantas mengulaskan senyum segarisnya. Mungkin Kaldera belum mengetahuinya. Raegan ingin membuat Kaldera bahagia bukan semata karena amanat dari Zio, tapi ada alasan lain yang mendasari hal tersebut.

Raegan melakukannya karena perlahan ia mulai mencintai Kaldera. Raegan melihat Kaldera sebagai seorang perempuan. Rasa sayang Raegan pada Kaldera telah melebihi kasih sayang seorang kakak kepada adiknya.

***

Sebelum berjalan menuju area skywalk, Kaldera menunggu Raegan mengambil sesuatu dari jok belakang mobil. Tidak lama saat Raegan kembali, Kaldera mendapati lelaki itu membawa sebuah blazer jaket berwarna abu-abu di tangannya.

Raegan menyodorkan jaket itu, meminta Kaldera untuk memakainya. Kaldera belum menerima sodoran itu, ia justru melempar tatapan bertanya kepada Raegan.

“Ini udah malem dan anginnya lumayan kenceng. Kamu pakai jaket aku ya,” ujar Raegan.

Kaldera akhirnya menerima jaket itu dan memakainya. Setelah itu Kaldera mulai mengikuti langkah Raegan. Langkah Kaldera sedikit melambat di belakang Raegan, membuat Raegan akhirnya ikut melambatkan langkahnya agar bisa sejajar dengan Kaldera. Entah mengapa Kaldera menjadi gugup. Jantung Kaldera berdetak lebih kencang dari biasanya. Padahal tadi masih normal-normal saja. Ini terjadi sejak saat Raegan memberikan jaketnya untuk dipakai oleh Kaldera.

Setelah Raegan dan Kaldera membeli 2 buah cemilan sebagai syarat untuk masuk ke tempat itu, mereka kini tengah berjalan di skywalk atau biasa disebut jembatan layang yang menyuguhkan pemandangan luar biasa itu.

Senayan Skywalk

Kaldera tahu tempat ini, tapi ia mengatakan pada Raegan bahwa dirinya belum pernah ke sini. Jembatan layang yang terletak di metropolitan kota ini memang dibuka untuk umum. Saat malam hari, pengunjung sedang ramai-ramainya. Tentu yang menjadi incaran mereka adalah pemandangan kota yang cantik. Bertabur lampu-lampu jalanan dan lampu dari gedung-gedung, destinasi ini menjadi sangat menarik untuk dikunjungi, terutama pada saat malam hari.

Kaldera menikmati cemilannya dengan seksama. Dalam hatinya, Kaldera berusaha menepis segala pemikirannya tentang sikap Raegan yang belakangan ini sedikit berbeda terhadapnya. Begitu Kaldera menoleh ke arah Raegan, pria itu rupanya juga tengah menatapnya. Mereka sama-sama canggung akhirnya. Kaldera menahan senyumnya, Raegan pun terlihat terkekeh pelan. Kaldera memperhatikan dua buah lesung pipi Raegan yang terlihat ketika pria itu tersenyum.

Sekitar kurang lebih 10 menit kemudian, Raegan telah menghabiskan cemilannya lebih dulu. Pria itu mengatakan pada Kaldera akan kembali setelah membuang sampah bungkus makanannnya. Tanpa Kaldera sadari, tujuan Raegan bukan hanya untuk membuang sampah, melainkan ia sekalian ingin mengambil potret Kaldera bersama pemandangan di sini.

Senyum Raegan lantas mengembang, ketika ia menatap hasil jepretan di ponselnya yang begitu cantik. Lampu dan pemandangan di sini memang indah, tapi sosok yang bersama Raegan malam ini lebih indah dari pada apa pun.

Kaldera & Raegan at Skywalk

“Kal,” ujar Raegan begitu pria itu kembali.

“Iya Mas?” Kaldera pun menoleh dan mendapati Raegan di sampingnya.

“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucap Raegan.

Raegan berusaha menatap mata Kaldera. Raegan yang selama ini mudah saja menatap mata itu, tapi kali ini hal tersebut terasa sulit untuk ia lakukan. Jantung Raegan berdegup cukup kencang dan ia merasa gugup. Bahkan angin malam di sini tidak mampu menghalau hawa hangat yang tiba-tiba Raegan rasakan di kulit wajahnya.

Kaldera tengah memberikan seluruh atensinya kepada Raegan. Kaldera menunggu Raegan mengatakannya. Kedua alis Kaldera nampak menyatu kala ia mendapati rona wajah Raegan yang memerah, kontras sekali dengan kulit putihnya.

Akhirnya Raegan berani menatap mata itu. Kini pandangannya hanya tertuju pada Kaldera, seolah orang-orang yang berlalu di sekitar mereka tidak berarti baginya.

“Kaldera, I have a feeling on you,” ucap Raegan. Raegan meraih satu tangan Kaldera yang bebas. Raegan menggenggam tangan kecil itu, lalu ia kembali melanjutkan perkataannya. “Aku sayang kamu, Kal. Perasaan aku ke kamu lebih dari perasaan sayang seorang kakak untuk adiknya. Aku melihat kamu sebagai seorang perempuan, bukan seorang adik.” Raegan menjeda ucapannya sesaat. Raegan memperhatikan reaksi Kaldera setelah mendengar penuturannya. Ada keterkejutan di wajah itu serta sebuah kebimbangan.

Kaldera pun masih membiarkan Raegan menggenggam tangannya. Tangan besar yang selama ini tidak pernah Kaldera bayangkan akan menggenggam tangannya seperti ini, bahkan dalam mimpi terliarnya sekalipun, Namun hari ini Kaldera mendapati itu dan cukup membuatnya terkejut.

“Mas, aku—” ucapan Kaldera menggantung. Kaldera dan Raegan hanya saling menatap selama beberapa detik tanpa mengucapkan apa pun.

Kaldera akhirnya membuka mulutnya dan ia berujar, “Barusan itu serius? Maksud aku … tadi itu—” Kaldera tidak dapat melanjutkan perkataannya, lebih tepatnya ia bingung bagaimana harus menyusun kalimatnya.

Raegan segera mengangguk untuk meyakinkan Kaldera bahwa ucapannya sungguh-sungguh. “Aku nggak tahu sejak kapan perasaan itu muncul. Tapi aku ingin kamu tau perasaanku,” tutur Raegan.

Kaldera merasakan genggaman tangan Raegan di tangannya mengerat. Dari tatapan Raegan, Kaldera dapat melihat ketulusan yang begitu besar yang terpancar dari sana. Namun Kaldera tidak bisa membalas perasaan itu. Lebih tepatnya, Kaldera tidak pernah berpikir bahwa dirinya bisa menyayangi Raegan sebagai seorang pria.

“Mas, aku udah menganggap kamu sebagai seorang kakak. I can’t imagine that I can love you as a man,” ucap Kaldera apa adanya. Secara perlahan Kaldera melepaskan tangannya dari genggaman tangan Raegan. Beberapa detik keduanya pun saling terdiam. Mereka sama-sama mengalihkan pandangan ke arah lain dan entah apa yang ada di pikiran masing-masing.

“Kal, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Raegan memecah kebungkaman mereka. Seketika Kaldera pun kembali menoleh dan menatap Raegan.

“Boleh. Kamu mau tanya apa?”

“Apa Redanzio masih ada di hati kamu?” Mungkin Raegan akan menyesali pertanyaan yang ia utarakan itu. Namun Raegan lebih ingin mengetahuinya secara langsung dari Kaldera. “Kal, apa itu yang membuat kamu nggak bisa memulai untuk mencintai lelaki lain?” tanya Raegan lagi.

Pertanyaan Raegan seketika membuat Kaldera menundukkan pandangannya. Kaldera bertanya-tanya dalam hatinya sendiri. Apakah benar ia telah menutup hati karena masih mencintai Zio? Atau ada alasan lain? Seketika hati Kaldera membisikkan sesuatu. Kaldera takut terperangkap pada perasaan trauma akan cinta yang akhirnya hanya memberikan rasa sakit. Terlebih saat kita harus berakhir kehilangan seseorang yang kita cintai.

Benar. Kaldera hanya takut untuk kembali memulai. Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, mengapa harus Raegan? Mengapa harus sosok yang ketika Kaldera bersamanya, Kaldera dapat selalu teringat akan sosok Zio?

Kaldera lantas kembali mendongak, ia menatap Raegan tepat di iris legam pria itu. “Mas, Zio emang masih ada di hati aku. Aku pikir gampang melupakan perasaan itu saat Zio udah nggak ada, tapi aku salah. Aku masih mencintai Zio,” ungkap Kaldera.

Raegan akhirnya mengangguk mengerti. Raegan tidak ingin memaksa Kaldera untuk membuka hati untuknya.

“Kal,” ucap Raegan kemudian. Ketika Kaldera balas menatapnya, Raegan mengunci pandangan itu.

“Aku nggak ingin memaksa kamu,” Raegan kembali meraih tangan Kaldera, ia menggenggamnya dan mengusapkan ibu jarinya dengan lembut di atas punggung tangan Kaldera. “Kal, aku akan berusaha membuat kamu pelan-pelan membuka hati, membuat kamu jatuh cinta lagi. Aku akan menunggu kamu selama apa pun itu.”

Kaldera mencoba menatap mata Raegan. Dari tatapan itu, Kaldera akhirnya melihat ketulusan dan tidak ada nada memaksa dari ucapan Raegan. Raegan mengatakan akan membiarkan Kaldera sembuh dari rasa sakitnya terlebih dulu. Perlahan-lahan Raegan juga akan menunjukkan kesungguhan perasaannya terhadap Kaldera. Raegan ingin membuat Kaldera kembali membuka hati dan merasakan perasaan cinta yang tulus, perasaan cinta yang datang dari lubuk hatinya yang terdalam.

***

Terima kasih telah membaca The Expert Keeper 🔮

Silakan beri dukungan untuk The Expert Keeper supaya bisa lebih baik kedepannya. Support dari kalian sangat berarti untuk author dan tulisannya 💜

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya yaa~ 🥂