alyadara

Sienna masih belum bisa melepas Gio, begitupun sebaliknya. Sudah 5 hari hari berlalu sejak Sienna meminta Alvaro memberinya waktu, tapi hingga kini Sienna dan Gio masih kerap bertemu. Gio kemarin datang lagi ke rumah sakit dan Sienna membantunya mengerjakan PR sekolah. Hari ini merupakan jadwal bagi Sienna untuk pulang dari rumah sakit. Sienna sudah merasa lebih baik kondisi fisiknya, tapi ada sesuatu yang memenuhi pikirannya. Itu adalah tentang pernyataan Alvaro kepada Sienna beberapa hari lalu. Soal perasaan Alvaro terhadap Sienna, yang Sienna sendiri cukup terkejut kala mengetahuinya.

Setelah pernyataan Alvaro melalui chat itu, Sienna belum bertemu lagi dengan Alvaro. Gio selalu datang bersama Gina dengan diantar supir yang ditugaskan oleh Alvaro. Siang ini Gio berada di rumah sakit, sedang menunggu untuk dijemput. Sienna menunggu sampai Gio dan Gina dijemput oleh supir. Namun kenyataan yang didapati Sienna, bukan pak Amar yang datang menjemput.

Ketika Gina membuka pintu, terlihat sosok Alvaro di sana. Sienna bersyukur ia dapat menghindari Alvaro beberapa hari lalu, tapi kini Sienna tidak lagi dapat menghindar. Sienna tidak bisa terus lari dari apa yang seharusnya ia dan Alvaro selesaikan.

“Gina, tolong ajak Gio keluar dulu,” ujar Alvaro kepada Gina.

Gina segera mengangguk dan mengajak Gio untuk keluar dengan alasan akan membeli ice cream. Gio pun menurut saja dan akhirnya ikut bersama Gina meninggalkan ruangan itu. Kini tersisa Sienna dan Alvaro di ruang rawat itu. Terdengar lagi suara pintu yang kembali di ketuk, dan Alvaro berjalan ke arah pintu untuk membukanya.

Sienna tidak tahu siapa orang di sana, yang jelas orang itu memberikan sebuket bunga berukuran cukup besar kepada Alvaro. Kini Alvaro telah kembali pada Sienna dan meletakkan buket bunga itu di nakas di samping ranjang.

Sienna lantas melayangkan tatapannya pada buket bunga mawar pink dengan satu jenis warna pink yang seragam. Bunga tersebut nampak persis dengan bunga yang Sienna lihat di mimpinya, terang saja Sienna tertegun karena melihat bunga kini jelas nyata berada di hadapannya.

Pink rose

“Sienna,” ujar Alvaro pelan. Otomatis Sienna menoleh dan kini pandangannya bertemu dengan iris legam Alvaro. Aura karismatik Alvaro seperti membius Sienna untuk hanya melihat ke arah lelaki itu.

“Soal pernyataan gue beberapa hari lalu, gue benar-benar serius sama perasaan gue terhadap lo. Gue nggak ingin, lo pergi dari hidup gue dan Gio,” tutur Alvaro dengan sorot matanya yang memancarkan kesungguhan.

Sienna masih di sana, tapi ia dengan cepat mengalihkan tatapannya dari Alvaro ke arah lain. Ada sesuatu yang coba Sienna sembunyikan dari Alvaro. Sienna tidak tahu pasti itu apa, tapi yang Sienna ketahui, dirinya dan Alvaro adalah dua kutub yang tidak mungkin bisa bersama.

Perlahan Alvaro meraih satu tangan Sienna, kemudian lelaki itu menggenggamnya. Sienna yang menyadari aksi Alvaro itu, seketika melayangkan tatapannya pada tangannya yang kini berada di genggaman Alvaro. Mereka masih berdiri, saling berhadapan dan saling menatap.

Sienna perlahan melepaskan tangannya dari tangan Alvaro. Dari isyarat itu, Alvaro tahu bahwa Sienna telah menolak perasaannya.

“Sienna, tapi kenapa? Apa nggak ada sedikit pun perasaan lo untuk gue?” Alvaro bertanya dengan nadanya yang terdengar getir.

Seinna seketika seperti merasakan de javu tentang kejadian 14 tahun lalu. Di mana saat ia mendapati Alvaro menyatakan perasaan padanya. Hanya saja bedanya, kini mereka dalam versi dewasa. Kini Alvaro yang Sienna ketahui adalah Alvaro yang berkharisma, penyayang, dan berhati lembut. Sosok Alvaro yang telah berubah di mata Sienna.

“Al, lo terikat pernikahan sama Marsha. Gimana bisa—”

“Sienna, let me tell you something.”

Sienna nampak bingung dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Alvaro.

“Sebelum lo ketemu sama Gio, gue udah bikin keputusan soal hubungan gue dan Marsha.” Alvaro menjeda ucapannyas sesaat, lelaki itu menatap Sienna tepat di manik matanya. “Sienna, gue dan Marsha akan bercerai, tapi perceraian itu terpaksa harus gue tunda. Kabar perceraian kemungkinan bisa berdampak nggak baik untuk Gio, kalau sampai ada pemberitaan buruk yang mengarah ke Marsha. Gimana pun Marsha tetap ibu kandung Gio. Tapi cepat atau lambat setelah gue berhasil nemuin Marsha, gue akan cerai dengan Marsha.”

Rentetan kalimat Alvaro seperti sebuah petir di siang bolong bagi Sienna. Mengapa semakin berjalannya waktu, semakin satu persatu mimpi Sienna menjadi kenyataan? Pertemuannya dengan Gio dan Alvaro, panggilan ‘Bunda Sienna’ dari Gio untuknya, ditambah lagi saat ini Alvaro menyatakan perasaan padanya serta berniat akan menggugat cerai Marsha.

Apa yang menjadi pertimbangan Alvaro terasa benar dibenak Sienna. Posisi Alvaro dan Marsha yang merupakan public figure, membuat Alvaro terpaksa menunda perceraian. Pasti akan banyak pemberitaan buruk kalau Alvaro langsung menggugat cerai Marsha, sementara keberadaan Marsha saat ini pun juga belum diketahui dengan jelas.

“Al, lo udah pikirin dampaknya kalau lo dan Marsha bercerai?” Sienna bertanya dan Alvaro sudah mengerti ke mana arah pembicaraan Sienna.

“Gimana perasaan Gio nanti kalau tau orang tuanya berpisah?” pertanyaan Sienna itu langsung memiliki sebuah jawaban di benak Alvaro.

“Gio memang prioritas gue, Sienna. Tapi apa gue nggak berhak memperjuangkan kebahagiaan gue sendiri? Gue nggak bisa mempertahankan seseorang, di saat orang itu lebih milih pergi tanpa kejelasan. Gue ingin memperjuangkan lo, karena lo kebahagiaan baru yang ingin gue perjuangkan,” tutur Alvaro panjang lebar.

Sienna masih terdiam di tempatnya. Bayangan masa depan Alvaro yang ada di mimpinya membuat Sienna takut mengambil keputusan. Sienna takut jika keputusannya akan berpengaruh buruk terhadap masa depan Alvaro dan juga Gio.

“Al, udah seharusnya nggak ada perasaan apa-apa di antara kita,” ucap Sienna sambil menatap Alvaro tepat di iris matanya. Alvaro yang mendengar kalimat itu seketika menatap Sienna dengan tatapan tidak percaya.

“Sienna,” Alvaro kembali meraih tangan Sienna, tapi Sienna bergerak menjauhi Alvaro, hingga genggaman itu terlepas begitu saja.

Sienna mengalihkan tatapannya dari Alvaro, ia tidak sanggup melihat kedua iris legam itu.

“Gue harap lo bisa hargain keputusan gue. Gue nggak punya perasaan yang sama kayak lo,” ucap Sienna pelan.

Sienna menolak Alvaro, lagi, seperti 14 tahun yang lalu. Namun kini bedanya Alvaro bukan lagi bocah ingusan yang akan menyerah ketika Sienna menolaknya. Sebelum Alvaro berlalu dari sana, Alvaro mengatakan bahwa ia ingin berjuang untuk meyakinkan Sienna, Alvaro ingin membuat Sienna mencintainya.

Selama waktu yang mereka lalui bersama, Alvaro dapat merasakan bahwa Sienna juga memiliki perasaan khusus terhadapnya. Perlakuan dan perhatian yang tidak sadar Sienna berikan, Alvaro dapat merasakan bahwa Sienna sebenarnya memiliki perasaan itu. Jadi Alvaro tidak akan langsung menyerah, karena bagi Alvaro bertemu kembali dengan Sienna adalah anugerah terindah di hidupnya. Alvaro tidak akan menyiakan-nyiakan kesempatan yang sudah takdir berikan padanya.

***

Sienna masih berada di ruang rawatnya. Alvaro dan Gio sudah pulang bersama dengan Gina juga. Sienna duduk di sofa, ia tidak dapat lagi membendung air matanya. Dengan kedua tangannya, Sienna menutup wajahnya dan perlahan isak tangisnya mulai terdengar memenuhi ruangan.

Saat Sienna masih menangis, Fia membuka pintu dan masuk. Fia baru saja kembali dari toilet dan berniat memberi tahu Sienna kalau Raka sudah datang menjemput mereka di lobi.

“Mbak,” ujar Fia pelan seraya menyentuh pundak Sienna. Fia terlihat bingung karena mendapati Sienna menangis. Setahunya tidak ada yang terjadi dan beberapa menit yang lalu semuanya nampak baik-baik saja.

Fia memutuskan tidak mengatakan apa pun, ia hanya mengusap pundak Sienna dengan gerakan searah dan berharap itu dapat menenangkan Sienna.

Beberapa detik berlalu, Sienna menunjukkan wajahnya yang kini nampak sembap di hadapan Fia. Melihat Sienna dengan keadaan seperti ini, hati Fia rasanya ikut merasa sakit.

“Mbak, tenang dulu ya. Kalau Mbak butuh waktu untuk sendiri, gue akan tunggu di luar. Nanti kalau udah legaan, lo susul gue ya,” ujar Fia.

“Fi, gue butuh seseorang buat cerita,” ujar Sienna kemudian. Sienna rasanya tidak sanggup memendamnya sendiri.

Fia lantas mengangguk, ia pun siap mendengarkan Sienna.

“Saat lo punya keinginan untuk terus ada di samping seseorang, tapi lo nggak bisa. Apa yang harusnya lo lakuin?” tanya Sienna.

“Tergantung Mbak. Nggak bisanya, karena apa? Karena takdir?”

Sienna mengangguk. “Kemungkinan besar karena takdir. Fi, kemarin Alvaro nyatain perasaannya ke gue, hari ini dia yakinin gue, tapi gue nolak dia, Fi.”

“Mbak, lo serius?” Seketika Fia nampak terkejut. Seketika tatapan Fia mengarah pada buket bunga yang ada di nakas samping ranjang. Dari benda tersebut, Fia sudah tahu apa yang telah terjadi tanpa Sienna menjelaskannya.

“Fi, gue sayang sama dia. Tapi gue takut kalau gue terima, malah akan berdampak buruk untuk masa depannya, karena gue bisa baca masa depannya Alvaro,” ungkap Sienna.

“Fi, menurut lo, apa yang harus gue lakuin?”

“Mbak, kalau menurut gue, kali ini lo perlu egois sama diri sendiri. Lo berhak untuk memilih apa yang lo inginkan di hidup lo. Perlakuan Alvaro ke lo selama ini, semua efforts yang dia lakuin buat lo, bikin gue yakin kalau dia serius sama perasaannya.” Fia menjeda ucapannya sesaat. Fia merupakan salah satu saksi dari perilaku dan sikap tulus Alvaro terhadap Sienna. Fia melihat bagaimana istimewanya Alvaro memperlakukan Sienna. Fia yakin bahwa Sienna memiliki tempat spesial tersendiri di hidup Alvaro.

Fia meraih satu tangan Sienna dan menggenggamnya, lalu ia kembali berujar, “Mbak, sesulit apa pun rintangan yang bakal lo dan Alvaro hadapin, kalau kalian emang ditakdirkan bareng, akan selalu ada jalan.”

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Hari ini Sienna kedatangan Nayfa dan Aghi. Kedua sahabatnya itu baru sempat menjenguknya karena harus bekerja dan pada saat weekend tentunya baru bisa berkunjung. Di sana ada Fia juga, karena rencananya malam ini asistennya itu akan menemani Sienna tidur di rumah sakit.

“Kayaknya lebih berat pekerjaan freelancer MUA dari pada budak corporate ya, sampe lo sakit tipes gini,” celetuk Nayfa dengan nada bergurau.

Sienna tertawa saja mendengar celetukan sahabatnya itu.

“Selain jadi MUA, Sienna kan juga merangkap jadi bunda Sienna,” ujar Aghi kemudian.

Sienna seketika berubah ekspresinya, suasanya hatinya juga berubah. Suasanya yang jadi hening itu tentu membuat Aghi bingung, tapi Fia dengan cepat mencairkan suasana. Fia menawarkan camilan kepada Aghi dan Nayfa. Di ruang rawat Sienna, ada banyak makanan dan camilan, yang merupakan buah tangan yang dibawa oleh tamu yang menjenguk.

Setelah mengambil sebuah camilan coklat, Aghi berbisik di dekat Nayfa, “Nay, gue ada salah ngomong emang ya?”

“Kayaknya iya deh. Lo tau lah Sienna gampang sedih, apalagi lo nyerempet nyerempet tentang Gio,” ujar Nayfa ikut memelankan nada bicaranya.

‘Tok! Tok! Tok!'

Suara ketukan pintu yang tiba-tiba terdengar membuat Sienna mengarahkan tatapannya ke arah pintu. Aghi memperhatikan air muka Sienna yang tiba-tiba berubah, dari yang tadinya agak muram, kini menjadi secerah matahari di musim panas.

“Fia, tolong bukain pintunya ya,” ujar Sienna kepada Fia.

Fia yang sedang mengupas apel, membuat Aghi berinisiatif membuka pintu dan meminta Fia untuk melanjutkan kegiatannya.

Begitu Aghi membuka pintu, Aghi seketika mendapati sosok yang berkunjung di sana. Alvaro dan Gio, rupanya mereka adalah alasan mengapa ekspresi cerah bisa tercetak di wajah Sienna. Sepertinya Sienna sudah tahu siapa tamu yang akan datang menjenguknya.

“Silakan,” ucap Aghi mempersilakan Alvaro dan Gio masuk.

Gio melangkah cepat untuk menemui Sienna di ranjangnya. “Bundaaa,” seru Gio dengan wajah cerianya.

Gio lalu menunjukkan sesuatu yang dibawanya untuk Sienna. Kemudiananpa di suruh, anak itu langsung menyalami satu persatu orang di sana. Dari mulai Nayfa, Aghi, dan terakhir Fia.

Sienna mengalihkan tatapannya kepada Alvaro. “Ini apa?” tanyanya masih sambil memperhatikan bungkusan paper bag yang tadi dibwa Gio.

“Bunda, itu Papa yang bawain buat Bunda. Kata Papa, Bunda suka kue strawberry,” Gio yang lebih dulu menjawabnya mewakilkan Alvaro. Seketika perkataan Gio sontak mengundang tatapan dari teman-teman Sienna, dan kini mereka menatap ke arah Sienna dan Alvaro.

Lagi-lagi Fia berdeham dan berusaha mencairkan suasana. Perempuan itu lantas sibuk menyalakan TV dan merapikan barang-barang di nakas.

“Tante Fia,” ujar Gio kepada Fia. Gio memang sudah mengenal Fia karena beberapa kali telah bertemu.

“Iya, Gio? Gio mau apel?” Fia menawari Gio potongan apel di piring kecil.

“Gio mau coklat itu,” Gio menunjuk sebuah kotak coklat dengan kotak berwarna pink yang ada di meja di samping ranjang.

“Oh, Gio mau ini. Oke, Tante Fia bantu bukain ya buat Gio,” ujar Fia.

“Tante, ini kan coklat yang kemarin Papa beli buat Bunda juga. Setiap mau jenguk Bunda, pasti Papa inget Bunda terus, beliin ini lah, itu lah,” cerocos Gio lagi dengan wajah tanpa dosanya ketika anak itu mulai mencomot sepotong coklat dari kotak.

Setelah beberapa detik suasana canggung itu, Aghi akhirnya berusuara lebih dulu, “Hmm.. Sienna, jadi gini, gue sama Nayfa harus izin pamit nih. Sorry banget nggak bisa lama-lama. Gue baru inget, ada kondangan temen di daerah Sudirman, lumayan jauh terus macet. Acaranya 3 jam lagi. Ya kan, Nay?” Aghi menyenggol lengan Nayfa yang ada di sampingnya.

“Kondangan siapa sih Ghi?” Nayfa bertanya dengan wajah bingungnya.

“Itu temen kantor kita dari divisi marketing. Ayo Nay, kita harus on the way sekarang lho,” ucap Aghi lagi. Nayfa meskipun tampak bingung, akhirnya hanya mengambikl tasnya dan mengikuti langkah Aghi.

“Sienna, gue balik dulu ya. Lo cepet sembuh, biar kita bisa liburan lagi,” ucap Nayfa sebelum melangkah pergi. Setelah Nayfa dan Aghi berlalu, tidak lama kemudian, Fia mengatakan kalau ia ingin membeli kopi di caftetaria milik rumah sakit.

Sienna mengangguk saja dan membiarkan Fia berlalu dari ruang rawatnya. Hingga tersisa Sienna, Alvaro, dan Gio di sana.

Alvaro menatap ke arah Gio dengan tatapan kekesala yang tertahan. Anaknya itu seperti tidak berdosa setelah membongkar semuanya. Gio dengan santainya melahap coklat di kotak berukuran pink yang lengkap dengan pita cantik yang menghiasinya.

“Gio, itu kan coklatnya buat Bunda Sienna. Kenapa kamu habisin?” ujar Alvaro.

Mendengar perkataan Alvaro, Sienna seketika menoleh pada lelaki itu. “Nggak papa. Udah banyak makanan kok di sini.”

Sienna lantas sedikit bergerak dari tempat tidurnya untuk meraih bungkusan paper bag yang berisi strawberry cheesecake. Sienna tampak antusias membuka kemasan itu dan matanya tampak berbinar ketika mendapati penampakan kue tersebut.

“Al, lo tau dari mana kalau gue suka strawberry?” celetuk Sienna setelah melahap satu suapan kecil kue di tangannya.

“Waktu SD lo suka banget strawberry dan sering bawa bekel kue strawberry. So ... I just guess you still like it,” jelas Alvaro.

Kemudian Sienna mengangguk. Benar juga, pasti Alvaro memiliki ingatan itu. Namun menurut Sienna itu hal kecil tentang dirinya yang jarang orang menyadarinya. Sienna tidak menduga bahwa Alvaro masih mengingatnya.

“Makasih ya Al, gue suka banget kuenya,” ujar Sienna lagi. Kue itu telah habis, dan kini hanya tersisa bungkusannya. Tanpa Alvaro sadari, senyum di wajahnya terulas begitu saja.

“Gio,” Sienna memanggil Gio dan anak itu langsung menoleh. Tangan Gio yang belepotan oleh coklat, membuat Sienna memintanya untuk mencuci tangan di kamar mandi.

Sienna kemudian turun dari ranjangnya dan berjalan menuju sofa sambil membawa infusnya. Saat Alvaro bertanya kenapa Sienna meninggalkan ranjangnya, Sienna menjawabnya. “Gue mau ngobrol sama Gio di sofa.”

Alvaro hanya mengangguk. Sienna memang biasa melakukannya di hampir setiap pertemuan gadis itu dengan anaknya. Sienna akan menanyakan pada Gio bagaimana hari yang dilalui Gio, bagaimana perasaannya, apa yang membuat Gio bahagia hari ini, dan apa yang kira-kira membuatnya sedih. Dengan begitu, Gio dapat menyalurkan perasaannya, lalu Sienna akan memberi afirmasi untuknya. Sienna berperan sebagai tempat berbagi untuk Gio, yang memang sangat dibutuhkan oleh anak seusianya.

Sekembalinya Gio dari kamar mandi dan tangannya telah bersih, Sienna meminta Gio untuk duduk di sampingnya di sofa. Kemudian Alvaro mengambil tempat di samping Gio.

“Hari ini Gio udah ngapain aja? Boleh ceritain ngga ke Bunda?” ujar Sienna membuka obrolan.

“Hmm … tadi pagi Gio sarapan nasi goreng buatan mbak Gina yang enak banget. Terus Gio main game sebentar sebelum mandi. Habis itu siangnya Papa ajak Gio jenguk Bunda deh.”

“Oke. Terus perasaaan Gio hari ini gimana?”

“Gio seneng. Karena Gio ketemu Bunda, terus beliin Bunda kue.”

“Ada nggak kira-kira yang buat Gio sedih?”

Pertanyaan Sienna yang satu itu tidak langsung dijawab oleh Gio. Baik Sienna maupun Alvaro, mereka menunggu Gio menjawabnya.

“Ada Bunda,” ucap Gio kemudian. Gio bergantian dari menatap Sienna, kini ia menatap Alvaro.

Sienna dan Alvaro seketika dibuat bingung saat Gio tidak kunjung menjawab.

“Gio mau cerita atau engga? Kalau engga, juga nggak papa. Nanti kalau Gio udah mau cerita, boleh cerita ke papanya Gio atau ke Bunda, okey?” tutur Sienna kemudian.

“Bunda, Gio sedih karena Bunda Sienna nggak bisa jadi Bunda benerannya Gio,” ungkap Gio tiba-tiba.

Perkataan spontan Gio tersebut sukses membuat kedua mata Sienna membola. Pandangan Sienna bersinggungan dengan Alvaro. Akhirnya Alvaro pun menceritakan pada Sienna soal Gio yang menginginkan Sienna sungguhan menjadi bundanya. Gio tidak mengerti bagaimana caranya, lalu Alvaro menjelaskannya bahwa Sienna tidak bisa menjadi bunda sungguhan bagi Gio.

“Bunda,” ucap Gio.

“Iya, Gio?” Sienan kembali memfokuskan perhatiannya pada Gio.

“Bunda nanti bakal pergi tinggalin Gio? Sama kayak mama?”

Sienna tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hatinya terasa sakit dan seperti diremas oleh sesuatu.

Setelah coba menyusun kalimat yang mudah dipahami, Sienna akhirnya berujar, “Gio, suatu hari Gio pasti akan ngerti. Kalau Gio udah dewasa dan belajar banyak hal, Gio akan paham. Papanya Gio dan mama Marsha sudah menikah, Gio punya mama Marsha yang sayang sekali sama Gio.”

“Gio nggak punya mama. Mama udah pergi, Bunda.

Sienna tidak dapat lagi melanjutkan perkataannya. Sienna termangu di tempatnya dan matanya nampak berkaca-kaca. Melihat Gio di hadapannya saat ini, tatapan terluka bocah itu, rasanya hati Sienna seperti hancur berkeping-keping.

Karena keadaannya yang jadi tidak kondusif, Sienna memutuskan meminta Alvaro untuk menenangkan Gio dengan membawanya pulang. Sienna beberapa kali berusaha menyeka cepat area pelupuk matanya, agar Gio tidak melihat airmatanya yang merembas.

“Sienna, makasih untuk semuanya,” ucap Alvaro.

Sienna terlihat tidak mengerti mengapa tiba-tiba Alvaro mengucapkan kata terima kasih padanya.

“Maksudnya?” Sienna bertanya tentang pertanyaan yang ia juga tidak tahu pasti ke mana arah jawabannya.

Alvaro berdeham sekali dan lelaki itu tersenyum getir. “Makasih karena lo udah ada untuk Gio selama dua bulan terakhir ini. Gue bener-bener terima kasih untuk itu, dan mungkin sekarang saatnya Gio harus ngerti. Kayak yang lo bilang, harus ada saatnya Gio tau kalau lo nggak bisa selalu ada buat dia.”

Kenyataan memang pahit, tapi begitulah adanya.

“Gio, kita pulang yuk. Bunda Sienna mau istirahat,” ujar Alvaro kepada Gio.

“Nggak mau, Papa.”

Gio menahan dirinya di sofa itu. Gio mendekat pada Sienna, menghela tangan Sienna untuk mendekap tubuh mungilnya, seolah tidak ada yang bisa memisahkannya dengan bundaa Siennnanya.

“Al, tolong kasih waktu dulu buat gue dan Gio,” ujar Sienna dengan nada memelasnya.

“Oke, tapi sampai kapan, Sienna?”

“Sebentar aja,” ucap Sienna dengan nada pelannya. Sienna memang tidak tahu kapan ‘sebentar’ tersebut, yang jelas, tidak bisa sekarang dirinya dan Gio harus berpisah.

Gio di sana masih memeluk tubuh Sienna, sampai akhirnya beberapa menit berlalu, anak itu memejamkan matanya dan tertidur di pelukan Sienna. Sienna memperhatikan paras Gio yang tertidur, satu tangan Sienna yang tidak mendekap tubuh Gio, bergerak mengusap pelan puncak kepalanya.

“Sienna, gue boleh tanya sesuatu?” ujar Alvaro. Sienna pun menoleh dan memberi atensinya pada Alvaro.

“Mau tanya apa?”

“Gue penasaran, kenapa lo bisa dengan mudah bikin Gio sayang sama lo?” pertanyaan itu lah yang Alvaro tidak tahu jawabannya sampai sekarang. Meskipun mungkin ia tahu, alasannya hanya satu. Sienna memang mudah membuat orang di sekitarnya menyayanginya. Gadis itu punya daya tarik tersendiri, hingga setelah belasan tahun lalu, Sienna berhasil membuat Alvaro kembali menyukainya.

“Gue nggak tau pasti jawabannya, tapi mungkin karena gue suka menghabiskan waktu sama anak kecil,” aku Sienna kemudian. Sienna lantas berpikir mungkin karena rasa simpatinya terhadap Gio, jadi Sienna rela melakukannya untuk Gio. Sienna bersedia menjadi tempat berbagi kebahagiaan dan juga kesedihan untuk Gio. Selain itu, lelaki di hadapan Sienna saat ini, yang ia ketahui masa depannya, Sienna merasa bahwa ia tidak tega membiarkan Alvaro melalui semuanya sendiri.

Sienna akhirnya sedikit menjelaskan pada Alvaro bahwa Sienna sempat jadi guru TK, jadi ia bisa mudah akrab dengan anak kecil. Alvaro berpikir bahwa itu hal itu cukup masuk akal. Sienna berniat baik membantu di saat anaknya kehilangan sosok peran seorang ibu di hidupnya.

Selang sekitar 20 menit waktu berlalu, Alvaro memutuskan perlahan meraih Gio dari Sienna dan menggendong anaknya yang masih tertidur. Alvaro sedikit menimang anaknya di gendongannya karena takut Gio jadi terbangun dan malah menolak diajak pulang.

Sienna berdiri dari duduknya, ia hendak mengantar Alvaro dan Gio sampai pintu, tapi Alvaro mengatakan agar Sienna lebih baik beristirahat.

“Al,” ucap Sienna sebelum Alvaro melangkah menjauh.

Alvaro kembali berbalik dan menahan langkahnya.

“Tolong pertimbangin ya, kasih gue dan Gio waktu. Kasih waktu paling engga sampai Gio bisa laluin fase adrenarche-nya,” ujar Sienna.

Alvaro pun mengangguk. “Gue sama Gio pulang dulu. Besok juga pasti Gio pengen ketemu sama lo lagi. Dia nggak pernah lupa minta sama gue untuk ketemu sama Bunda Siennanya.”

Seketika mendengar kalimat itu, kedua mata Sienna terlihat berkaca-kaca. Memang benar adanya, perasaan paling indah yang diberkati Tuhan kepada manusia adalah ketika manusia merasa dicintai dan disayangi oleh seseorang. Sienna dan Gio memang tidak memiliki ikatan darah, tapi takdir yang membuat ikatan tidak kasat mata itu, ikatan yang akhirnya dengan lekat menghubungan Sienna dengan Gio.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Jam besuk di rumah sakit tidak lama lagi akan habis. Jadi ketika Alvaro baru datang untuk menjemput Gio, ia langsung mengajak anaknya untuk pulang.

“Gio, ayo kita harus pulang. Papa udah kasih kamu waktu tambahan sepuluh menit, tapi kamu tetep nggak nurut,” ujar Alvaro pada anaknya.

Gio menoleh pada Alvaro, “Papa, Gio masih mau di sini. Gio mau jagain Bunda Sienna.”

Alvaro langsung bertukar pandangan dengan Sienna. “Bukannya jagain, yang ada Bunda Sienna nggak bisa istirahat karena ada kamu,” ucap Alvaro lagi.

Mendengar ucapan Alvaro, Gio bukannya menurut, tapi justru semakin kekeuh tidak ingin pulang. Gio lantas mendekat pada Sienna, bocah itu berada di sisi kiri ranjang rawat dan memegangi tangan Sienna.

“Gio,” ujar Alvaro sekali lagi dengan nada tegasnya.

“Al,” ucap Sienna mengingatkan Alvaro dengan nada pelan. Kemudian Sienna meminta Alvaro coba berbicara dengan Gio dengan nada yang lebih sabar dan pemilihan kata-kata yang lebih tepat.

Alvaro nampak berpikir sejenak sebelum mengucapkan kata-katanya. Beberapa detik berlalu, setelah coba merangkai kata di kepalanya, Alvaro akhirnya berujar, “Gio, kata dokter, Bunda Sienna harus banyak istirahat. Gio mau Bunda Sienna cepat sembuh, kan? Gio bukannya bilang Gio khawatir kalau Bunda Sienna sakit? Biar cepet sembuh, orang yang sakit harus istirahat dengan baik.”

Gio nampak memikirkan kata-kata yang diutarakan Alvaro. Pemahaman anak kecil memang belum sebaik orang dewasa, jadi perlu dijelaskan dengan bahasa yang dapat diterima dengan mudah.

“Oke, Papa. Gio mau pulang sama Papa,” ujar Gio akhirnya.

Setelah mengatakannya, Gio pun berpamitan kepada Sienna. “Bunda, cepet sembuh ya. Bunda istirahat yang banyak,” ucap Gio.

“Iya, Gio. Terima kasih ya,” ujar Sienna sembari sekilas mengusap puncak kepala Gio.

“Sienna, gue sama Gio pulang dulu,” ucap Alvaro sebelum memgajak Gio berlalu.

Sienna mengangguk. “Iya hati-hati.”

Sepeninggalan Alvaro dan Gio dari ruang rawatnya, Sienna terpikirkan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiran tersebut memenuhi kepalanya, yakni tentang hubungannya dengan Gio yang semakin hari semakin jauh. Mulaui ada rasa keterikatan batin antara dirinya dan Gio, yang Sienna tau Gio juga merasakannya. Ada attachment yang tidak bisa Sienna pungkiri, dan itu membuatnya semakin berat untuk melepas Gio. Namun Sienna harus melakukannya, itu demi kebaikan mereka bersama. Meskipun terasa sulit, Sienna akan mencobanya. Sienna tidak ingin semakin jauh dan semakin lama, karena jika demikian, kemungkinan Gio akan merasa lebih sakit lagi.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Siang ini Alvaro menjemput Gio di sekolahnya. Alvaro rupanya datang lebih cepat, jadi ia harus menunggu Gio keluar dari kelasnya. Alvaro menunggu di depan kelas dengan pintu biru yang bertuliskan 1-A. Di sana terdapat juga beberapa orang tua murid yang hendak menjemput anaknya.

Beberapa orang menatap ke arah Alvaro selama sepersekian detik, lalu mengulaskan senyum, dan bahkan ada yang mengenalinya, lalu mereka meminta foto dan tanda tangan. Tidak lama kemudian, saat pintu kelas di hadapannya terbuka, Alvaro segera mencari sosok anaknya.

“Papa!” ujaran yang terdengar fameliar itu langsung membuat Alvaro menoleh. Alvaro mendapati sosok anaknya yang sedikit berlari ke arahnya.

“Hei, Jagoan.”

“Hai, Papa. Kita hari ini jadi pergi sama bunda Sienna, kan?” Gio bertanya dengan nadanya yang terdengar antusias.

“Jadi, dong. Papa udah bawain perlengkapan skuter kamu,” jawab Alvaro.

“Oke, Papa.”

“Let’s go, kita jemput bunda Sienna dulu,” Alvaro memberikan tangannya untuk kemudian disambut oleh Gio.

Hanya dengan mendengar nama Sienna dan mengetahui aktivitas yang akan mereka lakukan bersama, Gio dapat sebahagia ini. Kebahagiaan Alvaro rasanya lebih dari cukup saat anaknya merasa bahagia.

***

Alvaro baru saja kembali mengirim pesan pada Sienna untuk mengabari bahwa dirinya dan Gio telah sampai. Sienna meminta Alvaro dan Gio menunggu karena ia sedang bersiap-siap dan segera keluar dari studio makeup-nya.

Selagi Sienna belum menampakkan batang hidungnya, Alvaro mengarahkan kaca kecil di mobilnya ke arah wajahnya. Alvaro menatap pantulan parasnya di sana, dan aksinya itu membuat Gio menatap ke arahnya dan lantas berceletuk. “Papa hari ini rapi banget,” komentar Gio.

“Rapi gimana?” tanya Alvaro. Lelaki itu masih menatap pantulan dirinya di cermin, satu tangannya digunakan untuk menyisir rambutnya ke belakang. Padahal rambutnya sudah tampak rapi, tapi Alvaro beberapa kali merapikan tatanan rambutnya.

“Papa pake baju bagus kayak mau kerja aja. Padahal kan kita cuma main main skuter di taman,” ujar Gio.

Alvaro lalu menoleh pada Gio dan memperlihatkan penampilannya hari ini. “Papa juga biasanya kayak gini, Gio,” kilah Alvaro.

Kedua alis Gio lantas nampak tertaut, tapi karena tidak ingin ambil pusing dan otaknya belum sampai, jadi Gio membiarkannya sampai di sana. Di dalam hatinya, Alvaro mempertanyakan tentang tingkahnya hari ini. Dari mulai erlalu cepat menjemput Gio, berpenampilan rapi, terus apa lagi kemudian? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, untuk apa Alvaro melakukannya? Biasanya ia tidak seperti ini.

Tiba-tiba di tengah perdebatan batinnya, Alvaro mengambil sebuah parfum miliknya yang ada di dasbor mobil. Alvaro menggunakan parfum itu di tubuhnya, di sisi lengan kanan dan kiri, dan terakhir di pergelangan tangannya di dekat nadi.

Saat Alvaro melihat sosok Sienna yang baru saja keluar dari gedung dan melangkah ke arah mobilnya, Alvaro segera membuka kunci pintu mobil. Jadi ketika Sienna sampai, pintu di samping kemudi langsung dapat dibuka.

“Sorry yaa, jadi harus nungguin,” ujar Sienna ketika perempuan itu sudah duduk di kursi samping kemudi.

“Nggak papa Bunda,” sahut Gio cepat. Gio yang duduk di kursi belakang membuat Sienna seketika menoleh ke arahnya.

“Oke. Hari ini mau ke mana dan ngapain aja?” tanya Sienna sembari bergantian menatap Alvaro dan Gio.

“Sebelum main skuter di taman, kita makan siang dulu, gimana?” celetuk Alvaro.

“Oh iya, oke boleh. Ini udah jam makan siang, mending kita makan dulu,” ucap Sienna kemudian. Kali ini Sienna yang kebagian memilih jenis makanan sebagai menu makan siang mereka. Sebelumnya mereka selalu menuruti keinginan Gio, dan sekali mengikuti keinginan Alvaro, jadi kali ini giliran Sienna.

“Oke, kita ambil jalan tengah aja. Gimana kalau western food, semua suka, kan?” Sienna memutuskannya demikian.

“Suka,” sahut Alvaro dan Gio berbarengan.

Sienna mengangguk kemudian dan ia sedikit tertawa. Melihat kekompakan Alvaro dan Gio, ketimbang perdebatan, rasanya sungguh indah.

“Oke, kita cari restoran western food kalau gitu,” putus Alvaro sebelum mulai memanuver mobilnya.

***

Setelah puas mengisi perut di restoran western yang ada di sebuah mall, Alvaro, Gio, dan Sienna hendak pergi dari tempat itu. Namun ketika keluar dari restoran, ada beberapa orang yang mengenali Alvaro dan meminta untuk berfoto dengannya. Alvaro mengizinkannya, tapi ketika mereka meminta berfoto dengan anaknya, Alvaro berujar demikian. “Maaf ya, tapi saya tidak mengizinkan anak saya untuk berfoto, karena anak saya bukan public figure.”

Kemudian Alvaro meminta Sienna dan Gio lebih dulu menuju parkiran mobil. Alvaro mengatakan akan menyusul mereka, setelah urusannya selesai. Sienna hanya mengangguk dan menerima kunci mobil yang diberikan Alvaro padanya.

Saat Sienna sampai di mobil bersama Gio, Gio mengatakan sesuatu padanya. “Hari ini papa aneh deh, Bunda.”

“Aneh? Aneh … gimana?” tanya Sienna dengan nada agak ragu.

“Papa pakai baju rapi banget, kayak mau kerja. Padahal biasanya kalau pergi doang, nggak kayak gitu. Terus tadi pas Bunda belum dateng, papa pake parfum banyak banget. Sampe mobilnya jadi wangi, Bunda kecium juga nggak wanginya?”

“Kayaknya papanya Gio kan dikenal banyak orang, mungkin karena itu ya? Jadi papanya Gio harus tampil rapi dan wangi.”

“Ohh iya juga sih Bunda. Papa selalu dimintain foto kalau ketemu sama orang-orang gitu.”

Sienna hanya mengangguk menyetujui argumennya sendiri dan perkataan Gio. Ucapan Gio membuat Sienna menyadarinya. Penampilan Alvaro hari ini memang tampak berbeda dari biasanya. Namun Sienna tidak terpikirkan ke mana pun. Mungkin karena mereka akan pergi ke tempat umum yang cukup rami dan Alvaro dikenal oleh banyak orang, jadi Alvaro ingin berpenampilan rapi. Itu merupakan alasan yang kemungkinannya kebenarannya sangat besar, dan Sienna yakin sekali bahwa dugaannya benar.

***

Sebelum menuju taman yang tidak jauh posisinya dari parkiran mobil, Alvaro mengambilkan scooter lipat milik Gio dari bagasi mobil. Saat Alvaro telah menurunkan scooter dan sebuah helm, tidak lama Sienna dan Gio kembali.

Sienna baru saja membantu Gio mengganti seragam sekolahnya dengan setelan santai, yakni sebuah kaus dan celana pendek.

“Gio, nanti main skuternya hati-hati ya. Tadi Papa lupa bilang ke mbak Gina kalau harusnya bawain celana panjang untuk Gio,” ucap Alvaro.

“Siap, Papa. Gio udah bisa kok main skuternya,” ucap Gio.

Sienna memperhatikan Alvaro yang kembali mengambil sesuatu dari bagasi mobilnya. Alvaro meminta Gio menunggu di saat anaknya sudah tidak sabar bermain. Begitu Alvaro mengeluarkan sebuah benda yang diketahui Sienna adalah sebuah hoverboard, Sienna kemudian berceletuk, “Jadi bukan Gio doang yang mau main di taman.”

Hoverboard

Mendengar ujaran itu, Alvaro seketika menoleh pada Sienna. Alvaro yang menatap Sienna tepat di manik matanya, itu membuat Sienna seketika mengalihkan perhatiannya kepada Gio. Sienna berjalan menyusul Gio dan meninggalkan Alvaro beberapa langkah di belakang.

Langkah Sienna dapat dengan cepat disusul oleh Alvaro, pasalnya Alvaro mengendarai hoverboard-nya dan kini telah berhasil mensejajarkan posisinya dengan Sienna.

“Sienna,” panggil Alvaro.

Sienna menoleh pada Alvaro, “Kenapa?”

“Skuternya Gio nggak bisa untuk orang dewasa.”

“Terus?”

“Kalau hoverboard ini bisa. Lo mau coba?”

Sienna menghentikan langkahnya, otomatis Alvaro juga mengerem hoverboard-nya dan berhenti di sana.

“Gue belum pernah coba main hoverboard. Gue nggak bisa, takut jatuh,” ujar Sienna.

“Gue bakal ajarin lo. Gimana?”

***

Taman kota milik pemerintah yang berada tidak jauh dari pemukiman warga, memang sengaja dibuat untuk digunakan sebagai sarana umum bagi penduduk sekitar. Kebanyakan orang yang ada di sana menghabiskan waktu santai mereka dengan berjalan-jalan sambil menikmati suasana sore yang sejuk. Ada yang bermain sepeda, dan ada juga yang melakukan piknik kecil-kecilan di area berumput.

Hari ini langit nampak cerah berwarna biru muda. Sudah sekitar 2 jam berlalu, tapi Alvaro, Gio dan Sienna masih nampak betah bersenang-senang di taman itu.

Gio semangat sekali saat akhirnya Sienna ingin mencoba mengendarai hoverboard-nya. Awalnya Sienna memang enggan karena ia sungguhan takut. Namun karena penasaran, akhirnya Sienna mau mencoba.

“Bundaaa semangat, ayoo Bunda pasti bisa!” seru Gio menyemangati Sienna.

Sienna mengacungkan ibu jarinya sebelum akhirnya ia menghampiri Alvaro. Alvaro kemudian turun dari hoverboard-nya, lalu ia mulai menginstruksikan pada Sienna cara menaiki benda itu.

“Lo naik dulu dan karena baru pertama, gue akan pegangin lo,” ujar Alvaro.

Sienna mengangguk mengerti, lalu ia mulai menapakkan satu kakinya di atas pijakan hoverboard, dan disusul dengan satu kakinya yang lain. Ketika kedua kaki Sienna sudah berada di atas, benda itu sedikit bergoyang dan karena Sienna belum bisa seimbang, Alvaro membantunya dengan memegang tangannya.

“Rasanya kayak mau jatuh, gue takut,” cicit Sienna.

Alvaro sontak tertawa melihat ekspresi Sienna. “Lo nggak perlu takut, Sienna. Gue jagain,” ujar Alvaro menenangkan Sienna.

“Untuk jalanainnya, lo injek gas yang ada bagian tengah. Untuk remnya lo injek yang bagian belakang,” terang Alvaro kepada Sienna.

“Oke.”

Setelah itu Sienna mulai mencoba, sesuai dengan apa yang diinstruksikan Alvaro. Sienna berusaha membuat tubuhnya seimbang saat ia mulai melaju dengan benda itu. Masih dengan injakan gas yang pelan, Sienna mulai melaju dan Alvaro masih menjaganya di depannya.

Gio menyusul Sienna dan Alvaro menggunakan skuternya, bocah itu sangat antusias melihat Sienna berani mencoba dan mulai bisa, padahal sebelumnya Sienna enggan melakukannya.

“Gio, liat Bunda udah bisa nih,” ujar Sienna dengan ekspresi bahagianya.

“Seru kan, Bunda?”

“Seru banget ternyata,” cetus Sienna.

“Al, lepas aja. Gue mau coba sendiri,” ujar Sienna pada Alvaro yang kini masih memeganginya.

“Lo yakin?” Alvaro bertanya dengan nada sangsi.

“Gue udah bisa, Al. Lo liat nih,” ucap Sienna berusaha meyakinkan Alvaro.

“Oke, gue coba lepas ya,” putus Alvaro kemudian.

Sienna mengacungkan ibu jarinya agar lebih meyakinkan. Akhirnya secara perlahan Alvaro mulai melepaskan pegangannya pada tangan Sienna. Namun Alvaro tidak jauh-jauh dari Sienna dan masih mengikutinya.

“Sienna, pelan-pelan,” peringat Alvaro lagi.

“Papa, Bunda udah bisa. Papa harus yakin,” cetus Gio.

“Tapi tetep aja, kalau jatoh bahaya,” ucap Alvaro.

Alvaro masih menjaga Sienna dan setia berada di dekatnya. Beberapa kali saat Sienna kurang seimbang, Alvaro dengan sigap menahannya agar Sienna tidak terjatuh.

Sienna tertawa mendapati dirinya hampir saja terjerembap ke tanah. Sienna memang takut jatuh, tapi sepertinya Alvaro lebih takut. “Kalau jatoh paling lecet,” ujar Sienna.

“Kalau lecet lutut mending, kalau kepala gimana?” balas Alvaro.

“Al, lepas aja. Gue bisa sendiri, beneran deh,” Sienna kekeuh meminta Alvaro melepasnya.

Alvaro menatap Sienna dengan sangsi, tapi akhirnya ia mengizinkan Sienna menjalankannya hoverboard sendiri. Saat akhirnya Alvaro melepaskan Sienna lagi, Sienna kembali tidak seimbang di atas hoverboard. Hampir saja Sienna terjatuh, tapi untungnya Alvaro cepat tanggap menahannya sehingga Sienna tetap aman.

Kini giliran Alvaro yang tertawa. “Tuh kan, lo hampir jatoh tadi,” ucapnya.

“Kalau jatoh juga wajar, Al. Namanya juga belajar,” Sienna berkelit lagi. Padahal Sienna takut jatuh, tapi Sienna sudah memutuskan, jadi harus siap menanggung resikonya.

Ekspresi wajah Sienna justru membuat Alvaro tidak sanggup menahan senyuman di wajahnya. Di suasana sore dengan matahari yang tidak terlalu bersinar terik itu, Alvaro mendapati paras Sienna tepat di depan netranya. Paras cantik alami itu nyatanya tidak berubah dari dulu. Sienna yang sederhana dan selalu bersikap apa adanya. Peringai Sienna tersebut, membuat dunia Alvaro serasa behenti berputar selama beberapa detik.

Alvaro tidak pernah meyangka ia dapat bertemu Sienna lagi dan berinteraksi dengannya. Alvaro ingat dulu saat sekolah, jaraknya dengan Sienna layaknya seperti bumi dan matahari. Sienna adalah idola bagi para anak lelaki di sekolahnya, dan Alvaro punya banyak saingan yang lebih unggul darinya yang mendekati Sienna.

“Mau sendiri apa gue pegangin?” tanya Alvaro kemudian.

“Hmm … pegangin sekali deh habis itu lepasin ya,” putus Sienna.

“Oke.”

Sienna mulai menginjak gas pelan-pelan dengan Alvaro yang memegang kedua tangannya di depannya. Sienna tersenyum senang begitu benda itu mulai bergerak, rasanya ternyata menyenangkan. Angin semilir menyapa rambut dan kulit wajahnya, dan Sienna bangga mendapati dirinya berani melawan rasa takutnya.

Ketika Sienna melihat ke depan, jelas ia hanya dapat melihat Alvaro sebagai pemandangannya. Sienna seketika tercekat. Sienna hanya menatap ke satu objek, yakni Alvaro. Sienna berusaha menepis pikirannya, saat dirinya memuji Alvaro di dalam hatinya. Di mata Sienna, sosok Alvaro kini nampak sederhana tapi berhasil menarik atensinya. Alvaro terlihat berkharisma di mata Sienna, dan tidak dapat dipungkiri kalau lelaki ini memang tampan.

“Sienna, gue lepas ya?”

“Ya?” Sienna sukes terbuyarkan lamunannya berkat pertanyaan Alvaro.

“Iya, lepas aja,” lanjut Sienna dengan cepat.

Alvaro lantas menatap Sienna dan memperhatikannya. “Fokus liat ke depan, Sienna. Nanti lo jatoh kalau nggak fokus,” tutur Alvaro.

Sienna mengangguk mengiyakan. Kemudian perlahan Alvaro mulai menjauh dari Sienna. Netra Alvaro masih tetap fokus mengawasi Sienna, meskipun tadi fokusnya sempat terpecah. Alvaro merasakan jantungnya berdegup kencang ketika mendapati Sienna menatapnya. Perasaan tersebut harusnya untuk orang yang tengah dilanda asmara. Alvaro pun menyadari sesuatu, bahwa ia kembali mendapati perasaan itu terhadap sosok baru, setelah hatinya terasa mati sejak kepergian Marsha.

“Al,” panggil Sienna.

“Papa,” panggilan itu terdengar lagi kali ini oleh Gio.

Alvaro baru menoleh dan sadar bahwa Sienna telah berhenti di depannya dengan hoverboard-nya. Sienna tampak mulai mahir mengendarai benda itu.

“Bunda udah lancar lho Pah, Bunda keren banget,” ceplos Gio memecah keheningan itu.

Alvaro mengulaskan senyumnya. “Masih mau main lagi atau pulang?” tanya Alvaro kemudian.

Akhirnya mereka sepakat untuk pulang karena hari memang sudah cukup sore. Mereka juga sudah lumayan lelah. Alvaro mengajari Sienna, Sienna belajar hal baru, dan Gio yang sudah mengitari taman menggunakan skuternya dengan mahir. Jadi untuk hari ini dirasa cukup bermain-mainnya.

Saat menuju mobil, Alvaro mengendarai hoverboard-nya. Sienna berjalan di sisinya, sehingga Alvaro memelankan laju hoverboard-nya.

“Al, makasih udah ngajarin gue,” ucap Sienna sambil terkekeh pelan.

Alvaro menoleh pada Sienna dan hanya menatapnya. Sienna yang mendapati Alvaro menatapnya seperti ini, jadi terlihat sedikit gugup.

“Al, liat ke depan. Nanti lo jatoh,” celetuk Sienna.

“Nggak bakal jatoh,” ucap Alvaro.

“Yakin? Kalau jatoh, tetep aja lecet, kan?”

“Iya, Sienna,” ujar Alvaro yang tidak kuasa menahan tawanya. Tawa itu langsung disusul oleh tawa kecil Sienna.

Sore ini diakhiri dengan Alvaro merasa bahagia, sebuah perasaan yang sudah beberapa bulan terakhir tidak ia rasakan di hidupnya. Kebahagiaan yang sempat hilang itu, kini Alvaro kembali mendapatkannya. Alvaro pun bertanya-tanya pada Tuhan. Mengapa Tuhan masih begitu baik padanya, setelah dirinya banyak melakukan kesalahan bertahun-tahun lalu? Alvaro telah berbuat dosa dengan berhubungan bersama Marsha sebelum menikah, yang kini jika Alvaro terpikir akan hal tersebut, Alvaro merasa menyesal.

Alvaro sadar bahwa Tuhan begitu baik telah memberi kesempatan hari ini terjadi padanya. Alvaro merasa bahagia, dirinya dapat menghabiskan waktu bersama anaknya dan juga seseorang yang perlahan mulai mengisi ruang di dalam hatinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Siang ini Alvaro menjemput Gio di sekolahnya. Alvaro rupanya datang lebih cepat, jadi ia harus menunggu Gio keluar dari kelasnya. Alvaro menunggu di depan kelas dengan pintu biru yang bertuliskan 1-A. Di sana terdapat juga beberapa orang tua murid yang hendak menjemput anaknya.

Beberapa orang menatap ke arah Alvaro selama sepersekian detik, lalu mengulaskan senyum, dan bahkan ada yang mengenalinya, lalu mereka meminta foto dan tanda tangan. Tidak lama kemudian, saat pintu kelas di hadapannya terbuka, Alvaro segera mencari sosok anaknya.

“Papa!” ujaran yang terdengar fameliar itu langsung membuat Alvaro menoleh. Alvaro mendapati sosok anaknya yang sedikit berlari ke arahnya.

“Hei, Jagoan.”

“Hai, Papa. Kita hari ini jadi pergi sama bunda Sienna, kan?” Gio bertanya dengan nadanya yang terdengar antusias.

“Jadi, dong. Papa udah bawain perlengkapan skuter kamu,” jawab Alvaro.

“Oke, Papa.”

“Let’s go, kita jemput bunda Sienna dulu,” Alvaro memberikan tangannya untuk kemudian disambut oleh Gio.

Hanya dengan mendengar nama Sienna dan mengetahui aktivitas yang akan mereka lakukan bersama, Gio dapat sebahagia ini. Kebahagiaan Alvaro rasanya lebih dari cukup saat anaknya merasa bahagia.

***

Alvaro baru saja kembali mengirim pesan pada Sienna untuk mengabari bahwa dirinya dan Gio telah sampai. Sienna meminta Alvaro dan Gio menunggu karena ia sedang bersiap-siap dan segera keluar dari studio makeup-nya.

Selagi Sienna belum menampakkan batang hidungnya, Alvaro mengarahkan kaca kecil di mobilnya ke arah wajahnya. Alvaro menatap pantulan parasnya di sana, dan aksinya itu membuat Gio menatap ke arahnya dan lantas berceletuk. “Papa hari ini rapi banget,” komentar Gio.

“Rapi gimana?” tanya Alvaro. Lelaki itu masih menatap pantulan dirinya di cermin, satu tangannya digunakan untuk menyisir rambutnya ke belakang. Padahal rambutnya sudah tampak rapi, tapi Alvaro beberapa kali merapikan tatanan rambutnya.

“Papa pake baju bagus kayak mau kerja aja. Padahal kan kita cuma main main skuter di taman,” ujar Gio.

Alvaro lalu menoleh pada Gio dan memperlihatkan penampilannya hari ini. “Papa juga biasanya kayak gini, Gio,” kilah Alvaro.

Kedua alis Gio lantas nampak tertaut, tapi karena tidak ingin ambil pusing dan otaknya belum sampai, jadi Gio membiarkannya sampai di sana. Di dalam hatinya, Alvaro mempertanyakan tentang tingkahnya hari ini. Dari mulai erlalu cepat menjemput Gio, berpenampilan rapi, terus apa lagi kemudian? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, untuk apa Alvaro melakukannya? Biasanya ia tidak seperti ini.

Tiba-tiba di tengah perdebatan batinnya, Alvaro mengambil sebuah parfum miliknya yang ada di dasbor mobil. Alvaro menggunakan parfum itu di tubuhnya, di sisi lengan kanan dan kiri, dan terakhir di pergelangan tangannya di dekat nadi.

Saat Alvaro melihat sosok Sienna yang baru saja keluar dari gedung dan melangkah ke arah mobilnya, Alvaro segera membuka kunci pintu mobil. Jadi ketika Sienna sampai, pintu di samping kemudi langsung dapat dibuka.

“Sorry yaa, jadi harus nungguin,” ujar Sienna ketika perempuan itu sudah duduk di kursi samping kemudi.

“Nggak papa Bunda,” sahut Gio cepat. Gio yang duduk di kursi belakang membuat Sienna seketika menoleh ke arahnya.

“Oke. Hari ini mau ke mana dan ngapain aja?” tanya Sienna sembari bergantian menatap Alvaro dan Gio.

“Sebelum main skuter di taman, kita makan siang dulu, gimana?” celetuk Alvaro.

“Oh iya, oke boleh. Ini udah jam makan siang, mending kita makan dulu,” ucap Sienna kemudian. Kali ini Sienna yang kebagian memilih jenis makanan sebagai menu makan siang mereka. Sebelumnya mereka selalu menuruti keinginan Gio, dan sekali mengikuti keinginan Alvaro, jadi kali ini giliran Sienna.

“Oke, kita ambil jalan tengah aja. Gimana kalau western food, semua suka, kan?” Sienna memutuskannya demikian.

“Suka,” sahut Alvaro dan Gio berbarengan.

Sienna mengangguk kemudian dan ia sedikit tertawa. Melihat kekompakan Alvaro dan Gio, ketimbang perdebatan, rasanya sungguh indah.

“Oke, kita cari restoran western food kalau gitu,” putus Alvaro sebelum mulai memanuver mobilnya.

***

Setelah puas mengisi perut di restoran western yang ada di sebuah mall, Alvaro, Gio, dan Sienna hendak pergi dari tempat itu. Namun ketika keluar dari restoran, ada beberapa orang yang mengenali Alvaro dan meminta untuk berfoto dengannya. Alvaro mengizinkannya, tapi ketika mereka meminta berfoto dengan anaknya, Alvaro berujar demikian. “Maaf ya, tapi saya tidak mengizinkan anak saya untuk berfoto, karena anak saya bukan public figure.”

Kemudian Alvaro meminta Sienna dan Gio lebih dulu menuju parkiran mobil. Alvaro mengatakan akan menyusul mereka, setelah urusannya selesai. Sienna hanya mengangguk dan menerima kunci mobil yang diberikan Alvaro padanya.

Saat Sienna sampai di mobil bersama Gio, Gio mengatakan sesuatu padanya. “Hari ini papa aneh deh, Bunda.”

“Aneh? Aneh … gimana?” tanya Sienna dengan nada agak ragu.

“Papa pakai baju rapi banget, kayak mau kerja. Padahal biasanya kalau pergi doang, nggak kayak gitu. Terus tadi pas Bunda belum dateng, papa pake parfum banyak banget. Sampe mobilnya jadi wangi, Bunda kecium juga nggak wanginya?”

“Oh gitu ya. Hmm … papanya Gio kan dikenal banyak orang, mungkin karena itu ya?”

“Ohh iya juga sih Bunda. Papa selalu dimintain foto kalau ketemu sama orang-orang gitu.”

Sienna hanya mengangguk menyetujui argumennya sendiri dan perkataan Gio. Ucapan Gio membuat Sienna menyadarinya. Penampilan Alvaro hari ini memang tampak berbeda dari biasanya. Namun Sienna tidak terpikirkan ke mana pun. Mungkin karena mereka akan pergi ke tempat umum yang cukup rami dan Alvaro dikenal oleh banyak orang, jadi Alvaro ingin berpenampilan rapi. Itu merupakan alasan yang kemungkinannya kebenarannya sangat besar, dan Sienna yakin sekali bahwa dugaannya benar.

***

Sebelum menuju taman yang tidak jauh posisinya dari parkiran mobil, Alvaro mengambilkan scooter lipat milik Gio dari bagasi mobil. Saat Alvaro telah menurunkan scooter dan sebuah helm, tidak lama Sienna dan Gio kembali.

Sienna baru saja membantu Gio mengganti seragam sekolahnya dengan setelan santai, yakni sebuah kaus dan celana pendek.

“Gio, nanti main skuternya hati-hati ya. Tadi Papa lupa bilang ke mbak Gina kalau harusnya bawain celana panjang untuk Gio,” ucap Alvaro.

“Siap, Papa. Gio udah bisa kok main skuternya,” ucap Gio.

Sienna memperhatikan Alvaro yang kembali mengambil sesuatu dari bagasi mobilnya. Alvaro meminta Gio menunggu di saat anaknya sudah tidak sabar bermain. Begitu Alvaro mengeluarkan sebuah benda yang diketahui Sienna adalah sebuah hoverboard, Sienna kemudian berceletuk, “Jadi bukan Gio doang yang mau main di taman.”

Hoverboard

Mendengar ujaran itu, Alvaro seketika menoleh pada Sienna. Alvaro yang menatap Sienna tepat di manik matanya, itu membuat Sienna seketika mengalihkan perhatiannya kepada Gio. Sienna berjalan menyusul Gio dan meninggalkan Alvaro beberapa langkah di belakang.

Langkah Sienna dapat dengan cepat disusul oleh Alvaro, pasalnya Alvaro mengendarai hoverboard-nya dan kini telah berhasil mensejajarkan posisinya dengan Sienna.

“Sienna,” panggil Alvaro.

Sienna menoleh pada Alvaro, “Kenapa?”

“Skuternya Gio nggak bisa untuk orang dewasa.”

“Terus?”

“Kalau hoverboard ini bisa. Lo mau coba?”

Sienna menghentikan langkahnya, otomatis Alvaro juga mengerem hoverboard-nya dan berhenti di sana.

“Gue belum pernah coba main hoverboard. Gue nggak bisa, takut jatuh,” ujar Sienna.

“Gue akan ajarin lo. Gimana?”

***

Taman kota milik pemerintah yang berada tidak jauh dari pemukiman warga, memang sengaja dibuat untuk digunakan sebagai sarana umum bagi penduduk sekitar. Kebanyakan orang yang ada di sana menghabiskan waktu santai mereka dengan berjalan-jalan sambil menikmati suasana sore yang sejuk. Ada yang bermain sepeda, dan ada juga yang melakukan piknik kecil-kecilan di area berumput.

Hari ini langit nampak cerah berwarna biru muda. Sudah sekitar 2 jam berlalu, tapi Alvaro, Gio dan Sienna masih nampak betah bersenang-senang di taman itu.

Gio semangat sekali saat akhirnya Sienna ingin mencoba mengendarai hoverboard-nya. Awalnya Sienna memang enggan karena ia sungguhan takut. Namun karena penasaran, akhirnya Sienna mau mencoba.

“Bundaaa semangat, ayoo Bunda pasti bisa!” seru Gio menyemangati Sienna.

Sienna mengacungkan ibu jarinya sebelum akhirnya ia menghampiri Alvaro. Alvaro kemudian turun dari hoverboard-nya, lalu ia mulai menginstruksikan pada Sienna cara menaiki benda itu.

“Lo naik dulu dan karena baru pertama, gue akan pegangin lo,” ujar Alvaro.

Sienna mengangguk mengerti, lalu ia mulai menapakkan satu kakinya di atas pijakan hoverboard, dan disusul dengan satu kakinya yang lain. Ketika kedua kaki Sienna sudah berada di atas, benda itu sedikit bergoyang dan karena Sienna belum bisa seimbang, Alvaro membantunya dengan memegang tangannya.

“Rasanya kayak mau jatuh, gue takut,” cicit Sienna.

Alvaro sontak tertawa melihat ekspresi Sienna. “Lo nggak perlu takut, Sienna. Gue jagain,” ujar Alvaro menenangkan Sienna.

“Untuk jalanainnya, lo injek gas yang ada bagian tengah. Untuk remnya lo injek yang bagian belakang,” terang Alvaro kepada Sienna.

“Oke.”

Setelah itu Sienna mulai mencoba, sesuai dengan apa yang diinstruksikan Alvaro. Sienna berusaha membuat tubuhnya seimbang saat ia mulai melaju dengan benda itu. Masih dengan injakan gas yang pelan, Sienna mulai melaju dan Alvaro masih menjaganya di depannya.

Gio menyusul Sienna dan Alvaro menggunakan skuternya, bocah itu sangat antusias melihat Sienna berani mencoba dan mulai bisa, padahal sebelumnya Sienna enggan melakukannya.

“Gio, liat Bunda udah bisa nih,” ujar Sienna dengan ekspresi bahagianya.

“Seru kan, Bunda?”

“Seru banget ternyata,” cetus Sienna.

“Al, lepas aja. Gue mau coba sendiri,” ujar Sienna pada Alvaro yang kini masih memeganginya.

“Lo yakin?” Alvaro bertanya dengan nada sangsi.

“Gue udah bisa, Al. Lo liat nih,” ucap Sienna berusaha meyakinkan Alvaro.

“Oke, gue coba lepas ya,” putus Alvaro kemudian.

Sienna mengacungkan ibu jarinya agar lebih meyakinkan. Akhirnya secara perlahan Alvaro mulai melepaskan pegangannya pada tangan Sienna. Namun Alvaro tidak jauh-jauh dari Sienna dan masih mengikutinya.

“Sienna, pelan-pelan,” peringat Alvaro lagi.

“Papa, Bunda udah bisa. Papa harus yakin,” cetus Gio.

“Tapi tetep aja, kalau jatoh bahaya,” ucap Alvaro.

Alvaro masih menjaga Sienna dan setia berada di dekatnya. Beberapa kali saat Sienna kurang seimbang, Alvaro dengan sigap menahannya agar Sienna tidak terjatuh.

Sienna tertawa mendapati dirinya hampir saja terjerembap ke tanah. Sienna memang takut jatuh, tapi sepertinya Alvaro lebih takut. “Kalau jatoh paling lecet,” ujar Sienna.

“Kalau lecet lutut mending, kalau kepala gimana?” balas Alvaro.

“Al, lepas aja. Gue bisa sendiri, beneran deh,” Sienna kekeuh meminta Alvaro melepasnya.

Alvaro menatap Sienna dengan sangsi, tapi akhirnya ia mengizinkan Sienna menjalankannya hoverboard sendiri. Saat akhirnya Alvaro melepaskan Sienna lagi, Sienna kembali tidak seimbang di atas hoverboard. Hampir saja Sienna terjatuh, tapi untungnya Alvaro cepat tanggap menahannya sehingga Sienna tetap aman.

Kini giliran Alvaro yang tertawa. “Tuh kan, lo hampir jatoh tadi,” ucapnya.

“Kalau jatoh juga wajar, Al. Namanya juga belajar,” Sienna berkelit lagi. Padahal Sienna takut jatuh, tapi Sienna sudah memutuskan, jadi harus siap menanggung resikonya.

Ekspresi wajah Sienna justru membuat Alvaro tidak sanggup menahan senyuman di wajahnya. Di suasana sore dengan matahari yang tidak terlalu bersinar terik itu, Alvaro mendapati paras Sienna tepat di depan netranya. Paras cantik alami itu nyatanya tidak berubah dari dulu. Sienna yang sederhana dan selalu bersikap apa adanya. Peringai Sienna tersebut, membuat dunia Alvaro serasa behenti berputar selama beberapa detik.

Alvaro tidak pernah meyangka ia dapat bertemu Sienna lagi dan berinteraksi dengannya. Alvaro ingat dulu saat sekolah, jaraknya dengan Sienna layaknya seperti bumi dan matahari. Sienna adalah idola bagi para anak lelaki di sekolahnya, dan Alvaro punya banyak saingan yang lebih unggul darinya yang mendekati Sienna.

“Mau sendiri apa gue pegangin?” tanya Alvaro kemudian.

“Hmm … pegangin sekali deh habis itu lepasin ya,” putus Sienna.

“Oke.”

Sienna mulai menginjak gas pelan-pelan dengan Alvaro yang memegang kedua tangannya di depannya. Sienna tersenyum senang begitu benda itu mulai bergerak, rasanya ternyata menyenangkan. Angin semilir menyapa rambut dan kulit wajahnya, dan Sienna bangga mendapati dirinya berani melawan rasa takutnya.

Ketika Sienna melihat ke depan, jelas ia hanya dapat melihat Alvaro sebagai pemandangannya. Sienna seketika tercekat. Sienna hanya menatap ke satu objek, yakni Alvaro. Sienna berusaha menepis pikirannya, saat dirinya memuji Alvaro di dalam hatinya. Di mata Sienna, sosok Alvaro kini nampak sederhana tapi berhasil menarik atensinya. Alvaro terlihat berkharisma di mata Sienna, dan tidak dapat dipungkiri kalau lelaki ini memang tampan.

“Sienna, gue lepas ya?”

“Ya?” Sienna sukes terbuyarkan lamunannya berkat pertanyaan Alvaro.

“Iya, lepas aja,” lanjut Sienna dengan cepat.

Alvaro lantas menatap Sienna dan memperhatikannya. “Fokus liat ke depan, Sienna. Nanti lo jatoh kalau nggak fokus,” tutur Alvaro.

Sienna mengangguk mengiyakan. Kemudian perlahan Alvaro mulai menjauh dari Sienna. Netra Alvaro masih tetap fokus mengawasi Sienna, meskipun tadi fokusnya sempat terpecah. Alvaro merasakan jantungnya berdegup kencang ketika mendapati Sienna menatapnya. Perasaan tersebut seharusnya untuk orang yang tengah dilanda asmara. Alvaro menyadari sesuatu, bahwa ia kembali mendapati perasaan itu, setelah hatinya terasa mati sejak kepergian Marsha.

“Al,” panggil Sienna.

“Papa,” panggilan itu terdengar lagi kali ini oleh Gio.

Alvaro baru menoleh dan sadar bahwa Sienna telah berhenti di depannya dengan hoverboard-nya. Sienna tampak mulai mahir mengendarai benda itu.

“Bunda udah lancar lho Pah, Bunda keren banget,” ceplos Gio memecah keheningan itu.

Alvaro mengulaskan senyumnya. “Masih mau main lagi atau pulang?” tanya Alvaro kemudian.

Akhirnya mereka sepakat untuk pulang karena hari memang sudah cukup sore. Mereka juga sudah lumayan lelah. Alvaro mengajari Sienna, Sienna belajar hal baru, dan Gio yang sudah mengitari taman menggunakan skuternya dengan mahir. Jadi untuk hari ini dirasa cukup bermain-mainnya.

Saat menuju mobil, Alvaro mengendarai hoverboard-nya. Sienna berjalan di sisinya, sehingga Alvaro memelankan laju hoverboard-nya.

“Al, makasih udah ngajarin gue,” ucap Sienna sambil terkekeh pelan.

Alvaro menoleh pada Sienna dan hanya menatapnya. Sienna yang mendapati Alvaro menatapnya seperti ini, jadi terlihat sedikit gugup.

“Al, liat ke depan. Nanti lo jatoh,” celetuk Sienna.

“Nggak bakal jatoh,” ucap Alvaro.

“Yakin? Kalau jatoh, tetep aja lecet, kan?”

“Iya, Sienna,” ujar Alvaro yang tidak kuasa menahan tawanya. Tawa itu langsung disusul oleh tawa kecil Sienna.

Sore ini diakhiri dengan Alvaro merasa bahagia, sebuah perasaan yang sudah beberapa bulan terakhir tidak ia rasakan di hidupnya. Kebahagiaan yang sempat hilang itu, kini Alvaro kembali mendapatkannya. Alvaro pun bertanya-tanya pada Tuhan. Mengapa Tuhan masih begitu baik padanya, setelah dirinya banyak melakukan kesalahan bertahun-tahun lalu? Alvaro telah berbuat dosa dengan berhubungan bersama Marsha sebelum menikah, yang kini jika terpikirkan akan hal itu, Alvaro merasa menyesal.

Alvaro sadar bahwa Tuhan begitu baik telah memberi kesempatan hari ini terjadi padanya. Alvaro merasa bahagia, dirinya dapat menghabiskan waktu bersama anaknya dan juga seseorang yang perlahan mulai mengisi ruang di dalam hatinya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Sudah terhitung sebanyak empat kali Gio bertemu dengan Sienna. Akhir pekan ini, Gio pergi bersama Sienna untuk menonton film di bioskop. Namun kali ini Alvaro tidak dapat ikut menemani. Semuanya berjalan baik selama dua minggu belakangan ini.

Chemistry yang terbangun di antara Gio dan Sienna, berhasil memberikan perubahan positif terhadap Gio. Beberapa kali Gio meminta Alvaro mengirimkan hadiah untuk Sienna. Gio terlihat sangat menyayangi Sienna. Begitupun sebaliknya, Sienna terlihat menyayangi Gio, meskipun tidak memiliki ikatan darah dengannya. Sienna mengisi peran sosok ibu yang dibutuhkan oleh Gio, dan Alvaro sangat berterima kasih pada Sienna berkat hal tersebut.

‘Tok Tok Tok’

Terdengar ketukan di pintu kamar Alvaro ketika ia baru saja selesai mengenakan pakaiannya. Alvaro telah mandi begitu ia sampai di rumah. Namun Alvaro belum bertemu dengan anaknya, karena ternyata Alvaro sampai di rumah lebih dulu ketimbang Gio.

Begitu Alvaro membuka pintu, ia mendapati Gio di sana.

“Gimana tadi filmnya? Seru?” tanya Alvaro.

“Seru banget Pah filmnya. Lain kali Papa harus ikut Gio sama bunda Sienna nonton film ya,” ujar Gio.

“Iya, lain kali Papa ikut deh,” ucap Alvaro sembari mengusap puncak kepala anaknya. “Maaf ya, tadi Papa nggak bisa nyusul. Nanti kalau Papa libur, Papa temenin Gio main ice skating, oke?”

“Oke, Papa,” balas Gio sembari mengacungkan ibu jarinya.

“Papa, Gio mau tanya sesuatu sama Papa,” ujar Gio sebelum anak itu pamit pergi ke kamarnya.

“Gio mau tanya apa?” Alvaro pun mengajak Gio ke ruang keluarga, mereka duduk berhadapan di sofa dan Alvaro membiarkan Gio bertanya padanya.

“Gio pengen bunda Sienna beneran jadi bundanya Gio, selalu temenin Gio. Gio tau, Gio punya mama Marsha. Tapi mama nggak ada untuk Gio, padahal Gio butuh mama. Gio mau tanya, gimana caranya bunda Sienna jadi bundanya Gio.”

Rentetan kalimat yang Gio lontarkan seketika membuat Alvaro bungkam. Alvaro kehilangan kata-katanya dan ia tidak bisa langsung memberi jawaban kepada anaknya.

“Papa, Gio nggak tau caranya, jadi Gio tanya ke Papa,” ujar Gio lagi.

“Oke, Papa akan jelasin ke Gio,” Alvaro menjeda ucapannya sejenak. “Bunda Sienna, bisa jadi bundanya Gio kalau bunda Sienna menikah sama Papa. Tapi Gio kan tau, Papa sudah punya mama dan menikah dengan mama.”

“Jadi, nggak bisa yaa Pah?”

Alvaro mengangguk. Meskipun Gio tampak tidak sepenuhnya memahami ucapannya, bocah itu akhirnya hanya mengangguk sok paham. Alvaro memilih jujur pada anaknya dan mengatakan mekanisme yang sebenarnya, tanpa ada yang ditutupi. Mungkin Gio belum paham sekarang, tapi suatu hari pasti anaknya dapat mengerti.

Setelah mengantar Gio ke kamarnya, Alvaro kembali ke kamarnya sendiri. Perlahan-lahan Alvaro mulai bisa memberi pemahaman pada Gio dan lebih bijak memiih cara unutk menangani anaknya.

Ketika Alvaro akan beranjak ke ranjangnya, netranya mengarah pada frame kecil yang berada di nakas samping kasur. Frame itu merupakan foto pernikahannya dan Marsha yang masih berada di posisi yang sama. Namun Alvaro merasa hatinya tidak lagi bersama orang yang ada di foto itu. Alvaro memandangi sejenak foto itu, lalu tanpa berpikir lagi, Alvaro memindahkan frame itu ke laci nakas. Selain hatinya yang mulai berubah, beberapa posisi juga seharusnya berubah. Setiap pagi saat Alvaro terbangun dan melihat foto itu, rasanya hatinya seperti dihujam oleh jarum. Alvaro tidak ingin lagi terjebak pada rasa sakit itu, ia ingin terbebas. Jika harus memulai sesuatu yang baru dengan orang yang baru, Alvaro akan bersedia memulainya.

Alvaro memutuskan merebahkan tubuhnya di ranjang setelah selesai dengan pikirannya. Hari ini merupakan hari yang cukup panjang baginya. Alvaro mendapati beberapa rintangan di tempat shooting. Sebagai seorang aktor laga, Alvaro ingin totalitas dan memberikan yang terbaik untuk film yang dibintanginya. Sebisa mungkin Alvaro tidak ingin shoot-nya digantikan oleh stunt man. Alvaro akan puas dengan hasilnya, tapi konsekuensinya, ia harus rela merasa lebih lelah dan bahkan mengalami cidera jika melakukan semua perannya sendiri.

Saat Alvaro akan memejamkan matanya, tiba-tiba saja otaknya memutar kilas balik kebersamaannya dengan Sienna dan juga Gio. Ucapan Gio pada Alvaro juga terngiang di kepalanya. Perlakuan tulus Sienna pada Gio, membuat Sienna terlihat menarik di mata Alvaro. Sienna yang ceria, lembut, dan penuh kasih sayang, berhasil menyentuh sisi terdalam hati Alvaro. Sienna berhasil memasuki pikiran Alvaro, dan bahkan rasanya melekat pada dirinya seperti sebuah tato.

Alvaro sekilas menggelengkan kepalanya, di berusaha menepis suara-suara di dalam kepalanya yang memberi tahu bahwa ia tertarik kepada Sienna dan telah memandang Sienna dengan cara yang berbeda.

Alvaro yang tidak bisa tidur akhirnya mengubah posisinya menjadi duduk. Alvaro mengambil ponselnya di atas nakas dan membuka kunci layarnya. Di galeri ponselnya, Alvaro melihat dua buah foto yang ia ambil waktu dirinya, Gio, dan Sienna pergi ke taman hiburan. Di foto itu, Alvaro berniat mengambil potret Gio, tapi tidak sengaja Sienna ikut masuk ke dalam frame. Di potret tersebut, Sienna terlihat menatap ke arah kamera dan menampakkan senyum kecilnya. Satu foto lagi yang akhirnya membuat Alvaro menarik kedua ujung bibirnya secara otomatis. Di foto itu terlihat Gio dan Sienna membuat bentuk hati dengan kedua tangan mereka. Hanya dengan melihat foto itu, Alvaro bisa merasa nyaman dan seperti menemukan rumahnya.

Alvaro akhirnya bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah Alvaro sungguh memiliki perasaan pada Sienna? Alvaro akan memastikannya, dan ia harus memutuskan sesuatu. Bagi Alvaro saat ini, kriteria perempuan pendamping yang ia inginkan, semuanya terdapat pada diri Sienna. Alvaro menginginkan perempuan seperti Sienna, yakni perempuan yang bisa menyayangi anaknya terlebih dulu. Hidup Alvaro bukan hanya tentang dirinya, tapi juga anaknya. Sejak Gio lahir, Alvaro sudah memutuskan untuk menempatkan Gio sebagai prioritas utamanya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Restoran

Kemarin Sienna telah membuat sebuah keputusan. Sienna bersedia membantu Alvaro, ia akan bertemu dengan Gio beberapa kali. Ketika waktunya dirasa tepat, Sienna akan memberi pengertian kepada Gio kalau ia bukanlah bundanya dan tidak bisa selalu berada di sisi Gio. Sienna tidak tahu keputusannya akan berakhir baik atau justru sebaliknya, tapi ia lebih tidak bisa melihat Gio bersedih dan kecewa. Sienna yakin suatu hari ia dapat meyakinkan Gio dan memberinya pemahaman.

Hari ini menjadi hari perdana Sienna berada di tengah-tengah Gio dan Alvaro. Mereka pergi bertiga untuk menikmati makan sore di sebuah restoran. Setelah beberapa menu makanan disajikan di meja, mereka mulai makan.

Alvaro yang duduk di hadapan Gio dan Sienna memperhatikan aksi Sienna yang mengambilkan makanan untuk Gio. Alvaro baru saja akan melakukannya, tapi Sienna lebih dulu mengambil alih aksi itu. Kemudian Alvaro hanya mengambil makanan untuknya sendiri, dan ketika matanya bersinggungan dengan Sienna, Sienna sigap mengambilkan piring berisi tumisan sayur yang letaknya agak jauh dari Alvaro.

“Terima kasih,” ucap Alvaro.

Sienna hanya mengangguk sekilas. Kemudian fokus Sienna kembali pada Gio, karena bocah itu meminta Sienna menyuapinya.

“Gio, kamu kan udah bisa makan sendiri,” ujar Alvaro kepada anaknya.

“Sekali aja, Gio mau disuapin sama Bunda Sienna, Papa,” ucap Gio.

“Sienna, tapi lo juga harus makan,” ucap Alvaro lagi.

Sienna yang sudah akan mengambil piring milik Gio, menatap ke arah Alvaro. “Nggak papa, habis suapin Gio, gue baru makan,” tuturnya.

Seperti itulah yang akhirnya terjadi. Gio tersenyum senang dan melemparkan tatapan kemenangannya ke arah Alvaro. Sampai beberapa menit berlalu, ketika Alvaro sudah selesai dengan makanannya dan menawarkan agar ia yang menyuapi Gio, tapi yang terjadi tetap saja anaknya memilih disuapi oleh Sienna.

“Gio, Papa punya foto kamu waktu kamu nangis kemarin lho,” celetuk Alvaro. Kemudian Alvaro mengeluarkan ponselnya dan hendak menunjukkan foto itu kepada Sienna.

“Papa, jangan tunjukin fotonya ke Bunda. Gio malu, Papa,” protes Gio sambil menatap Alvaro dengan tatapan memohonnya.

“Kalau gitu, kamu masih mau nangis lagi nggak besok?” tanya Alvaro. Gio tidak menjawab pertanyaan Alvaro, anak itu justru mengadu pada Sienna dan meminta pertolongan padanya.

Dari apa yang terjadi di depan Sienna itu, mengalirlah cerita tentang perubahan Gio semenjak Marsha pergi. Alvaro menceritakannya pada Sienna, karena ia merasa khawatir dan tidak mengerti terhadap apa yang terjadi dengan anaknya. Berdasarkan apa yang diceritakan Alvaro, Sienna yang pernah belajar tentang parenting anak, akhirnya mencoba memberi penjelasan kepada Alvaro.

“Gio lagi ngalamin fase adrenarche. Lo nggak perlu terlalu khawatir, ini fase yang wajar yang dilalui sama semua anak seusia Gio. Cuma emang beda-beda di tiap anak, ada anak yang lebih ekspresif dan ada yang nggak terlalu ekspresif. Sebenarnya kalau lagi ngalamin fase ini, anak butuh perhatian lebih dan didengarkan apa yang dia rasain. Anak butuh dimengerti dan support dari orang-orang sekitarnya.”

Setelah penjelasan yang diutarakan oleh Sienna, Alvaro akhirnya mengerti. Alvaro lega mendengarnya, artinya anaknya hanya sedang menghadapi suatu fase yang normal. Sesuai penjelasan Sienna, terdapat hormon-hormon yang mulai terlihat pada Gio yang suatu hari akan menghantarkan anak itu ke masa pubertasnya. Sienna juga memberi tahu Alvaro apa saja yang sekiranya bisa lelaki itu lakukan saat menghadapi Gio yang tantrum.

“Sienna,” ujar Alvaro.

Sienna yang sedang fokus dengan makanannya, langsung beralih pada Alvaro.

“Ya?”

Alvaro terlihat menimbang apa yang akan dikatakannya. Lelaki itu tampak menahannya, tapi akhirnya tetap mengutarakannya. “Uhm … sebenarnya gue udah tau sesuatu.”

“Soal apa?”

Masih sambil menatap Sienna lurus-lurus, Alvaro mengatakan bahwa ia sudah tahu Sienna yang saat ini ada di hadapannya adalah Sienna yang ia kenal 14 tahun lalu. Selain itu, Alvaro yang ada di hadapan Sienna ini, adalah Alvaro yang dulu pernah menyatakan perasaannya kepada Sienna saat di Sekolah Dasar.

Sienna lantas terlihat sedikit terkejut mendengar semuanya.

“Lo lanjut makan aja dulu,” ujar Alvaro sembari terkekeh pelan karena mendapati reaksi Sienna yang menurutnya sangat lucu. Berkat ucapan Alvaro, Sienna jadi terbengong dan menghentikan aksi menyantap makanannya. Sienna akhirnya kembali menikmati makanannya, perempuan itu nampak gugup dan menahan senyumannya.

“Gio mau pesan es krim?” celetuk Alvaro.

“Mau dong, Papa. Gio kan suka es krim. Gio mu yang rasa coklat ya.”

“Oke, Papa pesenin es krim dulu,” Alvaro bergerak dari kursinya, tapi sebelum berlalu, lelaki itu kembali. “Sienna, lo mau es krim rasa apa?” tanya Alvaro pada Sienna.

“Vanilla aja,” jawab Sienna.

“Oke.”

Sepeninggalan Alvaro dari sana, Sienna tampak menghembuskan napasnya. Dalam hatinya, Sienna meurutuki dirinya yang mungkin terlihat aneh di hadapan Alvaro. Habis bagaimana lagi, Sienna tidak menduga kalau Alvaro sudah tau dan mengatakannya padanya hari ini juga.

Tidak lama kemudian, Alvaro pun kembali ke meja. Alvaro kembali dengan dua buah cup es krim di tangannya yang lantas ia letakkan di depan Gio dan satu lagi di depan Sienna.

Usai Sienna menghabiskan makanannya dan meneguk air minumnya, Sienna langsung menyantap es krimnya.

“Sebenarnya gue udah tau sejak pemotretan untuk brand parfum waktu itu,” ujar Sienna mencoba untuk mencairkan suasana.

“Ohya?” Lagi, Alvaro tertawa pelan berkat ucapan Sienna.

“Tapi gue nggak langsung ngenalin lo waktu itu,” ujar Sienna lagi. “You knew, everything has changed, right?

Alvaro mengangguk setuju. “Sebenernya gue masih inget nama panjang lo. Tapi lo tau, yang namanya Sienna banyak banget.”

Sejak obrolan yang mengalir begitu saja diiringi juga tawa dan senyuman, keduanya jadi tidak terlalu secanggung sebelumnya. Alvaro dan Sienna saling mengenal di masa lalu, dan kini mereka dipertemukan dengan cara yang terbilang cukup tidak terduga.

“Gio,” ujar Sienna.

“Iya Bunda?” Gio menoleh pada Sienna dan kini fokus menatap ke arahnya.

“Hmm … boleh Gio dengerin Bunda sebentar dulu?”

“Boleh, Bunda. Ada apa?”

Sienna sejenak menatap Alvaro, dan setelah anggukan kecil dari lelaki itu, Sienna akhirnya berujar, “Nanti malam, Gio tidurnya jam sembilan, ya? Karena Gio besok harus bangun pagi dan berangkat ke sekolah.”

“Kenapa nggak boleh jam sepuluh Bunda? Gio kan mau main game dulu sebelum tidur.”

“Hmm … boleh kok main game, tapi di hari Sabtu dan Minggu aja. Kalau Gio tidurnya jam terlalu malam, kasihan tubuh Gio istirahatnya jadi kurang deh. Kalau istirahatnya kurang, kayak mesin yang nyala terus, lama-lama bisa rusak dan nggak berfungsi.”

Sebelumnya Alvaro telah mengatakan pada Sienna kalau Gio sering mengalami sulit tidur di malam hari. Berakhir Gio baru terlelap di jam 10 atau bahkan bisa di atas jam tersebut. Alvaro seringkali tidak sabar menghadapi anaknya, pasalnya ia juga sudah mengantuk, jadi kadang ketiduran lebih dulu dibanding Gio.

“Gitu yaa Bunda?” tanya Gio dengan wajah polosnya.

“Iya. Gio sayang sama tubuh Gio, kan?” ujar Sienna dengan suara lembutnya dan tatapannya yang teduh menatap Gio.

Gio akhirnya mengangguk setuju. Bahkan Gio sangat antusias ketika Sienna mengajaknya pinky promise. Gio telah berjanji pada Sienna kalau ia akan tidur di jam 9 malam, karena Gio menyayangi tubuhnya.

Alvaro memperhatikan interaksi yang terjadi di hadapannya itu. Ia terkagum dengan cara Sienna memberi pemahaman kepada Gio. Tidak terkesan menggurui dan mudah diterima. Padahal kalau Alvaro, mungkin ia akan dengan mudah tersulut emosi dan berakhir Gio tidak dapat menerima penjelasannya.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Alvaro memperhatikan anaknya yang hari ini tampak begitu bersemangat. Gio akan berangkat bersamanya ke tempat di mana Alvaro akan bekerja hari ini. Gio membawa tas ransel miliknya, karena sudah berencana akan mengerjakan PR sekolah bersama Sienna.

Sienna, nama gadis itu terus terngiang di pikiran Alvaro, tepatnya sejak kemarin anaknya nampak akrab dengan seseorang yang padahal baru saja ditemuinya.

“Gio,“ ujar Alvaro.

Gio lantas menoleh pada Alvaro, “Iya, Papa?”

“Di sana nanti kamu ditemenin sama mbak Gina. Inget ya, ngga boleh ngerepotin siapa pun. Papa nanti di sana kerja, jadi nggak bisa ketemu sama kamu.”

Gio mengangguk diiringi senyum semringah yang tercetak di wajahnya, “Oke, Papa.”

“Oke, terima kasih ya anak pinter.”

***

Ini merupakan hari terakhir acara Jakarta Fashion Festival 2022. Acara catwalk selesai lebih cepat dari pada hari pertama. Sekitar pukul 2 siang, para model dan artis sudah diperbolehkan untuk berganti pakaian karena pekerjaan mereka telah beres.

Segera setelah mengganti pakaian dan menghapus riasan di wajahnya, Alvaro menghampiri Gio yang berada di ruang tunggu. Di salah satu meja di sana, Gio nampak sedang asyik menulis sesuatu di bukunya. Di hadapan anaknya, terlihat sosok Sienna yang tengah membimbing Gio mengerjakan PR sekolahnya.

Alvaro lalu melangkah menuju meja itu. Ketika Alvaro tiba di sana, rupanya Sienna langsung menyadari kehadirannya dan menatap ke arahnya.

Alvaro mengulaskan senyum tipisnya ke arah Sienna. “Sienna, terima kasih udah luangin waktu untuk anak saya,” ucap Alvaro yang masih menatap Sienna.

“Iya, sama-sama,” balas Sienna.

Kemudian Alvaro beralih pada Gio dan mengajak anaknya itu untuk pulang. Namun Gio masih ingin berada di sana. Sampai akhirnya Sienna yang mencoba membujuk Gio dan memberinya pengertian.

“Gio kan anak hebat, harus nurut sama Papanya Gio. Oke?” ujar Sienna.

“Tapi Gio masih mau sama Bunda,” ucap Gio sambil menampakkan puppy eyes-nya di hadapan Sienna.

Sienna nampak bingung, pandangannya pun bertemu dengan Alvaro dan Gina. Gina sempat turun tangan untuk membujuk Gio, tapi aksinya juga tidak mempan. Padahal notabenenya Gina adalah pengasuh yang sudah lama merawat Gio. Namun sejak Marsha pergi, memang Gio menjadi lebih manja dan sulit bagi orang sekitarnya untuk memahami apa keinginan anak itu.

Alvaro kemudian menghampiri Gio. Lelaki itu segera meraih Gio ke gendongannya. Gio mau tidak menurut kalau Alvaro yang sudah turun tangan, apalagi Alvaro mengeluarkan jurusnya yakni melalui tatapan tegas dan tidak terbantahkannya.

Gio terlihat membenamkan wajahnya di pundak Alvaro, tapi ketika Alvaro melangkah dari sana, Gio memintanya untuk berhenti sejenak. Alvaro menuruti kemauan anaknya dan ternyata Gio cuma ingin berpamitan dengan Sienna. Alvaro menurunkan Gio dari gendongannya dan membiarkan anaknya kembali berjalan menuju Sienna.

“Bunda, Gio pulang dulu ya. Makasih ya Bunda, udah bantuin Gio kerjain PR,” ujar Gio.

Sienna lantas mengulaskan senyumnya, perempuan itu mensejajarkan tingginya dengan Gio dengan menumpu tubuhnya ke lantai.

“Sama-sama Gio. Terima kasih juga karena Gio sudah jadi anak yang hebat,” balas Sienna. Setelah itu Gio meraih tangan Sienna, Gio menyalaminya dan mengecup punggung tangan Sienna. Sienna nampak sedikit kaget karena aksi Gio itu, tapi kemudian perempuan itu mengulaskan senyum lebarnya.

Dari jarak yang tidak jauh itu, Alvaro memerhatikan semua yang terjadi. Dari mulai sifat anaknya yang melunak, tingkah anaknya yang begitu sopan terhadap Sienna, serta sikap Sienna yang terlihat tulus pada anaknya.

Di luar dugaan Alvaro, Gio sungguhan menjadi anak yang penurut ketika bersama Sienna. Alvaro sedikit bingung, pasalnya dua orang itu baru dua kali bertemu, tapi kenapa bisa seakrab itu? Bagaimana itu bisa terjadi?

***

Ini sudah dua hari berlalu sejak terakhir Gio bertemu dengan Sienna. Alvaro pikir semuanya telah selesai sampai di hari itu, tapi rupanya apa yang terjadi tidak sesuai dugaannya.

Hari ini ketika Alvaro akan berangkat shooting, ia harus menghadapi Gio yang rewel dan meminta ikut bersamanya pergi ke tempat kerja. Gio ingin bertemu Sienna dan berpikir bahwa Sienna selalu ada di tempat kerja Alvaro, padahal kenyataannya tidak. Gio menangis dan mengatakan ia tidak mau berangkat sekolah jika Alvaro tidak menuruti permintaannya.

Satu rumah pagi ini pun dibuat kualahan oleh aksi Gio. Inggit dan Gina menyerah ketika Gio mulai menangis dan mengeluarkan isi tas sekolahnya. Kini di lantai ruang keluarga, alat tulis dan buku sekolah milik Gio tampak berserakan.

Selama beberapa detik Alvaro hanya terdiam di tempatnya. Sebelumnya Gio tidak pernah seperti ini. Anaknya itu berubah semenjak Marsha pergi. Gio jadi sering rewel, susah tidur, dan akan tantrum jika permintaannya tidak dituruti.

“Al, kamu jangan kebawa emosi hadapin anakmu,” Inggit mengingatkan Alvaro ketika lelaki itu akan menghampiri Gio.

“Iya Mah,” Alvaro meyakinkan mamanya bahwa ia bisa menghadapi anaknya.

“Gio,” ucap Alvaro yang kini berada tepat di hadapan Gio. Gio menoleh seketika dan menatap Alvaro dengan netranya yang berlinang air mata.

“Papa tau Gio sedih dan kecewa. Tapi satu hal yang perlu Gio ngerti, nggak semua keinginan Gio bisa Papa turutin. Bunda Sienna nggak selalu ada di tempat kerja Papa. Gio paham itu, kan? Hari ini Gio harus berangkat ke sekolah, Papa anter Gio, ya?”

“Papa,” ucap Gio. “Maafin Gio,” lanjutnya lagi.

Gio lalu bergerak menuju Alvaro dan mendekap torsonya dengan lengan kecilnya.

“Gio mau berangkat sekolah hari ini. Soalnya bunda Sienna mau ketemu sama Gio kalau Gio nurut sama Papa.”

Alvaro seketika terenyuh mendengarnya, lelaki itu terdiam tanpa mampu berkata-kata. Tidak lama kemudian, Gio bergerak mengurai pelukannya di torso Alvaro.

“Gio pengen ketemu sama bunda Sienna lagi, tapi kalau nggak bisa, yaudah nggak papa deh,” ucap Gio dengan wajah polosnya.

Setelah menyalami tangan Alvaro, Gio pun akhirnya menurut untuk berangkat sekolah bersama dengan supir dan Gina yang menemaninya. Alvaro harus segera berangkat ke tempat shooting, dan arah lokasinya berbeda dengan sekolah Gio. Tadinya Alvaro berniat mengantar anaknya ke sekolah, tapi Gio sendiri yang mengatakan Alvaro tidak perlu mengantarnya, karena Alvaro bisa lebih telat berangkat kerja.

Sepeninggalan Gio dan Gina, Inggit menghampiri Alvaro. Alvaro nampak sedang berpikir, dan Inggit pun dapat menebak apa yang ada di pikiran putranya itu. Inggit sudah tau soal ‘bunda Sienna’ yang disebut-sebut oleh Gio. Sienna merupakan perempuan yang bekerja sebagai makeup artist yang ditemui Gio di tempat kerja Alvaro. Inggit senang saat tahu cucunya menemukan kebahagiaan baru, tapi di satu sisi Inggit juga merasa khawatir mengenai suatu hal.

“Al, Mama tau kamu akan berusaha menuruti keinginan Gio untuk ketemu sama Sienna. Tapi gimana kalau Gio semakin dekat sama Sienna, semakin susah juga untuk melepaskan suatu hari nanti?”

***

Alvaro harus melakukan beberapa kali take untuk satu buah scene. Padahal ini scene yang terbilang cukup mudah, karena dialognya tidak terlalu padat. Namun entah mengapa Alvaro belum terlalu yakin dengan hasil aktingnya. Sehingga Alvaro meminta pada sutradara untuk mengulang take sampai 3 kali, sampai hasilnya benar-benar memuaskan. Setelah melakukan take yang ketiga, dan sang sutradara mengatakan ‘cut’, itu lah pertanda bahwa pengambilan adegan sudah selesai. Alvaro juga sudah puas dengan hasilnya, jadi mereka akan istirahat dulu sebelum lanjut ke adegan berikutnya.

Alvaro keluar dari area shoot dan langkahnya langsung dihampiri oleh dua orang asisten perempuannya. Di kursi yang bertuliskan namanya, Alvaro duduk di sana sembari dibantu oleh para asistennya untuk retouch riasan di wajahnya.

Tidak lama setelah Alvaro selesai melakukan retouch, Ila datang menghampirinya.

“Al, gue udah dapet jawaban dari manager-nya Sienna,” ujar Ila.

“Oh iya Mbak? Terus gimana hasilnya?” tanya Alvaro.

Sebelumnya Alvaro telah meminta tolong pada Ila untuk membuat appointment dengan Sienna, agar Sienna datang meriasnya di tempat shooting dan dapat bertemu dengan Gio.

“Untuk minggu ini, appointment makeup-nya Sienna udah full scedule. Jadi nggak bisa terima appointment lagi.”

“Bener-bener nggak bisa Mbak? Satu hari aja gitu?”

“Nggak bisa, Al. Gue udah coba nego beberapa kali, tapi jawabannya tetep sama,” jelas Ila.

“Oke, kalau gitu. Kira-kira bisa nggak gue hubungin Sienna secara pribadi?”

“Hubungin secara pribadi? Untuk apa?” Ila nampak bingung, pasalnya ia mengira Alvaro tidak akan sejauh ini melakukannya.

“Gue mau minta langsung sama Sienna untuk ketemu Gio, tanpa bikin appointment. Mungkin ini untuk yang terakhir kali,” terang Alvaro.

Ila tidak langsung mengiyakan, tapi ia mengatakan akan mengusahakannya.

“Oke, coba gue tanya Zahra dulu apa boleh gue minta nomor pribadinya Sienna. Nanti gue kabarin lo pas udah dapet jawaban.”

Alvaro mengangguk, “Thank you ya Mbak.”

Anytime. Semangat buat shooting hari ini, lo keliatan kurang fokus, pasti karena bayak pikiran,” ujar Ila sebelum berlalu dari hadapan Alvaro.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

Dalam mengenalkan dan memasarkan produknya, fashion brand menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah mengadakan sebuah event fashion show. Fashion show merupakan kegiatan yang dibuat untuk memamerkan karya maupun koleksi terbaik dari pada desainer, untuk memasarkan, dan mempromosikan produk fashion yang akan diperagakan oleh model.

Ada fashion show yang hanya dilakukan untuk mencari inspirasi baru, menambah relasi, atau ajang bagi para desainer untuk mencurahkan kreatifitasnya, melalui desain pakaian yang mereka buat. Namun ada juga fashion show yang diadakan untuk tujuan komersil yang dilakukan oleh rumah mode maupun sebuah fashion brand. Agar bisa mencapai tujuan komersil tersebut, rumah mode Christian Dior yang ada di Indonesia menggaet para model, selebriti, serta influencer ternama untuk memamerkan produk pakaian mereka di catwalk**, melalui acara Jakarta Fashion Festival 2022.

Antuasias masyarakat terbukti dengan tiket yang sukses terjual dalam waktu kurang dari 1 jam. Hanya terdapat 1000 seat yang disediakan untuk bisa menyaksikan pagelaran fashion tersebut, sisanya ada di hari kedua yang ditambah sebanyak 500 seat lagi.

Di sebuah kursi di backstage yang merupakan persiapan para talent yang akan melakukan fashion show, terdapat seorang pria yang sedang dibantu styling busana untuk show selanjutnya. Backstage tampak penuh, para pekerja melakukan tugasnya masing-masing. Para talent harus cepat-cepat berganti pakaian, dirias wajahnya, dan berganti style rambut. Backstage yang sudah terbilang cukup luas itu, tetap terlihat penuh dan hectic. Ada berbagai pekerjaan di sana, semua orang bekerja keras demi kelancaran dan kesuksesan fashion show tersebut.

“Silakan,” ucap seseorang yang baru saja meletakkan sebuah cup kopi dingin di meja.

“Terima kasih,” balas lelaki yang duduk di depan kaca rias. Lelaki itu mengambil cup minumannya dan meneguknya.

Saat lelaki itu baru saja meletakkan minumannya kembali ke meja, sosok perempuan menghampirinya. “Al, dikit lagi lo naik ya.”

“Oke.” Lelaki itu segera mengiyakannya.

Tiba waktunya ketika lelaki itu harus naik ke panggung, para pasang mata yang berada tidak jauh darinya langsung mengarah kepada lelaki itu. Lelaki itu nampak gagah dan tampan dengan pakaian serta aksesoris yang digunakannya. Para desainer yang merancang pakaian yang dikenakan oleh lelaki itu terlihat sangat senang. Pasalnya di berbagai sosial media, nama brand milik perusahaan langsung menjadi trending, tentu saja alasannya adalah karena produk tersebut digunakan oleh selebriti terkenal itu.

Alvaro as Dior BA

Alvaro as Dior BA 2

Lelaki itu adalah Alvaro Xander Zachary, selebriti yang telah menjadi Brand Ambassador Christian Dior selama 1 tahun belakangan. Popularitas serta trek rekor Alvaro di dunia entertain, membuat para brand besar sangat senang ketika bisa mendapat kesempatan bekerja sama dengannya. Film-film yang telah dibintangi oleh Alvaro membuat namanya semakin besar. Sehingga tidak heran lelaki itu menjadi aktor dengan bayaran termahal di tahun 2022, sesuai hasil riset yang dilakukan oleh media berita yang kegiatannya menyoroti karir para artis.

***

Backstage kini tampak agak legang karena para model sudah naik ke panggung. Di antara banyaknya pekerjaan yang ada di sana, salah satu pekerja yang dapat sejenak beristirahat adalah pekerjaan sebagai makeup artist. Mereka merasa senang karena telah berhasil membuat para model tampil cantik dan tampan dengan bantuan polesan kuas makeup mereka, tapi sekaligus mereka merasa lelah juga.

“Mbak, minum dulu,” ujar seorang gadis sambil meletakkan sebuah botol tumbler berwarna pink di sebuah meja.

“Makasih ya Fi,” ujar perempuan yang sedang duduk itu. Asistennya begitu cekatan melayaninya, tahu lagi kalau ia butuh kopi setelah bekerja.

“Ini gue boleh keluar gedung sebentar nggak sih? Gue mau cari angin,” ujar perempuan itu lagi.

“Boleh kayaknya deh Mbak. Habis ini kan jam istirahat. Nanti gue telfon kalau misalnya lo dicariin ya.”

“Oke. Makasih ya Fi. Gue mau ke toilet sekalian, kebelet pipis.” Setelah asistennya itu mengiyakannya, perempuan itu langsung beranjak dari kursinya dan melenggang dari sana.

***

Sienna baru saja mengecek ponselnya untuk membaca pesan dari Fia. Sienna telah selesai membuang air kecil, tapi Sienna masih berada di luar gedung yang digunakan untuk acara fashion show. Fia mengatakan bahwa situasinya aman terkendali, dan Sienna punya waktu sekitar 30 menit lagi sebelum ia harus kembali ke dalam.

Sienna ingin membeli snack karena ia merasa perutnya keroncongan. Saat Sienna melewati area parkir untuk menuju stand penjual street food, netranya menangkap sosok anak kecil yang terasa fameliar baginya. Anak itu tidak sendirian di sana, ia bersama seorang perempuan yang sepertinya adalah pengasuhnya. Sienna jelas mengetahui siapa anak itu, dan ia tidak sengaja mendengar pembicaraan antara anak laki-laki tersebut dengan perempuan yang bersamanya.

“Mbak Gina, tapi ini mobilnya Papa, plat nomornya bener. Pasti Papa ada di sini, Gio mau ketemu sama Papa,” ujar anak itu sembari menunjuk sebuah mobil Range Rover putih yang ada di hadapannya.

“Mbak udah telfon papa sama tante Ila, tapi belum diangkat. Kita pulang aja ya? Papa kan udah bilang sama Gio kalau nggak boleh nyusul sebelum izin sama papa. Kita nggak bisa masuk ke tempat papa kerja, Gio,” perempuan di samping Gio coba tersebut memberi penjelasan pada bocah itu.

Namun Gio tidak mau mengerti, bocah itu kekeuh ingin bertemu dengan papanya. Hal tersebut membuat Gina terlihat kalut. Melihat kejadian di depannya itu, Sienna tidak tega untuk acuh dan membiarkannya begitu saja. Maka ia coba menghampiri Gina dan akhirnya berbicara pada perempuan itu.

“Permisi Mbak. Maaf sebelumnya, saya tadi nggak sengaja dengar pembicaraan Mbaknya,” ucap Sienna.

Gina nampak bingung ketika mendapati seorang perempuan yang tidak fameliar baginya menghampirinya.

“Kenalin, saya Sienna. Saya makeup artist untuk acara fashion show di gedung itu. Kalau diizinkan, saya mungkin bisa membantu.” Sienna menjelaskan pada Gina bahwa dirinya dapat membantu masuk ke gedung tersebut, agar Gio dapat bertemu dengan papanya. Setelah dijelaskan dan Sienna menunjukkan kartu identitasnya yang membuktikan bahwa Sienna adalah salah satu makeup artist untuk acara Christian Dior Fashion Show, Gina akhirnya setuju untuk dibantu.

“Makasih banyak ya Mbak Sienna udah bersedia bantuin,” ucap Gina ketika mereka melangkah bersama memasuki area gedung.

“Iya, sama-sama,” ucap Sienna.

***

Sebelumnya Sienna telah meminta tolong pada seseorang yang mengenal Ila untuk menyampaikan tentang kedatangan Gio ke tempat ini. Sienna juga memiliki nomor kontak Ila, jadi ia sempat mengirim pesan juga pada Ila dan menelfonnya, tapi belum juga mendapat respon apa pun.

Rupanya Alvaro masih melakukan sesi kedua fashion show-nya. Jadi Sienna, Gio, dan Gina memutuskan menunggu di sebuah ruang tunggu yang tidak jauh posisinya dari backstage. Selagi menunggu, Gio tampak tidak bosan dan justru bocah itu mengatakan bahwa ia senang sekali berada di tempat kerja papanya.

“Gina, sekitar dua puluh menit lagi aku harus balik ke backstage. Kamu sama Gio tunggu di sini sampai mbak Ila dateng ya,” ucap Sienna yang langsung diangguki oleh Gina.

Begitu netra Sienna bertemu dengan Gio, anak itu tersenyum kecil padanya. “Tante kenal sama papanya Gio ya?” celetuk bocah itu masih sambil menatap Sienna.

Sienna hanya mengangguk karena ia bingung juga harus menjawab apa. Secara harfiah, dirinya dan Alvaro memang saling mengenal, tapi itu dulu. Kini posisinya hanyalah Sienna yang tahu tentang Alvaro, dan Alvaro kemungkinan tidak mengenali siapa dirinya.

Dari awal Gio sudah sangat interaktif bertanya pada Sienna, dan Sienna yang hanya menjawab seadanya. Namun lama-lama sosok Gio berhasil membuat Sienna aktif mengobrol juga. Sienna seperti merasakan de javu, yaitu pada saat ia mengobrol dengan para muridnya di Taman-Taman Kanak dulu. Sienna merasa begitu senang, sampai-sampai ia lupa waktu.

“Gio sekarang kelas berapa sekolahnya?” Sienna bertanya pada Gio.

“Kelas satu SD. Tapi PRnya udah susah, untung ada papa yang bantuin Gio kerjain PR,” jelas Gio.

“Ohya?”

“Iya, tapi papa seringnya sibuk shooting. Kalau ada mama, Gio dibantuin mama. Tapi mama nggak ada di rumah, Gio gak tau mama pergi ke mana.”

DEG.

Mendengar celotehan blak-blakan Gio, seketika Sienna pun terdiam. Meskipun nampak tidak terlalu mengerti, tapi dari tatapan mata bocah itu, Sienna melihat guratan kesedihan.

“Tante,” panggilan Gio membuyarkan lamunana Sienna.

“Iya Gio?”

“Mama Gio bakal pulang ke rumah nggak ya?” Gio menanyakan pertanyaan pada Sienna yang gadis itu tidak tahu jawabannya.

“Mama Gio pasti bakal pulang, karena mama Gio sayang sekali sama Gio,” tutur Sienna sembari mengulaskan senyumnya. Hanya itu yang dapat Sienna katakan kepada Gio.

“Kalau mama nggak pulang gimana?” pertanyaan kritis Gio itu membuat Sienna dan Gina saling bertatapan. Seolah mengerti kode yang diberikan oleh Gina, Sienna segera mengalihkan pembicaraan.

“Gio kalau di sekolah paling suka sama pelajaran apa?” tanya Sienna.

“Gio suka banget pelajaran seni,” jawab Gio dengan antusias.

“Oh iya? Emangnya kenapa Gio suka pelajaran seni?”

“Karena kalau pelajaran seni ada seni drama. Gio kalau udah gede mau jadi aktor, biar sama kayak papa.”

***

Alvaro baru saja menyelesaikan peragaan busananya. Ada sekitar empat style pakaian yang Alvaro kenakan dan artinya itu memakan waktu yang tidak sebentar baginya untuk berjalan di atas catwalk. Belum lagi ditambah persiapan busana, penataan rambut, serta proses merias wajah yang cukup menghabiskan waktu juga.

Saat Alvaro sampai di backstage, lelaki itu melihat Ila berjalan terburu-buru menghampirinya. “Al, anak lo nyusul ke sini,” ujar Ila memberitahu Alvaro.

“Kok bisa?” Alvaro nampak terkejut dan ia segera mengecek ponselnya. Benar saja, ada dua puluh panggilan tidak terjawab dari Gina.

Tanpa menunggu apa pun, Ila segera membawa Alvaro untuk menemui anaknya. Hal ini tidak terjadi satu dua kali saja. Alvaro menggeleng keheranan, anaknya itu selalu saja memiliki cara dan berhasil menemuinya di tempat kerja.

Ketika langkah Alvaro sampai di ruang tunggu, netranya langsung tertuju pada sosok anak lelaki yang tengah bersama seorang perempuan muda. Gio dan perempuan itu terlihat akrab, mereka mengobrol dan nampak larut sekali dalam perbincangan. Alvaro agak heran dengan kejadian itu, tapi ia cukup lega karena anaknya terlihat senang.

“Gio,” panggil Alvaro ketika ia sudah menghampiri anaknya.

“Papa?” Gio langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alvaro, yang secara otomatis membuat perempuan yang tengah bersama anaknya ikut menoleh ke arahnya.

Jika biasanya Alvaro bertindak tegas pada Gio dengan menasehati anaknya karena telah lagi-lagi melanggar aturan yang dibuatnya, kini Alvaro menahan keinginannya itu. Bagi Alvaro yang terpenting saat ini adalah anaknya merasa senang. Alvaro akan menasehati Gio nanti jika waktunya tepat.

***

“Gio,” ujar Alvaro ketika dirinya dan Gio sedang di perjalanan pulang di mobil.

“Ada apa Papa?” Gio sedikit mengubah posisinya agar ia bisa melihat paras Alvaro. Bocah itu mendongakkan kepalanya dan memandangi wajah Alvaro yang tampak lelah.

“Papa capek kerja ya hari ini? Maaf ya Gio tadi nyusahin Papa. Gio pengen ke tempat kerja Papa, karena Gio mau ketemu sama Papa. Di rumah sepi, cuma ada mbak Gina,” tutur anak itu.

Alvaro lantas mengarahkan tangannya untuk mengusap puncak kepala anaknya. “Gio hari ini udah jadi anak baik, udah tungguin Papa kerja, terima kasih ya.”

“Iya, sama-sama Papa,” ucap Gio.

“Ohiya Papa,” Gio berucap lagi setelah dirinya teringat akan sesuatu.

“Ada apa?”

“Tadi Gio kenalan sama tante yang bantuin Gio buat ketemu papa lho. Terus Gio udah punya panggilan baru untuk tante itu.”

“Panggilan baru?” Alvaro bertanya dengan kedua alisnya yang menyatu.

“Iya, soalnya tante Sienna baik banget. Jadi Gio bilang kalau Gio mau panggilnya bunda Sienna aja.”

“Kamu udah izin? Emangnya bunda Sienna mau dipanggil bunda sama kamu?”

“Buktinya bunda mau. Papa juga kenapa ikutan Gio manggilnya bunda Sienna? Bunda Sienna kan bundanya Gio doang,” ujar Gio dan nampak kerutan di keningnya.

“Yaudah, iya. Kamu aja yang panggil bunda Sienna ya.”

“Katanya besok bunda Sienna masih kerja di tempat kerja Papa. Boleh nggak kalau Gio nyusul buat ketemu sama bunda Sienna?”

“Gio mau ngapain ketemu lagi?” Alvaro bertanya dan ia tampak bingung. Pasalnya bagaimana bisa anaknya yang baru bertemu dengan perempuan asing langsung merasa dekat bahkan terlihat nyaman saat bersama perempuan itu.

“Karena Gio suka sama bunda Sienna. Nanti Gio mau minta tolong sama bunda buat bantu kerjain PR sekolah. Please Papa, boleh yaa?” Gio masih menatap Alvaro dengan tatapan penuh harapnya.

Alvaro masih diam, belum memberi respon terhadap permintaan anaknya. Alvaro tidak paham kenapa takdir mempertemukan Gio dengan perempuan itu. Namun orang-orang di sekitarnya pasti tahu, Alvaro tidak pernah sanggup melihat anaknya bersedih.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭

2 bulan usia pernikahan.

Alvaro baru saja sampai di Jakarta setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih 4 jam. Satu minggu yang lalu, Alvaro harus melakukan shooting untuk film terbarunya yang berlokasi di luar negeri, yakni tepatnya di Taiwan. Di saat tubuhnya terasa lelah karena masih jetlag, Alvaro harus dibebani lagi oleh kabar tidak mengenakkan dari managernya dan juga manager Marsha.

Awalnya berita yang didapat Alvaro adalah dari mamanya. Inggit memberitahu bahwa setelah 2 hari Alvaro pergi ke Taiwan, Marsha tidak pulang ke rumah hingga detik ini. Di ruang walk in closet di kamar Alvaro dan Marsha, pakaian Marsha hampir tidak tersisa. Dua buah koper besar juga tidak ada, yang mana kemungkinan Marsha pergi dengan membawa pakaiannya dalam jumlah yang cukup banyak.

Saat Alvaro sampai di rumah bersama dengan Ila, kehadirannya langsung disambut oleh Nisya. Nisya merupakan manager Marsha, orang yang langsung dituju oleh Alvaro dan dilemparkan pertanyaan bertubi-tubi.

“Marsha pergi ke mana? Kenapa Marsha nggak jawab telfon gue sama sekali? Nisya, lo managernya Marsha, kan? Jadi pasti lo tau ... di mana istri gue,” ujar Alvaro.

“Al, lo duduk dulu ya, lo tenang dulu.” Ucapan Nisya sama sekali tidak dapat membuat Alvaro tenang.

Ila akhirnya memohon Alvaro untuk duduk di sofa. “Al, dengerin Nisya dulu. Dia juga nggak tau di mana keberadaan Marsha,” ucap Ila.

“Gimana gue bisa tenang, istri gue pergi ninggalin rumah dan bawa barang-barangnya. Saat gue nggak ada, lo sebagai managernya harusnya tau di mana Marsha,” Alvaro masih menatap ke arah Nisya, dari tatapan itu terlihat sebuah kekhawatiran yang mendalam.

Nisya tampak panik dan juga kebingungan. “Gue berani sumpah, Al. Gue sama sekali nggak tau Marsha pergi ke mana. Gue udah telfon dia berkali-kali, hubungin keluarga dan teman-temannya, kirimin pesan lewat email, DM semua sosial media dia, tapi tetep aja nggak ada respon atau tanda apa pun. Kita bisa cari Marsha sama-sama, dan mungkin lo tau di mana Marsha. Apa Marsha nggak ngasih petunjuk sama lo sebelum dia pergi? Ada hal janggal atau apa pun itu, mungkin kita bisa cari tau kalau ada petunjuknya.”

Alvaro terdiam dan tidak merespon ucapan Nisya sama sekali. Pikirannya terasa sangat kalut dan Alvaro tidak dapat berpikir jernih.

“Al, lebih baik lo istirahat dulu, lo baru aja balik,” ujar Ila kepada Alvaro. Alvaro akhirnya menuruti perkataan Ila karena memang tubuhnya terasa sangat lelah saat ini. Sepertinya akan percuma jika Alvaro mencari Marsha sekarang, itu tidak akan berhasil dan kemungkinan justru menambah masalah baru.

Sepeninggalan Alvaro, Ila berbicara pada Nisya. “Nisya, kita bicarain ini nanti dulu, biarin Alvaro istirahat. Kemarin gue udah minta tolong orang untuk bantu cari keberadaan Marsha. Lo tolong bantu kumpulin semua info yang lo tau, biar kita gampang nyari Marsha.”

Nisya mengangguk. “Oke, Mbak. Makasih banyak ya buat bantuannya. Gue akan berusaha biar Marsha balik secepatnya. Gue nggak tega sama Gio, dari kemarin dia nanyain Marsha terus.”

***

Alvaro rooms

Alvaro membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam. Kehadirannya di kamar itu lantas hanya disambut oleh angin kosong, ia tidak menemukan keberadaan orang yang dicintainya di kamar ini. Alvaro menyapukan netranya menatap interior kamar dengan perpaduan warna hitam, coklat dan gold. Semua barang, dekorasi, dan detail di setiap sudut kamar ini, merupakan perwujudan dari mimpi-mimpi yang dimiliki oleh Alvaro dan Marsha.

Alvaro dan Marsha pernah berandai-andai untuk bisa memiliki rumah megah yang akan mereka tinggali berdua. Sebuah kamar dengan kasur besar yang sangat empuk, ada walk in closet yang berisi pakaian Marsha, koleksi tasnya, makeup, dan tidak lupa lemari yang berisi koleksi pakaian dan sepatu milik Alvaro. Marsha suka mengoleksi tas, sementara Alvaro suka mengoleksi sepatu. Mereka bercita-cita akan meletakkan barang kesukaan mereka secara berdampingan.

Saat itu semua sudah berhasil terwujud, dalam waktu yang singkat juga, takdir seperti kembali merenggut paksa kebahagiaan Alvaro. Kepergian Marsha yang tiba-tiba dan tanpa sepengetahuan Alvaro, membuat Alvaro bertanya-tanya. Alvaro bingung, sedih, kesal, dan semua perasaan itu bercampur menjadi satu di dalam dirinya.

Alvaro ingin segera pergi tidur, tapi hati dan pikirannya tidak ingin saling berkompromi. Alvaro justru berjalan ke ruangan walk in closet yang berada di sisi kanan kamar itu.

Sesampainya Alvaro di sana, ia membuka lemari yang merupakan milik Marsha. Benar saja, lemari itu nampak sepi. Hanya tersisa beberapa stel pakaian, aksesoris, dan dua buah pasang sepatu yang ada di bagian rak sepatu.

Walk in closet

“Sha … kenapa kamu pergi kayak gini? Kenapa kamu ninggalin aku sama Gio?” Alvaro berucap seorang diri.

Ketika Alvaro memutuskan melenggang dari walk in closet dan kembali ke ruang tidurnya, di nakas samping ranjang, netranya menatap pada sebuah frame berukuran kecil. Di sana ada foto pernikahannya dengan Marsha, dan Alvaro ingat bahwa ia yang meminta asistennya untuk membingkai foto itu.

Alvaro mengambil foto itu dan menatap potret di sana dengan tatapan nanar. “Sha, apa kamu nggak bahagia sama aku? Apa aku belum cukup untuk kamu?”

***

Satu bulan kemudian.

Marsha belum kembali, dan hal tersebut membuat Alvaro merasa khawatir setiap harinya. Alvaro telah mencoba mencari keberadaan Marsha dengan seluruh kemampuan yang ia miliki, tapi hasilnya nihil. Perusahan yang menaungi nama Marsha juga telah berusaha mencari keberadaan sang artis, tapi usaha mereka juga tidak menemui titik terang.

Beberapa pekerjaan yang harus dilakukan Marsha jadi terbengkalai, dan perusahaan menuntut uang ganti rugi atas kontrak kerja yang sebelumnya telah ditandatangani oleh Marsha. Alvaro yang membereskan urusan itu, sebagai sosok suami yang sah bagi Marsha, Alvaro harus menanggungnya.

30 hari sudah Marsha pergi dari rumah, meninggalkan Alvaro dan Gio. Alvaro tetap harus menjalani shooting dan pekerjaannya yang lain seperti photoshoot, iklan TV, dan menghadiri beberapa event, meskipun keadaan mentalnya belum sepenuhnya stabil.

Alvaro seperti kembali merasakan kehancuran dan kesedihan ketika papanya meninggal, rasa sakitnya persis seperti itu. Namun bedanya, dulu ketika kehilangan papanya, Alvaro hanyalah anak kecil yang belum memiliki tanggung jawab. Alvaro hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Kini situasinya berbeda, Alvaro mempunyai Gio. Alvaro tidak bisa menolak untuk pulang ke rumah, meskipun ia sangat ingin menghabiskan waktu di luar lebih lama. Alvaro memiliki tanggung jawab, yakni seorang anak yang membutuhkannya. Kalau Alvaro tidak kuat dan hancur berkeping-keping, lantas kepada siapa anaknya akan bersandar?

Hari ini Alvaro mengusahakan untuk pulang tidak terlalu malam. Alvaro berharap Gio belum tidur, karena ia akan membantu anaknya mengerjakan PR sekolah atau sekedar membacakan cerita penghantar tidur.

‘Tok! Tok!’

Dua kali alvaro mengetuk pintu kamar anaknya. “Gio, Papa boleh masuk?” Alvaro berujar di depan pintu.

Cklek!

Tidak beberapa lama, pintu pun dibuka dan menampakkan sosok Gio yang telah mengenakan piyama tidurnya.

“Papa boleh masuk?” tanya Alvaro. “Papa mau bantuin Gio ngerjain PR sekolah. Kita kerjain sama-sama ya, gimana?”

“Gio nggak mau ngerjain PR. Gio maunya ketemu sama mama. Mama di mana?” tutur Gio bertubi-tubi.

Alvaro nampak bingung menjawabnya, tapi akhirnya ia akan memberi jawaban yang sekiranya dapat dipahami anaknya. “Mama lagi pergi kerja sebentar ke luar kota. Nanti mama akan pulang, Gio tunggu mama pulang, oke?”

“Papa bohong. Mama nggak bilang sama Gio kalau mama pergi untuk kerja. Mama selalu bilang sama Gio kalau mau kerja, ini enggak,” cerocos bocah itu.

Alvaro seketika dibuat terdiam. Sulit menjelaskannya pada Gio, terlebih Alvaro tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, tapi anaknya ini terlalu pintar dan memiliki pola pikir yang kritis.

“Papa, ayo kita cari mama. Gio khawatir sama mama, kalau mama diculik orang jahat, gimana?” Gio meraih tangan Alvaro, seolah mengajaknya untuk pergi mencari Marsha.

Alvaro menatap Gio, ia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak meluncur. Alvaro kemudian mensejajarkan tingginya dengan Gio, pria itu menumpu tubuhnya di lantai dengan kedua lutut. “Ini udah malam, Nak. Gimana kalau kita cari mama besok aja? Malam ini, Gio harus jadi yang anak pintar sebelum kita cari mama. Gio kerjain PR dulu sama Papa. Oke?”

Alvaro menunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Gio, menunggu anaknya menyambutnya dengan jari yang sama.

“Oke, Papa. Besok kita cari mama ya.”

Alvaro kemudian mengangguk sekali untuk membuat persetujuan dengan Gio. Mungkin hari esok, dan hari-hari seterusnya Alvaro memang akan terus mencari keberadaan Marsha. Alvaro tidak berbohong kepada Gio. Namun memang ada yang akan Alvaro sembunyikan dari Gio. Jika suatu saat terungkap alasan Marsha pergi, apa pun itu, Alvaro akan memastikan Gio tidak akan pernah mengetahuinya.

Alvaro memiliki firasat yang buruk terhadap kepergian Marsha, karena tidak ada kemungkinan alasan baik yang dimiliki Marsha untuk pergi. Apalagi kepergian Marsha sendiri dapat mengancam karirnya sebagai aktris. Namun meskipun begitu, Marsha tetaplah ibu kandung Gio yang telah melahirkan anak mereka. Alvaro tidak ingin kelak Gio membenci Marsha, jika anaknya itu tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Gio baru saja tertidur saat terdengar ketukan di pintu kamar. Alvaro bergerak pelan dari ranjang agar anaknya tidak sampai bangun. Ketika Alvaro membuka pintunya, ia menemukan Inggit di sana.

“Gio mana? Udah tidur?” tanya Inggit.

“Udah Mah,” jawab Alvaro.

Mendengar jawaban Alvaro, Inggit nampak lega. “Dari kemarin anak kamu susah tidur lho. Dia selalu nanyain Marsha, selalu bilang pengen ditemenin tidur sama mamanya. Mama khawatir ke depannya soal kesehatan fisik dan mental anak kamu. Bukan hanya anak kamu doang Al, tapi kamu juga.”

“Mama tenang aja, masalah ini akan secepatnya Alvaro selesaikan,” ujar Alvaro.

“Selesaikan bagaimana maksud kamu? Kamu punya solusinya?” Inggit memberikan pertanyaan yang sebenarnya belum sempat Alvaro terpikirkan oleh Alvaro.

“Mah, kita omongin ini di ruang keluarga ya. Gio baru aja tidur, takutnya dia kebangun,” putus Alvaro.

Inggit pun setuju terhadap ucapan Alvaro. Di ruang keluarga, kini Alvaro dan Inggit tengah duduk berhadapan. Ada hal yang ingin Inggit sampaikan kepada Alvaro, dan itu berhubungan dengan Marsha yang pergi meninggalkan rumah serta kelanjutan rumah tangga Alvaro dan Marsha kedepannya.

“Al, ini sudah satu bulan Marsha pergi dari rumah tanpa kejelasan. Sebagai ibu kamu dan nenek untuk Gio, Mama sangat kecewa sama Marsha. Dia meninggalkan kamu dan Gio begitu aja, dia udah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai istri dan juga seorang ibu,” papar Inggit panjang lebar.

Alvaro dengan seksama mendengarkan semua yang diutarakan oleh Inggit. Apa yang diucapkan Inggit memang benar adanya. Alvaro dapat dengan jelas melihat kekecewaan besar yang terpancar di kedua mata itu.

“Seharusnya Marsha bisa bersikap dewasa. Begitu juga kamu, terlebih kalian punya tanggung jawab bersama. Kehidupan pernikahan harus dijalani berdua, nggak bisa timpang tindih begini,” ujar Inggit lagi.

Inggit sesaat menjeda ucapannya. Meskiun dengan berat hati, Inggit tetap akan mengatakannya. Inggit menghembuskan nafasnya, lalu wanita itu kembali berujar, “Al, kamu harus bisa bersikap tegas. Kasih tenggat waktu untuk Marsha. Kalau sampai pada waktu itu dia nggak kembali, kamu harus membuat keputusan.”

“Keputusan apa Mah?” tanya Alvaro dengan tatapan bingungnya.

“Kamu sudah dewasa dan Mama yakin kamu paham. Pernikahan tanpa adanya tanggung jawab, tidak bisa lagi disebut sebagai pernikahan, dan nggak ada gunanya mempertahankan.”

“Mah, nggak mungkin Alvaro menceraikan Marsha,” ucap Alvaro terlihat tidak setuju dengan ucapan Inggit.

“Kenapa nggak mungkin? Kamu punya alasan untuk melakukannya, karena dia telah lalai dengan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu.”

“Mah, Alvaro juga punya alasan untuk masih mempertahankan pernikahan,” papar Alvaro.

Seketika ucapan Alvaro membuat Inggit menatap putra sematawayangnya dengan tatapan tidak percaya. Setelah apa yang dilakukan Marsha, di sini anaknya masih terlihat mencintai Marsha dan ingin mempertahankan pernikahan. Inggit tidak dapat memahami hal itu.

“Al, kamu tau kan Mama hanya ingin kamu bahagia. Mama nggak bisa ngeliat kamu disakitin seperti ini. Sekarang Mama tanya, apa alasan kamu ingin mempertahankan Marsha?”

Alvaro tidak langsung menjawab pertanyaan Inggit. Alvaro meraih satu tangan Inggit dan menggenggamnya. “Alvaro tau Mama selalu memikirkan kebahagiaan Alvaro. Tapi Mah, sekarang bukan cuma tentang Alvaro sendiri. Alvaro punya tanggung jawab yang harus dipikirkan. Saat waktunya tepat, Alvaro akan buat keputusan untuk pernikahan ini.”

Alvaro menjelaskan pada Inggit bahwa ia ingin melindungi anaknya dan memikirkan perasaannya yang bisa hancur kalau sampai ada pembicaraan buruk tentang orang tuanya di media. Jika Alvaro melayangkan gugatan cerai pada Marsha, akan banyak pemberitaan tidak enak yang bisa jadi memojokkan Marsha.

Kepergian Marsha menimbulkan banyak kekacauan yang berdampak pada karir maupun rumah tangganya. Beberapa sinetron yang dibintangi oleh Marsha mengganti pemeran mereka dengan aktris lain, jelas hal tersebut semakin meyakinkan publik bahwa ada yang tidak beres dengan Marsha Iliana Tengker.

Absennya Marsha dari dunia hiburan serta ketidakmunculannya di sisi Alvaro, membuat publik perlahan mulai curiga. Publik mulai membuat berita dan mempertanyakan perihal ketidakberadaan Marsha dan Alvaro dituding sebagai suami yang tidak bertanggungjawab terhadap istrinya sendiri. Meskipun demikian, sampai saat Alvaro masih bungkam, itu sudah menjadi keputusan Alvaro karena ia tidak ingin memperlebar masalah ini. Sampai Alvaro menemukan Marsha dan tahu penyebab istrinya pergi, Alvaro baru akan mengambil keputusan.

***

Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷

Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜

Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭