alyadara

Seseorang yang Ada di Hatinya

2 hari kemudian.

Lilie sudah kembali bekerja setelah kondisinya cukup dirasa baik. Edgar akhirnya tahu fakta bahwa Lilie menolak Marcel malam itu. Cerita Lilie pada Edgar berakhir dengan Lilie yang mengatakan bahwa di acara ulang tahun kantor, Marcel meminta kembali dengannya. Namun Lilie menolak Marcel dengan menyatakan bahwa ia tidak ingin kembali menjalin hubungan dengan Marcel atau pun mencintai pria itu.

Malam itu yang terjadi adalah Marcel menyatakan perasaannya pada Lilie, tanpa tahu bahwa sudah 2 tahun berlalu dan selama itu, Lilie telah mencoba menyusun hatinya yang hancur. Marcel tidak pernah tahu bahwa Lilie sehancur itu. Lilie terluka dan terpuruk, bahkan sempat menyalahkan dirinya sendiri. Lilie merasa tidak berharga karena ditinggalkan oleh orang yang telah ia anggap menyayanginya. Seseorang yang sebelumnya memiliki citra baik dimatanya dan sempat memberikan janji-janji manis kepadanya.

Marcel pernah menjadi masa lalu yang indah bagi Lilie, tapi dengan saat ini Marcel mencoba kembali memasuki hidup Lilie, sama saja dengan Marcel berusaha menghancurkan lagi hati Lilie yang sudah perempuan itu coba benahi dengan susah payah.

Di kantor saat ada urusan pekerjaan yang harus melibatkan Lilie dan Marcel, karena Lilie adalah manager divisi, Lilie tidak bisa menghindari Marcel. Seperti siang ini, Lilie harus datang sendiri ke ruangan CEO di mana Marcel berada. Sekretaris Marcel memberitahu bahwa ada urusan pekerjaan dan aatsan memanggil Lilie untuk ke ruangannya.

Lilie hanya bisa berharap bahwa Marcel tidak memanfaatkan jabatannya, semata hanya karena Marcel ingin bertemu dengannya.

Lilie diantar oleh sekretaris Marcel untuk ke ruangan pria itu. Sesampainya Lilie di sana, sekretaris Marcel meninggalkan Lilie hanya berdua dengan Marcel di sana.

Lilei segera menghampiri Marcel dan meletakkan sebuah file yang Marcel minta di meja pria itu. “Berikut dokumen yang sebelumnya Bapak minta,” ucap Lilie dengan sopan.

Marcel langsung beranjak dari kursinya tanpa melirik sedikitun dokumen tersebut. Marcel berjalan menghampiri Lilie dan kini tengah menatap tepat di manik mata perempuan itu.

“Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, Lilie,” ucap Marcel.

“Mengenai dokumen tersebut, akan dijelaskan oleh divisi product development pada rapat nanti sore, Pak. Dari tim social media marketing, sudah dijelaskan di rapat kemarin.”

“Tapi kemarin kamu tidak masuk bekerja. Jadi saya ingin kamu menjelaskannya ulang pada saya,” ucap Marcel.

Ucapan Marcel seketika membuat Lilie menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya. Apa lagi ini? Jelas-jelas Marcel sengaja melakukannya, pria itu membuat keadaan di mana Lilie harus melakukan pekerjaannya dan hanya ada dirinya dan Marcel saja berdua di ruangan itu.

“Kalau begitu saya akan menjelaskannya dengan didampingi oleh tim saya Pak. Izinkan saya untuk memanggil salah satu tim saya terlebih dulu,” ucap Lilie.

“Saya rasa kamu mampu menjelaskannya sendiri, Lilie. Kamu bertanggung jawab penuh terhadap divisi kamu, bukan?” Marcel berujar lagi.

Lilie tidak dapat berkutik. Pada akhirnya ia hanya mampu menjalankan perintah tersebut. Andaikan mencari pekerjaan di luar sana adalah hal yang mudah, Lilie sudah memutuskan keluar dari perusahaan ini ; tentunya untuk selamanya pergi dari seorang Marcellio Moeis.

Lilie kemudian mengambil flash disk dari saku blazernya, dan akan mempresentasikan sebuah power point di hadapan Marcel. Sebuah layar projector dinyalakan dan sudah materi tertampang di layar, Lilie akhirnya segera membuka presentasinya.

Marcel memperhatikan Lilie dari kursi kebesarannya. Kedua mata sabitnya mengarah pada Lilie, mendenagrkan juga penjelasan perempuan itu.

“Untuk produk-produk kita yang sebelumnya, dari pihak marketing menyarankan untuk kembali dilakukan promosi secara gencar, Pak. Terutama promosi dari sosial media, karena dari riset yang kita lakukan, brand kita cukup banyak dapat engagement dari sosial media. Untuk rekap insight bulan ini, Instagram menempati reach audiens terbanyak, yakni sejumlah 20 ribu impression,” ujar Lilie panjang lebar.

“Tapi bukannya produk kita yang baru launching kemarin juga sukes? Pertanyaan saya, kenapa tim marketing mau kembali ngangat promotion untuk produk-produk lama?”

“Begini, Pak. arena sebelumnya yang mendongkrak nama IT’S CLEINE adalah pemain-pemain lama. Mulai dari Flame Rose, Sweet Red, sampai Vanilla Angel yang merupakan produk best seller kita di setiap tahunnya. Produk-produk lama kita dari segi penjualan masih cukup baik Pak, tapi memang konsumen jadi lebih fokus ke produk bari kita. Untuk 2 produk baru, yaitu Eucalyptus dan Loewe, akan tetap tim marketing kita promosikan secara rutin di berbagai platform.”

“Oke, kalau gitu coba jalankan dulu rencana itu. Buat tema pemasarannnya semenarik mungkin ya,” ujar Marcel akhirnya.

“Baik, Pak. Apa ada lagi yang perlu saja jelaskan?” Lilie bertanya sebelum mengakhiri presentasinya.

“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan sama kamu,” ujar Marcel

Ucapan Marcel tersebut lantas membuat Lilie mengernyitkan kedua alisnya. “Pertanyaan apa ya Pak?” Lilie bertanya. Perempuan itu masih berdiri di tempatnya. Sampai Marcel akhirnya beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiri Lilie.

Lilie sedikit mendongak untuk menatap Marcel. Tatapan mata itu terasa sama seperti 2 tahun yang lalu. Namun yang telah berbeda kini adalah hati Lilie sendiri. Lilie tidak bisa lagi merasakan perasaan cinta di hatinya untuk Marcel.

“Apa artinya ada pemain baru di hidup kamu, sehingga nggak ada kesempatan untuk pemain lama?”

Lilie masih terdiam selama beberapa detik. Lilie jelas paham maksud pertanyaan Marcel.

Marcel merasa kalau ada seseorang yang telah menempati hati Lilie, jadi perempuan itu menolaknya. Mungkin kalau tidak ada pemain baru itu, Lilie masih akan memberi Marcel kesempatan dan bisa kembali merasakan perasaan cinta itu.

Detik berikutnya, Lilie akhirnya angkat suara. “Apa yang kamu bilang barusan, itu benar.” Detik berikut setelah mengatakannya, Lilie segera beranjak dari hadapan Marcel dan berlalu dari ruangan itu. Namun Marcel kembali menahan langkah Lilie dengan gerakan cepat.

You must be lying to me, Lilie,” ucap Marcel.

Lilie menghembuskan napas panjangnya. “Aku rasa sudah cukup aku bilang ke kamu, Marcel. Tolong sebisa mungkin, kamu jauhin aku dan bersikap profesional. Seharusnya kalau kamu peduli sama aku, kamu nggak bikin posisi aku perusahan ini jadi sulit. Dengan kamu yang kayak gini, itu menyulitkan posisi aku di kantor. Selamanya kamu tetap akan jadi atasan aku, dan aku bawahan kamu. Kamu harusnya tau batasan itu.”

Setelah mendapat penolakan jauh sebelumnya, rupanya Marcel masih mencoba dan gigih mendekati Lilie yang akhirnya membuat rumor jelek tentang Lilie semakin banyak berhembus di area kantor. Lilie sempat menanggapi rumor itu, tapi tetap saja gosip tersebut bisa redam dengan mudah. Antara dirinya dan Marcel, tidak ada apa pun yang spesial. Apa yang dilihat oleh orang-orang, hanyalah sebatas hubungan pekerjaan saja, tapi mereka mengasumsikannya dengan asumsi yang berbeda.

***

Marcel memutuskan mencari tahu soal kebenaran tentang ucapan Lilie. Sebelumnya tidak terbesit di pikiran Marcel bahwa ada sosok lelaki di hati Lilie.

Dengan bantuan sekretarisnya, Marcel akhirnya berhasil dapat info tentang seorang lelaki yang kemungkinan memiliki hubungan dengan Lilie atau sedang dekat dengan perempuan itu. Sekretarisnya juga memberikan informasi bahwa beberapa kali Lilie terlihat pulang di antar oleh lelaki yang sama.

Marcel tidak mempercayai informasi yang diberikan sekretarisnya itu. Maka sore ini di kantor, ia memutuskan untuk membuktikannya sendiri dengan matanya.

Biasanya Lilie memang memang telat pulang dari kantor. Marcel sering mengamati hal tersebut, tapi masih mencoba menjaga batasan itu. Namun kini sepertinya pria itu tidak peduli. Marcel berjalan ke ruangan di mana Lilie bekerja, melewati batas yang seharusnya ia tidak lewati.

Seorang kurir pengantar makanan datang ke ruangan tempat Lilie bekerja untuk mengantar pesanan. Ketika kurir itu melewati Marcel, Marcel melihatnya dan tahu bahwa merek restoran dibungkusan tersebut adalah restoran makanan Korea yang merupakan kesukaan Lilie.

Marcel pun akhirnya berhasil mendapati itu di depan matanya sendiri. Di ruangan kerja itu, Lilie tidak sendiri berada di sana. Lilie tengah bersama seorang lelaki yang Marcel ketahui adalah karyawan magang di kantor. Marcel melihat kedekatan antara Lilie dan Edgar. Bagi karyawan magang, tidak diwajibkan untuk lembur, tapi lelaki itu bersedia untul melakukannya. Bukan hanya sekali dua kali, dari info yang Marcel dapatkan, karyawan magang itu memang sempat beberapa kali bekerja lembur di kantor meski itu tidak diwajibkan

Sebagai sesama lelaki, Marcel pun dapat membaca gelagat Edgar bahwa lelaki itu memang menyukai Lilie. Marcel juga merasa kalau dibandingkan lelaki itu, dirinya lebih unggul dan bisa mendapatkan Lilie. Maka Marcel telah memutuskan sesuatu, bahwa ia tidak akan mundur bergitu saja untuk kembali mendapatkan Lilie. Jika Marcel harus bersaing dan siapa pun itu yang jadi rivalnya, Marcel akan bersedia melakukannya. Marcel pun akan dengan senang hati menghadapi persaingan itu.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Hari ini Lilie tidak masuk bekerja karena kondisi tubuhnya kurang sehat. Meski demikian, Lilie tetap harus menyicil pekerjaannya dari rumah. Namun charger laptopnya tertinggal di kantor, jadi Edgar berniat mengantarkan benda itu ke rumah itu. Sebenarnya selain mengantar barang Lilie yang tertinggal itu, Edgar khawatir dengan Lilie. Di balik rasa sakit hatinya kemarin karena melihat Lilie bersama Marcel, rasa khawatir Edgar rupanya masih lebih besar. Edgar telah mencoba memikirkan perkataan Ian. Edgar belum mengetahui jawaban Lilie malam itu, jadi Edgar tidak ingin menyerah begitu saja sebelum memastikan apakah Lilie dan Marcel kembali bersama. Bisa saja Lilie tidak menerima Marcel, maka Edgar memutuskan akan mencari tahu sendiri jawabannya.

Edgar telah sampai di depan rumah bercat putih milik Lilie. Untuk kedua kalinya ia datang ke sini. Edgar memarkirkan motornya di belakang sebuah mobil BMW yang terparkir di depan rumah itu. Sepertinya ada tamu yang sedang berkunjung ke rumah Lilie, begitu pikir Edgar.

Jadi Edgar memutuskan menunggu di depan rumah tersebut. Sampai akhirnya selang beberapa menit kemudian, seorang perempuan paruh baya nampak keluar dari rumah tersebut dan disambut oleh supir yang sejak tadi menunggu di dekat pagar. Kemudian bersama mobil mewah itu, tamu yang berkunjung rumah Lilie akhirnya berlalu dari sana.

Edgar menghubungi Lilie terlebih dulu untuk mengabari bahwa ia sudah sampai. Baru saja Edgar selesai mengetik pesan di ponselnya, detik itu juga ia melihat sosok Lilie dengan balutan piyama pinknya berada tidak jauh darinya. Lilie melangkah keluar dari rumahnya dan kini menatap lurus ke arah Edgar. Edgar turun dari motornya dan segera melangkahkan kakinya menuju Lilie.

Edgar sedikit terkejut ketika mendapati Lilie yang tampak kacau di hadapannya. Kedua mata cantik milik Lilie nampak memerah dan berkaca-kaca. Hingga dua detik kemudian, akhirnya Lilie tidak dapat lagi membendung air matanya.

Pipi Lilie tampak basah karena gadis itu menangis. Lilie berderai air mata di hadapannya dan Edgar tidak menyangka bahwa hal tersebut akan terjadi.

“Kak,” ucapan Edgar terhenti begitu saja, karena sejujurnya ia bingung bagaimana harus menghadapi situasi tersebut.

***

Keduanya kini berakhir di teras kecil rumah Lilie, setelah sebelumnya mereka keluar sebentar untuk membeli es krim.

Edgar spontan saja mengajak Lilie untuk membeli makanan manis tersebut, ia tidak bertanya lebih dulu apa yang spesifik dibutuhkan oleh Lilie. Karena dalam keadaan sedih seperti barusan, biasanya seseorang kadang hanya butuh ditemani dan dimengerti, bukan diberikan pertanyaan yang mungkin akan membuat keadaan semakin memburuk. Lilie dengan cepat setuju untuk membeli es krim, padahal kondisi tubuhnya sedang kurang fit. Namun katanya, es krim memang bisa membuat keadaan jadi lebih baik, tidak masalah jika ia menyantap satu bungkus es krim hari ini.

Edgar tidak bertanya apapun kepada Lilie. Lelaki itu hanya berada di sana, duduk di samping Lilie dan menemani sampai Lilie bisa merasa tenang dan lebih baik.

Langit mulai tampak gelap karena waktu sudah senja, tapi Lilie mengatakan bahwa ia belum ingin beranjak dari teras.

Lilie terlihat mengulaskan senyum kecilnya, pipinya juga memerah karena perempuan itu sesungguhnya merasa malu kepada Edgar.

“Aku nggak tau kenapa tiba-tiba nangis kayak tadi,” ucap Lilie setelah perempuan itu menghabiskan es krimnya. Edgar juga sudah selesai dengan es krimnya, lelaki itu menoleh dan menatap Lilie. Lilie juga menoleh tiba-tiba, hingga membuat tatapan mereka sponta bertemu.

“Kak,” ujar Edgar.

“Iya?” Lilie menyahut.

“Kakak bisa digigit nyamuk lho kalau terus di sini. Nyamuknya pasti suka banget sama Kakak,” celetuk Edgar.

Lilie nampak mengerutkan keningnya, alisnya pun ikut mengernyit. “Kenapa bisa gitu?” Lilie bertanya masih sambil menatap Edgar. Kali ini tatapan Lilie terasa dekat dan lekat. Entahlah, tapi Edgar merasa bahwa tatapan Lilie berbeda dengan dulu saat mereka baru mengenal.

“Karena nyamuknya suka sama yang manis dan cantik,” cetus Edgar akhirnya.

Edgar tidak menyangka ketika kemudian Lilie tertawa begitu saja berkat leluconnya. Selama sepersekian detik yang berharga itu, Edgar hanya menatap fokus pada Lilie. Edgar ingin merekam tawa indah itu di dalam memorinya. Maka jika suatu hari takdirnya tidak bisa bersama Lilie, maka setidaknya Edgar pernah menciptakan tawa tersebut untuk Lilie setelah perempuan itu menangis, dan tentu Edgar senang akan itu.

Ketika tawa Lilie mulai reda, perempuan cantik itu mengulaskan senyum tulusnya. “Oh iya, kamu mau pulang jam berapa? Ini udah malem lho, nanti kamu kemaleman. Aku jadi nggak enak,” ungkap Lilie. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, tidak terasa sudah hampir 1 jam mereka berada di sana.

“Sebentar lagi deh Kak,” ucap Edgar.

“Oke.”

Keduanya kemudian bersamaan menatap langit dari teras rumah yang malam ini tampak ditaburi oleh bintang-bintang.

Lilie selalu takjub dengan pemandangan malam hari. Di mana ketika langit kehilangan matahari yang sebelumnya menyinarinya, sang langit tidak pernah merasa takut akan gelap maupun rasa kesepian. Karena sesungguhnya bukan hanya matahari yang dapat menerangi langit, tapi bintang juga bisa memancarkan cahayanya sendiri dan menerangi sang langit. Ibaratnya ketika seseorang pergi meninggalkanmu, mungkin akan ada orang lain yang datang ke hidupmu dan menerangi hari-harimu yang rasanya kelabu.

Lilie lantas menoleh ke sampingnya dan menatap Edgar. Lilie baru terpikirkan, ia pun menemukan sebuah jawaban atas perumpaan yang ia buat mengenai langit, matahari, dan bintang. Lilie tidak tahu pasti sejak kapan, tapi eksistensi Edgar layaknya sebuah bintang baginya. Lelaki itu hadir seperti sang bintang yang menyinari hidup Lilie yang rasanya gelap, tepatnya sejak seseorang meninggalkannya ; dan Lilie telah berusaha menutup hatinya agar tidak kembali merasakan sakitnya jatuh cinta. Namun hati Lilie seperti kembali dibuka dan sedikit-sedikit bisa merasakan perasaan itu lagi.

Lilie kemudian mengatakan bahwa gadis itu ingin berbagi cerita padanya. Itu soal Lilie yang tadi menangis. Edgar cukup terkejut karena Lilie ingin membagi hal tersebut kepadanya, dan berakhir Edgar bersedia mendengar cerita itu.

“Tamu yang tadi dateng ke rumah aku, beliau adalah Mamanya Marcel,” ucap Lilie memulai ceritanya.

Lilie menghembuskan nafas panjangnya sesaat sebelum akhirnya kembali berujar, “Beliau minta aku buat ninggalin pekerjaanku di kantor. Beliau nawarin sejumlah uang yang jumlah besar, dengan syarat aku harus selamanya pergi dari hidup Marcel. Padahal aku nggak pernah tau kalau Marcel membeli perusahaan tempat aku kerja. Aku nggak pernah minta dia kembali muncul di depan aku. Aku .. nggak ada keinginan sedikit pun untuk balikan sama Marcel. Antara aku sama Marcel, semuanya udah selesai dua tahun yang lalu.”

Kemudian cerita terus berlanjut dan terbongkarlah cerita masa lalu tentang Lilie dan Marcel. Dua tahun yang lalu, keduanya bertemu saat Lilie bekerja di perusahaan milik keluarga Marcel. Saat itu Marcel menjabat sebagai direktur marketing dan Lilie bekerja di divisi tersebut. Orang tua Marcel yang akhirnya mengetahui hubungan keduanya pun menentangnya. Mereka menganggap bahwa Lilie tidak pantas untuk menjadi pendamping hidup anak mereka.

Marcel kemudian terpaksa mengakhiri hubungannya dengan Lilie, bahkan sebelum pria itu sempat memperjuangkan Lilie di hadapan orang tuanya. Marcel kemudian menikah karena dijodohkan oleh perempuan yang merupakan putri sulung dari mitra bisnis keluarganya. Dari pernikahannya tersebut, Marcel memiliki seorang anak. Kemudian lama ini, istri Marcel diketahui meninggal dunia karena sebuah penyakit.

Soal rumor yang beredar di kantor mengenai Lilie yang mendekati Marcel, Lilie menjelaskan itu adalah kekeliruan. Sebenarnya yang terjadi adalah Marcel kerap kali mendekati Lilie saat Lilie berusaha menghindar, hingga dengan sendirinya tercipta rumor bahwa Lilie yang berusaha mendekati Marcel. Setelah cerita yang cukup panjang itu, Edgar maupun Lilie tidak membahas apa pun lagi yang mengarah ke sana.

“Edgar, makasih ya udah dengerin ceritaku. Aku belum pernah cerita ini ke siapa pun, cuma Papaku sama sebagian keluargaku yang tau.” Hanya itu yang diucapkan oleh Lilie sebelum akhirnya Edgar pamit pulang.

“Sama-sama, Kak. Kalau cerita bisa bikin Kakak lebih tenang dan ngerasa lega, nggak papa, cerita aja. Sedih boleh Kak, tapi jangan lama-lama ya sedihnya,” ucap Edgar.

Lilie kemudian mengantar Edgar sampai ke pagar rumahnya karena lelaki itu akan pulang.

Edgar telah memakai jaketnya dan siap dengan motornya. Sebelum Edgar menutup kaca helmnya, ia menatap Lilie selama beberapa detik. Tampak Lilie mengulaskan senyumnya, otomatis Edgar juga tersenyum. Detik berikutnya Edgar pun buru-buru memasang kembali ekspresi normalnya. Bukankah aneh jika ia tersenyum seperti itu di hadapan Lilie? Edgar berakhir merutuki dirinya sendiri dalam hati.

“Gar, hati-hati bawa motornya,” Lilie kembali berucap sebelum Edgar benar-benar memanuver kendaraannya.

Edgar lantas mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda bahwa ia akan mendengarkan ucapan Lilie. Ketika Edgar sudah menjalankan motornya dan berlalu dari sana, Lilie masih berada di depan rumahnya, gadis itu belum masuk ke rumah. Ketika Edgar dan motornya sudah benar-benar tidak terlihat oleh pandangannya, Lilie baru melangkah ke dalam rumah.

Tanpa sadar, kedua ujung bibir Lilie tertarik untuk membentuk sebuah senyuman. Lilie juga terheran dengan reaksi dirinya, tapi begitulah yang terjadi.

Tadi sore Lilie kembali dihadapkan oleh luka masa lalunya, tapi tiba-tiba Lilie seperti menemukan obat penyembuhnya dan itu berasal dari Edgar.

Lilie tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Namun yang jelas kini hatinya merasa bahagia hanya karena kehadiran Edgar yang sederhana. Bagaimana cara Edgar membuatnya tertawa, bagaimana cara lelaki itu memperhatikannya dan bersikap peduli terhadapnya, membuat Lilie sadar bahwa ia telah benar-benar menyukai lelaki itu.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Ian menyalahkan dirinya karena ia telah mengirim foto Lilie dan Marcel kepada Edgar. Edgar pun bilang kalau sebenarnya ini sebagian besar adalah kesalahannya. Edgar yang nekat datang ke pesta itu karena penasaran, dan akhirnya ia mendengar pembicaran Lilie dan Marcel di balkon.

Malam ini Edgar berakhir menginap di kamar kos Ian. Rico tadinya ingin ikut menginap, tapi karena tidak ada tempat lagi, jadi terpaksa ia itu harus pulang. Kebiasaan Edgar jika lelaki itu sedang kacau, ia tidak akan pulang ke rumah. Itu karena Bundanya akan jadi khawatir kepadanya dan Edgar tentu tidak ingin itu sampai terjadi.

Keadaan Edgar sedang kurang baik, jadi lelaki itu perlu istirahat cukup malam ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Edgar tidak dapat memejamkan matanya sedikit pun, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.

Ian akhirnya menemani Edgar di ruang tamu kosnya, jadi mereka berdua sama-sama terjaga. Edgar duduk di sofa dengan tatapan kosong dan Ian berada di sampingnya. Ian tidak melontarkan pertanyaan apapun, karena ia tahu pasti jika Edgar mendapat pertanyaan, justru rasanya akan semakin sakit bukannya membaik.

Ian hanya membiarkan Edgar sampai akhirnya lelaki itu membuka suaranya sendiri.

“Anjir lah, sakit banget rasanya,” ujar Edgar setelah beberapa detik larut dalam diam.

“Emang tadi gimana kejadiannya? Coba ceritain,” ucap Ian.

“Marcel confess ke Lilie,” hanya itu yang Edgar ucapkan.

Selang beberapa detik kemudian, Edgar pun kembali berujar, “Waktu gue nggak masuk kerja karena masih dirawat, di kantor ada gosip kalau Lilie sama Marcel lagi deket. Gosipnya rame banget, bahkan udah ada rumor kalau dulu Marcel sama Lilie pernah punya hubungan.”

Ian pun menghembuskan nafas panjangnya. Ian harus menghadapi temannya yang patah hati itu dan di sana ia hanya mendengarkan sampai Edgar benar-benar selesai bicara. Ian merasa kasihan terhadap Edgar, tapi ia juga bingung harus memberi respon atau komentar seperti apa.

“Terus Lilie jawab apa?” Ian bertanya akhirnya setelah Edgar diam saja, padahal Ian merasa kalau ceritanya belum selesai.

Edgar lantas memutar tubuhnya untuk menghadap Ian. Tatapan mereka bertemu dan Ian mendapati Edgar yang tengah menangis.

“Si anjir malah nangis,” Ian hampir menyemburkan tawanya, tapi ia coba untuk menahannya.

Edgar cepat-cepat mengusap air matanya. Ia malu sekali, tapi apa boleh buat. Sudah terlanjur juga Ian mendapatinya menangis dan bendungan air matanya itu tidak lagi dapat tertahankan.

“Lilie belum jawab, tapi gue udah keburu pergi dari sana,” ucap Edgar setelah tangannya beres mengusap pelupuk matanya.

“Astaga. Gue kira Lilie nerima Marcel. Gar, lu naksir orang boleh, tapi jangan tolol juga napa,” ucap Ian dengan nada suaranya yang terdengar agak frustasi.

“Nih, dengerin gue ya,” ucap Ian.

Ian kemudian mengatakan kalau bisa saja Lilie menolak Marcel. Toh Edgar tidak mendengar jawaban Lilie, bukan? Ian malah menyayangkan Edgar yang pergi begitu saja tanpa lebih dulu mendengar jawaban Lilie.

“Iya juga ya. Tolol dah,” ucap Edgar setelah kembali memikirkannya.

“Kan,” satu kata keramat tercetus dari bibir Ian.

“Terus gue harus gimana dong?” tanya Edgar.

“Ya kalo lo masih mau berjuang, lo cari tau jawaban Lilie. Selama lo belum tau, lo nggak ada alesan buat mundur,” ujar Ian.

Ian hanya bisa memberikan solusi tersebut kepada Edgar. Ian tahu bahwa Edgar tidak akan menyerah begitu saja. Selama Ian mengenal Edgar, sahabatnya itu adalah orang yang hampir tidak pernah segigih ini, apalagi dalam urusan percintaan. Namun sejak bertemu Lilie, Edgar seratus delapan puluh derajat berubah menjadi orang yang berambisi besar dan terlihat juga perubahan-perubahan baik dalam diri sahabatnya. Ian pun yakin bahwa Edgar tidak akan menyerah dengan mudah setelah perjuangannya sampai di titik ini, karena Ian tahu bahwa sahabatnya benar-benar tulus terhadap perasaannya kepada Lilie.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Keadaan Edgar sudah jauh lebih baik setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Meski masih harus rutin melakukan kontrol dan menjalani terapi untuk kakinya, tapi sekarang Edgar sudah bisa kembali bekerja di kantor. Dua minggu tidak datang ke kantor, cukup banyak rupanya yang Edgar lewatkan.

Saat Edgar tidak bekerja, pekerjaannya sementara dipegang dulu oleh Lilie dan juga dibantu oleh Valdo.

Selain soal pekerjaan, ada hal lain yang hari ini baru Edgar ketahui ketika ia kembali ke kantor. Beredar isu di kantor bahwa Lilie sengaja mendekati sang atasan, yakni Marcellio Moeis. Lilie diduga memanfaatkan kecantikannya untuk menarik perhatian bos dan memiliki motif agar bisa naik jabatan atau apa pun itu ; yang jelas konotasinya mengarah pada hal yang negatif.

Siang ini satu tim divisi sosial media marketing telah berencana untuk makan siang bersama di luar kantor. Mereka memilih sebuah restoran fancy yang menyediakan masakan khas padang.

Hari ini bertepatan dengan jatuhnya tanggal gajian, jadi mengeluarkan uang untuk menyenangkan diri sendiri, layaknya sudah seperti suatu keharusan.

Tim mereka lengkap, Lilie yang biasanya tidak bergabung, kali ini tentu ikut bergabung. Selama mereka menyantap makanan, diselingi juga dengan obrolan-obrolan ringan.

“Lo tadi bawa motor Gar ke kantor?” Jesslyn bertanya kepada Edgar. Pasalnya Edgar baru saja pulih dari keadaannya pasca kecelakaan.

Edgar lantas menoleh pada Jesslyn. “Iya, gue bawa motor,” ujarnya.

“Lah, emang udah bisa? Mending jangan dulu dah kalau kata gue,” ujar Ardi.

“Bener tuh. Mending minta tolong anterin sama keluarga lo atau naik angkutan umum aja,” saran Valdo.

Edgar terdiam selama beberapa detik. Kemudian lelaki itu meneguk minuman di gelasnya lebih dulu. Ketika tidak sengaja netranya bersitatap dengan Lilie yang duduk di seberangnya, Edgar mendapati Lilie yang memperhatikannya ; tapi gadis itu langsung mengalihkan tatapan begitu Edgar menatap ke arahnya.

Edgar berujar di dalam hati. Di antara anggota divisinya, hanya Lilie yang tidak berkomentar soal topik pembahasan barusan. Padahal Edgar sedikit berharap, tapi apa boleh buat.

“Gar, emang lo udah beneran baikan? Mending kalau belum, lo libur kerja aja dulu,” ujar Valdo lagi.

Edgar menatap Valdo, seketika terbuyarlah pemikiran monolog di dalam benaknya.

“Nggak papa, Bang. Gue udah baikan kok. Cuma tiap minggu emang harus control sama terapi aja,” terang Edgar kemudian.

Setelahnya topik pun berganti ke hal lain. Mereka megobrol soal kerjaan atau tentang apa pun yang terlintas saja di dalam benak.

Beberapa menit berselang, ketika Lilie dan Jesslyn berlalu untuk pergi ke toilet, tiba-tiba Ardi berceletuk. “Lu udah tau belum Gar? Kak Lilie kan digosipin punya hubungan sama Pak Marcel. Sempet heboh deh kemarin tuh.”

“Ardi, nanti kalau Lilie denger, dia kepikiran lagi. Awas aja ya lu,” cetus Valdo dengan cepat.

“Iya- iya, Bang. Tapi gue penasaran aja gitu, bener apa enggak gosipnya. Ada karyawan yang bilang kalau Pak Marcel sama Kak Lilie dulu pernah pacaran,” Ardi masih berceloteh, membuat Valdo nampak kesal.

“Gosipnya nggak bener. Lilie ketemu Pak Marcel ya cuma karena urusan kerjaan aja, mereka nggak ada hubungan apa-apa,” ujar Valdo sebelum lelaki itu berlalu dari meja untuk mencuci tangan.

Lantas tersisa Edgar dan Ardi di meja itu. Ardi melihat sekitar dan belum menemukan tanda-tanda kembalinya Lilie dan Jesslyn, jadi Ardi segera berujar pada Edgar. “Kayaknya Pak Marcel deh Gar yang ngedeketin Kak Lilie duluan. Wajar nggak sih menurut lu Pak Marcel suka sama Kak Lilie? Secara Kak Lilie cantik, pinter lagi.”

Edgar tidak menanggapi ucapan Ardi sama sekali. Hingga berakhir Ardi tampak kesal dengan situasi tersebut.

“Gue nggak tau apa-apa, Bang. Jadi gue nggak berani komentar,” ucap Edgar memutuskan pembicaraannya dengan Ardi.

***

Venue Birthday Party

Ada acara perayaan yang diadakan untuk memperingati ulang tahun IT’S CLEINE yang ke-10. Semua karyawan diundang untuk datang ke acara tersebut. Di akhir acara, akan ada pengumuman doorprize dari hasil undian, yang membuat para karyawan sangat bersemangat dan tidak ingin melewatkan perayaan itu.

Namun Edgar tidak bersemangat datang ke acara tersebut, jadi akhirnya ia memutuskan untuk tidak datang. Namun Ian dan Rico yang mengetahui soal acara itu, justru menyemangati Edgar untuk datang. Edgar tetap tidak mau dateng meski sudah berkali-kali dibujuk oleh kedua sahabatnya. Akhirnya Ian dan Rico yang justru datang ke sana.

Malam ini Ian mengenakan setelan formalnya, yakni sebuah kemeja yang dilapisi jas hitam. Hampir sama dengannya, Rico juga mengenakan pakaian formal untuk datang ke pesta perayaan tersebut.

“Yan, nyesel gue ngikutin ide aneh lu ini,” bisik Rico pada Ian.

“Udah, ikutin gue aja. Ayo buruan,” ujar Ian.

Rico akhirnya hanya mengikuti langkah Ian yang sudah berjalan lebih dulu darinya. Mereka memasuki sebuah aula yang jadi temapt di mana pesta diadakan. Ketika mereka berpapasan dengan beberapa orang di acara itu, Ian hanya mengulaskan senyum ramahnya kepada mereka. Ian bersikap seolah ia mengenal orang-orang yang ada di sana. Sebagian orang menatap aneh pada dua lelaki yang nampak mencurigakan itu. Pasalnya mereka merasa asing dengan Ian dan Rico, jelas karena keduanya bukanlah karyawan yang bekerja di perusahaan.

“Tujuan kita ke sini tuh ngapain sih Yan?” Rico bertanya pada Ian.

Ian malah mengabaikan Rico dan asyik menyantap salad buah di piring kecilnya. Lelaki itu dengan santai menikmati berbagai makanan dan minuman yang disajikan di pesta itu.

“Numpang makan,” cetus Ian dengan ada santai.

“Ya nggak numpang makan doang lah, anjir. Kita tuh ke sini mau mengamati keadaan. Kali aja nemu sesuatu tentang Lilie, kan temen lu tuh nggak mau ke sini. Tugas kita adalah pantau dan jagain Lilie,” bisik Ian.

“Jagain dari apaan? Emangnya Lilie kenapa?” tanya Rico.

“Rivalnya Edgar itu Marcel, jelas bahaya. Marcel kan pasti dateng ke acara ini juga,” terang Ian sambil sebisa mungkin memelankan suaranya.

“Iya deh, terserah lu,” ujar Rico.

Pada akhirnya Rico hanya menurut saja. Ia juga bingung sebenarnya mengapa tiba-tiba dirinya mau mengikuti idenya Ian. Rico pun baru tersadar, kenapa ia mau ikut Ian ke acara yang jelas-jelas tidak mengundang mereka, sungguh aneh tapi itulah kenyataannya.

“Yan, anjir Yan!” ujar Rico sambil menunjuk ke suatu arah. “Liat deh, itu Lilie bukan sih?” Rico memberi tahu pada Ian apa yang dilihatnya di antara padatnya kerumunan orang-orang di sana.

Ian pun lekas memberikan atensinya dan menatap ke arah yang ditunjuk Rico. Ian memicingkan matanya, lalu tanpa banyak berucap, Ian segera menaruh piring saladnya di atas meja.

“Itu Lilie sama Marcel, anjir. Mereka mau ke mana berduaan? Wah nggak beres,” ujar Ian yang lantas segera berlalu dari sana.

“Eh Yan lu mau ke mana? Buset nekat banget nih anak, kenapa segala disamperin,” ucap Rico.

Rico pun yang kebingungan pada akhirnya hanya mengikuti langkah Ian. Rico tidak bisa menebak apa yang akan sahabatnya itu lakukan. Ia hanya berpikir, mungkin ini adalah bagian inti dari misi mereka datang ke acara ini.

***

Beberapa menit yang lalu, Edgar mendapat sebuah kiriman foto dari Ian. Foto tersebut memperlihatkan Lilie dan Marcel yang tengah berbincang berdua di balkon gedung.

Ian tidak dapat memberitahu Edgar lebih lanjut apa yang terjadi, karena ia takut ketahuan karena telah menguntit Lilie dan Marcel. Ian dan Rico tidak bisa berlama-lama berada di sana dan mendengar apa yang dibicarakan Lilie dan Marcel. Namun sepertinya pembicaraan mereka adalah hal yang serius, karena ketika Edgar sampai di gedung tersebut, Edgar mendapati Lilie dan Marcel masih berbincang di balkon. Di balik tirai yang membatasi balkon dengan gedung, di sana Edgar mendengarkan pembicaraan antara Lilie dan Marcel.

Jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang tengah menikmati pesta, di sana Edgar mendengarkan pembicaraan Lilie dan Marcel. Edgar tidak tahu apa yang membuatnya akhirnya memutuskan datang ke sini. Ia impulsif mengambil keputusan tersebut. Padahal tidak tahu juga apa dirinya mampu mendengar fakta tentang hubungan Lilie dan Marcel yang mungkin malam ini akan ia ketahui.

“Lilie, saya masih mencintai kamu. Sampai detik ini, nggak ada yang berubah soal perasaan saya ke kamu. Kamu tau, sejak kita berpisah, saya nggak bisa mencintai perempuan lain,” terdengar suara Marcel. Selama beberapa detik, Lilie hanya diam dan tidak mengatakan apa pun.

Berikutnya yang kembali didengar Edgar adalah suara Marcel. “Lilie, tolong kasih saya kesempatan untuk membahagiakan kamu seperti dulu. Kita mulai lagi semuanya dari awal, ya?”

Edgar masih bertahan di sana selama beberapa detik, tapi Lilie tidak kunjung menjawab pernyataan itu. Pada akhirnya Edgar memutuskan untuk pergi dari sana, karena ia tidak yakin bahwa dirinya akan sanggup mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Lilie.

Edgar mundur dua langkah, lalu ia berbalik dan dengan cepat melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana. Edgar hanya ingin pergi, ia tidak ingin berada di tempat itu. Di tengah beberapa orang yang masih menikmati pesta, Edgar mencoba menerobos kerumunan yang memenuhi tempat itu.

Edgar sempat menghentikan langkahnya karena tiba-tiba kakinya terasa sakit. Edgar sedikit menyingkirkan dirinya dari kerumunan itu. Kemudian satu tangannya mencoba mencari pegangan pada sesuatu. Rasa sakit di pergelangan kakinya kian menjadi. Edgar merintih kesakitan dan ketika tubuhnya akan ambruk karena tidak sanggup menahan rasa sakit, untungnya Ian dan Rico lebih dulu menemukannya dan segera membantunya.

Ian dan Rico tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas ini bukan keadaan yang baik.

“Kita perlu ke rumah sakit nggak?” tanya Ian yang sudah siap di balik kemudinya.

“Nggak usah, nggak papa,” ujar Edgar.

Rico dan Edgar duduk di jok belakang mobil. Kedua sahabat Edgar itu nampak khawatir dengan kondisinya.

“Emang tadi lo kenapa? Kok bisa sampe kayak gini?” Rico bertanya.

Ian sedang fokus menyetir, mobilnya melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan Jakarta yang malam ini tidak terlalu padat.

“Gue nggak tau. Tapi kayaknya karena gue paksa kaki gue buat jalan cepet, harusnya kata dokter nggak boleh dulu,” terang Edgar.

“Sekarang masih sakit nggak? Kita ke rumah sakit aja deh,” ujar Ian.

“Nggak usah. Yan, gue ngga mau balik. Gue nginep di kos lu ya malem ini?” ujar Edgar.

Ian hanya mengangguk mengiyakan, ia mengizinkan Edgar untuk menginap di kosnya.

Ian sudah bisa menebak apa yang terjadi dan tidak ingin menanyakannya secara langsung pada Edgar. Sepertinya bukan berita baik yang nanti akan didengarnya dan itu pasti menyangkut tentang Lilie. Memangnya siapa lagi sosok yang bisa membuat sahabatnya sampai seperti ini?

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Ketika membuka kelopak matanya dan menatap ke sekitar, Edgar mendapati dirinya tengah berada di ruang rawat rumah sakit. Di ruangan itu terdapat Papanya dan Bundanya. Keduanya pun langsung menatap kepada Edgar yang baru saja terbangun dari tidurnya.

Bundanya mengatakan setelah hampir 10 jam tertidur karena pengaruh obat, Edgar baru kembali membuka matanya pagi ini. Edgar telah lebih baik kondisinya, tapi masih perlu dirawat dan melakukan beberapa pemeriksaan. Jadi untuk beberapa waktu ia harus menjalani rawat inap di rumah sakit.

“Bunda,” ujar Edgar memanggil Bundanya.

Sienna lantas mendekat pada putranya dan bertanya, “Kenapa Bang? Abang butuh apa?”

“Lilie,” ucap Edgar pelan.

“Lilie itu siapa emangnya?” Papanya menyahut dan tampak tidak mengerti kenapa Edgar menyebut nama seorang perempuan.

Bundanya lantas menoleh pada Papanya. “Pah, Lilie itu mentor magangnya Edgar di tempat kerja. Kemarin Lilie yang telfon Bunda dan ngasih tau kalau Edgar kecelakaan,” Sienna lantas menjelaskan pada Alvaro.

“Terus kenapa kamu nyariin Lilie?” Papanya kembali bertanya.

“Bun, jangan kasih tau dulu ke Papa soal Lilie,” ucap Edgar dengan cepat.

“Iya,” Bundanya mengangguk seolah sudah mengerti bahwa tidak akan lebih jauh menjelaskan tentang siapa Lilie, serta mengapa perempuan itu yang pertama ditanyakan Edgar ketika lelaki itu membuka mata.

“Lho, ada apa ini? Kalian punya rahasia yang Papa nggak tau ya?” ujar Papanya dengan tatapan yang memicing.

“Nggak ada rahasia, Pah. Bukannya nggak dikasih tau, tapi belum aja,” jelas Bundanya.

“Edgar, nanti kasih tau Papa lho. Emangnya Lilie itu siapa sih? Kalian bikin Papa penasaran aja yaa,” ujar Papanya.

Edgar ingin tersenyum karena mendapati ekspresi Papanya yang tampak ingin tahu. Namun rasanya otot wajahnya saja masih terasa lemas untuk melakukannya, jadi ia memilih tidak banyak bergerak atau melakukan terlalu banyak hal.

“Iya, nanti ya Pah. Nanti Papa bakal tau, tapi Edgar nggak janji lho ya,” ujar Edgar akhirnya

***

“Suster, saya dirawat sampe kapan ya di sini?” Edgar bertanya pada seorang suster yang datang ke ruangannya untuk mengganti cairan infusnya.

Edgar baru saja selesai makan siang dan seorang perawat datang untuk mengecek kondisinya serta beberapa hal yang perlu dilakukan.

Di sana ada Bundanya yang katanya malam ini akan menginap untuk menemani Edgar di rumah sakit. Hanya Bundanya saja yang bisa menemani Edgar, karena anggota keluarganya yang lain punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.

“Kalau soal itu belum bisa dipastikan ya, Mas Edgar. Soalnya masih ada pemeriksaan lanjutan,” terang perawat itu.

Beberapa saat setelah selesai dengan pekerjaannya di ruang rawat itu, perawat tersebut akhirnya berlalu dari sana.

“Bunda, Abang masih lama ya dirawat di sini?” Edgar bertanya pada Bundanya.

“Sabar ya, Abang. Sampe bener-bener pulih, baru nanti kamu bisa pulang. Emang kenapa sih kamu pengen cepet-cepet banget kayaknya?” Bundanya meletakkan sebuah piring kecil berisi apel yang sudah dikupas, kemuidan mengangsurkannya pada Edgar agar lelaki itu bisa menikmati camilan buahnya.

“Abang pengen kerja, Bun. Pengen ketemu Lilie,” ujar Edgar apa adanya.

Bundanya lantas hanya geleng-geleng kepala sambil mengulaskan sebuah senyum menggoda. “Kamu ini lho. Lilie Lilie terus,” cetus Bundanya.

“Kemarin Bunda sempet ketemu sama Lilie?” tanya Edgar.

Sienna dengan cepat mengangguk. “Sampe Bunda sama Abang Gio dateng, Lilie masih ada di depan ruang UGD. Bunda ngobrol sebentar sama Lilie, baru habis itu dia pamit pulang. Oh iya, dari kemarin hp kamu bunyi terus, ada chat WA banyak deh kayaknya. Sempet ada telfon juga dari Lilie. Bunda mau angkat, tapi udah keburu mati telfonnya,” ungkap Bundanya.

Seolah mengerti apa yang diinginkan oleh putranya, Sienna langsung bergerak mengambilkan ponsel milik Edgar yang disimpan di laci nakas samping ranjang rawat.

Setelah Bundanya menyerahkan ponsel miliknya, Edgar pun langsung mengeceknya. Benar saja rupanya, ada cukup banyak pesan yang masuk. Ada dari grup divisinya di kantor, dari kedua sahabatnya, dari Valdo, serta yang terakhir yang paling membuat Edgar senang adalah pesan dari Lilie.

Lilie menanyakan tentang keadaan Edgar dengan mengirim pesan. Selain itu, Lilie sempat menelfonnya sebanyak dua kali, tapi tidak sempat terangkat.

“Bunda, kemarin Lilie pulang sendiri atau gimana?” Edgar bertanya selagi ia masih mengetikkan sesuatu di ponselnya untuk membalas pesan Lilie.

“Lilie nggak pulang sendiri, Bang. Bunda kurang tau sih yang kemarin sama Lilie itu siapa. Tapi Lilie pulangnya sama laki-laki, tinggi gitu orangnya, pake jas rapih.”

Dari penuturan tersebut, Edgar pun sudah tahu siapa pasti orang dimaksud oleh Bundanya. Edgar tahu betul bahwa lelaki itu adalah Marcel. Sepertinya Marcel memang akan selalu berada di sekitar Lilie. Sangat terlihat jelas bahwa Marcel memiliki tujuan yang sama dengan Edgar, yakni berusaha untuk mendapatkan Lilie.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

It's Oke to Tell

Mengenai kejadian dua hari lalu, pada akhirnya Marcel yang mengantar Lilie pulang. Benar saja, hujan turun cukup deras beberapa saat setelah Lilie dan Marcel meninggalkan Edgar di kafe itu.

Langit yang menurunkan hujan malam itu, seolah melengkapi suasana hati melankolis yang tengah dirasakan oleh Edgar. Lelaki itu sedikit terluka, tapi tidak lantas membuatnya menyerah untuk memperjuangkan Lilie. Bagi Edgar, ia belum berjuang untuk membuat Lilie mencintainya. Jadi, sebenarnya perjuangan baru akan dimulai. Kalau pun nantinya ada persaingan, Edgar tidak akan masalah dengan hal itu. Ia siap untuk bersaing, meskipun saingannya adalah masa lalu Lilie ; seorang yang terlihat sempurna dari segala aspek jika dibandingkan dengannya.

Hari ini Edgar dan Lilie memang telah berencana untuk pulang lebih telat dibandingkan karyawan di divisi sosial media yang lain. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan dan deadline-nya adalah besok pagi, jadi pulang telat merupakan solusi agar target pekerjaan dapat tercapai.

Waktu kini telah menunjukkan pukul 8 malam. Akhirnya pekerjaan yang dikerjakan Lilie dan Edgar telah selesai. Lilie bergerak mengemasi barang-barangnya, begitu juga dengan Edgar. Tadi siang, mereka telah membicarakan kalau akan lembur dan Edgar menawarkan untuk mengantar Lilie pulang. Edgar bilang, arah rumahnya dan Lilie searah, jadi tidak masalah baginya untuk mengantar Lilie.

“Rumah kamu di daerah mana sih Gar?” Lilie bertanya ketika mereka berjalan bersisian menuju parkiran motor.

“Searah deh Kak sama rumah Kakak,” jawab Edgar.

“Yaa rumah kamu di daerah mana?” Lilie masih bertanya.

Edgar menyerahkan helm kepada Lilie. Lilie segera menerimanya dan memakai benda itu di kepalanya.

“Rumah aku di daerah Pondok Indah. Sekitar delapan kilo meter jaraknya dari rumah Kakak. Deket, kan?”

“Itu jauh, Edgar. Arahnya beneran searah? Taunya nanti enggak.”

“Searah, Kak,” ucap Edgar sambil memakai helmnya. Lilie akhirnya hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Edgar kemudian mulai naik ke motornya lebih dulu dan menunggu Lilie untuk naik ke boncengan.

Motor Edgar yang cukup tinggi membuat Lilie agak susah ketika ia akan naik ke boncengan. Jadi otomatis Lilie menjadikan pundak Edgar sebagai pegangan untuk menjaga tubuhnya tetap seimbang ketika naik ke atas motor.

Selama beberapa detik itu terjadi, Edgar merutuki jantungnya yang berdetak tidak normal. Lagi, itu terjadi ketika Lilie berada di dekatnya, terlebih ketika Lilie melakukan sesuatu yang entah bagaimana bisa berhasil membuat hatinya membuncah bahagia.

“Udah Kak?” Edgar bertanya untuk memastikan Lilie telah duduk dengan nyaman di jok motornya.

“Udah,” ujar Lilie.

Setelah ujaran tersebut, Edgar segera menjalankan motornya meningglkan parkiran.

Jarak duduk antara Edgar dan Lilie memang sangat dekat, dikarenakan jok motor Edgar yang berukuran minim. Namun posisi keduanya masih dibatasi oleh tas ransel hitam milik Edgar. Karena alasan kesopanan dan saling menghormati satu sama lain, Edgar sebelumnya telah mengatakan bahwa Lilie bisa berpegangan pada tasnya jika perempuan itu ingin berpegangan.

***

Lilie POV

Malam ini aku kembali lembur di kantor, tapi ada yang berbeda dari biasanya, yakni Edgar bersedia menemaniku menyelesaikan pekerjaan di luar jam normal. Sebenarnya tidak ada ketentuan bagi anak magang untuk lembur, tapi Edgar mengatakan ia tidak keberatan untuk melakukannya.

Selain itu, Edgar menawarkanku untuk mengantar pulang sampai rumah. Aku sebenarnya tidak enak untuk lagi-lagi menerima kebaikannya, karena sebelumnya Edgar juga telah banyak berbuat baik kepadaku. Edgar beberapa kali membelikan makanan untukku dan malam ini, bahkan ia bersedia kerja lembur di kantor bersamaku.

Namun pada akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Mungkin ini akan jadi pertama dan terakhir Edgar mengantarku ke rumah dan sampai repot seperti ini. Bukannya aku sombong karena ingin menolak tawaran baik seseorang, tapi gosip yang semakin santer terdengar di kantor tentang aku dan Edgar ; membuatku akhirnya merasa sungkan juga terhadapnya. Pastilah juga rasanya tidak nyaman bagi Edgar, apalagi dia juga terlihat dekat dengan Riana. Aku tidak ingin timbul kesalahpahaman yang mungkin bisa menciptakan gosip yang lebih besar lagi.

Setelah sekitar 30 menit lebih berkendara, motor Edgar kini telah sampai di depan pagar putih rumahku. Tadi jalanan sebenarnya cukup padat, tapi karena kami berkendara dengan motor, jadi bisa lebih cepat sampai karena terhindar dari macetnya lalu lintas.

“Hati-hati Kak turunnya,” ujar Edgar begitu aku hendak turun dari motor.

Aku pun berhasil turun dari motor yang cukup tinggi itu dengan cukup berhati-hati tentunya.

“Untung malem ini nggak hujan ya,” ujarku dengan nada bergurau.

“Bagus dong kalau gitu,” ujar Edgar.

“Edgar,” ujarku sebelum lelaki itu akan kembali memakai helmnya.

“Kenapa Kak?”

“Kamu udah jauh-jauh nganterin aku. Mau mampir dulu nggak?”

Beberapa detik kemudian, Edgar pun akhirnya menjawab. “Boleh deh Kak,” ujarnya diiringi sebuah anggukan.

“Oke. Yuk masuk dulu. Aku buatin minuman,” ujarku kemudian.

***

Edgar POV

Aku bertemu dengan papanya Lilie begitu memutuskan untuk mampir sebentar. Lilie menjelaskan situasinya dan mengenalkanku pada Papanya sebagai teman kerjanya di kantor.

“Makasih ya Edgar udah repot-repot nganterin Lilie pulang,” ujar lelaki paruh baya di hadapanku sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dan Lilie hanya berdua di teras.

Lilie's House

Aku dan Lilie duduk bersebelahan di kursi teras, yang dibatasi oleh sebuah meja kecil. Aku menikmati teh manis yang Lilie buatkan untukku, kemudian meletakkan cangkir teh tersebut di atas meja.

Aku memang penasaran dan timbul berbagai pertanyaan di benakku, mengapa hanya ada ayahnya Lilie? Lantas ke mana ibunya? Namun tidak mungkin aku bertanya pada Lilie untuk sekedar menjawab rasa penasaranku.

Aku menoleh ke samping. Tatapanku dan Lilie bertemu, lalu entah bagaimana tanpa aku duga, Lilie tiba-tiba berujar, “Papaku udah jadi single parent sejak Mamaku meninggal. Waktu Mama pergi, adek aku yang paling kecil masih umur 10 tahun.”

Aku cukup terkejut mendengarnya. Aku hanya mampu terdiam. Aku bingung bagaimana harus bereaksi dan memberi respon ; yang sebenarnya aku sudah tahu bahwa pasti berat kehilangan sosok yang sangat kita cintai.

“Kak, I'm sorry for your lost,” ucapku setelah beberapa detik hanya keheningan yang menyelimuti kami.

“Kak, waktu itu aku nggak sengaja liat foto di meja kerja. Jadi ... aku pikir Mama Kakak masih ada. Aku minta maaf kalau aku lancang ngomong gini,” ujarku apa adanya.

Aku memperhatikan Lilie, perempuan itu justru nampak mengulaskan senyumnya sekilas. “Nggak papa, Edgar. Pasti tadi kamu heran ya karena cuma ada Papaku aja.”

Aku tidak ingin menduga terlalu jauh, tapi sepertinya aku tahu alasan Lilie sangat berambisi dan giat terhadap pekerjaannya. Lilie adalah tulang punggung bagi keluarganya. Setelah tadi sempat berbincang berdua dengan Papanya Lilie, aku jadi tahu bahwa beliau sudah pensiun bekerja. Selain itu, dari informasi yang aku dapat dari Kak Fina, Lilie bisa berkuliah karena bantuan beasiswa.

Untuk kesekian kalinya, aku berhasil dibuat kagum pada sosok Lilie. Sosok yang tidak disangka, yang malam ini duduk di sampingku dan kami dapat mengobrol ringan, layaknya dua orang yang sudah saling mengenal. Aku dan Lilie mengobrol beberapa hal, Lilie menceritakan tentang bagaimana ia lulus dari kuliahnya. Lilie mengutarakan bahwa ia ingin mendapat pendidikan terbaik karena ingin mendapat pekerjaan terbaik. Terlebih, Papanya telah pensiun, maka Lilielah yang menajdi tulang punggung keluarga.

Sorry aku tiba-tiba jadi cerita kayak gini ke kamu,” ucap Lilie.

“Nggak papa Kak,” ujarku kemudian.

Beberapa menit berselang, aku akhirnya memutuskan untuk berpamitan pulang. Teh manis di gelas sudah habis, juga hari sudah semakin malam. Lilie pasti butuh istirahat, bukannya malah semakin lama menghabiskan waktu mengobrol denganku.

Lilie mengantarku sampai ke depan pagar. Perempuan itu masih di sana, sepertinya baru akan masuk ketika aku sudah berlalu.

Aku membuka kaca helm full face-ku, mesin motorku sudah menyala, tapi aku belum berniat pergi dari sana.

“Kak Lilie,” ujarku.

“Iya Gar?” Lilie lantas menatap lurus ke arahku dan menunggu kalimatku.

“Aku nggak tau gimana rasanya yang Kakak alamin, karena belum pernah ngalamin. Tapi pasti berat banget kehilangan orang yang kita sayang. Kakak hebat udah bisa sampai sejauh ini, ada di titik karir dan posisi Kakak yang sekarang. Nggak papa Kakak pengen cerita, berbagi bukan berarti kita lemah. Kadang kita butuh seseorang buat transfer apa yang kita rasain, biar habis itu bisa ngerasa lebih lega,” ujarku.

Usai mengatakan rentetan kalimat tersebut, aku benar-benar pamit dari hadapan Lilie. Mungkin aku akan merutuki perkataanku nantinya. Namun yang jelas aku ingin Lilie tahu bahwa, tidak masalah menceritakan dan berbagi hal kepada orang lain. Mendapati Lilie yang terlihat menutup diri dan sering memikul bebannya sendirian, membuat aku aku merasa khawatir kepadanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan penyedia produk, saat-saat sibuk dan penuh tekanan dalam bekerja adalah ketika akan launching produk baru. Segala sesuatu tentu perlu dipersiapkan dengan terperinci dan matang. Dimulai dari riset produk, proses produksi, pengujian hasil produksi dari beberapa sampel yang perlu melewati tahap revisi, sampai pada penentuan packaging, hingga perencanaan promosi sebelum produk diluncurkan.

Tentunya semua tim bergerak dan bekerja keras demi tercapainya target penjualan produk baru tersebut. Dari tim marketing, kreatif, hingga product development, semua mengerahkan tenaga serta pikiran mereka, hingga akhirnya hari ini akan diadakan sebuah meeting.

Produk baru mereka telah melalui 4 kali revisi. Sesuai rencana sebelumnya, siang ini setelah jam makan siang, para manager dari setiap divisi akan menghadiri rapat dengan atasan perusahaan. Mereka akan mempresentasikan dan membahas kembali tentang 2 produk terbaru Eu de Parfum IT'S CLEINE akan segera diluncurkan.

Lilie masih berada di ruangan timnya sekitar 10 menit sebelum rapat di mulai. Dua buah packaging berisi botol parfum tengah berada di meja di tengah ruangan. Timnya juga ikut menjajal produk tersebut dan Lilie meminta mereka berkomentar mengenai aroma parfumnya dan juga packaging-nya dilihat dari segi estetikanya.

Eucaplyptus

Loewe

“Gimana menurut kalian?” Lilie bertanya setelah satu-satu dari timnya mencoba menelaah produk milik brand mereka.

“Yang Eucaplyptus ini oke banget sih, Kak. Gue suka harumnya. Target pasar kita kan kelas SES A-B ya, nah ini wanginya ngasih vibes yang nggak murah gitu lho. Wanginya elegan mahal,” Jesslyn memberikan komentarnya.

Sementara Jesslyn dan Ardi sedang fokus pada Eucaplytus, Edgar tengah mencoba Loewe edisi untuk Women dan Valdo mencoba yang edisi untuk Men.

“Gue nggak tau banyak parfum cewek sih, tapi ini wanginya enak, Kak. Manisnya pas, nggak terlalu strong,” ujar Edgar.

“Kemarin Loewe yang Women emang sempet dapet revisi dari anak kreatif. Tim mereka banyak cewek kan, dan emang dikurangin sedikit scennt-nya biar nggak begitu strong manisnya. Udah oke berarti ya,” ujar Lilie.

“Emang lu beneran nggak tau banyak parfum cewek Gar?” celetuk Ardi yang lantas membuat Edgar dan Lilie bersamaan menatap ke arah lelaki itu.

“Kemaren kata anak kreatif, Riana nanya-nanya ke lu buat riset parfum cewek. Lu sama Riana keluar makan siang kan berdua? Ngomongin kerjaan ya katanya, soal riset itu. Jadi gue pikir lu paham banget sama wangi parfum cewek, makanya Riana risetnya ke lu,” ujar Ardi.

“Gue lumayan tau sih, tapi nggak terlalu banyak. Gue kan punya adek cewek, Bang. Riana minta tolong sama gue buat ditanyain bentar, jadi yaudah gue iyain aja,” jelas Edgar menimpali ucapan Ardi.

“Ohh gue kira lu berpengalaman banget sama cewek, gitu.” Ucapan Ardi itu tidak ditanggapi lagi oleh Edgar, juga mereka yang ada di ruangan itu melupakannya begitu saja.

Siang ini yang akan ikut meeting dengan Lilie adalah hanya Valdo. Sebelum meninggalkan ruangan, Lilie membawa proposal yang telah disusun oleh timnya.

Valdo mengingatkan pada Lilie, “Lie, ini nggak dibawa sampel parfumnya?”

“Oh, enggak Mas. Tadi dapet indo dari sekretarisnya beliau, yang buat sample dipresentasiin udah ditaro di ruangannya kok. Jadi kita nggak usah bawa lagi,” ucap Lilie.

Valdo lantas hanya mengangguk. Lilie pun melangkah lebih dulu keluar ruangan, tidak lupa para timnya memberikannya semangat untuk kedua orang itu. Tatapan Edgar sempat bersinggungan dengan Valdo sebelum lelaki itu benar-benar menghilang di balik pintu. Edgar tidak mengerti arti tatapan itu, tapi yang jelas Valdo menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang coba Valdo tahan karena tidak bisa diungkapkan saat itu juga.

Edgar pun lantas berpikir. Apakah itu berhubungan tentang perkataan Ardi tentangnya beberapa saat lalu? Apa Valdo baru saja mengira bahwa Edgar adalah tipe lelaki yang bisa mudah dekat dengan banyak perempuan? Maka kalau iya, itu adalah kabar yang buruk untuk Edgar. Valdo sebelumnya telah percaya bahwa Edgar serius menyukai Lilie dan tidak akan menyakiti perempuan itu, tapi sepertinya Valdo tengah salah menduga.

***

Apa yang terjadi di area kantor akan dengan mudah menjadi perbincangan yang dapat menyebar cepat dari satu mulut ke mulut lainnya. Hingga spekulasi pun akhirnya terbentuk, entah sengaja dibuat atau memang tercipta begitu saja. Banyak berita yang saat ini tengah beredar di kantor. Selain mengenai Edgar yang pergi makan siang dengan Lilie berdua, ada berita juga bahwa Edgar pergi makan siang dengan Riana dan tengah mendekati gadis itu.

Edgar baru akan kembali ke ruangan setelah dari pantry, di sana ia berpapasan dengan Riana dan beberapa orang perempuan dari divisi kreatif. Edgar pun secara otomatis mendengar pembicaraan antara Riana dengan teman-temannya.

“Katanya CEO sama owner kita ganti ya.”

“Bukan Pak Tirta lagi dong sekarang?”

“Iya, katanya bukan owner yang lama lagi. Gue kira cuma dibeli, nggak taunya kepemimpinannya diambil alih juga. Masih muda lho CEOnya, tadi gue denger-denger namanya Pak Marcel Moeis.”

Begitu Riana menyadari kehadiran Edgar di sana, perempuan itu langsung menghentikan langkahnya dan menyapa Edgar. Kemudian teman-temannya diminta ke ruangan lebih dulu oleh Riana, hingga di sana hanya menyisakan Riana dan Edgar saja.

“Ri, sorry, gue tadi nggak sengaja denger omongan lo sama temen-temen lo. Kalau gue boleh tau, siapa nama CEO baru yang tadi lo sebutin?” ujar Edgar.

“Oh, nama beliau Pak Marcellio Moeis. Denger-denger sih ya, tapi belum pasti bener. Katanya Pak Marcel dua minggu lalu baru aja beli perusahaan ini dan bakal jadi CEO juga buat seterusnya. Tadi kan Mbak Devina, atasan gue di kreatif, baru rapat sama manager dari divisi lain untuk ketemu sama bos baru. Karena dialihin dari Pak Tirta ke Pak Marcel, jadi perlu presentasi lagi ke Pak Marcel soal update revisian produk baru,” terang Riana sebanyak yang ia ketahui.

Edgar tidak mungkin salah mendengar nama yang disebutkan oleh Riana. Edgar masih berusaha menampik bahwa nama Marcellio Moeis mungkin tidak hanya milik satu orang, jadi ada kemungkinan Marcel CEO di perusahaan ini adalah Marcel yang ia ketahui. Namun rasanya sulit untuk berpikir demikian.

Edgar akhirnya berlalu dari sana setelah mendapat penjelasan dari Riana. Sesampainya Edgar di ruangan, ia segera mencari tahu fakta yang membuatnya penasaran itu.

Di WhatsApp Grup divisinya, terdapat perbincangan baru tentang informasi yang baru saja Edgar akan cari. CEO dan pemilik yang telah membeli IT'S CLEINE adalah jelas Marcellio Moeis yang Edgar ketahui sebagai mantan kekasih Lilie. Edgar tidak habis pikir, cobaan apa lagi ini. Rasanya Edgar seperti masuk ke dalam kandang milik rivalnya sendiri. Lantas muncul banyak dugaan di benak Edgar. Apakah Marcel memiliki alasan membeli perusahaan ini? Yang jadi pertanyaannya, dari sekian banyak perusahaan yang bisa Marcel beli, kenapa harus perusahaan tempat Lilie bekerja?

***

“Edgar,” panggilan itu seketika membuat Edgar menoleh. Edgar baru saja akan mengenakan helmnya. Di parkiran kantor itu, Edgar mendapati sosok Valdo dan lelaki itu segera berjalan menghampirinya. “Ada yang mau gue omongin sama lo,” ujar Valdo setelah akhirnya berhadapan dengan Edgar.

“Mau ngomong apa Bang?” Edgar pun bertanya. Ia merasa bahwa Valdo akan menanyakan hal yang cukup penting.

Valdo pun memperhatikan keadaan sekitar. Setelah dirasa aman karena tidak ada yang akan mendengar pembicaraannya dengan Edgar, Valdo akhirnya bertanya, “Lo deket sama Riana?”

“Maksudnya?” Edgar justru balik bertanya. Namun ia cepat mengerti ke mana arah pembicaraan Valdo. “Bang, gosip itu nggak bener. Gue sama Riana makan berdua cuma karena dia mau minta tolong sama gue buat riset produk,” jelas Edgar.

“Tapi kenapa harus lo? Laki-laki di kantor kita kan banyak. Kayaknya lo spesial banget di mata Riana, ya? Gar, asal lo tau ya. Lilie udah gue anggap kayak adek gue sendiri. Gue nggak akan diem aja kalau ada yang berani nyakitin perasaan dia.”

“Bang, sumpah gue sama Riana nggak ada apa-apa. Gue cuma punya perasaan untuk Lilie, nggak untuk orang lain,” Edgar berusaha meluruskan kesalahan pahaman yang telah terjadi.

“Tadi siang gue liat lo ngobrol sama Riana. Lama banget lagi, ada kali hampir lima belas menit. Kalau seandainya Lilie ngeliat gimana? Dia mungkin akan semakin membenarkan gosip tentang lo, Gar,” papar Valdo.

“Gue tadi ngobrol sama Riana karena nanyain sesuatu, Bang,” Edgar pun akhirnya mengatakan yang sebenarnya terjadi. “Lo tadi siang ikut Kak Lilie meeting samaa atasan perusahaan, kan? Apa lo tau siapa CEO baru dan owner perushaaan?”

“Iya, gue tau. Pak Marcellio Moeis, beliau *owner *sekaligus CEO baru di kantor kita,” ucap Valdo.

“Marcel itu mantannya Lilie, Bang. Marcellio Moeis, CEO baru perusahaan ini, mantannya Lilie,” ucap Edgar sebisa mungkin memelankan suaranya.

Valdo masih menatap Edgar di sana. Valdo terlihat sedikit terkejut, karena sebenarnya ia memang tidak tahu menahu mengenai hal tersebut.

“Gar, jangan-jangan mantannya Lilie yang bikin dia trauma itu Pak Marcel?” ujar Valdo lebih ke sebuah pertanyaan yang jawabannya sama sekali tidak didukung oleh bukti apa pun.

“Bang, gue kira lo udah tau tentang ini. Tapi kalau pun itu bener, kenapa harus perusahaan ini yang dibeli sama Marcel? Apa ada hubungannya sama Lilie?” ujar Edgar.

Baik Edgar atau pun Valdo, keduanya tidak tahu terlalu jauh sampai ke sana. Hanya saja, rasanya ada yang sedikit janggal. Dari sekian banyak bisnis mau pun company yang sangat mampu diambil alih oleh Marcel, mengapa lelaki itu memilih perusahaan lokal brand yang merupakan tempat Lilie bekerja?

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Hari demi hari telah berlalu. Kini sudah terhitung tepat 1 minggu sejak Edgar magang di IT'S CLEINE. Edgar perlahan sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan yang harus dilakukannya. Lilie banyak membantunya dan membimbingnya. Jam kerja dari pukul 9 pagi sampai 5 sore, bukanlah waktu yang sebentar, dan pekerjaannya cukup terasa melelahkan. Namun Edgar tidak terlalu merasakan lelah terebut, ia justru selalu semangat setiap berangkat kerja dan waktu terasa cepat berlalu ketika ia berada di kantor.

Edgar jadi tahu beberapa fakta tentang Lilie. Begitu juga dengan Lilie, perempuan itu mengetahui beberapa hal tentang Edgar. Dalam dunia kerja, hubungan baik dan saling mengenal antara rekan adalah hal yang sangat penting. Relasi harus dibangun dengan baik, dengan harapan ke depannya kerja di dalam tim dapat terjalin secara bersinergi.

Namun beberapa kali dalam hal kecil, Edgar mecoba menunjukkan perhatiannya kepada Lilie. Sebagai karyawan magang dan mentor, Edgar dan Lilie sudah mulai saling mengenal. Pengenalan tersebut terjadi secara alamiah begitu saja, menciptakan chemistry di antara keduanya. Namun sebisa mungkin, Edgar tidak terlalu menunjukkan bahwa ia memiliki perasaan khusus untuk Lilie. Rasa saling menghargai dan menghormati, tentunya begitu penting di dalam dunia kerja. Edgar pun menjunjung tinggi hal tersebut, karena Lilie juga demikian.

Hari ini ketika memasuki jam istirahat makan siang, orang-orang yang berada di divisi social media marketing, berencana untuk makan siang bersama di restoran nasi padang yang terletak tidak jauh dari kantor. Sebenarnya Lilie ingin ikut, tapi tiba-tiba ia mendapat panggilan dari direktur, tepat 10 menit sebelum waktu istirahat.

Guys, ini Lilie ngabarin di WA grup, katanya kemungkinan masih lama di ruangan direktur. Kita disuruh duluan aja, nggak usah nungguin dia,” ujar Valdo yang baru saja mengecek ponselnya.

Edgar yang masih duduk di kursinya pun otomatis melihat notif WhatsApp Grup di ponselnya. Nenar saja yang dikatakan Valdo kalau Lilie meminta mereka untuk tidak menunggunya. Artinya sama saja dengan Lilie tidak jadi ikut dengan para timnya untuk makan siang di luar.

“Gimana nih? Kita berempat ya aja jadinya?” tanya Ardi.

“Iya deh. Coba tanyain ke Kak Lilie, dia mau nitip apa gitu. Biar nanti kita beliin,” ucap Jesslyn.

“Ini Kak Lilie bilang, dia mau order makanan sendiri nanti,” ujar Edgar yang melihat lebih dulu balasan dari Lilie.

“Oh, oke kalau gitu. Yuk kita berangkat sekarang,” ujar Ardi yang akhirnya keluar lebih dulu dari ruangan. Jesslyn menyusul langkah Ardi setelahnya, hingga tersisa Edgar dan Valdo di sana.

“Gar, ayo gece,” ajak Valdo pada Edgar yang masih belum beranjak dri kursinya.

“Iya, bentar,” ucap Edgar yang lantas segera beranjak dari duduknya. Valdo menatap curiga pada Edgar dan lelaki itu juga menyadarinya.

“Kenapa Bang?” tanya Edgar pada Valdo.

“Lu khawatir sama Lilie?” tembak Valdo to the point. Dari nada suaranya terkesan bahwa lelaki itu tidak asal saja menebak.

Edgar pun berdeham satu kali. Ia tidak langsung menanggapi pertanyaan tak terduga yang dilontarkan Valdo tersebut.

“Emang lu enggak khawatir Bang?” Edgar justru balik bertanya dengan nada bergurau.

“Bukannya lu yang bilang Bang, anak-anak suka khawatir sama Kak Lilie karena dia sering lupa makan siang,” tambah Edgar kemudian.

“Oh iya sih,” ucap Valdo akhirnya diiringi sebuah anggukan. “Eh, wait,” ujar Valdo lagi tiba-tiba.

“Kenapa Bang?”

“Kemarin ada kiriman makanan, terus yang nganter bilang pesenannya itu atas nama lu. Tapi lu kan udah makan siang bareng kita. Terus itu buat siapa makanannya?”

Valdo jelas-jelas mendapati hal tersebut dan tentu ia merasa heran. “Sekhawatir khawatirnya gue, Ardi, Jesslyn ke Lilie, jarang sih ada inisiatif dari kita buat beliin dia makanan. Kitanya agak sungkan aja gitu,” terang Valdo.

“Iya, Bang. Gue yang beliin itu buat Kak Lilie,” aku Edgar akhirnya. Mau tidak mau, Edgar pun mengatakan kebenarannya kepada Valdo.

Valdo serta merta menatap Edgar dengan tatapan curiga, kemudian pria itu tertawa sambil melayangkan tatapan tidak percaya. “Anjir ni anak. Baru magang udah mau ngegebet Lilie. Wah, gila juga,” ujar Valdo dengan kedua matanya yang membeliak.

“Bang, please. Tolong keep ini di lu, yaa?” pinta Edgar dengan tatapan memohonnya.

Valdo menghela napas panjangnya setelah akhirnya mengetahui fakta mengejutkan tersebut. “Gar, lu serius suka sama Lilie?” Justru pertanyaan itu yang kemudian dilontarkan oleh Valdo.

“Gue serius, Bang. Please, jangan sampe Kak Lilie tau dulu. Kak Lilie kan mentor magang gue di sini, kalau dia tau kemungkinan hubungan gue sama dia malah jadi canggung,” ujar Edgar.

“Anjir. Kayaknya bakal ribet nih urusannya, Gar. Di kantor tantangannya tuh lebih banyak kalau ada perasaan khusus kayak gini. Haduh,” ucap Valdo.

“Iya, gue tau sih Bang,” ucap Edgar dengan nada pasrahnya.

“Aduh, si anjir. Ada-ada aja nih anak ya.” Valdo pun nampak pusing setelah akhirnya mengetahui fakta tersebut. Sebenarnya selama beberapa hari belakangan, Valdo sudah merasa heran. Namun Valdo berniat untuk memantau terlebih dulu. Baru ketika Valdo mendapati bukti nyata di depan matanya, ia akan menembak agar hasilnya tepat sasaran.

***

Sekitar 15 menit sebelum istirahat makan siang berakhir, Edgar dan yang lainnya telah kembali ke kantor. Edgar mendapati Lilie berada di sana, perempuan itu sedang berkutat pada laptop di hadapannya. Edgar sekilas melirik Valdo yang tiba-tiba juga melihatnya. Dari isyarat mata, Edgar tahu bahwa Valdo tengah mengawasinya. Valdo memang belum berkomentar lebih jauh, soal Edgar yang menyukai Lilie. Valdo tidak menjamin itu akan aman, tapi lelaki itu akan tutup mulut. Saat ini yang tahu benar-benar hanya Valdo saja.

“Kak, udah makan?” Edgar bertanya pada Lilie. Lilie seketika mengalihkan atensinya dari layar laptop kepada Edgar yang duduk di sampingnya.

“Aku udah order, bentar lagi nyampe,” jawab Lilie kemudian.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara Edgar dan Lilie. Edgar memutuskan membuka laptopnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Edgar kembali melihat Valdo dan mendapati lelaki itu juga tengah menatapnya, seolah memang sedang mengawasi gerak-geriknya. Edgar tahu, cepat atau lambat pasti ada yang menyadari sikapnya yang berbeda terhadap Lilie.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan para karyawan sudah meninggalkan ruangan. Namun belum semuanya pulang, di sana tersisa Lilie, Edgar, dan Valdo. Nampak dari jendela di ruangan, langit telah berubah warna menjadi lebih gelap dari biasanya.

Lilie menoleh dan menatap ke arah langit dari dinding kaca di ruangan. “Kayaknya bakal hujan lagi nih ya,” ucapnya.

“Nggak bawa payung Kak emangnya?” Edgar bertanya pada Lilie. Lilie lantas menjawab pertanyaan tersbut dengan sebuah gelengan. Ia mengatakan bahwa dirinya lupa membawa benda tersebut.

Valdo yang mempunya ide di dalam kepalanya pun lekas berceletuk, “Edgar, lo bawa motor kan?”

“Iya, bawa. Kenapa emangnya Bang?” sahut Edgar.

“Ini kan udah mau hujan. Gue saranin lo anterin Lilie sampe ke halte Transjakarta, biar Lilie nggak kehujanan,” ucap Valdo dengan entengnya dan terlihat biasa saja ketika mengungkapkan sarannya tersebut.

Ucapan Valdo itu langsung membuat Lilie dan Edgar saling bertatapan. Keduanya lantas saling diam dan terlihat canggung. Namun Valdo segera berusaha untuk mengubah situasinya dengan berujar, “Kalau udah sampe halte kan Lilie aman. Gue bawa mobil sih, tapi masih ada kerjaan yang harus diselesein. Mending kalian otw sekarang deh, keburu hujan beneran.”

Akhirnya Edgar dan Lilie setuju untuk pergi berdua, sesuai saran yang diberikan oleh Valdo. Lilie merapikan barang-barangnya, begitupun dengan Edgar. Lelaki itu memakai jaket kulitnya dan segera mengambil kunci motornya.

“Kak, nanti tunggu di lobi aja. Aku ngambil motor dulu di parkiran,” ucapan Edgar terdengar sayup-sayup oleh Valdo yang masih berada di ruangan. Lucu juga, pikirnya. Valdo pun merasa bahwa sepertinya ia telah melakukan hal yang tepat. Melihat tingkah laku Edgar yang sinkron dengan pernyataannya tentang menyukai Lilie, membuat Valdo yakin ia sudah mengambil langkah yang tepat untuk mendekatkan dua sejoli itu.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

It's Oke to Tell

Mengenai kejadian dua hari lalu, pada akhirnya Marcel yang mengantar Lilie pulang. Benar saja, hujan turun cukup deras beberapa saat setelah Lilie dan Marcel meninggalkan Edgar di kafe itu.

Langit yang menurunkan hujan malam itu, seolah melengkapi suasana hati melankolis yang tengah dirasakan oleh Edgar. Lelaki itu sedikit terluka, tapi tidak lantas membuatnya menyerah untuk memperjuangkan Lilie. Bagi Edgar, ia belum berjuang untuk membuat Lilie mencintainya. Jadi, sebenarnya perjuangan baru akan dimulai. Kalau pun nantinya ada persaingan, Edgar tidak akan masalah dengan hal itu. Ia siap untuk bersaing, meskipun saingannya adalah masa lalu Lilie ; seorang yang terlihat sempurna dari segala aspek jika dibandingkan dengannya.

Hari ini Edgar dan Lilie memang telah berencana untuk pulang lebih telat dibandingkan karyawan di divisi sosial media yang lain. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan dan deadline-nya adalah besok pagi, jadi pulang telat merupakan solusi agar target pekerjaan dapat tercapai.

Waktu kini telah menunjukkan pukul 8 malam. Akhirnya pekerjaan yang dikerjakan Lilie dan Edgar telah selesai. Lilie bergerak mengemasi barang-barangnya, begitu juga dengan Edgar. Tadi siang, mereka telah membicarakan kalau akan lembur dan Edgar menawarkan untuk mengantar Lilie pulang. Edgar bilang, arah rumahnya dan Lilie searah, jadi tidak masalah baginya untuk mengantar Lilie.

“Rumah kamu di daerah mana sih Gar?” Lilie bertanya ketika mereka berjalan bersisian menuju parkiran motor.

“Searah deh Kak sama rumah Kakak,” jawab Edgar.

“Yaa rumah kamu di daerah mana?” Lilie masih bertanya.

Edgar menyerahkan helm kepada Lilie. Lilie segera menerimanya dan memakai benda itu di kepalanya.

“Rumah aku di daerah Pondok Indah. Sekitar delapan kilo meter jaraknya dari rumah Kakak. Deket, kan?”

“Itu jauh, Edgar. Arahnya beneran searah? Taunya nanti enggak.”

“Searah, Kak,” ucap Edgar sambil memakai helmnya. Lilie akhirnya hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Edgar kemudian mulai naik ke motornya lebih dulu dan menunggu Lilie untuk naik ke boncengan.

Motor Edgar yang cukup tinggi membuat Lilie agak susah ketika ia akan naik ke boncengan. Jadi otomatis Lilie menjadikan pundak Edgar sebagai pegangan untuk menjaga tubuhnya tetap seimbang ketika naik ke atas motor.

Selama beberapa detik itu terjadi, Edgar merutuki jantungnya yang berdetak tidak normal. Lagi, itu terjadi ketika Lilie berada di dekatnya, terlebih ketika Lilie melakukan sesuatu yang entah bagaimana bisa berhasil membuat hatinya membuncah bahagia.

“Udah Kak?” Edgar bertanya untuk memastikan Lilie telah duduk dengan nyaman di jok motornya.

“Udah,” ujar Lilie.

Setelah ujaran tersebut, Edgar segera menjalankan motornya meningglkan parkiran.

Jarak duduk antara Edgar dan Lilie memang sangat dekat, dikarenakan jok motor Edgar yang berukuran minim. Namun posisi keduanya masih dibatasi oleh tas ransel hitam milik Edgar. Karena alasan kesopanan dan saling menghormati satu sama lain, Edgar sebelumnya telah mengatakan Lilie bisa berpegangan pada tasnya jika perempuan itu ingin berpegangan.

***

Lilie POV

Malam ini aku kembali lembur di kantor, tapi ada yang berbeda dari biasanya, yakni Edgar bersedia menemaniku menyelesaikan pekerjaan di luar jam normal. Sebenarnya tidak ada ketentuan bagi anak magang untuk lembur, tapi Edgar mengatakan ia tidak keberatan untuk melakukannya.

Selain itu, Edgar menawarkanku untuk mengantar pulang sampai rumah. Aku sebenarnya tidak enak untuk lagi-lagi menerima kebaikannya, karena sebelumnya Edgar juga telah banyak berbuat baik kepadaku. Edgar beberapa kali membelikan makanan untukku dan malam ini, bahkan ia bersedia kerja lembur di kantor bersamaku.

Namun pada akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Mungkin ini akan jadi pertama dan terakhir Edgar mengantarku ke rumah dan sampai repot seperti ini. Bukannya aku sombong karena ingin menolak tawaran baik seseorang, tapi gosip yang semakin santer terdengar di kantor tentang aku dan Edgar ; membuatku akhirnya merasa sungkan juga terhadapnya. Pastilah juga rasanya tidak nyaman bagi Edgar, apalagi dia juga terlihat dekat dengan Riana. Aku tidak ingin timbul kesalahpahaman yang mungkin bisa menciptakan gosip yang lebih besar lagi.

Setelah sekitar 30 menit lebih berkendara, motor Edgar kini telah sampai di depan pagar putih rumahku. Tadi jalanan sebenarnya cukup padat, tapi karena kami berkendara dengan motor, jadi bisa lebih cepat sampai karena terhindar dari macetnya lalu lintas.

“Hati-hati Kak turunnya,” ujar Edgar begitu aku hendak turun dari motor.

Aku pun berhasil turun dari motor yang cukup tinggi itu dengan cukup berhati-hati tentunya.

“Untung malem ini nggak hujan ya,” ujarku dengan nada bergurau.

“Bagus dong kalau gitu,” ujar Edgar.

“Edgar,” ujarku sebelum lelaki itu akan kembali memakai helmnya.

“Kenapa Kak?”

“Kamu udah jauh-jauh nganterin aku. Mau mampir dulu nggak?”

Beberapa detik kemudian, Edgar pun akhirnya menjawab. “Boleh deh Kak,” ujarnya diiringi sebuah anggukan.

“Oke. Yuk masuk dulu. Aku buatin minuman,” ujarku kemudian.

***

Edgar POV

Aku bertemu dengan papanya Lilie begitu memutuskan untuk mampir sebentar. Lilie menjelaskan situasinya dan mengenalkanku pada Papanya sebagai teman kerjanya di kantor.

“Makasih ya Edgar udah repot-repot nganterin Lilie pulang,” ujar lelaki paruh baya di hadapanku sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dan Lilie hanya berdua di teras.

Lilie's House

Aku dan Lilie duduk bersebelahan di kursi teras, yang dibatasi oleh sebuah meja kecil. Aku menikmati teh manis yang Lilie buatkan untukku, kemudian meletakkan cangkir teh tersebut di atas meja.

Aku memang penasaran dan timbul berbagai pertanyaan di benakku, mengapa hanya ada ayahnya Lilie? Lantas ke mana ibunya? Namun tidak mungkin aku bertanya pada Lilie untuk sekedar menjawab rasa penasaranku.

Aku menoleh ke samping. Tatapanku dan Lilie bertemu, lalu entah bagaimana tanpa aku duga, Lilie tiba-tiba berujar, “Papaku udah jadi single parent sejak Mamaku meninggal. Waktu Mama pergi, adek aku yang paling kecil masih umur 10 tahun.”

Aku cukup terkejut mendengarnya. Aku hanya mampu terdiam. Aku bingung bagaimana harus bereaksi dan memberi respon ; yang sebenarnya aku sudah tahu bahwa pasti berat kehilangan sosok yang sangat kita cintai.

“Kak, I'm sorry for your lost,” ucapku setelah beberapa detik hanya keheningan yang menyelimuti kami.

“Kak, waktu itu aku nggak sengaja liat foto di meja kerja. Jadi ... aku pikir Mama Kakak masih ada. Aku minta maaf kalau aku lancang ngomong gini,” ujarku apa adanya.

Aku memperhatikan Lilie, perempuan itu justru nampak mengulaskan senyumnya sekilas. “Nggak papa, Edgar. Pasti tadi kamu heran ya karena cuma ada Papaku aja.”

Aku tidak ingin menduga terlalu jauh, tapi sepertinya aku tahu alasan Lilie sangat berambisi dan giat terhadap pekerjaannya. Lilie adalah tulang punggung bagi keluarganya. Setelah tadi sempat berbincang berdua dengan Papanya Lilie, aku jadi tahu bahwa beliau sudah pensiun bekerja. Selain itu, dari informasi yang aku dapat dari Kak Fina, Lilie bisa berkuliah karena bantuan beasiswa.

Untuk kesekian kalinya, aku berhasil dibuat kagum pada sosok Lilie. Sosok yang tidak disangka, yang malam ini duduk di sampingku dan kami dapat mengobrol ringan, layaknya dua orang yang sudah saling mengenal. Aku dan Lilie mengobrol beberapa hal, Lilie menceritakan tentang bagaimana ia lulus dari kuliahnya. Lilie mengutarakan bahwa ia ingin mendapat pendidikan terbaik karena ingin mendapat pekerjaan terbaik. Terlebih, Papanya telah pensiun, maka Lilielah yang menajdi tulang punggung keluarga.

Sorry aku tiba-tiba jadi cerita kayak gini ke kamu,” ucap Lilie.

“Nggak papa Kak,” ujarku kemudian.

Beberapa menit berselang, aku akhirnya memutuskan untuk berpamitan pulang. Teh manis di gelas sudah habis, juga hari sudah semakin malam. Lilie pasti butuh istirahat, bukannya malah semakin lama menghabiskan waktu mengobrol denganku.

Lilie mengantarku sampai ke depan pagar. Perempuan itu masih di sana, sepertinya baru akan masuk ketika aku sudah berlalu.

Aku membuka kaca helm full face-ku, mesin motorku sudah menyala, tapi aku belum berniat pergi dari sana.

“Kak Lilie,” ujarku.

“Iya Gar?” Lilie lantas menatap lurus ke arahku dan menunggu kalimatku.

“Aku nggak tau gimana rasanya yang Kakak alamin, karena belum pernah ngalamin. Tapi pasti berat banget kehilangan orang yang kita sayang. Kakak hebat udah bisa sampai sejauh ini, ada di titik karir dan posisi Kakak yang sekarang. Nggak papa Kakak pengen cerita, berbagi bukan berarti kita lemah. Kadang kita butuh seseorang buat transfer apa yang kita rasain, biar habis itu bisa ngerasa lebih lega,” ujarku.

Usai mengatakan rentetan kalimat tersebut, aku benar-benar pamit dari hadapan Lilie. Mungkin aku akan merutuki perkataanku nantinya. Namun yang jelas aku ingin Lilie tahu bahwa, tidak masalah menceritakan dan berbagi hal kepada orang lain. Mendapati Lilie yang terkesan menutup diri dan terlihat sering memikul bebannya seorang diri, membuat aku aku kerap kali merasa khawatir kepadanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

It's Oke to Tell

Mengenai kejadian dua hari lalu, pada akhirnya Marcel yang mengantar Lilie pulang. Benar saja, hujan turun cukup deras beberapa saat setelah Lilie dan Marcel meninggalkan Edgar di kafe itu.

Langit yang menurunkan hujan malam itu, seolah melengkapi suasana hati melankolis yang tengah dirasakan oleh Edgar. Lelaki itu sedikit terluka, tapi tidak lantas membuatnya menyerah untuk memperjuangkan Lilie. Bagi Edgar, ia belum berjuang untuk membuat Lilie mencintainya. Jadi, sebenarnya perjuangan baru akan dimulai. Kalau pun nantinya ada persaingan, Edgar tidak akan masalah dengan hal itu. Ia siap untuk bersaing, meskipun saingannya adalah masa lalu Lilie ; seseorang yang terlihat sempurna dari segala aspek jika dibandingkan dengannya.

Hari ini Edgar dan Lilie memang telah berencana untuk pulang lebih telat dibandingkan karyawan di divisi sosial media yang lain. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan dan deadline-nya adalah besok pagi, jadi pulang telat merupakan solusi agar target pekerjaan dapat tercapai.

Waktu kini telah menunjukkan pukul 8 malam. Akhirnya pekerjaan yang dikerjakan Lilie dan Edgar telah selesai. Lilie bergerak mengemasi barang-barangnya, begitu juga dengan Edgar. Tadi siang, mereka telah membicarakan kalau akan lembur dan Edgar menawarkan untuk mengantar Lilie pulang. Edgar bilang, arah rumahnya dan Lilie searah, jadi tidak masalah baginya untuk mengantar Lilie.

“Rumah kamu di daerah mana sih Gar?” Lilie bertanya ketika mereka berjalan bersisian menuju parkiran motor.

“Searah deh Kak sama rumah Kakak,” jawab Edgar.

“Yaa rumah kamu di daerah mana?” Lilie masih bertanya.

Edgar menyerahkan helm kepada Lilie. Lilie segera menerimanya dan memakai benda itu di kepalanya.

“Rumah aku di daerah Pondok Indah. Sekitar delapan kilo meter jaraknya dari rumah Kakak. Deket, kan?”

“Itu jauh, Edgar. Arahnya beneran searah? Taunya nanti enggak.”

“Searah, Kak,” ucap Edgar sambil memakai helmnya. Lilie akhirnya hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Edgar kemudian mulai naik ke motornya lebih dulu dan menunggu Lilie untuk naik ke boncengan.

Motor Edgar yang cukup tinggi membuat Lilie agak susah ketika ia akan naik ke boncengan. Jadi otomatis Lilie menjadikan pundak Edgar sebagai pegangan untuk menjaga tubuhnya tetap seimbang ketika naik ke atas motor.

Selama beberapa detik itu terjadi, Edgar merutuki jantungnya yang berdetak tidak normal. Lagi, itu terjadi ketika Lilie berada di dekatnya, terlebih ketika Lilie melakukan sesuatu yang entah bagaimana bisa berhasil membuat hatinya membuncah bahagia.

“Udah Kak?” Edgar bertanya untuk memastikan Lilie telah duduk dengan nyaman di jok motornya.

“Udah,” ujar Lilie.

Setelah ujaran tersebut, Edgar segera menjalankan motornya meningglkan parkiran.

Jarak duduk antara Edgar dan Lilie memang sangat dekat, dikarenakan jok motor Edgar yang berukuran minim. Namun posisi keduanya masih dibatasi oleh tas ransel hitam milik Edgar. Karena alasan kesopanan dan saling menghormati satu sama lain, Edgar sebelumnya telah mengatakan Lilie bisa berpegangan pada tasnya jika perempuan itu ingin berpegangan.

***

Lilie POV

Malam ini aku kembali lembur di kantor, tapi ada yang berbeda dari biasanya, yakni Edgar bersedia menemaniku menyelesaikan pekerjaan di luar jam normal. Sebenarnya tidak ada ketentuan bagi anak magang untuk lembur, tapi Edgar mengatakan ia tidak keberatan untuk melakukannya.

Selain itu, Edgar menawarkanku untuk mengantar pulang sampai rumah. Aku sebenarnya tidak enak untuk lagi-lagi menerima kebaikannya, karena sebelumnya Edgar juga telah banyak berbuat baik kepadaku. Edgar beberapa kali membelikan makanan untukku dan malam ini, bahkan ia bersedia kerja lembur di kantor bersamaku.

Namun pada akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Mungkin ini akan jadi pertama dan terakhir Edgar mengantarku ke rumah dan sampai repot seperti ini. Bukannya aku sombong karena ingin menolak tawaran baik seseorang, tapi gosip yang semakin santer terdengar di kantor tentang aku dan Edgar ; membuatku akhirnya merasa sungkan juga terhadapnya. Pastilah juga rasanya tidak nyaman bagi Edgar, apalagi dia juga terlihat dekat dengan Riana. Aku tidak ingin timbul kesalahpahaman yang mungkin bisa menciptakan gosip yang lebih besar lagi.

Setelah sekitar 30 menit lebih berkendara, motor Edgar kini telah sampai di depan pagar putih rumahku. Tadi jalanan sebenarnya cukup padat, tapi karena kami berkendara dengan motor, jadi bisa lebih cepat sampai karena terhindar dari macetnya lalu lintas.

“Hati-hati Kak turunnya,” ujar Edgar begitu aku hendak turun dari motor.

Aku pun berhasil turun dari motor yang cukup tinggi itu dengan cukup berhati-hati tentunya.

“Untung malem ini nggak hujan ya,” ujarku dengan nada bergurau.

“Bagus dong kalau gitu,” ujar Edgar.

“Edgar,” ujarku sebelum lelaki itu akan kembali memakai helmnya.

“Kenapa Kak?”

“Kamu udah jauh-jauh nganterin aku. Mau mampir dulu nggak?”

Beberapa detik kemudian, Edgar pun akhirnya menjawab. “Boleh deh Kak,” ujarnya diiringi sebuah anggukan.

“Oke. Yuk masuk dulu. Aku buatin minuman,” ujarku kemudian.

***

Edgar POV

Aku bertemu dengan papanya Lilie begitu memutuskan untuk mampir sebentar. Lilie menjelaskan situasinya dan mengenalkanku pada Papanya sebagai teman kerjanya di kantor.

“Makasih ya Edgar udah repot-repot nganterin Lilie pulang,” ujar lelaki paruh baya di hadapanku sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dan Lilie hanya berdua di teras.

Lilie's House

Aku dan Lilie duduk bersebelahan di kursi teras, yang dibatasi oleh sebuah meja kecil. Aku menikmati teh manis yang Lilie buatkan untukku, kemudian meletakkan cangkir teh tersebut di atas meja.

Aku memang penasaran dan timbul berbagai pertanyaan di benakku, mengapa hanya ada ayahnya Lilie? Lantas ke mana ibunya? Namun tidak mungkin aku bertanya pada Lilie untuk sekedar menjawab rasa penasaranku.

Aku menoleh ke samping. Tatapanku dan Lilie bertemu, lalu entah bagaimana tanpa aku duga, Lilie tiba-tiba berujar, “Papaku udah jadi single parent sejak Mamaku meninggal. Waktu Mama pergi, adek aku yang paling kecil masih umur 10 tahun.”

Aku cukup terkejut mendengarnya. Aku hanya mampu terdiam. Aku bingung bagaimana harus bereaksi dan memberi respon ; yang sebenarnya aku sudah tahu bahwa pasti berat kehilangan sosok yang sangat kita cintai.

“Kak, I'm sorry for your lost,” ucapku setelah beberapa detik hanya keheningan yang menyelimuti kami.

“Kak, waktu itu aku nggak sengaja liat foto di meja kerja. Jadi ... aku pikir Mama Kakak masih ada. Aku minta maaf kalau aku lancang ngomong gini,” ujarku apa adanya.

Aku memperhatikan Lilie, perempuan itu justru nampak mengulaskan senyumnya sekilas. “Nggak papa, Edgar. Pasti tadi kamu heran ya karena cuma ada Papaku aja.”

Aku tidak ingin menduga terlalu jauh, tapi sepertinya aku tahu alasan Lilie sangat berambisi dan giat terhadap pekerjaannya. Lilie adalah tulang punggung bagi keluarganya. Setelah tadi sempat berbincang berdua dengan Papanya Lilie, aku jadi tahu bahwa beliau sudah pensiun bekerja. Selain itu, dari informasi yang aku dapat dari Kak Fina, Lilie bisa berkuliah karena bantuan beasiswa.

Untuk kesekian kalinya, aku berhasil dibuat kagum pada sosok Lilie. Sosok yang tidak disangka, yang malam ini duduk di sampingku dan kami dapat mengobrol ringan, layaknya dua orang yang sudah saling mengenal. Aku dan Lilie mengobrol beberapa hal, Lilie menceritakan tentang bagaimana ia lulus dari kuliahnya. Lilie mengutarakan bahwa ia ingin mendapat pendidikan terbaik karena ingin mendapat pekerjaan terbaik. Terlebih, Papanya telah pensiun, maka Lilielah yang menajdi tulang punggung keluarga.

Sorry aku tiba-tiba jadi cerita kayak gini ke kamu,” ucap Lilie.

“Nggak papa Kak,” ujarku kemudian.

Beberapa menit berselang, aku akhirnya memutuskan untuk berpamitan pulang. Teh manis di gelas sudah habis, juga hari sudah semakin malam. Lilie pasti butuh istirahat, bukannya malah semakin lama menghabiskan waktu mengobrol denganku.

Lilie mengantarku sampai ke depan pagar. Perempuan itu masih di sana, sepertinya baru akan masuk ketika aku sudah berlalu.

Aku membuka kaca helm full face-ku, mesin motorku sudah menyala, tapi aku belum berniat pergi dari sana.

“Kak Lilie,” ujarku.

“Iya Gar?” Lilie lantas menatap lurus ke arahku dan menunggu kalimatku.

“Aku nggak tau gimana rasanya yang Kakak alamin, karena belum pernah ngalamin. Tapi pasti berat banget kehilangan orang yang kita sayang. Kakak hebat udah bisa sampai sejauh ini, ada di titik karir dan posisi Kakak yang sekarang. Nggak papa Kakak pengen cerita, berbagi bukan berarti kita lemah. Kadang kita butuh seseorang buat transfer apa yang kita rasain, biar habis itu bisa ngerasa lebih lega,” ujarku.

Usai mengatakan rentetan kalimat tersebut, aku benar-benar pamit dari hadapan Lilie. Mungkin aku akan merutuki perkataanku nantinya. Namun yang jelas aku ingin Lilie tahu bahwa, tidak masalah menceritakan dan berbagi hal kepada orang lain. Mendapati Lilie yang terkesan menutup diri dan terlihat sering memikul bebannya seorang diri, membuat aku aku kerap kali merasa khawatir kepadanya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕