Awal Mula Kehancuran
2 bulan usia pernikahan.
Alvaro baru saja sampai di Jakarta setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih 4 jam. Satu minggu yang lalu, Alvaro harus melakukan shooting untuk film terbarunya yang berlokasi di luar negeri, yakni tepatnya di Taiwan. Di saat tubuhnya terasa lelah karena masih jetlag, Alvaro harus dibebani lagi oleh kabar tidak mengenakkan dari managernya dan juga manager Marsha.
Awalnya berita yang didapat Alvaro adalah dari mamanya. Inggit memberitahu bahwa setelah 2 hari Alvaro pergi ke Taiwan, Marsha tidak pulang ke rumah hingga detik ini. Di ruang walk in closet di kamar Alvaro dan Marsha, pakaian Marsha hampir tidak tersisa. Dua buah koper besar juga tidak ada, yang mana kemungkinan Marsha pergi dengan membawa pakaiannya dalam jumlah yang cukup banyak.
Saat Alvaro sampai di rumah bersama dengan Ila, kehadirannya langsung disambut oleh Nisya. Nisya merupakan manager Marsha, orang yang langsung dituju oleh Alvaro dan dilemparkan pertanyaan bertubi-tubi.
“Marsha pergi ke mana? Kenapa Marsha nggak jawab telfon gue sama sekali? Nisya, lo managernya Marsha, kan? Jadi pasti lo tau ... di mana istri gue,” ujar Alvaro.
“Al, lo duduk dulu ya, lo tenang dulu.” Ucapan Nisya sama sekali tidak dapat membuat Alvaro tenang.
Ila akhirnya memohon Alvaro untuk duduk di sofa. “Al, dengerin Nisya dulu. Dia juga nggak tau di mana keberadaan Marsha,” ucap Ila.
“Gimana gue bisa tenang, istri gue pergi ninggalin rumah dan bawa barang-barangnya. Saat gue nggak ada, lo sebagai managernya harusnya tau di mana Marsha,” Alvaro masih menatap ke arah Nisya, dari tatapan itu terlihat sebuah kekhawatiran yang mendalam.
Nisya tampak panik dan juga kebingungan. “Gue berani sumpah, Al. Gue sama sekali nggak tau Marsha pergi ke mana. Gue udah telfon dia berkali-kali, hubungin keluarga dan teman-temannya, kirimin pesan lewat email, DM semua sosial media dia, tapi tetep aja nggak ada respon atau tanda apa pun. Kita bisa cari Marsha sama-sama, dan mungkin lo tau di mana Marsha. Apa Marsha nggak ngasih petunjuk sama lo sebelum dia pergi? Ada hal janggal atau apa pun itu, mungkin kita bisa cari tau kalau ada petunjuknya.”
Alvaro terdiam dan tidak merespon ucapan Nisya sama sekali. Pikirannya terasa sangat kalut dan Alvaro tidak dapat berpikir jernih.
“Al, lebih baik lo istirahat dulu, lo baru aja balik,” ujar Ila kepada Alvaro. Alvaro akhirnya menuruti perkataan Ila karena memang tubuhnya terasa sangat lelah saat ini. Sepertinya akan percuma jika Alvaro mencari Marsha sekarang, itu tidak akan berhasil dan kemungkinan justru menambah masalah baru.
Sepeninggalan Alvaro, Ila berbicara pada Nisya. “Nisya, kita bicarain ini nanti dulu, biarin Alvaro istirahat. Kemarin gue udah minta tolong orang untuk bantu cari keberadaan Marsha. Lo tolong bantu kumpulin semua info yang lo tau, biar kita gampang nyari Marsha.”
Nisya mengangguk. “Oke, Mbak. Makasih banyak ya buat bantuannya. Gue akan berusaha biar Marsha balik secepatnya. Gue nggak tega sama Gio, dari kemarin dia nanyain Marsha terus.”
***
Alvaro membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam. Kehadirannya di kamar itu lantas hanya disambut oleh angin kosong, ia tidak menemukan keberadaan orang yang dicintainya di kamar ini. Alvaro menyapukan netranya menatap interior kamar dengan perpaduan warna hitam, coklat dan gold. Semua barang, dekorasi, dan detail di setiap sudut kamar ini, merupakan perwujudan dari mimpi-mimpi yang dimiliki oleh Alvaro dan Marsha.
Alvaro dan Marsha pernah berandai-andai untuk bisa memiliki rumah megah yang akan mereka tinggali berdua. Sebuah kamar dengan kasur besar yang sangat empuk, ada walk in closet yang berisi pakaian Marsha, koleksi tasnya, makeup, dan tidak lupa lemari yang berisi koleksi pakaian dan sepatu milik Alvaro. Marsha suka mengoleksi tas, sementara Alvaro suka mengoleksi sepatu. Mereka bercita-cita akan meletakkan barang kesukaan mereka secara berdampingan.
Saat itu semua sudah berhasil terwujud, dalam waktu yang singkat juga, takdir seperti kembali merenggut paksa kebahagiaan Alvaro. Kepergian Marsha yang tiba-tiba dan tanpa sepengetahuan Alvaro, membuat Alvaro bertanya-tanya. Alvaro bingung, sedih, kesal, dan semua perasaan itu bercampur menjadi satu di dalam dirinya.
Alvaro ingin segera pergi tidur, tapi hati dan pikirannya tidak ingin saling berkompromi. Alvaro justru berjalan ke ruangan walk in closet yang berada di sisi kanan kamar itu.
Sesampainya Alvaro di sana, ia membuka lemari yang merupakan milik Marsha. Benar saja, lemari itu nampak sepi. Hanya tersisa beberapa stel pakaian, aksesoris, dan dua buah pasang sepatu yang ada di bagian rak sepatu.
“Sha … kenapa kamu pergi kayak gini? Kenapa kamu ninggalin aku sama Gio?” Alvaro berucap seorang diri.
Ketika Alvaro memutuskan melenggang dari walk in closet dan kembali ke ruang tidurnya, di nakas samping ranjang, netranya menatap pada sebuah frame berukuran kecil. Di sana ada foto pernikahannya dengan Marsha, dan Alvaro ingat bahwa ia yang meminta asistennya untuk membingkai foto itu.
Alvaro mengambil foto itu dan menatap potret di sana dengan tatapan nanar. “Sha, apa kamu nggak bahagia sama aku? Apa aku belum cukup untuk kamu?”
***
Satu bulan kemudian.
Marsha belum kembali, dan hal tersebut membuat Alvaro merasa khawatir setiap harinya. Alvaro telah mencoba mencari keberadaan Marsha dengan seluruh kemampuan yang ia miliki, tapi hasilnya nihil. Perusahan yang menaungi nama Marsha juga telah berusaha mencari keberadaan sang artis, tapi usaha mereka juga tidak menemui titik terang.
Beberapa pekerjaan yang harus dilakukan Marsha jadi terbengkalai, dan perusahaan menuntut uang ganti rugi atas kontrak kerja yang sebelumnya telah ditandatangani oleh Marsha. Alvaro yang membereskan urusan itu, sebagai sosok suami yang sah bagi Marsha, Alvaro harus menanggungnya.
30 hari sudah Marsha pergi dari rumah, meninggalkan Alvaro dan Gio. Alvaro tetap harus menjalani shooting dan pekerjaannya yang lain seperti photoshoot, iklan TV, dan menghadiri beberapa event, meskipun keadaan mentalnya belum sepenuhnya stabil.
Alvaro seperti kembali merasakan kehancuran dan kesedihan ketika papanya meninggal, rasa sakitnya persis seperti itu. Namun bedanya, dulu ketika kehilangan papanya, Alvaro hanyalah anak kecil yang belum memiliki tanggung jawab. Alvaro hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Kini situasinya berbeda, Alvaro mempunyai Gio. Alvaro tidak bisa menolak untuk pulang ke rumah, meskipun ia sangat ingin menghabiskan waktu di luar lebih lama. Alvaro memiliki tanggung jawab, yakni seorang anak yang membutuhkannya. Kalau Alvaro tidak kuat dan hancur berkeping-keping, lantas kepada siapa anaknya akan bersandar?
Hari ini Alvaro mengusahakan untuk pulang tidak terlalu malam. Alvaro berharap Gio belum tidur, karena ia akan membantu anaknya mengerjakan PR sekolah atau sekedar membacakan cerita penghantar tidur.
‘Tok! Tok!’
Dua kali alvaro mengetuk pintu kamar anaknya. “Gio, Papa boleh masuk?” Alvaro berujar di depan pintu.
Cklek!
Tidak beberapa lama, pintu pun dibuka dan menampakkan sosok Gio yang telah mengenakan piyama tidurnya.
“Papa boleh masuk?” tanya Alvaro. “Papa mau bantuin Gio ngerjain PR sekolah. Kita kerjain sama-sama ya, gimana?”
“Gio nggak mau ngerjain PR. Gio maunya ketemu sama mama. Mama di mana?” tutur Gio bertubi-tubi.
Alvaro nampak bingung menjawabnya, tapi akhirnya ia akan memberi jawaban yang sekiranya dapat dipahami anaknya. “Mama lagi pergi kerja sebentar ke luar kota. Nanti mama akan pulang, Gio tunggu mama pulang, oke?”
“Papa bohong. Mama nggak bilang sama Gio kalau mama pergi untuk kerja. Mama selalu bilang sama Gio kalau mau kerja, ini enggak,” cerocos bocah itu.
Alvaro seketika dibuat terdiam. Sulit menjelaskannya pada Gio, terlebih Alvaro tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, tapi anaknya ini terlalu pintar dan memiliki pola pikir yang kritis.
“Papa, ayo kita cari mama. Gio khawatir sama mama, kalau mama diculik orang jahat, gimana?” Gio meraih tangan Alvaro, seolah mengajaknya untuk pergi mencari Marsha.
Alvaro menatap Gio, ia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak meluncur. Alvaro kemudian mensejajarkan tingginya dengan Gio, pria itu menumpu tubuhnya di lantai dengan kedua lutut. “Ini udah malam, Nak. Gimana kalau kita cari mama besok aja? Malam ini, Gio harus jadi yang anak pintar sebelum kita cari mama. Gio kerjain PR dulu sama Papa. Oke?”
Alvaro menunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Gio, menunggu anaknya menyambutnya dengan jari yang sama.
“Oke, Papa. Besok kita cari mama ya.”
Alvaro kemudian mengangguk sekali untuk membuat persetujuan dengan Gio. Mungkin hari esok, dan hari-hari seterusnya Alvaro memang akan terus mencari keberadaan Marsha. Alvaro tidak berbohong kepada Gio. Namun memang ada yang akan Alvaro sembunyikan dari Gio. Jika suatu saat terungkap alasan Marsha pergi, apa pun itu, Alvaro akan memastikan Gio tidak akan pernah mengetahuinya.
Alvaro memiliki firasat yang buruk terhadap kepergian Marsha, karena tidak ada kemungkinan alasan baik yang dimiliki Marsha untuk pergi. Apalagi kepergian Marsha sendiri dapat mengancam karirnya sebagai aktris. Namun meskipun begitu, Marsha tetaplah ibu kandung Gio yang telah melahirkan anak mereka. Alvaro tidak ingin kelak Gio membenci Marsha, jika anaknya itu tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Gio baru saja tertidur saat terdengar ketukan di pintu kamar. Alvaro bergerak pelan dari ranjang agar anaknya tidak sampai bangun. Ketika Alvaro membuka pintunya, ia menemukan Inggit di sana.
“Gio mana? Udah tidur?” tanya Inggit.
“Udah Mah,” jawab Alvaro.
Mendengar jawaban Alvaro, Inggit nampak lega. “Dari kemarin anak kamu susah tidur lho. Dia selalu nanyain Marsha, selalu bilang pengen ditemenin tidur sama mamanya. Mama khawatir ke depannya soal kesehatan fisik dan mental anak kamu. Bukan hanya anak kamu doang Al, tapi kamu juga.”
“Mama tenang aja, masalah ini akan secepatnya Alvaro selesaikan,” ujar Alvaro.
“Selesaikan bagaimana maksud kamu? Kamu punya solusinya?” Inggit memberikan pertanyaan yang sebenarnya belum sempat Alvaro terpikirkan oleh Alvaro.
“Mah, kita omongin ini di ruang keluarga ya. Gio baru aja tidur, takutnya dia kebangun,” putus Alvaro.
Inggit pun setuju terhadap ucapan Alvaro. Di ruang keluarga, kini Alvaro dan Inggit tengah duduk berhadapan. Ada hal yang ingin Inggit sampaikan kepada Alvaro, dan itu berhubungan dengan Marsha yang pergi meninggalkan rumah serta kelanjutan rumah tangga Alvaro dan Marsha kedepannya.
“Al, ini sudah satu bulan Marsha pergi dari rumah tanpa kejelasan. Sebagai ibu kamu dan nenek untuk Gio, Mama sangat kecewa sama Marsha. Dia meninggalkan kamu dan Gio begitu aja, dia udah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai istri dan juga seorang ibu,” papar Inggit panjang lebar.
Alvaro dengan seksama mendengarkan semua yang diutarakan oleh Inggit. Apa yang diucapkan Inggit memang benar adanya. Alvaro dapat dengan jelas melihat kekecewaan besar yang terpancar di kedua mata itu.
“Seharusnya Marsha bisa bersikap dewasa. Begitu juga kamu, terlebih kalian punya tanggung jawab bersama. Kehidupan pernikahan harus dijalani berdua, nggak bisa timpang tindih begini,” ujar Inggit lagi.
Inggit sesaat menjeda ucapannya. Meskiun dengan berat hati, Inggit tetap akan mengatakannya. Inggit menghembuskan nafasnya, lalu wanita itu kembali berujar, “Al, kamu harus bisa bersikap tegas. Kasih tenggat waktu untuk Marsha. Kalau sampai pada waktu itu dia nggak kembali, kamu harus membuat keputusan.”
“Keputusan apa Mah?” tanya Alvaro dengan tatapan bingungnya.
“Kamu sudah dewasa dan Mama yakin kamu paham. Pernikahan tanpa adanya tanggung jawab, tidak bisa lagi disebut sebagai pernikahan, dan nggak ada gunanya mempertahankan.”
“Mah, nggak mungkin Alvaro menceraikan Marsha,” ucap Alvaro terlihat tidak setuju dengan ucapan Inggit.
“Kenapa nggak mungkin? Kamu punya alasan untuk melakukannya, karena dia telah lalai dengan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu.”
“Mah, Alvaro juga punya alasan untuk masih mempertahankan pernikahan,” papar Alvaro.
Seketika ucapan Alvaro membuat Inggit menatap putra sematawayangnya dengan tatapan tidak percaya. Setelah apa yang dilakukan Marsha, di sini anaknya masih terlihat mencintai Marsha dan ingin mempertahankan pernikahan. Inggit tidak dapat memahami hal itu.
“Al, kamu tau kan Mama hanya ingin kamu bahagia. Mama nggak bisa ngeliat kamu disakitin seperti ini. Sekarang Mama tanya, apa alasan kamu ingin mempertahankan Marsha?”
Alvaro tidak langsung menjawab pertanyaan Inggit. Alvaro meraih satu tangan Inggit dan menggenggamnya. “Alvaro tau Mama selalu memikirkan kebahagiaan Alvaro. Tapi Mah, sekarang bukan cuma tentang Alvaro sendiri. Alvaro punya tanggung jawab yang harus dipikirkan. Saat waktunya tepat, Alvaro akan buat keputusan untuk pernikahan ini.”
Alvaro menjelaskan pada Inggit bahwa ia ingin melindungi anaknya dan memikirkan perasaannya yang bisa hancur kalau sampai ada pembicaraan buruk tentang orang tuanya di media. Jika Alvaro melayangkan gugatan cerai pada Marsha, akan banyak pemberitaan tidak enak yang bisa jadi memojokkan Marsha.
Kepergian Marsha menimbulkan banyak kekacauan yang berdampak pada karir maupun rumah tangganya. Beberapa sinetron yang dibintangi oleh Marsha mengganti pemeran mereka dengan aktris lain, jelas hal tersebut semakin meyakinkan publik bahwa ada yang tidak beres dengan Marsha Iliana Tengker.
Absennya Marsha dari dunia hiburan serta ketidakmunculannya di sisi Alvaro, membuat publik perlahan mulai curiga. Publik mulai membuat berita dan mempertanyakan perihal ketidakberadaan Marsha dan Alvaro dituding sebagai suami yang tidak bertanggungjawab terhadap istrinya sendiri. Meskipun demikian, sampai saat Alvaro masih bungkam, itu sudah menjadi keputusan Alvaro karena ia tidak ingin memperlebar masalah ini. Sampai Alvaro menemukan Marsha dan tahu penyebab istrinya pergi, Alvaro baru akan mengambil keputusan.
***
Terima kasih telah membaca The Destiny of Love 🌷
Tolong beri dukungan untuk The Destiny of Love supaya bisa lebih baik lagi. Support apapun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya. 💜
Semoga kamu enjoy sama ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍭