alyadara

house

Tepat etika BMW milik Marcel terparkir di pekarangan sebuah rumah, Marcel langsung menatap ke arah bangunan bertingkat yang kini ada di hadapannya.

Selama beberapa detik, Marcel tidak bergeming di sana. Marcel coba mengingat kapan terakhir dirinya mengunjungi rumah orang tuanya, rasanya sudah begitu lama. Marcel merasa rindu dengan rumah ini. Dari masa kecil, masa remaja, hingga memasuki awal masa dewasa, Marcel menghabiskan hidupnya di rumah ini. Namun sayangnya, lebih banyak rasa sakit yang kemudian membuat hatinya enggan untuk datang, atau sekedar mengenang memori indah yang ada tempat ini.

Ketika pintu di sampingnya dibuka, Marcel lekas tersadar dari lamunannya. Tampak Arsen di sana, tengah membukakan pintu mobil untuknya.

“Udah gue tanyain sama orang rumah, katanya orang tua lo ada di dalem. Baru aja balik,” ujar Arsen memberitahu Marcel.

Marcel mengangguk sekali, kemudian dirinya segera beranjak turun dari mobil.

Hari ini Marcel telah memutuskan. Marcel datang ke kediaman orang tuanya untuk menyampaikan suatu hal, dan mungkin ini adalah kali terakhir Marcel menginjakkan kakinya di rumah ini.

***

Marcel menemui Enrico dan Valerie di ruang keluarga. Kedua orang tuanya itu masih tampak biasa saja ketika Marcel datang. Ekspresi wajah Valerie terlihat datar, begitu juga dengan Enrico. Padahal Marcel berharap, setidaknya Valerie menyinggung sesuatu tentang kejadian tempo hari di mana Mamanya itu menyakiti Olivia.

Namun sepertinya harapan Marcel hanya akan menjadi harapan.

“Pah, Mah, ada hal penting yang ingin Marcel sampaikan,” ujar Marcel membuka suaranya.

“Silakan. Ada apa?” Enrico berujar sambil menatap Marcel.

“Marcel udah memutuskan sesuatu beberapa hari yang lalu. Keputusan Marcel untuk pindah ke Swiss dan tinggal menetap di sana udah bulat. Tentunya Marcel bawa Mikayla dan Olivia juga,” ujar Marcel dalam satu tarikan napas.

Rasanya berat mengutarakannya, tapi ini sudah menjadi keputusannya. Marcel ingin mengakhiri rasa sakitnya dan berharap dapat membangun kehidupan yang bahagia bersama Olivia dan Mikayla, di sebuah negara dan tempat yang baru untuk mereka.

Beberapa detik berlalu usai Marcel mengatakannya, Marcel mendapati tatapan Valerie yang kini tampak berbeda menatapnya. Ekspresi Valerie yang sebelumnya tampak datar, kini terlihat sedikit syok dan sendu.

“Marcel .. kamu serius dengan keputusan kamu pindah ke luar negeri?” uajr Valeri.

“Iya, Mah. Marcel akan meninggalkan perusahaan dan menyerahkan jabatan ke Papa. Marcel akan tinggal menatap di Swiss,” ujar Marcel lagi memperjelas pernyataannya barusan.

Marcel lantas beralih menatap Enrico, Papanya itu masih diam dan belum menanggapi perkataannya. Tatapan Enrico pun masih sama ketika menatap Marcel seeblumnya, tanpa ekspresi, seolah Papanya itu acuh.

“Kamu mau ninggalin orang tua kamu dan bawa Mikayla pergi jauh? Mikayla itu cucu Mama, Marcel. Mama tau kamu orang tuanya Mikayla, tapi kamu nggak mikirin perasaan Mama dan Papa?” ujar Valerie lagi.

Marcel masih terdiam di tempatnya mendengar semua itu.

“Marcel, tolong jangan pergi. Mama minta maaf sama kamu Nak,” lirih Valerie masih menatap Marcel, kali ini tatapannya tampak begitu sendu.

Kata maaf yang bertahun-tahun tidak pernah Marcel dengar dari orang tuanya, hari ini akhirnya ia mendengarnya dari Valerie.

“Mama minta maaf untuk apa?” Marcel lantas bertanya sembari menatap Valerie lurus-lurus.

“Mama minta maaf, Mama sadar apa yang selama ini Mama lakuin udah kelewatan. Tolong Nak, kamu jangan pindah. Tolong jangan pergi jauh,” ujar Valerie dengan tatapan memohonnya.

Marcel lantas kembali berujar, “Mama sadar sama kesalahan Mama sama Marcel, kalau sama Olivia gimana?”

Valerie seketika mengatupkan bibirnya. Valerie tampak tidak akan berujar lagi, seolah memang bersikap abai.

Akhirnya Marcel kembali mengutarakan. “Keputusan Marcel untuk pindah udah nggak bisa diganggu gugat, Mah, Pah. Maaf, Marcel harus mengambil keputusan ini. Marcel tau Papa dan Mama kecewa dan nggak setuju. Tapi Marcel minta tolong, tolong hargai keputusan Marcel.”

Marcel masih di sana selama beberapa detik setelah mengutarakan maksudnya. Marcel menunggu dan sedikit berharap orang tuanya akan mengatakan sesuatu padanya. Marcel tidak meminta orang tuanya menahannya pergi, tapi mungkin jika orang tuanya meminta maaf dan menyadari kesalahan mereka, Marcel bisa mempertimbangkan kembali keputusannya untuk pindah.

Marcel hanya ingin orang tuanya menyadari kesalahan, agar hubungan mereka kedepannya bisa membaik. Kalau terus seperti ini dan tidak mau menyadari kesalahan, yang lalu-lalu akan kembali terulang. Selayaknya sebuah roda yang berputar dan akan kembali di tempat yang sama.

Selang beberapa menit Marcel menunggu, tidak ada yang terucap ataupun terjadi. Harapannya tidak menjadi kenyataan.

Marcel akhirnya memutuskan untuk beranjak dari sana dan berpamitan pada orang tuanya.

“Pah, Mah, Marcel pamit dulu ya kalau gitu,” ucap Marcel.

Ketika Marcel berdiri, Valerie segera ikut berdiri dan Mamanya itu menahan lengannya. Marcel seketika menatap Valerie yang kini tengah memegang lengannya.

“Mama nggak mau kehilangan kamu dan Mikayla. Kamu tau kan, Mama sayang sekali sama kamu,” ujar Valerie sambil mendongak menatap Marcel.

Marcel menghela napasnya sekali, lalu ia berujar pada Valerie, “Mama nggak akan kehilangan Marcel atau pun Mikayla, Mah. Sesekali Mama masih bisa ketemu sama Mikayla. Mama tenang aja ya,” ujar Marcel.

Kemudian secara perlahan lalu Marcel melepaskan pegangan Valerie di lengannya.

“Marcel tetap akan jadi anak Mama dan selalu sayang sama Mama, nggak ada yang berubah. Tapi tolong Mama mengerti, Marcel juga ingin membahagiakan orang yang Marcel cintai,” terang Marcel.

Keputusan ini rasanya memang sulit bagi Marcel. Namun di kehidupan ini, memang ada beberapa hal harus diputuskan dan terlihat seperti dikorbankan.

Apa pun yang terjadi, seperti yang Marcel katakan pada Valerie, ia tetap akan menjadi seorang anak bagi orang tuanya. Namun Marcel juga memiliki keinginan yang besar, yakni ia ingin membahagiakan orang yang dicintainya. Jika tempatnya bukan di sini, maka Marcel akan menemukan tempat lain dan membuat tempat itu menjadi kediaman yang nyaman dan diselimuti oleh kebahagiaan.

Marcel kemudian menggenggam tangan Valerie di sana dan mengusap punggung tangan itu dengan lembut. “Mah, Marcel pamit dulu ya,” ucap Marcel sebelum akhirnya melangkah pergi dari sana.

Genggaman tangan Valerie di lengan Marcel perlahan dilepaskan oleh Marcel. Valerie segera terpaku di tempatnya, ia menatap menatap penuh kehampaan pada kepergian putranya. Hatinya terasa tergores dan hancur berkeping-keping, tanpa mampu Valerie jelaskan melalui frasa.

Valerie lantas mengalihkan tatapannya kepada Enrico, ia meminta Enrico untuk menahan putra mereka. Namun kenyataannya suaminya itu hanya terdiam di tempatnya.

“Biarkan aja dia dengan keputusannya Mah,” ucap Enrico yang akhirnya angkat suara.

“Pah, tapi Marcel itu anak kita satu-satunya,” ucap Valerie, netranya menatap nanar kepada Enrico.

“Kenyataan itu memang nggak akan berubah, Mah. Tapi dia sudah besar, jadi seharusnya berhak memutuskan apa yang menurut dia benar,” ucap Enrico begitu saja.

***

Siang ini Valerie datang sendiri ke ruang kerja Marcel di kantor. Marcel tampak sedikit terkejut mendapati kedatangan Mamanya yang terbilang mendadak. Asisten maupun sekretarisnya tidak memberitahu Marcel sama sekali mengenai hal ini.

“Ada yang mau Mama omongin sama kamu,” ujar Valerie.

Marcel pun mengangguk sekilas. Kemudian Marcel segera menggeser ipad-nya, dan kini fokusnya hanya diberikan pada Valerie yang tengah duduk di hadapannya.

Marcel lantas membiarkan Valerie untuk memulai pembicaraannya.

“Marcel, Mama udah sadar sekarang. Retaknya keluarga kita terjadi karena keegoisan Mama dan Papa terhadap kamu. Mama bener-bener nyesel sama semua perbuatan Mama, Nak. Tolong maafin Mama dan pertimbangin lagi untuk nggak pergi. Mama nggak ingin kamu pindah ke luar negeri dan tinggal jauh dari Mama.”

“Marcel udah maafin Mama kok,” ucap Marcel setelah beberapa detik pria itu terdiam. Marcel segera mendapati Valerie mengulaskan senyumnya.

“Tapi Marcel belum maafin Mama sepenuhnya,” lanjut Marcel.

Seketika tatapan Valerie pada Marcel berubah menjadi kekecewaan. “Maksud kamu apa Nak? Apa kamu juga nggak bisa ya mempertimbangkan keputusan kamu?”

“Marcel akan coba pertimbangkan lagi, tapi rasanya belum cukup Mah. Marcel akan maafin Mama sepenuhnya, kalau Mama juga dapet maaf dari Olivia,” terang Marcel akhirnya.

Valerie pun segera mendapati Marcel yang menatapnya dengan tatapan kecewa. Seolah Marcel mengatakan secara tidak langsung, bahwa Olivia memang sangat berati baginya, dan sikap Valerie kepada Olivia-lah yang menjadi alasan dari semua kekecewaan Marcel.

Seumur hidup, Valerie belum pernah mendapatkan tatapan itu dari putra semata wayangnya. Valerie pun merasa dirinya telah gagal sebagai seorang ibu. Anaknya menatapnya kecewa dengan alasan yang jelas-jelas Valerie juga akui bahwa dirinya bersalah.

“Mah,” Marcel kembali berucap sambil menatap Valerie.

Valerie tahu Marcel menyayanginya dan menghormatinya sebagai seorang ibu, tapi rasa kecewa itu tidak dapat dibohongi.

“Marcel menghormati Olivia sebagai calon ibu dari anak-anak Marcel, sama kayak Marcel menghormati Mama sebagai orang tua Marcel,” ujar Marcel lagi.

Dari ucapan Marcel itu, Valerie begitu bisa melihat bahwa putranya sangat mencintai Olivia. Level mencintai seseorang tertinggi menurut Valerie adalah rasa hormat dan menghargai yang tinggi, dan Marcel memperlakukan Olivia seperti itu.

Masih sambil menatap Valerie, Marcel pun berujar lagi, “Mah, Olivia ingin diterima sama Mama sebagai anak Mama. Marcel akan menikah sama Olivia nggak lama lagi, jadi udah seharusnya Mama menganggap Olivia adalah anak Mama juga. Marcel berharapnya seperti itu, Mah.”

Setelah mengatakannya, Marcel memutuskan mengakhiri pembicaraannya hari itu dengan Valerie.

Setelah ini Marcel ada meeting. Jadi Marcel meminta Valerie untuk meninggalkan ruangannya.

Marcel kemudian mengantar Valerie sampai ke lobi kantor, serta menunggu Mamanya sampai benar-benar masuk ke mobil yang menghampiri di main entrance gedung.

Ketika mobil itu akhirnya berlalu dari hadapannya, Marcel segera melangkah kembali memasuki gedung kantor.

Perasan Marcel cukup kalut, tapi sepertinya Mamanya sudah sadar dan mulai luluh. Marcel berharap, bahwa kedatangan Mamanya ke kantor akan jadi awal baik bagi Marcel dan Olivia, tentunya untuk membuka jalan restu dari orang tuanya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Empat bulan telah berlalu sejak kejadian pagi hari yang tidak akan dilupakan oleh Marcel dan Olivia. Di mana pagi itu, mereka mendapati tiga buah test pack yang menunjukkan hasil bahwa Olivia tengah mengandung anak kedua.

Kandungan Olivia saat ini hampir menginjak usia 16 minggu. Olivia masih mengalami gejala morning sickness-nya, meskipun itu tidak separah seperti saat kehamilan pertama. Namun tetap saja, Olivia cukup kualahan menangani kondisi tubuhnya.

Di samping semua itu, Marcel benar-benar membuktikan ucapannya kepada Olivia. Marcel menjadi suami siaga ketika Olivia membutuhkannya. Namun di saat Marcel benar-benar tidak bisa berada di samping Olivia—karena harus business trip ke luar kota ataupun ke luar negeri—Marcel tetap selalu berusaha membuat waktu khusus untuk Olivia. Marcel akan menelfon Olivia, meski itu hanya 10 menit, atau melakukan video call yang berakhir hanya berdurasi 5 menit. Namun semua usaha Marcel tersebut, Olivia sangat menghargainya.

Sore ini Marcel baru saja kembali dari kantor, tepatnya sekitar pukul 5 sore.

Seperti yang konsisten dilakukan oleh Marcel, pria itu akan langsung sedikit berbersih diri, lalu setelah itu menghampiri Olivia.

“Hai, Babe. How was your day? Mualnya masih parah nggak?” Marcel bertanya ketika dirinya sudah bergabung bersama Olivia di atas ranjang. Marcel telah mengganti pakaian kantornya menjadi pakaian casual, yakni kaous polo putih dan celana chino coklat di atas lutut.

“Puji Tuhan, hari ini aku nggak terlalu mual. Udah bisa makan tanpa harus muntah,” jawab Olivia.

“Oh, really? That’s a good news. Ada cerita apa hari ini? Kamu mau cerita ke aku tentang apa?” Marcel pun mengajukan pertanyaannya sembari lekat menatap wajah Olivia.

Marcel melakukan rutinitasnya dengan konsisten, begitu bertemu Olivia di rumah, Marcel lekas memeluk Olivia dan memberi ciuman. Kemudian Marcel juga mengusap lembut perut Olivia yang kini sudah mulai tampak buncit. Marcel sering berbicara pada anaknya di dalam perut Olivia, seolah-olah anaknya bisa menyahuti ucapannya.

“Babe, kayaknya aku ngidam deh,” ujar Olivia begitu Marcel selesai dengan kegiatannya mengusap perut Olivia.

“Kamu emangnya ngidam apa?” Marcel dengan cepat bertanya.

“Aku pengen liburan. Tapi boleh nggak aku perginya sama temen-temenku aja?”

“Kamu nggak mau sama aku perginya? Aku bisa atur cuti kerja buat temenin kamu liburan. Nanti temen-temen kamu ajak aja, semua biayanya aku yang tanggung, gimana?”

Olivia tidak langsung merespon ucapan Marcel yang satu itu.

“Babe?” Marcel kemudian berujar lagi, ia meminta jawaban dari Olivia.

“Aku kan masih ngambek sama kamu sebenernya,” cetus Olivia akhirnya.

“Beneran? Lho kamu masih ngambek sama aku?” Marcel berujar dengan ekspresi wajahnya yang seketika berubah jadi sendu.

Olivia pun mengamati wajah Marcel, sepertinya pria itu sungguhan langsung tersentuh perasaannya setelah mengetahui Olivia masih ngambek padanya.

Olivia memang sedang ngambek pada Marcel sejak 2 hari yang lalu. Olivia tidak bekerja ke butik di saat dirinya tengah hamil muda karena Marcel yang melarangnya. Kalau dipikir lagi, Olivia tidak harusnya ngambek terhadap Marcel. Olivia merasa tubuhnya sanggup saja untuk bekerja, tapi Marcel tidak mengizinkannya bekerja dulu untuk sementara. Paling tidak sampai Olivia bisa lebih baik kondisinya.

Sebenarnya dengan Olivia yang tidak bekerja, tidak terlalu mempengaruhi isi rekeningnya. Karena Olivia tidak perlu mengkhawatirkan saldo debit card-nya sejak ia menikahi pengusaha kaya raya seperti Marcel.

Olivia ingin bekerja karena ia mencintai pekerjaannya. Mendesain sudah seperti passion bagi Olivia dan mendesain adalah bagian dari hidupnya. Olivia tidak ingin berhenti melakukan pekerjaannya sampai dirinya sendiri yang ingin benar-benar berhenti. Olivia merasa cukup hampa ketika tangannya tidak menggambar sketsa-sketsa pakaian di atas kertas.

“Babe,” ujar Marcel setelah beberapa saat keduanya hanya saling terdiam.

“Iya?”

“Kamu kan tau, aku nggak izinin kamu bukannya karena aku nggak dukung apa yang jadi passion kamu. Aku cuma khawatir sama kondisi kamu,” terang Marcel.

“Iya, aku paham,” ujar Olivia.

“Gini deh. Aku punya solusi biar kamu bisa tetep kerja, tapi nggak akan bikin kamu terlalu cape. Kesehatan kamu dan baby bakal tetap terjamin,” ujar Marcel.

Olivia lantas memandang Marcel dengan alisnya yang bertaut. “Apa solusinya?”

Marcel kemudian mengungkapkan solusi yang beberapa saat lalu ia pikirkan untuk masalah tersebut.

Marcel lantas mengatakan ia berencana akan membuatkan sebuah studio baru untuk Olivia. Jadi Olivia tidak perlu pergi jauh dari rumah. Olivia tetap bisa bekerja meski sekarang tengah hamil muda, dan seterusnya Olivia juga bisa lebih nyaman bekerja juga tidak akan terlalu merasa lelah.

Marcel kemudian juga mengusulkan untuk memperbesar perusahaan Olivia yakni Hourglass studio by Olivia Christie. Marcel akan menyuntikkan dana untuk company milik Olivia.

“Babe, kayaknya aku ada ide yang lebih baik deh,” ucap Olivia.

“Hmm ... oke. Menurut kamu yang lebih baiknya gimana? Tell me then,” ujar Marcel.

“Lebih baik kamu jadi investor di perusahaan aku aja, jadi nggak secara cuma-cuma kamu ngasih suntikan dana. Selain itu aku sebagai owner perusahaan juga punya tanggung jawab, untuk nantinya membagi keuntungan ke kamu, selaku investor yang berinvestasi di perusahaan aku. Gimana?” Olivia pun mengutarakan pikirannya.

Marcel belum mengatakan apa pun, yang lekas membuat dua garis kerutan muncul di kening Olivia. Olivia tengah menunggu respon Marcel, keduanya pun saling menatap dengan lekat di sana.

Dua detik berikutnya, Marcel dengan lugas akhirnya mengulaskan senyumnya. Dari senyum khas itu, Olivia sudah tahu respon Marcel yang akan berikan selanjutnya.

“You are so smart, independent, and brilliant, Babe,” ucap Marcel sembari mengarahan tangannya untuk menangkup satu sisi wajah Olivia.

Marcel lantas kembali melanjutkan ucapannya, “You are a strong woman, you are amazing with your own way. You know, I’m really proud of you, Babe. I don't only love you by what you look, but I love everything in you, your sexy brain too. How can you be so perfect like this? I just can’t believe that.”

Olivia lantas hanya tertawa saja mendengar penuturan itu. Tawa tersebut secara mudahnya kemudian tertular pada Marcel.

Selalu saja berakhir seperti ini, ketika orang yang kita cintai bahagia, rasanya kita dapat dengan mudah ikut merasa bahagia.

“Hei, Babe. Remember this,” ujar Marcel, ketika akhirnya tawa mereka mulai mereda.

“Apa?”

“Aku bakal selalu dukung pekerjaan kamu, dukung apa pun hal positif yang kamu lakuin, dan juga passion kamu. Karena tanpa semua itu, kamu bukan Olivia yang udah bikin aku jatuh cinta. Do you agree with that?”

“Yes. I’m totally agree.” Kemudian tepat setelah mengatakannya, Olivia sedikit bergerak untuk berikutnya memeluk torso Marcel. Olivia melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Marcel, yang seketika membuat tubuhnya terasa hangat dan nyaman.

“Aku nggak bisa ngambek lama-lama sama kamu,” ucap Olivia pelan, masih sambil memeluk Marcel. Marcel ingin mengurai pelukan itu, tapi justru Olivia menahannya di sana.

Olivia jadi gampang sensitif perasaannya semenjak hamil. Jadi sepertinya Olivia akan berderai air mata sebentar lagi, dan Olivia tidak ingin Marcel mendapati tangisannya.

Maka saat ini Olivia tengah sebisa mungkin menahan air matanya di balik punggung Marcel.

“Kamu curang. Kamu selalu gampang bikin aku nggak bisa ngambek lama-lama sama kamu,” ucap Olivia lagi.

Lantas Marcel pun berujar pelan, “Kamu kan jarang ngambek sama aku. Nggak papa sih kalau kali sekali-kali. Asal jangan lama-lama yaa ngambeknya. Aku kan jadi kepikiran kalau diambekin sama kamu.”

“Iya, Babe. Aku kalau ngambek nggak lama-lama deh. Aku janji. Maafin aku ya,” ujar Olivia.

“Oke, good girl. I love you. You are my life. You mean everything to me. I adore you so much,” ucap Marcel bertubi-tubi. Senyum Olivia sukses terbit di wajahnya dan juga tampak setitik air bening muncul di pelupuk mata Olivia.

Katakan bagaimana Olivia dapat lama-lama mendiami Marcel dan mengacuhkannya, jika suaminya bersikap seromantis dan selembut ini kepadanya.

Olivia pun berpikir bahwa dirinya sudah terjebak selamanya pada perangkap cinta Marcel dan tidak akan bisa lepas ataupun melarikan diri, sekuat apa pun ia mencoba. Olivia mengakui hal tersebut pada Marcel, ia mengaku bahwa dirinya telah kalah telak dalam hal berusaha tidak mencintai Marcel.

“You won, Babe. You already won. You totally made me fall in love with you,” ucap Olivia.

“Alright. But you know, you won my heart at first, and you already owned it, Babe,” balas Marcel.

Marcel merasa begitu bahagia, mengatahui bahwa dirinya berhasil membuat Olivia benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Marcel pun mengatakan, ia ingin tetap menjadi yang pertama dicintai oleh Olivia. Marcel akan terus berusaha untuk membuat cinta Olivia, memanjakan Olivia, dan juga memastikan Olivia tahu bahwa Marcel selalu mencintainya. Karena menurut Marcel, cinta bukan hanya sesuatu yang harus ditemukan, tapi juga harus selalu diusahakan, diperjuangkan, dan dibuat.

You have to keep on making it, so that’s a love.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

3 minggu kemudian.

Marcel pernah membaca sebuah quotes yang mengatakan bahwa the future is yours to create. Pernyataan tersebut berarti bahwa masa depan adalah milikmu, kamu bisa membuatnya dan juga memperjuangkannya. Maksud lebih jelasnya yakni, masa depan kamu adalah kamu yang menentukan. Kamu bisa membuat masa depan tersebut dengan usaha-usaha yang dilakukan di masa sekarang.

Marcel merasa bahwa pepatah tersebut benar adanya, meski tidak seratus persen. Mengapa? Karena ada beberapa orang di dunia ini yang mungkin tidak bisa memiliki kesempatan untuk berjuang, agar masa depan mereka bisa sesuai dengan yang mereka inginkan. Pada hakikatnya, manusia hanya bisa berusaha, dan hasilnya memang tetap Tuhan yang menentukan.

Kehidupan masa depan yang Marcel dambakan sendiri yakni, ia ingin bisa hidup bersama dengan orang yang dicintainya. Karena dulu Marcel pernah beranggapan bahwa cinta adalah sesuatu yang mahal baginya. Marcel tidak bisa membeli cinta, meskipun ia memiliki uang dan koneksi. Marcel tidak bisa mendapatkan cinta dari seseorang yang dicintainya, karena rasanya ia hanya hidup untuk memenuhi keinginan orang tuanya saja.

Marcel tidak ingin kembali menyesal dan kehilangan.

Marcel pernah terlambat memperjuangkan seseorang yang dicintainya, hingga akhirnya orang itu pergi bersama lelaki lain. Maka ketika Marcel bertemu Olivia dan mencintainya, Marcel tidak ingin kembali kehilangan. Marcel ingin berjuang untuk Olivia. Olivia merupakan harga mati baginya, separuh nafasnya, dan Marcel merasa bahwa Olivia dengan sederhananya telah menjadi ‘part of him’, yakni bagian dari dirinya yang lain.

Olivia peduli dan lebih khawatir pada Marcel, ketimbang Marcel memikirkan dirinya sendiri. Olivia begitu mengenal Marcel, bahkan rasanya jauh dari pada Marcel mengenal dirinya. Ketika bersama Olivia, Marcel merasa tidak ada yang perlu ia khawatirkan, karena perlahan mereka bisa melalui rintangan itu bersama.

Olivia menjadi seorang istri yang luar biasa bagi Marcel, dan juga menjadi seorang ibu yang sangat hebat untuk Mikayla dan Orion.

Marcel berhasil mewujudkan masa depan yang didambakannya. Setiap hari ia mendapati sosok Olivia berada di dekatnya, mencintainya dengan cara yang sederhana, tapi Marcel selalu merasa bahwa Olivia itu luar biasa dan Marcel beruntung karena Olivia mencintainya.

Pagi ini seperti biasa, Marcel mendapati Olivia yang tengah melayaninya. Kali ini pelayanan yang dimaksud bukanlah pelayanan di atas ranjang, kalau itu yang kalian pikirkan. Hari Senin kembali datang, dan Olivia membantu Marcel dengan segara keriwehannya saat akan berangkat flight ke luar kota. Olivia dengan sabar melayani Marcel dan mempersiapkan keperluan yang harus dibawa pria itu.

“Kamu pake dasi nggak rapi-rapi deh. Coba sini aku bantuin,” ujar Olivia sambil sedikit menarik dasi Marcel, membuat tubuh Marcel otomatis mendekat pada Olivia.

Olivia pun dengan cekatan merapikan dasi Marcel. Marcel telah berusaha memakai dasinya sendiri, tapi menurut Olivia simpul itu masih kurang rapi.

Beberapa detik kemudian, simpul dasi Marcel telah tampak rapi berkat pekerjaan tangan Olivia.

“Jam tangan, ipad, dompet, udah semua belum? Jaket kamu, storage obat-obatan, udah belum Babe?” Olivia mengingatkan Marcel.

“Udah, Babe. Aman semua di koper kok,” ujar Marcel.

Marcel tengah mengenakan parfumnya, menyemprotkannya di pergelangan tangan dan sedikit di tengkuk. Kemudian Marcel memakai arlojinya di tangan kiri, dan pria itu selesai dengan persiapannya.

“Udah beres semua. Yuk, kita sarapan bareng,” ajak Marcel kepada Olivia.

Marcel lalu menghela pinggang ramping Olivia dan mereka melenggang bersama keluar kamar.

***

Di ruang makan di kediaman itu, sudah menjadi kebiasaan mereka untuk sarapan bersama. Olivia selalu melakukan rutinitasnya sebagai seorang ibu. Olivia kini tengah menyuapi MPASI untuk Orion, setelah sebelumnya membantu Mikayla untuk membuat tatanan rambut untuk gadis itu.

Mikayla selalu suka rambutnya tampak cantik ketika berangkat sekolah, dan hanya Mommy Oliv yang bisa melakukannya dengan baik, ketimbang asisten rumah tangga. Mikayla sudah berangkat sekolah beberapa menit yang lalu. Hari ini Mikayla tidak berangkat bersama Marcel, karena Marcel akan berangkat ke Bandara untuk penerbangan ke luar kota mengurus urusan bisnisnya.

“Babe, hari ini kamu ke butik?” Marcel bertanya sembari menyantap sarapan di piringnya.

“Belum tau nih. Rencananya hari ini aku mau me time sih, mau ke salon terus ke beauty clinic. Tapi belum tau ya, takutnya Orion rewel kalau aku tinggal lama-lama,” ujar Olivia.

“Orion kamu bawa aja, Babe. Dia kan lagi lumayan rewel karena mau tumbuh gigi,” ujar Marcel sembari memperhatikan anak laki-lakinya.

“Iya juga sih. Aku pergi bawa Sus aja kali ya. Jadi nanti Orion sama Sus, tapi tetep ikut Mommy me time, yaa Nak?” Olivia menatap anaknya gemas, kemudian mentoel pipi gembil itu. Orion lalu hanya mengeluarkan suara-suara tidak jelas dari mulutnya, layaknya seorang bayi berusia 6 bulan pada umumnya.

Olivia masih menyuapi Orion dengan makanannya. Di masa gigi Orion yang sedang tumbuh, Orion akhir-akhir ini lumayan jadi sulit makan.

“Satu kali lagi yuk, Sayang? Kamu baru makan dikit lho, Nak,” ujar Olivia, masih sambil berusaha menyuapi Orion sesendok makanan lagi. Namun Orion menunjukkan gestur menolak, satu tangannya meraih sendok di tangan Olivia lalu menjatuhkannya ke lantai.

“Mungkin dia udah kenyang, Babe,” ujar Marcel yang lalu menyarankan Olivia untuk menyudahi kegiatannya menyuapi Orion.

“Yaudah deh,” ujar Olivia akhirnya. Olivia baru akan ingin mengambil sendok yang jatuh di lantai, tapi tiba-tiba gerakannya itu tertahan.

Olivia malah menutup mulutnya dengan satu tangan. Kemudian tanpa mengatakan apa pun, Olivia melenggang cepat meninggalkan ruang makan.

“Babe, kamu kenapa?” Marcel otomatis berujar sambil sedikit mengeraskan suaranya. Marcel pun yang cekatan langsung meminta seorang seorang suster untuk menjaga Orion sementara ia akan menyusul Olivia.

Marcel kini tengah menghampiri Olivia di kamar mandi. Rupanya Olivia tengah memuntahkan isi perutnya di wastafel.

“Babe, kamu masuk angin ya?” Marcel bertanya, sembari ia membantu Olivia dengan memijat pelan area tengkuknya.

“Hoekk!” Olivia masih muntah di sana, beberapa kali, sampai rasanya sarapan yang tadi masuk ke perutnya keluar semua dan kini mengalir bersama air di wastafel.

Setelah dirasa cukup dan mualnya berkurang, Olivia pun menyudahi kegiatannya. Olivia membilas mulutnya lalu ia berbalik dan menatap Marcel di sana.

“Babe, kamu kenapa nggak berangkat? Jam berapa ini? Flight kamu 3 jam lagi dari sekarang, lho. Nanti kamu terlambat,” ujar Olivia.

“Udah, kamu berangkat sekarang, ya. Aku nggak papa, paling cuma masuk angin,” lanjut Olivia lagi ketika ia paham dari tatapan Marcel bahwa pria itu tengah khawatir terhadapnya.

“Tapi kamu pucet banget, Babe. Kita ke rumah sakit ya? Aku bisa cancel flight, terus rescedule aja. Mungkin aku flight nanti sore atau malem,” tutur Marcel.

Olivia belum merespon ucapan Marcel atas usulan pria itu pergi ke dokter untuk mengecek kondisi Olivia.

“Babe?” Marcel berujar lagi, berusaha menyadarkan Olivia dari lamunannya.

“Kayaknya aku nggak perlu ke dokter deh buat tau kondisi aku,” ujar Olivia akhirnya.

“Maksud kamu?” Marcel bertanya dengan raut wajahnya yang tampak bingung.

Olivia lantas segera berlalu dari hadapan Marcel. Kening Marcel tampak berkerut, tidak terpikirkan olehnya apa yang akan dilakukan oleh Olivia. Marcel pun memutuskan untuk segera menyusul Olivia yang telah melenggang ke kamar.

Marcel akhirnya menemukan Olivia. Di sana ia mendapati Olivia tengah mengambil sebuah bungkusan kotak dari laci lemari.

“Babe, it’s a test pack?” Marcel bertanya ketika mendapati bungkusan yang familiar karena Olivia memang membeli beberapa benda itu untuk stock.

“Yes. Let’s see it, I think that I’m pregnant,” ucap Olivia.

“Oke,” ujar Marcel, akhirnya ia akan menunggu Olivia sementara istrinya itu mengetesnya.

Olivia akhirnya berlalu dari hadapan Marcel, istrinya itu kembali melenggang ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya.

Marcel kemudian membawa dirinya untuk berdiri di depan pintu. Marcel mondar-mandir di sana, padahal Marcel bisa saja duduk dan menunggu dengan tenang, tapi kenyataannya ia tidak bisa. Marcel akan senang jika Olivia hamil lagi, Marcel yakin begitu juga Olivia akan merasa senang. Namun rasanya masih terlalu dini. Anak mereka, Orion, masih begitu kecil.

Beberapa menit setelah Marcel menunggu, akhirnya pintu di hadapannya terbuka.

“Babe, kok lama banget kamu keluarnya?” Marcel bertanya.

“Kan testpack-nya butuh waktu 10 menitan untuk keluar hasilnya, Babe. Nggak bisa langsung muncul garisnya,” terang Olivia yang hanya membuat Marcel ber-oh ria.

“Oke. Let me see the result now,” ujar Marcel.

“Hmm,” Olivia hanya mengangguk sekali, lalu ia perlahan mengangsurkan pada Marcel 3 buah tespack yang sebelumnya berada di genggamannya.

3 benda itu, merupakan 3 test pack dengan merek yang berbeda.

“Aku sengaja pake beberapa merek yang beda, karena siapa tau salah satunya kurang akurat,” terang Olivia. “Tapi tiga-tiganya hasilnya sama, Babe. Jadi kayanya hasilnya nggak mungkin salah deh.”

Detik berikutnya, akhirnya Marcel mencoba melihat garis di test pack itu. Kedua netra Marcel akhirnya mendapati dua garis merah di sana, serta tertera sebuah tulisan pregnant pada merek test pack yang lainnya.

“Babe, KB spiral yang kamu pake nggak berfungsi apa gimana ya,” ucap Marcel diiringi helaan napasnya.

“Aku nggak tau juga, Babe. Apa kita keseringan kali ya ngelakuinnya, bisa juga spiralnya geser. Kata Dokter Sarah sih bisa ada chance untuk spiralnya keluar dari tempatnya, jadi yaa kemungkinan aku emang bisa hamil. Orion masih kecil lagi. Gimana yah,” ucap Olivia.

Marcel sukses kehilangan kata-katanya, pria itu hanya terdiam di tempatnya.

Olivia lantas mencebik kecil dan terlihat jelas kerutan muncuk di kenaingnya. Marcel mendapati tatapan khawatir dari kedua netra Olivia yang tengah menatapnya.

“Babe, hei relax,” ujar Marcel akhirnya. “You just pregnant. We will have another baby in this home. Nggak papa dong kamu hamil, kan kamu punya suami, Sayang. Ya kan?” Marcel mencoba menenangkan Olivia diiringi sebuah senyum di wajahnya.

“Yaa iya. Tapi bukan itu masalahnya, Babe. Aku takut aja kalau aku hamil, perhatian aku buat Orion dan waktu aku buat ngerawat dia jadi jadi berkurang. Orion masih bayi Babe, tapi dia bakal punya adik bayi. It’s insane, I think,” ujar Olivia bertubi-tubi.

“Yes, Babe. It’s insane,” ucap Marcel mengikuti apa yang diucapkan Olivia.

Beberapa detik kemudian, Marcel perlahan bergerak unttuk menangkup kedua sisi wajah Olivia. Marcel lalu menatap istrinya sambil tersenyum lembut.

Kemudian Marcel berujar, “Babe, tapi nggak papa. Kamu tenang aja, yaa. Kita bisa tambah baby sitter nanti atau konsul ke Dokter Sarah gimana pola parenting untuk anak yang usianya nggak jauh. Pokoknya semuanya bakal aman. Kamu nggak perlu khawatir, oke?”

Begitulah akhirnya pagi itu Marcel berusaha menenangkan Olivia. Marcel kemudian membawa tubuh Olivia untuk ia dekap. Olivia pun segera membalas dekapan itu. Olivia tahu ia akan bisa melaluinya, karena Marcel ada di sisinya.

Marcel pun mengatakan, ia tahu ini tidak mudah untuk mereka ke depannya.

Namun Olivia dapat memegang ucapan dan juga janjinya. Marcel pun berjanji, tidak ada yang perlu Olivia khawatirkan terlalu jauh. Baik soal Orion, calon anak mereka, dan juga Mikayla. Semuanya akan tetap sama, semuanya akan tetap berada di tempatnya. Marcel berkata demikian, karena Marcel sendri yang akan memastikan itu, tentunya sebagai seorang kepala keluarga, seorang ayah, dan juga seorang suami.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Satu minggu telah berlalu sejak Marcel kembali dari rumah sakit. Marcel telah pulih dan dapat menjalani rutinitasnya seperti sediakala. Namun Marcel belum menemui Enrico untuk berbicara, lebih tepatnya karena Enrico sedang melakukan bisnis trip ke luar negeri. Marcel sudah berniat untuk menemui Papanya untuk membahas pembatalan penyerahan jabatannya, tapi niat tersebut belum sempat terlaksana.

Marcel masih menjabat sebagai CEO di perusahaan, karena keputusan rapat waktu itu menyatakan bahwa Marcel batal mengundurkan diri sebagai pemimpin perusahan. Pembuat keputusan itu adalah Papanya sendiri, tapi Marcel belum tau apa alasan dibalik Papanya melakukan itu.

Kediaman Marcel siang ini terlihat sepi. Di sana dua orang petugas keamanan seperti biasa tengah berjaga di pos depan.

Begitu terlihat mobil sedan hitam yang familiar berhenti di depan pagar rumah, salah satu petugas pun segera beranjak untuk membuka pagar.

Mobil tersebut rupanya adalah milik Enrico. Petugas itu tampak bingung, pasalnya tidak ada pemberitahuan atas kedatangan Enrico, jadi mungkin memang kedatangan Enrico tidak diketahui oleh siapa pun.

Tidak lama kemudian setelah mobil Enrico terparkir di halaman depan rumah, seorang supir membukakan pintu dan Enrico turun dari kursi penumpang.

Kalau sebelumnya penjaga keamanan di rumah itu memerlukan izin Marcel sebelum tamu memasuki rumahnya, maka kali ini tidak lagi.

Marcel telah memerintahkan bahwa asalkan orang yang datang dikenal dan memilik identitas yang jelas maka Marcel memperbolehkan tamunya untuk masuk tanpa lebih dulu mendapat izinnya.

***

Enrico melangkahkah kakinya memasuki kediaman Marcel. Sebelumnya salah satu asisten rumah telah memberitahunya bahwa Marcel dan Olivia sedang tidak ada di rumah. Majikan mereka sedang pergi ke rumah sakit dan katanya Marcel mengantar Olivia untuk jadwal rutin memeriksa kandungan.

Begitu sudah memasuki rumah, Enrico segera enghampiri Mikayla yang sedang berada di ruang keluarga.

Kedua mata Mikayla seketika tampak berbinar dan tampak senyum antusiasnya begitu ia mendapati Enrico di sana.

Sebuah TV layar datar yang menyala dengan volume cukup keras sebelumnya di ruangan itu, dengan cepat diturunkan volumenya oleh Mikayla.

“Opa?” panggil Mikayla sambil menatap ke arah Enrico.

Kemudian Mikayla segera beranjak dan berjalan menghampiri Enrico terlebih dulu.

Ketika Mikayla sampai di hadapan Enrico, gadis kecil itu segera mengambil tangan Enrico dan menyalaminya.

Enrico lantas tersenyum hangat, kemudian satu tangannya yang lain terangkat dan bergerak mengusap lembut puncak kepala Mikayla.

“Opa kok tiba-tiba dateng ke sini? Daddy udah tau belum kalau Opa mau dateng?” Mikayla bertanya pada Enrico.

Mikayla kemudian mengajak Enrico untuk duduk di sofa dan gadis kecil itu menempatkan dirinya di samping Enrico.

Tidak lama berselang, seorang asisten rumah tangga membawakan secangkir minuman untuk Enrico yang kemudian diletakkan di atas meja.

“Opa baru aja habis flight dari luar negeri. Opa mau ketemu Daddy kamu, kirain Daddy kamu ada di rumah. Padahal kan ini hari Sabtu,” ujar Enrico.

“Iya, ini hari Sabtu, Opa. Daddy nggak ke kantor, tapi Daddy lagi temenin Mommy ke rumah sakit. Mikayla tadi mau ikut, tapi bangunnya kesiangan, jadi nggak bisa ikut deh,” terang Mikayla.

“Ohya? Ngapain ke rumah sakit?” Enrico bertanya.

“Katanya mau cek adeknya Mikayla yang ada perut Mommy. Mau dicek, sehat apa engga adeknya, tapi belum bisa tau kalau adek cewe apa cowo. Padahal Mikayla penasaran banget lho Opa,” celoteh Mikayla.

“Mikayla,” ujar Enrico kemudian.

“Iya, Opa?”

“Are you happy that you’re gonna be a sister soon?” Enrico menanyakan pertanyaan tersebut. Entah, tapi ia ingin mendapati jawaban itu dari cucunya.

“Of course, Opa. I’m so happy. I’m gonna be a sister. Rumah ini nanti jadi rame, ada Daddy, ada Mikayla, ada Mommy, sama ada adek deh,” ujar Mikayla dengan kedua mata yang tampak berbinar dan raut bahagia gadis itu tidak dapat disembunyikan dari parasnya.

Interaksi antara Enrico dan Mikayla tiba-tiba terinterupsi berkat kehadiran dua orang yang baru memasuki ruang keluarga itu. Di sana tampak Marcel dan Olivia yang melangkah memasuki rumah.

Seketika Marcel langsung menatap ke arah Enrico saat pria itu tengah berjalan masuk.

Beberapa detik kemudian, akhirnya Marcel dan Olivia telah sampai di hadapan Enrico dan Mikayla.

“Papa,” ujar Marcel pelan. Tatapan Marcel tampak heran, pasalnya ia mendapati Enrico di rumahnya, padahal setahunya Papanya masih berada di luar negeri.

“Papa tadi dari bandara langsung ke sini,” ujar Enrico akhirnya seolah menjawab pertanyaan di benak Marcel.

“Marcel, ada yang ingin Papa bicarakan dengan kamu,” ucap Enrico lagi.

Marcel pun mengangguk sekali, kemudian ia meminta Olivia dan Mikayla meninggalkannya bersama Enrico.

Olivia pun mengiyakan, lalu ia segera ngajak Mikayla untuk melenggang dari ruang keluarga.

***

Enrico merasa lupa kapan terakhir kali dirinya bicara dari hati ke hati dengan putra semata wayangnya. Rasanya sudah terlalu jauh jarak yang terbentang di antara mereka. Baru sekarang juga, Enrico menyadari bahwa jarak itu tercipta berkat keegoisan dirinya. Enrico selalu menginginkan anaknya sesuai dengan apa yang ia kehendaki, tanpa memikirkan perasaan anaknya.

Enrico tengah menatap Marcel lurus-lurus, lalu tidak lama kemudian ia berujar, “Papa sebelumnya ingin tanya dulu satu hal sama kamu.”

“Papa mau nanya apa?” ujar Marcel.

“Tentang kamu sama Adelia. Apa benar .. kalau kamu nggak pernah mencintai Adelia?” Itulah pertanyaan Enrico. Enrico menanyakannya karena ia ingin mendengar jawabannya langsung dari Marcel.

Marcel terdiam selama beberapa detik, ia tidak langsung menjawab pertanyaan Enrico. Marcel menautkan jemarinya dan menundukkan kepala, padahal sebelumnya ia menatap lurus pada Enrico.

“Papa ingin dengar jawabannya langsung dari kamu, Marcel. Karena Papa dengar sebelumnya dari orang lain. Sebagai orang tua, Papa ngerasa gagal dengan fakta kalau orang lain lebih tau tentang anak Papa ketimbang Papa sendiri,” ucap Enrico.

Tidak lama setelah ucapan Enrico itu, Marcel akhirnya buka suara. “Marcel udah coba Pah, tapi Marcel nggak pernah bisa mencintai Adelia sepenuhnya.”

Enrico akhirnya mendengar sendiri dari mulut putranya, bahwa Marcel memang tidak pernah bisa mencintai Adelia. Enrico pun bisa terbayang bagaimana perasaan Marcel selama ini. Pastilah tidak mudah menjalani sebuah pernikahan tanpa adanya rasa cinta.

“Marcel, Papa ingin minta maaf sama kamu. Tolong maafin Papa atas keegoisan Papa selama ini kepada kamu. Papa sadar, Papa nggak pernah ngertiin perasaan kamu,” ucap Enrico beberapa detik setelahnya.

Marcel pun menatap Enrico dengan matanya yang tampak membeliak. Kedua belah bibir Marcel sedikit terbuka, menandakan bahwa ia masih sulit percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Papanya yang selama ini bersikap begitu keras, tiba-tiba meminta maaf padanya dan berakhir luluh.

Masih begitu banyak rasanya yang ingin Enrico sampaikan kepada Marcel. Maka hari ini ia bersumpah akan mengutarakannya. “Marcel, udah terlalu banyak yang selama ini kamu laluin. Tapi Papa baru sadar sekarang atas kesalahan Papa. Papa belum bisa jadi orang tua yang baik untuk kamu. Papa nyesal sekali, dan tolong maafin Papa. Papa mau mulai semuanya dari awal dan akan berusaha jadi orang tua yang baik buat kamu.”

Sebagai orang tua, Enrico ingin anaknya bahagia dengan apa yang menjadi pilihannya. Enrico tau bahwa ia terlambat karena sudah terlalu lama Marcel menderita, tapi Enrico tetap ingin berusaha.

“Pah, nggak ada kata terlambat untuk memperbaiki sesuatu,” ucap Marcel.

Marcel pun menatap Enrico, lalu ia mengulaskan senyumnya. “Berkali-kali Marcel hampir nyerah, tapi Olivia yang selalu berusaha yakinin Marcel dan ngeyakinan Marcel kalau rasa sayang orang tua sama anaknya nggak akan pernah hilang. Rasa sayang orang tua ke anaknya itu besar banget. Jadi apa pun yang terjadi sebelumnya, biar akan jadi masa lalu aja. Kita cuma perlu memperbaiki, biar bisa punya masa depan yang lebih baik, karena kita semua belajar dari kesalahan,” tutur Marcel.

“Marcel udah maafin Papa,” lanjut Marcel lagi sembari mengulaskan sebuah senyum simpul.

Marcel pun akhirnya juga meminta maaf atas apa yang terjadi akhir-akhir ini antara dirinya dan orang tuanya. Tentang perbuatannya dan sikapnya yang kurang baik terhadap orang tuanya. Marcel merasa dirinya telah menjadi anak yang keras kepala dan pembangkang.

“Iya, Nak. Makasih ya udah maafin Papa. Papa yakin, kamu akan menjadi seorang Papa yang baik untuk anak-anak kamu nantinya,” ujar Enrico yang lantas membuat sebuah senyum terbit di wajah Marcel.

Di siang hari menuju sore itu, sebuah momen berharga telah terjadi di hidup Marcel. Momen yang selama ini dinantikan oleh Marcel, akhirnya telah terwujud.

Kini tidak ada lagi perseteruan maupun sikap saling egois dan pembicaraan yang melibatkan emosi.

Enrico tampak menitikkan air matanya, tapi segera mengusapnya karena tidak ingin memperlihatkan itu di hadapan Marcel.

Rupanya Marcel juga demikian. Air matanya hampir saja merembas, tapi Marcel dengan cekatan menyekanya dengan lengan. Namun kalau pun itu terjadi, air mata tersebut bukanlah air mata kesedihan, melainkan sebuah tanda dari sebuah kebahagiaan.

Marcel merasa bahagia, dan rasanya kebahagiannya saat ini sudah komplit. Kebahagiaan yang sebelumnya terasa semu dan hanya menjadi angan untuknya, kini Marcel sungguhan telah memilikinya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Marcel harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena telah didiagnosa mengalami anemia. Marcel mengalami anemia yang cukup parah, dan hemoglobinnya sangat rendah. Jadi Marcel membutuhkan transfusi darah dan kondisinya perlu terus dipantau oleh dokter.

Tadi siang Marcel mengalami merasa nyeri di dadanya, karena rupanya anemia dapat menimbulkan gejala penurunan atau hilang kesadaran, perubahan denyut jantung yang tidak normal, hingga gangguan pernapasan yang cukup serius.

Begitu mendapat kabar Marcel yang dilarikan ke rumah sakit, Olivia yang tadinya dalam perjalanan ke kantor Marcel, segera meminta supir yang mengantarnya untuk putar balik dan menuju rumah sakit.

Marcel saat ii tampak terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Marcel memejamkan matanya, tapi sesungguhnya pria itu belum sepenuhnya tertidur. Olivia berada di sana, di sisi kiri ranjang Marcel. Valerie tadi sore segera datang begitu tahu kabar soal Marcel yang jatuh sakit di kantor.

Dokter dan perawat beberapa saat lalu baru saja melakukan visit ke ruang rawat Marcel, jadi kini waktunya Marcel untuk beristirahat setelah selang infusnya diganti.

“Oliv, Mama pamit pulang dulu ya, jam besuknya udah mau abis. Biar Marcel juga bisa istirahat,” ujar Valerie.

“Iya, Mah,” ucap Olivia yang kemudian membawa dirinya untuk mengantar Valerie sampai ke pintu.

Tidak lama kemudian, Olivia sudah kembali lagi setelah mengantar Valerie. Olivia menutup rapat pintu ruang rawat dan melangkah ke dalam.

Olivia lantas membawa dirinya untuk duduk setelah ia menarik kursi di samping ranjang. Olivia lalu meraih satu tangan Marcel dan menggenggamnya. Perlahan Olivia merasakan Marcel membalas genggamannya. Kemudian tidak lama waktu berselang, Olivia berniat melepas genggaman itu, karena ia ingin Marcel beristirahat dengan baik. Namun tangan Olivia ditahan di sana oleh Marcel. Marcel justru yang kini menggenggam tangan Olivia.

“Babe,” ujar Marcel lirih.

“Iya?”

“Mama tadi dateng sendiri ya?”

“Iya,” jawab Olivia pelan. Olivia pun segera mengerti ke mana arah pertanyaan Marcel. Marcel tidak mendapati sosok Papanya yang menjenguknya. Itu pasti membuat Marcel kecewa dan sedih.

“Kamu bilang hari ini ada rapat umum pemegang saham, jadi pasti Papa kamu harus hadir di sana. Mungkin beliau belum bisa dateng jenguk kamu hari ini, mungkin besok beliau kamu baru dateng ke sini,” ucap Olivia.

Marcel kemudian mengangguk pelan. “Mungkin bener, Papa emang belum sempet aja ya,” ucap Marcel pelan.

“Iya, pasti,” ujar Olivia.

Beberapa detik berlalu, Marcel akhirnya mulai bisa terpejam dan tampak lelap. Nafas Marcel terdengar berhembus teratur dan Olivia mendapati wajah itu tampak damai tertidur.

Olivia masih di sana, ia membiarkan tangannya digenggam oleh Marcel. Olivia akan beranjak nanti setelah memastikan kalau Marcel sudah benar-benar tertidur nyenyak. Namun belum lama berselang, Olivia terinterupsi oleh dering yang berasal dari ponsel milik Marcel di nakas samping ranjang. Akhirnya Olivia berusaha perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Marcel, memastikan Marcel tidak akan terbangun karena pergerakannya itu.

Kemudian setelah berhasil lepas, Olivia segera mengangkat panggilan yang rupanya berasal dari Ravell. Olivia baru akan mengangkat telfon itu, tapi sambungannya telah lebih dulu terputus. Jadi Olivia bepikir mungkin Ravell akan menghubungi lagi nanti, jika memang ingin menyampaikan hal yang penting.

Olivia akan meletakkan ponsel Marcel kembali di meja, tapi sebuah pesan menahan gerakannya. Itu merupakan pesan dari Ravell.

Pesan tersebut sepertinya penting, jadi Olivia memutuskan untuk membacanya. Olivia pun akhirnya membaca pesan dari Ravell.

Ravell : Bokap lo tadi siang batalin pengunduran diri lo sebagai CEO. Alasannya belum pasti, tapi satu hal yang jelas, beliau nggak mau kehilangan lo. Please, lo stay. Tolong cancel keputusan lo buat pindah ke Swiss

Begitulah pesan yang dikirimkan oleh Ravell. Olivia yang mendapati pesan itu seketika membeliak dan tidak sadar satu tangannya tengah menutup mulutnya.

Olivia lalu meletakkan ponsel itu kembali ke atasnakas. Olivia pun kembali duduk di kursi di samping ranjang Marcel.

Olivia lekas mendapati Marcel yang terpejam dan pria itu menangis. Tetesan air mata mengalir dari pelupuk matanya. Olivia pun segera mengusap pelan air bening itu. Sampai tidurnya pun Marcel menangis. Pasti bukan hanya tubuhnya yang sakit, tapi hatinya juga merasa terluka.

Olivia lalu berucap pelan di dekat Marcel, “Hei, jangan sedih ya. Kamu harus tau, Papa kamu, beliau sayang banget sama kamu. Beliau kamu nggak mau kehilangan kamu,”

Olivia pun berharap besok pagi keadannya berubah menjadi lebih baik. Antara Marcel dengan Papanya, cita-cita Marcel untuk memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya, akan segera menjadi misi yang terselesaikan.

Olivia berharap bahwa dirinya tidak akan kembali melihat tangis kesedihan Marcel. Olivia selalu memanjatkan doanya untuk kebahagiaan Marcel, dan hal tersebut secara konsisten terus terucap di dalam hatinya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Satu bulan kemudian.

Sejak tadi pagi di kantor, Arsen dan Andra ttelah mendapati kondisi Marcel yang tampak tidak baik-baik saja. Sebenarnya kondisi Marcel sudah kurang baik dari 2 hari lalu, tapi Marcel tetap bekerja dan cukup sibuk dengan pekerjaannya.

Arsen pun akhirnya memutuskan menghubungi Olivia untuk mengabarkan tentang kondisi Marcel. Beberapa kali Andra telah meminta Marcel untuk pulang dan beristirahat, urusan pekerjaan akan ditangani olehnya. Namun Marcel keras kepala dan masih melanjutkan bekerja di ruangannya, tidak menggubris ucapan sekretarisnya.

Arsen tengah memasuki ruangan Marcel, padahal Marcel tidak memerintahkan lelaki itu untuk datang.

“Gue udah ngasih tau Oliv, dan dia bakal ke sini,” ujar Arsen.

“Kenapa lo malah ngasih tau Oliv? Nanti dia malah kepikiran. Siang ini kan ada rapat pemegang saham, gue harus ada di sana,” ucap Marcel dan raut wajahnya seketika tampak kesal menatap Arsen.

“Lo habisnya keras kepala sih. Lo nggak bakal nurut kan, kalau nggak Oliv yang turun tangan. Oliv bakal bawa lo balik, lo istirahat di rumah,” tutur Arsen.

Arsen sudah akan berlalu dari sana, tapi tiba-tiba panggilan Marcel menahannya.

“Arsen ..” ucap Marcel terdengar lirih.

Arsen pun segera berbalik dan matanya membeliak begitu mendapati Marcel yang tengah mengerang kesakitan sembari memegangi dada bagian kirinya.

“Astaga, bos lo kenapa?” Arsen segera menghampiri Marcel di tempatnya yang tengah tampak sekarat.

Marcel terlihat sesak napas dan dadanya terasa nyeri, hingga akhirnya Arsen mendapati Marcel yang ambruk begitu saja. Tubuh Marcel lunglai, dan pria itu masih sadar hanya saja sepertinya kesadarannya tidak banyak tersisa.

Arsen pun berusaha menopang tubuh Marcel dengan satu lengannya agar tidak jatuh lantai. Kemudian dengan satu tangannya yang bebas, Arsen cekatan meminta pertolongan utama melalui telfon.

Arsen menghubungi ambulans rumah sakit agar Marcel bisa segera mendapat penanganan.

***

Suasana kantor sekitar pukul 11 siang tadi, menjadi cukup heboh disebabkan oleh kondisi Marcel yang tiba-tiba drop. Tim medis segera didatangkan di mana ruangan Marcel berada, kemudian membawanya untuk mendapat pertolongan pertama.

Dugaan orang-orang kantor sementara adalah Marcel mengalami serangan jantung, tapi hal itu belum dapat dipastikan.

Sekarang waktu menunjukkan pukul 12 siang. Ada rapat yang akan dihadiri oleh para pemegang saham. Rapat tersebut merupakan rapat umum pemegang saham yang telah dijadwalkan. RUPS tersebut akan membahas topik utama yakni perubahan susunan CEO dan Presiden Direktur.

Kabarnya Marcel akan melepaskan diri dari jabatannya, jadi pada rapat RPUS, Marcel akan membuat pernyataan pengunduran dirinya dari perusahaan. Namun karena kejadian tidak terduga di mana Marcel jatuh sakit, maka Enrico yang akan menggantikan Marcel untuk menyampaikan pernyataan tersebut.

Rapat akan dimulai sekitar 10 menit lagi. Enrico terlihat tengah memasuki aula tempat di mana rapat akan berlangsung. Enrico lalu menduduki salah satu kursi yang ada di sana. Beberapa orang yang mulai berdatangan dan melewatinya pun menyapanya.

Hingga sampai di mana seorang lelaki yang sangat familiar bagi Enrico menyapanya, di sana Enrico langsung meminta orang tersebut untuk duduk di sampingnya.

“Apa kabar Om?” seorang lelaki yang usianya jauh lebih muda dari Enrico itu menyapa dengan sapaan santun dan sebuah senyuman hangat.

“Kabar saya baik. Gimana perusahaan Papamu? Apakah semuanya lancar?” Enrico bertanya balik.

“Puji Tuhan perusahaan berjalan baik Om,” ujar lelaki itu yang ternyata adalah Ravellino. Ravellino merupakan sahabat baik Marcel yang mana juga memiliki perusahaan dan bermitra dengan perusahaan PT Permata Tambangraya TBK.

Enrico mengenal dengan baik Ravell beserta keluarga besarnya. Hari ini Ravell memang menghadiri rapat pemegang saham sebagai perwakilan perusahaannya, karena ia merupakan CEO perusahaan dan termasuk pemegang saham di perusahaan PT Permata Tambangraya TBK.

“Om, saya sudah dengar kabar tadi siang soal Marcel yang jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit,” ujar Ravell.

“Ohh, iya. Jadi rapat ini nanti saya yang akan pimpin. Karena Marcel berhalangan untuk hadir,” ucap Enrico.

Perbincangan Enrico dan Ravell berlanjut dan merembet cukup jauh. Mereka membahas mulai dari tentang bisnis secara luas, hingga akhirnya sampai mengerucut ke satu titik. Enrico dan Ravell membicarakan tentang perusahaan yang juga dikenal baik oleh Ravell. Perusahaan tersebut adalah perusahaan tambang nikel milik keluarga almarhum Adelia, yakni istri dari Marcel.

“Saya mengenal baik Adelia, beberapa waktu sebelum tau kalau Marcel dan Adelia dijodohkan,” ucap Ravell.

“Sampai akhirnya Marcel dan Adelia menikah, saya sedikit banyak tau tentang hubungan mereka berdua, Om. Saya lumayan mengenal Marcel dan Marcel juga cukup sering cerita ke saya,” lagi Ravell mengutarakannya. Ravell tidak memiliki niat apa pun mengatakannya kepada Enrico, hanya begitu saja terucap olehnya.

Ravell sudah akan berhenti sampai di sana, tapi rupanya Enrico memintanya untuk memberitahu mengenai sesuatu. Ternyata Enrico tampak penasaran tentang hubungan Marcel dan Adelia.

Ravell terdiam sesaat. Ia merasa sulit percaya, karena sebelumnya juga tahu bahwa Enrico tidak peduli dengan itu. Namun bagaimana pun, Ravell mengerti bahwa cinta orang tua kepada anaknya sangatlah besar, dan jumlahnya tidak bisa dihitung dengan satuan angka. Jadi mungkin Enrico mulai tergerak hatinya untuk peduli akan apa yang menyangkut tentang Marcel.

“Saya tahu satu fakta tentang Marcel dan Adelia. Saya pikir kalau Om perlu tau tentang ini juga,” ujar Ravell.

Ravell sesaat menjeda ucapannya. Kemudian beberapa detik kemudian, Ravell kembali melanjutkan. “Marcel nggak pernah bisa mencintai Adelia, walaupun dia udah mencoba. Sebenarnya saya juga sudah tau soal hubungan Marcel dan Olivia, soal rencana Marcel ingin pindah ke Swiss, dan Marcel yang akan menikahi Olivia. Tanpa Marcel bilang secara langsung, sebenarnya saya bisa tau kalau Marcel bener-bener udah nemuin perempuan yang dia cintai dan perempuan itu adalah Olivia.” Ravell menjeda ucapannya sesaat. Enrico masih belum merespon, ia masih ingin mendengar semuanya dari Ravell.

“Saya mengenal baik Adelia, Om,” ucap Ravell lagi. “Adelia pun juga tau dan sadar juga, kalau Marcel nggak pernah mencintai dia. Adelia akan bahagia kalau Marcel bisa mencintai dia, tapi kenyataannya Marcel nggak pernah bisa.”

Ravell mengatakan semuanya yang sejujurnya kepada Enrico, tanpa ada yang dikurangi ataupun dilebihkan.

Sampai Marcel dan Adelia dikaruniai seorang anak pun, Marcel tetap tidak bisa mencintai Adelia dengan sepenuh hatinya. Marcel telah mencoba mencintai ibu dari putrinya, tapi kenyataannya tidak berhasil. Karena sesungguhnya cinta adalah sebuah perasaan tidak dapat dipaksakan.

“Ravell, terima kasih kamu telah menyampaikan ini ke saya,” ujar Enrico setelah keterdiamannya yang cukup lama.

Ravell pun hanya mengangguk sekilas. Kemudian situasi antara Enrico dan Ravell harus diinterupsi. Seorang komisaris yang menjadi moderator RUPS, meminta Enrico untuk segera naik ke podium karena rapat sudah akan dimulai. Enrico yang menyampaikan pernyataan pengunduran diri Marcel di depan hadirin di ruang ini.

Enrico pun segera beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju podium. Di sana sebuah microphone telah disiapkan dan Enrico sudah mengambilnya.

“Selamat siang hadirin semua,” ujar Enrico menyapa. “Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda semua untuk menghadiri rapat umum pemegang saham. Pada RUPS hari ini, akan dibahas mengenai perubahan susunan pemimpin di perusahaan PT Permata Tambangraya TBK.” Enrico sesaat menjeda ucapannya.

Hingga beberapa detik yang akhirnya berlalu, keterdiaman yang akhirnya cukup lama itu, membuat orang-orang di ruang rapat saling menatap dan terlihat bingung.

Termasuk di sana Ravell yang menyaksikan Enrico tidak segera melanjutkan ucapannya. Ravell menduga satu hal, tapi rasanya itu tidak mungkin terjadi.

Enrico lalu berdeham sekali dan kembali bicara, “Saya akan menyampaikan sebuah hal penting, yakni saya telah memutuskan bahwa pengunduran diri Marcellio Moeis dari jabatan Chief Executive Officer, hari ini resmi dibatalkan. Tidak ada pengunduran diri atau perubahan susunan jabatan pada PT Permata Tambangraya TBK. Untuk kedepannya, Marcellio Moeis tetap akan memegang jabatan CEO, yakni pemimpin tertinggi di perusahaan ini. Sekian yang dapat saya sampaikan, terima kasih.”

Begitulah Enrico mengakhiri ucapannya di depan banyak orang. Seketika seisi orang yang ada ruang rapat pun dibuat terkejut. dan terdengar bisikan-bisikan yang sebenarnya dapat didengar seisi ruangan. Termasuk omongan-omongan itu segera didengar oleh Enrico yang baru saja turun dari podium.

Langkah Enrico berhenti begitu sampai di hadapan Ravell. Ravell pun segera beranjak dari kursinya.

Enrico lalu menepuk pundak Ravell pelan. “Ravell, terima kasih ya kamu sudah membuat saya sadar akan suatu hal. Saya nggak ingin kehilangan anak saya dan membiarkannya pergi ke Swiss. Sekali lagi terima kasih saya ucapkan ke kamu,” ujar Enrico pada Ravell.

Ravell di sana masih tampak bingung atas apa yang terjadi. Namun ia menerima jabatan tangan Enrico begitu saja.

Sampai akhirnya Enrico berlalu dari hadapan Ravell dan meninggalkan ruang rapat, Ravell masih terlihat bingung di tempatnya.

Ravell pun segera berpikir, haruskah ia memberitahu Marcel? Namun sepengetahuan Ravell, hubungan Marcel dan Enrico belum juga membaik. Maka apakah Marcel mau membatalkan keputusannya untuk pindah ke Swiss dan tetap memegang jabatan CEO?

Ravell tidak dapat menebak pasti jawabannya, tapi yang jelas, ia harus turut berusaha membujuk Marcel agar sahabatnya itu tetap tinggal.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Hubungan Marcel dan Valerie sudah mulai membaik. Begitu juga antara Valerie dengan Olivia. Marcel sepenuhnya memaafkan Mamanya dan juga meminta maaf kalau beberapa hari lalu sempat membuat Valerie sedih dengan rencana kepindahannya ke Swiss.

Beberapa kali Valerie datang ke rumah untuk bertemu Mikayla dan mulai mencoba menjalin hubungan baik dengan Olivia, calon menantunya.

Seperti malam ini, Valerie tengah berada di kediaman Marcel. Marcel baru saja kembali dari kantor, ia langsung mendapati di ruang makan sudah ada Olivia dan Valerie. Marcel pun segera melangkah menuju keduanya.

Marcel melihat kedua perempuan yang disayanginya itu sedang berbincang ringan ketika langkahnya akhirnya sampai. Olivia dan Valerie pun segera menyadari kehadiran Marcel di sana.

Marcel lantas mendekat pada Olivia dan menyematkan sebuah kecupan hangat di pelipis perempuan itu. Valerie yang mendapati kejadian tersebut di depan matanya, tanpa sadar mengulaskan senyum yang nampak begitu bermakna dan penuh kebahagiaan.

“Mama udah dateng dari jam berapa?” Marcel kemudian bertanya kepada Valerie.

“Mama tadi dateng dari sore, sekitar jam 4. Kamu liat nih, Mama udah masak makanan kesukaan kamu. Olivia tadi bantuin Mama juga, katanya mau diajarin resepnya,” terang Valerie.

Marcel pun segera mengalihkan pandangannya ke meja makan. Berbagai hidangan tampak tersaji di sana.

Valerie kemudian dengan antusias mengatakan pada Marcel bahwa ia yang membuat 2 jenis masakan khas western kesukaan Marcel. Serta Valerie rupanya juga membuatkan makanan untuk Olivia, yang katanya bergizi tinggi dan bagus untuk kandungannya.

“Ayo, kita langsung makan bareng aja. Aku udah laper banget nih,” ucap Marcel kemudian.

“Kamu ganti baju dulu, cuci tangan, cuci kaki. Baru habis itu kita makan,” tutur Olivia pada Marcel.

“Oh iya, Babe. Astaga aku sampe lupa. Saking lapernya nih, apalagi keliatannya enak banget masakan Mama. Oke, kalau gitu aku ganti baju dulu sekalian panggil Mikayla di kamarnya ya.” Setelah mengatakannya, Marcel pun segera melenggang dari ruang makan.

Sekali Marcel menoleh ketika ia sudah melangkah. Marcel menata pada potret indah kedua perempuan yang berarti di hidupnya itu, lalu sebuah senyum terulas begitu saja di wajahnya.

Marcel masih sedikit tidak menyangka, tapi begitulah adanya. Terdapat alasan Valerie menerima Olivia, dan tentunya itu karena rasa cinta seorang ibu kepada anaknya. Valerie pun sudah menganggap Olivia sebagai anaknya sendiri, begitu juga Olivia sudah menganggap Valerie sebagai orang tuanya.

***

Waktu menunjukkan hampir pukul 8 malam. Marcel dan Olivia telah kembali ke kamar mereka dan akan pergi tidur. Namun sebelumnya Marcel mengatakan ia akan mandi air hangat terlebih dulu.

Olivia lantas mempersiapkan bath bomb beraroma lavender dan aroma terapi untuk kegiatan mandi Marcel kali ini, dengan tujuan menambah suasana yang nyaman tentunya.

Marcel tengah menanggalkan pakaian atas di tubuhnya, jadi pria itu kini half naked.

Marcel melangkah ke kamar mandi dan segera menemukan Olivia di sana. Olivia membeliak dan tampak sedikit terkejut begitu mendapati Marcel yang tengah bertelanjang dada.

“Kamu kenapa? Kok kayak kaget gitu?” celetuk Marcel.

“Kamu kan bisa buka bajunya di kamar mandi. Kenapa harus di depan aku?”

“Yaa … kamu juga udah liat semuanya, Babe. Kenapa emangnya?” cetus Marcel cepat.

Olivia pun sukses melotot, dan Marcel tidak tahan untuk tidak tertawa karena mendapati reaksi gugup Olivia yang sangat alami dan begitu kentara itu.

“Udah, kamu mandi dulu cepet,” ucap Olivia akhirnya.

“Oke.”

“Kamu jangan lama ya mandinya,” pintar Olivia.

“Kenapa emangnya?”

“Aku udah ngantuk. Aku nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk sama kamu,” aku Olivia.

Olivia baru saja akan melenggang dari kamar mandi, tapi tiba-tiba Marcel menahan pergelangan tangannya.

“Kita mandi bareng, yuk Babe?” ujar Marcel sembari menatap lekat pada manik mata Olivia.

“Kita mandi sambil deep talk gitu,” ujar Marcel. “Aku lumayan cape hari ini di kantor. Pengen cerita banyak ke kamu, aku pengen ngeluh ke kamu,” lanjut Marcel.

Olivia belum memberi respon, tapi Marcel masih menunggunya setia di sana.

“Babe, ayo lah. Kamu mau yaa?” bujuk Marcel lagi. Pria berusia 30 tahun di hadapan Olivia itu menatapnya dengan tatapan manja dan sedikit mencebikkan bibirnya.

“Iya, ayo,” ujar Olivia akhirnya.

Seketika Olivia mendapati senyum lebar nan semringah di wajah Marcel.

***

Bathroom

Olivia merupakan rumah bagi Marcel, merupakan tempat pria itu untuk pulang. Ketika Marcel merasa sedang lelah menghadapi dunianya, Marcel akan bersikap manja dan mengadu dengan sedikit berlebihan kepada Olivia.

Sebuah bath tube berukuran besar tampak cukup untuk menampung Marcel dan Olivia. Marcel memeluk torso Olivia dari belakang, sementara Olivia berada di depan Marcel dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Marcel.

Marcel mengambil busa lalu mengusapkannya pada bahu polos Olivia sampai ke punggungnya. Begitu juga Olivia, ia bantu mengusap tubuh Marcel dengan air sabun. Mereka saling bantu membilas tubuh satu sama lain.

“Kamu mau cerita apa tadi?” Olivia bertanya pada Marcel.

“Kerjaan aku di kantor lagi lumayan hectic,” ujar Marcel.

“Soal harga saham, gimana kondisinya sekarang?” Olivia bertanya lagi.

“Kondisi saham perusahaan udah lumayan membaik, walaupun nilainya masih kurang sedikit lagi untuk balik ke harga stabil. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaiin dalam waktu singkat, karena sebentar lagi aku akan serahin jabatan aku ke Papa,” jelas Marcel.

Setelah penuturan itu, Olivia sedikit bergerak dari posisinya. Jadi kini Olivia dan Marcel tengah berhadapan dan saling menatap.

“Babe,” ujar Olivia.

“Hmm?”

“Kita tetep jadi pindah ke Swiss? Kamu nggak mau pertimbangin lagi? Kasian lho Mama, beliau pengennya kita nggak pindah,” ujar Olivia.

“Aku emang mau pertimbangin lagi, tapi aku pengennya Papa juga sadar kayak Mama,” ucap Marcel. Tampak raut sedih di wajah Marcel, terlihat dari tatapan matanya dan keningnya yang sedikit berkerut.

Olivia lantas mendekat pada Marcel, ia lalu membawa torso Marcel untuk dipeluk ringan.

Selama beberapa detik mereka berada dalam posisi seperti itu. Olivia ingin Marcel merasakan bahwa pria itu tidak sendirian menghadapi semua masalahnya. Olivia tidak mengatakan apa pun, ia hanya mengusap pelan punggung polos Marcel dengan gerakan searah.

Selang sekitar 2 menit, akhirnya Olivia mengurai pelukannya. Olivia menatap pada iris Marcel, ditatap teduh dan penuh kasih. “Babe, aku cuma nggak mau kamu nantinya ngerasa nyesel.”

“Maksud kamu nyesel karena apa?”

“Mungkin kamu belum sadar sekarang, karena orang tua kamu masih ada. Tapi suatu hari nanti kalau mereka udah nggak ada di dunia ini, kamu akan berasa kehilangan dan nyesel,” tutur Olivia.

“Terus aku harus ngapain, Babe? Papa masih aja bersikap kayak sebelumnya, bahkan sampai aku udah memutuskan kalau aku mau pindah ke Swiss. I almost give up,” Marcel berucap dengan nada suaranya yang terdengar frustasi.

“Iya, aku paham. Aku tau kamu kecewa, sedih, dan kamu putus asa. Kita kan pindahnya masih 1 bulan lagi, aku berharap keputusan kamu bisa berubah. Gini aja, dalam waktu 1 bulan ini, kamu coba bicara sama Papa kamu dengan kepala dingin. Dengan kamu yang ngalah dulu untuk saat ini, siapa tau nanti akhirnya Papa kamu luluh dan bisa menyadari.”

Marcel sadar dan mengaku pada Olivia bahwa dirinya juga gengsi dan keras kepala, bahwa Marcel inginnya Papanya sadar lebih dulu dan setidaknya bicara padanya. Sudah seminggu lebih Papanya sama sekali tidak bicara pada Marcel, padahal keduanya kerap kali bertemu di kantor. Papanya sering meminta sekretarisnya untuk menghubungi Marcel terkait mengurus pekerjaan, jadi enggan secara langsung berinteraksi dengan Marcel.

“Oke, aku bakal coba. Tapi cuma dalam waktu sebulan ini. Kalau keadaannya sama aja, artinya kita tetep pindah ke Swiss ya Babe,” putus Marcel akhirnya.

“Iya,” ujar Olivia sembari menampakkan senyumannya.

Olivia pun berharap dalam waktu sebulan ini, semuanya bisa membaik. Olivia hanya tidak ingin membuat Marcel jauh dari orang tuanya dan suatu hari merasa menyesal jika sudah kehilangan.

Bagaimana pun yang terjadi di masa lalu, orang tua Marcel tetaplah orang tuanya, dan sebagai seorang anak, sepatutnya selalu memaafkan kesalahan orang tuanya dan coba lebih mengerti. Di hari tua seseorang, pastilah mendambakan hidupnya dikelilingi oleh orang-orang yang disayangi. Olivia ingin Marcel berada dekat dengan orang tuanya, ingin Marcel tetap mengemban perannya sebagai seorang anak yang menyayangi dan menemani di hari tua.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Marcel sebelumnya telah menceritakan pada Olivia mengenai percakapannya dengan orang tuanya. Selain itu Marcel juga memberitahu soal Valerie yang mendatangi kantornya secara tiba-tiba. Valerie meminta Marcel untuk mempertimbangkan keputusannya pindah ke Swiss.

Siang ini Olivia mendapati kedatangan Valerie di rumah. Marcel ingin kembali dari kantor, tapi Olivia mengatakan bahwa itu tidak perlu. Olivia dan Valerie akan bicara berdua, jadi Olivia meminta pada Marcel untuk memberi ruang baginya dan Valerie.

Jadi kini di ruang keluarga itu, Olivia dan Valerie tampak tengah duduk berhadapan. Olivia menatap Valerie, sebagai tanda bahwa dirinya menghormati Valerie saat akan bicara. Meski rasanya masih ada luka di hatinya, tapi Olivia tetap menghormati Valerie sebagai ibu dari Marcel.

Dua buah cangkir berisi teh disajikan di hadapan keduanya. Valerie telah sekali menyesap teh itu, begitu juga dengan Olivia.

Valerie lalu menatap Olivia lurus-lurus. Kali ini tatapan kedua netra itu terlihat berbeda di mata Olivia. Ada penyesalan yang jelas kentara di sana.

“Olivia,” ujar Valerie yang akhirnya membuka suaranya. Untuk pertama kalinya, Olivia mendengar Valerie menyebut namanya.

“Saya ingin minta maaf sama kamu, dengan setulus hati saya. Tolong maafkan saya,” lanjut Valerie lagi. “Saya sadar kalau saya sudah salah dan bertindak kelewatan sama kamu. Saya sebelumnya sudah meminta maaf sama Marcel, tapi dia belum sepenuhnya bisa maafin saya kalau saya belum mendapat maaf dari kamu.”

Olivia tampak sedikit terkejut mendengar penuturan tersebut. Olivia masih diam, ia belum menanggapi, karena jujur saja Olivia malah merasa bingung harus memberi merespon seperti apa.

Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya Valerie kembali berucap, “Olivia, Marcel menghormati kamu seperti dia menghormati saya sebagai ibunya. Seharusnya dari awal, saya bisa mengerti itu dan menyadari, anak saya nggak mungkin memilih kamu kalau kamu bukan yang terbaik untuk dia. Kamu adalah perempuan yang baik dan berhati besar, dan saya sadar akan hal itu. Anak saya beruntung, dia ketemu sama kamu dan bisa dicintai oleh kamu.”

Olivia lekas mendapati kedua mata Valerie yang tampak berkaca-kaca. Olivia tidak menyangka ia akan mendapati ini di hadapannya.

Kemudian Valerie meraih tangan Olivia, dan itu membuat Olivia terlihat membeliakkan matanya.

“Olivia, tolong ... maafkan saya. Saya benar-benar menyadari kalau saya sudah bersalah. Saya ingin memperbaiki hubungan dengan Marcel dan juga dengan kamu. Saya nggak ingin kehilangan orang-orang yang saya cintai. Marcel sangat mencintai kamu. Jadi sebagai ibunya, saya juga ingin melakukan hal yang sama dan menerima kamu selayaknya kamu adalah anak saya sendiri.”

Olivia perlahan mengulaskan senyumnya, lalu ia membalas genggaman tangan Valerie di tangannya. “Saya udah maafin Tante,” ujar Olivia akhirnya.

Valerie tampak membeliakkan kedua matanya, gesturnya menunjukkan bahwa ia tidak menyangka Olivia telah memaafkannya.

Maka Olivia kembali berujar untuk meyakinkan keraguan Valerie yang terlihat dari tatapannya. “Tante, saya nggak punya alasan apa pun untuk nggak memaafkan Tante. Setiap orang berhak mendapat kata maaf dan punya kesempatan untuk memperbaiki semua yang udah terjadi,” ujar Olivia.

“Terima kasih banyak, Olivia,” lekas Valerie berujar, lekas sebuah senyum haru terulas di wajah yang tidak lagi muda itu.

Olivia pun balas mengulaskan senyumnya dan merasakan genggaman tangan Valerie di tangannya mengerat.

Olivia akhirnya menyadari satu hal. Memang tidak mudah rasanya melupakan rasa sakit yang orang berikan kepada kita. Namun Olivia telah memaafkan Valerie. Karena setiap orang berhak memperbaiki diri, danorang yang bijaksana adalah yang orang tidak mudah lupa, tapi tetap memaafkan.

“Saya juga berterima kasih sama Tante,” ucap Olivia lagi.

“Kamu berterima kasih untuk apa?” Valerie tampak tidak mengerti, maka akhirnya ia mempertanyakan itu.

“Marcel selalu berharap, suatu hari orang tuanya akan terbuka hatinya. Marcel selalu ingin bisa memperbaiki hubungannya sama orang tuanya, Tante. Dia sangat sayang sama Tante dan juga menghormati Papanya,” terang Olivia.

Valerie akhirnya mengangguk. “Iya. Saya akan berusaha melakukannya untuk menebus kesalahan saya. Saya akan berusaha memperbaiki semuanya,” ucapnya.

Valerie sungguh ingin memperbaiki hubungannya dengan Marcel juga Olivia. Valerie tidak ingin kehilangan putranya, calon menantunya, cucunya, serta calon cucunya yang ada di kandungan Olivia.

“Marcel udah cerita banyak ke kamu ternyata,” ujar Valerie masih menatap pada Olivia. “Olivia, artinya anak saya udah bener-bener menganggap kamu adalah satu-satunya buat dia. Terima kasih, kamu telah mencintai dia,” ucap Valerie, dan itu sebagai penutup percakapan keduanya hari itu.

Valerie telah mendapat maaf dari seseorang yang hatinya telah ia sakiti. Akhirnya itu yang membuat Valerie sadar bahwa Olivia adalah perempuan yang benar-benar pantas untuk mendampingi putranya.

Olivia memiliki hati yang begitu lembut, bijaksana, dan juga pemaaf. Valerie sadar, anaknya membutuhkan sosok seperti Olivia. Valerie pun merasa bahwa anaknya sangat beruntung telah memiliki Olivia dan mendapat cinta yang tulus serta begitu besar.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

house

Ketika BMW milik Marcel berhenti di pekarangan sebuah rumah, Marcel langsung menatap pada bangunan bertingkat di hadapannya.

Selama beberapa detik, Marcel tidak bergeming di sana. Marcel berpikir kapan terakhir dirinya mengunjungi rumah orang tuanya, rasanya sudah begitu lama. Marcel merasa rindu dengan rumah ini. Masa kecil sampai, remaja, hingga memasuki awal dewasa, Marcel menghabiskan hidupnya di sini. Namun sayangnya, lebih banyak rasa sakit, yang kemudian membuat hatinya enggan untuk datang atau sekedar mengingat memori indah yang ada tempat ini.

Ketika pintu mobil di sampingnya dibuka, Marcel pun segera tersadar dari lamunannya. Tampak Arsen di sana, membukakan pintu untuknya.

“Udah gue tanyain sama orang rumah, orang tua lo ada di dalem. Baru aja balik katanya,” ujar Arsen memberitahu.

Marcel mengangguk sekali, kemudian dirinya segera beranjak turun dari mobil.

Hari ini Marcel telah memutuskan. Marcel datang ke kediaman orang tuanya karena ingin menyampaikan suatu hal, dan mungkin ini adalah kali terakhir Marcel menginjakkan kakinya di rumah ini.

***

Marcel menemui Enrico dan Valerie di ruang keluarga. Kedua orang tuanya itu masih tampak biasa saja ketika Marcel datang. Ekspresi Valerie terlihat datar, begitu juga dengan Enrico. Padahal Marcel berharap, setidaknya Valerie menyinggung sesuatu tentang kejadian tempo hari lalu di mana Mamanya itu menyakiti Olivia.

Namun sepertinya harapan Marcel hanya akan menjadi harapan.

“Pah, Mah, ada hal penting yang ingin Marcel sampaikan,” ujar Marcel membuka suaranya.

“Silakan. Ada apa?” Enrico pun berujar sambil menatap Marcel.

“Marcel udah memutuskan sesuatu beberapa hari yang lalu. Marcel akan pindah ke Swiss dan tinggal menetap di sana. Tentunya Marcel bawa Mikayla dan Olivia juga,” ujar Marcel dalam satu tarikan napas.

Rasanya berat mengutarakannya, tapi ini sudah menjadi keputusannya. Marcel ingin mengakhiri rasa sakitnya dan berharap dapat membangun kehidupan yang bahagia bersama Olivia dan Mikayla, di sebuah negara dan tempat yang baru untuk mereka.

Beberapa detik berlalu usai Marcel mengatakannya, kini Marcel mendapati tatapan Valerie yang tampak berbeda. Ekspresi Valerie ang sebelumnya tampak datar, kini terlihat sedikit syok dan nanar.

“Marcel .. maksud kamu apa dengan pindah ke luar negeri?” uajr Valeri.

“Marcel akan meninggalkan perusahaan dan menyerahkan jabatan ke Papa. Marcel akan tinggal menatap di Swiss Mah,” ujar Marcel lagi.

Marcel beralih menatap Enrico, Papanya itu masih diam dan belum menanggapi perkataannya. Tatapan Enrico pun masih sama ketika menatap Marcel, tanpa ekspresi, seolah Papanya itu acuh.

“Kamu mau ninggalin orang tua kamu dan bawa Mikayla pergi jauh? Mikayla itu cucu Mama, Marcel. Mama tau kamu orang tuanya Mikayla, tapi kamu nggak mikirin perasaan Mama dan Papa?” ujar Valerie lagi.

Marcel masih terdiam di tempatnya mendengar semua itu.

“Marcel, maafin Mama Nak,” lirih Valerie masih menatap Marcel, kali ini tatapannya tampak begitu sendu.

Kata maaf yang bertahun-tahun tidak pernah Marcel dengar dari orang tuanya, hari ini akhirnya ia mendengarnya.

“Mama minta maaf untuk apa?” Marcel bertanya sembari menatap Valerie lurus-lurus.

“Mama minta maaf, Nak. Mama sadar apa yang Mama lakuin udah kelewatan. Tolong ya .. jangan pindah. Tolong jangan pergi,” ujar Valerie dengan tapan memohonnya.

Marcel pun kembali berujar, “Mama sadar sama kesalahan Mama cuma sama Marcel, kalau sama Olivia gimana?”

Valerie seketika mengatupkan bibirnya. Valerie tampak tidak akan berujar lagi, bersikap abai.

Akhirnya Marcel kembali mengutrakan. “Keputusan Marcel untuk pindah udah bulat, Mah, Pah. Bulan depan Marcel akan pindah. Maaf, Marcel harus mengambil keputusan ini. Marcel tau Papa dan Mama kecewa dan nggak setuju. Tapi Marcel minta tolong, tolong hargai keputusan Marcel.”

Marcel masih di sana selama beberapa detik setelah mengutarakan maksudnya. Marcel menunggu dan sedikit berharap orang tuanya akan mengatakan sesuatu. Marcel tidak meminta orang tuanya menahannya untuk pergi, tapi mungkin jika orang tuanya meminta maaf dan menyadari kesalahan, Marcel bisa mempertimbangkan kembali keputusannya untuk pindah.

Marcel hanya ingin orang tuanya menyadari kesalahan, agar hubungan mereka bisa membaik. Kalau terus seperti ini dan tidak mau menyadari kesalahan, yang lalu-lalu akan kembali terulang, selayaknya sebuah roda yang berputar dan akan kembali di tempat yang sama.

Selang beberapa menit Marcel menunggu, tidak ada yang terucap ataupun terjadi. Marcel akhirnya memutuskan untuk beranjak dari sana dan berpamitan pada orang tuanya.

“Pah, Mah, Marcel pamit dulu ya,” ucap Marcel.

Ketika Marcel berdiri, Valerie segera ikut berdiri, lalu Mamanya itu menahan lengannya. Marcel menatap Mamanya yang kini tengah memegang lengannya.

“Mama nggak mau kehilangan kamu dan Mikayla. Kamu tau kan, Mama sayang sekali sama kamu,” ujar Valerie.

Marcel menghela napasnya sekali, lalu ia berujar pada Valerie, “Mama nggak akan kehilangan Marcel atau pun Mikayla. Sesekali Mama masih bisa ketemu sama Mikayla. Mama tenang aja ya,” ujar Marcel.

Secara perlahan lalu Marcel melepaskan pegangan Valerie di lengannya.

“Marcel tetap akan jadi anak Mama dan selalu sayang sama Mama, nggak ada yang berubah. Tapi tolong Mah, Marcel juga ingin membahagiakan orang yang Marcel cintai,” terang Marcel.

Keputusan ini rasanya memang sulit bagi Marcel. Namun di kehidupan ini, memang beberapa hal harus diputuskan dan terlihat seperti dikorbankan.

Apa pun yang terjadi, seperti yang Marcel katakan, ia tetap akan menjadi seorang anak bagi orang tuanya. Namun Marcel juga memiliki keinginan yang besar, yakni ia ingin membahagiakan orang yang dicintainya. Jika tempatnya bukan di sini, maka Marcel akan menemukan tempat lain dan membuat tempat itu menjadi kediaman yang aman, nyaman, dan diselimuti oleh kebahagiaan.

Marcel mengenggam tangan Valerie di sana dan mengusap punggung tangan itu lembut. “Mah, Marcel pamit dulu ya,” ucap Marcel sebelum sungguhan melangkah pergi dari sana.

Genggaman tangan Valerie di lengan Marcel perlahan dilepaskan oleh Marcel. Valerie terpaku di tempatnya, ia menatap menatap hampa pada kepergian putranya. Hatinya terasa tergores dan hancur berkeping-keping, tanpa dapat ia jelaskan melalui frasa.

Valerie lantas mengalihkan tatapannya pada Enrico, ia meminta Enrico untuk menahan putra mereka, tapi nyatanya suaminya hanya terdiam di tempatnya.

“Biarkan aja dia dengan keputusannya Mah,” ucap Enrico yang akhirnya angkat suara.

“Pah, tapi Marcel itu anak kita,” ucap Valerie, netranya menatap nanar kepada Enrico.

“Papa tau itu, Mah. Tapi dia sudah besar, jadi harusnya tau keputusan yang diambilnya dan siap sama resikonya,” ucap Enrico begitu saja.

***

Siang ini Valerie datang sendiri ke ruang kerja Marcel di kantor. Marcel tampak sedikit terkejut mendapati kedatangan Mamanya yang terbilang mendadak. Asistennya maupun sekretarisnya pun tidak memberitahunya sama sekali mengenai hal ini.

“Ada yang mau Mama omongin sama kamu,” ujar Valerie.

Marcel pun mengangguk sekilas. Kemudian ia segera menggeser ipadnya dan kini fokusnya hanya diberikan pada Valerie yang tengah duduk di hadapannya.

Marcel pun membiarkan Valerie untuk memulai pembicaraannya.

“Marcel, Mama udah sadar sekarang. Retaknya keluarga kita terjadi karena keegoisan Mama dan Papa terhadap kamu. Mama bener-bener nyesel sama semua perbuatan Mama, Nak. Tolong maafin Mama dan pertimbangin lagi untuk nggak pergi. Mama nggak ingin kamu pindah ke luar negeri dan tinggal jauh dari Mama.”

“Marcel udah maafin Mama kok,” ucap Marcel setelah beebrapa detik terdiam. Marcel segera mendapati Valerie mengulaskan senyumnya.

“Tapi belum sepenuhnya Mah,” lanjut Marcel.

Seketika Valerie menatap kecewa pada Marcel. “Maksud kamu apa Nak? Kamu juga nggak bisa ya mempertimbangkan keputusan kamu?”

“Marcel akan pertimbangkan lagi, tapi rasanya belum cukup Mah. Marcel akan maafin Mama sepenuhnya, kalau Mama juga dapet maaf dari Olivia,” terang Marcel akhirnya.

Valerie segera mendapati Marcel yang menatapnya dengan tatapan kecewa. Seolah Marcel mengatakan secara tidak langsung bahwa Olivia memang sangat berati baginya, dan sikap Valerie kepada Olivia-lah yang menjadi alasan dari semua kekecewaan Marcel.

Seumur hidup, Valerie belum pernah mendapatkan tatapan itu dari putra semata wayangnya.

“Mah,” ucap Marcel sambil menatap Valerie.

Valerie tahu Marcel menyayanginya dan menghormatinya sebagai seorang ibu, tapi sebuah rasa kecewa tidak bisa dibohongi.

“Marcel menghormati Olivia sebagai calon ibu dari anak-anak Marcel, sama kayak Marcel menghormati Mama sebagai orang tua Marcel,” ujar Marcel lagi.

Dari ucapan Marcel itu, Valerie begitu bisa melihat putranya ini sangat mencintai Olivia. Level mencintai seseorang tertinggi menurut Valerie adalah rasa hormat dan menghargai yang besar, dan Marcel memperlakukan Olivia seperti itu.

Masih sambil menatap Valerie, Marcel berujar lagi, “Mah, Olivia ingin diterima sama Mama sebagai anak Mama. Marcel akan menikah sama Olivia, jadi udah seharusnya Mama nganggep Olivia adalah anak Mama juga. Marcel berharapnya seperti itu, Mah.”

Marcel mengakhiri pembicaraannya hari itu dengan Valerie.

Setelah ini Marcel ada meeting. Jadi Marcel meminta Valerie untuk meninggalkan ruangannya.

Marcel kemudian mengantar Valerie sampai ke lobi kantor, serta menunggu Mamanya sampai benar-benar masuk ke mobil yang telah menunggu di main entrance gedung.

Ketika mobil itu akhirnya berlalu dari hadapannya, Marcel segera melangkah kembali memasuki gedung kantor.

Perasan Marcel sedikit kalut, tapi sepertinya Mamanya sudah sadar dan mulai luluh. Mungkin ini akan jadi awal baik bagi Marcel dan Olivia, tentunya untuk mendapat restu dari orang tuanya.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒

Setelah jam makan siang di kantor, Marcel memutuskan untuk menemui Papanya di ruangan Presiden Direktur.

Enrico Moeis menjabat sebagai Presiden Direktur, di mana posisi tersebut merupakan posisi kedua tertinggi setelah CEO. Chief Executive Officer merupakan jabatan tertinggi pada sebuah perusahaan dan sebagai pembuat keputusan utama. Marcel menjabat sebagai CEO PT. Permata Tambangraya TBK, karena ia merupakan pewaris satu-satunya dari Papanya.

Sesampainya Marcel di lantai 5, ia langsung diperbolehkan untuk masuk ke ruangan Enrico. Marcel pun membuka knop pintu jati di hadapannya.

Ketika sudah masuk, Marcel segera menemukan sosok Enrico di kursi kebesarannya.

“Tumben kamu sampai harus ke ruangan Papa. Ada apa? Apa ini soal pekerjaan?” Enrico langsung bertanya kepada Marcel.

Sekretaris Enrico yang sebelumnya berada di ruangan itu, tiba-tiba pamit berlalu dari sana.

Enrico tampak bingung, tapi kemudian dengan cepat dapat membaca situasi. Biasanya kalau ada urusan pekerjaan antara Presdir dengan CEO, maka sekretaris Enrico juga akan dilibatkan.

Akhirnya Enrico berujar, “Kalau bukan soal pekerjaan, dan apalagi itu tentang hubungan kamu sama perempuan itu, Papa nggak ingin dengar.”

“Nggak papa kalau Papa nggak ingin dengar atau peduli. Marcel ingin tetap akan menyampaikan ini, karena Marcel masih menghormati Papa sebagai orang tua. Marcel sama Olivia akan menikah, minggu depan kita akan mendaftarkan pernikahan,” ujar Marcel.

“Oke, kalau itu keputusan kamu. Kamu tau kan, setiap keputusan yang diambil, pasti ada konsekuensinya,” ujar Enrico. “Kamu membuat perusahaan kacau, harga saham kita turun drastis sejak 3 hari yang lalu. Kamu jelas tau dampaknya.”

“Iya, Pah. Marcel tau. Hal kayak gini nggak sekali dua kali kita alamin. Secepatnya Marcel akan berusaha buat balikin keadaan dan bikin harga saham kita balik stabil lagi,” ujar Marcel.

“Di luar urusan perusahaan, Papa tetap akan memberi kamu konsekuensi dari keputusan yang kamu ambil. Kamu menikah tanpa restu dari Papa dan Mama, artinya kamu bersedia untuk nggak lagi dianggap anak sama Papa dan Mama.”

Marcel terdiam di tempatnya mendapati kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Enrico. Marcel pikir ia akan terluka setelah mendengarnya, tapi rupanya tidak. Entah mengapa, rasanya sulti bagi Marcel merasakan rasa sakit itu.

Marcel sudah kebal dengan luka yang diberikan oleh orang tuanya, hingga rasanya ia tidak bisa lagi merasa terluka.

“Kalau itu udah jadi keputusan Papa, Marcel akan terima apa yang Papa putuskan,” ucap Marcel akhirnya.

Satu kalimat yang Marcel lontarkan itu seketika membuat Enrico membeliak. Enrico menatap Marcel dengan tatapan matanya yang nyalang dan dipenuhi emosi.

Marcel pun kembali mengatakan, bahwa ia bersedia jika harus hengkang dari keluarga Moeis dan melepas identitasnya, demi untuk memperjuangkan Olivia dan membuat keluarga bahagia bersama orang dicintainya. Marcel telah mencoba untuk menghormati orang tuanya setelah semua yang terjadi, tapi orang tuanya tetap tidak mau memahaminya.

“Cinta udah bikin kamu buta,” ujar Enrico.

“Mungkin yang Papa bilang bener. Tapi lebih baik cinta bikin Marcel buta Pah, ketimbang harus terus ngerasa sakit, karena Papa dan Mama yang selalu nyakitin Marcel.” Marcel mengucapkannya tanpa emosi, tapi raut wajahnya justru menggambarkan kesedihan yang mendalam. Marcel berharap Enrico akan mengerti perasaan sedihnya, tapi justru selalu bersikap sebaliknya.

Enrico semakin tampak marah, rahangnya mengeras dan kulit wajahnya memerah.

“Kurang ajar ya kamu. Papa dan Mama yang membesarkan kamu dari kecil, tapi cuma karena perempuan itu, kamu bilang Papa dan Mama nyakitin kamu selama ini?”

“Marcel cuma berharap Papa dan Mama bisa sadar, selama ini yang Papa dan Mama lakuin udah nyakitin Marcel. Marcel nggak pernah mau menikah sama Adelia, Marcel nggak bahagia dengan pernikahan Marcel, Pah. Apa Papa pernah memikirkan itu?” ujar Marcel.

Setelah mengatakannya, Marcel rasa urusannya telah telah selesai di ruangan itu. Marcel sudah akan pergi dari sana, tapi ucapan Enrico tiba-tiba menahan langkahnya.

Marcel sudah membalikkan tubuhnya dan memunggungi Enrico. Namun langkah kakinya terhenti begitu saja.

“Kamu sudah membuang berlian seperti Ghea, demi perempuan yang nggak punya orang tua dan nggak jelas bibit, bebet, dan bobotnya,” ujar Enrico.

Tanpa sadar kedua tangan Marcel mengepal kuat di sisi tubuhnya setelah mendengar kalimat itu. Marcel menahan gejolak amarah yang perlahan mulai menguasainya. Namun Marcel memutuskan untuk tidak menggunakan emosinya kali ini. Marcel akan mencobanya, seperti yang Olivia katakan padanya.

Marcel kemudian berbalik. Marcel kembali menatap Enrico, tatapannya jelas menyiratkan rasa kecewa dan tidak terima. “Pah, tolong jaga bicara Papa. Emangnya apa yang salah dari nggak punya orang tua?” ujar Marcel.

“Nggak ada yang ngajarin dia caranya untuk tau posisi dan sadar diri,” ucap Enrico.

“Papa nggak tau apa pun tentang Olivia, jadi Papa nggak berhak bicara tentang dia. Nggak ada yang salah dari nggak punya orang tua, Pah. Di mata Marcel, Olivia yang terbaik buat Marcel. Dia perempuan yang hebat dan luar biasa, padahal orang tuanya meninggal sejak dia kecil. Marcel pikir, lebih baik nggak punya orang tua, dari pada punya, tapi rasanya kayak nggak punya.” Semua yang Marcel ucapkan merupakan curahan hatinya yang selama ini terpendam begitu dalam di dasar hatinya.

“Apa maksud kamu ngomong begitu?” ujar Enrico dengan suaranya yang terdengar sedikit meninggi.

Marcel menghela napasnya, ia tengah berusaha mengontrol dirinya. Marcel yang semula mengalihkan tatapannya ke arah lain, kini kembali menatap Enrico lekat-lekat. “Mungkin sebagian anak di dunia ini emang nggak beruntung, Pah. Mereka punya orang tua, tapi nggak pernah merasa dimengerti perasaannya, nggak pernah ngerasa punya rumah dan ngerasa nyaman, kayak yang harusnya mereka rasain di saat mereka punya orang tua.”

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒