alyadara

Ini merupakan hari Sabtu. Jika biasanya Sienna menghabiskan waktu paginya di akhir pekan untuk tidur ; sampai paling tidak jam 12 siang, kali ini ia tidak melakukannya. Pukul 10 pagi, Sienna ikut bersama Renata untuk berbelanja bahan makanan ke supermarket.

Seperti yang telah direncanakan, malam ini Alvaro dan Gio akan datang ke rumah untuk makan malam atas undangan dari Fabio. Sienna nampak berseri-seri sekali wajahnya, sampai Renata yang memperhatikan putrinya itu ikut senang juga.

“Mah, Alvaro nervous banget tau karena undangan dari papa. Semalem kita video call-an, terus Sienna temenin dia sampai ngantuk, soalnya dia gak bisa tidur saking gugupnya.” Sienna bercerita sembari mendorong troli belanjaan dan mengikuti langkah Renata dari belakang.

Renata sedang meminta petugas supermarket untuk memotong beberapa slice daging steak sirloin. Nampaknya acara makan malam ini sungguh spesial, Renata sampai belanja cukup banyak dan berencana memasak hidangan fancy.

Renata lantas menoleh ke belakang dan bertanya pada Sienna, “Emang kamu belum kasih tau Al kalau papa udah restuin hubungan kalian?”

“Belum,” Sienna menggeleng.

“Kamu nih. Kasian kan, Al jadi khawatir gitu. Kenapa nggak dikasih tau aja?” Renata memasukkan kantong plastik berisi daging sirloin yang telah di slice ke dalam troli belanjaan.

“Biar surprise dong, Mah. Sienna pengennya Al langsung tau dari papa,” ujar Sienna, senyum di bibirnya otomatis mengembang.

“Yaudah kalau kamu emang maunya gitu. Papa kamu juga baru kasih tau ke Mama kemarin, karena katanya itu hukuman buat Mama. Soalnya Mama sempet ikutan bantuin kamu bohong ke papa, pas kamu pergi ketemu sama Al, padahal papa udah larang.”

Sienna kemudian terkekeh. “I’m sorry, Mam. Tapi makasih ya udah bantuin Sienna.”

“Nak, gimana coba kalau papamu nggak restuin kamu sama Al? Bener emang katanya kamu nggak mau nikah sama laki-laki selain Al?” Renata mengajukan pertanyaan yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Renata hanya penasaran bagaimana pandangan dan keseriusan putrinya dalam menjalani hubungannya dengan Alvaro.

Sienna kemudian mengangguk yakin untuk menjawab pertanyaan Renata barusan. “Mungkin Sienna bakal tetep nikah kalau nggak sama Al, tapi pasti perasaannya beda, Mah.” Sienna membayangkan jika hal tersebut sungguh terjadi. Rasanya jika Sienna bersama orang lain, ia tidak akan bisa melupakan perasaannya yang ia miliki terhadap Alvaro. Alvaro tetap memiliki tempat spesial di hatinya, maka Sienna berharap ia dapat hidup bersama orang yang telah sepenuhnya memiliki hatinya.

“Mah, Sienna nggak kepikiran buat cari laki-laki lain yang menurut papa pantes buat Sienna. Sienna milih Al bukan karena dia yang paling pantes buat Sienna, tapi karena Sienna cuma mau hidup bareng sama Al, bukan orang lain.”

***

Sekitar pukul 7 malam, Alvaro dan Gio telah datang ke rumah. Mereka pun langsung berniat menikmati hidangan yang telah tersaji cantik di meja makan.

Terdapat banyak makanan, mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga hidangan penutup. Renata menyiapkan camilan kesukaan Gio, yakni es krim dan coklat. Khusus malam ini, Alvaro memperbolehkan anaknya untuk menikmati makanan manis kesukaannya.

Di meja makan itu, terdapat orang tua Sienna, kakaknya, adiknya, Sienna, Alvaro, dan juga Gio. Fabio sebelumnya telah membuat briefing, bahwa ada yang penting yang perlu disampaikan setelah makan malam selesai. Jadi yang ada di sana nantinya hanyalah yang berkepentingan saja.

Setelah sekitar 30 menit mereka menyantap makanan, Renata meminta Valiant dan Christo untuk mengajak Gio bermain di kamar. Orang dewasa mempunyai urusan yang harus diselesaikan, jadi ada waktunya bagi anak kecil untuk tidak terlibat.

Di meja makan itu, kini tersisa Fabio, Renata, Sienna, dan Alvaro. Fabio baru saja meneguk teh manis di gelasnya. Setelah meletakkan gelasnya di meja, Fabio berdeham sekali sebelumnya akhirnya berujar, “Alvaro, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu.”

Alvaro yang duduk di hadapan Fabio lantas mengarahkan tatapannya pada Fabio. Alvaro menoleh pada Sienna yang berada di sampingnya. Tatapan Alvaro terlihat khawatir ketika netranya bertemu dengan netra Sienna. Sienna lantas mengulaskan senyum teduhnya, lalu satu tangannya di bawah meja bergerak menggenggam tangan Alvaro yang ada di atas pahanya.

“Saya sudah memikirkannya selama seminggu belakangan ini,” Fabio kembali berujar. “Ada banyak hal yang saya pikirkan. Sebagian tentang hubungan kamu dan Sienna, sebagian juga tentang Gio. Saya ketemu Gio waktu dia nunggu Sienna di studio. Tanpa saya duga, kata-kata Gio berhasil meluluhkan hati saya.”

Alvaro mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Fabio ucapkan. Terdapat perbedaan dari cara Fabio menatapnya. Kalau dulu tatapan itu begitu dingin dan tidak bersahabat, kini terlihat secercah keteduhan dan kelembutan yang terpancar dari kedua iris mata itu.

“Saya sadar akhirnya kalau selama ini saya terlalu menutup hati, hingga saya nggak bisa melihat kebaikan seseorang. Saya terlalu egois dengan cuma mikirin kebahagiaan Sienna, tanpa tau kalau saya memisahkan kamu, Sienna, dan Gio, ada kebahagiaan lain yang saya hancurkan. Saya minta maaf atas perlakuan saya sebelumnya kepada kamu.” Fabio menjeda ucapannya. Lelaki berusia 50 tahunan di hadapan Alvaro itu nampak menghembuskan napasnya dan terlebih, kedua mata itu terlihat berkaca-kaca ; hal yang jelas belum pernah Alvaro dapati di depan matanya.

Tanpa Alvaro sadari, kedua matanya juga terasa memanas. Alvaro pun berusaha kuat menahan air matanya agar tidak tumpah.

Kembali lagi Alvaro menatap Fabio ketika lelaki itu berujar, “Saya merestui hubungan kamu dengan Sienna. Saya mengizinkan kamu untuk bersama anak saya, karena saya percaya kamu dapat membahagiakannya.”

Lantas setelah mengatakannya, Fabio beranjak dari duduknya. Fabio menghampiri Alvaro dan mengajaknya untuk berjabat tangan, seperti tanda bahwa kedua orang itu telah berdamai. Tidak ada lagi perseteruan di antara mereka, dan Fabio telah sepenuhnya merelakan putrinya untuk bersama lelaki pilihannya.

Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Alvaro akhirnya menyambut uluran tangan Fabio. Sienna dan Renata menatap kejadian itu dengan senyuman haru dan mata yang juga sudah berkilat karena air mata yang tertahan.

Begitu tangan Fabio menjabat tangannya, Alvaro merasakan genggaman itu sedikit menguat. Fabio menatap Alvaro lurus-lurus, dan masih sambil menjabat tangannya, lelaki itu lantas berujar, “Dua puluh lima tahun saya menjaga Sienna dan selalu memastikan agar dia bahagia. Sekarang saya menyerahkan tanggung jawab itu kepada kamu, dan saya harap kamu mampu memegang tanggung jawab itu dengan baik.”

Atas permintaan Fabio tersebut, Alvaro menganggukinya dengan sebuah anggukan yakin. Begitu Fabio meraih Alvaro ke pelukannya, Alvaro nampak sedikit terkejut.

Fabio menepuk sekali punggung Alvaro dengan pelan, lalu Fabio berujar di dekatnya, “Terima kasih, kamu sudah hadir di hidup Sienna dan jadi alasan dia untuk bahagia.”

Alvaro nampak mengulaskan senyum harunya setelah mendengar ucapan Fabio. Setelah pelukan itu terurai, Alvaro berujar kepada Fabio. “Terima kasih Om. Terima kasih sudah memberi restu untuk hubungan saya dan Sienna.”

Alvaro mati-matian berusaha mengucapkan kalimat itu, saat lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata. Namun detik setelahnya, pertahanan Alvaro akhirnya runtuh juga. Alvaro tidak lagi sanggup menahan air matanya untuk tidak tumpah.

***

Fabio telah mendengar kabar bahwa Sienna dan Alvaro sempat membicarakan soal pernikahan. Renata sudah tau itu terlebih dulu. Jadi setelah Alvaro menyelesaikan urusan perceraiannya dengan Marsha, Alvaro tidak ingin menunggu lama untuk meresmikan hubungannya dengan Sienna. Dengan restu yang telah Fabio berikan, Alvaro dan Sienna akan mantap melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius.

Kabar soal rencana pernikaha itu sungguh membahagiakan. Meski rasanya begitu cepat dan tentu sebagai orang tua, tetap terasa berat ketika harus melepas anak mereka untuk memulai hidup baru dengan seseorang yang dicintai. Namun begitulah kehidupan, akan ada perubahan-perubahan yang di awal terasa tidak mudah untuk diterima.

Sekitar pukul 9 malam, Alvaro memutuskan pamit dari rumah itu. Ada yang berbeda kali ini, Alvaro tidak pulang bersama Gio. Alvaro sebelumnya memang telah berjanji pada Gio agar anak itu diperbolehkan menginap di rumah Sienna. Tadi sebelum berangkat, Gio telah membawa pakaian di dalam ransel miliknya,jadi bocah itu telah sangat siap untuk menginap.

Alvaro akhirnya pulang sendiri. Setelah berpamitan pada Fabio dan Renata, kini Alvaro berpamitan pada anaknya.

“Bener nih kamu nggak mau ikut Papa pulang?” Alvaro mencoba triknya sekali lagi, mana tahu Gio ingin ikut pulang dengannya.

“Nggak mau, Papa. Gio mau tidur sama Bunda malam ini. Papa pulang sendiri ya.” Dengan lugasnya Gio menjawab pertanyaan papanya.

Lantas Sienna, Fabio, dan Renata yang menyaksikan interaksi antara anak dan ayah di hadapan mereka hanya dapat mengulaskan tersenyum.

“Kamu nggak kasian sama Papa? Papa sendiri lho di rumah kalau nggak ada kamu,” ujar Alvaro lagi.

Gio nampak berpikir, lalu dua detik setelahnya anak itu kembali menjawab. “Kan di rumah ada banyak orang. Ada om Aufar, mbak Gina, mbak Ida, pak Amar, tuh banyak kan, Papa.” Jawaban Gio tersebut sukses mengundang tawa orang-orang dewasa yang mendengarnya.

“Gio mau bobo sama Bunda Sienna di kamar bunda,” ucap Gio lagi.

“Gio, tidur di kamar Nenek sama Kakek aja, gimana? Kan Nenek juga mau tidur sama Gio, nanti Nenek beliin Gio mainan deh. Mau ngga?” celetuk Renata yang segera membuat Gio menoleh ke arahnya.

“Hmm ... nanti dulu ya Nenek. Lain kali deh, beneran. Gio malam ini mau tidur sama bunda dulu,” jawab Gio dengan nada sok dewasanya. Seolah anak itu yang mengatur semuanya dan semua orang harus menurutinya.

“Oke, bener ya. Besok kalau nginep lagi, Gio tidurnya sama Nenek ya?”

“Iya, Nenek,” ujar Gio diiringi senyum lebarnya, tidak lupa anak itu mengacungkan satu ibu jarinya kepada Renata.

Akhirnya setelah percakapan itu, Alvaro sungguhan pamit dan berlalu dari sana. Sienna dan Gio mengantar Alvaro sampai ke mobil, sementara Fabio dan Renata memilih masuk ke dalam rumah lebih dulu.

Say good bye dulu sama Papa,” ujar Sienna meminta Gio untuk berpamitan pada Alvaro.

Good bye, Papa. It’s oke to be alone, Papa. Bunda sama Gio dulu ya. Gantian, kan Papa terus yang udah sama Bunda.” Gio malah berucap meledek Alvaro, tahu saja kalau papanya itu juga posesif terhadap Sienna dan mereka memang sering cemburu satu sama lain. Tidak Alvaro, tidak Gio, mereka sama-sama menjadikan Sienna bahan rebutan.

Alvaro belum masuk ke mobilnya, lelaki itu lantas mengarahkan tangannya untuk kemudian mengusap puncak kepala Gio. “Jadi anak baik ya, nurut sama Bunda selama kamu di sini,” ujar Alvaro pada anaknya.

Setelah dari Gio, Alvaro beralih pada Sienna. “Gue pulang dulu. Titip Gio ya,” ujar Alvaro sembari mengusap puncak kepala Sienna dengan gerakan lembut.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Sudah biasa Alvaro melakukannya, tapi kali ini terasa ada yang berbeda. Sienna merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dan ia hanya dapat membeku di tempatnya. Sienna merasa tingkahnya jadi aneh, dan ia hanya berharap semoga Alvaro tidak menyadarinya.

Gio sebelumnya telah meminta Sienna agar mereka masuk, anak itu sudah meraih tangan Sienna dan merengek minta masuk ke rumah. Namun Gio hanya mendapat angin lalu saja, ia diabaikan karena kedua orang dewasa di hadapannya sedang asik menikmati belenggu cinta, tidak sadar bahwa ada manusia lain selain mereka.

Begitu Alvaro sudah memasuki mobilnya dan berada di balik kemudi, lelaki itu menatap Sienna lekat-lekat dan senyum lebarnya terulas.

You look so happy,” celetuk Alvaro sembari memperhatikan wajah Sienna.

I’m really happy tonight,” Alvaro kembali berucap, masih mempertahankan senyumnya dan menatap Sienna dengan tatapan penuh afeksi.

“Al, hati-hati dijalan. Nyetirnya yang fokus,” ujar Sienna yang lantas segera diangguki oleh Alvaro.

Good night, Sky. Have a sweet dream, ya.” Dua kalimat itu Alvaro ucapkan sebelum ia menutup kaca mobilnya. Setelah itu, range rover putih milik Alvaro mulai berjalan meninggalkan Sienna dan Gio.

Beberapa meter setelah mobil Alvaro berlalu, Sienna masih di sana. Senyum Sienna juga masih setia terulas di wajahnya ; nampaknya senyum tersebut belum ingin luntur barang sedikitpun.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sienna dijemput oleh Alvaro dan Gio setelah ia menyelesaikan pekerjaannya di studio. Gio nampak senang ketika tau akan menghabiskan waktu dengan papa dan bundanya.

Rencana yang kemarin sempat batal, hari ini akan diganti. Alvaro, Sienna, dan Gio akan mengunjungi tempat bermain indoor yang areanya cukup luas. Tempat permainan itu terbilang cukup lengkap ; ada area mandi bola, outbound, dan sliding. Jangan salah, semua wahana di tempat ini tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak, tapi ada juga yang untuk remaja bahkan sampai dewasa.

Playtopia

Sebelum memasuki arena permainan, Alvaro, Sienna, dan Gio membeli topi. Gio memilih yang warna biru dengan gambar animasi kartun kesukaannya. Sementara Alvaro tertarik pada sebuah topi hitam dengan tulisan ‘Papi’. Coba saja ada ‘Papa’ pasti akan sangat pas untuknya, tapi itu tidak menjadi masalah, toh arti kata tersebut sama saja. Sementara Sienna, ia tidak menemukan yang menarik baginya selain topi berwarna baby pink bertuliskan ‘Baby Girl’. Akhirnya setelah membeli topi, mereka bergegas masuk ke tempat bermain.

Papi & Baby Girl

Ketika sudah masuk ke area bermain, yang lebih semangat dibandingkan Gio justru Alvaro dan Sienna. Mereka mencoba berbagai wahana yang ada, dari mulai outbound, mandi bola, dan trampolin.

Setelah kurang lebih 30 menit bermain, Alvaro dan Sienna memutuskan untuk beristirahat terlebih dulu.

“Ternyata main kaya gini seru banget ya. Tempat mainan anak-anak sekarang keren-keren banget,” ujar Alvaro. Di salah satu sofa bag bean berwarna kuning, Alvaro merebahkan tubuhnya.

Sienna di sampingnya mengikuti Alvaro, merebahkan dirinya di sofa bag bean berwarna pink. “Iya. Pas kita kecil mana ada tempat mainan kayak gini,” timpal Sienna. Itu benar adanya. Di zamannya dan Alvaro dulu, mana ada model arena bermain sebagus dan selengkap ini. Biar saja mereka terlihat seperti orang dewasa dengan masa kecil yang kurang bahagia. Memangnya anak-anak saja yang butuh bermain, orang dewasa pun juga membutuhkannya.

“Bunda, Gio mau main perosotan yang di sana, ayo,” ajak Gio sembari menggandeng tangan Sienna. Sienna baru saja beristirahat, tapi Gio masih full baterainya mengajaknya untuk bermain lagi.

“Papa, ayo ikut juga,” ajak Gio pada Alvaro.

“Gio, nanti dulu dong. Papa capek nih,” sahut Alvaro dengan raut memelasnya.

“Yaudah, Al. Nanti lo nyusul aja. Gue sama Gio duluan ke sana ya,” ujar Sienna yang lantas diangguki oleh Alvaro.

Tidak lama setelah Sienna berlalu dengan Gio, Alvaro mendapati ponsel di saku celananya berbunyi. Alvaro menemukan nama ‘Marsha’ tertera di layar ponselnya. Namun saat akan menjawab panggilan itu, sambungannya sudah lebih dulu terputus. Alvaro pikir itu hanya salah pencet, dan mungkin saja hal tersebut terjadi.

Saat Alvaro masih menatap layar ponselnya, panggilan Marsha masuk lagi. Alvaro memutuskan menjawab telfonnya.

“Halo?” ujar Alvaro di telfon, tapi tidak ada sahutan apa pun. Alvaro hanya mendengar suara barang yang dibanting.

“Marsha?” Alvaro mencoba memanggil nama Marsha, tapi nihil. Terdengar lagi suarau teriakan laki-laki dari ujung sana “Matiin hp itu, Sialan!” begitu yang Alvaro dengar.

Beberapa detik kemudian, Alvaro mendengar suara fameliar Marsha menyahut di telfon. “Al, tolongin aku. Dia mau celakain aku …” Suara itu terdengar lirih. Setelah itu, Alvaro tidak mendengar apa pun lagi, dan sambungan telfonnya mati begitu saja.

Alvaro baru akan menyusul Sienna dan Gio, tapi keduanya telah kembali ke tempat semula.

“Papa, Gio tungguin lho sama Bunda. Papa lama banget gak nyusul-nyusul,” ucap Gio.

“Al, kenapa?” tanya Sienna yang mendapati Alvaro terbengong sambil melihat layar ponselnya.

Alvaro akhirnya tersadar, ia pun segera memberitahu Sienna soal apa yang baru saja diketahuinya.

“Gue anter lo sama Gio pulang dulu, baru habis itu gue sama bang Aufar bakal ke apartemen Marsha.”

“Kelamaan, Al. Takutnya Marsha udah kenapa-napa. Gue sama Gio ikut aja. Lo telfon bang Aufar, biar bisa langsung disusul,” saran Sienna.

“Oke.” Alvaro akhirnya menyetujuinya.

Seharusnya Alvaro tidak usah peduli dan terlibat lagi dengan Marsha. Namun Alvaro melakukannya hanya karena sebuah alasan ; yakni karena Marsha adalah ibu kandungnya Gio. Alvaro tidak sampai hati kalau sampai sesuatu yang buruk menimpa Marsha.

***

Marsha rasa sudah terlambat baginya untuk lari dari Rafandra. Seharusnya Marsha melakukannya dari dulu. Kini Marsha harus menghadapi murkanya Rafa dan ia sungguh ketakutan.

“Kenapa semuanya nggak berjalan sesuai rencana kita?!” hardik Rafa di depan wajah Masha, tampak rahang lelaki itu mengetat. Rafa mendekat pada Marsha, lalu ia meraih dagu Marsha dengan kasar, memaksa perempuan itu untuk menatapnya.

“Gimana bisa Alvaro punya bukti kalau kita selingkuh? Dari awal kita udah rencanain semuanya. Kalau lo sama Alvaro cerai, lo harus menangin hak asuh itu,” ujar Rafa lagi.

“Aku udah berusaha, Raf. Aku udah sewa pengacara handal dan melayangkan tuduhan kalau Alvaro selingkuh sama Sienna. Hasil sidangnya juga belum final, jadi kamu tenang aja,” ucap Marsha.

“Lo suruh gue tenang?! Lo pikir dong Sha, kalau sampai hak asuhnya jatuh ke Alvaro, kita nggak bakal dapet apa-apa!” Rafa berucap dengan berapi-api.

Sejak awal, Rafa dan Marsha telah merencanakan sesuatu. Jika pernikahan Marsha dan Alvaro tidak bertahan, maka jalan satu-satunya untuk mendapatk apa yang mereka mau adalah dengan memanfaatkan hak asuh Gio dan Marsha harus mendapatkannya.

Saat ini justru posisi mereka terancam. Mereka takut kalah dan tidak mendapat hak asuh, yang mana nanti kemungkinan besar tidak bisa juga mengajukan pembagian harta gono gini. Jika Marsha terbukti selingkuh di sidang kesimpulan, maka Marsha tidak akan mendapat hak asuh Gio.

Selama ini pun, aset yang dimiliki oleh Alvaro adalah atas namanya sendiri, jadi tidak ada pencampuran harta yang membuat pengadilan harus melakukan pembagian harta gono gini. Maka jalan satu-satunya adalah mendapatkan hak asuh atas Gio. Kalau Marsha mendapat hak asuh, Marsha akan berhak mendapat uang dari Alvaro untul memenuhi kebutuhan Gio, dan itu akan dimanfaatkan sebisa mungkin oleh Rafa dan Marsha.

“Sekarang mungkin kita nggak punya kesempatan lagi. Aset kita satu-satunya, Alvaro yang bakal dapetin itu.” Rafa menggeram kesal, buku-buku tangannya tampak memutih karena ia mengepal terlalu kuat.

“Rafa, kamu sadar gak sih, Gio itu anak kamu! Gio itu darah daging kamu, tapi kamu jadiin dia aset!” ucap Marsha sembari berdiri dari posisinya. Marsha mencoba kabur dari tempat ini, jadi Rafa segera menyeretnya masuk kembali hingga Marsha jatuh tersungkur ke lantai.

Rafa lantas mengarahkan netranya pada Marsha, lalu ia menyunggingkan senyum smirk-nya. Dengan satu tangannya, Rafa menarik rambut panjang Marsha. Rafa memaksa Marsha mendongak, membuat perempuan itu kesakitan dan rintihan pun lolos dari bibirnya.

“Lo lupa?! Lo juga jadiin anak lo aset! Satu hal Sha, gue nggak pernah menginginkan anak itu. Gue udah nyuruh lo buat gugurin, tapi lo keras kepala.”

“Lepasin gue, Raf! Mulai detik ini, gue udah nggak mau berhubungan sama lo lagi. Lo denger itu baik-baik!” Marsha sudah muak, selama ini ia tidak berani bahkan untuk menghardik Rafa, tapi kini ia harus melakukannya.

“Lo pikir lo bisa lepas dari gue? Silakan aja lo berkhayal, tapi sayangnya khayalan lo gak akan jadi kenyataan, Sha,” ucap Rafa.

Marsha menatap Rafa nyalang, kedua matanya terasa perih, tapi ia tidak sudi untuk mengeluarkan air matanya, tidak lagi untuk lelaki ini. Dengan sekuat tenaga, Marsha pun berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman Rafa. Marsha berontak dengan memukul lengan Rafa dan aksinya sempat membuat lelaki itu hilang kendali. Namun dengan cepat Rafa kembali meraih Marsha, lalu ia mencengkeram kuat lengan Marsha hingga nampak meninggalkan kemeraham di kulit Marsha.

“Lo berani juga ya. Lo harusnya nurut sama gue, Sha. Atau gue bisa nyakitin lo lebih dari yang lo bayangin,” desis Rafa.

“Jangan sentuh gue,” Marsha menggeleng lemah ketika Rafa menyentuhkan tangannya ke lehernya dan bergerak lama-lama ke buah dadanya. Rafa kemudian membawa Marsha ke kamar dan dengan kasar menjatuhnya tubuhnya ke atas kasur.

“Raf, sakit …” lirih Marsha begitu Rafa mencengkeram pergelangan tangannya. Rafa hampir saja mengikat kedua tangan Marsha di atas kepala perempuan itu, tapi Marsha dengan cepat berhasil mencegah hal tersebut terjadi. Marsha mengambil sebuah kotak tisu, lalu melemparkannya kepada Rafa hingga akhirnya berhasil mengenai kepala lelaki itu. Rafa merintih kesakitan, lantas ia mendapati keningnya berdarah berkat lemparan kotak tisu yang terbuat dari kayu.

“Sialan!” umpat Rafa sembari mengelap darah di keningnya. Tidak ingin targetnya melarikan diri, Rafa dengan cepat kembali meraih Marsha.

Marsha akhirnya kembali berada di bawah kungkungan Rafa. Kamudian Rafa melayangkan pukulan yang cukup keras pada bokong Marsha.

“Lo mau kabur? Jawab!” ujar Rafa.

“Engga, Raf. Ma-maaf. Maafin gue,” Marsha sebenarnya tidak sudi mengucapkannya, tapi ia tidak punya pilihan. Rafa yang temperamental, membuat Marsha tidak bisa melawan. Paling tidak sampai Rafa tenang, Marsha baru akan kembali berencana melarikan diri.

Rafa nampak belum puas, ia berniat akan kembali melayangkan pukulan pada Marsha. Marsha berusaha menghindari tangan itu dari dirinya, tapi tenaganya tidak sebanding dengan Rafa.

‘PLAK!’ satu tamparan pun akhirnya mendarat di kulit wajah Marsha. Marsha merintih kesakitan, ia menggigit bibir bawahnya.

Tiba-tiba Marsha terbayang, rasa sakit yang ia dapatkan mungkin tidak sebanding dengan perbuatannya. Marsha telah melakukan dosa, ia telah mengkhianati Alvaro, dan mungkin ini adalah balasan untuknya. Marsha secara sadar telah berhubungan dengan Rafa sejak dirinya dan Alvaro berpacaran. Dari hasil hubungan mereka, Marsha mengandung Gio dan Rafa menyuruhnya menggugurkan anak mereka. Namun Marsha tidak melakukannya, ia malah berbohong pada Alvaro dan mengatakan bahwa dirinya mengandung anak lelaki itu.

“Raf, cukup. Aku mohon ... cukup,” Marsha berucap dengan wajah memelas. Namun seakan belum puas, Rafa kembali mengangkat tangannya untuk melayangkan tamparan pada Marsha. Namun tiba-tiba saja aksinya itu tertahan karena ada yang menahan lengannya ; lebih tepatnya ada seseorang yang menghalanginya untuk melakukan hal tersebut kepada Marsha.

Marsha yang mendapati sosok Alvaro di depannya lantas tampak nampak syok. Baik Marsha maupun Rafa, tidak menyadari bahwa tadi ada suara-suara dari luar dan rupanya itu adalah penyebab dari datangnya Alvaro.

Marsha memang menghubungi Alvaro beberapa saat lalu, karena tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Namun Marsha tidak menyangka Alvaro sudi datang untuk menyelamatkannya.

“Al,” ucap Marsha dengan suaranya yang terdengar tercekat.

Alvaro beralih meraih kerah kaus Rafa, membuat sang pemilik tampak kesal dan menatapnya dengan tatapan nyalang. “Sekali lagi coba lo sakitin dia, gue nggak akan segan bikin lo terima balasannya,” Alvaro berucap tepat di hadapan wajah Rafa.

Alvaro menatap nyalang pria di hadapannya, tiba-tiba hatinya berdenyut nyeri mendapati sosok ini, rasanya luka lamanya seperti kembali dibuka. Jika Alvaro merasa bahwa Gio mirip dengannya, maka ketika melihat paras lelaki ini, Alvaro jadi tahu bahwa Gio lebih mirip dengan lelaki ini.

Beberapa detik kemudian, muncul di sana kehadiran Aufar dan juga Herdian. Rupanya Herdian yang telah membantu Alvaro membuka pintu apartemen menggunakan kunci cadangan yang dimilikinya.

Aufar lantas menghampiri Alvaro, ia menyuruh lelaki itu melepaskan cengkramannya pada Rafa. “Biar gue yang urus. Lo bawa Marsha, pastiin dia aman,” ujar Aufar.

Dengan sedikit berat hati, akhirnya Alvaro melepaskan Rafa, meski ingin sekali Alvaro menghajar tampang itu dengan tangannya sendiri.

Alvaro berakhir bisa mengontrol dirinya dan tidak melakukan hal yang dirasa kurang bijak. Banyak hal yang lebih penting untuk dilakukan di hidupnya, ketimbang harus mengotori tangannya dengan memukul bajingan itu.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Hari-hari telah berlalu sejak Alvaro mengadakan konferensi pers. Masih ada beberapa media yang dengan gencarnya memberitakan bahwa Alvaro telah selingkuh. Awalnya Alvaro tidak terlalu peduli, tapi saat mereka mulai mengulik sosok perempuan yang waktu itu terlihat bersamanya di konferensi pers, Alvaro rasanya tidak ingin diam. Namun lagi-lagi Seinna mengingatkan Alvaro dan menyarankan untuk lebih baik tidak angkat bicara mengenai hal tersebut. Media itu haus akan bahan berita, dan seperti sebuah pancingan, jika Alvaro terpancing lalu akhirnya terperangkap, maka sebenarnya ia telah kalah. Alvaro membiarkan media mendapat apa yang mereka mau dan membuat mereka merasa menang.

Baru seumur-umur dalam hidupnya, Sienna menemukan namanya terdapat di berbagai platform media dan menjadi perbincangan khayalak. Kejadian waktu itu memang tidak terduga, dan entah dari mana juga media bisa mendapat informasi tentang dirinya.

Perempuan yang disebut-sebut terlihat bersama Alvaro di konferensi pers, adalah Sienna Skyla Malinka ; yang lantas diduga adalah kekasih Alvaro yang belum diungkap secara resmi oleh Alvaro sendiri.

“Al, udah biarin aja. Nggak usah dipeduliin, taro hp-nya ya,” ujar Sienna, ia meraih ponsel di tangan Alvaro dan meletakkan benda itu di atas meja.

Sienna lantas menghela satu sisi wajah Alvaro, meminta lelaki itu untuk menatapnya. “Kita punya hal-hal yang lebih penting yang harusnya kita fokus pikirin, dari pada pemberitaan itu,” ujar Sienna.

“Berita-berita itu udah keterlaluan, mereka menggiring opini publik, terus ujung-ujungnya jadi fitnah. Sienna, harusnya lo nggak perlu ngelaluin ini, gue minta maaf,” ujar Alvaro tampak merasa bersalah. Beberapa hari ini Sienna mendapat ujaran kebencian di sosial media dan Alvaro khawatir soal itu.

“Pasti ini bikin lo nggak nyaman,” lagi, Alvaro berujar dengan nada khawatirnya.

“Rasanya emang nggak nyaman, Al.” Sienna jujur tentang itu. Namun ia tidak bermaksud membebani Alvaro. “Setiap gue keluar rumah, takut ada yang ngenalin. Tapi kenyataannya, nggak separah yang kita bayangin, kan. Seiringnya waktu, masyarakat juga nggak akan terlalu peduli lagi dan mereka akan lupa dengan sendirinya,” pungkas Sienna. Sienna tahu suatu hari ia akan menghadapinya saat ia telah memutuskan menjalin hubungan dengan Alvaro, tapi bukan itu poinnya. Setiap masalah pasti akan datang, tapi ada waktunya juga untuk berlalu dan sirna.

“Oke. Kalau makin parah, bilang sama gue, ya. Gue bakal urus ini dan pastiin mereka nggak nyerang lo lagi, mau secara langsung atau pun di sosial media.”

Sienna kemudian mengulaskan senyumnya, lalu ia mengangguk. Senyum tersebut otomatis tertular pada Alvaro. Melihat senyum kekasihnya ini, Alvaro selalu merasa nyaman ; rasanya emosinya mudah surut dan ketegangannya berangsur mereda.

Alvaro lantas mendekatkan posisinya dengan Sienna, tangan Sienna yang masih berada di sisi wajahnya, Alvaro mengambilnya lalu ia beralih menggenggam tangan itu.

Alvaro mengeratkan genggaman itu, lalu sedikit digoyangkan. Sambil menatap netra Sienna dalam-dalam, Alvaro lantas bertanya, “Apa yang lebih penting yang harusnya kita fokus pikirin?”

Sienna nampak berpikir sejenak, matanya memicing dan timbul kerutan di dahinya. “Banyak, salah satunya keluarga kita.” Sienna menjeda ucapannya, ia menangkap basah Alvaro yang tengah menatapnya selekat ini ketika Sienna berbicara. Seolah setiap kata yang Sienna ucapkan begitu penting bagi Alvaro dan lelaki itu benar-benar akan mendengarkannya.

“Kita harus fokus untuk ngasih kasih sayang yang utuh untuk Gio. Terus fokus bicarain kelanjutan hubungan kita.” Sienna melanjutkan ucapannya, yang mana seketika rentetan kalimat itu berhasil mencetak senyum di wajah Alvaro.

“Gue udah ngomong sama mama dan juga orang tua lo, soal rencana pernikahan kita,” ujar Alvaro.

Alvaro telah berbicara pada mamanya, juga pada orang tua Sienna tentang rencananya untuk menikahi Sienna. Niat itu sudah disampaikan dan tentunya disambut baik oleh kedua belah pihak dan mereka akan segera membuat perencanaannya.

“Sky, kapan kira-kira lo siap untuk pemberkatan di gereja?” Alvaro bertanya.

“Hah?” kerutan di kening Sienna seolah menjelaskan kebingungannya.

“Iya, kira-kira kapan tanggal dan bulannya. Biar gue bisa perkirakan dan siapin semuanya,” Alvaro malah bertanya lagi.

You’re not even purpose me yet,” ujar Sienna.

Sienna pun segera melayangkan protesnya kepada Alvaro. Alih-alih bertanya apakah Sienna bersedia menikah dengannya, Alvaro justru bertanya kapan Sienna siap melakukan pemberkatan di gereja.

Seolah-olah memang Sienna sudah menerima lamaran Alvaro dan bersedia untuk menikah dengannya, padahal lelaki itu belum melamarnya secara resmi.

“Oke-oke.” Alvaro terkekeh. “You have any request for the purpose? Atau … lo lebih suka sesuatu yang rahasia dan surprise, jadi biar gue yang planning semuanya?”

“Hmm … I want to request one thing, maybe,” ujar Sienna kemudian.

“Oke, apa itu?”

“Mawar pink yang banyak, di taman, terus tamannya yang ada air mancurnya.”

Alright. Tapi itu lebih dari satu lho, Sayang.”

“Nggak boleh emangnya?” Sienna bertanya dengan sedikit mengerucutkan bibirnya.

Alvaro lantas mengarahkan tangannya untuk mengusap belah pipi Sienna, nampak gemas dengan tingkah kekasihnya barusan. “Boleh, Sayang. Alright, you will get what you want.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sesuai yang telah dijadwalkan, hari ini IMD Pictures mengadakan konferensi pers untuk menanggapi berta kurang baik yang berhembus mengenai kedua artis mereka. Para awak media telah menunggu kedatangan sang aktor sejak tadi pagi, karena sang aktris diketahui tidak bisa ikut hadir pada acara tersebut.

Konferensi pers itu diadakan di sebuah ruangan indoor, dan jumlah wartawan yang boleh meliput pun dibatasi. Ketika nampak sosok Alvaro memasuki tempat itu, para wartawan mulai mengarahkan kamera mereka dan telah siap mendengarkan lelaki itu memulai kata-katanya.

Di sebuah meja panjang di hadapan para awak media, Alvaro berada di sana didampingi manager dan juga kuasa hukumnya. Sebuah microphone di atas meja lantas diraih oleh Alvaro dengan satu tangannya. Setelah berdeham satu kali, Alvaro akhirnya membuka suara. “Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk teman-teman media yang sudah hadir pada acara konferensi pers hari ini. Saya ingin menyampaikan beberapa hal, yang kemudian saya harap dapat diterima.”

Alvaro menjeda ucapannya, lelaki itu menoleh ke samping kanannya, di mana ada Ila dan ke samping kirinya ada Roy, kuasa hukumnya.

Alvaro kembali melanjutkan ucapannya sambil mengarahkan tatapannya lurus ke depan. “Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah mengenai perpisahan saya dengan Marsha. Keputusan untuk berpisah, terjadi atas kesepakatan kedua belah pihak. Tentunya, kami sudah memikirkan dengan matang dan perpisahan adalah jalan terbaik untuk kami.”

Selama Alvaro mengucapkannya, para wartawan sibuk merekam, bahkan ada beberapa yang mencatatnya di buku notes maupun mencatat menggunakan perangkat digital.

“Pastinya di setiap perpisahan ada hal yang menjadi penyebabnya. Saya dan Marsha sudah mempertimbangkan, bahwa kami sepakat tidak akan membawa masalah ini ke ranah publik.”

Meskipun Alvaro dan Marsha adalah seorang public figure, mereka tetap ingin adanya privasi di dalam kehidupan pribadi mereka.

Alvaro kembali berbicara dan ini akan jadi bagian terakhirnya. “Satu hal yang saya perlu tegaskan di sini, tidak ada orang ketiga dalam pernikahan kami. Jadi saya harap setelah ini, tidak ada lagi pemberitaan kurang mengenakkan dari teman-teman media, baik yang mengarah pada saya maupun Marsha.”

Alvaro telah selesai bicara. Gini giliran Roy sebagai kuasa hukumnya yang akan menambahkan. “Alvaro dan Marsha memilih menyimpan hal ini demi menjaga perasaan anak mereka. Semata hanya karena hal tersebut. Jadi tolong hargai keputusan mereka,” pungkas Roy.

Setelah semua dirasa cukup disampaikan, Alvaro dan pihaknya beranjak dari sana. Beberapa wartawan masih ada yang belum puas dengan jawaban yang diberikan. Namun Alvaro sendiri memilih tidak ingin memedulikannya. Bukan tanggung jawabnya untuk memuaskan banyak orang, dan ia memiliki batasan-batasan dalam hidupnya yang perlu dijaga.

Alvaro memiliki alasan kuat agar fakta yang sebenarnya tidak terungkap ke publik. Sebenarnya bisa saja Alvaro membuktikan bahwa Marsha berselingkuh dan itu yang membuat mereka harus berpisah, untuk membersihkan namanya dari segala fitnah dan cacian. Namun Alvaro memilih tidak melakukannya.

Alvaro tidak ingin fakta bahwa Marsha beselingkuh terungkap, karena jejak digital akan selamanya ada dan sulit dihilangkan ; yang mana itu berpotensi akan menyakiti hati anaknya. Suatu hari Gio memang akan tahu, tapi tidak dalam waktu dekat ini, di saat anaknya masih terlalu kecil dan belum bisa memahami semuanya. Alvaro ingin ia yang memberitahu Gio secara langsung, tidak dengan anaknya tau dari orang lain.

***

Beberapa saat setelah acara konferensi pers selesai, ada beberapa wartawan yang sengaja menguntit keberadaan Alvaro. Alvaro baru saja keluar dari sebuah ruangan dan ia tidak sendiri di sana. Alvaro tidak hanya bersama manager-nya, yang tentu hal tersebut semakin mengundang rasa penasaran para awak media.

Alvaro terlihat bersama seorang perempuan dan anak laki-laki yang diduga merupakan anaknya. Meskipun wajah anak lelaki itu tertutup oleh jaket yang dikenakannya, sudah dapat ditebak bahwa Alvaro datang ke konferensi pers membawa anaknya bersamanya. Namun yang jadi pertanyaan adalah sosok perempuan yang dirangkul oleh Alvaro dan tengah menggandeng anaknya.

“Ini sudah kelewatan batas, kalian menguntit kehidupan pribadi saya sampai sejauh ini,” ujar Alvaro dengan nada geramnya.

Alvaro membiarkan dirinya tertahan oleh pada wartawan, sementara ia meminta manager dan bodyguard-nya untuk membawa Sienna dan Gio agar keduanya terbebas dari serangan wartawan. Alvaro tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi.

Sekembalinya pengawal yang diperintahkan Alvaro untuk membawa Sienna dan Gio ke mobil, mereka segera melakukan tugasnya. Mereka tidak memikirkan kemanusiaan lagi ketika menyuruh wartawan untuk minggir, tidak segan menggunakan kekuatan fisik untuk menjauhkan para wartawan.

“Al, kasih keterangan dulu dong,” ujar salah seorang wartawan yang masih nekat mengejar sampai ke lobi gedung. Mereka rela mendapat hentakan fisik dari pengawal yang mengawal sang artis, demi hanya untuk mendapat bahan berita.

Alvaro masih bungkam, tidak berniat memberi keterangan apa pun. Salah seorang bodyguard-nya kemudian memberitahu bahwa mobil yang diminta Alvaro telah tiba. Sempat terjadi kericuhan ketika Alvaro harus menembus para kerumunan wartawan untuk bisa masuk ke mobilnya.

Dengan terpaksa Alvaro harus menaiki mobil yang berbeda dengan Sienna dan Gio. Sampai Alvaro sudah masuk ke mobil, dari kaca jendela mobilnya, ia masih bisa melihat para wartawan yang nekat mengejar mobilnya. Padahal itu tidak mungkin bisa mereka lakukan. Sudah jelas mereka tidak akan mendapat apa pun dari usaha licik mereka memburu sang artis.

Alvaro sebenarnya sudah terbiasa menghadapi hal semacam ini ketika ia menjadi artis. Namun dulu media memburunya karena prestasinya di dunia entertainment dan memberitakan hal yang baik-baik tentangnya. Keadaannya sekarang berbeda dan Alvaro mau tidak mau harus siap menghadapinya. Namun Alvaro tidak akan membiarkan mereka mengusik orang-orang yang ia sayangi, cukup dirinya saja yang harus menghadapinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Apa yang terjadi di hidupnya, asanya masih seperti sebuah mimpi bagi Alvaro. Namun kenyataannya, ini lah yang terjadi. Alvaro telah berhasil melewati fase yang tidak mudah dalam hidupnya. Dirinya dan Marsha telah resmi bercerai, Alvaro sudah benar-benar mengakhiri hubungannya. Setelah malam-malam yang menakutkan bagi Alvaro, dengan adanya air mata, amarah, dan kekecewaan ; akhirnya satu persatu dari itu semua, berhasil Alvaro lalui. Alvaro bersyukur, sangat bersyukur mengetahui kenyataan bahwa Tuhan masih memberinya kesempatan untuk merasakan kebahagiaan.

Alvaro telah kehilangan dan melepaskan masa lalunya untuk bertemu dengan masa depannya, untuk berbahagia, menyambut dan mengatakan ‘Halo’ pada hidup barunya.

Alvaro berpikir bahwa cinta bisa seajaib itu. Bertahun-tahun ia mencintai Marsha dan setia pada hubungan mereka, tapi dalam sekejap takdir menunjukkan sosok asli orang yang ia cintai. Alvaro mengerti bahwa cinta yang murni tidak selalu harus dibalas dengan cinta yang sama murninya. Cinta memang hubungan timbal balik, tapi kenyataannya kita sebagai manusia tidak bisa berharap pana manusia lain untuk memberikan yang sama baiknya dengan yang sudah kita berikan.

Alvaro terpuruk dan rasanya sulit untuk bangkit, tapi Tuhan mengirimkan sosok penyelamat baginya, sosok yang dapat membuatnya bangun dari kehampaan. Alvaro tidak pernah menduga bahwa ia akan kembali bertemu Sienna dan jatuh cinta pada sosok cinta pertamanya ketika di Sekolah Dasar.

Hanya dalam hitungan bulan, Sienna berhasil membuat Alvaro jatuh cinta pada sosoknya. Alvaro pun sudah memastikan perasaannya dan meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan mencintai orang lain selain Sienna.

Sienna adalah perempuan hebat yang dulu juga pernah membuat Alvaro jatuh cinta. Sienna adalah cinta pertamanya di kala usia mereka masih begitu muda. Alvaro tidak mengerti apa itu cinta saat usianya menginjak 11 tahun. Pikiran anak seusianya pada waktu itu hanya sesederhana bahwa dari rasa kagumnya, Alvaro akhirnya tahu bahwa ia menyukai Sienna. Setiap melihat hadirnya atau hanya dengan mendengar nama Sienna disebut, Alvaro merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

“Sienna, Gio,” Alvaro memanggil kedua nama itu begitu kaki panjangnya melangkah memasuki rumah. Alvaro baru saja pulang dari tempat gym setelah kegiatan itu sempat tertunda ia lakukan.

Sudah beberapa hari ini, Alvaro dengan nyaman menjalani kehidupan barunya. Rasanya ia seperti terlahir kembali dan Alvaro bertekad menjadi dirinya dengan versi yang lebih baik.

Alvaro tetap memiliki Gio dan berhasil menghadirkan sosok baru di rumah yang perannya melengkapi hidupnya dan juga anaknya. Keluarga harmonis yang anaknya dambakan, kini berhasil terwujud.

Alvaro akhirnya menemukan Sienna dan Gio. Kedua sosok yang dicarinya itu rupanya sedang berenang bersama di kolam renang yang berada di area belakang rumah.

“Kalian berenang siang-siang begini?” Alvaro bertanya dengan nada keheranan.

“Kita udah pake sunblock, Papa. Yaa kan Gio?” ujar Sienna ketika ia sudah sampai ke tepian kolam untuk menghampiri Alvaro.

“Iyaaa dong!” sahut Gio yang masih berada dari ujung kolam.

“Udah berapa lama kalian berenang?” Alvaro berujar lagi.

Kini Gio ikut menghampiri Alvaro dan Sienna di tepi kolam. “Baru 3 jam Papa, sebentar itu. Gio masih mau berenang lagi. Boleh kan??”

“Tiga jam itu bukan sebentar, Gio. Itu udah lama,” ucap Alvaro.

Alvaro lantas beralih pada Sienna, ia memperhatikan air muka gadis itu yang nampak pucat. “Sayang, kamu udah pucet gini lho. Udah keriput jari-jari kamu, berarti berenangnya kelamaan. Naik, yuk? Gio, udahan juga yuk, Nak? Kalau ngga, kamu berenang sendiri lho. Kasian Bunda kalau temenin kamu terus, nanti Bunda sakit.”

Sienna memang sudah tampak kedinginan, terlihat dari bibirnya yang memutih dan sedikit bergetar.

Sienna hanya memperhatikan saja ketika Alvaro mengoceh ini itu, bawelnya sudah keluar kalau menyangkut dirinya, dan Sienna selalu menyukai cara lelaki itu memperlakukan dan memperhatikan kondisinya.

“Gio, nggak papa ya Bunda udahan duluan? Tapi Gio juga udahan sebentar lagi, sepuluh menit lagi Bunda minta tolong mbak Gina buat ambilin handuk ya,” ujar Sienna.

“Hmm .. oke deh Bunda. Bunda jangan sampai sakit ya,” ujar Gio kemudian.

Sienna langsung mengulaskan senyumnya begitu mendengar penuturan tersebut, Alvaro rupanya juga ikut tersenyum.

Semakin hari, rasa sayang Gio pada Sienna semakin bertambah. Seakan tidak ada batasan yang membedakan posisi Sienna dengan Marsha. Gio tahu bahwa Marsha ibu kandungnya dan Sienna adalah calon ibu sambungnya, tapi hal tersebut tidak membuat perlakuan Gio kepada keduanya menjadi berbeda.

***

Sienna telah selesai mandi dan ia juga sudah mengeringkan rambutnya hingga jadi setengah kering. Rasanya setelah berenang, tubuhnya lelah sekali dan juga matanya mengantuk.

Ketika Sienna sedang menyisir rambutnya sambil berkaca di depan cermin ruangan walk in closet, Sienna merasakan sesuatu mendekap pinggang rampingnya dari belakang. Sienna masih lanjut menyisir rambut, membiarkan Alvaro mendekapnya selagi ia melakukan kegiatannya.

“Mbak Ila tadi konfirmasi ke gue, konferensi persnya bisa diadain besok,” ujar Alvaro.

“Sebenernya gue nggak mau buat konferensi pers semacam itu. Takutnya media malah manfaatin keadaan dan mutar balik omongan yang gue sampaikan di acara itu,” lanjut Alvaro lagi.

Sienna lantas membalikkan badannya agar ia berhadapan dengan Alvaro. “Al, lo udah pikirin ini mateng-mateng sebelumnya. Inget tujuan lo mau ngelakuin ini. Lo ngelakuin ini untuk masa depan Gio nantinya, setidaknya lo udah berusaha. Menurut gue, keputusan lo nerima saran perusahaan untuk bikin konferensi pers, udah tepat. Untuk sekali ini aja lo buka suara, habis itu biarin mereka mau berasumsi apa tentang masalah ini.”

Beberapa hari setelah resmi bercerai, isu miring tentang penyebab perceraian Alvaro dan Marsha masih saja berhembus, malah keadaannya semakin runyam. Maka dari itu, Alvaro akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran entertainment yang menaungi namanya untuk membuat konferensi pers. Setelah selama ini memutuskan bungkam mengenai apa pun tentang perceraiannya, Alvaro akhirnya memutuskan angkat bicara. Alvaro tidak tahan lagi dengan pemberitaan buruk tentang dirinya mau pun tentang Marsha.

Di masa depan nanti, Alvaro tidak ingin Gio mendapati jejak digital yang memberitakan hal kurang mengenakkan mengenai orang tuanya. Alvaro mencoba mencegah hal itu terjadi, jika pun suatu hari akan terbongkar, setidaknya ia telah berusaha.

“Ayo kita tidur. Lo pasti udah ngantuk banget, keliatan tuh,” ucap Alvaro sembari memperhatikan raut wajah Sienna dan sleepy eyes-nya.

“Ayo,” ucap Sienna dan kemudian Alvaro langsung meraih tangannya, mengajak perempuan itu untuk menikmati tidur siang mereka yang berharga.

Hands

***

Bagi Alvaro dan Sienna, tidur siang adalah hal yang berarti. Di tengah kesibukan pekerjaan mereka, waktu kebersamaan pun menjai terasa sangat bermakna dan mereka selalu berusaha menghargainya.

Setelah kurang lebih dua jam terlelap, Alvaro dan Sienna kini telah kembali membuka mata. Perasaan mereka jauh lebih baik, tubuh lebih bugar, dan hati terasa plong bahagia.

“Mau pesen makanan nggak? Laper nih,” ujar Alvaro sembari memegangi perutnya yang terasa keroncongan.

“Mau makan apa emangnya?” Sienna bertanya.

“Hmm …” Alvaro merenggangkan tubuhnya sejenak, lalu ia menguap sembari menutupi mulutnya.

I wanna eat you,” ujar Alvaro dengan nada berguraunya, tatapannya pun tidak lepas menatap Sienna dengan sebuah senyuman yang tertahan di bibirnya.

Sienna lantas mengambil sebuah bantal kecil, lalu ia melemparkannya pada Alvaro. Alvaro berhasil menangkap bantal itu, ia segera meraih tangan Sienna dan menarik gadis itu untuk kembali didekap dengan hangat.

Alvaro mengeratkan pelukannya pada torso Sienna, lalu sambil memberi usapan di punggung gadisnya, ia berujar, “I care about you a lot. I think about you almost every day, and I want to spoil you as much as I can.” Alvaro kemudian menjeda ucapannya.

Setelah beberapa detik, Alvaro berucap lagi. Kali ini nadanya terdengar sangat serius. “Sky, I can’t wait to marry you. I want to hug you like this every day,” lanjutnya.

Sienna lantas terkekeh kecil mendengar kalimat itu. Alvaro selalu memiliki cara untuk membuatnya blushing, dan Sienna merasa cara lelaki ini sangat sederhana. Atau mungkin benar, Sienna telah dibutakan oleh cinta? Namun rasanya semua orang memang bisa buta karena cinta, yakni ketika mereka sudah mencintai dengan setulus hati.

Kalau Sienna tidak bisa romantis dengan kata-kata, maka Alvaro bisa. Sienna merasa beruntung sekali, ia disayangi dan dicintai oleh Alvaro seperti ini. Hampir setiap saat, Alvaro tidak pernah lupa mencurahkan kasih sayangnya pada Sienna. Katanya, setiap orang memang memiliki love language yang lebih dominan, tapi Sienna merasa kalau Alvaro memiliki semua love language dan itu semua terasa seimbang, Sienna bisa mendapatkan semuanya.

“Katanya laper, ayo pesen makan,” ujar Sienna setelah beberapa detik mereka hanya saling berpelukan.

Alvaro akhirnya mengurai pelukan mereka. Alvaro menatap Sienna intens, lalu ia menunjuk pipinya menggunakan jari telunjuknya.

“Apa?” tanya Sienna yang tidak paham akan tingkah Alvaro.

“Cium dulu,” ujar Alvaro.

Sienna berdecak kecil, tapi akhirnya tetap mendekatkan tubuhnya untuk kemudian memberikan kecupan di sisi wajah Alvaro.

“Oke, ayo kita pesen makanan yang banyak.” Alvaro tersenyum bahagia dan ia segera bangkit dari posisinya. Sienna pun geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Alvaro yang bisa jadi kekanak-kanakan, bahkan melebihi Gio.

***

Gio yang semakin hari semakin menyayangi Sienna, kerap kali bersikap posesif ; terlebih ketika Alvaro bertingkah manja kepada Sienna dan selalu menggoda anaknya dengan mengatakan kalau Sienna hanyalah miliknya seorang.

Mereka baru saja selesai makan siang bersama. Seperti yang sudah-sudah terjadi, Alvaro dan Gio selalu berebut untuk mendapat perhatian Sienna. Kalau bisa, Sienna ingin membelah diri saja atau membuat kloningan dirinya, tapi itu kan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan.

Sienna melangkah ke ruang keluarga di saat Alvaro dan Gio masih mencuci tangan mereka di wastafel. Kedua lelaki berbeda generasi itu tengah berlomba mencuci tangan, dan siapa yang lebih cepat selesai, berarti dia yang akan dapat memeluk Sienna.

Sebenarnya bisa saja mereka melakukannya bersamaan. Sienna akan bisa berada di tengah lalu Alvaro dan Gio memeluknya dari kedua sisi yang berbeda. Namun dasarnya kedua lelaki itu mau mengalah dan selalu ingin jadi pemenang, maka terjadilah kesepakatan tersebut.

“Papa selesai duluan!” seru Alvaro setelah ia mengelap tangannya menggunakan handuk supaya kering.

Gio yang melihat Alvaro telah lebih dulu selesai darinya, segera mempercepat gerakan tangannya untuk dibersihkan dari sabun. Namun Alvaro tetap jadi pemenang dan berhasil sampai di ruang keluarga lebih dulu.

Ketika Gio sudsh selesai mencuci tangan dan sampai di sana, ia mendapati Alvaro yang tengah memeluk Sienna dari samping.

“Sini, peluknya barengan. Jangan sedih dong, anak Bunda kan anak hebat,” ujar Sienna sambil merentangkan satu tangannya untuk meraih Gio ke pelukannya.

“Kan Papa yang menang, harus sportif dong,” cetus Alvaro yang tidak terima. Kini Gio tengah memeluk Sienna dari sisi kiri dan Alvaro berada di sisi kanannya.

“Kan Bunda punya sama-sama. Papa nggak boleh kayak gitu,” ucap Gio.

“Kamu kayak orang gede aja ya omongannya,” ujar Alvaro lagi masih berusaha mendebat anaknya sendiri.

“Al, kamu nih,” ucap Sienna mengingatkan Alvaro.

“Tau nih.” Gio pun ikut-ikutan ucapan Sienna. “Papa, kan Bunda Sienna bundanya Gio. Mau apa hayo, hah?”

“Eh, diajarin siapa kamu kayak begitu? Hah hah ke Papanya,” ucap Alvaro sembari menoel pipi anaknya.

“Diajarin sama Gio sendiri. Nih, bunda Sienna itu bundanya Gio,” oceh Gio.

“Yaa Bunda Sienna itu calon istrinya Papa. Mau apa hayo, hah?” Alvaro kembali membalas dan tampak tidak mau kalah.

Sienna hanya bisa pasrah saja kalau sudah begini. Memilih diam adalah yang terbaik, paling tidak sampai kedua lelaki ini lelah sendiri dan berakhir menghentikan perdebatan.

“Calon istri itu apa emangnya?” Gio pun bertanya karena ia tidak tahu apa makna 'calon istri' yang barusan diucapkan Alvaro.

“Calon istri itu nantinya akan jadi istri. Kalau Bunda jadi istrinya Papa, artinya Bunda jadi Bundanya Gio juga. Bunda tinggal di sini selamanya sama kita. Gio mau nggak?” ujar Alvaro.

“Mau dong, Papa. Beneran nih?” Gio seketika nampak semangat mendengar penjelasan itu.

“Coba tanya sama Bunda,” ucap Alvaro sembari menampakkan senyum misteriusnya.

“Emang iya beneran Bunda? Bunda mau menikah sama Papa?” Gio beralih menatap Sienna, bocah itu sedikit mendongakkan wajahnya.

“Iyaa, Nak,” ujar Sienna seraya mengulaskan senyum hangatnya. “Gio seneng nggak kalau Bunda menikah sama Papa?” Sienna lanjut bertanya pada Gio.

“Seneng banget, karena kan Gio sayang sama Bunda. Tapi kapan menikahnya? Masih lama atau dikit lagi?”

Begitu banyak pertanyaan Gio yang memerlukan jawaban dari Alvaro dan Sienna. Mereka belum bisa menjawabnya sekarang, tapi yang jelas itu akan segera terjadi. Hari bahagia yang ditunggu itu, akan terlaksana secepatnya.

Gio akhirnya merasa senang setelah diberi pemahaman bahwa Sienna dan Alvaro akan menikah suatu hari nanti. Itu artinyaSienna akan menjadi bundanya, tinggal bersama di rumah ini bersama dengannya dan Alvaro.

Sienna masih mendapat pelukan hangat dari kedua lelaki yang teramat menyayanginya. Lantas Sienna menatap Alvaro dan Gio secara bergantian. Sienna merasa begitu bahagia, ia disayangi dengan tulus oleh dua laki-laki yang juga sangat ia sayangi. Alvaro dan Gio, keduanya hampir setiap hari mewarnai hidup Sienna, mencetak senyum di wajahnya, dan menjadi alasan bahagianya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

1 bulan kemudian.

Alvaro dan Marsha telah resmi dinyatakan bercerai, setelah melalui beberapa tahapan perceraian sesuai dengan aturan pengadilan negeri agama. Hari ini sidang kesimpulan dilaksanakan, dan itu menjadi pertanda bahwa Alvaro dan Marsha telah final berpisah. Pengadilan sudah membuat keputusan dan melakukan pembacaan kesimpulan, setelah semua berhasil dibuktikan oleh saksi maupun surat-surat yang diberikan dari kedua belah pihak.

Alvaro sebagai pihak penggugat yang membuktikan bahwa Marsha sebagai pihak tergugat telah melakukan perselingkuhan di dalam rumah tangga, akhirnya pada pembacaan keputusan, majelis hakim memutuskan bahwa hak asuh anak jatuh ke tangan Alvaro. Pihak Alvaro berhasil melakukan pembuktian bahwa Marsha telah selingkuh. Maka Marsha dinyatakan sudah gagal menjadi seorang ibu, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 mengenai perkawinan, yang berbunyi bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Ada beberapa hal yang disepakati oleh Alvaro dan Marsha selama menjalani proses perceraian mereka. Salah satunya adalah membuat pengakuan pada pengadilan bahwa Gio adalah anak kandung Alvaro dan Marsha. Selain itu, Alvaro ingin semua informasi tentang perceraiannya di tutup rapat dan sidang diadakan secara tertutup.

Kabar resmi bercerai kedua artis kondang Alvaro Zachary dan Marsha Tengker pun berhembus dengan cepat. Kabar tersebut berhasil menggemparkan jagat dunia hiburan dan menorehkan tanda tanya besar. Berbagai media langsung memberitakan hal tersebut, membuat nama Alvaro dan Marsha seketika menjadi buah bibir bagi khalayak.

Siang ini, secara bergantian Alvaro dan Marsha keluar dari ruang sidang. Marsha keluar lebih dulu dan kehadirannya langsung disambut oleh para wartawan dengan berbagai kamera yang siap menyorotinya.

“Mbak Marsha, ngomong sedikit dong Mbak,” cetus seorang wartawan.

“Iya Mbak, dikit aja dong kasih keterangan. Hasil sidangnya seperti apa, dan katanya ada orang ketiga, apa itu bener?” sahut wartawan yang lain.

Berbagai pertanyaan pun datang bertubi-tubi. Marsha berada di sana didampingi oleh manager, kuasa hukumnya, serta 2 orang bodyguard-nya. Para bodyguard dan petugas keamanan yang ada di sana pun menyuruh wartawan untuk memberi jalan bagi Marsha.

Marsha masih bungkam di balik masker dan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya.

Wartawan tidak menyerah dan masih memaksa agar salah dari mereka angkat bicara, sampai akhirnya sang manager pun memutuskan buka suara karena tidak juga diberia jalan untuk lewat. “Kalian bebas ingin membuat asumsi apapun. Pihak kami memilih untuk menjaga privasi, karena gimanapun Al dan Marsha punya anak. Kalian harusnya tau alasan mereka memutuskan hal ini tidak dibawa ke publik. Tolong pengertiannya sekali lagi, baik Al maupun Marsha udah sepakat untuk berpisah karena adanya masalah internal,” jelas Nisya yang merupakan manager dari Marsha.

“Wah ... jangan-jangan bener nih ada orang ketiga,” sahutan lantang tersebut terdengar dari salah satu wartawan laki-laki di belakang.

Di sisi yang berbeda, masih di area gedung pengadilan agama, sebagian wartawan menyerbu sosok Alvaro yang baru saja menampakkan dirinya. Sama dengan Marsha, Alvaro didampingi oleh manager, kuasa hukum, dan tiga orang bodyguard-nya.

Terjadi kerumunan di sana, sampai membuat mereka tidak bisa bergerak. Para bodyguard berusaha menyingkirkan wartawan dan mengatakan terpaksa akan menggunakan kekuatan fisik jika mereka tidak juga memberi jalan.

Alvaro memilih bungkam saat cacian dan makian terlontar dari para wartawan yang menuduh bahwa dirinyalah yang telah mengkhianati pernikahan.

Nama Alvaro dan Marsha di cap jelek setelah sidang kesimpulan yang menyatakan bahwa mereka resmi bercerai. Masyarakat beranggapan bahwa kehidupan artis penuh dengan drama. Mereka bisa menikah dengan gampang, bercerai seenaknya, bahkan berganti pasangan layaknya berganti pakaian.

Berbagai isu penyebab perceraian Alvaro dan Marsha pun berhembus, diduga penyebabnya karena adanya orang ketiga. Namun tidak ada bukti kuat yang dapat mengklarifikasi isu miring tersebut. Alvaro telah meminta pengadilan mengadakan sidang perceraiannya dengan tertutup dan ia ingin kerahasiaan data dijamin sepenuhnya. Pengadilan pun bersedia menjamin privasi tersebut dan memastikan bahwa semuanya tersimpan dengan aman.

Manager Alvaro akhirnya angkat bicara dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan memberi keterangan apa pun untuk menanggapi hal ini.

Jadi tidak ada lagi penjelasan yang didapatkan oleh para wartawan yang telah rela menunggu lama di depan gedung pengadilan. Mereka berakhir tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pada kenyataannya, percuma saja memberi keterangan, karena pada akhirnya kebanyakan media akan menggoreng lagi berita yang mereka dapatkan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Flashback.

Malam itu, Alvaro baru saja selesai menghadiri sebuah ajang bergengsi untuk penghargaan film. Alvaro memenangkan penghargaan untuk aktor pendatang baru terbaik di tahun itu. Film laga yang dibintanginya, debut dengan sukses dan berhasil mendapatkan 2 juta penonton dalam waktu penayangan 2 minggu. Itu adalah pencapaian besar sebagai aktor di usia Alvaro yang masih terbilang muda, saati itu usianya baru menginjak 18 tahun.

Bukan hanya orang tuanya saja yang bangga, tapi perusahaan management-nya juga begitu bangga pada Alvaro. Tidak lupa, kekasih juga bangga sekali padanya. Marsha memberi surprise untuk Alvaro setelah menyuruh Alvaro datang ke apartemennya malam ini.

Rupanya hanya ada Marsha di sana, padahal Alvaro mengira Marsha akan mengundang teman-teman mereka yang berasal dari sesama artis, paling tidak. Lantas Marsha hanya mengatakan kalau ia ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Alvaro, tanpa adanya orang lain. Alvaro telah sibuk menjalani shooting beberapa bulan belakangan, hingga membuat mereka jarang bertemu. Belum lagi, promosi film yang harus dijalani Alvaro, membuat waktunya tersita disaat ia harus membaginya untuk sang kekasih.

“Al, selamat ya buat penghargaannya. Aku bangga banget sama kamu,” ucap Marsha.

Alvaro lantas menampakkan senyum lebarnya. “Makasih ya, Sayang,” ujarnya kemudian.

Marsha lantas menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang kepada Alvaro. Alvaro langsung membuka isinya dan matanya seketika membeliak. Alvaro nampak senang, Marsha memberikannya sepasang sepatu mahal yang sudah cukup lama Alvaro inginkan.

Tidak hanya sepatu, tapi Marsha juga memberikan sebuah jam tangan dan sebotol minuman alkohol. Alvaro tahu itu minuman mahal dan tidak mudah mendapatkannya karena memang harus diimpor dari luar negeri.

Marsha kemudian berjalan menjauhi Alvaro, rupanya perempuan itu tengah mengambil dua buah gelas tinggi dari laci.

Marsha kembali pada Alvaro, ia meletakkan gelas di tangannya di meja. “Wanna have a drink together?” tanya Marsha.

Of course,” ucap Alvaro yang lantas meminta Marsha menuangkan minuman untuk mereka berdua.

Malam itu, setelah beberapa saat kerongkongannya menikmati minuman keras, Alvaro pun kehilangan kesadarannya. Rasanya sulit sekali membuka mata dan ada gelenyar aneh dari dalam dirinya yang memerintahkannya melakukan sesuatu.

Alvaro tidak berniat untuk melakukannya. Ia tidak berniat menyentuh Marsha, tapi keesokan harinya, Marsha mengatakan bahwa mereka telah melakukan hubungan badan.

Pagi hari yang akan selalu diingat Alvaro, di mana dirinya merasa berdosa karena telah merusak pacarnya sendiri. Alvaro tidak berpikir sejauh ini dirinya akan melakukannya dengan Marsha. Alvaro bukanlah lelaki suci yang tidak pernah menyentuh kekasihnya sama sekali, tapi apa yang telah ia lakukan adalah lebih dari sekedar menyentuh. Alvaro telah membuat Marsha menerima miliknya yang seharusnya itu tidak terjadi sebelum mereka terikat pernikahan.

***

Beberapa minggu kemudian.

Alvaro berusaha menepis hal negatif di pikirannya ketika Marsha mengatakan ingin bicara empat mata dengannya. Marsha bilang ini adalah sesuatu yang penting dan Alvaro harus mengetahuinya.

“Al, aku hamil.” Tiga kata itu yang diucapkan Marsha berhasil membuat Alvaro tercekat. Rasanya seperti ada sesuatu tak kasat mata yang kini mencekik lehernya.

Alvaro masih mematung di tempatnya, sampai akhirnya Marsha menunjukkan sebuah testpack bergaris dua di hadapan Alvaro.

Alvaro melihat ke arah benda itu dengan tatapan tidak percaya. Alvaro nampak bingung atas apa yang terjadi dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi tanggung jawab yang besar ini.

“Sha, malam itu aku nggak inget. Kamu yakin kalau kita beneran ngelakuin itu?” Alvaro bertanya tanpa maksud melukai perasaan Marsha, karena jujur saja ia setengah sadar kala itu, jadi tidak yakin bahwa mereka sungguhan melakukannya.

“Maksud kamu? Al, kita beneran ngelakuin itu. Mungkin kamu nggak inget, tapi jelas-jelas aku inget. Aku selama ini sama kamu terus. Sikap kamu yang nggak percaya gini seolah-olah kamu nuduh kalau aku selingkuh,” ucap Marsha dengan nada pilu dan terlihat kekecewaan di raut wajahnya.

“Sha, aku nggak maksud nuduh kamu. Aku nggak mungkin ngira kamu selingkuh. Aku cuma lupa kita udah ngelakuin itu. Sha, siapa tau hasil testpack-nya salah, kita ke dokter yaa buat pastiin?” Alvaro membujuk Marsha. Namun Marsha sudah lebih dulu mengeluarkan sebuah amplop putih dari tasnya. Marsha menyerahkannya pada Alvaro dan meminta lelaki itu untuk membaca isinya.

Dengan diliputi perasaan cemas, Alvaro akhirnya membaca keterangan di kertas itu. Jelas tertulis di sana bahwa Marsha tengah mengandung dan usia kandungannya sudah memasuki minggu kedua.

Alvaro seketika kalut, tapi ia harus berpikir dan mengambil sebuah keputusan yang sulit. Di saat usianya masih terbilang muda, Alvaro merasa ia belum siap untuk menjadi seorang ayah.

Namun di satu sisi, Alvaro tidak kepikiran bahwa ia akan kehilangan darah dagingnya sendiri.

Alvaro akhirnya membuat keputusan, ia tidak ingin kehilangan anak mereka. Alvaro tidak sanggup mengorbankan darah dagingnya sendiri hanya demi karirnya, tidak terpikirkan juga di benaknya untuk menjadi orang yang lebih bejad lagi.

Alvaro dan Marsha memutuskan mempertahankan anak mereka dan akan merawatnya bersama. Meskipun terpaks ada yang harus mereka lakukan guna menjaga nama mereka sebagai artis tetap bersih, yakni dengan menyembunyikan identitas anak mereka. Mungkin sebagai orang tua Alvaro dan Marsha tidak sempurna, tapi mereka akan selalu mencoba memberikan kasih sayang yang utuh untuk calon anak mereka.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Marsha tampak sedikit terkejut ketika mendapati Alvaro tidak datang sendiri. Alvaro datang bersama Sienna dan Gio. Di setiap langkah lelaki itu, rupanya ada orang-orang yang dicintainya yang selalu mendampinginya. Lelaki itu tidak sendiri untuk menghadapi saat yang sulit baginya.

Alvaro akan mengantar Marsha ke suatu tempat yang sudah dipastikan aman. Kondisi Marsha yang kacau, tidak memungkinkan untuk mengantar perempuan itu ke rumah orang tuanya.

Marsha duduk di kursi mobil di belakang, sementara Sienna berada di kursi depan dan tengah memangku Gio yang tertidur di dekapannya. Melihat situasi yang terjadi sekarang, dada Marsha terasa berdenyut nyeri. Posisi Sienna saat ini, harusnya adalah posisinya.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, mobil Alvaro kini telah berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar putih. Rumah tersebut adalah kediaman sahabat dekat Marsha, jadi sementara Marsha bisa tinggal di tempat itu dengan aman.

Sebelum turun dari mobil, Marsha mengatakan sesuatu pada Alvaro. “Al, aku mau minta tolong sesuatu. Mungkin ini akan jadi permintaan terakhir aku ke kamu.”

Alvaro hanya membiarkan Marsha mengatakannya, belum menanggapi apa pun.

“Tolong, kamu mengalah di pengadilan. Tolong biarin hak asuh Gio jatuh ke tangan aku. Ak-aku nggak bisa hidup tanpa anakku, Al,” ucap Marsha dengan nada memohonnya.

“Lebih baik kamu turun, aku nggak akan turutin permintaan kamu yang itu,” ucap Alvaro dengan tegas. Alvaro dengan cepat menolak permintaan tersebut tanpa mempertimbangkan apa pun, karena memang Marsha tidak berhak memintanya untuk mengalah atau pun mundur di pengadilan.

Marsha belum juga melangkah turun dari sana, ia masih keras kepala meminta Alvaro untuk menurutinya. Hingga keributan pun terjadi dan membuat Gio yang tadinya tertidur pulas jadi terbangun.

“Al, kamu harusnya ngerti. Aku ibu kandungnya, yang terbaik buat Gio adalah sama aku. Toh, Gio bukan anak kamu,” ucap Marsha dengan entengnya.

Marsha kelepasan mengatakannya, bahkan ia mengucapkannya di depan anaknya. Namun Gio telah telah terlanjut mendengar perkataan tersebut keluar langsung dari bibir ibunya.

Gio pun tampak bingung, anak itu tidak mengerti dengan maksud Marsha. Kenapa ibunya menyebut dirinya bukanlah anak papanya. Apakah itu benar? Gio hanya bertanya dalam hati sambil menatap Alvaro.

Sienna lekas meminta Gio kembali tidur, ia mengusap punggung kecil anak itu dan membisikkan sesuatu untuk menenangkannya.

“Ak-aku nggak maksud ngomong gitu. Gio, maafin Mama,” Marsha berucap dengan terbata. Namun Alvaro tidak memberi ampun, ia dengan tegas menyuruh Marsha untuk turun dari mobilnya.

Marsha akhirnya melangkah keluar, dan sayup-sayup terdengar olehnya bahwa Sienna tengah menenangkan Gio dengan kalimat-kalimatnya.

“Gio, tidur lagi ya, Nak,” suara lembut itu berhasil membuat anaknya menurut dan kembali tenang.

***

Di luar mobil, Marsha berbicara dengan Alvaro. Marsha mengungkapkan alibinya bahwa ia terpaksa meninggalkan Alvaro dan Gio. Marsha sesungguhnya tidak ingin melakukannya, tapi ia diancam untuk melakukannya.

Alvaro tampak tidak tertarik mendengar rentetan perkataan Marsha. Baginya tidaklah penting alibi yang Marsha ungkapkan itu, semuanya sudah percuma dan sudah berakhir.

“Liat apa yang udah kamu lakuin. Kamu ibu kandungnya, tapi kamu nggak bisa pahamin perasaannya. Kamu udah nyakitin perasaan Gio, Marsha,” ucap Alvaro. Marsha merasa tertampar dengan kalimat itu. Marsha mengakui bahwa dirinya telah menjadi ibu yang gagal untuk Gio.

“Al, dengerin dulu penjelasan aku,” ucap Marsha menahan Alvaro yang hendak berlalu dari hadapannya.

“Penjelasan apa lagi?”

“Aku terpaksa ninggalin kamu dan Gio, aku nggak benar-benar mau ngelakuin itu,” ujar Marsha.

“Gimana bisa kamu bilang terpaksa? Kamu ngelakuinnya secara sadar, Sha. Bagi kamu lebih penting laki-laki itu, kan?” ucap Alvaro dengan nada sengitnya.

“Rafa ngancem aku, Al. Dia bakal beberin ke media soal identitas Gio kalau aku nggak turutin maunya dia. Rafa punya bukti kalau Gio anak kita,” ujar Marsha.

Marsha mengatakan bahwa Rafa tidak peduli Marsha berhubungan dengan Alvaro, yang penting lelaki itu mendapatkan apa yang ia inginkan. Toh kalau Marsha pergi selamanya dari Rafa dan lebih berakhir memilih Alvaro, Rafa akan selalu punya cara untuk membuat Marsha kembali ; yakni dengan ancamannya. Jadi Rafa tidak pernah takut untuk kehilangan Marsha.

Rafa menempatkan Marsha di posisi yang sulit. Marsha tidak punya pilihan, karena takut karirnya hancur, dan itu juga bisa mengancam karir Alvaro. Awalnya Marsha menikmati hubungannya dengan Rafa dan merasa bahwa pria itu mencintainya. Namun akhirnya Marsha sadar bahwa Rafa tidak mencintainya dan hanya memanfaatkannya.

“Sha, denger ya,” Alvaro berucap tegas. “Aku nggak peduli seandainya karir aku hancur. Selama aku menyembunyikan identitas Gio, aku selalu ngerasa jadi ayah yang gagal buat dia.” Alvaro menjeda ucapannya, tiba-tiba dadanya terasa sesak.

Alvaro kembali melanjutkan perkataannya. “Aku nggak pernah mau mengakui Gio sebagai anak angkat aku, tapi aku terpaksa ngelakuin itu. Kalau suatu hari dia tau apa yang orang tuanya lakuin, dia pasti akan kecewa dan sakit hati.”

Alvaro lantas membuat alibi juga bahwa ia tidak peduli jika karirnya hancur, yang terpenting baginya adalah Gio. Alvaro justru bersyukur bahwa Marsha telah bersikap egois dengan mementingkan karir ketimbang anak, karena mungkin jika tidak, Alvaro tidak akan pernah tahu bahwa Marsha telah selingkuh darinya.

“Kamu bisa ketemu Gio kapan pun yang kamu mau. Tapi aku nggak akan mengalah dan mundur di persidangan, aku akan tetap berusaha memenangkan hak asuh Gio.” Alvaro berucap telak.

Alvaro juga menambahkan, ia tidak ingin memisahkan seorang ibu dari anaknya. Marsha tetaplah ibu kandung Gio yang berhak untuk bertemu dengan anaknya. Namun untuk mengalah dan mundur di persidangan, Alvaro dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan melakukannya.

Selain itu, bagi Alvaro tidak penting darah yang mengalir di tubuh Gio darah milik siapa. Gio tetap menjadi anaknya, karena Alvaro yang telah membesarkan Gio sejak kecil dan mereka adalah ayah dan anak yang tidak bisa dipisahkan.

Alvaro akhirnya melangkah meninggalkan Marsha. Alvaro pergi dengan mobil itu, menyisakan Marsha seorang diri yang kini merasa begitu menyesali semuanya. Marsha menyesali perbuatannya, tangisnya pecah saat itu juga dan dadanya terasa amat sakit.

Marsha menyesal telah mengkhianati Alvaro serta meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan seorang ibu. Melihat Alvaro bahagia bersama Sienna dan terlebih anak kandungnya tampak menyayangi sosok yang baru hadir itu, membuat Marsha sebagai ibu kandung merasa gagal dan hancur.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Ini merupakan hari Sabtu. Jika biasanya Sienna menghabiskan waktu paginya di akhir pekan untuk tidur ; sampai paling tidak jam 12 siang, kali ini ia tidak melakukannya. Pukul 10 pagi, Sienna telah ikut bersama Renata untuk berbelanja bahan makanan ke supermarket.

Seperti yang telah direncanakan, malam ini Alvaro dan Gio akan datang ke rumah untuk makan malam atas undangan dari Fabio. Sienna nampak berseri-seri sekali wajahnya, sampai Renata yang memperhatikan putrinya itu ikut senang juga.

“Mah, Alvaro nervous banget tau karena undangan dari papa. Semalem kita video call-an, terus Sienna temenin dia sampai ngantuk, soalnya dia gak bisa tidur saking gugupnya.” Sienna bercerita sembari mendorong troli belanjaan dan mengikuti langkah Renata dari belakang.

Renata sedang meminta petugas supermarket untuk memotong beberapa slice daging steak sirloin. Nampaknya acara makan malam ini sungguh spesial, Renata sampai belanja cukup banyak dan berencana memasak hidangan fancy.

Renata lantas menoleh ke belakang dan bertanya pada Sienna, “Emang kamu belum kasih tau Al kalau papa udah restuin hubungan kalian?”

“Belum,” Sienna menggeleng.

“Kamu nih. Kasian kan, Al jadi khawatir gitu. Kenapa nggak dikasih tau aja?” Renata memasukkan kantong plastik berisi daging sirloin yang telah di slice ke dalam troli belanjaan.

“Biar surprise dong, Mah. Sienna pengennya Al langsung tau dari papa,” ujar Sienna, senyum di bibirnya otomatis mengembang.

“Yaudah kalau kamu emang maunya gitu. Papa kamu juga baru kasih tau ke Mama kemarin, karena katanya itu hukuman buat Mama. Soalnya Mama sempet ikutan bantuin kamu bohong ke papa, pas kamu pergi ketemu sama Al, padahal papa udah larang.”

Sienna kemudian terkekeh. “I’m sorry, Mam. Tapi makasih ya udah bantuin Sienna.”

“Nak, gimana coba kalau papamu nggak restuin kamu sama Al? Bener emang katanya kamu nggak mau nikah sama laki-laki selain Al?” Renata mengajukan pertanyaan yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Renata hanya penasaran bagaimana pandangan dan keseriusan putrinya dalam menjalani hubungannya dengan Alvaro.

Sienna kemudian mengangguk yakin untuk menjawab pertanyaan Renata barusan. “Mungkin Sienna bakal tetep nikah kalau nggak sama Al, tapi pasti perasaannya beda, Mah.” Sienna membayangkan jika hal tersebut sungguh terjadi. Rasanya jika Sienna bersama orang lain, ia tidak akan bisa melupakan perasaannya yang ia miliki terhadap Alvaro. Alvaro tetap memiliki tempat spesial di hatinya, maka Sienna berharap ia dapat hidup bersama orang yang telah sepenuhnya memiliki hatinya.

“Mah, Sienna nggak kepikiran buat cari laki-laki lain yang menurut papa pantes buat Sienna. Sienna milih Al bukan karena dia yang paling pantes buat Sienna, tapi karena Sienna cuma mau hidup bareng sama Al, bukan orang lain.”

***

Sekitar pukul 7 malam, Alvaro dan Gio telah datang ke rumah. Mereka pun langsung berniat menikmati hidangan yang telah tersaji cantik di meja makan.

Terdapat banyak makanan, mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga hidangan penutup. Renata menyiapkan camilan kesukaan Gio, yakni es krim dan coklat. Khusus malam ini, Alvaro memperbolehkan anaknya untuk menikmati makanan manis kesukaannya.

Di meja makan itu, terdapat orang tua Sienna, kakaknya, adiknya, Sienna, Alvaro, dan juga Gio. Fabio sebelumnya telah membuat briefing, bahwa ada yang penting yang perlu disampaikan setelah makan malam selesai. Jadi yang ada di sana nantinya hanyalah yang berkepentingan saja.

Setelah sekitar 30 menit mereka menyantap makanan, Renata meminta Valiant dan Christo untuk mengajak Gio bermain di kamar. Orang dewasa mempunyai urusan yang harus diselesaikan, jadi ada waktunya bagi anak kecil untuk tidak terlibat.

Di meja makan itu, kini tersisa Fabio, Renata, Sienna, dan Alvaro. Fabio baru saja meneguk teh manis di gelasnya. Setelah meletakkan gelasnya di meja, Fabio berdeham sekali sebelumnya akhirnya berujar, “Alvaro, ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu.”

Alvaro yang duduk di hadapan Fabio lantas mengarahkan tatapannya pada Fabio. Alvaro menoleh pada Sienna yang berada di sampingnya. Tatapan Alvaro terlihat khawatir ketika netranya bertemu dengan netra Sienna. Sienna lantas mengulaskan senyum teduhnya, lalu satu tangannya di bawah meja bergerak menggenggam tangan Alvaro yang ada di atas pahanya.

“Saya sudah memikirkannya selama seminggu belakangan ini,” Fabio kembali berujar. “Ada banyak hal yang saya pikirkan. Sebagian tentang hubungan kamu dan Sienna, sebagian juga tentang Gio. Saya ketemu Gio waktu dia nunggu Sienna di studio. Tanpa saya duga, kata-kata Gio berhasil meluluhkan hati saya.”

Alvaro mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Fabio ucapkan. Terdapat perbedaan dari cara Fabio menatapnya. Kalau dulu tatapan itu begitu dingin dan tidak bersahabat, kini terlihat secercah keteduhan dan kelembutan yang terpancar dari kedua iris mata itu.

“Saya sadar akhirnya kalau selama ini saya terlalu menutup hati, hingga saya nggak bisa melihat kebaikan seseorang. Saya terlalu egois dengan cuma mikirin kebahagiaan Sienna, tanpa tau kalau saya memisahkan kamu, Sienna, dan Gio, ada kebahagiaan lain yang saya hancurkan. Saya minta maaf atas perlakuan saya sebelumnya kepada kamu.” Fabio menjeda ucapannya. Lelaki berusia 50 tahunan di hadapan Alvaro itu nampak menghembuskan napasnya dan terlebih, kedua mata itu terlihat berkaca-kaca ; hal yang jelas belum pernah Alvaro dapati di depan matanya.

Tanpa Alvaro sadari, kedua matanya juga terasa memanas. Alvaro berusaha kuat menahan air matanya agar tidak tumpah.

Kembali lagi Alvaro menatap Fabio ketika lelaki itu berujar, “Saya merestui hubungan kamu dengan Sienna. Saya mengizinkan kamu untuk bersama anak saya, karena saya percaya kamu dapat membahagiakannya.”

Lantas setelah mengatakannya, Fabio beranjak dari duduknya. Fabio menghampiri Alvaro dan mengajaknya untuk berjabat tangan, seperti tanda bahwa kedua orang itu telah berdamai. Tidak ada lagi perseteruan di antara mereka, dan Fabio telah sepenuhnya merelakan putrinya untuk bersama lelaki pilihannya.

Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Alvaro akhirnya menyambut uluran tangan Fabio. Sienna dan Renata menatap kejadian itu dengan senyuman haru dan mata yang juga sudah berkilat karena air mata yang tertahan.

Begitu tangan Fabio menjabat tangannya, Alvaro merasakan genggaman itu sedikit menguat. Fabio menatap Alvaro lurus-lurus, dan masih sambil menjabat tangannya, lelaki itu lantas berujar, “Dua puluh lima tahun saya menjaga Sienna dan selalu memastikan agar dia bahagia. Sekarang saya menyerahkan tanggung jawab itu kepada kamu, dan saya harap kamu mampu memegang tanggung jawab itu dengan baik.”

Atas permintaan Fabio tersebut, Alvaro menganggukinya dengan sebuah anggukan yakin. Begitu Fabio meraih Alvaro ke pelukannya, Alvaro nampak sedikit terkejut.

Fabio menepuk sekali punggung Alvaro dengan pelan, lalu Fabio berujar di dekatnya, “Terima kasih, kamu sudah hadir di hidup Sienna dan jadi alasan dia untuk bahagia.”

Alvaro nampak mengulaskan senyum harunya setelah mendengar ucapan Fabio. Setelah pelukan itu terurai, Alvaro berujar kepada Fabio. “Terima kasih Om. Terima kasih sudah memberi restu untuk hubungan saya dan Sienna.”

Alvaro mati-matian berusaha mengucapkan kalimat itu, saat lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata. Namun detik setelahnya, pertahanan Alvaro akhirnya runtuh juga. Alvaro tidak lagi sanggup menahan air matanya untuk tidak tumpah.

***

Fabio telah mendengar kabar bahwa Sienna dan Alvaro sempat membicarakan soal pernikahan. Renata sudah tau itu terlebih dulu. Jadi setelah Alvaro menyelesaikan urusan perceraiannya dengan Marsha, Alvaro tidak ingin menunggu lama untuk meresmikan hubungannya dengan Sienna. Dengan restu yang telah Fabio berikan, Alvaro dan Sienna akan mantap melangkah ke jenjang hubungan yang lebih serius.

Kabar soal rencana pernikaha itu sungguh membahagiakan. Meski rasanya begitu cepat dan tentu sebagai orang tua, tetap terasa berat ketika harus melepas anak mereka untuk memulai hidup baru dengan seseorang yang dicintai. Namun begitulah kehidupan, akan ada perubahan-perubahan yang di awal terasa tidak mudah untuk diterima.

Sekitar pukul 9 malam, Alvaro memutuskan pamit dari rumah itu. Ada yang berbeda kali ini, Alvaro tidak pulang bersama Gio. Alvaro sebelumnya memang telah berjanji pada Gio agar anak itu diperbolehkan menginap di rumah Sienna. Tadi sebelum berangkat, Gio telah membawa pakaian di dalam ransel miliknya,jadi bocah itu telah sangat siap untuk menginap.

Alvaro akhirnya pulang sendiri. Setelah berpamitan pada Fabio dan Renata, kini Alvaro berpamitan pada anaknya.

“Bener nih kamu nggak mau ikut Papa pulang?” Alvaro mencoba triknya sekali lagi, mana tahu Gio ingin ikut pulang dengannya.

“Nggak mau, Papa. Gio mau tidur sama Bunda malam ini. Papa pulang sendiri ya.” Dengan lugasnya Gio menjawab pertanyaan papanya.

Lantas Sienna, Fabio, dan Renata yang menyaksikan interaksi antara anak dan ayah di hadapan mereka hanya dapat mengulaskan tersenyum.

“Kamu nggak kasian sama Papa? Papa sendiri lho di rumah kalau nggak ada kamu,” ujar Alvaro lagi.

Gio nampak berpikir, lalu dua detik setelahnya anak itu kembali menjawab. “Kan di rumah ada banyak orang. Ada om Aufar, mbak Gina, mbak Ida, pak Amar, tuh banyak kan Papa.” Jawaban Gio sukses mengundang tawa orang-orang dewasa yang mendengarnya.

“Gio mau bobo sama Bunda Sienna di kamar bunda,” ucap Gio lagi.

“Gio tidur di kamar Nenek sama Kakek aja, gimana? Kan Nenek juga mau tidur sama Gio, nanti Nenek beliin Gio mainan deh. Mau ngga?” celetuk Renata yang segera membuat Gio menoleh ke arahnya.

“Hmm ... nanti dulu ya Nenek. Lain kali deh beneran. Gio malam ini mau tidur sama bunda dulu,” jawab Gio dengan nada sok dewasanya. Seolah anak itu yang mengatur semuanya dan semua orang harus menurutinya.

“Oke, bener ya. Besok kalau nginep lagi, Gio tidurnya sama Nenek ya?”

“Iya, Nenek,” sahut Gio diiringi senyum lebarnya, tidak lupa anak itu mengacungkan satu ibu jarinya kepada Renata.

Akhirnya setelah percakapan itu, Alvaro sungguhan pamit dan berlalu dari sana. Sienna dan Gio mengantar Alvaro sampai ke mobil, sementara Fabio dan Renata memilih masuk ke dalam rumah lebih dulu.

Say good bye dulu sama Papa,” ujar Sienna meminta Gio untuk berpamitan pada Alvaro.

Good bye, Papa. It’s oke to be alone, Papa. Kemarin Papa terus yang bobo sama Bunda, sekarang gantian Gio dulu ya.” Gio malah meledek Alvaro, tahu saja kalau papanya itu posesif terhadap bunda Siennanya dan mereka juga sering cemburu satu sama lain. Tidak Alvaro, tidak Gio, mereka sama-sama menjadikan Sienna bahan rebutan.

Alvaro belum masuk ke mobilnya, lelaki itu lantas mengarahkan tangannya untuk kemudian mengusap puncak kepala Gio. “Jadi anak baik ya, nurut sama Bunda selama kamu di sini,” ujar Alvaro pada anaknya.

Setelah dari Gio, Alvaro beralih pada Sienna. “Gue pulang dulu. Titip Gio ya,” ujar Alvaro sembari mengusap puncak kepala Sienna dengan gerakan lembut.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya. Sudah biasa Alvaro melakukannya, tapi kali ini terasa ada yang berbeda. Sienna merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dan ia hanya dapat membeku di tempatnya. Sienna merasa tingkahnya jadi aneh, dan ia hanya berharap semoga Alvaro tidak menyadarinya.

Begitu Alvaro sudah memasuki mobilnya dan berada di balik kemudi, lelaki itu menatap Sienna lekat-lekat dan senyum lebarnya terulas. “You look so happy today,” celetuk Alvaro.

Gio meminta Sienna agar mereka masuk, anak itu sudah meraih tangan Sienna dan merengek minta masuk ke rumah. Namun Gio hanya mendapat angin lalu saja, ia diabaikan karena kedua orang dewasa di hadapannya sedang asik menikmati belenggu cinta, tidak sadar bahwa ada manusia lain selain mereka.

I’m so happy tonight,” Alvaro kembali berucap, masih mempertahankan senyumnya dan menatap Sienna dengan tatapan penuh afeksi.

“Al, hati-hati dijalan. Nyetirnya yang fokus,” ujar Sienna yang lantas segera diangguki oleh Alvaro.

Good night, Sky. Have a sweet dream, ya.” Dua kalimat itu Alvaro ucapkan sebelum ia menutup kaca mobilnya. Setelah itu, range rover putih milik Alvaro benar-benar berlalu dari hadapan Sienna dan Gio.

Beberapa meter setelah mobil Alvaro berlalu, senyum Sienna masih setia terulas di wajahnya ; nampaknya senyum itu belum ingin luntur barang sedikitpun.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Di dalam mobil itu, baik Fabio maupun Sienna, tidak ada yang memulai pembicaraan. Jalanan Jakarta sore ini tampak cukup padat. Wajar saja sebenarnya, karena mereka berkendara tepat saat jam pulang kerja orang-orang kantoran.

Mobil yang dikendarai Fabio baru saja berjalan sedikit, tapi sudah berhenti lagi karena mobil di depan mereka kembali berhenti.

Fabio lantas menoleh ke samping dan ia berujar, “Sienna, ada yag mau Papa tanyakan sama kamu.”

“Iya, Pah?” Sienna pun ikut menoleh dan menatap Fabio. Kemudian Sienna membiarkan Fabio bertanya padanya.

“Tadi waktu Papa nunggu kamu, papa denger cerita dari Gio soal kejadian waktu itu.”

Awalnya Sienna belum sadar apa yang dimaksud oleh Fabio. Namun Fabio menjelaskan lagi bahwa Gio bercerita padanya soal kejadian Alvaro yang menolong Marsha ketika Marsha mendapat perlakuan kurang baik dari seorang laki-laki.

Akhinya Sienna menceritakan detail kejadiannya pada Fabio. Memang benar, waktu itu Alvaro menolong Marsha karena perempuan itu mendapat perlakuan buruk dari seorang laki-laki. Di mana laki-laki itu adalah orang yang berselingkuh dengan Marsha dan merupakan ayah biologis dari Gio.

“Pah, nggak mudah bagi Alvaro untuk melakukan itu. Tapi Alvaro mutusin buat nolong Marsha karena satu alasan. Karena gimana pun Marsha, dia tetep ibu kandungnya Gio. Meskipun Alvaro udah tau Gio bukan anak kandungnya, itu nggak ngubah sedikitpun rasa sayang Alvaro ke Gio,” jelas Sienna.

Bagi Alvaro, tidak mudah melakukannya, karena sama saja itu seperti membuka luka lama yang telah berusaha laki-laki itu tutup. Harusnya pun Marsha bukan lagi tanggung jawab Alvaro, seharusnya Alvaro bisa saja tidak peduli dan menutup mata. Namun Alvaro menyelamatkan Marsha karena satu alasan. Bagaimana pun masa lalu Alvaro dengan Marsha, Marsha tetaplah ibu kandung Gio. Alvaro melakukannya semata untuk anaknya.

Sienna tidak tahu bahwa selama Fabio tadi menunggunya dan bertemu dengan Gio, mereka mengobrol tentang banyak hal. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Fabio jadi ingin tahu dan berakhir bertanya pada Sienna, padahal biasanya papanya itu tidak peduli tentang segala hal yang menyangkut Alvaro.

“Sienna,” ujar Fabio setelah Sienna mengakhiri ceritanya.

“Iya Pah?”

“Maafkan Papa. Papa sudah salah menilai Alvaro. Maaf, Papa selama ini terlalu menutup hati dan bersikap egois.”

***

Beberapa hari telah berlalu sejak percakapan Sienna dan Fabio di mobil. Setelah mendengar semua cerita itu, Fabio akhirnya tergerak hatinya. Fabio dapat melihat sisi baik dari Alvaro, ia dapat melihat cara lelaki itu memperjuangkan segalanya.

Selama ini Fabio hanya terlalu menutup hatinya, hingga tidak bisa melihat kebaikan seseorang. Fabio menyadari itu dan mengaku bahwa dirinya keliru.

Pagi ini Fabio menghampiri Sienna yang masih bersiap-siap di kamarnya ; sebelum putrinya itu berangka bekerja. Fabio mengetuk pintu kamar putrinya sebanyak dua kali sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam.

Di luar dugaan, Fabio meletakkan kunci mobil milik Sienna di atas meja. Sienna nampak bingung, muncul kerutan di dahinya. Pasalnya beberapa hari belakangan, Fabio bersikukuh mengantar dan menjemputnya ke studio.

“Papa nggak nganter Sienna ke studio?” Sienna bertanya.

“Mulai hari ini, Papa mengizinkan kamu bawa mobil sendiri ke studio. Papa juga mengizinkan kamu untuk ketemu sama Alvaro,” tutur Fabio.

Sienna nampak tidak percaya setelah mendengarnya. Kedua matanya membola, bahkan belah bibirnya sedikit terbuka.

“Sienna?” panggil Fabio menyadarkan Sienna dari bengognya.

Ketika Sienna telah sadar, ia bertanya, “Pah … ini beneran?”

“Beneran, Sayang. Papa nggak larang lagi kamu buat berhubungan dengan Alvaro. Oh iya, Papa juga mau ngundang Alvaro makan malam di rumah kita.”

“Oke, Pah. Nanti Sienna bilang ke Alvaro.” Sienna hanya mengangguk sekali, ia masih tampak bingung dan mencoba untuk mencerna semuanya. Sienna berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini bukanlah mimpi, ini sungguh nyata; papanya telah merestui hubungannya dengan Alvaro.

“Sienna, tunggu.” Fabio menahan Sienna yang sudah akan berlalu setelah menyalami tangannya.

“Kenapa Pah?” Sienna berbalik lagi kepada Fabio.

“Nanti tolong kamu kirim nomornya Alvaro ke Papa. Papa yang akan hubungi Alvaro secara langsung untuk ngundang makan malam.”

Sienna hanya mengangguk sekali lagi, lalu Sienna benar-benar melangkah pergi dari sana. Sienna harus segera berangkat dan saat ini tidak punya waktu untuk meresapi semua yang terjadi pagi ini.

Ini terlalu ajaib dan membahagiakan baginya. Maka Sienna akan memikirkannya lagi nanti dan ingin secepatnya memberi tahu hal ini kepada Alvaro.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭