alyadara

Terdapat sebuah acara yang diadakan divisi Public Relations perusahaan El. Acara tersebut merupakan acara sosial yang bertajuk festival seni.

Nantinya hasil penjualan tiket dari acara itu akan didonasikan untuk pendanaan fasilitas dan saran media secara umum. Tujuan kegiatan tersebut adalah untuk menumbuhkembangkan citra perusahaan yang positif untuk publik eksternal, masyarakat, dan juga konsumen.

El menghadiri acara tersebut pada malam penutupan, dan ia mengajak Manda bersamanya. Mereka bertemu dengan perwakilan pemerintah, media, perwakilan komunitas, serta pihak-pihak lainnya yang merupakan publik eksternal dari PT Visa Media Asia.

El di sana memperkenalkan Manda sebagai istrinya. Manda merasa sungguhan menjadi istri bagi El, dan Mana berpikir rasanya semakin jauh perannya dan langkahnya masuk ke dalam hidup El. 

Penutupan festival tersebut diselenggarakan dengan menghadirkan 2 band musik tanah air ternama yang malam ini akan tampil di atas panggung membawakan beberapa lagu. 

Acara malam ini berlangsung meriah, banyak pengunjung yang datang dan memeriahkan perhelatan musik tersebut.

Acara musik

Kini telah tiba saatnya di penghujung acara, setelah selama kurang lebih 3 jam acara berlangsung. Beberapa pengunjung satu persatu mulai meninggalkan tempat.

Acaranya berakhri dengan sukses, pendapatan dari penjualan tiket pun jumlahnya terbilang fantastis.

Di sebuah ruangan tunggu khusus untuk eksekutif, di ruangan itu para eksekutif dan donator utama masih berkumpul. El ada di sana juga, ia duduk salah satu kursi dan Manda berada di sampingnya. Kemudian seorang ketua pelaksana acara memberitahu mengenai suatu hal yang kemudian disampaikan kepada El. El rupanya harus melaksanakana wawancara dengan salah satu pihak media yang merupakan sponsor acara.

Karena diperkirakan wawancaranya hanya sebentar, jadi El meminta Manda untuk menunggu di ruang tunggu. Manda di sana akan ditemani oleh sekretaris El, yakni Angel.

“Setelah wawancara ini acaranya udah selesai. Habis itu kita bisa langsung pulang,” ucap El seeblum meninggalkan Manda di sana. Manda hanya mengangguk dan membiarkan El berlalu darinya.  

El diwawancarai oleh salah satu pihak media ternama yang masuk ke dalam list sponsor acara festival yang diselenggarakan perusahaannya.

Setelah beberapa pertanyaan diajukan, seorang wartawan menanyakan perihal isu perusahaan yang beberapa saat lalu terjadi dan sempat ramai diperbincangkan oleh publik, yakni tentang pelanggaran tayangan sebuah acara di mana perusahaan El adalah penyedia medianya.

“Bagaimana tanggapan Anda tentang perihal tersebut Pak? Sebagai pemimpin perusahaan media ternama dan cukup besar, pelanggaran tayangan adalah sesuatu yang serius Pak,” ujar salah seorang wartawan dari beberapa wartawan di sana yang mewawancarai El.

El lantas dengan lugas menjawab pertanyaan tersebut. “Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan. Saya akan menanggapi perihal ini dan menegaskannya sekali lagi. Ada baiknya, Anda sebagai wartawan terlebih dulu melakukan riset sebelum mengajukan pertanyaan di hadapan publik. Terkait pelanggaran tayangan tersebut, VIVA sendiri telah menindaklanjuti hal itu secara tegas. Masalahnya sudah clear, dan tim PR perusahaan saya telah menyelesaikannya dengan baik.” Seketika jawaban El tersebut membungkam sang wartawan.

Wartawan itu justru mendapat pandangan kurang baik dari pihak media-media lainnya karena dianggap tidak berdedikasi baik dan aksinya melenceng dari kode etik wartawan. 

Wartawan tersebut telah mengungkapkan fakta yang tidak akurat kebenarannya, terlebih saat sedang liputan dan disaksikan khalayak publik.

 —

El baru saja menyelesaikan wawancaranya dan ia mendapat sebuah kabar tidak mengenakkan mengenai istrinya.

El yang mengetahui hal tersebut, lantas bergegas mempercepat langkahnya untuk berjalan menuju ruang tunggu, tempat di mana Manda berada. 

Begitu El sampai, ia langsung membuka pintunya dan menerobos masuk begitu saja.

Pandangan El seketika langsung tertuju pada Manda yang tengah terduduk di sofa. Tampak Angel memberikan segelas air putih pada Manda dan Manda meneguk air itu hanya sedikit.

El pun berjalan menghampiri Manda. Otomatis Angel yang ada di sana menjauh dan memberi ruang pada bos dan istrinya.

El mengambil tempat di samping Manda, lalu perlahan El mengambil tangan Manda dan menggenggamnya. “Hei, kamu tenang ya. Aku di sini, kita pulang sekarang,” ujar El di dekat Manda.

El lalu mengambil sling bag milik Manda dan membawa tas itu di lengannya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, El segera meraih tangan Manda dan akanmembawa istrinya pergi dari tempat itu.

Namun sebelum El berlalu dari sana, ia menahan gerakannya dan mengatakan sesuatu pada Angel. “Angel, tolong kamu hubungin kuasa hukum saya. Saya mau kejadian ini diurus dengan baik. Pastiin orang yang barusan berani cari masalah sama istri saya, akan dapat konsekuensi yang setimpal.”

 —

Manda masih tampak syok ketika mereka berada dalam perjalanan pulang. El tidak menyetir mobilnya, ia meminta seorang supir untuk menyetir. 

El dan Manda duduk di kok mobil di belakang. Manda menoleh sekilas dan menatap El dari samping. Kemudian Manda mendapati satu tangan El yang berada di atas pahanya tampak mengepal kuat. Beberapa saat lalu, Manda mendapat pelecehan oleh seorang oknum dan orang tersebut langsung kabur begitu saja, sebelum sempat El sampai di ruang tunggu.

“Manda,” ujar El akhirnya. El menoleh pada Manda dan menatap tepat ke irisnya.

“Maaf, seharusnya aku nggak ninggalin kamu tadi. Orang itu udah pergi. Orang yang udah beran-beraninya nyakitin kamu, aku akan urus dia sampe dia dapat hukuman yang semestinya.” El berujar bertubi-tubi. 

Tampak kilatan bening di iris matanya dan baru kali ini Manda mendapati El tampak marah dan berapi-api. Selama ini El terkenal sebaga ipriabdi yang bisa mengontrol emosinya dan cukup tenang, tapi kali ini berbeda.

Manda masih diam di tempatnya. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar berucap. El lantas mendapati juga bahu Manda lantas tampak sedikit bergetar. Kejadian beberapa saat lalu pasti sangat membaut Manda syok.

“Aku janji. Aku nggak akan ninggalin kamu lagi kayak tadi,” ujar El.

 —

El dan Manda sampai di rumah. Manda masih tampak syok, terang saja. Ketika Manda ingin menjelaskan apa yang terjadi, El justru meminta Manda untuk tidak menjelaskannya sekarang. 

Pasti itu cukup berat untuk Manda, dan El tidak ingin Manda terbebani dengan harus mengatakan kata demi kata yang dapat mengulang ingatan Manda akan kejadian buruk itu.

“Aku udah tau kejadiannya dari pegawai aku. Kamu nggak perlu cerita dulu sekarang, nggak papa. Udah jelas dia nyakitin kamu dan tindakannya harus dapat hukuman. I will make sure everything will be clear, oke?” tutur El sambil lekat menatap Manda.

Tatapan El tersebut terasa penuh makna yang mendalam. Manda dapat merasakan itu, ia bisa tahu bahwa El sangat peduli padanya. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba ponsel El berbunyi. Rupanya telfon tersebut berasal dari tim kuasa hukumnya.

“Halo, iya. Saya minta tolong semuanya segera diurus. Pastiin orang itu nggak bisa kabur dan dia harus tanggung jawab atas perbuatannya,” ujar El di telfon.

  —

Keesokan harinya, El mendapat info bahwa wartawan yang menanyainya di wawancara kemarin, ternyata adalah kiriman dan orang yang sengaja disuruh. Perintah itu datang dari pemilik perusahaan yang dulu sempat terlibat sebuah masalah dengan perusahaannya. Jadi orang tersebut memiliki dendam terhadap El, dan niatnya ingin menjatuhkan dengan cara menyerang orang yang berarti baginya.

Seorang musuh tentunya tahu apa yang jadi kelemahan lawannya, dan tahu bagaimana cara menyerang agar tepat sasaran.

El sebenarnya memiliki cukup banyak urusan untuk menyelesaikan masalah tersebut, tapi di satu sisi ia juga memiliki Manda yang harus ia jaga. Manda jatuh sakit, maka El memutuskan tidak berangkat ke kantor dan lebih memilih merawat Manda di rumah.

Pagi hari sekitar pukul 6, El datang ke kamar Manda. El membujuk Manda agar perempuan itu mau makan, setidaknya sedikit saja. Manda sakit karena nggak napsu makan dan berakhir kondisinya drop. Manda mengalami demam dan berakhir harus mendapat cairan infus, karena sudah 1 hari lebih ia tidak mendapat asupan energi yang masuk ke tubuhnya.

“Manda, kamu makan dulu ya?” ujar El pelan di dekat Manda. Manda lantas menoleh pada El. El justru mendapati air mata Manda mengalir membasahi pipinya. Manda lantas secepat kilat mengusap air mata itu dengan satu tangannya.

“Orang itu .. dia megang aku sekali. Terus aku langsung tepis tangannya. Dia nggak mau ngaku dia udah ngelakuin itu pas aku tegur. Padahal jelaas-jelas kenyataannya kaya gitu. Ada CCTV juga kan di ruangan itu?”

“Iya, ada. Kamu tenang aja ya. Pokoknya masalah ini akan beres.” Namun tiba-tiba setelah mengatakannya, El terpikirkan akan sesuatu. El memikirkan Manda dan juga kondisinya.

“Manda, saya udah memutuskan sesuatu. Dan ini yang terbaik,” ujar El.

“Apa?”

“Saya nggak akan bawa kasus ini ke jalur hukum. Saya mikirin kamu. Saya nggak ingin kalau kasus ini dibawa ke jalur hukum, akan banyak berita yang beredar tentang kejadian kemarin.”

El tidak ingin membuat Manda kepikiran dan melihat berita itu di mana-mana jadi semakin membuat Manda tidak bisa lupa akan kejadian buruk yang menimpanya.

“Tapi beneran nggak papa? Maksud saya, orang itu pastinya akan cari masalah lagi sama Bapak nanti ke depannya. Kita nggak ada yang tau. Saya nggak papa misalnya kalau berita itu ke up ke media, Pak. Yang penting urusannya selesai dan orang itu nggak berani cari masalah lagi - ” ucapan Manda terhenti begitu tiba-tiba El mengarahkan tangannya dan kemudian tangan itu mendarat di atas punggung tangan Manda.

El menatap Manda penuh makna, lalu ia berujar, “Manda, saya nggak peduli kalau orang itu akan cari masalah sama saya. Yang penting, dia nggak akan berani lagi cari masalah sama kamu. Saya yang akan pastiin itu. Kasusnya nggak perlu dibawa ke jalur hukum, tapi kamu nggak usah khawatir ya. Dia nggak akan bisa macem-macem lagi sama kamu. Saya punya cara lain untuk ngasih orang itu pelajaran, dan saya udah minta tim kuas hukum saya untuk mengurus semua ini.”

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

Manda merasa bahwa ia tidak bisa mengerti dirinya sendiri. Mood-nya berantakan. Manda gampang sensitif dan tidak memiliki napsu untuk berbicara banyak-banyak. 

Ketika di hadapan El, sebisa mungkin Manda menyembunyikan yang ia rasakan. Jadi, tampak luarnya Manda baik-baik saja, padahal kenyataan di dalamnya bertolak belakang.

Pembicaraannya dengan Vania tempo hari membuat Manda menjadi overthinking. Malam ini Manda tidak bisa memejamkan matanya. Selain banyak pikiran, Manda merasakan bagian pinggang kanannya terasa nyeri.

Manda berakhir memaksa dirinya untuk tertidur dengan pinggangnya yang masih nyeri. Rasa sakit itu datang dan pergi, membuat Manda beberapa kali bergerak gelisah di dalam tidurnya.

Hingga pagi harinya Manda membuka kelopak matanya, Manda mendapati jam dinding di kamar menunjukkan pukul 6 pagi. Manda sedikit bangun kesiangan, karena ia ingat baru bisa benar-benar tidur sekitar pukul 2 dini hari.

Manda baru saja akan bangun dari ranjangnya, ketika ia merasa nyeri itu datang lagi. Manda pun merintih dan memegangi pinggang bagian kanannya, hingga akhirnya ia tidak kuasa beranjak dari kasur.

Manda masih berada di kasurnya ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya. Manda kemudian hanya berujar pelan kemudian, “Masuk aja.”

Dua detik berikutnya, Manda mendapati pintu kamarnya terbuka dan menampakkan sosok El di sana.

“Maaf Pak saya bangunnya kesiangan,” ujar Manda pelan.

El yang mendapati Manda tampak merintih kesakitan pun segera menghampiri Manda. “Kamu kenapa? Kamu sakit?”

“Baru semalem sih. Pinggang saya nyeri banget,” ujar Manda, suaranya terdengar lirih.

El memang terbangun lebih pagi dari biasanya. Biasanya El sudah menemukan Manda keluar dari kamarnya pada waktu segini. Maka ketika Manda belum terlihat, El memutuskan ke kamar Manda untuk mengecek Manda.

El malah menemukan Manda yang merintih kesakitan, bahkan Manda kesulitan untuk bangun dari kasur.

“Kayaknya saya hari pertama dateng bulan deh,” ujar Manda.

“Kamu butuh apa biasanya kalau sakit haid pertama gini?” tanya El.

“Saya mau ke kamar mandi dulu. Bisa bantuin nggak?”

“Oke. Kamu bangun pelan-pelan ya, saya bantuin,” ujar El kemudian.

Kemudian perlahan El membantu Manda untuk beranjak dari kasurnya. El meletakkan satu lengannya di pinggang Manda, lalu ia memapah Manda untuk berjalan ke kamar mandi. 

Setelah sampai di kamar mandi, Manda masuk ke dalam dan menutup pintunya.

El masih menunggu Manda di depan pintu kamar mandi. El ingin terlebih dulu memastikan Manda baik-baik saja sebelum ia beranjak pergi dari sana.

Beberapa menit berselang, pintu di hadapan El terbuka. Tampak di sana Manda dengan wajah pucatnya.

“Nanti saya beliin obat minum buat nyeri haid ya. Nama obatnya kamu kasih tau aja. Sebelum saya berangkat kerja biar saya beliin dulu,” ujar El.

“Iya. Makasih ya, Pak. Nama obatnya feminax. Biasanya nggak sesakit ini, tapi kali ini sakit banget.”

“Oke. Saya beliin dulu deh kalo gitu. Sama ada lagi nggak? Kamu mau apa gitu?”

“Nggak ada, itu aja,” ujar Manda.

“Oke. Kamu nggak usah ngapa-ngapain dulu hari ini. Saya sarapan di kantor aja, makan siang juga gampang lah nanti. Kamu nggak usah masak dulu ya.”

Manda lantas hanya mengangguk pelan. Kemudian El segera berlalu dari hadapan Manda.

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

Manda dan Vania sebelumnya telah berencana untuk menghabiskan waktu bersama. 

Vania mengatakan pada Manda bahwa hari ini ia mau datang ke rumah. Vania bilang, tidak perlu hang out ke luar rumah yang memungkin bisa berakhir pulang terlalu larut seperti beberapa waktu lalu. 

Vania pengertian sekali. Katanya kini Manda sudah berumah tangga, jadi hidup Manda bukan lagi miliknya seorang. Kata Vania, ada seseorang yang akan mengkhawatirkan Manda jika Manda pulang terlambat Ada sesorang yang akan repot dan kepikiran kalau Manda berada jauh dari rumah. 

Maka dari itu, Vania memutuskan agar dirinya saja yang akan datang ke rumah Manda. Mereka pun berencana untuk memasak bersama. Manda turun ke lantai bawah begitu mendengar bunyi bel pintu rumah. Ternyata yang datang adalah Vania. Manda yang telah membuka pintu, lantas segera mengajak Vania masuk ke dalam rumah.

“Jadi kita mau masak apa nih hari ini Bund?” celetuk Vania begitu mengikuti langkah Manda memasuki rumah bergaya minimalis itu.

“Karena lo datengnya udah hampir sore nih Bestie, kita masak sekalian buat suami gue. Dikit lagi suami gue pulang,” ujar Manda.

“Oh, oke. Sip deh. Duh istri idaman banget ya Bund. Masak aja tepat waktu banget,” ujar Vania sambil terkikik kecil.

Vania mengikuti langkah Manda ke dalam rumah dan sampailah mereka di sebuah dapur. Manda bilang dapur ini adalah dapur kotor. Jadi Manda biasa memasak setiap hari di sini.

“Katanya ada ART di rumah lu?” tanya Vania.

“Iya, ada. Tapi udah balik. Tadi izin balik cepet, si Mbak lagi kurang enak badan katanya,” ujar Manda.

Vania lantas hanya mengangguk-angguk saja.

“Gue bantuin apa nih? Duh gue nggak bisa-bisa banget masak. Lu tau lah gue gimana,” ujar Vania yang masih berdiri di sana sambil memperhatikan Manda yang sudah mulai menjamah dapur.

“Yaudah lu bantuin potong cabe aja. Bisa kan?”

“Bisa. Potongnya bentuknya gimana?”

“Dipotongnya miring, terus agak tipis ya jangan tebel,” ujar Manda memberitahu.

Vania mengangguk saja, lalu ia mencuci tangannya terlebih dulu sebelum mulai melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh Manda. Selang beberapa menit, Vania akhirnya selesai dengan pekerjaannya. Vania memotong daun bawang dan bawang bombay juga, dan berakhir air matanya merembas.

“Manda, gue nggak sanggup motong bawang, Man. Gue bantuin yang lain aja deh,” ujar Vania.

“Ini gampang kok masaknya. Yaudah gue sendiri aja kalau gitu nggak papa. Lu duduk mansi aja lah nyemil sana. Ambil cemilan di lemari,” tutur Manda akhirnya. 

Manda memutuskan bahwa ia akan memasak sendiri saja. Kalau dibantu, justru akan lebih lama karena Manda harus mengajarkan Vania cara memasaknya.

Vania pun mengiyakan, lalu ia mengambil segelas air dingin dari kulkas dan meneguknya. Vania lantas hanya mengamati Manda yang sedang memasak.

“Lu masaknya makanan sehat ya, real food gitu, nggak yang instan-instan. Lengkap banget tuh, bahan-bahannya juge premium nih gue tau. Ya tapi pasti suami lu ngasih uang bulanan juga gede ya, secara duitnya laki lo banyak. Sayur organic kayak gini kan harganya lebih mahal,” ujar Vania sembari menunjuk bahan-bahan makanan di dapur itu.

“Iya. Gue masaknya perhatiin banget komposisi gizinya. Soalnya suami gue udah biasa makan makanan yang kaya gini, Van. Kalau makannya kotor, dia bisa gampang sakit,” terang Manda. 

Vania lantas mengangguk-angguk tanda paham.

“Lu kalo mau nyemil, ada cemilan di lemari. Tapi paling ya cemilan sehat gitu. Kalau lu doyan, ambil aja,” ujar Manda lagi.

“Iya, gampang lah nanti.”

“Eh Man, gue mau nanya deh. Rasanya nikah tuh gimana sih?” Manda yang tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu dari Vania, seketika menghentikan aktivitasnya yang tengah mencuci sayuran.

Detik berikutnya Manda mengulaskan senyumnya. Sadly, Manda harus berbohong dan berakting lagi. “Rasanya nikah .. yaa bahagia dong. Tiap hari ketemu sama orang yang lu mau, bayangin aja. Kayak gitu lah rasanya, Kalau pas pacaran kan nggak bisa ketemu tiap hari, belum mukhrim juga. Nggak bebas mau ngapa-ngapain. Sekarang mah udah bebas mau ngapain.”

“Duhh iya deh, Bestie. Rasanya kayak ABG baru jatuh cinta ya pengantin baru tuh. Lu berdebar terus gitu tiap hari nggak? Kayak ada kupu-kupu di perut gitu?” tanya Vania lagi. Manda masih mempertahankan senyumnya, lalu ia mengangguk.

“Bener-bener emang ya, jodoh tuh nggak ke mana. Nggak ada yang tau, takdirnya lu malah nikah sama mantan bos lu sendiri. Kayak .. hello Bestie, lu tiga tahun kerja sama doi emang kayanya udah dipersiapkan, udah dikarantina untuk jadi istrinya.” Manda hanya tersenyum lagi dan setuju dengan ujaran Vania itu. Manda harus bohong lagi dan berakting kalo pernikahannya bahagia. Padahal kenyataannya berbeda. 

Lantas Manda bertanya pada dirinya sendiri, kenapa tiba-tiba ia merasa sedih? Harusnya Manda merasa biasa saja, karena ia sudah tahu memang adanya seperti ini. Manda tidak boleh merasa sedih. Karena suatu saat, Manda akan meninggalkan rumah ini. Manda akan melepaskan tatusnya sebagai istri El dan juga meninggalkan El.

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

El sampai di rumah orang tua Manda sekitar pukul 12 siang. El pertama kali disambut oleh Anwar yang sedang duduk bersantai di teras rumah. Anwar pun langsung mengajak El masuk setelah mengatakan bahwa Manda dan Laila telah selesai memasak makan siang.

“Ayo, langsung makan aja. Manda bilang kamu belum makan siang, pasti laper,” ujar Anwar.

El mengangguk sekilas, lalu ia mengikuti langkah Anwar untuk masuk ke dalam rumah.

Sesampainya El dan Anwar di ruang makan yang terletak di samping dapur, di sana El mendapati Manda dan Laila. Makanan di meja makan sudah tampak siap. El mendapati beberapa jenis makanan di sana cukup lengkap. Ada lauk pauk, sambal, serta lalapan hijau yang terlihat begitu menggugah selera.

“Lho El udah dateng. Kalau gitu kita langsung makan siang aja, yuk,” celetuk Laila.

Laila lalu mempersilakan El untuk duduk. Namun sebelum itu El terlebih dulu mencuci tangannya di wastafel.

Manda mengambilkan piring untuk mereka. 4 buah piring diambil oleh Manda. Siang ini di rumah hanya ada kedua orang tuanya, karena kedua adiknya masih bersekolah. Setelah mengambilkan piring, Manda beranjak ke samping El dan duduk di kursi. Sementara Anwar dan Laila duduk di hadapan El dan Manda.

“Makan yang banyak yam El. Manda bilang kamu suka sambel, barusan Mama buatin yang mantep nih sambelnya,” ujar Laila.

“Iya, Mah. Keliatannya enak banget nih sambelnya,” ujar El. Sebelum Manda mengambil makanan untuk dirinya sendiri, ia lebih dulu mengambilkan untuk El. Sepotong ayam goreng paha atas yang cukup besar, sambel, serta lalapan timun dan kol, diambilkan Manda untuk El.

“Kamu lalapannya timun sama kol aja kan?” tanya Manda.

“Iya,” jawab El. Manda dengan cekatan mengambilkan makanan untuk El, juga menyiapkan segelas air putih untuk El.

“Kirain El mau minum teh atau kopi gitu, Manda,” celetuk Laila.

“Oh, engga Mah. Lagi lumayan ngurangin soalnya. Kalau kerja pagi-pagi atau malem ngantuk, udah minum kopi. Harusmulai dikurangin sekarang,” ujar Manda menanggapi ucapan Laila.

“Oh iya bener. Nggak baik ya banyak-banyak konsumsi kopi,” ucap Laila lagi.

  —

Setelah makan siang, El diajak untuk main catur oleh Anwar. Anwar keheranan karena sudah 2 babak, El berturut-turut menang. Akhirnya permainan catur tersebut selesai ketika di babak ketiga. Setelah itu, El malah diajak untuk memetik mangga di kebun yang ada di belakang rumah. 

Untungnya Manda prepare banget. Manda membawakan untuk El baju casual. Manda udah kepikiran, kalau El pakai baju stelan formalnya seharian, pasti akan tidak nyaman dan gerah juga. Tidak mungkin El memanjat pohon pake kemeja celana bahan panjang gitu. Jadi baju yang dibawakan Manda benar-beanr berfungsi sebagaimana mestinya.

El pun akhirnya ganti baju dulu, baru setelah itu berburu mangga bersama Anwaar. Manda dan Laila menunggu di rumah, sudah siap-siap mengulek sambel untuk diamkan bersama mangga muda.

Sekitar 30 menit berburu mangga, akhirnya El dan Anwar kembali dengan membawa 3 buah mangga yang berukuran cukup besar. Mereka berempat kemudian menikmati mangga yang telah dipetik dengan sambel rujak. Rasanya mantep banget. 

El menghabiskan mangga cukup banyak, padahal sebelumnya ia jarang makan makanan seperti ini.

“Kamu jarang makan kayak gini kan?” Manda bertanya.

“Kayak gini gimana? Aku pernah makan rujak juga. Masa nggak pernah,” ujar El.

“Iya, tapi jarang,” ujar Manda.

“Emang kenapa jarang? Kan rujak udah umum banget,” celetuk Laila yang ikutan nimbrung obrolan Manda dan El.

“Manda udah hapal banget ya kesukaannya El,” timpal Anwar.

“Iya Mah, Pah. Makanya cocok kan jadi istri,” sela El cepat. Setelah itu mereka malah tertawa bersama. “Mah, Pah, soalnya Mas El makannya makanan sehat, buah yaa biasanya dijadiin salad. Bukan jadiin rujak gini,” tutur Manda.

“Oh gitu. Yaudah nggak papa dong sesekali cobain makanan kampung. Enak kan El?” tanya Laila.

“Iya. Enak Mah,” sahut El menanggapi.

“Iya, enak. Kamu habis paling banyak, Mas. Liat nih, hampir satu mangga sendiri kamu yang habisin,” seru Manda.

“Masa sih?”

“Boleh El kalau mau bawa pulang mangganya. Tapi manjat dulu, ambil dulu baru bawa pulang,” celetuk Anwar.

“Oke, Pah. Nanti El manjat lagi deh buat ambil. Manda juga suka mangga, sekalian buat aku sama Manda,” sahut El cepat.

“Apa aja dilakuin ya demi istri. Sekalipun manjat pohon mangga,” ujar Anwar.

“Iya, dong Pah,” ucap El dengan nada bangganya.

“Duh begini ya pengantin baru. Adem banget lho Mama liatnya. Romantis banget,” celetuk Laila lagi. Setelahnya El dan Manda hanya tersenyum. 

Tanpa El tahu, senyuman Manda bukanlah sebuah akting. Begitu juga El, Manda belum tahu, jika selama ini yang El lakukan sama sekali bukanlah sandiwara.

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

Manda sampai di rumah sekitar pukul 8 malam. Tidak lama setelah Manda pulang, ia mendapati El juga kembali. 

Manda berjalan melenggang keluar dan membukakan pintu pagar untuk El. 

Usai El memarkirkan range rovernya di garasi rumah, El segera turun dari mobilnya. El seketika mendapati Manda ketika ia membuka pintu mobil.

El lantas memperhatikan raut wajah Manda. Tampak di paras cantik itu ada kebahagiaan yang terpancar yang tidak bisa ditutupi.

“Gimana tadi acaranya?” El bertanya.

“Seru sih acaranya. Mayoritas emang ibu-ibu kan yang hadir di sana. Tapi beberapa mereka ada yang sekalian ngajak anak perempuannya, ngajak mantunya, ada juag yang ngajak cucunya. Habis selesai acara, nggak langsung pulang. Jadi agak malem deh baliknya,” cerita Manda panjang lebar.

“Ohya, pasti sih. Nenek sama Mama emang suka jalan-jalan. Sering nggak inget umur mereka tuh,” ujar El.

Manda mengangguk menyetujui itu. “Eh tapi bagus dong ..? Artinya Nenek sama Mama sehat, masih kuat jalan-jalan, umur nggak menghalangi.”

Mereka mengobrol sembari berjalan masuk ke dalam rumah. Manda masuk lebih dulu, lalu disusul oleh El yang langsung mengunci pintu utama rumah.

“Hmm .. iya ya, bener juga. Emangnya tadi ke mana aja?” El bertanya lagi.

“Belanja baju. Karna kebetulan ukurannya ada, jadi beli baju tiga biji samaan deh. Terus habis itu meni pedi juga ke salon langganan Mama.”

“Ya ampun.” El berdecak kecil, lalu ia geleng-geleng kepala tampak heran. Namun setelahnya El tidak dapat menahan senyumannya. Perasaan bahagianya tidak dapat ditutupi kala melihat Manda yang juga tampak senang hari ini.

Tidak terasa langkah mereka sudah jauh memasuki bagian dalam rumah. Manda dan El akan berjalan berpisah. El akan menuju ke kamarnya, lalu Manda akan menaiki tangga untuk menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

Namun sebelum itu, Manda berceletuk, “Besok gantian Kak Shila yang ngajakin saya pergi, Pak.”

“Berdua aja sama Kak Shila?“ 

“Iya. Mau hangout katanya. Kak Shila suruh saya buat milih kegiatannya. Yaudah saya bilang aja mau ikutan baking class. Kak Shila setuju juga.”

“Oh iya. Yaudah nggak papa. Kamu suka baking kan.” Manda dengan cepat mengangguk.

“Iya. Kalau kamu suka dan kamu enjoy, kamu bisa lakuin itu. Saya setuju aja sih,” tambah El lagi.

Manda setelahnya hanya tersenyum kecil. Sejenak hati kecil Manda tidak dapat berbohong lagi. Kali ini suara itu begitu kuat. Manda tidak bisa menyangkal lagi. Manda pun meminta izin pada dirinya sendiri, bolehkah sesaat ia menikmati semua ini dan menganggap bahwa yang dijalaninya sekarang adalah kenyataan, bukan hanya sekedar sandiwara? 

Namun rasanya Manda terlalu tidak tahu diri untuk sekedar berharap. Manda lebih mudah untuk sadar akan posisinya yang sesungguhnya, hingga sulit baginya untuk memikirkan harapan itu.   

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

Sudah 3 hari belakangan El tidak mendapati Manda di rumah. El merasa bahwa dirinya merindukan Manda, begitu mengetahui perempuan itu tidak berada di dekatnya. 

Hari-hari El tanpa Manda pun terasa berbeda. El rindu, tapi memang gengsi aja buat bilang, terang saja. Atas dasar apa El mengatakan ia merindukan Manda. El bingung, dan rasanya mustahil baginya untuk mengutarakannya.

El tidak mengirim pesan pada Manda. Hanya 2 kali Manda mengiriminya pesan. Manda menanyakan apakah El sudah makan atau belum, mengingatkan El untuk meminum vitamin, dan jangan begadang sampai terlalu larut untuk mengerjakan pekerjaan. Malam ini merupakan malam ketiga Manda menginap di rumah mertuanya. Manda belum tidur, ia masih terjaga. 

Waktu menunjukkan pukul 10 malam ketika Manda mendapati range rover milik El memasuki pekarangan rumah. Manda yang menemukan mobil El di sana pun segera melenggang ke garasi ketika El memarkirkan mobilnya di sana.

El tidak memberitahu Manda atau pun orang rumahnya sama sekali. Tahu-tahu pria itu pulang ke rumah orang tuanya. 

“Kamu kok pulang ke sini? Nggak ngasih tau aku apa-apa,” ujar Manda begitu ia mendapati El kini tengah ada di hadapannya.

“Tadi aku habis meeting sama klien dan selesainya malem. Meeting-nya di restoran. Lebih deket kalau aku balik ke sini daripada ke rumah. Jadi aku pulang ke sini aja,” papar El.

  —

Ketika El melenggang masuk ke rumah, ia mendapati Shila dan Feri tengah duduk di sofa ruang keluarga. 

Shila yang menemukan sosok El di sana, lantas segera berceletuk,

“Kamu nginep di sini Dek malem ini? Emangnya kamu bawa baju?“ 

“Aku nggak bawa baju Kak. Nanti pinjem baju sama Mas Feri aja. Atau kayaknya, baju aku masih ada sebagian di rumah ini. Gampang lah nanti,” ujar El.

Karena El yang mengaku bahwa dirinya merasa lapar lagi, jadi El melenggang dari ruang keluarga dan melangkah menuju ruang makan.

Manda bersamanya, ia mengikuti langkah El ke ruang makan.

“Aku ambilin aja makanannya. Kamu cuci tangan dulu gih,” tutur Manda pada El. El pun menurut, ia segera melenggang ke wastafel untuk mencuci tangan.

Saat El kembali ke meja makan, ia mendapati sebuah piring telah lengkap dengan nasi dan juga lauk. Manda mengambilkan nasinya satu centong saja, seperti sudah hapal sekali porsi makan El. El makannya tidak banyak, tapi jarak waktu makannya memang berdekatan.

El langsung menikmati makanannya dan terkesan buru-buru, itu yang diperhatikan oleh Manda.

“Kamu jangan buru-buru makannya,” tegur Manda sambil memperhatikan gerakan El menyendok lalu mengunyah makanan.

“Aku ngantuk banget. Pengen cepet-cepet tidur,” ucap El.

“Iya, tau. Tapi nanti kamu keselek. Pelan-pelan aja, habis ini kan langsung bisa tidur,” ujar Manda. El mengangguk menurut, ia lalu mulai memelankan gerakan mulutnya mengunyah makanan.  

El terbukti merasa lelah dengan dirinya yang langsung tertidur setelah makan, berbersih diri, dan tentunya sholat isya.

Malam ini tentunya El dan Manda tidur di satu kamar yang sama. Mereka tidur di kamar yang dulunya merupakan kamar milik El ketika dirinya masih tinggal di rumah ini.

El sudah memejamkan matanya dan tampak begitu damai. Napasnya berhembus dengan teratur. Di samping El yang tertidur, Manda tengah meletakkan kedua tangannya di bawah kepala sambil menatap lurus ke arah El.

Selang beberapa menit kemudian, Manda mendapati El sedikit bergerak dalam tidurnya. Lalu tampak kening El berkerut, membuat Manda berpikir sepertinya El tengah bermimpi.

Manda baru saja akan memejamkan matanya dan menarik selimut untuknya, tapi tiba-tiba suara igauan El menghentikan aksi Manda.

“Manda .. ” lirih El dengan matanya yang masih setia terpejam. Manda menatap lekat pada El.

“Manda,” lagi, El berujar.

Manda tidak berpikiran ke arah apapun ketika mendapati El mengigau memanggil namanya. 

Manda sudah akan memutuskan mengabaikannya saja, tapi kemudian Manda jadi kepikiran ketika El mengigau lagi, “Manda, jangan pergi. Tolong, jangan pergi dari saya.”  

Pagi ini di kediaman Alvin Bakrie, satu keluarga tengah sarapan bersama di ruang makan. 

Karena semalam hanya Shila dan Manda yang mendapati El yang tiba-tiba pulang ke rumah, Kinanti pun tampak heran begitu mendapati keberadaan El di sana.

Spontan Kinanti berceletuk, “Ya pasti kangen lah sama istri. Nggak papa dong nyusulin istrinya. Tiga hari berasa berat ya, Nak?” Kinanti melirik pada putra satu-satunya itu.

Seketika ucapan Kinanti membuat semua orang di meja makan menatap ke arah El dan Manda.

El dan Manda tampak malu-malu ketika mereka mengulaskan sebuah senyuman.

“Manda, El emang gitu anaknya,” ujar Shila. “Kita ngebaca dia dari sikapnya aja. Kalau dari perkataannya mah nggak bakal nyampe. Dia nggak akan bilang kalau dia kangen kamu, tapi sebenernya mah kangen banget.” Ucapan Shila yang menimpali Kinanti pun semakin memperkuat dugaan kalau El memang merindukan Manda.

Satu keluarga Bakrie yang sudah tau sifat dan tabiat El, mengatakan kalau El orangnya memang gengsian dan cenderung kurang pandai mengungkapkan perasaannya secara gamblang.

“Habis ini Manda pulangin aja deh Mah,” ucap Alvin tiba-tiba.

“Lho Pah. Tapi kan Mama maunya Manda masih nginep di sini,” ucap Kinanti cepat.

“Udah tiga hari Manda nginep di sini, Mah. Masa masih kurang,” celetuk El tiba-tiba.

Serta merta celetukan spontan El dengan jelas menunjukkan bahwa dirinya memang tidak bisa jauh-jauh dari Manda.

“Iya, oke. Nanti Manda pulang aja deh. Bisa panas dingin Mah nanti anak bontot Mama ditinggal nginep sama istrinya,” ujar Kak Shila yang akhirnya menjadi pembuat keputusan.

Usai ucapan Kak Shila tersebut, Manda yang duduk di samping El mendapati El tengah menatapnya. 

El tidak mengatakan apa pun, hanya menatap Manda dengan intens. Manda pun jadi teringat El yang semalam mengigau dalam tidurnya.  Mengapa El sampai mengigau dan terlihat takut Manda akan meninggalkannya? Toh kenyataannya El sudah tahu bahwa mereka akan berpisah, bukan? Mereka kan hanya menikah kontrak dan itu adalah fakta yang sama-sama keduanya ketahui.  

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

Beberapa hari sudah berlalu sejak Kinanti menginap di rumah. Sudah terhitung 4 hari Kinanti berada di sana, dan akhirnya hari ini Mamanya itu memutuskan untuk pulang.

“Mama jadi pulang hari ini Mah?” El bertanya ketika dirinya, Manda, dan Kinanti sedang sarapan bersama di ruang makan.

“Iya, Mama jadi pulang hari ini. Tapi Mama nggak pulang sendiri dong,” ucap Kinanti.

El yang mendengar hal tersebut seketika mengerutkan keningnya.

“Mama bareng El berangkat kerja sekalian? Nanti aku anterin Mama dulu sebelum ke kantor,” ujar El.

“Oh, engga usah, Nak. Mama dijemput sama supir kok nanti.”

“Terus maksudnya Mama nggak pulang sendiri tuh gimana?” tanya El yang tidak mengerti.

Kinanti belum menjawab pertanyaan El, makin membuat El bingung. Kinanti justru menatap pada Manda sambil terlihat tengah menahan senyumannya.

El gantian menatap pada Manda, tapi Manda juga tidak memberi keterangan apa pun padanya.

“Wanita selalu punya rahasia ya. Ada apa ini sebenernya?” ujar El seraya tidak sadar berdecak kecil.

“Gini lho, Nak. Mama kan udah nginep di rumah kalian. Gantian sekarang, Mama mau ngajak mantu cewek Mama nginep di rumah,” ujar Kinanti akhirnya.

“Lho, kok tiba-tiba? Aku nggak tau apa-apa. Manda, kamu nggak bilang ke aku,” ucap El berturut-turut.

“Kenapa emangnya? Nggak boleh Mama ajak Manda nginep di rumah?” serbu Kinanti.

El lantas segera berucap, “Yaa boleh aja sih. Yaudah silakan.” El mengangguk dua kali. Setelahnya El tidak mengatakan apa pun lagi.

“Kamu mau nginep juga? Kayaknya kamu nggak bisa jauh banget dari istrimu,” celetuk iseng Kinanti.

Seketika El menoleh pada Manda, dan ternyata Manda juga tengah menatap ke arahnya.

“Aku pengen nginep juga sih, tapi kerjaan di kantor lagi lumayan hectic. Jarak rumah Mama sama kantor akukan jauh, jadi kayaknya lebih baik aku nggak ikutan nginep. Ya gapapa sih,” terang El.

El akhirnya mengizinkan Manda menginap, karena ya sudah baginya tidak apa-apa. Toh El berpikir bahwa Manda jadi bisa lebih mengenal dan dekat dengan keluarganya. El pun beranggapan bahwa itu adalah hal yang baik. 

 - 

Terima kasih telah membaca Marrying My Boss 💕

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 🌸

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍰

Olivia mendapati kehadiran suaminya tidak lama setelah dirinya kembali dari gym.

Olivia melirik jam dinding, di mana jarum pendek menunjuk pada angkat dan jarum panjang hampir menyentuh angka 12. Waktu menunjukkan hampir pukul 4 sore, yang di mana artinya ini MASIH terlalu dini untuk suaminya pulang ke rumah.

Olivia sedang berada di ruang tamu bersama ketiga anak mereka. Mikayla, si sulung yang baru beberapa jam lalu pulang dari sekolahnya. Orion, anak lelakinya yang masih berusia 7 tahun. Serta Leo, putra bungsunya yang masih berusia 6 tahun, duduk tenang sembari menikmati cemilan manis kesukaannya.

Suaminya itu lekas berjalan menghampiri Olivia, dan begitu telah sampai di hadapannya, Olivia langsung mendapatkan sebuah kecupan di pelipis dan di kening.

Marcel lantas mengusap pucuk kepala Olivia, gerakannya pelan sekali,lalu turun ke surai panjang Olivia. Olivia terdiam di tempatnya merasakan usapan itu, berusaha terlihat tenang, padahal jantungnya berdebar kencang di dalam rongga dadanya.

Marcel yang masih berada di dekat Olivia kemudian berbisik di telinga kirinya, “Babe, untuk malem ini aku udah reservasi dinner untuk kita berdua.”

“Acara apa? Tiba-tiba banget?” Olivia pun bertanya.

“Nggak ada acara apa-apa, Babe. Emagnya nggak boleh .. aku ajak istriku dinner?” Marcel berucap dengan nadanya yang seolah terdengar sarkas.

“Yaa .. boleh-boleh aja sih. Coba kamu tanya anak-anak dulu.”

“Kenapa harus tanya anak-anak?” Marcel berucap sembari kemdian menatap pada Mikayla, anak perempuannya.

“Oke, aku tanya anak-anak,” putus Marcel.

“Hmm.”

“Hello, Kids,” ujar Marcel satu kali. Namun ketiga anaknya belum menoleh padanya. “Halo, hai anak-anak, Daddy mau bicara. Bisa dengarkan Daddy dulu?” lagi Marcel berujar agar didengar.

Mikayla yang sebelumnya sedang menikmati cemilan dan tontonan youtube dari ipadnya, seketika menoleh begitu kedua kali Marcel memanggilnya.

“Iya Daddy?” sahut Mikayla, lalu disusul oleh Orion dan Leo yang juga menoleh serta menatap pada Marcel.

“Hmm .. malem ini Daddy sama Mommy mau hang out berdua dulu. Boleh kan?”

“Daddy sama Mommy mau hang out ke mana memangnya?” Mikayla pun jadi yang pertama bertanya.

“Daddy sama Mommy mau dinner berdua, habis itu menginap di hotel. Iya kan, Sayang?” ujar Marcel sembari kemudian menatap Olivia dengan lekat.

Olivia yang seketika mendapati tatapan dan senyuman maut khas Marcel, secara otomatis senyumnya terulas begitu saja.

“Daddy tadi bilangnya sama Mommy mau dinner doang lho. Tapi tiba-tiba kok segala nginep ya?” celetuk Olivia sembari memicingkan matanya menatap Marcel.

“Iya, gini lho. Kan kalau dinner kemungkinan bisa sampe malem banget. Restorannya juga lumayan jauh, takutnya kemaleman pulang. Jadi Daddy sama Mommy memutuskan menginep di hotel, gitu anak-anak.”

Olivia baru akan membuka mulutnya dan berujar, tapi Marcel keburu mencium pipinya yang mana membuat Olivia terkejut dan jadi mengurungkan niatnya berbicara.

“Malam ini kalian jadi anak baik di rumah ya. Daddy sama Mommy mau pergi dulu. Kalian mau punya adik baru nggak?”

“MAUU!!” sontak ketiga anak mereka berseru dengan antusias. Olivia membeliak di tempatnya, lalu sedikit meringis. Marcel hanya tersenyum saja di sana, senyumnya lebar, hingga tercetak eye smile di wajah tampan itu dan kedua matanya tampak akan menghilang.

“Daddy, Mommy, aku mau punya adik cowok!” celetuk Leo dengan mata sabitnya yang tampak berbinar.

“Kenapa Leo mau adik cowok?” Olivia pun bertanya.

“Karena biar bisa dikalahin pas main sama Leo. Kalau Leo main sama Kakak Orio, Leo kalah terus, Mommy.”

***

Marcel mengatakan pada Olivia bahwa wanita itu bisa mengenakan pakaian seksi ketika berada di luar rumah. Terang saja, Marcel memperbolehkannya karena Olivia akan sangat menawan dengan dress-dress mahal nan cantik itu. Dengan catatan, saat Olivia bersamanya dan Marcel tentu saja ada di sisinya. Marcel akan berjalan dengan bangga di samping Olivia dan menggenggam tangannya, menunjukkan pada dunia betapa ia beruntung memiliki Olivia.

Couple

He’s a proud husband.

Olivia bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan memiliki trek rekor karir sebagai desainer yang gemilang. Olivia Agatha Christie, telah cukup dikenala sebagai desainer berbakat, bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Salah satu pencapai besar Olivia adalah, ia terpilih menjadi salah satu desainer yang mewakili Indonesia untuk bekerja sama dengan brand pakaian luar negeri dalam sebuah pagelaran fashion terbesar di dunia, yakni New York Fashion Week. Olivia merancang sebuah pasang pakaian yang mewakili brand tersebut dan rancanagannya dipakai oleh dua model internasional yang pernah memiliki bayaran tertinggi pada tahun lalu.

Marcel selalu mengatakan ia bangga kepada Olivia. Meski Olivia sudah tau, tapi menuurt Marcel, apresiasi itu harus secara berkelanjutan diberikan. Marcel ingin Olivia selalu tahu bahwa Marcel bangga padanya.

Maka jika Olivia meminta sesuatu pada Marcel, sebisa mungkin Marcel akan memberikan dan mewujudkan sesuatu itu. Meski Olivia sebenarnya jarang meminta pada Marcel,

“Babe, kamu lagi ada kepengen apa nggak gitu? Mau nggak naik kapal pesiar? Atau yatch? It’s all will be private. There only for us and our family. Gimana menurut kamu? Itu rencana aku untuk liburan natal sekalian akhir tahun kita nanti,” Marcel berucap bertubi-tubi sambil tidak melepas pandangannya pada Olivia yang ada di hadapannya. Olivia begitu cantik, paras mungilnya bak dewi, mana bisa Marcel melihat hal lain selain istrinya.

Marcel lalu meraih tangan Olivia di atas meja, lalu ia menggenggamnya.

Marcel mendapati Olivia yang lantas mengulaskan senyum cantiknya.

“Boleh tuh ide kamu. Tapi aku mau sekalian snorkling gitu Babe, mau nyoba. Boleh ngga?”

“Iya, boleh. Nanti aku snorkling juga sama kamu. Biar aku bisa jagain kamu dan pastiin kamu aman,” ucap Marcel.

Olivia seketika berdecih kecil dan menatap Marcel dengan tatapan khasnya. “Posesif banget sih suami aku.”

“Oh iya, jelas. Tapi posesifnya aku tujuannya baik, Babe. Dan au nggak berlebihan, semuanya demi menjaga kamu.”

“Iya, sih.”

“Hmm.. okey. Tapi kamu suka nggak punya suami yang kaya begini?”

“Suka mah suka. Kalau nggak, mana mungkin aku ada di depan kamu sekarang.”

“Oh iya juga ya,” ucap Marcel.

Kemudian keduaanya tertawa bersamaan.

Beberapa detik kemudian, Olivia mengatakan sesuatu pada Marcel.

“Babe, I want a ice cream. Can you get it for me?”

“Of course, I can, Babe. Kamu mau es krim rasa apa?”

Bukannya segera menjawab pertanyaan tersebut, Olivia malah mencondongkan tubuhnya sedikit maju agar ia lebih dekat dengan Marcel. Olivia lantas berucap pelan, “Bukan es krim yang biasa, Babe. Bukan es krim kesukaan anak-anak, tapi es krim kesukaan aku, cuma aku.”

Marcel tidak perku berpikir keras untuk kemudian mengerti.

“Babe, you are a naughty and dangerous woman for me.”

“What?” Olivia terkikik kecil.

“Aku nggak mau es krim yang di jual. Ngapain aku beli, kalau aku punya es krimku sendiri.”

Marcel kemudian tersenyum tipis, senyum itu tampak seperti sebuah senyuman smirk. Marcel lalu tertawa pelan dan terdengar renyah di telinga Olivia. “Yes, Babe. You already have your ice cream, you owned it.”

***

Tipe kamar president suit room, terletak di lantai 64 bangunan hotel mewah bintang lima. Kamar tersebut menampakkan pemandangan kota Jakarta dari dinding kaca, sangat indah dan cantik, terasa melengkapi malam intim dan sempurna untuk Marcel dan Olivia.

Olivia luluh lantak begitu Marcel semakin brutal menciumnya. Belah bibir Marcel yang terasa lembap dan kenyal itu pertama mencium bibirnya, tanpa membirkan sejengkal pun area tidak dijamahnya. Kemudian bibir Marcel turun pada leher jenjeng Olivia, di sana Marcel menciumnya dengan penuh gairah. Olivia seketika melesakkan jemarinya pada rambut Marcel di bagian belakang kepalanya. Olivia masih setia memainkan jemarinya di antara helai rambut hitam itu, mengisyratkan pada Marcel bahwa pria itu perlu semakin gencar melakukannya.

Olivia ingin Marcel menciumnya, seluruh dirinya ini adalah avaible untuk Marcel, dan hanya Marcel selamanya. Begitu sesaat Marcel mengistirahatkan diri untuk mengambil napas juga, rupanya Marcel tidak diam saja. Ia segera melepaskan gaun berbahan silk yang dikenakan Olivia. Hingga kini Olivia sukses hanya terlihat mengenakan pakaian dalamnya yang berwarna senada, yakni putih transparan.

“Babe, kapan makan es krimnya?” Olivia lantas bertanya, tapi sebenernya ia hanya ingin menggoda Marcel dan sedikit bermain-main.

“Iya, nanti Sayang. Eh apa sekarang aja ya? Udah keras banget es krimnya. Damn it.”

Olivia sukses tergelak mendapati ucapan Marcel dan ekspresi pria itu yang selalu tidak bisa berbohong ketika bersamanya. Marcel begitu mendamba Olivia, dan selalu dengan mudahnya turn on, padahal Olivia sebenarnya belum melakukan apa pun.

“Emang iya udah keras? Coba aku cek.”

“Babe, no,” spontan Marcel berucap begitu Olivia akan menurunkan tangannya dan menuju pada sesuatu di antara kedua pahanya. “Makin kamu sentuh, dia makin menjadi. Please, just don’t. Nanti kamu yang kesakitan, we're not even doing foreplay yet. Kamu lecet semua yang ada nanti.”

Olivia tersenyum. “Iya-iya. Sensitif banget ya es krimmu ini.”

“Memang.”

“Oke, lima belas menit kalau gitu, ya? Kita foreplay dulu, habis itu aku mau mam es krim.”

“Iya, Sayang. You will get your ice cream.”

“Alright.”

Couple 2

***

Tahun-tahun telah berlalu. Sudah hampir 8 tahun Marcel dan Olivia mengarungi bahtera rumah tangga. Ada sedih yang mereka lalui, tapi keduanya bsia kemudian berdamai dengan itu. Tidak ada alasan pasti, hanya saja keduanya meyakini kalau mereka memiliki cinta yang tulus di hati. Mereka telah berkomitmen dan berjanji di hadapan Tuhan, bahwa cinta itu akan selalu ada karena dipupuk dan terus disirami. Jadi jika ada perpecahan, mereka bisa memperbaikinya dn menjadi satu kesatuan yang utuh lagi. Meski tidak sempurna.

Begitu banyak malam-malam intim yang Marcel dan Olivia telah lalui. Sedikitnya ada perasaan yang melekat di hati Olivia. Apakah Marcel bosan padanya?

Marcel sebenarnya juga memiliki pikiran itu, apakah Olivia bosan padanya? Namun Marcel memilih tidak menanyakannya. Berbeda dengan Olivia yang tidak bisa menyimpan lama-lama sesuatu di dalam kepalanya.

Mereka baru saja selesai melakuan foreplay. Olivia telah mendapati es krimnya, tapi belum menikmati benda itu di dalam dirinya, karena tiba-tiba terlontar pertanyaan Olivia kepada Marcel.

“Babe, kamu pernah ngerasa bosen nggak sih sama aku?” tanya Olivia.

Marcel jelas paham makna pertanyaan itu. Marcel kemudian mengusap satu sisi wajah Olivia, lalu usapannya turun ke pipinya. Marcel menggunakan punggung tangannya untuk merasakan lembut permukaan kulit wajah Olivia.

Olivia selalu suka ketika Marcel menyentuhnya selembut ini, rasanya Olivia seperti begitu disayangi.

“Pernah,” jawaban itu akhirnya terlontar dari bibir Marcel.

“Kapan?” Olivia bertanya.

“Nggak tau, aku lupa.”

Marcel terdiam, begitu pun dengan Olivia. Keduanya tiba-tiba merasa terjebak begitu saja.

“Babe,” cetus Marcel pelan, ia lantas menghela rahang Olivia untuk menghadapnya.

“Iya?”

“Aku lupa kapan aku bosen sama kamu, karena aku nggak pernah kepikiran buat bosen. Saat pikiran aku ngirim sinyal yang bilang kalau aku bosen sama kamu, rasanya hati aku nggak terima.”

“Maksudnya?”

“Mungkin dua detik atau tiga detik aja, sinyal itu bilang kalau aku bosen sama kamu. Tapi setelahnya, hati aku nolak. Hati aku nggak bisa bohong dan dia nggak setuju sama sinyal perintah itu.”

“Kalau kamu gimana? Kamu pernah nggak bosen sama aku?” kini Marcel yang akhirnya menanyakannya.

“Hmm .. pernah. Tapi akhirnya nggak bisa lama-lama, gampang aja gitu ilang rasa bosennya. Tapi Babe, kayaknya bukan bosen sih, mungkin lebih ke cape aja. Aku cape di saat aku nggak bisa kontrol perasaan egois aku. Aku maunya kamu lebih banyak waktu di rumah, bareng aku dan anak-anak, tapi di satu sisi aku juga tau kalau kamu harus kerja. Kamu punya tanggung jawab yang besar ke perusahaan.”

“Nggak papa kalau kamu bosen ke aku. Nanti aku bikin kamu nggak bosen.”

Olivia spontan tertawa pelan.

“Gimana caranya?”

“Aku ajak kamu makan es krim,” ujar Marcel.

“Babe,” cetus Olivia cepat, lalu ia menatap Marcel dengan matanya yang melebar.

“Makan es krim yang di jual, Babe. Sama anak-anak juga. Kamu suka gelatto vanilla yang pake topping Lotus crumbs, kan?”

“Hapal banget kamu kesukaan aku.”

“Iya dong, jelas itu. Oh iya, kamu lebih suka gellato vanilla atau gellato punyaku?”

“Heh,” Olivia berceletuk spontan, ekspresinya tampak sedikit terkejut.

“Apa? Jawab dong,” tuntut Marcel, meminta Olivia menjawabnya.

“Punya kamu lah. Premium soalnya, karena buat aku doang. Nggak dijual atau pun available buat yang lain.”

“Yes, exactly. All of me is for you, Babe.”

“Yuk,” cetus Olivia cepat.

“Yuk apa Sayang?”

“I wanna eat my gellato. Give it to me sir, please,” ucap Olivia.

Marcel tergelak dan kali ini cukup kencang. Kemudian ketika tawanya mereda, Marcel menghadap samping da mencium bibir Olivia dengan mesra. Olivia membalas ciuman itu dengan sangat baik.

Ketika akhirnya perlahan Marcel mengurai ciumannya, ia pun berujar di dekat Olivia, “Yes, Ma’am. You will get your premium gellato.”

***

END.

Amanda mendapati kemunculan El tepat ketika pintu terbuka. Ini baru pukul 4 sore, tapi suaminya itu sudah ada di rumah, hal yang cukup langka didapati oleh Amanda.

El terlihat melepas jas abu-abu yang membalut tubuhnya, lalu meletakkan benda itu asal-asalan di sofa. El kemudian menggulung kedua lengan kemejanya sampai sebatas siku.

El appear

El lalu segera membawa dirinya menuju Amanda, pria itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan langkah yang lebar untuk menghampiri Amanda.

“Resepsinya Jassmine masih minggu depan, Mas,” ujar Amanda begitu langkah El telah sampai tepat di hadapannya.

“Jadi .. tadi cuma akal-akalan kamu aja? Nggak ada kondangan pake dress terbuka?” tanya El yang mulai mengerti maksud dari perkataan Amanda. Kedua alis rapi El tampak bertaut, matanya memicing, ekspresi pria itu menjadi terlihat lucu di mata Amanda.

“Hmm,” Amanda menjawab dengan hanya sebuah gumaman dan senyuman tipis.

“Sayang, kamu iseng banget ya,” ujar El sambil menghela napas panjangnya. El lalu tampak menyugarkan rambut halusnya dengan jemari.

Amanda terlihat tengah menahan senyumannya. Kemudian begitu saja El menghela pinggang ramping Amanda agar istrinya itu mendekat padanya.

Amanda secara spontan membeliakkan matanya. Amanda perlu sedikit mendongak untuk dapat menatap manik mata El, karena tingginya yang hanya sebatas dagu pria jangkung itu.

Amanda kemudian dengan mudahnya larut pada tatapan El yang mendalam dan begitu lembut ketika menatapnya. El always stare at Amanda like that.

Namun mengapa selama ini Amanda tidak pernah menyadari bahwa El menyayanginya.

Amanda masih lekat menatap El di sana, begitu El meletakkan satu tangannya pada punggung Amanda untuk mendorong torso Amanda mendekat padanya. Jadi kini Amanda dapat merasakan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh El. Dada bidang El yang selama ini Amanda pikir akan terasa keras ketika bersentuhan dengannya, tapi rupanya tidak. Ternyata otot-otot itu justru terasa empuk.

“Manda,” ucap El pelan sambil menatap Manda tepat di iris legamnya.

“Iya Mas?”

“Aku boleh cium kamu?” tanya El.

Manda tidak langsung menjawab. Posisi mereka masih belum berubah, El tidak membiarkan Manda menjauh sedikitpun darinya. Detik demi detik yang berlalu, Amanda masih menatap El dengan penuh afeksi. Satu tangan Amanda lalu terangkat, untuk kemudian mengusap satu sisi wajah El.

“Mas, kamu sopan banget sih. Harus izin dulu, gitu ya?” ucap Amanda lalu ia tertawa kecil.

“Iya. Karna kebiasaan kayanya,” jawab El apa adanya. “Jadi boleh ngga aku cium kamu?” ucap El lagi, tatapannya tampak cemas dan berharap, terlihat lucu sekali di mata Amanda.

“Iya, boleh, Mas,” jawab Amanda akhirnya. Amanda seketika mendapati senyuman spontan yang terlihat natural sekali di wajah El.

Kemudian tanpa menunggu apa pun lagi, El sedikit menundukkan wajahnya agar mudah mencium Amanda. Perlahan El mulai mengecup bibir Amanda dan Amanda segera membalas pagutannya di sana. Belah bibir El yang tebal itu menekan bibir tipis Amanda.

Amanda pun refleks memejamkan kedua matanya begitu ia merasakan sensasi mendebarkan kala El mencumbunya. El lalu memiringkan sedikit kepalanya, yang di mana kemudian Amanda juga mengikuti gerakannya. Setiap gerakan dan irama yang dicipatakan oleh El, Amanda dengan cukup baik menanggapinya dan membalasnya.

Ciuman tersebut terus berlanjut, hingga tanpa sadar Amanda berjalan mundur dan El berjalan maju. Satu tangan El yang bebas menjaga punggung Amanda di sana, dan juga dua kali menyingkirkan barang di ruang tamu yang hampir saja membentur Amanda.

Tau-tau mereka sudah berada di dapur bersih. Ada sebuah meja di sana, dan seperti sebuah insting naluriah, El menghela tubuh Amanda untuk naik ke atas meja.

Table

El kemudian memposisikan dirinya di hadapan Amanda, lalu dengan instingnya juga, Amanda melingkarkan kedua kakinya di pinggang El.

“Kamu belajar ciuman di mana?” El bertanya.

“Hmm … aku nonton film. Tapi nggak sampe yang parah banget kok.”

“Iya, iya. Yang nggak parah banget tuh yang kayak gimana emangnya?”

“Contohnya kayak Fifthy shade of grey, The Bridgerton, terus film-film romance Barat yang ditulis sama Nicholas Sparks. Tapi kalau 365 day aku sih skip. Terlalu hard core habisnya,” jelas Amanda. El lantas hanya mengangguk-angguk dan mengulaskan senyum tipisnya.

“Bibir kamu manis banget Sayang, lembap juga,” ujar El kemudian, tatapannya turun ke bibir Amanda.

“Your lips too, they’re felt so good, Mas,” ujar Amanda.

Kemudian tanpa perlu perintah, El kembali mengecup bibir Amanda. El mempertemukan bibirnya dengan bibir pink alami itu, lalu menekan dan menggesekkan bibirnya di atas bibir Amanda.

Amanda dengan cekatan membalas ciuman tersebut, ia membuka mulutnya perlahan untuk memudahkan El menjamahnya lebih jauh lagi.

Napas Amanda terdengar berkejaran—seperti orang yang sedang lari marathon—sesaat setelah El menambah kecepatan tempo cumbuannya.

Belah bibir El yang semakin lama menekan Amanda, membuat Amanda kemudian berusaha membuka mulutnya lebih lebar lagi. Hingga selanjutnya dengan mudahnya El melesakkan lidahnya ke dalam rongga mulut Amanda. Ketika El mulai menyapa rongga mulut Amanda menggunakan lidahnya, Amanda dengan sempurna menggeliat. Punggungnya melengkung ke depan, sebuah respon alami yang diberikan ketika tubuhnya menikmati yang sedang terjadi.

Pagutan yang mereka lakukan cukup dahsyat, mereka telah satu sama lain merasakan bibir masing-masing. El akhirnya perlahan menyudahi kegiatannya. El memberi kecupan lembut di ujung bibir Amanda hingga meninggalkan bunyi ‘cuph’ yang terdengar menggemaskan di sana.

Kedua mata Amanda yang sebelumnya terpejam kini kembali membuka. Amanda ingin menatap binar mata El yang selalu indah baginya. Binar itu juga yang membuatnya nyaman dan tenang, membuat Amanda tahu bahwa dirinya berharga dan dicintai.

Perlahan Amanda menjalarkan tangannya untuk mengusap lembut satu sisi wajah El. Sambil menatap penuh cinta ke dalam mata indah El, Amanda lantas berujar pelan, “Your breath sounds really sexy.” El otomatis mengulaskan senyumnya mendengar ujaran itu.

“Mas,” ucap Amanda, satu tangannya kini mendarat di pundak El.

“Iya Sayang?”

“Selama ini, yang kamu tahan-tahan, lepasin aja malem ini. Ya?” ujar Amanda.

Amanda pun mengulaskan senyum lembutnya, lalu ia sedikit mencondongkan tubuhnya untuk kemudian mengecup pipi kanan El. Dari kecupan itu, terasa ada afeksi yang begitu besar, yang selama ini Amanda belum sempat menunjukkannya kepada El.

Begitu Amanda menjauhkan wajahnya dari El, Amanda mendapati kedua mata El yang tampak berkaca-kaca.

“Mas, kamu nangis?” ujar Amanda pelan.

“Aku nggak nangis. Mana?” El pun buru-buru mengusap matanya dengan tangan. Dengan cekatan Amanda segera meraih kedua tangan El, lalu membawa kedua tangan itu untuk melingkari pinggangnya. Kemudian Amanda mendekat pada El dan ia menjatuhkan dirinya pada pelukan pria itu.

Dress merahnya udah ada di kamar aku. Udah dateng dari kemarin sih sebenernya, aku pre-order udah sekitar 1 minggu yang lalu,” ucap Amanda pelan dengan posisi keduanya yang masih saling berpelukan.

Amanda lantas sedikit menggoyangkan pelukan itu, lalu dieratkan, laku digoyangkan lagi.

Setelah beberapa detik berlalu, perlahan Amanda mengurai pelukannya pada torso El. Amanda lalu meraih satu tangan El dan menggenggamnya. “Ayo, Mas kita bikin adek bayi. Pasti lucu dan seru banget deh kalau ada bayi di rumah ini.”

El lantas mengangguk, lalu ia menampakkan senyum semringahnya, “Iya, Sayang. Ayo.”

***

El menghela torso polos Amanda untuk didekap hangat. Di bawah selimut tebal berwarna krem, El dan Amanda memutuskan beristirahat setelah mereka menyudahi beberapa babak peristiwa yang indah.

El benar-benar melepas tuas kendalinya. Sesuai yang Amanda katakan, selama ini semua yang El tahan, pria itu kini bisa melepaskannya.

El mengatakan bahwa ia merasa begitu bahagia. Ini bukan hanya sekedar tentang hubungan badan suami dan istri, tapi dalam bercinta, ada komunikasi dan chemistry yang dibangun secara alami.

“Sayang,” ucap El pelan.

“Iya Mas?” sahut Amanda yang belum memejamkan matanya. Amanda merasakan tubuhnya lelah, tapi rasanya ia belum ingin tidur. Amanda masih ingin lebih lama lagi menatap wajah tampan El. Amanda ingin dengan kesadaran penuh mendapati lebih banyak lagi cumbuan El di pipinya maupun di bibirnya.

“Sakit banget ya yang tadi?” tanya El.

“Lumayan sakit sih. Ya tapi wajar, soalnya kan pertama kali. Nanti lama-lama juga terbiasa dan katanya sih nggak akan terlalu sakit lagi,” terang Amanda.

“Oke.”

“Kamu beneran nggak sopan Mas,” cetus Amanda sambil terkikik kecil.

El lantas ikut tertawa pelan.

“Kamu udah berubah,” lagi, Amanda berceletuk, kali ini belah bibirnya sedikit mencebik.

“Gimana berubahnya?” El lalu bertanya.

“Aku kayak nggak kenal sama kamu yang di atas ranjang. Hampir seratus delapan puluh derajat, kamu keliatan beda banget pas kita ngelakuin itu, Mas” jelas Amanda.

“Hmmm. Kayak beda orang gitu ya,” ujar El.

“Iya. Tapi semuanya lebih indah dari apa yang aku bayangin, Mas,” aku Amanda blak-blakan.

Amanda masih setia di sana, ia dengan nyamannya memandangi wajah El. Setiap celah paras itu, selalu berhasil membuatnya jatuh cinta dan merasa kagum.

El yang mendapati Amanda lekat memandanginya kemudian tersadar dan kini tampak sedikit salah tingkah. El membasahi bibir bawahnya dengan saliva sekilas, lalu ia berceletuk untuk mengalihkan rasa gugupnya. “Aku beda gimana emangnya Sayang? Kan tadi kamu yang minta aku buat lepasin semuanya.”

“Iya sih. Tapi masih agak culture shock aja akunya. Dulu kan aku jadi sekretaris kamu, rasanya kayak nggak nyangka aja sekarang setiap aku mau tidur, liatnya kamu. Setiap bangun tidur, liatnya kamu. Kamu terus.”

“Iya, emang harus aku terus. Aku aja,” cetus El.

“Nggak boleh orang lain?”

“Engga lah. Nggak akan aku biarin.”

Amanda seketika tertawa pelan. “Oke, oke. Tuh kan, kamu berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu boro-boro romantis kayak gini.”

“Sayang, setiap orang bisa berubah, apalagi untuk orang yang mereka sayang,” tutur El.

“Hmm iya juga ya.”

“Sayang,” ujar El lagi.

“Iya?”

“Kamu beneran cinta sama aku?”

“Iya. Aku milik kamu seutuhnya, Mas.” Amanda lantas mengunci tatapan mata El, lalu ia mendekat lebih dulu dan tanpa aba-aba ia memagut bibir El. Ciuman kali ini terasa kuat dan lebih bergairah, bahkan Amanda menggigit bawah El. El pun membalas cumbuan itu dengan begitu mesra, membuat Amanda rasanya seperti terbang ke langit ke tujuh.

Ketika beberapa detik berlalu ciuman itu berlangsung, Amanda bergerak dan berpindah posisi untuk berada di atas El.

Kedua tangan El lantas berada di pinggang ramping Amanda, berjaga-jaga supaya Amanda tetap aman di posisinya saat ini. El juga kemudian memberikan usapn sensual di pinggang Amanda hingga lama-lama turun ke pinggulnya.

Couple kissing

Amanda begitu mampu merasakan bahwa El mencintainya saat pria itu memperlakukannya, dan itu adalah hal yang berarti besar untuknya. Rasa cinta El kepadanya, adalah anugerah terbesar yang sejauh ini Amanda miliki dalam hidupnya.

Selama kurang lebih 5 menit mereka berciuman dengan cukup panas dan brutal, ternyata El yang akhirnya mengurai pagutannya lebih dulu. Napas mereka terdengar berhembus dengan seksi dan saling beradu. Tatapan keduanya tertubrukan dan juga saling menyalurkan cinta dari hanya kedua iris yang bertemu.

“Kok kamu nggak bales gigit Mas?” Amanda bertanya begitu merak telah sama-sama menjauh.

“Kasian kamunya. Bibir kamu udah luka tuh,” ucap El sembari memperhatikan belah bibir bawah Amanda yang terdapat sobekan kecil di sana.

“Ohiya, aku nggak sadar masa.” Amanda pun tertawa kecil sembar meraba bibirnya yang sedikit sobek itu.

“Mas, you realized every little things, every detail about me. Yang bahkan aku kadang nggak sadarin itu, atau belum sadar,” ujar Amanda lagi.

“Hmm.”

“Thank you for loving me like this, Mas.”

“Iya, Sayang. Mas juga terima kasih ya sama kamu. Kamu selalu berusaha jadi istri yang lebih setiap harinya. Kamu tau, Mas sayang banget sama kamu.”

Couple hands

***

SOON to be LONG AU

Hubungan Marcel dan Valerie sudah mulai membaik. Begitu juga antara Valerie dengan Olivia. Marcel sepenuhnya memaafkan Mamanya dan juga meminta maaf kalau beberapa hari lalu sempat membuat Valerie sedih dengan rencana kepindahannya ke Swiss.

Beberapa kali Valerie datang ke rumah untuk bertemu Mikayla dan mulai mencoba menjalin hubungan baik dengan Olivia, calon menantunya.

Seperti malam ini, Valerie tengah berada di kediaman Marcel. Marcel baru saja kembali dari kantor, ia langsung mendapati di ruang makan sudah ada Olivia dan Valerie. Marcel pun segera melangkah menuju keduanya.

Marcel melihat kedua perempuan yang disayanginya itu sedang berbincang ringan ketika langkahnya akhirnya sampai. Olivia dan Valerie pun segera menyadari kehadiran Marcel di sana.

Marcel lantas mendekat pada Olivia dan menyematkan sebuah kecupan hangat di pelipis perempuan itu. Valerie yang mendapati kejadian tersebut di depan matanya, tanpa sadar mengulaskan senyum yang nampak begitu bermakna dan penuh kebahagiaan.

“Mama udah dateng dari jam berapa?” Marcel kemudian bertanya kepada Valerie.

“Mama tadi dateng dari sore, sekitar jam 4. Kamu liat nih, Mama udah masak makanan kesukaan kamu. Olivia tadi bantuin Mama juga, katanya mau diajarin resepnya,” terang Valerie.

Marcel pun segera mengalihkan pandangannya ke meja makan. Berbagai hidangan tampak tersaji di sana.

Valerie kemudian dengan antusias mengatakan pada Marcel bahwa ia yang membuat 2 jenis masakan khas western kesukaan Marcel. Serta Valerie rupanya juga membuatkan makanan untuk Olivia, yang katanya bergizi tinggi dan bagus untuk kandungannya.

“Ayo, kita langsung makan bareng aja. Aku udah laper banget nih,” ucap Marcel kemudian.

“Kamu ganti baju dulu, cuci tangan, cuci kaki. Baru habis itu kita makan,” tutur Olivia pada Marcel.

“Oh iya, Babe. Astaga aku sampe lupa. Saking lapernya nih, apalagi keliatannya enak banget masakan Mama. Oke, kalau gitu aku ganti baju dulu sekalian panggil Mikayla di kamarnya ya.” Setelah mengatakannya, Marcel pun segera melenggang dari ruang makan.

Sekali Marcel menoleh ketika ia sudah melangkah. Marcel menata pada potret indah kedua perempuan yang berarti di hidupnya itu, lalu sebuah senyum terulas begitu saja di wajahnya.

Marcel masih sedikit tidak menyangka, tapi begitulah adanya. Terdapat alasan Valerie menerima Olivia, dan tentunya itu karena rasa cinta seorang ibu kepada anaknya. Valerie pun sudah menganggap Olivia sebagai anaknya sendiri, begitu juga Olivia sudah menganggap Valerie sebagai orang tuanya.

***

Waktu menunjukkan hampir pukul 8 malam. Marcel dan Olivia telah kembali ke kamar mereka dan akan pergi tidur. Namun sebelumnya Marcel mengatakan ia akan mandi air hangat terlebih dulu.

Olivia lantas mempersiapkan bath bomb beraroma lavender dan aroma terapi untuk kegiatan mandi Marcel kali ini, dengan tujuan menambah suasana yang nyaman tentunya.

Marcel tengah menanggalkan pakaian atas di tubuhnya, jadi pria itu kini half naked.

Marcel melangkah ke kamar mandi dan segera menemukan Olivia di sana. Olivia membeliak dan tampak sedikit terkejut begitu mendapati Marcel yang tengah bertelanjang dada.

“Kamu kenapa? Kok kayak kaget gitu?” celetuk Marcel.

“Kamu kan bisa buka bajunya di kamar mandi. Kenapa harus di depan aku?”

“Yaa … kamu juga udah liat semuanya, Babe. Kenapa emangnya?” cetus Marcel cepat.

Olivia pun sukses melotot, dan Marcel tidak tahan untuk tidak tertawa karena mendapati reaksi gugup Olivia yang sangat alami dan begitu kentara itu.

“Udah, kamu mandi dulu cepet,” ucap Olivia akhirnya.

“Oke.”

“Kamu jangan lama ya mandinya,” pintar Olivia.

“Kenapa emangnya?”

“Aku udah ngantuk. Aku nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk sama kamu,” aku Olivia.

Olivia baru saja akan melenggang dari kamar mandi, tapi tiba-tiba Marcel menahan pergelangan tangannya.

“Kita mandi bareng, yuk Babe?” ujar Marcel sembari menatap lekat pada manik mata Olivia.

“Kita mandi sambil deep talk gitu,” ujar Marcel. “Aku lumayan cape hari ini di kantor. Pengen cerita banyak ke kamu, aku pengen ngeluh ke kamu,” lanjut Marcel.

Olivia belum memberi respon, tapi Marcel masih menunggunya setia di sana.

“Babe, ayo lah. Kamu mau yaa?” bujuk Marcel lagi. Pria berusia 30 tahun di hadapan Olivia itu menatapnya dengan tatapan manja dan sedikit mencebikkan bibirnya.

“Iya, ayo,” ujar Olivia akhirnya.

Seketika Olivia mendapati senyum lebar nan semringah di wajah Marcel.

***

Bathroom

Olivia merupakan rumah bagi Marcel, merupakan tempat pria itu untuk pulang. Ketika Marcel merasa sedang lelah menghadapi dunianya, Marcel akan bersikap manja dan mengadu dengan sedikit berlebihan kepada Olivia.

Sebuah bath tube berukuran besar tampak cukup untuk menampung Marcel dan Olivia. Marcel memeluk torso Olivia dari belakang, sementara Olivia berada di depan Marcel dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Marcel.

Marcel mengambil busa lalu mengusapkannya pada bahu polos Olivia sampai ke punggungnya. Begitu juga Olivia, ia bantu mengusap tubuh Marcel dengan air sabun. Mereka saling bantu membilas tubuh satu sama lain.

“Kamu mau cerita apa tadi?” Olivia bertanya pada Marcel.

“Kerjaan aku di kantor lagi lumayan hectic,” ujar Marcel.

“Soal harga saham, gimana kondisinya sekarang?” Olivia bertanya lagi.

“Kondisi saham perusahaan udah lumayan membaik, walaupun nilainya masih kurang sedikit lagi untuk balik ke harga stabil. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaiin dalam waktu singkat, karena sebentar lagi aku akan serahin jabatan aku ke Papa,” jelas Marcel.

Setelah penuturan itu, Olivia sedikit bergerak dari posisinya. Jadi kini Olivia dan Marcel tengah berhadapan dan saling menatap.

“Babe,” ujar Olivia.

“Hmm?”

“Kita tetep jadi pindah ke Swiss? Kamu nggak mau pertimbangin lagi? Kasian lho Mama, beliau pengennya kita nggak pindah,” ujar Olivia.

“Aku emang mau pertimbangin lagi, tapi aku pengennya Papa juga sadar kayak Mama,” ucap Marcel. Tampak raut sedih di wajah Marcel, terlihat dari tatapan matanya dan keningnya yang sedikit berkerut.

Olivia lantas mendekat pada Marcel, ia lalu membawa torso Marcel untuk dipeluk ringan.

Selama beberapa detik mereka berada dalam posisi seperti itu. Olivia ingin Marcel merasakan bahwa pria itu tidak sendirian menghadapi semua masalahnya. Olivia tidak mengatakan apa pun, ia hanya mengusap pelan punggung polos Marcel dengan gerakan searah.

Selang sekitar 2 menit, akhirnya Olivia mengurai pelukannya. Olivia menatap pada iris Marcel, ditatap teduh dan penuh kasih. “Babe, aku cuma nggak mau kamu nantinya ngerasa nyesel.”

“Maksud kamu nyesel karena apa?”

“Mungkin kamu belum sadar sekarang, karena orang tua kamu masih ada. Tapi suatu hari nanti kalau mereka udah nggak ada di dunia ini, kamu akan berasa kehilangan dan nyesel,” tutur Olivia.

“Terus aku harus ngapain, Babe? Papa masih aja bersikap kayak sebelumnya, bahkan sampai aku udah memutuskan kalau aku mau pindah ke Swiss. I almost give up,” Marcel berucap dengan nada suaranya yang terdengar frustasi.

“Iya, aku paham. Aku tau kamu kecewa, sedih, dan kamu putus asa. Kita kan pindahnya masih 1 bulan lagi, aku berharap keputusan kamu bisa berubah. Gini aja, dalam waktu 1 bulan ini, kamu coba bicara sama Papa kamu dengan kepala dingin. Dengan kamu yang ngalah dulu untuk saat ini, siapa tau nanti akhirnya Papa kamu luluh dan bisa menyadari.”

Marcel sadar dan mengaku pada Olivia bahwa dirinya juga gengsi dan keras kepala, bahwa Marcel inginnya Papanya sadar lebih dulu dan setidaknya bicara padanya. Sudah seminggu lebih Papanya sama sekali tidak bicara pada Marcel, padahal keduanya kerap kali bertemu di kantor. Papanya sering meminta sekretarisnya untuk menghubungi Marcel terkait mengurus pekerjaan, jadi enggan secara langsung berinteraksi dengan Marcel.

“Oke, aku bakal coba. Tapi cuma dalam waktu sebulan ini. Kalau keadaannya sama aja, artinya kita tetep pindah ke Swiss ya Babe,” putus Marcel akhirnya.

“Iya,” ujar Olivia sembari menampakkan senyumannya.

Olivia pun berharap dalam waktu sebulan ini, semuanya bisa membaik. Olivia hanya tidak ingin membuat Marcel jauh dari orang tuanya dan suatu hari merasa menyesal jika sudah kehilangan.

Bagaimana pun yang terjadi di masa lalu, orang tua Marcel tetaplah orang tuanya, dan sebagai seorang anak, sepatutnya selalu memaafkan kesalahan orang tuanya dan coba lebih mengerti. Di hari tua seseorang, pastilah mendambakan hidupnya dikelilingi oleh orang-orang yang disayangi. Olivia ingin Marcel berada dekat dengan orang tuanya, ingin Marcel tetap mengemban perannya sebagai seorang anak yang menyayangi dan menemani di hari tua.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 🍒