alyadara

Marcel telah kembali dari Dubai beberapa hari yang lalu. Ketika bertemu waktu akhir pekan, di mana ia libur dari bekerja di kantor, Marcel pergi untuk bermain golf bersama teman-teman yang merangkap juga sebagai kolega bisnisnya. Kebetulan mereka menggemari olahraga yang sama dan memiliki waktu di tengah kegilaan pekerjaan di kantor. Mereka pergi berempat dan berangkat menggunakan pesawat yang take off kemarin malam dari Jakarta menuju Kepulauan Riau.

Marcel dan teman-temannya memilih Ria Bintan Ocean Golf Resort yang terletak di Bintan, Kepulauan Riau, sebagai destinasi mereka untuk menikmati waktu akhir pekan.

Sebagai tempat menginap, mereka menyewa sebuah resort tepi laut dengan kamar modern, ditambah dua lapangan golf, spa, ruang karaoke, serta toko alat golf.

Lapangan Golf

Meski mereka hanya memiliki waktu 2 hari untuk berada di sana, bagi mereka tidak masalah merogoh kocek untuk kesenangan tersebut. Jika biasanya mereka liburan bersama dengan mengajak kekasih masing-masing, semacam kolaborasi pasangan, berbeda dengan kali ini. Saat ini hanya para pria itu sedang ingin menghabiskan waktu mereka tanpa direpoti oleh para wanita.

Pagi ini cuaca nampak cukup cerah, angin berhembus pelan, cocok sekali untuk bermain golf.

Marcel beberapa kali telah memasukkan bola putih kecil itu ke dalam sebuah lubang yang sama. Marcel berhasil mengalahkan skor milik Ravell, lagi dan lagi.

Alex dan Keenan masih asik bermain golf, mereka berada tidak jauh dari Marcel dan Ravell.

Ravell kemudian mengatakan bahwa ia ingin istirahat sejenak, baru setelah ini akan kembali bermain dan mengalahkan skor Marcel.

“Denger-denger kemarin sebelum ke Dubai lo ke Paris dulu? Terus Naomi ikut lo bisnis trip?” tanya Ravell pada Marcel.

Marcel hanya mengangguk sekali menjawab pertanyaan Ravell, tampaknya pria itu tidak bersemangat untuk membahas kekasihnya.

Marcel dan Ravell kini tengah duduk-duduk di sebuah gazebo yang tidak jauh dari lapangan golf. Pemandangan di depan mereka adalah hamparan hijau lapangan golf yang berpadu dengan luasnya laut biru, sungguh tampak cantik dan menawan.

Ravell diam saja akhirnya, tapi tidak lama kemudian Marcel malah yang berujar. “Gue cekcok lagi sama Naomi.”

“Apa masalahnya?” Ravell bertanya.

“Dia banyak nuntut,” ujar Marcel.

Ah, Ravell langsung paham maksud dari ucapan Marcel tanpa perlu sahabatnya bicara lebih jauh. Ravell jelas mengerti bahwa definisi ‘banyak nuntut’ yang disebutkan oleh Marcel tentang kekasihnya pasti sudah keterlaluan. Ravell cukup mengenal Marcel, karena mereka telah berteman selama kurang lebih 8 tahun. Ravell tahu, Marcel memperlakukan kekasihnya dengan begitu baik. Marcel membuat dunia yang sempurna untuk mereka, membuat mereka serasa tinggal di dalam buku cerita dongeng, di mana Marcel bisa mewujudkan kisah asmara yang indah untuk kekasihnya. Menjadi seorang kekasih Marcellio Moeis, adalah hal yang didambakan oleh kebanyakan wanita, itulah faktanya.

I want to break up with her,” ujar Marcel tiba-tiba.

Ravell tampak tidak heran dengan sikap sahabatnya itu. Dalam 3 tahun belakangan, lebih tepatnya setelah Marcel gagal kembali mendapatkan mantan kekasihnya, sudah berapa banyak perempuan yang Marcel pacari. Ravell menduga bahwa Marcel masih berusaha mencari sosok yang benar-benar cocok untuknya.

Then do it. You can find another girl and have fun,” ujar Ravell.

I will,” cetus Marcel.

Marcel berpacaran dengan beberapa perempuan hingga jumlahnya sulit terhitung, tidak peduli kerap kali orang tuanya menggunakan segala cara untuk menjauhkan kekasihnya dari Marcel. Hingga kini, Marcel merasa bahwa ia belum menemukan seseorang yang benar-benar membuatnya jatuh cinta dan menginginkan hidup bersama untuk selamanya.

“Kalau lo butuh bantuan buat cari kenalan, gue bakal bantu,” tambah Ravell.

Marcel mengangguk mengiyakan.

“Tapi kayaknya lo nggak butuh bantuan gue deh,” ucap Ravell.

Marcel kemudian hanya tertawa mendapati ucapan Ravell yang satu itu. Namun sepertinya yang dikatakan Ravell memang benar adanya. Marcel tidak membutuhkan bantuan dalam hal itu. Jelas karena wanita yang datang pada Marcel, bukan ia yang harus mencari dan mengejar.

“Yaudah, apa pun itu, kabarin kalau lo udah dapet cewek. Biar kita bisa liburan bareng lagi,” ujar Ravell.

“Oke. Nanti gue kabarin.”

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~🍒

Marcel

Jika kamu menganggap bahwa sosok sempurna bos kaya raya yang digambarkan dalam cerita fiksi romansa hanyalah karangan belaka yang hadirnya tidak nyata, mungkin kamu hanya belum bertemu, atau bahkan sekedar berpapasan dengan sosok seperti itu.

Sosok nyaris sempurna, karismatik, pintar, dan juga menawan, sebenarnya sungguhan ada. Jika kamu diberi kesempatan untuk berjumpa, maka pertanyaannya, akankah kamu bersedia atau justru menolak?

Kamu mungkin akan menolak, karena lebih baik tidak bertemu sama sekali, dari pada harus jatuh cinta dan berakhir hanya bisa berharap dia akan menjadi milikmu.

Menjadi sukses dan mapan di usia muda, mungkin rasanya cukup mustahil. Jelas, itu jika kamu tidak memiliki privilege. Namun bagi beberapa orang, mereka memiliki privilege tersebut, bahkan sejak mereka lahir. Rasanya hal tersebut memang tidak adil, tapi begitulah adanya.

Jika kamu penasaran apakah benar ada sosok bos muda, tampan, dan kaya raya seperti di dalam cerita fiksi romansa, maka kamu harus mengetahui seorang pria bernama Marcellio Moeis.

Hanya untuk sekedar berkenalan dengannya, tentu tidak masalah, bukan?

Jika kamu nantinya jatuh cinta dan tidak bisa berpaling, maka maaf sekali, aku juga tidak bisa bertanggung jawab untuk itu.

***

Marcel's House

Sebuah rumah megah bergaya modern minimalis, 3 tahun belakangan telah menjadi kediaman Marcellio Moeis.

Marcel memutuskan tinggal terpisah dengan orang tuanya, dan hanya tinggal bersama dengan putrinya yang tahun ini genap berusia 5 tahun. Keputusan yang Marcel ambil tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, dan tekadnya sudah sangat bulat. Marcel kerap kali cekcok dengan orang tuanya, jadi untuk menghindari pertikaian yang terus terjadi, Marcel memutuskan membeli rumah untuk tempat tinggalnya dan tinggal mandiri di sana.

Pagi ini seperti biasa, sebelum pukul 8, Marcel sudah harus bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Pria bertubuh jangkung itu telah tampak rapi dengan setelan kemeja putih dibalut jas hitamnya yang tampak licin. Sebelum berangkat, Marcel terlebih dulu menghampiri putrinya yang sedang berada di ruang makan. Marcel melihat putrinya baru selesai menata rambut dibantu oleh seorang maid yang bekerja di rumahnya.

“Hei, Princess,” panggil Marcel.

Yes, Daddy?” Mikayla segera menyahuti panggilan Marcel dan segera berjalan menghampiri sang Papa. Mikayla sudah rapi dengan seragam Taman Kanak-Kanaknya, rambut panjangnya tampak cantik dengan style di kepang dua.

Marcel lantas berlutut di depan Mikayla untuk menyamai tinggi tubuhnya dengan anaknya, “Daddy berangkat kerja dulu ya,” ucapnya.

“Nanti Daddy pulangnya jam berapa?” Mikayla lantas bertanya. Mata gadis cantik itu berbinar penuh harap menatap Marcel. Mikayla ingin Marcel pulang cepat, meski mungkin harapannya tidak dapat disanggupi oleh sang Papa.

Daddy pulang kayak biasa, jam 7 atau jam 8. Maaf ya, Daddy nggak bisa pulang lebih cepet, Princess. Kerjaan di kantor lagi lumayan banyak,” terang Marcel apa adanya.

“Hmm .. *alright. It’s oke, Daddy. I love you. Hati-hati di jalan ya,” ujar Mikayla, berusaha menampilkan senyuman manisnya di hadapan Marcel.

I love you too, Princess. Kamu belajar yang rajin ya di sekolah.” Setelah menecup puncak kepala Mikayla, Marcel berlalu dari hadapan anaknya.

***

Sebuah BMW berwarna hitam keluaran terbaru, tampak berhenti di sebuah main entrance gedung pencakar langit. Kemudian seseorang keluar dari mobil setelah pintu dibukakan.

Orang tersebut tampak familiar bagi dua petugas keamanan di depan gedung, dan tentunya beberapa orang yang mendapati kehadiran sosok itu di sana.

Begitu sosok jangkung itu melewati beberapa orang, mereka menyapa dengan sopan atau sedikit membungkukkan badan, sebagai bentuk hormat mereka pada sang atasan di kantor itu.

Sosok yang seketika menjadi perhatian semua pasang mata di lobi gedung itu adalah Marcellio Moeis.

Marcel adalah CEO PT. Permata Tambangraya TBK, perusahaan yang merupakan milik Papanya. CEO sendiri merupakan posisi tertinggi di sebuah perusahaan. CEO merupakan pembuat keputusan manajerial tertinggi, termasuk manajemen hubungan dengan pelanggan, yakni melakukan pemantauan menyeluruh terhadap aktivitas dengan klien melalui sistem terintegrasi.

Di usianya yang menginjak angka 30, Marcel telah memiliki total kekayaan pribadi senilai 1,6 miliar dollar AS atau setara dengan 22,92 triliun rupiah dan akan terus bertambah setiap harinya.

Marcel baru saja sampai di ruangan kerjanya yang terletak di lantai 10. Marcel jarang sekali menyetir sendiri mobilnya, jadi ia tampak selalu bersama asistennya, yakni Arsen. Marcel membutuhkan seorang asisten pribadi, karena selain urusan pekerjaan, ada urusan yang kerap kali meminta perhatiannya.

“Besok gue ada jadwal apa selain urusan kerjaan?” Marcel bertanya kepada Arsen.

Biasanya sebelum berlalu dari ruangannya, Arsen memang harus melakukan laporan pagi kepada Marcel, yang tentu itu adalah tanggung jawab dari pekerjaannya.

“Besok jadwal lo dinner sama Naomi. Dia minta reservasi private dining di Le’ Village Russe,” Arsen tampak tidak yakin kala menyebutkan nama restoran khas Prancis yang diinginkan Naomi.

“Terus dah reservasi?”

“Belum. Nggak bisa. Untuk besok, semua table udah full booked. Gue udah coba chat Naomi kemarin. Masalahnya, dia udah kalau yang bales chat-nya tuh bukan lo, tapi gue. Jadi dia marah-marah,” Arsen menghela napas panjangnya.

Beginilah pekerjaan yang dilakukan Arsen, ia menjadi juru chat bagi bosnya dan kekasihnya, terlebih jika itu dibutuhkan

“Oke. Nanti gue coba telfon dia,” ujar Marcel akhirnya.

“Kalau nggak bisa reservasi, katanya dia minta ke Paris. Dia mau restoran yang di Paris langsung. Soalnya lo udah ingkar janji sama dia, jadi kayaknya dia bener-bener ngambek sama lo.”

Kini giliran Marcel yang menghela napas panjang.

***

Jadwal pertama Marcel di kantor pagi itu adalah menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham. Sebagai seorang CEO, Marcel memiliki kewajiban untuk memimpin rapat tersebut. Keputusan penting mengenai perusahaan penting diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham beserta segenap kewenangan yang ada di dalamnya.

Pada rapat tersebut, dilaporkan laporan keuangan yang terdiri atas laporan perubahan modal, neraca akhir tahun buku baru dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, serta catatan atas laporan keuangan.

Setelah rapat selesai sekitar pukul 11 siang, Marcel pun kembali ke ruangannya. Marcel duduk di kursinya dan kemudian menyesap kopi yang telah disiapkan oleh sekretarisnya.

Setelah dua tegukan menikmati minumannya, Marcel meletakkan cangkirnya di meja. Kemudian Marcel menegakkan punggungnya dan membenarkan posisi duduknya. Marcel kemudian membuka sebuah ipad dan mulai memeriksa pekerjaannya, juga jadwal apa saja yang harus ia lakukan hari ini.

Seringkali Marcel merasa lelah dengan segala urusan pekerjaannya. Rutinitas yang harus dilaluinya, membuatnya tidak hanya letih fisik, tapi juga lelah batin.

Sejak kecil, Marcel telah dididik oleh dari kedua orang tuanya agar ia mampu mengemban tugas sebagai pewaris tunggal yang meneruskan bisnis orang tuanya. Marcel merupakan putra semata wayang dari Enrico Moeis, pemilik perusahaan tambang kedua terbesar Se-Asia Tenggara, PT. Permata Tambangraya TBK. Marcel hidup sebagai putra tunggal orang kaya raya dan itu bukanlah hal yang mudah. Kebanyakan orang berpikir bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan dalam hidupnya. Namun tanpa orang-orang tau, selama ini yang terjadi di hidup Marcel merupakan pilihan orang tuanya, bukan sepenuhnya apa yang ia inginkan. Termasuk pernikahannya dengan almarhum istrinya.

Marcel berhenti sejenak dari kegiatannya, pria itu meletakkan ipad di tangannya. Marcel memperhatikan meja kerjanya, lalu matanya berpendar menatap sekeliling ruang kerjanya. Tidak ada satu pun kenangan berupa foto tentang mendiang istrinya, itu karena Marcel tidak mencintai perempuan yang ia nikahi, meski ia telah mencoba. Mungkin orang-orang bahwa berpikir Marcel mencintai almarhum istrinya, toh mereka bisa sampai memiliki seorang anak. Namun siapa yang tahu, seorang anak bisa hadir tanpa adanya rasa cinta. Membuat anak tidak selamanya berarti membuat cinta, bukan?

Setelah istrinya meninggal, Marcel ingin kembali mendapatkan seseorang yang masih memenuhi hatinya, yakni mantan kekasihnya. Namun rupanya ia telah terlambat berjuang. Pada akhirnya, Marcel benar-benar kehilangan sosok perempuan yang ia cintai. Sudah 3 tahun berlalu, Marcel mencoba melupakan orang itu. Marcel berpacaran dengan banyak gadis, hingga jumlahnya tidak terhitung.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruangan yang seketika membuat lamunan Marcel buyar.

“Masuk,” ujar Marcel.

Detik berikutnya pintu terbuka dan menampakkan sosok perempuan yang familiar bagi Marcel. Sosok itu seperti biasa tampak cantik, rambutnya coklat sebahu, hidungnya bangir, dan mata bulatnya berwarna coklat gelap yang alami tanpa perku menggunakan contact lens.

“Hai,” sapa perempuan berparas blasteran Asia Inggris yang masih berdiri di ambang pintu.

“Hai,” balas Marcel.

Baby, I missed you so bad. Udah 3 hari kita nggak ketemu. Aku kerja, kamu juga kerja terus.”

Perempuan itu adalah Naomi Bachdim, kekasih Marcel saat ini.

Naomi lantas melangkahkan kakinya memasuki ruang kerja Marcel setelah menutup pintu.

“Kamu bukannya masih marah sama aku?” Marcel bertanya, atampak kerutan di keningnya. Marcel merasa bingung, Naomi yang biasanya keras kepala, kini berubah menjadi perempuan manis dan penurut dalam waktu singkat.

“Aku nggak marah sama kamu, Sayang,” ujar Naomi yang kini sudah berada tepat di hadapan Marcel.

Naomi mendekat pada Marcel, lalu perempuan itu meraih kedua lengan Marcel untuk melingkar di pinggangnya. Marcel lantas sedikit mendongak untuk menatap Naomi tepat di iris matanya.

“Besok kita take off pesawat jam 8 pagi ke Paris, ya,” ujar Naomi.

Oh, pantas saja, batin Marcel. Rupanya Arsen telah melakukan pekerjaannya dengan cukup baik.

Kemudian Naomi berujar lagi, “Arsen udah beli tiket buat kita. Katanya kamu ada urusan bisnis di Dubai tanggal 25. Jadi kita di Parisnya dua hari aja, habis itu aku ikut kamu ke Dubai. Gimana?”

Okey,” jawab Marcel dengan nada suara yang terdengar kurang antusias.

“Kamu kayak nggak semangat gitu deh mau pergi sama aku,” ujar Naomi yang segera sadar akan sikap Marcel.

“Nggak gitu, Sayang,” ucap Marcel sambil berusaha menampilkan senyumnya. “Aku seneng bisa pergi sama kamu. Udah lama kita nggak spend time bareng, right?”

Naomi lantas mengangguk cepat dan tampak antusias. Naomi merasa bahwa ia hidup di dalam negeri dongeng, tepatnya setelah ia menjadi kekasih seorang Marcellio Moeis.

Rasanya Naomi bisa mendapatkan semua yang dirinya inginkan, dengan memiliki seorang pacar yang kekayaannya cukup untuk menghidupi 7 keturunan atau mungkin bisa lebih dari itu.

***

Terima kasih telah membaca Fall in Love with Mr. Romantic 🌹

Jangan lupa kasih masukan biar kedepannya bisa lebih baik lagi 💕

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~🍒

5 tahun kemudian.

House

Lilie pernah memiliki mimpi ketika ia berusia 20 tahun. Lilie membayangkan suatu hari ia memiliki rumah sederhana miliknya sendiri. Rumah tersebut tidak harus besar, tapi nyaman untuk ditingali dan yang paling penting, ditempati olehnya dan juga orang-orang yang ia sayang.

Sejak mendapat pekerjaan tetap setelah lulus kuliah, Lilie telah rutin menyisihkan pendapatannya dari bekerja untuk ditabung. Lilie ingin memiliki simpanan untuk masa depannya, yang pada akhirnya, uang tersebut akan dipakai. Setelah menikah dengan Edgar, tidak lama mereka dikaruniai seorang anak yang dititipkan di rahim Lilie.

Beberapa bulan sebelum bayi cantik itu lahir, Lilie dan Edgar telah berhasil membeli sebuah rumah dari hasil kerja keras mereka. Lilie menggunakan sebagian uang tabungannya untuk membeli rumah itu, ditambah dengan punya Edgar. Lilie mengatakan pada Edgar bahwa Lilie memang menyisihkan uang itu untuk dipakai di masa depan.

Lilie bahagia karena kini ia telah mewujudkan satu persatu yang menjadi mimpinya. Terlebih Lilie bisa kembali bekerja setelah memutuskan resign begitu melahirkan anak pertamanya. 5 tahun lalu, Lilie meninggalkan pekerjaannya karena ingin mengurus dan merawat putrinya. Lilie ingin menikmati waktunya sebagai seorang ibu, serta menyaksikan setiap tumbuh kembang putri cantiknya.

Sabtu sore ini, sekitar pukul 3, Lilie baru saja sampai di rumah. Hari Sabtu Lilie masih bekerja setengah hari. Edgar libur bekerja di hari Sabtu, jadi biasanya suaminya itu akan menghabiskan waktunya bersama anak mereka di rumah.

“Hai hai, Bunda pulang nih,” ucap Lilie begitu ia membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam.

Lilie menunggu Lea yang biasanya dengan riang dan bersemangat menyambutnya ketika pulang bekerja. Benar saja, dua detik berikutnya, Lilie mendapati sosok putrinya menghampirinya. Sebuah senyum lebar mengembang di wajah cantik Lea begitu gadis kecil itu menghambur pada Lilie dan memeluknya.

“Yeay, Bunda udah pulang kerja,” ucap Lea.

Lilie mengusap puncak kepala anaknya, lalu juga mencium kedua pipi gembilnya.

Sesaat kemudian pelukan mereka terurai dan Lilie mendapati Edgar menghampirinya dan Lea di ruang tamu.

“Hari ini Lea sama Ayah nggak berantakin rumah, kan? Mbak nggak masuk lho hari ini. Kalau kalian main, mainannya harus dibereskan, oke?”

Seketika Lea menatap ke arah Edgar dan kedua manusia itu tersenyum bersamaan.

“Aman dong, Bunda,” ujar Edgar cepat.

“Aman sih, Bunda. Tapi Lea belum makan siang,” ujar Lea.

“Lho, ini udah sore. Kenapa Lea belum makan siang?”

“Tadi aku gorengin telor sama nugget buat Lea, tapi gosong semua, Yang. Terus nuggetnya udah habis di kulkas, aku bingung mau masakin Lea apa lagi,” ujar Edgar, lebih kepada pengakuan atas perbuatannya. Edgar lantas nyengir kecil, begitupun Lea yang malah mengikuti tingkah Ayahnya.

Lilie akhirnya hanya menghela napas panjangnya.

“Tapi Lea udah kenyang kok, Bunda,” ucap Lea.

Lilie seketika menatap Lea dan anaknya itu langsung menjelaskan.

“Kan di lemari ada chiki sama permen coklat, jadi tadi Lea sama Ayah makan itu deh. Jadi Bunda tenang aja, ya.”

Bukannya Lilie tenang, justru ia semakin mengelus dada karena harus bersabar. “Kalian ini kompak sama mirip banget ya kelakukannya. Nak, sini dengerin Bunda. Besok kalau dikasih permen sama Ayah, jangan mau. Lea harus makan nasi dulu, baru boleh makan permen. Ya Nak?” tutur Lilie menasehati anaknya.

“Iya, Bunda,” malah Edgar yang menyahut.

“Yang, jangan dikasih permen lagi anaknya kalau belum makan nasi,” ujar Lilie kepada Edgar.

“Iya, Sayang. Besok enggak lagi deh,” ucap Edgar sambil menampakkan senyum lebarnya. “Maafin aku ya?” tambah Edgar yang lantas menyusul langkah Lilie ke dapur.

Baru saja Lilie memaafkan Edgar, ia sudah dibuat pusing lagi. Pasalnya ruang keluarga dan dapur rumah mereka tampak tidak baik-baik saja. Beberapa barang berserakan di lantai, dan nugget gosong di dapur terlihat mengenaskan bersama telur dadar di piring yang warna dan bentuknya pun tidak jelas.

“Sekarang, Lea sama Ayah rapihin rumah dulu. Bunda mau order makanan, habis masak juga bingung. Dapurnya kacau balau begini.”

“Oke, Bunda,” ujar Lea disertai anggukannya.

“Oke, Yang,” ucap Edgar sambil mengacungkan ibu jarinya.

Lilie memperhatikan kedua manusia beda genarasi itu yang lagsung siaga membersihkan rumah, sesuai apa yang ia perintahkan. Mau tidak mau, akhirnya Lilie tidak dapat menahan senyumnya. Lucu juga, pikirnya.

Meskipun terkadang ayah dan anak itu membuatnya pusing tujuh keliling, tapi mereka juga alasan bagi Lilie untuk tersenyum dan merasa bahagia hanya dengan kehadiran keduanya. Lilie sungguh bersyukur dengan kenyataan bahwa ia memiliki Edgar dan Lea di dalam hidupnya.

“Yang, mending tau Lea makan permen dari pada dia makan telor dadar buatan aku,” celetuk Edgar yang kini telah selesai berberes. Edgar menghampiri Lilie yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

“Emang kenapa telor dadar buatan Ayah?” Lilie bertanya pada Lea yang kini ikut bergabung dengan orang tuanya di sofa.

“Asin banget telornya, Bunda. Lea keasinan tau, terus gosong juga,” jawab Lea dengan lugu dan tampang polosnya.

“Nak, kamu jangan terlalu jujur dong,” celetuk Edgar.

“Habis Ayah masaknya sambil ditinggal main game, Bunda. Kan jadi gosong makanannya,” Lea malah mengadukan kelakuan Ayahnya pada Bundanya.

“Oh gitu yaa Yang? Kamu masak sambil main game. Besok-besok gini aja, Bunda nggak tingalin kalian di rumah berdua lagi.”

“Lho kenapa emangnya?” Edgar berceletuk dengan tampak bingungnya.

Lilie pun dengan cepat menjawab, “Nggak aman kalau kalian ditinggal berdua. Rumah bentukannya jadi nggak karuan, tau nggak.”

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Sebuah penginapan di Bandung menjadi destinasi bagi Edgar dan Lilie. Dua minggu yang lalu, keduanya telah melangsungkan pernikahan. Mereka melakukan pemberkatan di gereja dan menggelar acara resepsi sederhana yang mengusung tema garden party.

Edgar dan Lilie sibuk sama-sama sibuk bekerja, tapi mereka berusaha untuk meluangkan waktu berdua demi momen yang berkualitas. Mereka belum sempat honeymoon setelah menikah. Jadi akhirnya setelah Edgar bisa mengajukan cuti ke kantor, ia segera mengajak Lilie yang katanya adalah sebuah misi perjalanan untuk membuat bayi yang lucu.

Begitu pintu kamar penginapan dibuka oleh Edgar, tatapan Lilie langsung tertuju pada sebuah bath tube yang terletak bersisian dengan ranjang tidur.

Room

Lilie menoleh pada Edgar dan Edgar hanya tersenyum jahil.

“Kamu pesen kamar yang bath tube-nya ada di kamar tidur, tujuannya buat apa?” tanya Lilie.

“Bagus aja, Sayang. Keren tuh ada bath tube-nya, kan? Kamu suka kan mandi di bath tube?” ujar Edgar sambil menatap Lilie dengan tatapan tanpa dosanya. Detik berikutnya Edgar berjalan menghampiri Lilie dan bergerak memeluk istrinya dari belakang.

“Emang iseng ya kamu pesen kamarnya. Pantesan kemarin aku nggak dikasih liat gambarnya,” ujar Lilie.

Edgar pun hanya tergelak mendengar penuturan Lilie.

“Yaudah, lain kali kamu yang pesen. Setiap dua bulan sekali kali ya kita stay cation biar bisa quality time. Kita kan udah kerja tiap hari, biar nggak burn out gitu lho, Sayang.”

“Oke. Nanti aku cari rekomendasi penginapannya. Aku aja yang pesen,” ujar Lilie.

“Iya, Sayang. Kamu yang pesen. Aku serahin sama kamu deh.”

***

Waktu kini tengah menunjukkan pukul 8 malam. Edgar dan Lilie baru saja selesai menikmati makan malam mereka. Mereka malas keluar penginapan karena cuaca Bandung yang sangat dingin dan cukup menggelitik kulit. Penginapan ini memiliki dapur kecil yang terdapat di sisi kanan kamar. Jadi Edgar dan Lilie memilih memasak makanan instan di dapur itu untuk santapan mereka malam ini.

Edgar mengatakan kalau mie instan kuah buatan Lilie adalah yang terbaik. Cita-cita Edgar telah tercapai. Kini karena Lilie sudah menjadi istrinya, jadi kapanpun Edgar ingin mie instan, ia bisa meminta dibuatkan oleh Lilie.

“Kamu masih laper nggak?” Lilie bertanya pada Edgar.

“Udah kenyang sih. Tidur yuk habis ini. Aku ngantuk, Yang.”

“Bener mau tidur? Katanya kita mau nananinu.”

Edgar pun seketika membeliak, lalu ia ekspresi wajahnya sok dibuat terkejut. “Oh iya, aku lupa.”

Lilie yang baru saja meletakkan dua mangkuk kotor ke wastafel, sedikit terkejut ketika mendapati Edgar memeluknya dari belakang. Kali ini tidak hanya memeluk, Edgar mengusapkan tangannya di pinggang dan sekitaran perut Lilie dengan gerakan yang lembut dan sensual.

Kemudian Lilie merasakan sentuhan lainnya di sekitar curuk lehernya. Pundak Lilie yang sedikit terekspos karena piyama bahan sutranya turun dari pundaknya, membuat Edgar mudah untuk menyentuhnya di bagian itu.

Lilie sedikit bergerak kala Edgar menciumi pundaknya yang polos. Ciuman itu lama-lama naik ke leher jenjang Lilie, membuat Lilie menggeliatkan tubuhnya karena menikmati sensasi gelenyar yang berhasil diciptakan Edgar.

Secara perlahan, akhirnya Edgar membalikkan tubuh Lilie. Tatapan mereka pun bertemu dan Edgar dengan mudahnya mengangkat tubuh Lilie, lalu Edgar menempatakn Lilie untuk duduk di atas meja kitchen set di dapur tersebut.

Edgar sedikit mendongak untuk menatap Lilie. Tatapan Edgar pada Lilie begitu penuh afeksi dan memuja. Edgar kagum pada setiap inci yang ada pada diri Lilie dan kepribadian perempuan itu. Edgar bersyukur ia menikah dengan Lilie.

Sekali lagi, Edgar mencumbu mesra bibir Lilie sebelum akhirnya menggendong Lilie di depan tubuhnya. Edgar membawa Lilie menuju kamar mereka.

Tatapan Edgar dan Lilie tidak lepas sedikitpun. Lilie menatap Edgar dengan tatapan memuja. Setiap bagian dari diri Edgar, Lilie bersyukur karena ia adalah pemiliknya.

Lilie kini telah berbaring di atas kasur. Kemudian Edgar ikut menyusulnya dan berbaring di samping Lilie. Edgar memandangi wajah Lilie tanpa bosan, dengan sebuah senyum teduh yang tidak pernah berubah.

Satu tangan Lilie kemudian menangkup satu sisi wajah Edgar, sambil masih menatap mesra, Lilie pun berujar, “Aku selalu doain kamu biar kamu sehat, biar kamu dilindungi dari segala bahaya, dan kamu selalu diberkati sama Tuhan. Aku pengen kita punya banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk dihabisin bareng. Aku nggak tau gimana jadinya aku kalau kamu nggak ada.”

Edgar kemudian mengangguk pelan. “Makasih ya kamu udah doain aku.”

Edgar menatapi wajah cantik Lilie, lalu ia mengangkat tangannya untuk mengusap puncak kepala Lilie. Edgar kemudian berujar, “Aku mau selalu berusaha biar bisa jadi yang lebih lagi buat kamu, buat anak-anak kita nanti, dan buat keluarga kita. Makasih ya kamu selalu dampingin aku.” Edgar mengakhiri ucapannya dengan matanya yang nampak berkaca-kaca. Lilie pun tahu akhirnya bahwa ia menikahi dan mencintai lelaki yang begitu lembut hatinya, yang Lilie tahu bahwa lelaki ini tidak akan pernah menyakitinya.

Edgar kemudian mendekat pada Lilie dan menyematkan sebuah kecupan lembut di kening wanitanya.

Kala Lilie mengatakan ia tidak tahu bagaimana dirinya jika tanpa Edgar. Maka perumpamaan bagi Edgar adalah, ia adalah seseorang tanpa rumah jika tanpa Lilie. Selamanya Edgar akan menjadi tunawisma dan membiarkan dirinya terus berjalan tanpa memiliki tujuan sama sekali untuk pulang. Lilie adalah tujuan Edgar dan rumah untuknya, jadi Edgar tidak akan pernah meninggalkan rumahnya, kecuali ia selamanya pergi dari dunia ini.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

1 tahun kemudian.

Lilie mendapat promosi di kantornya sehingga bisa naik jabatan. Karena kinerja dan hasil pencapaiannya untuk perusahaan, Lilie pun berhasil diangkat menjadi Chief Marketing Officer di perusahaan IT’S CLEINE.

Hari itu diadakan sebuah perayaan untuk pencapaian Lilie. Divisi yang ada di kantor turut diundang datang ke acara tersebut. Edgar juga datang ke sana, tapi bukan sebagai karyawan, tapi Lilie memperkenalkannya sebagai tunangannya.

Kepada rekan kerjanya bahkan atasannya di kantor, Lilie dengan bangga mengenalkan sosok yang datang ke acara pentingnya itu. Mereka yang ada di sana turut bahagia dan mendoakan yang terbaik untuk Lilie dan Edgar.

Edgar dan Lilie telah bertunangan, sebuah cincin cantik tersemat di jari manis Lilie dan orang-orang selama ini tidak menduga bahwa itu adalah cincin tunangan.

Acara makan-makan sederhana tersebut berlangsung selama kurang lebih 2 jam. Saat waktu sudah malam menunjukkan pukul 8, satu persatu mulai berpamitan dan berlalu. Lilie dan sekretarisnya jadi yang terakhir berada di tempat itu, tentu saja ada Edgar juga menunggu Lilie sampai acaranya selesai.

“Yuk, kita pulang,” ujar Lilie yang menghampiri Edgar dan langsung meraih tangan lelaki itu untuk ia genggam.

“Jadi … ceritanya hari ini sekalian pamerin tunangan kamu gitu?” gurau Edgar begitu ia dan Lilie melangkah bersisian meninggalkan gedung kantor.

“Iya dong,” ucap Lilie dengan santai, seutas senyum pun tersemat di wajah cantiknya.

Saat Edgar dan Lilie sudah berada di dalam mobil, Edgar pun berujar, “Sayang, selamat ya buat kenaikan jabatan kamu. Aku bangga banget sama kamu.”

Lilie langsung mengulaskan senyumnya. “Makasih ya, Sayang. Apa yang aku capai, bukan zuma karena usahaku, tapi ada peran kamu juga. Kamu selalu ada untuk aku, semangatin aku kalau lagi ngerasa capek sama kerjaan. Aku bersyukur banget punya kamu,” tutur Lilie.

“Kalau nanti kita nikah, kamu mau tetep kerja atau gimana?” Edgar kemudian bertanya.

“Kalau memungkinkan untuk aku masih kerja, aku akan kerja. Tapi prioritasku nanti bakal beda. Kalau kamu. maunya aku tetep kerja atau di rumah aja?” Lilie ingin mendiskusikan hal tersebut dengan Edgar, karena baginya in iakan jadi keputusan bersama untuk mereka.

“Sayang, kamu udah sejauh ini kejar karir kamu dan cita-cita kamu,” ujar Edgar.

“Iya, aku paham apa yang kamu khawatirin. Aku emang cinta sama pekerjaanku, tapi aku akan rela kalau itu untuk keluarga kita nantinya. Menurut aku keluarga lebih penting,” Lilie coba menjelaskannya pada Edgar dan mengungkapkan pendapatnya. Bagi Lilie, memang tidak masalah jika suatu hari nanti ia harus meninggalkan pekerjaannya kalau itu adalah demi keluarganya.

“Oke. Nanti kita bicarain lagi dan liat kedepannya kondisi kayak gimana, ya?” ujar Edgar akhirnya.

“Oke.”

***

Edgar menghentikan mobilnya di depan pagar putih rumah Lilie. Lilie belum ingin masuk rupanya, mereka masih di dalam mobil.

“Nanti dulu aku turunnya, soalnya masih mau sama kamu,” ujar Lilie blak-blakan.

“Iya, oke,” ujar Edgar diiringi sebuah senyuman di wajah tampannya. “Kamu kalau kayak gini gemesin banget tau nggak,” tambah Edgar setelahnya.

Lilie dan Edgar tengah bertatapan dalam keheningan, hingga detik-detik yang akhirnya berlalu, Lilie mencondongkan sedikit tubuhnya agar mendekat pada Edgar. Kemudian dengan satu gerakan pasti, Lilie lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibir Edgar. Lilie memejamkan matanya, begitu juga yang Edgar lakukan. Edgar memberi respon tubuh yang menandakan bahwa ia terkejut, tapi detik berikutnya Edgar berusaha membalas cumbuan Lilie.

Belah bibir merka saling menyambut, Edgar memberikan ciuman yang terasa sangat lembut bagi Lilie. Seolah Lilie adalah permata yang begitu Edgar jaga, dan tidak sampai hati untuk melukainya sedikit pun.

Entah sudah berapa detik mereka melakukannya, hingga perlahan keduanya sama-sama menjauh. Lilie tersenyum malu, begitupun dengan Edgar.

“Aku turun dulu ya,” ucap Lilie sambil tangannya meraih bukaan pintu mobil. Namun belum sempat Lilie membukanya, Edgar menahan gerakan itu.

Edgar kemudian menghela halus pinggang Lilie agar kembali mendekat padanya. Edgar juga mengunci kembali pintu mobilnya dengan menekan kunci otomatis di samping kemudi.

Tatapan mereka bertemu dengan jarak yang dekat dan begitu intens. Edgar kemudian mengarahkan tangannya untuk mengusap lembut belah bibir Lilie. Lilie dapat merasakan hembusan nafas hangat Edgar yang menyapa kulit pipinya. Terasa ada sesuatu yang selama ini Edgar tahan, tapi kali ini tuas penahan milik lelaki itu seperti sudah lepas hingga kehilangan kendali.

Edgar bertanya apakah boleh satu kali lagi ia mencium Lilie. Lilie tak kuasa menahan senyumnya, tapi kemudian ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Edgar. Lilie menginginkannya, dan katakan bahwa pertahanannya juga sudah hancur.

Dengan sebuah gerakan pasti, Edgar akhirnya mencumbu bibir Lilie lebih dulu. Bibir yang rasanya manis itu, membuat Edgar memejamkan matanya kala ia mencium Lilie.

Lilie perlahan membalas ciuman itu, satu tangannya yang bebas menangkup sisi wajah Edgar agar memudahkan kegiatan yang mereka lakukan. Satu tangan Edgar yang bebas masih berada di pinggang Lilie, sedikit memberi usapan lembut di sana.

Mereka berciuman tidak terlalu lama, karena segera sadar juga untuk mengakhirinya, kalau tidak ingin digebrek oleh warga sekitar.

“Biasanya jam segini ada satpam komplek yang keliling buat ngecek-ngecek,” ucap Lilie.

Edgar pun tertawa mendegarnya. “Iya, nggak lucu kan kalau kita digebrek satpam terus diamuk sama warga.”

Sebelum Lilie turun dari mobil Edgar, perempuan itu mengusap bibir Edgar yang terkena lipstiknya. Lilie menggunakan tisu melakukannya, padahal itu hal yang terbilang biasa, tapi Edgar sukses dibuat membeku di tempatnya kala Lilie melakukannya.

“Aku turun dulu ya. Kamu hati-hati,” ujar Lilie.

“Oke,” hanya itu yang diucapkan Edgar, karena jujur saja lidahnya rasanya kelu untuk sekedar berucap. Edgar masih berada di sana sampai memastikan Lilie memasuki rumahnya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Park

Edgar dan Lilie mengunjungi sebuah taman kota yang sore ini tampak cukup ramai oleh pengunjung. Langit tampak indah dengan perpaduan warna biru dan oranye yang cerah. Di taman itu terdapat area piknik yang disediakan di dekat sebuah danau buatan. Edgar dan Lilie memilih duduk di sebuah kursi yang terletak tidak jauh dari danau. Mereka ingin menikmati waktu sore ini berdua. Edgar mengatakan bahwa ada yang ingin ia bicarakan serius dengan Lilie.

Edgar membawa mobilnya sendiri untuk mengajak Lilie pergi. Mobil tersebut katanya hadiah dari papanya karena ia telah lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan. Edgar telah bekerja mendapat pekerjaan full time di sebuah perusahaan dan mendapat gaji yang lumayan.

“Kak, gaji aku cukup untuk ajak kamu seneng-seneng, tapi pake cara aku sendiri,” ujar Edgar.

“Emang gimana caranya?” tanya Lilie diiringi tawa kecilnya.

“Keliling Jakarta misalnya, naik motor sambil pelukan, gitu.”

Lilie tersenyum bersemu, pipinya pun nampak memerah. Egdar mengatakan bahwa uang yang ia miliki cukup untuk mengajak Lilie bersenang-senang dengan cara mereka sendiri. Namun itu hanya jika Lilie mau, dan dengan satu syarat bahwa Lilie harus menjadi pacarnya.

“Kamu … mau nggak jadi pacarku?” tanya Edgar sambil menatap lekat pada Lilie.

Lilie terhanyut ke dalam mata Egdar yang binarnya begitu indah. Tatapan itu selalu sama ketika menatapnya, yang membuat Lilie jatuh cinta. Lilie pun balas menatap Edgar dengan penuh afeksi, lalu satu tangannya yang bebas meraih tangan Edgar dan menggenggamnya dengan genggaman ringan, tapi terasa hangat dan mendebarkan bagi Edgar.

“Iya, aku mau,” ucap Lilie kemudian, nadanya terdengar begitu yakin. Lilie yakin tanpa ragu, bahwa ia akan melabuhkan hatinya pada Edgar, bahwa ia akan mencintai Edgar sama seperti lelaki itu mencintainya.

Edgar nampak terkejut mendengar jawaban Lilie, lebih tepatnya, rasanya seperti mimpi baginya. Mata Edgar nampak berkaca-kaca dan binarnya semakin terlihat jelas. Sebuah sneyum lantas juga tersungging di wajah tampan lelaki itu.

“Kak, ini beneran kan?” tanya Edgar dengan tatapannya yang tampak lucu dan menggemaskan.

“Iya, dong. Masa boongan.”

“Kita pacaran Kak sekarang?” Edgar bertanya lagi, ia ingin memastikan dengan sungguh-sungguh.

“Iya, Edgar,” jawab Lilie.

Edgar pun nampak kegirangan dan orang pertama yang ia beritahu adalah Ian. Edgar menelfon Ian dan dengan nada gembiranya, ia memberitahu bahwa misinya mengejar Lilie kini telah berhasil.

Setelah Edgar mengakhiri telfonnya dengan Ian, Edgar mengatakan pada Lilie bahwa dirinya di awal sempat ragu untuk mendekati Lilie.

“Kenapa kamu ragu?” Lilie pun bertanya.

“Saingan aku masa lalu kamu, Kak. Udah gitu lebih segalanya dari aku.”

Lilie lantas hanya tersenyum kecil. “Tapi kamu gigih juga lho.”

“Udah terlanjut nyebur Kak, masa kabur,” ujar Edgar diiringi kekehan kecilnya.

Edgar pun mengatakan, kalau ia mencoba, maka akan ada dua kemungkinan, berhasil atau tidak. Namun kalau ia tidak mencoba sama sekali, maka hanya akan ada satu kemungkinan, yakni kegagalan itu sendiri. Edgar tidak ingin gagal karena ia tidak mencoba, maka ia memilih untuk terus maju meskipun itu terasa tidak mudah baginya.

“Kak, aku mau nanya boleh nggak?” celetuk Edgar.

“Boleh. Mau nanya apa?”

Edgar lantas bertanya mengapa Lilie memilihnya dibanding Marcel. Marcel juga melakukan usaha yang besar dalam mendapatkan Lilie.

“Aku nggak butuh sosok yang sempurna,” jawab Lilie kemudian.

Lilie lantas menjelaskan, ia tidak mendambakan sosok yang sempurna untuk dicintai. Marcel memang nampak sempurna, mungkin rasanya sulit bagi mayoritas wanita menolak sosok lelaki seperti Marcel. Namun bagi Lilie, ia menginginkan sosok yang seperti Edgar. Lilie menginginkan sosok yang bisa jadi sahabat, pacar, teman, bahkan adik. Edgar adalah sosok yang Lilie inginkan, sosok yang Lilie butuhkan, dan sosok yang Lilie dambakan dari seorang lelaki yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Menurut Lilie, Edgar itu sosok yang mengagumkan. Edgar itu jenius dan punya sejuta akal ajaib di dalam kepalanya. Lilie merasakan itu, bahwa Edgar merupakan sosok yang unik dan menyenangkan untuk dikenal. Lilie baru mengenal Edgar beberapa bulan, sementara telah 2 tahun mengenal Marcel. Rasanya bagi Lilie waktu tidak berarti, ketika hati sudah memilih dan memutuskan. Lilie mencintai Edgar karena kepribadiannya dan cara lelaki itu memperlakukannya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Tadi pagi sekitar pukul 6, Edgar sudah bangun dari ranjangnya dan bersiap. Edgar terlihat bersemangat untuk hari wisudanya. Edgar bisa lulus dengan nilai cumlaude, tepat 4 tahun waktu berkuliah, dan semua keluarganya hari ini datang ke acara wisudanya untuk menyaksikan momen berharga itu.

Bagi Edgar, tidak ada yang lebih baik dari pada bisa membuat orang yang ia sayangi bangga dan bahagia akan sebuah hal yang ia capai.

Rupanya tidak hanya keluarganya saja menghadiri wisuda Edgar hari ini, tapi ada sosok yang sepertinya spesial yang datang ketika acara inti sudah selesai. Kini para wisudawan tengah diperbolehkan untuk keluar dari aula untuk mengambil foto bersama keluarga, teman, maupun orang tersayang. Edgar menjadi salah satu dari sekian banyak wisudawan yang berfoto di lapangan luas yang berlatar belakang gedung rektor milik kampusnya.

Sosok yang datang membawa buket mawar merah itu adalah Lilie, begitu Edgar memperkenalkan perempuan cantik itu kepada keluarganya.

Di antara keluarganya, yang tampak sudah mengenal Lilie adalah Bundanya Edgar. Hal tersebut karena Edgar kerap kali menceritakan soal Lilie kepada Bundanya.

“Kenalin dong, calon pacar Edgar nih,” celetuk Edgar dengan nada jenaka. Sontak celetukan itu mengundang tatapan dari para keluarganya, terlebih adik perempuan Edgar yang selalu paling penasaran kalau menyangkut kehidupan asmara kakaknya.

“Beneran calon pacarnya Abang emang?” tanya Amanda pada Edgar.

“Iya. Kamu nggak percaya, emangnya?” celetuk Edgar sambil menatap adiknya.

“Tapi kan belum pacaran. Habisnya Kak Lilie terlalu cantik buat Abang. Masa mau sih sama Bang Edgar,” ujar Amanda dengan jenaka diiringi tawa kecilnya.

Akhirnya Edgar memperkenalkan Lilie secara sungguhan pada keluarganya. Papanya dan Abangnya pun tahu bahwa Lilie adalah mentor Edgar di tempat magang. Namun jelas jika hanya hubungan pekerjaan, tidak mungkin Lilie sampai harus datang dan membawa bunga di hari wisuda Edgar. Berarti memang ada yang spesial di antara Lilie dan Edgar.

Setelah sesi foto tersebut, di mana Lilie ikut berfoto juga dengan keluarga Edgar, Edgar akhirnya pamit berpisah pada keluarganya. Edgar mengatakan ia akan pergi dengan Lilie. Sebelum meninggalkan gedung kampusnya, Edgar membawa Lilie untuk bertemu teman-temannya untuk mengenalkan Lilie pada Ian dan Rico.

Untuk pertama kalinya, Ian dan Rico bertemu dengan sosok Lilie yang selama ini begitu sahabat mereka puja dan banggakan. Begitu sebaliknya, untuk pertama kalinya Lilie mengenal 2 sosok sahabat terdekat Edgar.

“Edgar udah sering cerita soal Kak Lilie kita berdua,” celetuk Rico yang segera mendapat senggolan di lengannya oleh Ian.

“Ohya?” Lilie tampak penasaran dengan hal tersebut.

“Yaa biasalah Kak, cowok kalau PDKT mah sahabatnya yang jadi tempat curhat,” ujar Rico lagi, lelaki itu kemudian menampkkan cengiran kecilnya.

Edgar lantas mengkode kedua sahabatnya untuk menutup mulut. Sebenarnya tidak msalah untuk diceritakan, tapi Edgar malu kalau harus kebongkar semua kelakuannya ketika masa-masa ia menyukai Lilie. Di rasa sesi perkenalannya cukup, Edgar pun pamit pada Ian dan Rico.

“Sukses terus Bro,” ucap Ian sambil mengkode Edgar lewat tatapan. Edgar hanya membalas dengan sebuah acungan jempol.

Sepeninggalan Edgar dan Lilie dari hadapan mereka, Ian dan Rico jadi dua orang yang tersenyum lebar di sana. Mereka menatap Edgar dan Lilie yang perlahan menjauh. Terlihat satu tangan Edgar menggandeng tangan Lilie, dan satu tangannya lagi membawa buket bunga pemberian Lilie.

Rasanya tidak ada yang lebih baik dan lega bagi Ian dan Rico dari pada melihat sahabat mereka bahagia bersama perempuan yang diinginkan.

“Kita kapan ya Yan begitu?” celetuk Rico.

“Kapan apanya?” Ian bertanya dengan tatapan bingungnya.

“Kapan kita nemu jodoh versi kayak Lilie. Lilie tuh paket lengkap banget dah. Udah cantik, pinter, mandiri lagi.”

“Ya gatau. Cari dong, usaha. Lu liat usaha Edgar nggak main-main. Setara lah sama apa yang dia dapet.”

“Iya sih. Apa gue harus jadi Edgar dulu biar dapet spek jodoh kayak Lilie?”

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Satu minggu kemudian.

Edgar telah bekerja di sebuah perusahaan dan mendapat tawaran gaji yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Jadi kedepannya Edgar sudah tidak mendapat jatah uang bulanan dari orang tuanya. Papa dan Bundanya bangga dengan pencapaiannya itu. Bukan hanya keluarganya yang bangga, tentu saja Edgar memiliki seseorang yang spesial baginya yang juga bangga terhadapnya. Orang itu adalah Lilie.

Hari ini sepulang bekerja, Edgar menjemput Lilie di kantor. Di gedung pencakar langit itu, Edgar melangkahkan kakinya di sana. Rasanya seperti nostalgia. Tiga bulan yang lalu, Edgar datang ke sini dengan tujuan untuk mengenal Lilie dan bisa mendekatinya. Harapannya kecil agar Edgar memiliki Lilie, tapi Edgar tidak menyerah, ia ingin berjuang. Saat ini Edgar kembali ke gedung tersebut dengan keadaan yang sudah berbeda. Ia tidak lagi menjadi karyawan magang di sini, tapi Edgar datang untuk menjemput seseorang yang dicintainya dan juga mencintainya.

Edgar memutuskan menunggu Lilie di lobi gedung, di mana adas sofa khusus untuk menunggu.

Ketika Edgar masih menunggu, netranya mendapati keberadaan Marcel di sana. Tanpa Edgar duga, Marcel mengajaknya berbicara.

“Ini soal Lilie. Saya udah bicara sama Lilie sebelumnya, jadi saya pikir saya harus bicara juga sama kamu,” ucap Marcel.

“Saya menyesal karena sudah meninggalkan Lilie dua tahun lalu, dan nggak tau sehancur apa Lilie karena itu,” lanjut Marcel lagi.

Marcel mengaku bahwa ia menyesal tidak tahu seberapa hancurnya Lilie dan itu disebabkan dirinya. Marcel akhirnya sadar bahwa tindakannya selama ini salah, bahwa seharusnya ia tidak perlu kembali ke hidup Lilie yang mana bisa membuka luka lama itu.

“Lilie pernah punya masa lalu sama saya Dia bahagia waktu itu, tapi saya nyakitin dia. Sekarang saya mau Lilie bahagia, walaupun bukan sama saya,” ucap Marcel.

Edgar dan Marcel masih berada di sana ketika Lilie mendapati kedua lelaki itu tengah mengobrol. Lilie tampak heran, tapi ia segera melangkah menghampiri mereka.

Kehadiran Lilie tersebut lekas menginterupsi Edgar dan Marcel. Marcel pun pamit dari sana setelah mengatakan bahwa pembicaraannya dengan Edgar telah selesai. Sepeninggalan Marcel, Lilie tanya apa yang Edgar bicarakan sama Marcel.

“Kok kamu sama Marcel bisa ngobrol?” tanya Lilie begitu dirinya dan Edgar berjalan bersisian menuju parkiran.

“Ngobrol biasa aja,” ujar Edgar kemudian.

Edgar pun hanya mengatakan kalau pembicaraannya dengan Marcel barusan adalah hanya tentang masa lalu yang sudah lewat. Kini Edgar dan Marcel bukan rival lagi, karena Marcel sudah memutuskan untuk mundur dari medan perang.

“Ohhh gitu,” ucap Lilie sembari manggut-manggut.

“Berarti dulu kalian jadi rival dong?” Lilie bertanya.

“Iya, kayak gitu deh kira-kira,” jawab Edgar diiringi tawanya. Lilie otomatis ikut tertawa.

Begitulah masa lalu. Lilie merasa bahwa masa lalu adalah hal yang patut dikenang sesekali, tapi tidak untuk diungkit dan menjadi distraksi di masa sekarang. Masa lalu akan tetap ada, tapi patutnya hanya untuk disimpan. Kemudian ketika masa laku itu tidak sengaja teringat, hadirnya hanya cukup untuk menghadirkan gelak tawa.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Hubungan Edgar dan Lilie telah berangsur membaik. Kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka telah terselesaikan. Mereka telah sama-sama tahu bahwa keduanya memiliki perasaan yang sama dan berkomitmen untuk itu. Mereka juga semakin dekat setiap harinya dan saling mengenal satu sama lain, tentu saja. Kadang ada hal yang sulit dilalui oleh Edgar maupun Lilie, tapi mereka bisa karena mereka mau menjalaninya. Edgar dan Lilie berusaha terus belajar untuk saling mengerti dan memahami, yang diyakini bahwa itu adalah kunci sukses dalam menjalin sebuah hubungan.

Tidak terasa sudah 3 bulan sejak Edgar magang di perusahaan IT’S CLEINE. Artinya masa internship Edgar akan segera berakhir. Edgar telah menjalani sidang skripsinya dua hari yang lalu. Sebagai mentor bagi Edgar, Lilie memberi nilai A untuk Edgar. Itu bukan karena kedekatan mereka, tapi tentu karena Edgar memang pantas mendapatkan nilai tersebut. Edgar telah menunjukkan kinerjanya, bertanggung jawab, dan dapat menyelesaikan target tugas dengan sangat baik.

Sore ini Lilie dan Edgar masih di kantor. Ini menjadi hari terakhir Edgar bekerja di perusahaan tersebut. Ada perayaan kecil-kecilan di sana. Rekan kerja Edgar di divisi itu mengucapkan selamat atas keberhasilan Edgar lulus sidang skripsi. Mereka juga memberi sedikit bingkisan untuk Edgar, katanya kenang-kenangan sebagai teman sejawat di kantor ini.

Ada sesi foto juga di sana, dan terakhir Edgar berfoto dengan Lilie. Jesslyn yang memotret mereka berdua.

“Deketan dikit dong, kaku banget sih,” celetuk Jesslyn dengan nada bergurai begitu melihat Edgar dan Lilie tampak canggung saat akan difoto.

Edgar lalu mendekat lebih dulu pada Lilie, berusaha terlihat senormal mungkin. Orang-orang kantor tentu belum ada yang tahu tentang dirinya dan Lilie. Lilie pun demikian, ia berusaha tampak biasa saja, seolah memang antara dirinya dan Edgar tidak ada yang spesial. Akhirnya setelah mendapat beberapa jepretan foto, sesi foto tersebut berakhir. Karena sudah sore juga, satu persatu mulai pamit meninggalkan ruangan. Jesslyn dan Ardi pulang berdua dan kini tersisa Valdo saja.

Valdo menatap ke arah Edgar dan Lilie. Tanpa bertanya apa pun, Valdo seperti sudah tahu bahwa ada yang telah terjadi antara Edgar dan Lilie.

“Gue bakal jaga rahasia deh. Tapi ada uang tutup mulut nggak nih?” celetuk Valdo dengan nada jenakanya.

“Nanti gue traktir deh Bang. Lo mau apaan emangnya?” ujar Edgar.

“Bener ya? Steik house deh,” ucap Valado.

“Yah, Bang. Belum sanggup kalau itu. Nanti kalau gue udah dapet kerjaan yang lumayan, pasti gue traktir lo. Tapi nggak bisa sekarang.”

Valdo hanya tertawa saja setelahnya, begitu juga Lilie yang tahu bahwa Valdo sebenarnya hanya bergurau, tapi Edgar keburu menganggapnya serius.

Tidak lama kemudian, Valdo berlalu dari ruangan tersebut. Valdo mengerti bahwa Edgar dan Lilie pasti butuh waktu untuk berdua saja.

“Kemarin Marcel panggil aku ke ruangannya untuk ngomongin sesuatu,” ujar Lilie pada Edgar.

“Oh yang kemarin itu. Ngomongin apa jadinya?” Edgar bertanya.

Lilie menjelaskan bahwa Marcel telah memutuskan untuk mundur dan sungguhan menyerah membuat Lilie kembali padanya. Marcel berbicara pada Lilie bahwa ia ingin Lilie bahagia, meskipun itu bukan bersamanya. Jabatan CEO Marcel akan dialihkan kepada sepupunya, tapi owner perusahaan tetap masih atas nama Marcel. Marcel memutuskan hal tersebut karena ia ingin yang terbaik untuk Lilie. Maksudnya adalah Marcel ingin Lilie bekerja dengan nyaman, tanpa harus mengingat kembali rasa sakit akan masa lalu jika Marcel masih berada di sekitar Lilie. Ini adalah yang terbaik menurut Marcel.

“Aku kayaknya bakal tetep kerja di perusahaan ini. Menurut kamu gimana?” Lilie menanyakan pendapat Edgar tentang keputusan yang akan diambilnya.

“Iya, nggak papa. Kamu tetep kerja di perusahaan ini aja. Kak, perusahaan ini butuh kamu dan kamu udah nyaman sama lingkungan kerjanya, sama tim kamu. Jadi jangan pergi dari sini, yaa?”

Lilie akhirnya mengangguk setuju. Lilie akan tetap bekerja di perusahaan ini setelah sebelumbya mempertimbangkan untuk resign.

“Ohiya, hasil interview kamu gimana? Udah dikabarin sama HR nya?” Lilie bertanya pada Edgar. Beberapa hari lalu memang Edgar mendapat panggilan untuk interview kerja dengan posisi full time job di sebuah perusahaan yang cukup ternama.

“Udah, Kak. HR nya semalem ngabarin aku dan katanya aku keterima kerja di sana. Minggu depan habis aku selesaiin revisi skripsi, aku udah bisa mulai kerja.”

Lilie yang mendengarnya tampak senang dengan berita itu. Lilie juga merasa bangga karena Edgar berhasil mendapat pekerjaan tetap.

Edgar sempat mendiskusikannya dengan Lilie, apakah ia menerima tawaran full time di IT’S CLEINE saja. Namun Lilie mengusulkan beberapa pertimbangan. Posisi dan gaji di perusahaan lain yang menawarkan bekerja, lebih menjanjikan. Selain itu Lilie juga telah mencari tahu beberapa hal tentang perusahaan itu. Jadi, Lilie menyarankan Edgar untuk menerima tawaran tersebut ketimbang mengambil tawaran yang diajukan IT'S CLEINE pada Edgar.

“Tapi kalau kerja bareng kan kita bisa ketemu tiap hari, Kak,” ucap Edgar.

“Iya, sih. Tapi kamu berhak juga untuk dapet kerjaan yang lebih baik, Gar,” ujar Lilie.

“Emangnya nggak bisa ketemu? Kan kita tetep bisa ketemu,” sambung Lilie.

Lilie berpikir Edgar pantas mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Lagi pula Lilie ingin profesional. Lilie tidak ingin bekerja dengan seseorang yang spesial baginya. Ditakutkan akan jadi bias, maka lebih baik hubungan rekan kerja itu sebatas kerja saja, tidak ada yang spesial di luar itu.

Edgar akhirnya setuju akan hal tersebut. Ia dapat tawaran kerja yang lebih baik, dan Lilie sangat mendukungnya untuk itu yang mana semakin membuat Edgar bersemangat dalam mengejar karirnya.

“Besok kamu udah nggak ke kantor lagi. Aku bakal kangen sama kamu sih,” aku Lilie dengan jujur. Mungkin Lilie harus beradaptasi dari yang sebelumnya ada Edgar dengan besok yang keadaannya sudah berbeda.

“Kantor kita deket. Aku minggu depan kan udah mulai kerja, nanti kalau kamu mau dijemput, aku siap jemput,” tutur Edgar.

“Bener .. ya kamu jemput aku?” tanya Lilie.

“Iya, bener, Cantik.”

“Oke,” ujar Lilie akhirnya sambil menampakkan senyum lebarnya.

Meskipun harus berpisah, tapi itu bukan masalah besar bagi Edgar dan Lilie. Perasaan mereka telah sama, jadi jarak pun akan bisa saja dilalui jika mereka mau berusaha menjalaninya. Mereka tetap bisa bertemu. Edgar mengatakan ia akan sering menjemput Lilie di kantor, lalu mereka bisa menghabiskan waktu bersama setelah selesai bekerja.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕

Lilie melangkahkan kakinya dengan semangat menuju kantor pagi ini. Sebuah senyuman merekah di wajahnya sesekali. Lilie merasa senang karena Edgar telah lulus sidang sempro. Jadi Lilie berpikir kalau keadaannya akan membaik, hubungannya dengan Edgar akan kembali seperti sebelumnya di mana mereka tidak renggang seperti beberapa hari belakangan.

Ketika Lilie sampai di ruangan divisi sosial media marketing, di sana hanya terdapat Valdo dan sebuah tas fameliar di kursi di samping kursi Lilie. Tas tersebut jelas Lilie ketahui adalah milik Edgar. Artinya lelaki itu telah datang lebih dulu.

Lilie bertanya pada Valdo ke mana perginya Edgar. Valdo pun menjawab bahwa Edgar ke pantry untuk membuat kopi.

Lilie akhrinya berniat membuat kopi juga di pantry, ia mengambil tumblernya dari laci meja dan berjalan keluar dari ruangan. Sebuah senyum tipis sekilas tersungging di wajah Lilie, ia merasa bahwa ini hari yang baik dan begitu juga harapannya terhadap hubungannya dengan Edgar.

Begitu langkah Lilie sampai di pantry dan tangannya membuat pintu di sana, seketika Lilie tercekat di tempatnya. Lilie berdiri membeku di sana kala netranya mendapati Edgar dan Riana yang tengah berpelukan. Tidak ada percakapan di antara Edgar dan Riana, tapi yang jelas Lilie lihat adalah keduanya dalam jarak yang dekat dan melakukannya.

Pikiran Lilie saat ini hanya untuk pergi dari sana, maka Lilie segera berbalik dan hendak berlalu. Namun sebelum itu, Edgar juga tengah mendapati kehadiran Lilie di ambang pintu pantry.

Edgar yang melihat itu, segera melepaskan diri dari Riana dan melangkah lebar untuk menyusul Lilie.

Begitu langkah Edgar berhasil menyamai Lilie, Edgar menahan pergelangan tangan Lilie. Lilie menghentikan langkahnya dan menatap Edgar dengan tatapan terluka.

“Kak, aku bisa jelasin. Itu nggak kayak yang kamu liat,” ujar Edgar.

Lilie hanya diam. Iris mata Lilie memancarkan luka yang sangat kentara, membuat hati Edagr rasanya ikut tersayat-sayat. Bagaimana bisa Lilie menatapnya seperti ini?

“Aku jelasin ke kamu, ya? Kita perlu bicarain ini,” Edgar berucap lagi dan kini sudah melepaskan pergelangan tangan Lilie dari genggamannya.

“Apa yang perlu dijelasin?” ujar Lilie dengan suara pelannya.

“Yang kamu liat tadi nggak kaya yang kamu duga. Tolong kasih kesempatan aku baut jelasin dulu,” ucap Edgar tampak gigih dengan perkataannya dan yakin bahwa yang Lilie lihat bukan seperti dugaan perempuan itu.

“Kamu percaya kan, sama aku?” ujar Edgar terakhir kalinya dengan nada memohon. Edgar tidak kunjung mendapat jawaban apa pun dari Lilie, karena perempuan itu memutuskan berlalu begitu saja dari hadapannya.

Lilie menjauh dari Edgar dengan kedua matanya yang berkaca-kaca dan terasa memanas. Sebisa mungkin Lilieberusaha menahannya.

Lilie tidak tahu kenapa sesakit ini rasanya. Hubungannya dan Edgar bahkan belum dimulai dan perasaannya pada lelaki itu juga masih terbilang baru. Namun kenapa rasanya semenyakitkan ini? Seharusnya tidak seperti ini, jika Lilie belum sepenuhnya mencintai Edgar, bukan?

***

Sore ini saat waktu hampir menunjukkan pukul 5 sore, Lilie terlihat telah mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Kalau biasanya Lilie pulang agak telat atau bahkan lembur, kali ini Lilie ingin pulang lebih dulu sebelum jam 5 sore.

Seharian ini juga Lilie tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Di sini lain, Llie merasa hancur setelah melihat Edgar dan Riana, tapi di sisi lain juga Lilie harus tetap bersikap profesional ketika bekerja dengan Edgar. Ini sulit baginya dan Lilie rasanya tidak tahan berada di kantor lama-lama.

Baru beberapa langkah Lilie keluar ruangan, Lilie mendapati Edgar menyusul langkahnya. Lelaki itu juga telah membawa tasnya dan mengenakan leather jaketnya.

“Kak Lilie, kita perlu ngomong. Please, kasih aku kesempatan buat jelasin,” ujar Edgar.

Lilie terdiam selama beberapa detik, sampai akhirnya ia memutuskan untuk memberi Edgar kesempatan.

Mereka akhirnya pergi berdua dan sebuah kafe dekat kantor menjadi tujuan mereka. Sebelum pesanan minuman keduanya datang, Edgar sudah buka suara lebih dulu.

“Aku sama Riana nggak ada hubungan apa pun,” ucap Edgar.

Edgar kemudian menjelaskan bahwa apa yang Lilie lihat tidak seperti dugaaannya. Riana yang lebih dulu meluk Edgar setelah menyatakan perasaannya pada Edgar, tapi Edgar menolak pernyataan cinta itu. Edgar mengatakan pada Riana bahwa ada perempuan yang disukainya dan tengah ia jaga perasaannya. Jadi lebih baik Riana melupakan perasaan gadis itu terhadapnya. Edgar baru akan menjauh dari Riana, tapi Lilie lebih dulu melihat dan akhirnya menduga bahwa Edga dan Riana memiliki hubungan spesial.

“Kak, tolong percaya sama aku. Aku nggak punya perasaan apa pun ke Riana,” ujar Edgar mengakhiri penjelasannya.

Lilie masih diam dan belum memberi respon. Akhirnya setelah minuman mereka datang dan Lilie menyeruput sekali minumannya, perempuan itu berikutnya baru angkat bicara.

“Jadi tadi yang aku liat itu salah paham aja?” tanya Lilie.

Edgar dengan cepat mengangguk. “Kalau Kakak masih nggak yakin, aku nanti bisa minta Riana baut jelasin yang sebenarnya sama Kakak.”

“Nanti Riana tau dong soal kita?”

“Riana udah tau Kak. Aku terpaksa kasih tau dia, karena dia nggak percaya kalau aku punya seseorang yang aku jaga hatinya.”

Lilie akhirnya mengangguk. Lilie percaya pada penjelasan Edgar dan yakin bahwa Edgar tidak melakukannya dengan Riana. Namun ada satu hal yang ingin Lilie utarakan terkait kekecewaannya pada sikap Edgar beberapa hari lalu. Edgar yang menjauhinya, membuat Lilie bingung. Lilie berusaha mengerti situasinya karena Edgar harus fokus dengan sempronya, tapi hubungan mereka tidak kunjung membaik seperti sebelumnya. Lilie merasa ia takut akan kembali terluka karena cinta, Lilie takut kembali hancur.

“Aku minta maaf atas sikap aku beberapa hari lalu. Aku nggak jujur sama kamu tentang sesuatu,” aku Edgar akhirnya.

“Maksud kamu?” Lilie bertanya karena ia tidak mengerti di mana bagian Edgar mengatakan lelaki itu idak jujur mengenai sesuatu.

“Waktu itu aku liat kamu sama Marcel di lorong,” ucapan Edgar terhenti sampai di sana, tapi Lilie seperti sudah paham ke mana arah pembicaraan mereka.

Edgar mengatakan bahwa benar-benar dirinya hancur kala itu, ia bingung dan seperti kehilangan arah. Ini sebagian juga salah Edgar karena tidak langsung membicarakannya pada Lilie. Edgar sakit hati, tapi perasaannya pada Lilie tetaplah sama, hanya Lilie yang ada di hatinya. Alasan Edgar berusaha sejauh ini, bekerja di kantor perusahaan IT’S CLEINE, semata hanya karena ingin mengenal Lilie. Edgar telah menyukai Lilie sejak kali pertama melihat Lilie di acara seminar di kampusnya. Tidak ada perempuan yang Edgar sayangi kecuali Lilie. Lilie pun terkejut mendengar penjelasan Edgar.

“Edgar, apa yang kamu liat nggak seperti kejadian yang sebenarnya,” terang Lilie akhirnya.

Lilie pun menjelaskan bahwa ia sama sekali tidak mencium Marcel. Hari itu, Marcel memang hampir menciumnya. Namun saat Edgar pergi, Lilie langsung mendorong Marcel agar menjauh darinya dan mereka sama sekali tidak berciuman seperti yang Edgar pikirkan. Lilie tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Marcel. Lilie sungguh-sungguh dengan perasaannya terhadap Edgar, dan hanya Edgar sosok yang kini ada di hatinya.

“Kamu percaya kan sama aku?” Lilie bertanya pada Edgar.

Tidak lama kemudian, Edgar mengangguk sambil menatap tepat ke iris mata Lilie. “Aku percaya sama kamu,” ujarnya lalu sekilas Edgar mengulaskan senyumnya.

“Maaf, seharusnya aku bisa bicarain ini sama kamu. Jadi nggak perlu ada salah paham di antara kita,” ujar Edgar lagi.

Lilie megangguk sekali. “Nggak papa. Jadiin ini pelajaran untuk kamu, dan untuk aku juga. Kedepannya aku pengen kita saling terbuka, apalagi kalau ada persoalan kayak gini yang bisa bikin salah paham,” tutur Lilie.

“Iya, aku pasti akan bicarain sama kamu,” ucap Edgar.

Lilie lantas mengulaskan senyumnya dan tampak bangga dengan Edgar yang mau berusaha kedepannya dan belajar dari sebuah kesalahan yang sebelumnya.

Selama kurang lebih 20 menit setelah menghabiskan minuman mereka, Edgar dan Lilie memutuskan pergi dari kafe itu. Edgar akan mengantar Lilie pulang. Kali ini Lilie tidak memakai helmnya sendiri, Edgar yang memakaian benda itu di kepalanya.

“Edgar, kamu beneran percaya kan sama aku?” Lilie bertanya ketika mereka sudah berada di atas motor dan Edgar baru akan memanuver kendaraannya.

Edgar menaikkan kaca helmnya agar suaranya dapat didengar oleh Lilie. “Aku percaya, Cantik,” ujar Edgar dengan nada jenakanya.

Lilie yang mendengar panggilan baru yang disematkan Edgar padanya, seketika terdiam karena tiba-tiba dirinya jadi pipinya memanas. Jangan ditanya lagi jantung Lilie keadaannya. Dadanya bergemuruh seperti ada kelompok merching band yang tengah memainkan alat musik mereka.

“Kamu juga ya, harus percaya sama aku,” ujar Edgar.

“Iya, aku percaya sama kamu,” balas Lilie.

“Kamu kalau mau pegangan, pegang pinggang aja,” ucap Edgar. Lelaki itu telah memindahkan tas ransel miliknya dengan posisi di gendong di depan.

Setelah mengatakannya, Edgar mulai memanuver motornya untuk meninggalkan tempat itu.

***

Motor Edgar telah membelah jalanan padat Jakarta yang begitu khas. Lampu-lampu gedung pencakar langit menjadi pemanis pemandagan kota di malam hara. Jalanan yang sedikit basah karena hujan baru saja turun, pedagang kaki lima di alun-alun, dan banyak lagi, yang malam ini secara tidak langsung menjadi saksi bahwa Edgar dan Lilie tengah berbahagia.

Begitu motor Edgar berhenti di lampu merah dan mereka harus menunggu beberapa detik agar bisa jalan lagi, perlahan Edgar merasakan sesuatu melingkari pinggangnya. Jelas itu adalah lengan Lilie yang kini tengah memeluk pinggangnya.

Edgar terkesiap, tubuhnya pun memberi respon bahwa ia terkejut. Namun lebih dari itu, perasaannya dominan bahagia.

Rasanya memang masih seperti mimpi dan sulit percaya, tapi ini adalah kenyataannya. Perasaan Edgar terhadap Lilie berbalas. Edgar berhasil membuat Lilie bahagia dengan kehadirannya dan membuat perempuan itu mencintainya.

***

Terima kasih sudah membaca Chasing Lilie 🌸

Silakan beri dukungan untuk Chasing Lilie supaya bisa lebih baik lagi pada update berikutnya. Support apa pun dari para pembaca sangat berarti untuk author dan tulisannya 🍰

Semoga kamu enjoy dengan ceritanya, sampai bertemu di part selanjutnya~ 💕